Você está na página 1de 27

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Reseksi kelenjar prostat (TURP) dilakukan transuretra dengan

mempergunakan cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh ke dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Selain itu, penyulit saat operasi meliputi perdarahan, sindroma TURP, dan perforasi. Penyulit pasca bedah dini meliputi perdarahan dan infeksi lokal atau sistemik. Penyulit pasca bedah lanjut meliputi inkontinensia urin, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura uretra.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Teknik Anestesi Pada TURP Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik anestesi pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom TUR atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan menggunakan anestesi regional dan anestesi umum. Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan dengan anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan dengan kontrol nyeri dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri postoperatif. Bowman dkk menemukan bahwa hanya 15 % dari pasien yang mendapatkan anestesi spinal pada TURP membutuhkan pengobatan nyeri selain daripada acetaminophen tetapi kebutuhan analgesik meningkat empat kali lipat setelah anestesi umum. Studi prospektif yang membandingkan efek dari anestesi umum versus anestesi spinal pada fungsi kognitif setelah TURP ditemukan penurunan yang signifikan pada status mental pada kedua kelompok pada 6 jam setelah pembedahan, tetapi tidak memiliki perbedaan pada fungsi mental postoperatif pada kapan saja pada 30 hari pertama setelah pembedahan. Ghoneim dkk juga menemukan tipe anestesi (regional versus umum) tidak mempengaruhi keadaan pasien yang mengalami prostatektomi, histerektomi, atau penggantian sendi. Morbiditas dan mortalitas pada pasien yang berusia lebih dari 90 tahun yang mengalami TURP tidak bergantung dari tipe anestesi yang digunakan. Sebuah studi dari kejadian iskemik miokardial perioperatif pada pasien yang mengalami pembedahan transuretral, ditentukan bahwa kedua insidens dan durasi dari iskemik miokardial meningkat mengikuti pembedahan TUR tetapi tidak memiliki perbedaan antara anestesi umum atau anestesi spinal. Studi kedua membuktikan bahwa penemuan-penemuan ini dan disimpulkan bahwa adanya 2

durasi yang singkat atas iskemik miokardial tidak berhubungan dengan efek samping pada pasien berusia lanjut yang mengalami prosedur TURP. Bila anestesi regional digunakan pada prosedur, tingkat dermatom anestesi T10 dibutuhkan untuk memblok nyeri dari saluran kemih dengan irigasi cairan. Bagaimanapun, tingkat S3 dilaporkan adekuat pada 25 % pasien jika saluran kemih tidak diijinkan untuk terisi penuh. Anestesi spinal merupakan pilihan utama jika dibandingkan anestesi epidural karena tulang-tulang sakral tidak terblok sepenuhnya dengan teknik epidural. Anestesi lokal juga digunakan sebagai prosedural TURP pada pasien dengan kelenjar prostat stadium ringan hingga sedang. Teknik anestesi ini melibatkan infiltrasi dari 1-3 ml enceran anestesi lokal (0.25% bupivacaine, 1% lidocaine) ke dalam kandung kemih dan lobus lateral dari prostat untuk memblok pleksus saraf hipogastrik inferior kemudian dengan injeksi anestesi lokal transuretral ke dalam glandula di sekitar uretra prostatikus. Dengan tipe anestesi ini, dokter bedah dapat memindahkan sejumlah kecil dari jaringan prostat dengan ketidaknyamanan pasien yang seminimal mungkin. Meskipun penulis melaporkan bahwa teknik ini sulit dilaksanakan dalam skala besar, mereka meyakini bahwa teknik ini dapat berguna pada pasien dengan resiko tinggi yang tidak dapat ditoleransi dengan anestesi umum maupun spinal.

II.2. Transurethral Resection of The Prostate Syndrome II.2.1. Definisi Transurethral Resection Syndrome merupakan suatu bentuk intoksikasi air iatrogenik, suatu kombinasi kelebihan cairan dan hiponatremia yang terlihat pada berbagai prosedur bedah endoskopik, walaupun secara klasik terlihat setelah prosedur Transurethral Resection of The Prostate (TURP). TURP sering membuka jaringan pleksus venosus di dalam prostat dan menyebabkan absorpsi sistemik cairan irigasi. (Morgan et al., 2005). TURP syndrome terjadi ketika cairan irigasi diserap dalam jumlah yang cukup (2 L atau lebih) untuk menimbulkan manifestasi sistemik.

TURP syndrome dilaporkan juga terjadi setelah transurethral resection of bladder tumor, sitoskopi diagnostik, percutaneus nephrolithotomy, artroskopi, dan prosedur ginekologik yang menggunakan irigasi.( Hawary A, et all, 2009)

II.2.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko Insiden TURP syndrome terjadi antara 0,5-8% dengan tingkat mortalitas 0,2-0,8%. Pada satu penelitian menunjukkan morbiditas dan mortalitas pasien yang menjalani TURP tidak berhubungan dengan lama operasi, kecuali ketika operasi berlangung lebih dari 150 menit.( Yao FS, 2008) TURP syndrome lebih sering terjadi jika ukuran kelenjar prostat besar, terjadi kerusakan kapsul prostat selama pembedahan, dan tekanan hidrostatik tinggi dari cairan irigasi. Kelenjar prostat yang besar kaya akan jaringan vena sehingga memungkinkan absorpsi cairan irigasi intravaskular. Kerusakan kapsul prostat selama pembedahan memungkinkan masuknya cairan irigasi ke dalam ruang periprostatik dan retroperitoneal. Tekanan hidrostatik cairan irigasi merupakan penentu yang penting dalam kecepatan absorpsi cairan irigasi.( Yao FS, 2008)

II.2.3. Patofisiologi TURP syndrome memiliki karakteristik berupa pergeseran volume intravaskular dan efek osmolaritas (plasma-solute).( Yao FS, 2008) Kelebihan Cairan Pada setiap prosedur TURP hampir selalu terjadi penyerapan cairan irigasi ke dalam aliran darah melalui sinus vena prostatik yang terbuka dan terakumulasi dalam ruang periprostatik dan retroperitoneal. Jumlah cairan irigasi yang diabsorpsi tergantung dari tinggi wadah cairan irigasi yang menentukan besar tekanan hidrostatik dan durasi pembedahan.(Miller RD, 2010). Sebagian besar reseksi berlangsung selama 45-60 menit, dan rata-rata 20 ml/menit cairan diabsorpsi. (Morgan et al., 2005) Uptake 1 L irigan ke dalam sirkulasi dalam satu jam menyebabkan penurunan akut konsentrasi natrium serum 5-8

mmol/L.(Hawary A, et al, 2009)

Baik hipertensi maupun hipotensi dapat terjadi pada TURP syndrome; hipertensi dan refleks takikardia terjadi karena ekspansi volume yang cepat hingga mencapai 200 ml/menit. Pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk dapat mengalami edema pulmoner akibat kelebihan sirkulasi akut. .(Hawary A, et al, 2009). Absorpsi cairan manitol menyebabkan ekspansi volume intravaskular dan memperberat kelebihan cairan. (Morgan et al., 2005). Hipertensi transien, yang dapat tidak terjadi jika terjadi perdarahan hebat, diikuti dengan periode hipotensi yang panjang. Hiponatremia dengan hipertensi menyebabkan perubahan tekanan osmotik dan hidrostatik yang mengakibatkan perpindahan cairan dari intravaskular ke dalam interstisial pulmoner sehingga menimbulkan edema pulmoner dan syok hipovolemik. Pelepasan endotoksin ke dalam sirkulasi dan asidosis metabolik juga dapat menyebabkan hipotensi. .(Hawary A, et al, 2009)

Hiponatremia Penurunan konsentrasi natrium serum hingga <120 mmol/L menandakan TURP syndrome yang berat. Penurunan konsentrasi natrium ini menyebabkan gradien osmotik antara cairan intraselular dan ekstraselular di dalam otak, yang mengakibatkan perpindahan cairan dari intravaskular yang menimbulkan edema otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan gejala neurologik. .(Hawary A, et al, 2009). Konsentrasi natrium ekstraselular harus berada pada batas fisiologis untuk depolarisasi sel dan produksi potensial aksi. Gejala sistem saraf pusat meliputi iritabilitas, konfusi dan nyeri kepala merupakan tanda awal terjadinya hiponatremia. Hiponatremia lebih lanjut (Na 102 mEq/L) dan menurunya osmolalitas serum dapat menyebabkan terjadinya kejang dan koma. Hiponatremia berat dapat menimbulkan efek kardiovaskular berupa inotropik negatif, hipotensi, dan disritmia. Pada kadar natrium < 115 mEq/L, dapat terjadi perubahan elektrokardiografi berupa pelebaran QRS dan elevasi segmen ST.(Miller RD, 2010)

Hipo-osmolalitas Penyebab kerusakan sistem saraf pusat tidak berasal dari hiponatremia saja, tetapi juga hipo-osmolalitas akut. Otak memiliki respon terhadap stres hipoosmotik berupa penurunan natrium, kalium, dan klorida intraselular. .(Hawary A, et al, 2009). Penurunan natrium, kalium, dan klorida intraselular menyebabkan penurunan osmolalitas intraselular dan mencegah pembengkakan. Edema otak merupakan suatu komplikasi berat, dan perkembangan herniasi serebral dalam beberapa jam postoperasi adalah penyebab kematian utama dari absorpsi air. .(Hawary A, et al, 2009).

Hiperglisinemia dan Hiperamonemia Glisin masuk ke dalam intravaskular dan dimetabolisme oleh ginjal dan portal bed melalui deaminasi oksidatif. Otak juga mengandung sistem enzim pemecah glisin yang memecah glisin menjadi karbon dioksida dan amonia. Peningkatan level amonia serum selama endoskopi terjadi sekunder akibat penyerapan glisin di mana hiperamonemia tidak terjadi pada pasien yang menjalani reseksi retropubik tanpa glisin. .(Hawary A, et al, 2009). Penggunaan cairan irigasi sorbitol atau dekstros dalam jumlah besar juga dapat menimbulkan hiperglisinemia.5 Hiperglisinemia dapat menjadi penyebab TURP ensefalopati melalui aktivitas positif pada reseptor N-methyl-D-aspartic acid.(Bhakta P, et al,2007). Hiperglisinemia juga berkontribusi terhadap timbulnya depresi kardiovaskular dan toksisitas sistem saraf pusat.(Hawary A, et al,2009). Keracunan amonia berhubungan dengan lambatnya peningkatan kesadaran dan beberapa gejala sistem saraf pusat lainnya.(MIlerr RD, 2010)

Gambar 1. Patofisiologi TURP syndrome

II.2.4. Manifestasi Klinis TURP syndrome bersifat multifaktorial, diawali dengan absorpsi cairan irigasi yang menyebabkan perubahan kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan metabolik. Gambaran klinis bervariasi sesuai dengan tingkat keparahannya dan dipengaruhi tipe irigan yang digunakanan, faktor pasien, dan faktor

pembedahan.(Hawary A, et al,2009). Manifestasi klinis ini terutama diakibatkan oleh kelebihan cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan toksisitas zat yang terkandung dalam cairan irigasi. (Morgan et al., 2005). TURP syndrome dapat terlihat 15 menit setelah reseksi dimulai hingga 24 jam postoperasi. .(Hawary A, et al,2009). Tanda yang paling awal muncul adalah rasa menusuk dan sensasi terbakar pada daerah wajah dan leher disertai letargi, pasien gelisah dan mengeluh sakit kepala. Tanda yang selalu muncul adalah bradikardia dan hipotensi arterial. Distensi abdomen sekunder terhadap absorpsi cairan irigasi melalui perforasi kapsul prostatik juga dapat terjadi. .(Hawary A, et al,2009). Pada periode postoperasi selanjutnya, dapat terjadi mual dan muntah, gangguan penglihatan, kedutan dan kejang fokal atau umum, serta perubahan kesadaran dari konfusi ringan hingga koma. Penyebab gangguan sistem saraf

pusat ini berhubungan dengan hiponatremia, hiperglisinemia, dan atau hiperamonemia. Hiponatremia dapat terjadi ketika menggunakan semua jenis cairan irigasi, tetapi hiperglisinemia dan hiperamonemia terjadi ketika menggunakan glisin sebagai cairan irigasi. .(Hawary A, et al,2009). Gangguan visual sering dilaporkan sebagai komplikasi TURP syndrome, tetapi gangguan ini hanya muncul jika terjadi kombinasi penggunaan glisin dan hiponatremia berat. Gejala visual ini bervariasi dari penglihatan redup hingga kebutaan sementara yang berlangsung selama beberapa jam. Pupil mengalami dilatasi dan tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya. .(Hawary A, et al,2009). Kebutaan akibat TURP disebabkan karena efek toksik dari glisin terhadap retina. Tingkat keparahan kebutaan akibat TURP secara langsung berhubungan dengan jumlah glisin dalam darah. Penglihatan secara gradual meningkat seiring dengan penurunan glisin darah.(Yao FS, 2008)

Tabel 1. Tanda dan Gejala Transurethral Resection of The Prostate Kardiovaskular dan respiratori Hipertensi Bradiaritmia/takiaritmia Gagal jantung kongestif Edema pulmoner dan hipoksemia Infark miokard Hipotensi Syok Sistem saraf pusat Mual/muntah Agitasi/konfusi Kejang Letargi/paralisis Kebutaan Pupil non-reaktif/dilatasi Koma Hematologik dan Renal Hiponatremia Hiperglisinemia Hiperamonemia Hipoosmolalitas Hemolisis/anemia Gagal ginjal akut

II.2.5. Tatalaksana TURP syndrome Terapi yang direkomendasikan jika terjadi gejala TURP syndrome: (Yao FS, 2008) Terminasi segera operasi. Berikan furosemid, 20 mg IV. Berikan oksigen melalui nasal kanul atau face mask.

Jika terjadi edema pulmoner, dapat dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi tekanan positif dengan oksigen.

Periksa darah untuk analisa gas darah dan natrium serum. Jika natrium serium rendah dan tanda klinis hiponatremia terlihat, berikan saline hipertonik (3-5%) IV. Kecepatan pemberian saline hipertonik sebaiknya tidak melebihi 100 ml/jam. Pada sebagian besar kasus dibutuhkan tidak lebih dari 300 ml untuk mengkoreksi hiponatremia. Pemberian saline hipertonik dapat mengurangi edema serebral, dan

mengekspansi

volume

plasma,

mengurangi

edema

selular,

meningkatkan ekskresi urinari tanpa meningkatkan total ekskresi zat terlarut. .(Hawary A, et al,2009). Jika terjadi kejang, dapat diberikan agen antikonvulsan jangka pendek seperti diazepam 5-20 mg atau midazolam 2-10 mg IV. Jika kejang tidak berhenti, dapat ditambah barbiturat atau fenitoin 10-20 mg/kg IV. Relaksan otot dapat diberikan juga. Jika terjadi edema pulmoner atau hipotensi, perlu dilakukan monitoring hemodinamik invasif. Jika terjadi kehilangan darah signifikan, dapat diberikan packed red blood cell.

Sebagian besar pasien yang menjalani prosedur TURP adalah orang dengan usia tua. Fungsi kapasitas organ berkurang sesuai dengan usia, menyebabkan penurunan cadangan dan kemampuan kompensasi. Penyakit penyerta menekan fungsi organ dan meningkatkan resiko. .(Hawary A, et al,2009). Kemampuan ginjal dalam mengatur keseimbangan natrium dan air juga terganggu pada orang dengan usia tua menyebabkan aktivitas renin plasma menurun, jumlah aldosteron darah dan urinari menurun, dan menurunnya respon terhadap hormon antidiuretik. Oleh karena itu, dengan adanya penyakit jantung atau ginjal, pemberian cairan harus diberikan secara hati-hati pada orang tua yang menjalani operasi endoskopik untuk mengurangi resiko dan mencegah eksaserbasi TUR syndrome. .(Hawary A, et al,2009).

Pasien dengan gejala ringan seperti mual, muntah, dan agitasi dengan hemodinamik stabil dimonitor hingga gejala hilang. Terapi suportif seperti antiemetik dapat diberikan. Bradikardia dan hipotensi dapat diatasi dengan atropin, obat adrenergik dan kalsium. Ekspansi volume plasma dapat diperlukan karena hipotensi dan cardiac output yang rendah dapat terjadi ketika irigasi dihentikan. Waktu paruh glisin sekitar 85 menit, sehingga gangguan visual biasanya hilang spontan dalam 24 jam dan tidak membutuhkan intervensi. .(Hawary A, et al,2009).

II.2.6. Prevensi (Hawary A, et al,2009). a. Posisi pasien Menurunkan tekanan hidrostatik dalam vesika urinaria dan tekanan vena prostatik dapat menurunkan volume cairan irigasi yang diabsorpsi ke dalam sirkulasi. Pada posisi Trendelenburg (200), tekanan intravesikal yang diperlukan untuk memulai absorpsi 0,25 kPa meningkat menjadi 1,25 kPa pada posisi horizontal. Dengan demikian resiko TURP syndrome meningkat dengan posisi Trendelenburg.

b. Durasi operasi Walaupun absorpsi cairan dalam jumlah besar dapat terjadi dalam 15 menit sejak dimulai operasi, telah direkomendasikan durasi operasi kurang dari 60 menit. Pada penelitian retrospektif Mebust and colleagues terhadap 3885 pasien yang menjalani TURP, ditemukan bahwa insiden

perkembangan TURP syndrome sebesar 2% pada grup dengan waktu reseksi lebih dari 90 menit, sementara insiden TURP syndrome hanya 0,7% pada grup dengan waktu reseksi kurang dari 90 menit.

c. Tinggi wadah cairan Tinggi optimum dan aman dari cairan irigasi selama TURP merupakan suatu hal yang masih kontroversial. Madsen dan Naber menjelaskan

10

bahwa tekanan di fossa prostatik dan jumlah cairan irigasi yang diabsorpsi tergantung dari tinggi cairan irigasi di atas pasien dan disarankan bahwa tinggi optimum sebaiknya 60 cm di atas pasien. Mereka menunjukkan adanya peningkatan dua kali lipat dari absorpsi cairan ketika tinggi irigan meningkat 10 cm.

11

BAB III LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Usia Berat Badan Tinggi Badan Agama Alamat No. RM : Tn. M.K : Laki-laki : 71 tahun : 80 kg : 172 cm : Islam : Jakarta Timur : 357606

B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan tanggal 29 September 2013, pukul 16.30. Informasi diberikan oleh pasien dan istrinya. a. Keluhan utama : Sulit buang air kecil :

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poli bedah urologi RSUP dengan keluhan sulit BAK sejak 1 tahun yang lalu, makin memberat terutama dalam 10 hari terakhir. Pasien sering mengeluh tidak tuntas saat buang air kecil, terkadang pasien juga mengeluh nyeri di perut bawah sampai daerah kemaluan. BAK lebih sering dari biasa, BAK sering mengedan, pada akhir BAK menetes. BAK tidak berdarah. c. Riwayat penyakit dahulu 1) Riwayat operasi disangkal 2) Riwayat asma disangkal 3) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal 4) Riwayat penyakit jantung disangkal :

12

5) Riwayat penyakit hipertensi disangkal 6) Riwayat penyakit ginjal disangkal 7) Riwayat penyakit DM disangkal 8) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal d. Riwayat penyakit keluarga: Riwayat asma, alergi, penyakit jantung, ginjal, paru-paru, DM, hipertensi, dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK Dilakukan pada 29 September 2013 GCS Vital Sign : E4V5M6 = 15 : Tekanan darah Nadi Suhu Pernafasan Status Generalis a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat. b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi merata dan tidak mudah dicabut. c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik d. Pemeriksaan Leher 1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas 2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe. : 150/80 mmHg : 82 x/menit : 36,8C : 18 x/menit

13

i.

Pemeriksaan Thorax 1) Jantung a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra b) c) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat Perkusi : i. Batas atas kiri ii. Batas atas kanan iii. Batas bawah kiri iv. Batas bawah kanan d) : : : : SIC II LPS sinsitra SIC II LPS dextra SIC V LMC sinistra SIC IV LPS dextra

Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

2) Paru a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak. b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak terdapat ketertinggalan gerak. c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak terdengar suara wheezing j. Pemeriksaan Abdomen a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa b) Auskultasi c) Perkusi d) Palpasi : : : Terdengar suara bising usus Timpani Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak teraba. k. Pemeriksaan Ekstremitas : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis Turgor kulit cukup, akral hangat

14

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW CT BT PT APTT Kimia Klinik SGOT SGPT Ureum Creatinin GDS Natrium Kalium Klorida 20 17 31 0,9 135 143,0 4.30 106.0 0 ~37 U/L 0 ~ 40 U/L 20-40 mg/dL 0,8-1,5 mg/dL 200 mg/dL 135~145 mmol/L 3.5~5.5 mmol/L 98~109 mmol/L 13.7 9.410 43 4,83x106 262000 89.2 28.4 31.9 11.78 7 3 11.9 34.2 13,0-18,0 g/dL 5000-10000/L 40-52% 4,5-6,5x106/ 150000-440000/L 70-100 fl 26-34 pg 32-36% 11,5-14,5 % < 11 menit < 6 menit 10~14 detik 28~40 detik 29-09-2013 Nilai normal

15

Pemeriksaan foto thorax Pulmo dan besar Cor nomal

E. KESAN ANESTESI Laki-laki 71 tahun menderita BPH dengan ASA II

F. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan yaitu : a. IVFD RL 20 tpm b. Pro TURP c. Informed Consent Operasi d. Konsul ke Bagian Anestesi e. Informed Conset Pembiusan Dilakukan operasi dengan spinal anestesi dgn status ASA II

G. KESIMPULAN ACC ASA II

H. LAPORAN ANESTESI 1. Diagnosis Pra Bedah BPH 2. Diagnosis Pasca Bedah BPH 3. Penatalaksanaan Preoperasi a 4. Infus RL 500 cc

Penatalaksanaan Anestesi a. b. c. Jenis Pembedahan Jenis Anestesi Teknik Anestesi : TURP : Regional Anestesi : Spinal Anestesi

16

d. e. f.

Mulai Anestesi Mulai Operasi Anestesi dengan

: 30 September 2013, pukul 09.50 WIB : 30 September 2013, pukul 10. 10 WIB : Bupivacain (Decain) Spinal 0.5% Heavy 12,5 mg dan Fentanyl 25 mcg

h. i. j. k. l.

Medikasi tambahan Maintanance Relaksasi Respirasi Posisi

: Ondansentron 30 mg, Ketorolac 30 mg : O2 :: Spontan : Litotomi

.n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR Terlampir n . Selesai operasi o. p. Perdarahan Lama pembedahan : 10.30 WIB : 50 cc : 20 menit

Pasien penderita BPH yang akan dilaksanakan operasi TURP pada tanggal 30 September 2013. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 29 September 2013. Dari anamnesis terdapat keluhan sulit buang air kecil yang dirasakan sejak 1 tahun dan bertambah berat sejak 10 hari yang lalu. Pemeriksaan fisik dari tanda vital, tekanan darah 155/71 mmHg; nadi 71x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 29 September 2013 dengan hasil: HB 13,7 g/dl; ureum 31 mg/dl; kreatinin 0,9 mg/dl; SGOT 20 U/L; SGPT 17 U/L; GDS 135 mg/dL. Pada pemeriksaan foto thorax, pulmo dan besar cor normal. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II, pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang. Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2cc/kgBB/jam, kebutuhan perjam dari penderita 120cc/jam. Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8jam. Tujuan puasa untuk mencegah

terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang

17

diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6xmaintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6jam ini adalah 720cc/6jam. Operasi TURP dilakukan pada tanggal 30 September 2013. Pasien dikirim dari bangsal mawar ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK IV pada pukul 09.45 dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 155/71mmHg; Nadi 71x/menit, dan SpO2 99%. Dilakukan injeksi ondancentron 4 mg. Pemberian ondancentron sebagai premedikasi bertujuan untuk mengurangi efek mual dan muntah akibat dari anestesi spinal yang diberikan. Pada pukul 09.50 WIB, mulai dilakukan anestesi, dengan teknik anestesi regional pada spinal. Dimasukkan obat anestesi spinal yaitu bucain spinal 15mg. dari pantauan monitor TD 150/70 mmHg; Nadi 71x/menit; SpO2 99%. Pasien merasa kedua kaki mulai rasa kebas dan beberapa menit kemudian kedua kaki tidak dapat digerakkan. Ini merupakan tanda bahwa obat anestesi sudah mulai menunjukkan efeknya. Pada pukul 10.10 WIB, mulai dilakukan tindakan operasi TURP. Pada pantauan monitor didapat kan TD 155/72mmHg; Nadi 68x/menit; SpO2 99%. Selama dilakukan operasi TURP pantauan tekanan darah, nadi dan SpO2 tampak stabil. Pada pukul 10.25 WIB, sebelum selesai pembedahan pemberian analgetik dilakukan. Pemeberian injeksi ketorolac 30mg diindikasikan untuk

penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Pada pukul 10.30 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 150/75mmHg; Nadi 70x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 20 menit dengan perdarahan 50cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 150/70 mmHg.

18

BAB IV PEMBAHASAN

1. Preoperatif Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus ini adalah ASA II yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang. Sesuai dengan pasien yang dikelola. Penderita didiagnosis oleh bedah urologi adalah Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Pada pemeriksaan fisik tidak tampak adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto thorax tak tampak kelainan pada pulmo dan besar cor. Dari hasil yang didapat disiimpukan bahwa pasien masuk dalam kriteria ASA II dan akan dilakukan operasi TURP. Selanjutnya ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan yaitu regional anestesi. Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi : a. Informed consent Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien, tindakan-tindakan dilakukannya tindakan tersebut, yang akan dilakukan, alasan resiko dilakukannya tindakan,

komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien. Tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat dipertimbangkan dengan baik. b. Puasa Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi 19

akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien dewasa umumnya dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam (Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat

dipuasakan selama 6 jam. Pasien telah diminta berpuasa sejak pukul 00.00 WIB. c. Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum baik sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan laboratorium pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, waktu perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero imunologi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada

tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan. Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida. Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. (Kee, 2008). Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang dominan berada di petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145 mEq/L. Keadaan hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal sangat efisien dalam mengeksresikan Na. Hipo dan hiperkalemia merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia jantung dan perlu segera dikoreksi (Mangku, 2010).

20

2. Teknik Anestesi Pada TURP Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik anestesi pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom TUR atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan menggunakan anestesi regional dan anestesi umum. Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan dengan anestesi umum, pada pasien nyeri yang mengalami dan penurunan TURP

dihubungkan

dengan

kontrol

kebutuhan

penyembuhan nyeri postoperatif. Pada pasien ini dipilih teknik anestesi dengan menggunakan regional anestesi, yaitu dengan anestesi spinal. Pemilihan anestesi ini berdasarkan dari pertimbangan keadaan pasien sendiri. Pasien

murupakan, pasien geriatric. Pemilihan teknik anestesi spinal sesuai dengan inidikasi dari teknik spinal. Selain itu teknik anestesi spinal sudah lama dilakukan untuk mengetahui lebih awal terhadap komplikasi dari TURP, yaitu sindrom TURP.

3. Durante Operasi Pada pasien ini dilakukan pembiusan menggunakan teknik anestesi spinal dengan bucain spinal (Bupivakain HCl) sebanyak 15 mg. Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan menginhibisi perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anastesi berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena dengan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut: (1) otonomik (2) nyeri (3) suhu (4) raba (5) propiosepsi dan (6) tonus otot skeletal. Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab

21

mual muntah pada anestesi spinal antara lain adalah penurunan tekanan darah/hipotensi, hipoksia, kecemasan atau faktor psikologis, peningkatan aktivitas parasimpatis dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol simpatetik gastrointestinal. Dosis dewasa intravena yang

direkomendasikan untuk ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi. Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis 4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 8 jam. Ketika tensi turun pertama kali pasien diberikan terapi cairan loading fima hes dan ephedrine 10 mg . Ephedrine merupakan simpatomimetika atau adrenergika, mekanisme kerjanya langsung terhadap reseptor-reseptor di otot polos dan jantung yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan curah jantung. Cairan fima hes diberikan untuk meningkatkan jumlah cairan intravaskuler. Kerja keduanya mampu meningkatkan tekanan darah. Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 500 ml untuk mengganti defisit cairan puasa sebelum pembedahan dan kehilangan cairan selama pembedahan. Terapi cairan durante operasi dijabarkan sebagai berikut : Usia Berat badan Terapi Cairan Maintenance Pengganti Puasa (PP) : 71 tahun : 80 kg : = = = = Stress Operasi = 120 cc 6 x maintenance 6 x 120 720 6cc/kgBB (Sedang) = = 6cc x 80 480cc

22

Jam I

= = =

PP + M + SO 360 + 120 + 480 960 cc = 65 x BB = 65 x 80 kg = 5200cc

Estimated Blood Volume

Allowed Blood Loss

= 20% x EBV = 20% x 5200 = 1040cc

Sebelum akhir pembedahan pasien diberikan ketorolac 30 mg iv, diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti inflamasi non steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6 jam sehingga digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan intravena bukan sebagai anti infalamasi. Obat ini mempunyai efektiftas analgesik yang nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan morfin pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan diberikan secara intramuskular dan intravena, tetapi terdapat juga dalam bentuk obat oral 4. Post operatif Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 150/70 mmHg.

23

BAB V KESIMPULAN
1. Pada kasus ini, pasien Tn. M.K dengan diagnosis BPH, dilakukan tindakan TURP. 2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi spinal menggunakan bucain spinal 15mg. Sebagai premedikasi diberikan ondansentron 4 mg sebagai anti muntah. Ketrolorac 30mg diberikan beberapa menit sebelum pembedahan selesai untuk memberikan efek analgetik. 3. 4. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 500 ml Laporan anestesi Pembedahan dilakukan pada 30 September 2013, pukul 10.10 Waktu 09.45 WIB Hasil Pantauan TD 155/75 mmHg HR 71x/m SpO2 99% TD 150/70 mmHg HR 71x/m SpO2 99% TD 155/72 mmHg HR 68x/m SpO2 99% TD 149/75 mmHg HR 70x/m SpO2 99% TD 150/75 mmHg HR 70x/m SpO2 99% Tindakan Pasien masuk ke ruang OK 5 dan dilakukan pemasangan NIBP dan saturasi O2. Infus RL pada tangan kiri. Dimasukkan kliran 8 mg iv Dimulai anestesi dengan RA (spinal) dengan bucain spinal 15 mg Dimulai pembedahan

09.50 WIB

10.10 WIB

10.25 WIB

Dimasukkan ketorolac 30 mg

10.30 WIB

Selesai pembedahan

5.

Lama operasi pada pasien ini adalah 20 menit dengan perdarahan 50 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di 24

ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis.

25

DAFTAR PUSTAKA

Barba M, Leyh H, dan Hartung. New technology in transurethral resection of the prostate. Curr Opin Urol 10:9-14, 2007. Besimon H ; Surgery of the Prostat, in Urologic Surgery, Mc Graw-Hill, 2007: 260-266. Donovan JL, Peters TJ, Neal DE, Brookes ST, Gujral S, Chacko KN, Wright M, et al. A randomised trial comparing transurethral resection of the prostate, laser therapy and consevative treatment of men with symptoms associated with benign prostatic enlargement: The ClasP study. J Urol 164: 65-70, 2007 Edlin, 2010. Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah Anestesia Spinal dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre. Thesis. Universitas Sumatera Utara Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R., 2001. Anestesiologi. Jakarta: FK UI Monk, Terri.G and B. Craig Weldon. The Renal System And Anesthesia For Urologic Surgery, chapter 36, page 42 in Clinical Anesthesia. Edition 4. Lippincott Williams & Wilkin Publishers. 2008. Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are the relevant differences in randomized controlled trials? Eur Urol 38: 7-17, 2007. Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. Transurethral incision compared with transurethral resection of the prostate for bladder outlet obstruction: a systemic review and meta-analysis of randomised controlled trials. J Urol 165: 1526-1532, 2008 Hawary A, Mukhtar K, et al. Transurethral Resection of The Prostate Syndrome: Almost Gone but Not Forgotten. Journal of Endourology 2009 Desember; 2013-2020.

26

Yao FS, Fontes ML, Malhotra V. Yao & Artusios Anesthesiology: ProblemOriented Patient Management 6th ed. Philadelphia: Lippincott williams & Wilkins, 2008: halaman: 797-821. Miller RD, Eriksson LI, et al. Millers Anesthesia 7th ed. 2010. USA: Elsevier. Bhakta P, Goel A, et al. Propofol for the management of glycine-mediated excitatory symptoms of TURP syndrome. European Journal of Anaesthesiology 25 2007: 424435 Gravenstein D. Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Syndrome: A Review of The Pathophysiology and Management. Anesth Analg 1997 Agustus; 438-446.

27

Você também pode gostar