Você está na página 1de 30

Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal

Wasisto Raharjo Djati


Jurusan Politik dan Pemerintahan, FISIPOL Universitas Gadjah Mada Email: wasisto.raharjo.jati@mail.ugm.ac.id

Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi dinasti politik yang berkembang dalam arena politik lokal. Kemunculan dinasti politik dapat terindikasi dalam beberapa penjelasan. Pertama, kegagalan fungsi partai politik lokal untuk melakukan regenerasi politik. Kedua, biaya demokrasi yang tinggi menghalangi masyarakat untuk berpartisipasi dalam suksesi kekuasaan. Ketiga, perimbangan kekuasaan antar elit lokal tidak tercipta sehingga menghasilkan sentralisasi politik di kalangan elit tertentu yang berkembang menjadi dinasti. Patrimonialisme tidaklah selalu menjadi perspektif utama dalam menganalisis dinasti politik. Tulisan ini menggunakan pendekatan budaya politik familisme dalam menganalisis dinasti politik di aras lokal. Hasil penelitian ini menunjukkan gejala familisme sebagai preferensi politik yang didasari atas penguasa yang mengangkat saudara sebagai upaya menutupi aib kekuasaannya. Familisme sendiri turut dipengaruhi berbagai sumber politik seperti halnya populisme, tribalisme, dan feodalisme yang membedakan karakter dinasti politik di Indonesia. Abstract The article aims to elaborate political dynasty that developed in local politics arena. The emergence of political dynasty is indicated by several points. First of all, the failure of function from local political party to conducts political regeneration. Secondly, high cost democracy which impeding public to participate in public office succession. Third, political power from local elite was uneven, thus resulting power centralization in few strong local elite that transforming dynasty. Patrimonialism is not always becoming main perspective to analyzing political dynasty. There are many alternative political perspectives to analyze this case. This paper used familism political culture to elaborate political dynasty in local politics arena. The result of this research shows political preference from the local leader is considered to choose his family member in governmental succession to cover up his political sins. Familism also influenced from political source such as tribalism, populism, and feudalism that distinguishing local political dynasty in Indonesia. Keywords: familism, political dynasty, tribalism, feudalism, populism

204 |

W asisto R aharjo D jati

Pe N dahulua N

Tulisan ini membahas perkembangan dan pemetaan tipologi dinasti politik dalam ranah politik lokal di Indonesia. Secara harfiah, dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih merupakan kalangan sanak keluarga. Adapun berbagai gejala yang mendasari terbentuknya suatu dinasti dapat dianalisis dari dua hal. Pertama, macetnya kaderisasi partai politik dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas, sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahana. Kedua gejala umum tersebut menimbulkan adanya sikap pro dan kontra dalam pemahaman dinasti politik tersebut. Sikap pro dan kontra kemudian berkembang menjadi perdebatan diskursus dalam revisi RUU Pilkada. Di satu sisi, ada pihak menginginkan pembatasan dinasti politik dengan cara membatasi sanak saudara kepala daerah untuk maju dalam Pemilukada, sementara yang lain mengusulkan dinasti politik tak perlu dilarang, hanya saja sistem kaderisasi partai politik di daerah perlu dibenahi. Adanya sikap pro dan kontra terhadap kemunculan dinasti politik tersebut sangatlah erat kaitannya dengan budaya politik yang berkembang di masyarakat. Budaya politik sendiri berkaitan dengan preferensi kekuasan yang dibangun baik dari segi penerimaan publik maupun pembangunan rezim. Maka pertanyaan yang relevan dalam pembahasan dinasti politik adalah bagaimana karakteristik preferensi budaya politik berkembang dalam pembentukan politik dinasti? Adapun preferensi budaya pemilih erat kaitannya dengan perilaku memilih yakni kecenderungan pemilih untuk memilih berdasarkan sumber informasi yang ditangkap baik itu rasional maupun tradisional. Aksentuasi budaya politik dalam membahas dinasti sebenarnya sudah dilakukan dalam berbagai sudut pandang seperti halnya neopatrimonialisme, klan politik, dan predator politik. Pendekatan neopatrimonialisme sendiri digunakan oleh Haris (2007) dan Zuhro (2010). Menurut perspektif ini, dinasti politik merupakan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 2 05

ekses negatif dari otonomi daerah yang menjadikan demokrasi terbajak (hijacked democracy) oleh sirkulasi hubungan inti genealogis, berdasarkan relasi kekeluargaan maupun di luar garis genealogis yang memiliki kepentingan terhadap pelanggengan kekuasaan famili. Hal itulah yang kemudian memicu kalangan kerabat menjadi elit sebagai kata kunci pemahaman dinasti dalam perspektif ini. Dinasti politik sebagai elit tunggal diartikan hanya satu kelompok elit yang menguasai jalannya politik dan pemerintahan. Dinasti politik dalam tipologi elit ini bentuknya prismatik: dinasti politik bertindak sebagai elit memerintah (governing elite) yang memiliki hubungan patronase dengan berbagai pihak, utamanya tokoh informal yang memiliki pengaruh sosio-politik maupun sosio-kultural dalam masyarakat (nongoverning elite), dan juga masyarakat (non-elite). Adapun patronase tersebut diwujudkan dengan cara mengunci pos-pos penting dalam pemerintahan dan masyarakat oleh orang-orang terdekat. Hal ini dilakukan sebagai upaya meredam demonstrasi masyarakat karena sadar bahwa jumlah elit tunggal ini sebenarnya lebih sedikit sehingga cara itu dilakukan untuk mengefektifkan kekuasaan. Sedangkan makna elit pluralis lebih dinamis dibandingkan dengan elit tunggal yang sangat statis. Elit pluralis diartikan sebagai jejaring antar elit dalam konteks berbagi kekuasaan dalam ekonomi dan politik (Haryanto 2007). Hal ini sekaligus juga sebagai koreksi atas elit tunggal yang jumlahnya kecil sehingga rawan terjadinya pergolakan kemasyarakatan. Monopoli dengan mengunci pos jabatan politik formal dalam pandangan elit pluralis tidaklah tepat dalam menghadapi dinamika masyarakat. Akan lebih baik jika logika elit sendiri dijalankan dalam kerangka oligopoli. Artinya, kontrol atas sumber kekuasaan tetap dijalankan namun juga mengundang aktor lain untuk masuk dalam jejaring elit tersebut. Elit pada dasarnya bersifat jamak dan berganti-ganti pada setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan dan perannya bisa naik turun tergantung situasinya. Artinya, status elit ini bukanlah suatu keajegan yang didapatkan dalam hubungan askriptif, namun bisa melekat kepada siapa saja yang kebetulan mempunyai peran penting (Soelaiman 1998). Pemahaman kedua, dinasti politik sebagai bentuk politik keluarga (political clan) digunakan Kreuzer (2005) dan Cesar (2013). Dinasti politik muncul sebagai ekses dari warisan feodalisme yang masih menancap kuat di masyarakat. Feodalisme yang dimaksudkan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

206 |

W asisto R aharjo D jati

bukan hanya penguasaan sumber daya ekonomi saja, tetapi juga terbentuknya jejaring loyalitas dalam masyarakat dengan melibatkan para tokoh informal. Tokoh informal tersebut pada umumnya memiliki massa besar yang digunakan untuk menopang kekuasaan keluarga. Mutualisme tersebut dibangun atas mekanisme pertukaran kepentingan, yakni tokoh informal mendapatkan aksesibilitas terhadap pembuatan kebijakan publik, sedangkan keluarga bisa mengikat loyalitas pemilih melalui pengaruh tokoh informal. Seperti yang terdapat dalam kasus Filipina Selatan, dinasti politik muncul karena sistem institusionalisasi politik maupun penegakan hukum yang lemah karena kooptasi kekuatan klan politik. Bahkan, dinasti politik di sana sudah berkembang layaknya monarki politik dengan memiliki milisi bersenjata sendiri yang digunakan untuk mengintimidasi warga. Kekuatan negara di aras lokal melemah karena kontrol klan politik yang tersebar baik di jajaran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Maka dalam taraf ini, dinasti politik sudah berkembang seperti negara dalam negara (state qua state) dalam sistem politik yang lemah. Yang ketiga yakni kajian dinasti politik sebagai bentuk praktik politik predator. Pemahaman politik predator sendiri merupakan pengembangan tesis Migdal (1988) mengenai local strongmen maupun Sidel (2005) tentang local bossism. Studi pendekatan ini dilakukan oleh Asako (2010) dan McCoy (1994) yang menganalisis tumbuhnya dinasti politik justru terjadi karena adanya kolusi bisnis-politik di tingkat lokal. Dalam hal ini, jejaring keluarga telah menguasai berbagai proyek pembangunan daerah yang kemudian dibagi-bagikan kepada kroni-kroninya. Dinasti politik berperan sebagai patron dalam menjaga stabilitas kolusi tersebut dengan menempatkan sanak familinya ke dalam jajaran perusahaan maupun pemerintahan. Oleh karena itu, praktik penjarahan ekonomi berlangsung secara terusmenerus karena praktiknya selalu dilakukan oleh jejaring elit keluarga. Perspektif dinasti politik sebagai bentuk kartel local strongmen dan local bossism yang meneliti tentang adanya pengaruh seorang elit yang secara individual membangun hubungan patrimonialistik dalam masyarakat maupun negara. Dalam hal ini, dinasti politik merupakan bentuk kolektif dari patronase elit dalam wujud kolektif yang didasarkan pada hubungan famili, etnisitas, maupun hubungan darah lainnya yang intinya memunculkan monarki dalam demokrasi di aras lokal.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 207

Terhadap ketiga bentuk perspektif varian dari budaya politik tersebut, pada dasarnya penulis setuju dengan desain penjelasan makro tersebut bahwa budaya politik patrimonialisme merupakan akar terbentuknya dinasti. Namun demikian, analisis yang ditampilkan umumnya didominasi tiga pendekatan itu saja sehingga dinasti politik hanya dimaknai sebagai kelanjutan dari pengaruh elit membajak demokrasi. Sebenarnya yang menjadi permasalahan dalam kajian dinasti politik adalah ketidaksesuaian dalam memahami preferensi politik yang memengaruhi terbentuknya dinasti. Budaya politik patrimonialisme sendiri sebenarnya adalah faktor eksternal saja atau bisa dikategorisasikan sebagai perspektif Indonesianis dalam menganalisis dinasti politik yang kemudian berkembang menjadi common ground dalam memahami dinasti. Kita sendiri juga perlu menganalisis faktor internal dalam suatu rezim tersebut seperti konstelasi yang berkembang dalam hubungan kekerabatan penguasa sehingga memutuskan berpolitik dinasti. Thesis statement dalam tulisan ini adalah hubungan keluarga atau familisme menjadi penting dibicarakan terkait dengan bagaimana keluarga inti mempengaruhi penguasa untuk menjalankan kekuasaan dinasti. Hal inilah yang selama ini luput dari perbincangan mengenai dinasti, yaitu konstelasi internal memiliki andil besar sebagai faktor kunci mengamankan kekuasaan. Familisme sendiri merupakan hipotesis atas pengaruh keluarga dalam membentuk nilai, moral, maupun orientasi kekuasaan sehingga terjadi model monarki kekuasaan. Untuk itu, fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah pengaruh familisme yang berkembang menjadi budaya politik sebagai basis suksesi kekuasaan.
M etode Pe N elitia N

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis kepustakaan (library research). Analisis didasarkan pengumpulan data sekunder berbasis kepustakaan yang dihimpun dari berbagai literatur yang mendukung, baik jurnal ilmiah, buku, laporan penelitian, maupun reportase penelitian yang relevan (Zed 2004). Berbagai macam informasi yang dihimpun dari sumber kepustakaan tersebut kemudian diteliti dan dianalisis keterkaitan informasi data antara satu sama lainnya sehingga dapat dirangkai dalam satu makalah utuh. Adapun alasan pemilihan analisis kepustakaan menjadi metode penelitian yaitu untuk meneliti kelemahan atau kekurangan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

208 |

W asisto R aharjo D jati

kajian-kajian terdahulu mengenai dinasti politik untuk kemudian melengkapinya dengan temuan baru dalam penelitian mengenai dinasti politik ini.
Budaya P olitik Familisme

Dalam kajian ilmu sosial dan politik, familisme sebagai budaya politik diartikan sebagai ketergantungan yang terlalu besar pada ikatan keluarga, yang melahirkan kebiasaan menempatkan keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi daripada kewajiban sosial lainnya. Dalam pengertian lainnya, familisme juga dipahami sebagai new social order, yakni dorongan psikologis bagi seseorang untuk dapat berkarir di dalam dua ranah yakni publik sebagai birokrat dan privat sebagai korporat-swasta (Garzon 2002). Pengertian tersebut merujuk pada kasus Eropa pertengahan bahwa individualisme seseorang dalam ekspresi berpolitik tidak akan menjadi kuat jika tidak melibatkan sanak famili di dalamnya. Namun demikian, ekspresi berpolitik bukanlah untuk mengamankan kekuasaan, tetapi lebih mengarah pada artikulasi ide-ide dalam membangun masyarakat. Maka, melalui jejaring familisme, ideide tersebut akan terjaga dan tersampaikan oleh anggota keluarga lainnya yang berkecimpung dalam politik. Oleh karena itu, secara konseptual, preferensi politik famili sebenarnya lebih mengarah pada perilaku menjaga moral daripada mengejar kekuasaan. Adapun orientasi terhadap menjaga kelanggengan kekuasaan tersebut sangatlah erat kaitannya dengan sifat naluri alamiah manusia untuk senantiasa menjaga zona kenyamanan beserta fasilitas kemapanan di dalamnya. Hal itulah yang kemudian mendorong penguasa menjaga kekuasaan tetap terpusat dan tidak berpindah ke pihak lain melalui beragam cara. Konsep familisme di Eropa/Amerika Utara tidak sama seperti yang terjadi dalam kasus negara-negara dunia ketiga. Familisme dimaknai sebagai usaha untuk menyuburkan sikap favoritisme, nepotisme, seksionalisme, maupun regionalisme. Hal tersebut dilandasi adanya semangat bersama untuk menjaga dan mewujudkan kepentingan secara kolektif. Namun demikian, derajat ketergantungan dalam familisme sendiri juga saling berdiferensiasi bergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Artinya, hubungan darah (consanguinity) tidaklah menjadi patokan mendasar bagi seseorang untuk mendorong sanak
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 209

keluarga dalam ranah politik. Terdapat berbagai pertimbangan lainnya seperti tuntutan masyarakat, lingkungan, maupun kondisi tertentu yang kemudian mendorong adanya politik dinasti. Patrimonialisme maupun nepotisme yang kerap menjadi konsep teoritik dalam membahas dinasti politik sebenarnya merupakan salah satu varian dari budaya politik familisme. Dalam hal ini, terdapat tiga varian familisme dalam membincangkan dinasti politik dalam konteks ini. Pertama adalah familisme (familism), yakni dinasti politik yang didasarkan secara murni pada hubungan darah langsung dalam keluarga (consanguinity) dan hubungan perkawinan (marriage) dengan klan lainnya. Bagi keluarga politik yang lebih lemah posisinya akan menguntungkan dengan keluarga politik yang lebih kuat karena akan menjamin eksistensi keluarga politik lemah tersebut (Garzon 2002:4). Di sisi lainnya, keluarga politik mendapatkan jejaring yang lebih besar dengan mampu mengikat keluarga lainnya. Adapun terbentuknya suatu dinasti politik dalam bentuk familisme biasanya didasarkan pada klan untuk menjaga keistimewaan politik yang telah didapat. Loyalitas, kepatuhan, maupun solidaritas keluarga merupakan tiga poin penting familisme memengaruhi corak dinasti politik. Pola tersebut kemudian dihubungkan melalui komando saudara tua hingga saudara muda dalam pemerintahan. Contoh kasus nyata dinasti politik model familisme ini seperti yang terjadi di Filipina, di mana terdapat 105 dinasti politik baik yang berkembang dalam ranah politik lokal maupun nasional (Garzon 2002). Hal yang menarik adalah pengaruh kekerabatan tidak hanya berlangsung pada level legislatif maupun eksekutif, tetapi juga merambah ke arena yudikatif maupun aparat penegakan hukum lainnya. Kedua adalah quasi-familisme. Model ini didasarkan pada sikap afeksi dan solidaritas dari anggota keluarga dalam struktur kekuasaan. Adapun afeksi yang dimaksudkan secara harfiah tidak dimaknai sebagai kasih sayang, namun sebagai bentuk orientasi politik keluarga didasarkan pada regionalisme, lingkungan, maupun tribalisme sama dengan keluarga tersebut (Park 2009:124). Artinya, dimensi dinasti politik ini tidak lagi berada dalam ranah keluarga inti saja, tetapi juga telah bercabang dengan keluarga lainnya yang tidak satu keturunan darah, namun memiliki sistem kekerabatan berbasis artifisial. Oleh karena itu, dalam model quasi-familisme, semua anggota famili berusaha mengidentifikasikan diri melalui simbol-simbol tertentu
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

210 |

W asisto R aharjo D jati

supaya mendapat legitimasi dari keluarga lainnya. Adapun proses identifikasi bisa melalui penggunaan nama keluarga, jalur perkawinan, maupun ritus keluarga lainnya. Maka, dalam quasi familisme sendiri yang digalang adalah proses solidaritas bagi anggotanya baik yang berada dalam ranah formal dan informal. Hal inilah yang menjadikan quasi-familisme berkembang seperti kekuatan politik oligarkis yang mampu memberikan pengaruh di segala lini kehidupan. Ketiga adalah egoisme-familisme. Model dinasti politik ini didasarkan pada pemenuhan aspek fungsionalisme dibanding hanya menuruti garis keturunan maupun ikatan darah. Konteks egoisme ini dapat dipahami dalam dua hal, yakni dari segi kepala daerah dan masyarakat. Egoisme dari kepala daerah pada dasarnya sama dengan konsepsi teori sebelumnya yakni kecenderungan mendahulukan keluarga daripada publik dalam pengisian posisi jabatan publik maupun suksesi pemerintahan (Park 2009:126). Kepala daerah yang digantikan masih memiliki pengaruh terhadap penggantinya baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga menimbulkan penafsiran bahwa terdapat pemerintahan bayangan yang dilakukan kepala daerah demisioner terhadap penggantinya. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengamankan progam-progam kebijakan maupun proses penganggaran yang telah dilakukan. Adapun dari sisi masyarakat, egoisme sendiri ditunjukkan dengan kecenderungan untuk menjaga agar famili tertentu tetap menguasai tampuk kekuasaan. Hal tersebut terjadi karena penguasa berhasil membina dan memperkuat kohesi sosial dengan masyarakat melalui serangkaian progam kebijakan gentong babi (pork barrel politics), meskipun sarat dengan tindak perilaku korupsi karena menyangkut usaha politisasi anggaran. Dengan adanya progam populis tersebut, penguasa dapat menanamkan romantisme dan jejaring politik secara efektif dan efisien kepada masyarakat. Masyarakat menilai bahwa rezim penguasa dinilai berhasil mengeluarkan kebijakan populis maupun budaya permisif yang masih kuat di masyarakat. Jika diringkas, konsepsi budaya politik familisme dapat dijelaskan dalam tabel berikut ini.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 211

Tabel 1. Tipologi Perspektif Budaya Politik Familisme

No. Indikator 1 Dasar Pembentukan Dinasti Politik

Kaderisasi

3.

Sifat Dinasti Politik

Quasi-Familisme Hubungan afeksi, solidaritas, kepercayaan, dan soliditas dalam keluarga besar maupun kroninya Anggota keluarga Sanak kerabat inti dan kroni maupun keluarga lain melalui jalur pernikahan yang seketurunan (hereditary) Tertutup Semi tertutup

Familisme Hubungan darah langsung (consanguinity)

Ego-Familisme Dorongan publik dan faktor emosional dan pertimbangan politik fungsional Keluarga inti

Tertutup

Sumber: Asako (2010), Park (2009), dan Garzon (2002)

Perkemba N G a N Di N asti P olitik dalam R a N ah P olitik M oder N

Fenomena dinasti politik dalam ranah lokal muncul seiring dengan diberlakukannya Pemilukada langsung pertama kali di Indonesia pada tahun 2005 maupun implementasi otonomi daerah tahun 2001. Seiring dengan berjalannya kedua proses tersebut sebagai wujud demokratisasi di aras lokal, berbagai elit bermunculan di daerah untuk mengkooptasi kedua proses tersebut. Kemunculan para elit dalam demokrasi lokal tersebut lazim dikenal dalam istilah reorganisasi kekuasaan. Reorganisasi ini diartikan sebagai kembalinya pengaruh kekuasaan politik elit lokal ke dalam era demokrasi. Selama Orde Baru berkuasa, kekuasaan para elit ini dibatasi oleh pusat yang lebih cenderung pada mekanisme pengangkatan maupun penunjukkan langsung. Hal inilah yang membuat elit lokal terbelah menjadi dua, yakni sebagai pelayan Orde Baru sehingga mendapatkan keistimewaan politik dan elit lokal penentang yang tidak menyukai kepemimipinan Orde Baru sehingga tersingkir dalam arena politik lokal di daerahnya. Momentum transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi yang kemudian ditandai dengan kebijakan otonomi daerah sangat dimanfaatkan oleh kedua kelompok elit untuk berkuasa secara penuh di daerahnya baik berkontestasi untuk menjadi elit pemenang maupun
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

212 |

W asisto R aharjo D jati

bersinergi satu sama lain yang pada umumnya disatukan melalui jalur perkawinan. Maka tidaklah mengherankan kemudian otonomi daerah melahirkan adanya raja-raja kecil di daerah. Berkembangnya dinasti politik di aras lokal juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk Cendanaisasi lokal. Istilah cendanaisasi merujuk pada Keluarga Cendana semasa 32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto yang sangat berkuasa dalam ekonomi-politik Indonesia. Semua pos-pos kunci pemerintahan dikuasai anak, menantu, kemenakan, maupun kerabat lainnya, sehingga kekuasaan tersebut menjadi langgeng selama tiga dekade pemerintahan. Pola itulah yang sebenarnya sedang berkembang dan dicontoh oleh para keluarga elit lokal bahwa proses demokrasi lokal bisa ditelikung dengan menempatkan kerabat dalam posisi strategis daerah. Perkembangan suatu dinasti politik didahului dengan menguatnya kekuatan informal dalam masyarakat yang secara perlahan menguasai jalannya pemerintahan. Banyak literatur yang menjelaskan fenomena politik informal tersebut, seperti konsep local strongmen dari Joel Migdal, konsep local bossism dari John Sidel, maupun shadow state dari Barbara White yang menjelaskan pembajakan demokrasi oleh elit lokal. Namun demikian, pemahaman elit dari ketiga konsep tersebut masih dimaknai dalam konteks elit tunggal. Dinasti politik dalam ranah politik lokal merupakan varian lain dari perkembangan elit yang kemudian menggunakan keluarga sebagai media kekuasaan. Hal yang terpenting dalam membahas dinasti politik bukanlah dimaknai dari output -nya saja sebagai bentuk patrimonialisme. Namun kemudian bagaimana kita menempatkan dinasti politik sebagai bagian dari proses input dalam transisi demokrasi yang tidak sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan input dalam konteks ini adalah bagaimana sumber-sumber kekuasaan dinasti politik tersebut dibangun melalui kekuatan keluarga sehingga dapat berkembang menjadi kartel politik yang besar. Dalam hal ini, terdapat tiga karakteristik mendasar dalam menganalisis dinasti politik. Pertama, fungsi partai politik yang melemah di aras lokal karena terkooptasi oleh para elit daerah. Pada akhirnya timbul sikap pragmatisme dari partai politik dengan cenderung mengangkat elit dan keluarganya menjadi pejabat publik daerah. Kedua, neo-feodalisme yang menguat di daerah, yakni revitalisasi kekuatan tradisional dalam arena politik modern yang berbasis tribalisme, regionalisme, premanisme, dan lain sebagainya. Ketiga, biaya politik yang mahal dalam setiap Pemilukada
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 213

mereduksi partisipasi politik aktif dari masyarakat. Demokrasi lokal yang esensinya menjembatani partisipasi politik aktif maupun pasif masyarakat justru terjebak dalam logika demokrasi yang mahal baik dalam proses pengajuan kandidat hingga pemilihan (Harjanto 2011). Hal inilah yang kemudian melanggengkan para elit untuk berkuasa. Dalam setiap suksesi pemerintahan selalu muncul kecenderungan dari kepala daerah yang berperan sebagai king maker dalam proses suksesi kekuasaannya untuk digantikan dengan penggantinya yang telah ditunjuk sebelumnya. Posisi kepala daerah sebagai king maker adalah arsitek politik yang menginginkan transisi kekuasaan berjalan damai agar dosa-dosa kekuasaan terdahulu dapat disimpan rapat dengan mengangkat penggantinya dari kerabat sendiri. Hal inilah yang menjadikan penguasa condong memilih keluarganya untuk dapat menutupi aib politiknya di masa lampau. Logika king maker sebagai preferensi politik pembentuk dinasti politik setidaknya bisa kita simak dalam studi Marcus Meitzner (2009:12) mengenai pemilu 20091. Meitzner menyebutkan bahwa generasi pemimpin politik Indonesia pasca otoritarian memiliki kecenderungan menyiapkan kerabatnya untuk menjadi pemimpin Indonesia di masa depan. Gejala ini mulai nampak manakala pasca 2009 banyak bermunculan keluarga, saudara, maupun teman dekat menjadi pejabat publik. Di tingkat nasional, terdapat family linkage yang cukup kuat antara munculnya politisi muda dengan generasi pemimpin sekarang ini, seperti Puan Maharani dan Puti Guntur Soekarno (Soekarno), dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Soesilo Bambang Yudhoyono). Sementara di tingkat lokal, jaringan keluarga tersebut kian tersebar bahkan sudah menggejala ke dalam berbagai sektor baik itu formal sebagai pejabat publik maupun informal sebagai pelaku bisnis maupun penggiat ormas. Meitzner menilai bahwa dalam tingkat nasional, gejala dinasti politik sendiri ditandai dengan hubungan darah langsung yang terindikasi dari klan-klan politik penguasa. Regenerasi kaum muda yang muncul dari keluarga penguasa tersebut mengindikasikan transisi kekuasaan haruslah berada dalam satu garis linier keturunan sama. Hal itu merupakan bentuk investasi jangka panjang yang dilakukan penguasa dengan menyiapkan sedini
1 Marcus Meitzner merupakan akademisi yang memprakarsai penggunaan istilah dinasti politik dalam membingkai konstelasi sosial-politik Indonesia paska demokrasi langsung diterapkan tahun 2004.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

214 |

W asisto R aharjo D jati

mungkin penggantinya dengan mengikutsertakan dalam proses politik kepartaian. King maker juga menjadi kata kunci dalam melihat budaya politik familisme yang berkembang dalam politik dinasti di ranah sosial. Namun demikian, jika dikomparasikan lebih lanjut dengan kasus dinasti politik yang terjadi di berbagai negara Dunia Ketiga, budaya familisme king maker tersebut sangatlah berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, budaya politik familisme dalam menganalisis dinasti politik nasional dapat dibagi menjadi dua hal, yakni familisme dalam bentuk status askriptif-tradisionalis (ascribed status) dan familisme dalam bentuk prestasi (achieved status). Familisme berbasis status askriptif-tradisionalis (ascribed status) seperti keturunan, hubungan darah, dan simbol kuasa feodal berorientasi pada prestasi dan kaderisasi pendidikan politik sehingga status elit diperoleh karena capaiannya (achieved status). Sekalipun nama keluarga masih menjadi penentu utama, namun tidak begitu menonjol. Jika dibandingkan dinasti politik antara negara maju dan negara dunia ketiga, dikotomi ascribed status dengan achieved status terlihat sangat mencolok perbedaannya. Dinasti politik di negara maju seperti Kennedy, Clinton, dan Bush di Amerika Serikat, Bismarck di Jerman, Hatoyama di Jepang, Lee di Singapura, Springs di Inggris pada umumnya terjun ke dunia politik setelah melewati fase pengkaderan politik, baik dalam internal keluarga maupun eksternal melalui jalur aktivisme maupun partai politik, sehingga ketika menjabat sudah mengerti apa yang harus dikerjakan (Bathoro 2011). Hal tersebut cukup berbeda dengan rancang bangun dinasti politik di Dunia Ketiga yang pada umumnya status askriptif kerap ditonjolkan dibandingkan prestasi, seperti Gandhi di India, Soekarno di Indonesia, Aquino dan Marcos di Filipina, Kim di Korea Utara, Bhutto di Pakistan, dan Castro di Kuba. Hal yang menarik adalah dinasti politik tersebut dibangun atas romantisme nama besar dan produksi budaya simbolis secara berulang sehingga terjadi proses cuci otak yang cukup kuat terhadap masyarakat. Implikasi yang timbul kemudian adalah preferensi politik pemilih terhadap calon penguasa serba terbatas karena pilihannya hanya itu-itu saja.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 215

Perkemba N G a N Di N asti P olitik dalam Demokrasi L okal

Secara umum, basis fondasi kekuasaan formal dinasti politik lokal di Indonesia dibangun berdasarkan hubungan paternalistik melalui redistribusi progam populis yang dihasilkan melalui skema politik gentong babi (pork barrel politics) maupun politisasi siklus anggaran (politic budget cycle). Hal itulah yang kemudian mendorong adanya hubungan kedekatan maupun romantisme antara pemimpin dengan rakyatnya sehingga pemimpin mudah dalam membentuk politik persuasif melalui gelontoran uang hingga ke pelosok. Berkaitan dengan suksesi kepemimpinan, politisasi birokrat maupun sosialisasi tokoh informal masyarakat menjadi bagian intimitas yang bertindak sebagai agen intermediasi dalam memenangkan dan melanggengkan kekuasaan famili politik. Perbincangan mengenai dinasti politik dalam ranah politik lokal sangatlah berbeda dengan konteks dinasti politik yang terjadi di level nasional. Dalam ranah lokal, romantisasi nama besar familisime menjamin suatu dinasti politik dapat eksis secara terus-menerus. Familisme sendiri dibentuk atas tiga hal, yakni figur (personalism), klientelisme (clientelism), dan tribalisme (tribalism), sebagai ketiga kunci dalam mengurai basis-basis terbentuknya tren familisme kekuasaan dalam demokrasi lokal di Indonesia (Allen 2012:7). Ketiga proses tersebut berperan besar dalam suksesi pemerintahan lokal di Indonesia yang dilakukan dalam dua jenis yakni secara by design dan by accident. Dinasti politik yang by design sudah terbentuk sejak lama dimana jejaring familisme dalam pemerintahan sendiri sudah kuat relasionalnya sehingga kerabat yang ingin memasuki kancah pemerintahan maupun politik sudah didesain sejak awal untuk menempati pos tertentu. Adapun by accident sendiri terjadi dalam situasi suksesi pemerintahan yang secara tiba-tiba mencalonkan kerabat untuk menggantikannya demi menjaga kekuasaan informal terhadap penggantinya kelak jika memang dalam Pemilukada. Dalam mayoritas kasus Pemilukada di Indonesia sendiri, suksesi kekuasaan berbasis familisme ada yang dilakukan secara by accident maupun by design di berbagai kabupaten/kota. Model by design yang dominan adalah istri yang maju menggantikan suami atau anak menggantikan bapaknya. Sementara itu, model by accident adalah kerabat sebagai calon kepala daerah hanya sebagai bayangan atas
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

216 |

W asisto R aharjo D jati

kerabat lain yang difavoritkan akan memenangkan Pemilukada. Pola pengajuan kandidat tersebut biasanya dilakukan secara sporadis untuk menghalangi calon lain maju dalam proses pengajuan kandidat. Dapat dikatakan bahwa intimitas hubungan keluarga kemudian menjadi platform politik guna mengamankan kekuasaan daerah. Pola suksesi aksidental dalam model dinasti politik seperti ini kerap kali memunculkan anekdot kuasa gono-gini ataupun arisan kekuasaan karena transisi kekuasaan daerah hanya terjadi di dalam satu rumah saja. Selain itu, tren familisme dalam dinasti politik aksidental seperti ini tidak akan bertahan lama. Hal ini karena regenerasi kekuasaan tidak dilakukan secara matang, melainkan hanya mengejar pragmatisme politik belaka. Asumsi lainnya dari tren famili aksidental ini juga kerabat yang dicalonkan menjadi kepala daerah biasanya belum memiliki kapabilitas kuat dalam membangun daerahnya. Publik hanya akan menilai bahwa kerabat yang dicalonkan merupakan bayang-bayang dari kepala daerah sebelumnya sehingga sangatlah sulit bagi calon kepala daerah melepas pencitraan tersebut. Pertama-tama, yang perlu diletakkan terlebih dahulu dalam membahas perkembangan dinasti politik di daerah adalah memerhatikan jaringan kekuasaan terbentuk dalam ranah formal dan informal yang umumnya terjadi dalam nalar ekonomi-politik. Hal tersebut dilakukan kepala daerah sebelum pada langkah berikutnya mulai menempatkan kerabatnya sebagai proyek dinasti politik. Adapun jejaring kekuasaan kepala daerah tersebut dibangun atas sinergitas birokrasi, kapitalis, dan politisi yang membentuk jaringan kuasa formal dan informal dalam masyarakat aras lokal. Narasi mengenai politisasi fungsi maupun mobilisasi birokrat menjadi agen penting vote getter dalam Pemilukada bukanlah praktik baru karena hal itu sudah banyak dilakukan di berbagai tingkatan kota dan kabupaten. Politisi biasanya digunakan untuk mengamankan pencalonan kerabat yang hendak maju dalam Pemilukada maupun jabatan strategis lainnya di daerah. Hal yang muncul kemudian dalam proses politisi adalah kekuatan jejaring yang solid sehingga dapat meloloskan kandidasi kerabat kepala daerah maju menjadi calon kepala daerah. Adapun kapitalis sendiri lebih tepat digunakan sebagai penyumbang dana politik. Pengertian kapitalis lokal bisa diartikan sebagai dua macam, yakni kapitalis keluarga dan kapitalis kroni. Kapitalis keluarga merujuk pada kerabat yang menjadi pengusaha besar berkat berbagai kemudahan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 217

ekonomi yang diterima dari penguasa sehingga memungkinkan dirinya sebagai godfather dalam perekonomian lokal. Sementara itu, kapitalis kroni merupakan rekanan teman dari salah satu anggota dinasti politik yang juga memiliki keistimewaan yang sama, yakni mendapatkan berbagai macam proyek pembangunan infrastruktur maupun proyek lainnya yang beromzet miliaran rupiah (Fitzpatrick 2000:293). Adapun pola relasi antara kapitalis, birokrat, dan politisi dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:
Gambar 1. Relasi Kapitalis-Birokrat-Politisi di Aras Lokal

Sumber: (Musthaq Khan 1998) diadaptasi oleh Badoh (2010:5)

Pola kongkalingkong tersebut dilakukan dengan cara berbagai sumber daya yakni sumber daya ekonomi dari kapitalis, sumber daya politik dari politisi, maupun sumber daya administratif dari birokrat. Relasi antar tiga aktor tersebut masih dalam proses inkubasi politik, yakni proses pematangan sebelum mengarah pada proses terbentuknya dinasti. Dalam tahapan ini, relasi ketiga aktor tersebut lazim dikenal sebagai bentuk mafia lokal atau triadisasi lokal, yakni pola hubungan tertutup yang berusaha untuk menguasai kekuasaan atas publik. Memang secara eksplisit, bentuk relasi ini memiliki bentuk yang samar, namun memiliki pengaruh besar dalam proses ekonomi-politik di daerah. Secara garis besar, konteks budaya politik familisme yang berlangsung dalam ranah politik lokal lebih mengarah pada proses figurisasi sebagai daya tarik pemilih yang kemudian dikomodifikasi menjadi dasar politis seseorang untuk menarik kerabatnya dalam
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

218 |

W asisto R aharjo D jati

lingkaran kekuasaan. Selain figurisasi, faktor lain yang memengaruhi pembentukan preferensi politik familisme yaitu faktor afeksional, seperti kepercayaan (trust), solidaritas (solidarity) maupun soliditas (solidity) yang secara keseluruhan turut menentukan eksistensi dinasti politik, baik antara anggota internal keluarga maupun kroni-kroni yang berada dalam lingkar kekuasaannya. Dalam hal ini, perspektif budaya politik familisme sudah mengafirmasi berbagai gejala umum yang berkembang dalam mendasari dinasti politik. Faktor intim, seperti kepercayaan maupun solidaritas masih ada dan berkembang hingga membentuk pemerintahan dinasti.
Pemetaa N T ipolo G i Di N asti P olitik di A ras L okal

Jejak budaya politik familisme di dalam dinasti politik lokal dapat ditelusuri melalui pemetaan sumber-sumber kekuasaannya. Pemetaan menjadi sangat penting dan signifikan dalam menelisik karakteristik bangunan dinasti politik yang berbeda di setiap daerah. Perbedaan tersebut didasari atas berbagai macam hal, seperti faktor lingkungan, demografis, sejarah, dan adat-istiadat. Tipologi dalam konteks ini juga untuk memberikan telaah mengenai kecenderungan politis yang menjadi dominan dalam membentuk pemerintahan dinasti. Setidaknya terdapat empat tipologi preferensi familisme dalam dinasti politik lokal yang akan dibahas dalam sub-tulisan ini, yakni familisme berbasis populisme, tribalisme, jejaring kuasa informal, dan feodalisme. Dinasti politik familisme berbasis populisme yang ditonjolkan dalam suksesi pemerintahan adalah upaya mengamankan progam kepala daerah sebelumnya. Hal ini terkait reproduksi wacana heroisme dan populisme progam pemerintahan sebelumnya yang dijadikan bahan kampanye kerabat untuk menggantikan kerabatnya yang lain. Setidaknya inilah yang terjadi dalam kasus Bupati Kendal Widya Kandi Susanti yang merupakan istri mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro, Bupati Bantul Sri Suryawidati yang menggantikan suaminya Bupati Idham Samawi, maupun Bupati Indramayu Anna Sophanah yang menggantikan suaminya Bupati Irianto MS Syafiuddin (Fasya 2012:6). Hal yang menarik adalah pembentukan dinasti politik melalui istri bupati tidak diprakarsai oleh suaminya, namun oleh berbagai macam elemen masyarakat langsung yang menginginkan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 219

adanya salah satu anggota keluarga kepala daerah agar bersedia dicalonkan dan dipilih menjadi pengganti seperti dalam kasus Bantul, Kendal, maupun Indramayu. Hal ini dilakukan guna mengakali UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pengangkatan, Pemilihan, dan Pemberhentian Kepala Daerah yang melarang kepala daerah menjabat untuk ketiga kali dalam periode jabatan. Dinasti politik model populis seperti halnya tiga kabupaten tersebut sebenarnya dibangun atas romantisme pemimpin yang mengayomi dan bertindak adil kepada masyarakat di tengah sengkarut kepemimpinan sekarang ini yang berselingkuh dengan praktik korupsi dan kolusi. Romantisme lantas diwujudkan dalam konsepsi ratu adil maupun satria piningit untuk menggambarkan pemimpin kerakyatan tersebut. Ketiga bupati tersebut berhasil membangun citranya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan merakyat, seperti layanan bidang pendidikan, kesehatan, maupun pelayanan publik lainnya secara gratis. Oleh karena itu, sebagai langkah mengamankan progam bupati sebelumnya yang sudah dinilai baik, maka istrinya didorong menjadi bupati. Sementara itu, suaminya akan bertindak sebagai godfather di balik pemerintahan istrinya. Hal inilah yang bisa ditangkap dalam perbincangan mantan bupati Kabupaten Indramayu Irianto M.S. Syafiuddin dengan presenter Metro TV Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa pada 6 Juni 2012 ketika mengangkat tema Kuasa Gono-Gini. Dalam perbincangan itu disebutkan bahwa tidak hanya Bupati Indramayu, namun kebanyakan mantan bupati yang diundang dalam acara tersebut mengakui bahwa dirinya masih berperan penting dalam pemerintahan istrinya seperti memberi arahan, nasihat, maupun petunjuk dalam mengeluarkan kebijakan tertentu. Meskipun istrinya telah menjadi bupati formal, suami masih berperan besar dalam bupati informal yang bisa memberikan masukan tertentu kepada istrinya. Artinya, pengaruh maskulinisme kuasa keluarga masih berlaku dalam pemerintahan sekalipun kedudukan istrinya lebih tinggi sebagai bupati daripada suaminya yang kembali sebagai kawula biasa. Kondisi itu turut juga mengubah paradigma rumah tangga yang semula hanya berwujud satu rumah kini telah berwujud daerah. Dalam tataran inilah, kuasa gono-gini tersebut berlaku. Istri berada di ranah domestik formal sementara suami berada di arena sosial informal. Pada akhirnya model dinasti politik yang
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

220 |

W asisto R aharjo D jati

seperti ini berbentuk pemerintahan boneka karena yang sebenarnya berkuasa adalah suaminya, sementara istrinya hanya menjadi simbolis pemerintahan. Preferensi pemilih di ketiga daerah ini dalam memilih kepala daerah masih dibayang-bayangi populisme kepala daerah yang terdahulu sehingga calon kepala daerah yang dipilih biasanya yang mendekati figur atau memiliki ikatan langsung dengan kepala daerah tersebut. Bahkan tidak mungkin kalau suami tersebut terbebas dari masa kurungan tersebut akan kembali menjagokan kembali menjadi bupati menggantikan istrinya. Dalam model dinasti politik seperti ini, aroma oligarki terasa namun tidak begitu kuat karena sebenarnya yang dibangun adalah romantisme dan populisme yang berbaur dengan oligarkis. Oleh karena itu, menyebutnya sebagai bentuk mafia lokal dalam istilah Sidel agaknya kurang tepat untuk mendeskripsikan konteks ini. Masyarakat yang sejatinya menjadi aktor utama dalam proses demokratisasi lokal di daerahnya justru malah menjaga status quo kepemimpinan oligarkis ini sebagai bentuk loyalitas dan afinitas terhadap redistribusi progam populis yang dijalankan melalui skema politik gentong babi. Untuk itu, penulis lebih menyebut dinasti politik dalam ketiga kasus ini sebagai populism oligarchy atau populism dynasties karena logika oligarki dibangun atas popularitas calon yang didukung progam populis melalui politisasi anggaran. Model familisme kedua adalah dinasti politik berbasis jaringan kuasa. Model dinasti politik ini nampak dalam kasus Banten pasca otonomi daerah. Syarif Hidayat (2007) menegaskan bahwa dinasti politik Banten ini terbangun atas koalisi klan politik, monopoli ekonomi, kekerasan, dan sebagainya. Kondisi itu sangat mirip dengan klan Ampatuan yang berada di kawasan Mindanao Selatan, Filipina, di mana anggota keluarganya memegang jabatan publik yang berpengaruh dan sudah berakar lebih dari 200 tahun. Kasus dinasti politik Banten merupakan contoh utama dinasti politik yang dirancang by design oleh para kerabatnya untuk terjun ke dunia politik. Dinasti politik Banten telah berdiri kokoh seiring dengan usia Provinsi Banten sehingga jaringan kekuasaan telah tersebar kuat di pemerintahan. Dengan kata lain, desain dinasti politik Banten bernuansa aji mumpung dengan mendompleng kekuasaan kerabat. Kondisi tersebut kontras dengan rezim populism oligarchy yang suksesi pemerintahannya bersifat insidental. Dalam konteks ini, aji mumpung adalah kerabat bertindak menjadi patron bagi kerabat
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 2 21

lainnya ketika memasuki ranah pemerintahan. Indikasinya bisa disimak dengan kerabat gubernur Banten yang bertebaran menjadi penjabat publik di ranah legislatif maupun eksekutif. Namun demikian, patron sebenarnya dalam dinasti politik Banten ini adalah Tubagus Chasan Sochib dengan kelompok Rawu-nya yang sebenarnya merupakan nama kawasan pasar di Kota Serang (Karomah 2008). Akan tetapi, Rawu dalam pemahaman publik Banten merupakan sebutan bagi kelompok bisnis atau dinasti keluarga Chasan Sochib yang menguasai pemerintahan Banten. Dinasti Banten berdiri dalam beberapa ranah yakni ekonomi, sosial-budaya, religus, dan tentu saja politik. Ditinjau dari akar historisnya, sebenarnya Chasan Sochib merupakan pengusaha biasa. Hanya saja, nasib baik berpihak kepadanya dengan menjalin hubungan erat dengan perwira militer dan petinggi Golkar Banten yang dulunya merupakan penguasa lokal Banten pada zaman Orde Baru. Pasca otoritarian runtuh, Chasan Sochib juga merupakan aktor utama terbentuknya Provinsi Banten dan bertindak sebagai aktor di balik layar atas pemerintahan lokal dengan membentuk Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) sebagai organisasi penampung Jawara/jagoan Banten, Satuan Kerja Ulama (Satkar Ulama), maupun Satuan Kerja Pendekar (Satkar Pendekar) sebagai organisasi kemasyarakatan yang berpengaruh besar dalam struktur masyarakat Banten (Hamid 2010: 37). Dalam ranah ekonomi, Chasan sukses merengkuh jabatan sebagai Ketua Kadin Banten, Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensindo) Banten, dan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) Banten. Langkah pertama membangun dinasti politik dilakukan dengan cara menempatkan Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten selama dua periode yang kemudian diikuti oleh anak, menantu, dan cucunya yang kemudian menjadi pejabat eksekutif maupun legislatif di pemerintahan lokal. Seperti yang diutarakan sebelumnya bahwa dinasti politik ini terbangun atas logika aji mumpung yang sudah didesain untuk ditempati klannya. Masuknya keluarga dalam politik sendiri bukanlah dilakukan atas dasar sukarela (by consent) seperti yang terjadi dalam kasus populism dynasties di Bantul, Kendal, maupun Indramayu, namun lebih dimaknai sebagai atas dasar kehormatan (by honor) menjaga eksistensi pengaruh keluarga (Mc Coy 1994). Hal tersebut bisa kita simak dari anak gubernur yang statusnya
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

222 |

W asisto R aharjo D jati

masih mahasiswa pada 2009 didorong menjadi anggota DPD. Logika kehormatan belum tentu liner dengan kapabilitas dan manajerial politik sehingga kontribusi kepada masyarakat Banten sendiri hanya sebatas simbolisme saja. Selain itu, dinasti politik Banten juga sukses memanfaatkan saluran patrimonalisme yang dibangun oleh jawara dan ulama sebagai aktor penguasa tradisional di Banten. Kedua aktor tersebut berfungsi sebagai pengontrol moral kemasyarakatan sekaligus juga penjaga keamanan dan ketertiban. Indikasinya dapat terlihat dari jawara yang beranjak dari mulanya pelindung masyarakat selama era kolonialisme kini menjadi aktor ekonomi informal di Banten. Pola sinergis antara jawara dan ulama di Banten ini kemudian mengukuhkan kekuasan karismatik dan simbolik guna menopang dinasti Banten. Model dinasti Banten ini layaknya tentakel gurita menjalar ke berbagai arah untuk menempatkan kroni maupun keluarganya masuk dalam berbagai posisi jabatan publik di Propinsi Banten yang tujuannya meningkatkan soliditas dan solidaritas masyarakat.
Gambar 2. Dinasti Politik Banten

Sumber: Konstelasi (2011:3).

Model dinasti politik yang berlaku di Indonesia tidak hanya dalam bentuk populism dynasties seperti kasus Bantul, Indramayu,
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 223

Kendal, dan octopussy dynasties seperti kasus Banten, tetapi juga ada yang berbentuk dinasti politik berbasis kesukuan, marga, dan kekeluargaan yang lazim disebut tribalism dynasties. Tribalisme dalam hal ini mengacu kepada suku bangsa maupun rumpun keluarga yang mengalami penguatan fungsional dan institusional semenjak semangat asimetrisme juga diwadahi dalam Pemilukada. Pola ini merujuk pada kebangkitan kekuatan lokal dalam implementasi otonomi daerah di Indonesia. Kekuatan lokal memang beraneka ragam seperti halnya local strongmen dan local bossism yang sudah banyak dibahas dalam kasus politik lokal di Indonesia. Pola tribalism dynasties ini terjadi di mana budaya politik masih bersifat subjektif, karismatik, nepotisme, maupun oligarkis. Biasanya kasus seperti ini banyak terjadi dalam kasus pemerintahan daerah di Indonesia bagian Timur dimana ikatan kekeluargaan besar masih terasa kuat. Contoh tribalism dynasties di Indonesia nampak dalam kasus dominasi klan politik yang berpengaruh kuat di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Tribalism dynasties di Sulawesi Selatan ditandai oleh dua hal, yakni reproduksi ritus budaya kerajaan dan klan politik berbasis etnisitas (Haboddin 2012). Makassar sebagai pusat dari konstelasi sosial politik lokal memperlihatkan pembentukan dinasti politik mengarah pada dua hal tersebut. Pasca diterapkannya otonomi daerah, terjadi revitalisasi kekuatan lokal dan kebangsawanan yang mulai merangkak di permukaan. Salah satu isu yang menonjol adalah penguatan hukum adat berbasis syariah untuk menggantikan hukum konvensional dalam bentuk peraturan daerah. Berbagai kalangan masyarakat menilai inisiasi produk legislasi tersebut akan mengarah pada reorganisasi elit politik lokal yang memiliki darah bangsawan karena pada dasarnya Makassar sendiri merupakan kerajaan Islam. Pertarungan antar elit dalam dinasti politik makin kentara dalam menghadapi Pilkada Sulsel pada 22 Januari 2013, di mana terjadi pertarungan tribalism dynasties sesungguhnya di Sulawesi Selatan. Syahrul Yasin Limpo selaku petahana mewakili Dinasti Yasin Limpo sekaligus representasi kelas karaeng dan etnis GowaMakassar, sementara Ilham Arief Sirajuddin mewakili dinasti politik Sirajuddin sebagai representasi kelas puang dan etnis Bugis-Bone, dan Andi Rudiyanto Asapa mewakili suku Bugis dan representasi bangsawan Bugis (andi). Dari tiga ragam latar belakang ketiga calon kepala daerah tersebut, persaingan sesungguhnya antar dinasti politik justru terjadi antara Yasin Limpo dan Sirajuddin yang setidaknya
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

224 |

W asisto R aharjo D jati

dibumbui kontestasi politik identitas dan sentimen primordialisme (Sidik Pramono 2012:4). Dinasti Yasin Limpo setidaknya menjadi pemain lama dalam dinasti politik di Sulawesi Selatan yang berhasil menempatkan kerabatnya dalam berbagai posisi strategis di pemerintahan dan birokrasi. Kemenangan dinasti Yasin Limpo dalam kurun waktu 2007-2014 merupakan indikasi bangkitnya kelas karaeng di Sulawesi Selatan. Hal ini juga merupakan bentuk balas dendam politik klan karaeng yang selama ini kalah oleh daeng sebagai kelas pedagang. Dinasti daeng dengan Jusuf Kalla sebagai figur utama tampaknya menarik hati dalam pembentukan preferensi politik masyarakat Sulawaesi Selatan dalam kurun waktu 2001-2009. Terdapat kontestasi yang begitu kuat antara klan karaeng dan daeng dalam konstelasi sosial politik Sulawesi Selatan melalui perbedaan strata sosial maupun strata ekonomi yang dimilikinya. Semenjak masa pra-kolonial hingga kolonial, posisi daeng sebenarnya lebih unggul berkat kemampuan berniaga sehingga memajukan kerajaan dibandingkan dengan karaeng yang notabene kerajaan. Namun, semenjak ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, kekuasaan daeng kemudian menurun, sementara karaeng menjadi unggul karena secara otomatis kerajaan hanya mengatur administrasi dan wilayah darat saja karena perniagaan dan laut dikuasai VOC. Dalam studi yang dilakukan oleh Haboddin (2012), kebangkitan dinasti karaeng ditandai dengan golongan karaeng dalam Pilkada di Jeneponto yang kemudian diikuti oleh ledakan partisipasi golongan bangsawan dalam Pilkada. Dari sembilan kabupaten yang dimenangkan oleh golongan bangsawan, sebanyak 74 calon bupati dan wakil bupati dan 30 di antaranya berlatar belakang golongan bangsawan. Di daerah yang masih kental semangat kebangsawanannya, seperti Kabupaten Bone, Wajo, Jeneponto, dan Soppeng, para bangsawan mendominasi bursa bupati dan wakil bupati. Pertarungan perebutan dominasi antar dinasti kebangsawanan dengan dinasti pedagang turut merambah pada struktur birokasi di Makassar. Jika seorang atasan di level eselon satu yang menduduki jabatan adalah orang Bone, maka para pegawai memanggilnya dengan puang/andi, sementara, orang Gowa-Makassar dipanggil karaeng, dan orang Bugis-Makkasar dipanggil daeng (Zuhro 2010:144). Panggilan istimewa terhadap atasan tersebut merupakan indikasi bahwa identitas etnik juga berlaku dalam tubuh birokrasi. Hal ini wajar mengingat birokrat harus menunjukkan loyalitas tertinggi kepada atasan. Namun
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 2 25

hal itu menjadi rancu manakala nuansa primordialisme mulai merambah dalam tubuh birokrasi sehingga pada akhirnya birokrasi menjadi salah satu pilar utama dinasti politik di Sulawaesi Selatan. Hal sama juga terjadi di Papua, ketika Gubernur Barnabas Suebu secara tidak langsung menerapkan ayamarunisasi, yakni etnisisasi birokrasi dari satu keluarga besar yang tentunya untuk memperkuat dinasti politik klan Suebu di Papua. Kondisi yang hampir serupa juga berlaku di Sulawesi Utara. Konstelasi dinasti politik Sulawesi Utara lebih ditentukan oleh kekuatan klan politik/marga keluarga. Hal inilah yang kemudian mendorong masyarakat Sulawesi Utara membuat pilihan berdasarkan relasi karena keluarga atau marga dan umumnya masih cenderung melihat siapa yang memerintah, bukan bagaimana kualitas pemerintahannya (Purwanto 2012). Bentuk tribalism dynasties di Sulawesi Utara diwujudkan dalam pengelompokkan tiga keluarga besar, yakni Sondakh, Sarundajang, dan Mangindaan/Runtu. Berbeda halnya dengan dinasti politik Sulawesi Selatan yang corak etnisitas dan stratifikasi sosialnya sangat menonjol dalam konsolidasi pembentukan dinasti politik. Dalam kasus Sulawesi Utara, faktor primordialisme dan etnisitas dikesampingkan karena pada dasarnya dinasti politik Sulawesi Utara dibentuk berdasarkan pada prestasi, seperti Sarundajang dan Sondakh di bidang pendidikan, Mangindaan dan Runtu di birokrasi, dan Rumangkang di bidang ekonomi. Artinya, stigma maupun stereotip etnis tidak berlaku di sini (Hernowo 2012). Menariknya, kemunculan dinasti politik di Sulawesi Utara sendiri bukanlah berakar dari kontestasi di akar rumput yang kemudian berkembang dalam ranah pemerintahan, namun dari penaklukan klan atas klan lainnya. Dengan kata lain, mengajak para keluarga di Sulawesi Utara ke arah kontestasi. Benturan antara prinsip kearifan lokal dengan konstestasi politik mengakibatkan kepemimpinan elit dalam pemerintahan daerah menjadi disharmonis. Pada dasarnya, masyarakat Sulawesi Utara adalah masyarakat apolitis, memiliki toleransi yang tinggi, dan cinta damai terhadap sesama. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan prinsip kitorang samua basudara yang berarti satu saudara meskipun beda ibu. Perkembangan politik dinasti di Minahasa pada dasarnya merupakan ideologi impor atau merupakan ekses negatif dari implementasi Pemilukada Minahasa sendiri. Pengelompokkan keluarga yang kemudian berkembang dalam bentuk klan politik
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

226 |

W asisto R aharjo D jati

ini terbentuk karena Pemilukada mengharuskan seperti dalam kasus perselisihan Gubernur Sulut S.H. Sarundajang Wakilnya Freedy Sualang, Walikota Tomohon Jefferson Rumajar Wakilnya Syennie Watulangkouw, maupun Bupati Minahasa Vreeke Runtu Wakilnya Jantje W. Sajouw. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, hal itu merupakan bentuk fragmentasi klan politik di Sulawesi Utara yang begitu sengit. Dalam kasus disharmonisasi tersebut, terdapat kecenderungan kepala daerah dan wakilnya ingin menjadi one man show bagi masyarakatnya untuk meningkatkan popularitas diri maupun klannya. Akibatnya gesekan internal pemerintahan pun kerap terjadi dalam pemerintahan sehingga tidak jarang bubar dengan sendirinya menjelang Pilkada (Lontaan 2012). Selain tiga tipologi dinasti politik yang telah dijabarkan di atas, seperti populism dyansties, octopussy dyansties, maupun tribalism dyansties, sebenarnya ada tipologi lainnya yaitu model berbasis famili/kuasa gono-gini, seperti di Kediri, Tuban, Kutai Kartanegara, dan Probolinggo maupun model feodalisme seperti di Bali dan Yogyakarta. Namun berbagai kasus tersebut umumnya jika dianalisis memiliki generalisasi sama, yakni dibentuk berbasis figurisasi dan patrimonanialisme, aji mumpung, dan elitisme. Selebihnya dapat disimak dari tabulasi analisis tipologi dinasti politik yang berkembang di Indonesia berikut ini.
Tabel 2. Tipologi Rezim Dinasti Politik di Indonesia

Tipologi Dinasti Politik Dasar Pembentukan Populism Dynasties Figur merakyat dan progam populis, menjaga status quo, dibentuk secara by incident Octopussy Dynasties Patrimonialisme, kharismatik figur, sinergi aktor formal dan informal, korporatisme masyarakat, dibentuk secara by design Tribalism Dyanasties Reproduksi ritus-ritus budaya etnis, ikatan primordialisme, klan politik, stratifikasi sosial. Feudalism Dynasties Kesejarahan, berstatus mantan kerajaan

Karakter Rezim Contoh Kasus Semi-terbuka, Bantul, Kendal, Probolinggo populis dan kuasi-otoritarian dan Indramayu Tertutup, Banten Oligarkis, SemiDemokrasi

Tertutup, Sulawasi primordialistik, Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua Tertutup dan DIY dan Bali. patrimonalistik

Sumber: diolah dari berbagai sumber


Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 227

Tabel di atas merupakan hasil analisis penulis dengan mencermati setiap karakter rezim dinasti yang berkembang dalam otonomi daerah. Terlihat bahwa setiap dinasti memiliki dasar dan basis pendukung yang berbeda antara yang populis, etnis, feodalis, dan Octopus. Setidaknya tabel yang dibuat merupakan refleksi teori elit dalam literatur sosiologi politik yang kemudian dikembangkan dalam kerangka dinasti politik lokal. Kehadiran dinasti politik dalam konteks otonomi daerah dan demokratisasi memang menimbulkan masalah kepemimpinan di aras lokal. Masalah utama adalah stagnasi kepemimpinan dan minimnya partisipasi publik karena semua dikuasai elit. Kerawanan praktik korupsi karena seluruh kerabat cenderung saling menjaga praktik tersebut. Selain itu, terjadi kapitalisme klientelistik sebagai bagian dari kronisme, di mana pelaku investasi ekonomi tidak serta merta bebas melakukan aktivitasnya karena senantiasa dimintai upeti oleh kerabat kepala daerah. Demokratisasi yang memberikan kuasa kepada rakyat justru dinegasikan oleh rezim oligarkis di daerah yang kian berkembang. Tidak hanya itu, otonomi daerah memberi ruang besar bagi bangkitnya kekuatan lokal untuk menjadi pemain utama. Masalah yang timbul kemudian adalah masyarakat lokal hanya menjadi penonton dalam demokratisasi dan otonomi daerah di daerahnya. Keberadaan dinasti politik yang kini bermunculan di daerah nampaknya membuat Kemendagri mulai memasukkan isu tersebut menjadi kajian akademik RUU Pemilukada yang kini tengah dibahas bersama Komisi II DPR RI. Pelarangan tentang adanya kerabat maju bersamaan dalam pemilu daerah tertuang pada pasal 70 huruf p dan pasal 12 huruf p, di mana gubernur maupun bupati/walikota ditetapkan jika tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping, sama halnya dengan gubernur, kecuali jika ada selang waktu dengan gubernur. Hal yang mendasari terciptanya kedua pasal tersebut adalah pendirian kepala daerah yang tidak netral jika kerabatnya maju dalam Pemilukada sehingga rawan terjadinya politisasi anggaran oleh kepala daerah demi pemenangan kerabatnya. Namun demikian, kedua pasal tersebut bisa saja rawan digugat karena landasan konstitusionalnya belum kuat dan lebih dikarenakan proses reaktif atas merebaknya dinasti politik lokal karena mencederai hak-hak politik warga negara dalam pemilu. Oleh karena itu, RUU tersebut perlu lebih dipertegas makna pelarangan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

228 |

W asisto R aharjo D jati

tersebut karena bahasanya masih multitafsir dan belum memiliki dasar hukum yang kuat.
K E S I M PU L A N

Secara garis besar, gejala yang timbul dalam proses demokratisasi lokal adalah proses reorganisasi kekuatan tradisional untuk berkuasa di daerah dalam arena demokrasi. Revitalisasi kekuatan politik tradisional tersebut tumbuh seiring dengan proses otonomi daerah sehingga kelompok elit mendapat kesempatan untuk mengukuhkan pengaruhnya kembali. Selain adanya revitalisasi kelompok politik tradisional, gejala lain yang timbul dalam proses demokratisasi lokal adalah fungsi partai politik yang melemah dalam melakukan kaderisasi sehingga menimbulkan adanya pragmatisme politik dengan mengangkat para kelompok elit tersebut. Hal itu juga diikuti proses demokrasi yang mahal di mana masyarakat memilih pasif dalam proses demokrasi dan lebih cenderung menghendaki status quo pemerintahan sekarang. Sementara itu, kepala daerah memiliki tren untuk mewariskan kekuasaannya kepada kerabat demi menjaga kekuasaan dan menutupi aib politik. Semua itu mengkondisikan terbentuknya dinasti politik di ranah lokal. Dinasti politik mengandalkan kekuatan personal, klientelisme, dan relasi patrimonial yang menempatkan elit di atas masyarakat. Pada level ini, familisme kemudian mengorganisasikan diri menjadi dinasti politik untuk menjaga kelanggengan kuasa dan mengontrol sepenuhnya suara masyarakat. Perspektif budaya politik familisme yang dikembangkan dalam tulisan ini memberikan konteks kebaruan dalam memahami fenomena dinasti politik, terutama menyangkut pembentukan preferensi politik yang kemudian mendorong pemerintahan dinasti. Pertama, analisis dinasti politik tidak boleh terpaku pada hubungan patronase keluarga secara umum, tetapi lebih terspesialisasikan menurut preferensi politik keluarga yang terbagi dalam tiga hal, yakni familisme, quasifamilisme, dan ego familisme. Kedua, pembentukan dinasti politik dipahami dalam dua nalar besar yakni by design yang mengarah achieved status atau by design yang mengarah pada by accident. Kedua nalar itu penting untuk membantu kita agar tidak terjebak pada pemikiran elit. Ketiga, sumber dinasti politik tidak hanya relasi keluarga intim atau demokrasi pasutri yang selama ini selalu menjadi
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 2 29

diskursus dominan, namun terdapat empat aspek, seperti tribalisme, feodalisme, jaringan maupun populisme. Perspektif budaya politik familisme secara garis besar juga telah memetakan bahwa preferensi budaya politik familisme yang kemudian mendorong terjadinya dinasti ternyata tidak hanya terjadi dalam internal keluarga kepala daerah, tetapi juga masyarakat dan elemen masyarakat yang juga memiliki preferensi kuat dorongan publik atas dinasti. Studi tentang budaya politik familisme sendiri layak dikembangkan ke dalam penelitian sosial dan politik yang membahas dinasti politik dalam studi kasus di tingkat kabupaten dan kota.
DA F TA R PU S TA K A

Allen, Nathan. 2012. Clientelism and the Personal Vote in Indonesia. Ottawa. CPSA . Asako, Y. 2010. Dynastic Legislators: Theory and Evidence from Japan. Madison: University of Wisconsin Press. Bathoro, Alim. 2011. Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Demokrasi. Jurnal FISIP Umrah 2 (2): 115-125. Badoh, Ibrahim. 2010. Nepotisme ala Reformasi: Pelanggengan Kuasa Orba lewat Sekongkol Bisnis Politik,Asasi 2010: 1-24. Cesar, Julius. 2013. Political Dynasties in Indonesia and The Philippines, RSIS commentary 2013: 1-4. Dinasti H. TB. Chasan Sochib: Sang Gubernur Jenderal dari Banten. 2011. Konstelasi, April. Diakses 8 Desember 2012 (http:// www.p2d.org/index.php/kon/52-31-april-2011/273-dinasti-h-tbchasan-sochib-sang-gubernur-jenderal-dari-banten.html). Fasya, Teuku Kemal. 2012. Istri-istri jadi Bupati. Jurnal Nasional, Desember 12: 6. Fitzpatrick, Daniel. 2000. Indonesian Corporate Governance. hal. 293-306, dalam Indonesia in Transition, diedit oleh Chris Manning. Singapura: ISEAS. Gaffar, Affan. 2001. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Garzon, Adela. 2002. Familism. hal. 1-4, dalam International Encyclopedia of Marriage and Family, diedit oleh En J. Ponzetti. New York: MacMillan. Haboddin, Muhtar. 2012. Kemenangan Karaeng dalam Pilkada. Jurnal Aliansi 4 (1): 15-30.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

230 |

W asisto R aharjo D jati

Hamid, Abdul. 2010. Memetakan Aktor Politik Lokal Banten Pasca Orde Baru, Jurnal Politika 1 (2): 32-45. Haris, Syamsudin. 2007. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Harjanto, Nico. 2011. Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia, Analisis CSIS 40 (2): 138-159. Haryanto. 2007. Kekuasaan Elite: Suatu Pengantar. Yogyakarta: PolGov Press. Hidayat, Syarif. 2007. Shadow State? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten. hal. 267-303, dalam Politik Lokal di Indonesia, diedit oleh H.S Nordholt dan G.v. Klinken. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hernowo, M. 2012. Daerah yang Dibelit Politik Uang dan Dinasti, Kompas, Februari 29: 4. Karomah, Atu. 2008. Jawara dan Budaya Kekerasan di Banten, Al-Qalam 25 (3):25-40. Kreuzer, Peter. 2005. Political Clans and Violence in The Southern Philippines. Frankfurt: PRIF. Lontaan, Voucke. 2012. Pemilu Kada Minahasa Jadi Pertarungan Dinasti Politik Lokal. Media Indonesia, 20 September. Diakses 9 Desember 2012 (http://www.mediaindonesia.com/ read/2012/09/20/349746/290/101/Pemilu-Kada-Minahasa-Jadi-Pertarungan-Dinasti-Politik-Lokal). McCoy, A. 1994. An Anarchy of Families: State and Family in The Philippines. Quezon City: Ateneo de Manila University Press. Meitzner, Marcus. 2009. Indonesias 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System. Analysis May 2009: 1-24. Park, Tong-Hee. 2009. The Influence of Familism and Interpersonal Trusts of Korean Public Officials. International Review of Public Administration 9(1): 121-136 Pramono, Sidik. 2012.Konsolidasi Demokrasi Sulawesi Selatan. Kompas, Agustus 8: 4. Purwanto, Antonius. 2012. Konsolidasi Demokrasi Sulawaesi Utara. Kompas, Maret 5: 4. Sidel, John. 2005. Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand dan Indonesia in Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru, edited by John Hariss. Jakarta: Demos. Soelaiman, Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

R evivalisme K ekuata N F amilisme

| 2 31

Querubin, Pablo. 2010. Family and Politics: Dynastic Persistence in The Philippines. Cambridge: Harvard & MIT Academy. Zuhro, Siti et al. 2010. Demokrasi Lokal. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 18, No. 2 , Ju li 2013: 203 -231

Você também pode gostar