Você está na página 1de 60

15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pembuktian dan Alat Bukti

1. Pembuktian

Tujuan dari proses pidana adalah untuk menentukan

suatu kebenaran materil, oleh karena itu diperlukan adanya

suatu sistem yang dapat memberikan panduan untuk dapat

diperolehnya kebenaran materil tersebut. Di dalam peradilan

cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran dilakukan

melalui pembuktian.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan


16

oleh undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan

boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang

didakwakan.1 Pendapat lain menyatakan pembuktian adalah

pembuktian bahwa benar suatu tindak pidana telah terjadi

dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus

mempertanggungjawabkannya.2

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo pembuktian

adalah:

”pembuktian secara juridis tidak lain merupakan


pembuktian secara historis. Pembuktian yang bersifat
juridis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi
secara konkret. Baik dalam pembuktian secara juridis
maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakikatnya
berarti mempertimbangkan secara logis mengapa
3
peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.


cet. 3, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hal. 791.

2
Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, cet. 2
(Jakarta: Djambatan, 1998), hal. 133.

3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 5, cet.
2, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 109.
17

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa dalam pembuktian ada tata-cara atau sistem yang

ditentukan. Pembuktian bersifat historis yaitu mencoba

menetapkan apa yang telah terjadi dan untuk itu diperlukan

alat-alat bukti.

Tata cara atau sistem pembuktian memberikan arah

atau cara bagaimana pembuktian itu dilakukan. Sistem

pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara

meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang

sedang diperiksa.4

Sistem pembuktian menurut ilmu pengetahuan dibagi

menjadi empat sitem atau teori, yaitu:

a. Teori Pembuktian Melulu Berdasarkan atas Keyakinan Hakim

(Conviction - in time).

Teori ini menyatakan, hakim tidak terikat kepada

alat-alat bukti yang tertentu, ia memutuskan kesalahan

terdakwa melulu berdasarkan atas keyakinannya saja. Dalam

M. Yahya Harahap. op.cit. hal. 797.


18

hal ini hakim mempunyai kebebasan yang penuh dengan tidak

dikontrol sama sekali.5

Keberatan teori ini ialah, bahwa terkandung di

dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada

ketepatan kesan-kesan perseorangan belaka dari seorang

hakim. Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti

ini adalah sukar oleh karena Badan Pengawas tidak dapat

tahu pertimbangan-pertimbangan hakim, yang mengalirkan

pendapat hakim kearah putusan. Pengadilan Kasasi tidak

dapat mengutak-atik putusan hakim ini, oleh karena putusan

itu walaupun barangkali tidak memuaskan, bahkan mungkin

sangat mengecewakan, tidak dapat dibilang bertentangan

dengan hukum.6

b. Teori Pembuktian Positif (Positief Wettelijk Bewijs-

theori).

R. Soesilo. Saksi dan Bukti (Ilmu Bukti Dalam Proses Perkara


Pidana Menurut KUHAP), (Bogor: Politea, 1984), hal. 22.
6

Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses


Pidana, ed.1. cet.1 (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 40.
19

Teori pembuktian ini sangat berbeda, bahkan secara

diametral berhadap-hadapan dengan teori melulu berdasarkan

keyakinan hakim, ialah sistem yang melulu menurut undang-

undang, yang dalam bahasa Belanda dinamakan “positief

wettelijk”.7 Menurut teori ini salah atau tidak salahnya

terdakwa itu melulu bergantung pada ada atau tidaknya

sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-

undang. Hakim semata-mata hanya mencocokkan apakah sejumlah

bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang sudah ada,

bila sudah ia tidak perlu menanyakan isi hatinya (yakin

atau tidak) terdakwa harus dinyatakan salah atau dijatuhi

pidana. Keyakinan hakim tidak turut mengambil bagian sama

sekali, undang-undanglah yang berkuasa disini.8

Sistem ini disebut aliran obyektif karena tujuannya

untuk menghilangkan pertimbangan subyektif hakim

(kebalikan dari conviction - in time).

Ibid., hal. 41.


8

R. Soesilo, op.cit., hal. 21.


20

c. Teori Conviction – Raisonce

Dalam teori ini, keyakinan hakim tetap memegang

peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.

Akan tetapi faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam

teori conviction – intime peran keyakinan hakim leluasa

tanpa batas, maka pada conviction – raisonce keyakinan

hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”.9

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seorang bersalah

berdasar keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada

dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan

yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian

tertentu.10 Didalam menentukan macam dan banyaknya alat-alat

bukti yang dipandang cukup untuk menentukan kesalahan

terdakwa, hakim mempunyai kekuasaaan yang penuh. Ia bebas

untuk menetapkan itu. Adapun satu-satunya peraturan yang

mengikat padanya ialah, bahwa dalam keputusannya itu ia

harus menyebutkan pada alasan-alasannya.11

M. Yahya Harahap. op. cit., hal. 798.


10

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indone-sia, ed.


revisi, cet. 4. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 231.
11

R. Soesilo, op.cit., hal. 22.


21

Teori pembuktian conviction – raisonce ini oleh

penulis lain disebut juga sebagai Pembuktian Bebas (vrije

bewijstheorie), pembuktian bebas karena hakim bebas untuk

menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijs).

d. Teori pembuktian Negatif (Negatief Wettelijk)

Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan

pidana berpangkal tolak pada aturan pembuktian yang

ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal

itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.12 Tidak

diperbolehkan hakim memakai alat-alat bukti yang lain yang

tidak disebutkan dalam undang-undang, tentang cara

mempergunakannya hakim juga terikat kepada penentuan-

penentuan dalam undang-undang. Perkataan ”negatief”

dipakai, oleh karena adanya alat-alat bukti yang disebutkan

dan dengan cara mempergunakannya yang disebutkan juga dalam

undang-undang, belum berarti, bahwa hakim mesti menjatuhkan

suatu hukuman, ini masih tergantung dari keyakinan hakim

12

Andi Hamzah, op. cit., hal. 232.


22

atas adanya kebenaran. Maka ada terselip anasir

”negatief”.13

Sistem pembuktian yang dianut didalam KUHAP adalah

pembuktian negatif berdasarkan Pasal 183 yaitu :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pada seseorang,


kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya”.14

Dari uraian pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa terdapat banyak alat bukti (lebih dari dua alat

bukti) di dalam sistem pembuktian. Hakim hanya dapat

menjatuhkan pidana jika sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua)

alat bukti dan ditambah keyakinan hakim bahwa terdakwa

bersalah.

Tujuan dari sistem pembuktian negatif ini adalah

untuk untuk menjamin kebenaran, yaitu diperolehnya

13

Djoko Prakoso, op. cit., hal.43.


14

Indonesia. Undang Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No.


8, LN No. 76 tahun 1981, TLN. No.3258., Pasal 183.
23

kebenaran materil yang dilandasi rasa keadilan oleh karena

itu dipersyaratkan adanya sekurang-kutangnya 2 (dua) alat

bukti dan keyakinan hakim. Penjelasan Pasal 183 KUHAP

menyatakan bahwa tujuan, “Ketentuan ini adalah untuk

menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan dan kepastian

hukum bagi seseorang”.15

Menurut Wiryono Prodjodikoro, sebagaimana dikutip

oleh Andi Hamzah, terhadap sistem pembuktian negatif agar

dipertahankan karena alasan sebagai berikut,

“Sistem pembuktian ini yang dipakai KUHAP, sebaiknya


dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang
sudah selayaknya ada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Kedua,
berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam
menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan
tertentu yang diturut oleh hakim dalam melakukan
peradilan”.16

15

Ibid. Penjelasan Pasal 183.


16

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indoensia, cet.1, (Jakarta: Sinar


Grafika, 2001), Hal. 253.
24

2. Alat Bukti

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dalam

rangka melaksanakan sistem pembuktian negatif, hukum

mensyaratkan adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti.

Kalimat tersebut secara implisit menyatakan bahwa alat

bukti di dalam pembuktian lebih dari dua.

KUHAP tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan

alat bukti, hanya menetapkan jenis-jenis alat bukti. Jenis

atau macam alat bukti yang sah ditetapkan dalam KUHAP pada

Pasal 184 ayat (1) yaitu;

Alat bukti yang sah ialah :


a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

Di dalam sistem hukum Amerika Serikat alat bukti

(evidence) didefinisikan sebagai berikut:

“Any species of proof, or probative matter, legally


presented at the trial of an issue, by the act of the
parties and through the medium of witness, records,
documents, exhibits, concrete objectives, etc. for
the purpose of inducing belief in the mind of the
court or jury as to their contention”.17
17
25

Perbedaan yang mendasar antara definisi alat bukti

tersebut di atas dengan KUHAP adalah kedudukan barang

bukti, di dalam KUHAP barang bukti bukan merupakan bagian

dari alat bukti yang sah. Barang bukti di dalam KUHAP hanya

berfungsi sebagai penambah keyakinan hakim atau sebagai

alat bukti petunjuk apabila bersesuaian dengan alat bukti

yang lain. Barang bukti dapat juga diwujudkan dalam bentuk

alat bukti yang lain yaitu berupa keterangan ahli baik yang

dituangkan dalam visum et repertum atau dalam bentuk

laporan tertulis, yang didasarkan atas pengetahuan ahli

sehubungan dengan barang bukti tersebut.

Alat bukti berdasarkan KUHAP akan diuraikan pada

paragrap berikut.

a. Keterangan Saksi.

Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan

alat bukti keterangan saksi, maka lebih dahulu perlu

dijelaskan apa yang dimasud dengan saksi. Pada Pasal 1

angka 26 KUHAP saksi didefinisikan sebagai berikut;

William T. Thornhill, Forensic Accounting How to Investigate


Financial Fraud, reprinted 1999,(New York: Richard D. Irwin, 1995),
hal. 22.
26

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan


guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Sedangkan keterangan saksi diatur dalam Pasal 1

angka 27 KUHAP sebagai berikut:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam


perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
menegenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Dari kedua pengertian tersebut secara jelas

dinyatakan bahwa saksi bukanlah alat bukti. Yang menjadi

alat bukti adalah kesaksiannya atau keterangan saksi yang

bersangkutan.

Keterangan saksi tersebut dapat dinilai sebagai alat

bukti yang sah jika memenuhi syarat :

1) Syarat Formil

Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Pasal 160

ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa, sebelum memberi

keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji


27

menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan

memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari

yang sebenarnya. Keterangan saksi yang tidak disumpah tidak

merupakan alat bukti meskipun sesuai satu dengan yang lain,

namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari

saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan

alat bukti sah yang lain.

Keterangan saksi yang diberikan tidak di bawah

sumpah atau janji hanya boleh dipergunakan sebagai

keterangan yang menguatkan keyakinan hakim dan sebagai

petunjuk, jika keterangan itu sesuai dengan kesaksian

lainnya yang dilakukan di bawah sumpah. Hal ini didasarkan

pada penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP;

”Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau


mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat
bukti sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang
dapat menguatkan keyakinan hakim”

Juga dalam penjelasan Pasal 171 KUHAP mengenai

keterangan anak dibawah umur, orang yang sakit ingatan,

sakit jiwa dimana mereka tidak dapat diambil sumpah, maka


28

keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Penjelasan Pasal 171 KUHAP tersebut adalah sebagai berikut:

”Mengingat anak yang belum berumur lima belas tahun,


demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa,
sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang
dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopat, mereka ini
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil
sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena
itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk
saja.”

2) Syarat materiel

Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai

alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah

keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1

angka 27 KUHAP. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27,

keterangan saksi yang dianggap bernilai sebagai alat bukti

dalam perkara pidana ialah keterangan saksi mengenai suatu

peristiwa pidana:

- yang saksi lihat sendiri


- saksi dengar sendiri
- dan saksi alami sendiri,
- serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.18
18
29

Secara umum, bentuk keterangan saksi dibatasi dari

keterangan-keterangan yang berbentuk pendapat, kesimpulan

dan karakterisasi. Saksi hanya dapat memberikan keterangan

hanya didasarkan pada indera (lihat, dengar, rasakan, cium

atau sentuh) dan apa yang diketahuinya sebagai kenyataan.19

Di dalam Pasal 185 ayat (5) dinyatakan bahwa baik pendapat,

maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,

bukan merupakan keterangan saksi.

Pengaturan mengenai keterangan saksi yang dinyatakan

dalam Pasal 185 KUHAP selengkapnya, adalah sebagai berikut:

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti, ialah apa


yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya;
(3) Keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat
bukti yang sah lainnya;
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-
sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat
dipergunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat

M. Yahya Harahap. op. cit. hal. 809.


19

William T. Thornhill. op.cit. hal 13.


30

membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan


tertentu;
(5) Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari
hasil pikiran saja, bukan merupakan keterangan
saksi;
(6) Dalam menilai keterangan seorang saksi, hakim
harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu
dengan yang lain;
b. persesuaian keterangan saksi dengan alat
bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi
untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala
yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat
tidaknya keterangan itu dipercaya;

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meski-


pun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan
alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai
dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang
lain.

Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa

dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang

diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

Terdapat adanya batas nilai suatu kesaksian berdiri sendiri

dari seorang saksi, yang disebut unus testis nullus testis

(satu saksi bukan saksi). Hal ini dapat dilihat pada Pasal

185 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan seorang

saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa


31

bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.20 Hal

tersebut pada ayat (2) tidak berlaku apabila ada alat bukti

yang sah lainnya. Pengecualian terhadap satu orang saksi

saja yang berlaku apabila ada alat bukti yang sah lainnya

sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut.

Pasal 185 ayat (6) merupakan pernyataan untuk

mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi.

Keterangan saksi harus diberikan oleh saksi secara bebas,

jujur dan obyektif.

b. Keterangan Ahli.

Uraian mengenai keterangan ahli yang merupakan topik

utama pembahasan dalam skripsi ini diuraikan tersendiri

pada Sub Bab B.

c. Surat.

Alat bukti surat merupakan alat bukti yang paling

umum digunakan dalam pembuktian. Dalam perkara tindak

20

Andi Hamzah, op. cit., hal. 247.


32

pidana korupsi alat bukti surat merupakan alat bukti yang

paling dominan dan seringkali terkait dengan alat bukti

lainnya dan juga dengan barang bukti.

Alat bukti surat mempunyai beberapa kelebihan

dibandingkan dengan alat bukti keterangan saksi. Saksi

terdiri dari manusia yang pada suatu saat akan mati, sedang

ia disamping itu adalah bersifat tidak sempurna. Ingatannya

tidak selalu dapat dipercaya, karena gambaran dari sesuatu

yang pernah dilihatnya dapat saja mengalami perobahan

dengan berjalannya waktu.21

Pembuktian dengan surat dalam proses pidana atau

proses perdata tidak ada perbedaan. Umpamanya apa yang

dimaksud dengan surat dalam proses pidana tidak berbeda

dengan pengertian surat dalam proses perdata. Definisi yang

disebut surat dalam proses perdata berlaku juga bagi proses

pidana sebagai berikut: ”Surat-surat adalah semua benda

yang berisi tanda-tanda baca yang dapat dimengerti yang

dipergunakan untuk mengemukakan isi pikiran”.22


21

A. Karim Nasution. Masaalah Hukum Pembuktian Dalam Proses


Pidana. Jilid II.(Jakarta: --,1974). hal. 112.
22

A. Karim Nasution. Ibid. hal. 111.


33

Alat bukti surat diatur pada Pasal 187 KUHAP, yaitu

sebagai berikut: .

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)


huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau
yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya
itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian suatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi daripadanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.

Ketentuan dalam alinea awal pasal ini, menyatakan

bahwa surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah

adalah:

- surat yang dibuat atas sumpah jabatan,

- atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.


34

Ketentuan alat bukti surat ini kemudian memerinci

lebih lanjut mengenai jenis surat. Pada huruf a. dinyatakan

bahwa jenis surat yang dapat diterima sebagai alat bukti

harus memenuhi syarat :

- dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

sumpah.

- bentuknya berita acara atau surat dalam bentuk

resmi

- dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau

dibuat dihadapannya

- isinya memuat keterangan tentang kejadian/keadaan

yang didengar sendiri, dilihat sendiri atau

dialaminya sendiri.

Ketentuan pada Pasal 187 huruf a. ini

mempersyaratkan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum

yang berwenang. Pejabat umum, adalah seseorang yang

memegang suatu jabatan yang mewenangkannya bertindak bebas

(zelfstanding) terhadap umum. Terutama yang dimaksudkan

dalam hal ini para notaris yang khusus ditugaskan untuk

membuat akte-akte autentik.23 Akte adalah surat yang dibuat

23

A. Karim Nasution. Ibid. hal. 113.


35

dengan tujuan untuk mengkonstantir sesuatu. Jika surat

demikian dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang

berwenang disuatu tempat, maka akte tersebut adalah akte

autentik.

Namun tidak serta merta akte autentik tersebut

bernilai sebagai alat bukti. Agar surat resmi yang

bersangkutan dapat bernilai sebagai alat bukti dalam

perkara pidana, maka surat resmi tadi harus memuat

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,

dilihat atau dialami sendiri si pejabat, serta menjelaskan

dengan tegas alasan keterangan yang dibuatnya.24

Jenis surat pada Pasal 187 huruf b. adalah surat

yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang

termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya.

Surat ini meliputi semua surat yang dibuat oleh pejabat

eksekutif yang berwenang sesuai kedudukannya, seperti

surat-surat yang terkait dengan perizinan, surat edaran,

surat keterangan, dan surat-surat lainnya yang berhubungan

dengan kewenangan pejabat yang bersangkutan.

24

M. Yahya Harahap. op. cit. hal. 831.


36

Jenis surat pada Pasal 187 huruf c. adalah surat

keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu

keadaan yang diminta secara resmi padanya. Laporan ahli

disamping sebagai alat bukti keterangan ahli dapat juga

sebagai alat bukti surat ini, oleh M. Yahya Harahap disebut

sebagai “sifat dualisme alat bukti keterangan ahli”.

Jenis surat pada Pasal 187 huruf d. adalah surat

lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan

isi dari alat pembuktian lain. Menurut M. Yahya Harahap

pasal 187 huruf d ini, barangkali bisa menimbulkan masalah,

dilihat dari hal-hal sebagai berikut:25

- bentuk surat yang dibuat pada huruf a, b dan c


adalah “surat resmi” yang dibuat pejabat yang
berwenang atau berdasar ketentuan atau surat
keterangan ahli yang bersifat khusus mengenai
keadaan tertentu yang dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah. Sedang surat pada
huruf d merupakan surat pada umumnya tidak termasuk
pada huruf a, b dan c. Tapi lebih bersifat pribadi,
surat menyurat atau korespondensi, tulisan berupa
karangan dan lain sebagainya dan oleh karena tidak
dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan sendirinya
dibuat tanpa sumpah.

25

M. Yahya Harahap. op.cit. hal 832-834.


37

- bentuk surat yang dibuat pada huruf a, b dan c


dengan sendirinya sudah bernilai sebagai alat bukti
yang sah, sejak surat itu diperbuat. Sedang surat
pada huruf d, tidak dengan sendirinya merupakan alat
bukti yang sah, baru mempunyai nilai sebagi alat
bukti atau pada dirinya melekat penilaian
pembuktian, apabila isi surat yang bersangkutan
“mempunyai hubungan” dengan alat pembuktian yang
lain.
- Karena bentuk “surat lain” ini baru bernilai sebagai
alat bukti surat jika ada hubungannya dengan isi
alat pembuktian yang lain. Menurut logikanya, suatu
surat yang harus tergantung pada alat bukti yang
lain, tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti.
Sebab kalau suatu alat bukti masih harus
digantungkan pada alat bukti lain, tentu pada
dirinya sendiri belum melekat sifat alat bukti.
Dengan demikian bentuk “surat lain” ini tidak dapat
dikategorikan sebagai alat bukti surat. Semestinya
undang-undang menyebutnya sebagai alat bukti
“petunjuk”. Yakni alat bukti petunjuk yang ditarik
sehubungan dengan kaitan persesuaiannya dengan alat
bukti yang lain.

d. Petunjuk.

Alat bukti petunjuk diatur pada Pasal 188 KUHAP,

dengan rincian sebagai berikut: .

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,


yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya;
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi,
38

b. surat,
c. keterangan terdakwa
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Petunjuk merupakan pembuktian tidak langsung, karena

hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian

haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti

lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain.

Syarat untuk dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti

adalah:

1) mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan


yang terjadi.
2) keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama
lain dengan kejahatan yang terjadi.
3) berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan
terdakwa maupun saksi dipersidangan.26

Berdasarkan Pasal 188 ayat (2) Alat bukti petunjuk

hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan

keterangan terdakwa, persesuaian dari alat bukti inilah

26

Djoko Prakoso. op.cit. hal. 95.


39

yang melahirkan alat bukti petunjuk. Oleh karena lahir dari

alat bukti yang lain, maka petunjuk:

1) selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti


yang lain,
2) alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam
pembuktian, apabila alat bukti yang lain belum
dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan
terdakwa. Atau dengan kata lain, alat bukti
petunjuk baru dianggap mendesak mempergunakannya
apabila upaya pembuktian dengan alat pembuktian
lainbelum mencapai batas minimum pembuktian,
3) oleh karena itu hakim harus lebih dahulu berdaya
upaya mencukupi pembuktian dengan alat bukti yang
lain sebelum ia berpaling menggunakan petunjuk
4) penggunaan alat bukti petunjuk baru diperlukan pada
tingkat keadaan daya upaya pembuktian sudah sudah
tidak mungkin diperoleh lagi dari alat bukti yang
lain.27

d. Keterangan Terdakwa.

Kata terdakwa berhubungan erat dengan kata tersangka

dan kata terpidana. Untuk lebih memperjelas apa yang

dimaksud dengan alat bukti keterangan terdakwa, maka lebih

27

M. Yahya Harahap. op.cit. hal. 844.


40

dahulu akan diuraikan apa yang dimaksud atau apa definisi

dari tersangka, terdakwa dan terpidana.

Pengertian tersangka dalam KUHAP pada Pasal 1 angka

14, terdakwa pada Pasal 1 angka 15 dan terpidana pada Pasal

1 angka 32 adalah sebagai berikut:

”Tersangka adalah orang yang karena perbuatannya atau


keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana”.
”Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut,
diperiksa dan diadili di sidang pengadilan”.
”Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap”.

J.C.T. Simorangkir, cs. dalam bukunya Kamus Hukum

mengemukakan, bahwa tersangka adalah seorang yang disangka

telah melakukan suatu tindak pidana dan ia masih dalam

taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan, apakah

tersangka ini mempunyai cukup dasar untuk diperiksa di

persidangan.28 Seorang yang dinyatakan sebagai tersangka

belum dapat ditetapkan sebagai bersalah, sesuai dengan azas

praduga tak bersalah maka seorang tersangka harus dianggap

28

Darwan Prinst. op.cit. hal. 14.


41

belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Definisi terdakwa berdasarkan Pasal 1 angka 15

KUHAP, terdakwa adalah tersangka yang dituntut, diperiksa

dan diadili di sidang pengadilan. Dari rumusan tersebut

dihubungkan dengan definisi tersangka, maka untuk

menjadikan seseorang terdakwa haruslah dilakukan lebih

dahulu pemeriksaaan pendahuluan terhadap yang bersangkutan

sebagai tersangka dan dari pemeriksaan tersebut diperoleh

adanya dasar yang cukup untuk mengajukan tersangka tersebut

untuk diperiksa di depan sidang pengadilan.

Unsur-unsur dari terdakwa adalah:


1) diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana;
2) cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas
dirinya di depan sidang pengadilan;
3) atau orang yang sedang dituntut, ataupun
4) sedang diadili di sidang pengadilan negeri.29

Sedangkan terpidana adalah sesorang yang dipidana

berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan

hukum tetap. Sepanjang belum adanya putusan pengadilan yang

29

Darwan Prinst. ibid. hal . 15.


42

mempunyai kekuatan hukum tetap maka status yang

bersangkutan tetap sebagai terdakwa.

Alat bukti keterangan terdakwa diatur dalam Pasal

189 KUHAP, yang selengkapnya adalah sebagai berikut:

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa


nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri;
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang
dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di
sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh
suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya;
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri;
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertai dengan alat bukti yang lain.

Pemuatan kata-kata yang ia ketahui atau alami

sendiri dalam ayat (1) berlebihan, menurut Andi Hamzah

seharusnya yang dimaksud dengan keterangan terdakwa adalah

apa yang ia nyatakan di pengadilan tentang perbuatan apa

yang dilakukannya disertai dengan dengan keterangan dari

keadaan tertentu. Maksudnya agar keterangan terdakwa di

depan sidang pengadilan harus disertai cara-cara

bagaimanakah ia melakukan perbuatannya. Demikian juga


43

dengan ayat (4) tidak cukup keterangan terdakwa saja dan

disertai dengan alat bukti yang lain. Terdakwa harus

menerangkan cara-cara ia melakukan perbuatan itu.30

Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti

yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa azas

sebagai landasan berpijak. Antara lain:31

1) Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.

Supaya dapat dinilai sebagai alat bukti sah

keterangan terdakwa harus dinyatakan di sidang pengadilan.

Baik pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri

oleh terdakwa maupun pernyataan berupa penjelasan atau

jawaban atas pertanyaan hakim, penuntut umum atau penasehat

hukum. Adapun yang harus dinilai bukan hanya keterangan

yang berisi pernyataan pengakuan saja tapi termasuk

penjelasan pengingkaran.

2) Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui

sendiri atau alami sendiri.


30

Andi Hamzah, Perbandingan KUHAP-HIR dan Komentar, (Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1994). hal. 264.

31
M. Yahya harahap. op.cit. hal. 847.
44

Apa yang dinyatakan terdakwa haruslah pernyataan

mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa. Pertanyaan yang

diajukan kepada terdakwa di sidang pengadilan dapat saja

mengenai perbuatan orang lain asal saja ada kaitan langsung

dengan perbuatan terdakwa.

Pernyataan mengenai apa yang diketahui atau apa yang

dialami, pada dasarnya sama dengan keterangan saksi yaitu

didasarkan pada pengetahuannya dari apa yang dilihat,

didengar, dicium, disentuh atau dirasa dan bukan terkait

pada pendapatnya (opini) atau perkiraan (estimasi) maupun

hasil pemikiran. Karena keterangan mengenai pendapat maupun

hasil pemikiran adalah merupakan keterangan ahli.

2) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap

dirinya sendiri.

Menurut asas ini, apa yang diterangkan oleh terdakwa

hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap

dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri

dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa

hanya merupakan alat bukti yang mengikat dirinnya sendiri.

Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap

terdakwa B, demikian sebaliknya.


45

3. Bukti Dalam Audit Keuangan

Sebelum membahas tentang bukti audit, perlu

diuraikan lebih dahulu apa yang yang dimaksud dengan

auditing. Alvin A. Arens dan James K. Loebbecke

mendefinisikan auditing sebagai :

“Auditing is the accumulation and evaluation of


evidence about information to determine and report
on the degree of correspondence between the
information and established criteria. Auditing
should be done by a competent independent person.”32

Dari definisi tersebut diatas terdapat beberapa

unsur penting dalam suatu proses audit yaitu :

a. Pengumpulan dan Evaluasi Bukti (accumulation and evalua-

tion of evidence).

Tahapan pekerjaan auditor yang paling utama adalah

pengumpulan dan evaluasi bukti, pada tahap ini auditor

mengumpulkan suatu jumlah dan kualitas bukti yang cukup,

dan melakukan evaluasi terhadap bukti-bukti tersebut,

32

Alvins A. Arens and James K. Loebbecke, Auditing an Integrated


Approach, 7 ed. (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Inc.,
1997), hal. 2.
46

apakah informasi yang disajikan untuk diaudit telah sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan.

b. Informasi dan Kriteria Yang ditetapkan (information and

established criteria).

Audit dilakukan terhadap informasi yang disajikan

yang dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan.

Informasi tersebut merupakan suatu informasi yang terukur

(quantiable information).

Informasi yang terukur tersedia dalam berbagai

bentuk, misalnya Laporan Keuangan Perusahaan, Laporan Pajak

Penghasilan, Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D),

Lapaoran Penyaluran Dana Kredit dan lain-lain bentuk

informasi terukur lainnya. Kriteria yang ditetapkan

(established criteria) untuk mengevaluasi informasi terukur

tersebut juga tersedia dalam berbagai bentuk, Prinsip-

prinsip Akuntansi Yang Berlaku Umum (general accepted

accounting principles) di Indonesia dikenal dengan sebutan

Standar Akuntansi Keuangan (SAK) untuk Laporan Keuangan

Perusahaan, Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah dan


47

pedoman atau ketentuan lain yang ditetapkan dalam

menyajikan informasi terukur yang bersangkutan.

c. Orang Yang Kompeten dan Independen (competent indepen-

dent person).

Audit dilakukan oleh seorang auditor yang kompeten

yaitu memiliki kemampuan baik dalam masalah akuntansi

maupun dalam masalah auditing. Selain itu seorang auditor

juga harus mempunyai sikap mental independen, yang artinya

auditor harus bebas dari berbagai kepentingan yang akan

mempengaruhi obyektivitasnya.

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa salah unsur

penting dalam audit adalah pengumpulan dan evaluasi bukti,

maka bukti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam

suatu proses audit. Bukti audit (evidence) didefinisikan

sebagai:

“Evidence is defined as any information used by


auditor to determined whether the information being
audited is stated in accordance with the established
criteria.”.33

33

Ibid. Hal. 3.
48

Dari definisi tersebut yang dimaksud dengan bukti

audit adalah setiap informasi yang digunakan auditor, maka

bukti audit amat luas. Bukti tersebut terdiri dari

berbagai bentuk dan dari berbagai jenis.

William T. Thornhill membagi bukti audit ke dalam 4

(empat) klasifikasi umum dari mana bukti tersebut

diperoleh, yaitu dari manusia, dokumen, bukti fisik dan

observasi auditor. Sedangkan jika bukti tersebut

diklasifikasikan menurut jenisnya terdiri dari bukti:

1) Pengamatan (Observation).

2) Analisis Perbandingan (Comparative analysis).

3) Pemeriksaan Fisik (Physical examination).

4) Konfirmasi (Confirmation).

5) Dokumentasi (Documentation).

6) Permintaan informasi tertulis atau wawancara pada

person yang terkait (Interpersonal).

7) Pengecekan kembali ketepatan (Accuracy

rechecking).34

34

William T. Thornhill, Forensic Accounting How to Investigate


Financial Fraud, reprinted 1999, (New York: Richard D. Irwin,
Inc.,1995), hal. 129.
49

Alvin A. Arens dan James K. Loebbecke juga

mengklassifikasikan bukti audit menjadi 7 jenis. yaitu :

1) Observation

2) Analytical procedures

3) Physical examination

4) Confirmation

5) Documentation

6) Inquires of the client

7) Reperformance.35

Apa yang dikemukakan oleh Alvin A. Arens dan James

K. Loebbecke pada dasarnya sama dengan apa yang dikemukan

oleh Thornhill hanya perbedaan dalam mengistilahkan

beberapa jenis bukti yaitu analytical procedures sama

dengan comparative analysis, interpersonal sama dengan

inquiries of the client, dan accuracy recheking sama dengan

reperformance.

35

Alvin A. Arens and James K. Loebbecke, op.cit., hal. 183.


50

B. Keterangan Ahli

1. Pengertian Ahli

Di dalam praktik pengertian ahli sering rancu dengan

pengertian saksi, pemakaian kedua kata tersebut sering

disamaratakan dan disatukan dengan sebutan Saksi Ahli.

Istilah Saksi Ahli tidak dikenal didalam KUHAP yang ada

adalah Ahli. Kerancuan pemakaian istilah saksi ahli

disebabkan antara lain penerjemahan langsung terhadap alat

bukti didalam sistem anglo-saxon. Salah satu alat bukti

didalam sistem anglo-saxon adalah keterangan saksi

(Testimony of witness). Testimony of witness terdiri dari

lay witness dan expert witness. Lay witness diterjemahkan

sebagai saksi biasa dan expert witness diterjemahkan

sebagai saksi ahli.

Di dalam KUHAP pengertian ahli tidak diberi batasan

secara khusus, sedangkan untuk saksi diberikan definisi

yaitu pada Pasal 1 butir 26 yang berbunyi :

”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan


guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.”
51

Walaupun tidak diberikan pengertian secara jelas

namun terdapat beberapa pasal didalam KUHAP yang secara

tidak langsung dapat memberikan pengertian secara umum apa

yang dimaksud dengan ahli. Pasal-pasal didalam KUHAP yang

menjelaskan mengenai ahli yaitu :

Pasal 1 butir 28.


”Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan
oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Pasal 120 ayat (1).


”Dalam hal penyidik menganggap perlu ia dapat minta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus”.

Pasal 179 ayat (2).


”Setiap ketentuan tersebut diatas untuk saksi
berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan
ahli dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya”.

Menurut Karim Nasution yang dikutip Andi Hamzah dan

Irdan Dahlan dikatakan bahwa, perkataan ahli janganlah

hendaknya kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli

tersebut haruslah orang yang telah memperoleh pendidikan

khusus, atau orang yang telah memiliki suatu ijazah


52

tertentu. Ahli itu tidaklah perlu merupakan seorang

spesialis dalam lapangan suatu ilmu pengetahuan. Setiap

orang menurut Hukum Acara Pidana dapat diangkat sebagai

ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan

pengalaman khusus mengenai sesuatu hal atau mempunyai lebih

banyak pengetahuan dan pengalaman soal itu.36

Menurut Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, pendapat Karim

Nasution tersebut didasari oleh pendapat Nederburgh dalam

bukunya Wet en Adat II yang menyatakan bahwa dalam

memerlukan bantuan ahli, bukan selalu harus meminta bantuan

sarjana-sarjana, atau ahli-ahli ilmu pengetahuan, tetapi

juga pada orang-orang yang berpengalaman dan kurang

pendidikan, namun dalam bidangnya mereka sangat cendikia.

Umpamanya tukang kayu, tukang sepatu, pembuat senjata,

pemburu dan sebagainya yang untuk soal-soal tertentu dapat

memberi pertolongan yang sangat diperlukan. Ahli itu tidak

saja orang-orang terpelajar, tidak saja orang-orang yang

duduk di bangku sekolah, tetapi juga mungkin orang-orang


37
yang belum pernah bersekolah.
36

Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Per-kara


Pidana, cet.1 (Jakarta: Bina Aksara, 1987) Hal.23.
37
53

Dari ketiga pasal dan uraian terebut diatas dapat

ditarik kesimpulan bahwa seorang ahli merupakan orang yang

memiliki keahlian khusus atau mempunyai pengetahuan

tertentu dibidangnya, tidak harus sarjana atau ilmuwan.

Walaupun agak sedikit berbeda dengan ahli menurut

KUHAP dan pendapat para sarjana diatas. Pengertian menurut

Pasal 343 Nederlandse Strafveordering, Belanda, mengenai

ahli disebutkan :

”Keterangan ahli adalah pendapat seorang ahli yang


berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya, tentang sesuatu yang dimintai
pertimbangannya.”

Dari ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa

yang dimaksud dengan keahlian adalah didasarkan pada ilmu

pengetahuan yang dipelajari (dimiliki) seseorang.

Pengertian Ilmu pengetahuan (wetenschap) diperluas lagi

oleh HIR yang meliputi kriminalistik, sehingga Van Bemmelen

menyatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, pengetahuan

tentang sidik jari dan sebagainya termasuk dalam ilmu

pengetahuan. Masih menurut Van Bemmelen, sebagai ahli

Ibid., hal. 24.


54

seseorang dapat didengar keterangannya mengenai persoalan

tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu

mengetahui bidang tersebut secara khusus.38

Sebagai perbandingan, pengertian keterangan ahli

dalam peraturan pembuktian pada Michigan Supreme Court,

definisi ahli tertuang dalam, ”Rule 702 Testimony by

Expert” sebagai berikut :

”If the court determines that recognized scientific,


technical, or other specialized knowledge the trier
of fact to understand the evidence or to determine a
fact in issue, a witness qualified as an expert by
knowledge, skill, experience, training, or
education, may testify thereto in the form of an
opinion or otherwise.”39

Seseorang memiliki kualifikasi sebagai seorang ahli

jika mempunyai, pengetahuan, keahlian, pengalaman dan

38

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV.


Sapta Artha Jaya, 1996), Hal. 281-282.

39

G. Jack Bologna and Robert J. Lindquist, Fraud Auditing and


Forensic Accounting, (New York,United States: John Wiley & Sons, Inc.,
1987), hal. 137.
55

pelatihan atau pendidikan yang memadai terhadap hal pokok

yang berhubungan dengan keterangan yang diberikannya.

2. Kedudukan Ahli

Kedudukan ahli pada prinsipnya adalah sama dengan

kedudukan saksi di dalam suatu perkara pidana. Keduanya

dapat berada pada posisi dipihak penuntut umum atau untuk

kepentingan/permintaan penuntut umum atapun berada pada

posisi di pihak terdakwa atau untuk kepentingan/permintaan

dari terdakwa atau penasihat hukumnya. Dengan demikian

apabila ahli diminta memberikan keterangan dipersidangan

oleh penuntut umum, maka pada prinsipnya posisi ahli akan

memberikan keterangan untuk mendukung dalil atau dakwaan

dari penuntut umum atau disebut juga saksi yang memberatkan

(saksi a charge), sedangkan apabila berasal dari terdakwa

maka keterangan ahli tersebut diupayakan untuk

menguntungkan posisi terdakwa (saksi a de charge) atau

untuk melemahkan dalil penuntut umum.

Untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak

tersangka untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan

penuntut umum atau penyidik, undang-undang memberikan juga

kepada tersangka atau terdakwa hak untuk mengajukan saksi


56

dan ahli sebagai mana dinyatakan pada Pasal 65 KUHAP,

bahwa:

”Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan


mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki
keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya”.

Sedangkan untuk penyidik dinyatakan pada Pasal 120

ayat (1) KUHAP, ”dalam hal penyidik menganggap perlu, ia

dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki

keahlian khusus”.

3. Syarat Sahnya Keterangan Ahli.

Suatu keterangan ahli untuk dapat menjadi alat bukti

yang sah haruslah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam

undang-undang. Syarat-syarat sahnya keterangan ahli

tersebut adalah sebagai berikut :

a. Syarat Formil

Keterangan Ahli harus diberikan dibawah sumpah.

Seorang ahli dalam memberikan keterangan ahli wajib

mengucapkan sumpah baik pada tahap penyidikan maupun pada


57

saat di persidangan. Pada tahap penyidikan, ahli mengangkat

sumpah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 120 ayat 2 KUHAP:

”Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan


janji di muka penyidik bahwa ia akan memberikan
keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-
baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta
martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan
ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan
keterangan yang diminta”.

Jika pada saat pemeriksaan ahli dihadapan penyidik

tidak dibuat dengan mengingat sumpah maka pada pemeriksaan

di sidang pengadilan ahli tersebut harus mengucapkan sumpah

atau janji, hal ini dijelasakan pada penjelasan pasal 186

KUHAP sebagai berikut:

”Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada


waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum
yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima
jabatan atau pekerjaan.
Jika hal tersebut tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka
pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan
keterangan dan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah
ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim”.
58

Pada tingkat persidangan, sebelum memberi keterangan

ataupun sesudah memberi keterangan, saksi atau ahli wajib

mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-

masing. Apabila yang bersangkutan menolaknya, maka

pemeriksaan terhadapnya tetap dilanjutkan dan dengan

penetapan hakim ketua, saksi atau ahli tersebut dapat

dikenakan sandera di rumah tahanan negara paling lama empat

belas hari. Jika waktu tersebut telah terlampaui, yang

bersangkutan tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan

janji, maka keterangan yang telah diberikannya merupakan

keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim (Pasal 160

ayat (3) dan (4) KUHAP jo. Pasal 161 KUHAP).

b. Syarat Materil

1) Keterangan ahli harus diberikan oleh seorang ahli.

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa istilah

”ahli” tidak didefinisikan didalam KUHAP. Namun dari pasal-

pasal di dalam KUHAP dan pendapat para ahli serta

perbandingan dengan hukum negara lainnya dapat disimpulkan

bahwa seorang ahli merupakan orang yang memiliki keahlian

khusus atau mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman,

pelatihan dan pendidikan tertentu dibidang masing-masing.


59

2) Keterangan yang diberikan menurut pengetahuan yang

sebaik-baiknya.

Keterangan menurut pengetahuannya adalah menurut

disiplin ilmunya atau bidang keahliannya. Disinilah letak

perbedaan antara keterangan saksi yang mesyaratkan apa yang

ia dengar, lihat dan yang ia alami sendiri dibandingkan

dengan keterangan ahli yang mesyaratkan pendapat menurut

pengetahuan dibidang keahliannya. Bagi seorang saksi, yang

bersangkutan harus mendengar sendiri, dan mengalami sendiri

suatu tindak pidana dengan menyebut alasan pengetahuannya

tersebut, sedangkan bagi seorang ahli harus mempunyai

pengetahuan, pengalaman, pelatihan atau pendidikan khusus

dalam bidang tertentu dalam memberikan pendapat terhadap

suatu peristiwa pidana.

Tradisi di United States, kesaksian selain dari pada

ahli tidak dapat memberikan keterangan saksi berbentuk

pendapat, asumsi, kesan, generalisasi atau kesimpulan

tetapi hanya memberikan kesaksian terhadap sesuatu atau

kejadian didasarkan pada lima indera (five senses) yang

dialaminya yaitu apa yang dia lihat, cium, rasakan, sentuh,

dan dengar langsung. Selain itu hal tersebut haruslah


60

secara hukum dan logika dianggap relevan dengan kasus yang

bersangkutan.40

3) Keterangan ahli harus diberikan di depan sidang

pengadilan.

Untuk dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah

sebagaimana dimaksud oleh pasal 184 ayat (1) KUHAP,

keterangan ahli dinyatakan oleh ahli yang bersangkutan di

sidang pengadilan, berdasarkan Pasal 186 KUHAP ”Keterangan

ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang

pengadilan.”.

Oleh karena itu apabila keterangan ahli ini sudah

diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik sebagaimana

dimaksud oleh penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka keterangan

yang telah diberikan oleh ahli tersebut bukan merupakan

alat bukti keterangan ahli, melainkan merupakan alat bukti

surat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 187 KUHAP huruf c

berikut ini:

40

William T. Thornhill. op.cit., hal. 132.


61

Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1)

huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

sumpah, adalah :

a. ....
b. ....
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi daripadanya.
d. ....

4) Tidak mempunyai hubungan dengan terdakwa sebagaimana

yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan.

Ahli haruslah tidak mempunyai hubungan dengan

terdakwa sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 168 dan

170 ayat (1) KUHAP, serta pasal 7 dan 8 (Undang-undang No.3

Tahun 1971) atau Pasal 35 Undang-undang No. 31 tahun 1999.

Undang-undang memberikan perkecualian kepada

beberapa orang untuk dapat mengundurkan diri sebagai saksi

atau ahli, baik karena hubungan kekeluargaan maupun karena

ada hubungan tertentu karena pekerjaan, martabat atau

jabatannya. Untuk lebih jelasnya berikut pasal-pasal

tersebut:

Pasal 168 KUHAP.


62

Kecuali ditentukan lain menurut Undang-undang ini,


maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus
ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sam sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara
terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah
bercerai atau yang sama-sama sebagai terdakwa.

Akan tetapi menurut pasal 169 KUHAP, apabila orang-

orang tersebut menghendaki sebagai saksi dan penuntut umum

serta terdakwa secara tegas menyetujuinya mereka dapat

memberikan keterangan di bawah sumpah. Bahkan tanpa

persetujuanpun, mereka itu diperkenankan memberikan

keterangan tanpa sumpah.

Pasal 170 ayat (1) KUHAP.


Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta
dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan
sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan
kepada mereka.

Sedangkan pada Pasal 35 Undang-undang No. 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan

bahwa:
63

(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai


saksi atau ahli kecuali ayah, ibu, kakek, nenek,
saudara kandung, istri atau suami, anak, dan
cucu dari terdakwa.

(2) Orang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai
saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui
secara tegas oleh terdakwa.

(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (2), mereka dapat memberikan keterangan
sebagai saksi tanpa disumpah.

C. Tindak Pidana Korupsi

1. Sejarah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Korupsi sebagai suatu tindak pidana pada hakekatnya

telah ada sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan

korupsi sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) Bab XXVIII tentang Kejahatan Jabatan.

Pada periode setelah kemerdekaan yaitu masa mengisi

kemerdekaan mulai tampak adanya penyelewengan-penyelewengan

yang merugikan kekayaan negara. Perbuatan tersebut semakin

merajalela sekitar tahun 1957-1958, menurut dugaan Prof.

Andi Hamzah hal itu disebabkan antara lain, karena kurang


64

lengkap dan efektifnya ketentuan-ketentuan yang tercantum

dalam KUHAP.41

Secara yuridis istilah korupsi pertama kali muncul

pada tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa

Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Peraturan

Pemberantasan Korupsi, yang berlaku berdasarkan Undang-

undang Nomor 74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya. Dalam

peraturan ini korupsi diberi arti yang luas ialah

”perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan

perekonomian negara”.

Pada awal masa pemerintahan orde baru, sebagai

reaksi terhadap aksi sosial masyarakat yang dipelopori oleh

mahasiswa terhadap korupsi yang masih juga tetap

merajalela, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi dengan

Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967. Pada tahun 1971

terbit Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak

Pidana Korupsi yang mengganti Undang-undang Nomor

24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan

Tindak Pidana Korupsi.


41

Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan Dalam Penangkalan Tindak


Pidana Korupsi, (Jakarta: Aksara Persada Indonesia), Hal. 50.
65

Pada masa reformasi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971

yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan dengan

perkembangan kebutuhan masyarakat diganti dengan Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang kemudian dilakukan perubahan dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Pada undang-undang ini

diatur juga tentang Tim Gabungan yang dikoordinasi oleh

Jaksa Agung untuk kasus korupsi yang sulit pembuktiannya.

Selain itu juga ada Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta Undang-undang Nomor 28

Tahun 1999 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan

Bebas KKN. Dalam Undang-undang ini terdapat lembaga yang

bernama Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara

(KPKPN).

Dengan adanya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka

pasal yang mengatur mengenai KPKPN dan Tim Gabungan

dinyatakan tidak berlaku.


66

2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin ”corruptio” yang

berarti kerusakan atau kebobrokan. Di samping itu perkataan

korupsi dipakai pula untuk menunjukkan keadaan atau

perbuatan yang busuk.42

Black,s Law Dictionary mendefinisikan korupsi adalah

sebagai:

“Corrupt” as “ spoiled; tainted; vitiated; debased;


morally degenerate. As used as a verb, to change
one’s morals and principles from good to bad.”43

Beberapa pengarang lain mendefinisikan korupsi

sebagai:

“an act done with an intent to give some advantage


inconsistent with official duty and the rights of
others. The act of an official or fiduciary person
who unlawfully and wrongfully uses his station or
character to procure some benefit for himself or for
another person, contrary to duty and the rights of
others.”.44
42

Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam


Penanggulangan Korupsi di Indonesisa,(Bandung: Sinar Baru, 1983), hal.
16.
43

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 5th. ed (St. Paul


MN: West Publishing Co., 1979), hal. 311.
44

Joseph T. Wells, Corporate Fraud Handbook Prevention and


Detection, (Canada: John Wiley & Sons, Inc., 2004), hal. 276.
67

Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan

ketentuan perundang-undangan pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalah :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan


perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling tinggi Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”45

Unsur unsur dari pasal tersebut adalah:

a. Setiap Orang

Permasalahan yang terkait dengan subyek tindak

pidana korupsi adalah pendapat dan pemahaman umum yang

mengkaitkan subyek tindak pidana ini hanya pegawai negeri

saja. Swasta atau orang yang bukan pegawai negeri dianggap

bukanlah subyek tindak pidana korupsi, karena menyangkut

uang negara. Pendapat ini berangkat dari pemahaman atas

45

Indonesia. Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi, UU No. 31, LN No.140 tahun 1999, TLN. No. 3874., pasal
2 ayat (1).
68

banyak pendapat para ahli yang seringkali mengubungkan

antara perbuatan yang menyimpang dari kewajiban pegawai

(official duty) dengan perbuatan yang dilakukan oleh

Pegawai atau orang yang dipercayakan melaksanakan

kewajiban/pejabat (official or fiduciary person).

Jika dilihat berdasarkan sumber perumusan delik,

maka perumusan yang ada dalam Undang-undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat digolongkan

kedalam dua golongan :

1) Perumusan yang dibuat sendiri oleh pembuat


Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2) Pasal-pasal KUHP yang ditarik dan langsung
disebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam KUHP
yang diacu.46

Golongan pertama tercantum pada Pasal 2 ayat (1) dan

Pasal 3, sedangkan golongan kedua mulai dari pasal 5 sampai

dengan Pasal 12.

46

A. Hamzah, Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan untuk


Pimpinan Poryek, Penegak Hukum dan Umum, ed. 1., cet. 2., (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1985), hal. 19.
69

Dalam perumusan delik pada UU Nomor 31 tahun 1999

subyek tindak pidana korupsi secara umum disebut dengan

setiap orang, pengertian setiap orang pada Pasal 1 angka 3

didefinisikan sebagai “Setiap orang adalah perseorangan

atau termasuk korporasi”. Dengan demikian pengertian setiap

orang tidak hanya pegawai negeri saja tetapi juga termasuk

bukan pegawai negeri dan korporasi.

b. Melawan Hukum

Istilah melawan hukum merupakan terjemahan dari

wedderechtelijk. Dalam doktrin mengenai wedderechtelijk ini

terdapat dua aliran besar, yakni :

1) wedderechtelijk formal

2) wedderechtelijk materieel

Aliran yang formal mengajarkan, suatu perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Aliran ini mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang

tertulis.

Aliran yang materieel mengajarkan suatu perbuatan

mungkin melawan hukum meskipun tidak secara tegas dilarang

dan diancam dengan undang-undang. Aliran ini mendasarkan


70

pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang hidup di

masyarakat, seperti asas asas umum yang berlaku.47

Pengertian melawan hukum dalam undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam arti

formil dan materieel. Hal tersebut dinyatakan dalam

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut :

“Yang dimaksud “secara melawan hukum” dalam pasal


ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam perundanag-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-
norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana.”

c. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi.

Memperkaya diri ialah selalu dan terus menerus

menambah harta kekayaan dengan jalan melawan hukum,

sehingga kekayaan yang diperoleh sebagai tambahan itu tidak

47

Martiman Prodjohamidjojo, Pemberantasan Korupsi Suatu


Komentar, cet. 1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984), hal. 8.
71

seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaan yang ia

miliki.48

d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara.

Yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi

keuangan daerah, badan atau badan hukum yang menggunakan

modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau

masyarakat dengan dana-dana dari masyarakat tersebut untuk

kepentingan kemanusiaan dan lain-lainnya.49

Pada Penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999,

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bagian I.

Umum, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh

kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau

tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian

kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul

karena:

48

Ibid., hal. 10.


49

Ibid., hal. 10.


72

a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan


pertanggungjawaban lembaga negara, baik
ditingkat pusat maupun daerah.
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan
hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal
negara, atau perusahaan yang menyertakan modal
pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan
negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara


adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun
usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
kepada kebijakan pemerintah, baik tingkat pusat
maupun daerah sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh rakyat.50
Masalah kerugian negara menjadi perdebatan yang

berkepanjangan pada masa lalu, banyak pendapat yang

menyatakan bahwa jika kerugian negara sudah dikembalikan

maka tidak ada lagi kerugian negara dan dengan demikian

maka tidak terjadi tindak pidana korupsi. Pandangan ini

didasarkan pada asumsi bahwa tindak pidana korupsi

merupakan delik materiil dengan demikian jika akibat dari

suatu perbuatan korupsi sebagai kerugian negara tidak ada

maka tidak terjadi tindak pidana. Pendapat lain menyatakan


50

Indonesia. Undang Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, UU No. 31, LN No.140 tahun 1999, TLN. No. 3874., penjelasan
umum.
73

bahwa walaupun kerugian negara sudah dikembalikan tidak

menghapus tindak pidana yang bersangkutan.

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyatakan dalam

penjelasan umum bahwa :

“Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi


dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil.
Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan
rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang
ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada
negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan
kepengadilan dan tetap di pidana.”

Hal ini juga secara tegas dinyatakan dalam Pasal 4

“Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara

tidak menghapuskan dipidananya pelaku sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”.

Disamping itu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)

dinyatakan juga

“Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum kata


“merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.”
74

Você também pode gostar