Você está na página 1de 3

Andai Orang Kaya Dermawan ?

Indonesia itu kaya. Ragam adat budaya tersebar di seluruh penjuru yang belum tentu dimiliki negara yang lain. Selain beragam, keunikan dan kekhasan ala Indonesia pun cukup unik.

Indonesia itu kaya. Beragam pesona wisata terhampar bebas mengarungi sebagian roda dunia. Laut biru membentang. Belum lagi pesona wisata lainnya yang cukup membuat Indonesia cukup eksotis.

Indonesia itu kaya. Banyak lulusan pemuda Indonesia yang menghabiskan studi di luar negeri. Bahkan sejak masih duduk di bangku kuliah dasar, bukan tidak ada warga Indonesia yang sudah mengecam study berkelas internasional. Akan banyak konsonan kata kaya lainnya yang bisa kita kaitkan. Namun apa ada kita temui, adakah orang Indonesia yang kaya dermawan? Yang kaya dermawan disini bukan berarti orang kaya itu harus dermawan. Akan tetapi lebih kepada sifat kekayaan untuk bersikap dermawan. Jika kembali kepada petikan di atas. Indonesia memang kaya adat budaya. Karena kayanya, sulit mencari orang Indonesia yang kaya dermawan untuk mempertahankan ragam adat budaya yang ada. Justru orang kita meniru gaya dari budaya di luar indonesia.

Indonesia memang kaya akan wisata alam. Karena kayanya, orang Indonesia lebih menghargai dan mengagumi kekayaan negara lain. Ini menjadi kesulitan bagi kita untuk mencari orang Indonsesia yang kaya dermawan untuk menghargai produk Indonesia.

Indonesia memang kaya dalam dunia pendidikan. Karena kayanya, pendidikan Indonesia seakan terpingitkan. Pendidikan ala internasional lebih prestisius dari pada pendidikan Indonesia yang lebih memilih membahas tentang sejarah Rengasdengklok dan kawan-kawannya. Ini menjadi sulit untuk mencari orang Indonesia yang dermawan membumi suburkan potensi pendidikan di Indonesia yang kian nunjauh tertinggal.

Sudahkah orang Indonesia mulai mengkaya-kan dirinya dengan beragam sifat dermawan antar sesama?

** Sejak kuliah saya sudah aktif bergerak di bidang sosial. Hingga selesai S1 pun saya memilih kerja di jalur nirlaba. Hanya satu pikiran saya, mungkin hanya dengan ini tenaga yang bisa saya upayakan untuk umat, mengingat materil yang saya miliki pun masih membuat saya tertahan untuk sekadar bernafas lapang.

Kunjungan ke sekolah pun kerap saya lakukan untuk melihat kondisi mereka. Salah satu kunjungan yang saya sering lakukan adalah di Labuhan Batu-Sumatera Utara, tanah kelahiran saya (kebetulan saya kerja di Jakarta). Sebuah kabupaten yang kaya akan produksi sawit namun masih banyak juga sekolah yang termarjinalkan. Padahal kabupaten tersebut terkenal dengan istilah Petro Dollar.

Sebut saja sekolah El-Firdaus Torgamba, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Untuk menuju kesana hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari Kota Bagan Batu, Sumatera Utara. Sekolah ini modelnya pesantren. Terdiri dari jenjang Tsanawiyah dan Aliyah. Kegiatan kelasnya hanya menggunakan metoda kelas kecil, yang jumlah siswanya kurang lebih 12 murid.

Bisa ditebak, bagaimana kondisi sekolahan tersebut. Tak heranlah sarana dan prasarananya pun hanya bersifat seadanya. Sudah beruntung masih dimanfaatkan, walaupun masih sangat jauh dari standar layak pakai.

Sekolah ini pun memiliki asrama yang ukurannya hanya 3x4 meter persegi dan harus ditempati 4 orang pula. Jendelanya tak bertutup kaca. Namun hanya dittutup sebatas triplek atau karton karena sudah rusak.

Bisa ditebak, sekolah ini jelas sekali butuh uluran tangan untuk memenuhi peralatan dan bahan penunjang bahan pembelajaran. Yayasan jelas sudah terbatuk-batuk untuk melengkapi sekolah tersebut. Namun sungguh apresiasi tinggi layak diberikan. Walaupun begitu, sekolah ini tak mau

kelihatan lemah. Tuhan memang cukup adil setidaknya. Dengan keterbatasan siswa El-Firdaus setidaknya bisa dibanggakan dengan pengetahuan mereka di bidang Biologi, yang pernah membuat kemenangan di sebuah olimpiade sub-rayon. Ya.. memang masih sebatas sub-rayob. Namun dengan keterbatasan, mereka sudah cukup baik bukan?

Sebagai putra daerah asal Sumatera Utara, saya ingin sekali tergerak untuk membantu mereka secara utuh dalam perlengkapan belajar. Tidak hanya sendiri, namun beramai-ramai merangkul tangan. Selama ini banyak instansi yang membantu baik itu dana dan fasilitas kepada perguruan tinggi. Pertanyaannya kenapa harus perguruan tinggi saja?

** Tuntutan pendidikan yang kian tinggi, juga menuntut akselerasi pendidikan. Seperti halnya himbauan Kemdikbud RI agar guru efektif memanfaatkan TIK dalam pembelajaran. Duh gusti, melihat perlengkapannya saja saya optimis himbauan tersebut mampu mereka terapkan. Sayang di sayang. Padahal daerah Labuhan Batu dan sekitarnya cukup banyak orang berpotensi.

Banyaknya pengusaha sawit, bahkan perusahaan swasta yang sudah diambil alih Indonesia dari Jepang yang ada di Batu Bara pun juga berada di lingkungan mereka. Kenapa tidak ada sedikit pun orang dermawan yang melirik ke mereka? Apa segitu susah mencari orang dermawan? Apa ketika adanya suatu kepentingan saja orang dermawan banyak berhadiran? Dermawan dadakan alat politikus? Entahla!

Tak hanya El-Firdaus yang membutuhkan urungan tangan. Masih ada beberapa sekolah yang bernasib sama, sebut saja SMK Buna Widya Aek Nabara. Sekolah tertua di Labuhan Batu, namun amat disayangkan pengelolaannya cukup tertinggal. Ini masih di Sumatera Utara, belum se-Indonesia.

Você também pode gostar