Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
http://www.kalbefarma.com/cdk
ISSN : 0125-913X
THT
vol.34 no.2/155
Maret – April 2007
2007
http://www.kalbefarma.com/cdk
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Artikel
61. Kajian Manfaat Tonsilektomi - Tolkha Amarudin, Anton Christanto
69. Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis Maksila Kronis - Delfitri Munir,
Beny Kurnia
73. Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita
Tonsilo-Faringitis Akut di Puskesmas Jakarta Pusat terhadap Beberapa
Antimikroba Betalaktam - Retno Gitawati, Ani Isnawati
77. Pola Sebaran Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotika Sekret Telinga Tengah
Penderita Mastoiditis Akut di RS Dr Kariadi Semarang 2004 – 2005 -
Kristiawan AR, Jogjahartono, Pujo Widodo
81. Pendekatan Molekuler (RISA) untuk Membedakan Spesies Bakteri Otitis
Media Supuratif Kronik Benigna Aktif - Anton Christanto, Soepomo
Soekardono, Agus Surono, Novi Primadewi, Roikhan Harowi
87. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II
Sekolah Dasar di Kota Semarang - Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno
93. Aspek Fisiologis dan Biomekanis Kelelahan Bersuara serta
Penatalaksanaannya - Hamsu Kadriyan
96. Paparan Formaldehid sebagai Faktor Risiko Kanker Nasofaring - Kajian
pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. Dr. Kariadi Semarang - Adi
Ket.gambar: struktur silia di dalam organ Corti Nolodewo, Yuslam, Muyassaroh
s.geschmeisnerr spl
100. Hubungan antara Densitas Mikrovaskuler dengan Respon Klinik Penderita
Karsinoma Nasofaring WHO 2 dan WHO 3 terhadap Terapi Radiasi -
Willy Yusmawan, Amriyatun
E D I T O R I AL
Kalangan masyarakat luas pernah menganggap bahwa ‘penyakit amandel’
akan menyebabkan anak menjadi ‘bodoh’. Penelitian Farokah mencoba
meneliti kebenaran anggapan tersebut – hasilnya dapat sejawat baca di
Cermin Dunia Kedokteran edisi ini ; yang harus ditafsirkan dengan hati-hati
sesuai dengan kasus atau situasi yang anda hadapi.
Yang juga perlu dibaca ialah kajian manfaat tonsilektomi yang kami
sertakan, bersama - sama dengan penelitian jenis kuman utama yang
menyebabkan radang tonsil akut. Masalah infeksi di bidang THT lain seperti
mastoiditis dan radang telinga tengah juga kami ketengahkan.
Kanker nasofaring – salah satu keganasan yang sering dijumpai juga
dibahas, antara lain mengenai hubungannya dengan paparan formaldehid.
Artikel tambahan yang juga menarik ialah pengaruh puasa terhadap kadar
kolesterol darah – sejawat dapat mengambil manfaat tambahan darinya.
Selamat membaca, saran dan kritik tetap kami tunggu untuk meningkatkan
mutu majalah ini,
Redaksi
- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - Prof. DR. Arini Setiawati
MScD, PhD. Bagian Farmakologi
TATA USAHA Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Dodi Sumarna Universitas Indonesia, Jakarta Jakarta
INFORMASI/DATABASE
Ronald T. Gultom, SKom
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171
E-mail : cdk@kalbe.co.id
DEWAN REDAKSI
http: //www.kalbefarma.com/cdk
- Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D - Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
NOMOR IJIN Zahir MSc.
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
- Dr. Karta Sadana - Dr. Sujitno Fadli
PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.
PENCETAK http://www.kalbefarma.com/cdk
PT. Temprint
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
selama 1990 – 1996 terjadi penurunan jumlah adenotonsil- yang menutupi 4/5 bagian tonsil.10 Plika triangularis atau plika
ektomi, angka tonsilektomi pada anak turun dari 602 per 100 retrotonsilaris atau plika transversalis merupakan struktur
000 menjadi 511 per 100 000, 44 % perempuan dan 54% normal yang telah ada sejak masa embrio. Plika triangularis
dengan adenoidektomi.3 Di Amerika Serikat tonsilektomi terletak di antara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub
dilakukan sampai 1.500.000 tindakan pada tahun 1970 dan bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot
286.000 orang menjalani adenotonsilektomi, sedangkan tahun palatofaringeus.10 Fossa tonsil atau sinus tonsil yang di
1985 dilakukan 400.000 tonsilektomi.1 dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi oleh otot-otot
Di Indonesia sampai saat ini jumlah kasus tonsilektomi orofaring: 1) Batas anterior adalah otot palatoglossus, disebut
masih sulit didapat. Dari catatan medis RSUP Dr Sardjito plika anterior, 2) Batas posterior adalah otot palatofaringeus,
tonsilektomi merupakan lebih dari separuh dari seluruh disebut plika posterior, 3) Batas lateral atau dinding luarnya
tindakan pembedahan di bagian THT. Data pada tahun 1996 adalah otot konstriktor faring superior. Plika anterior
dan tahun 1997 sejumlah 107 tindakan, tahun 1998 ada 102 berbentuk seperti kipas di rongga mulut, mulai dari palatum
tindakan, dan tahun 1999 94 tindakan. Tonsilektomi tahun mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Plika posterior adalah
2003 tercatat sebanyak 59 kasus, tahun 2004 hingga bulan otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba
Agustus sebanyak 45 kasus, rentang umur terbanyak 5-15 Eustachius dan dasar tengkorak. ke arah bawah meluas hingga
tahun, indikasi tersering adalah tonsilitis kronis. Terlihat dinding lateral esofagus. (Gambar 1)
angka tonsilektomi dari tahun ke tahun mengalami penurunan, Plika anterior dan plika posterior ini bersatu di atas di
mungkin disebabkan indikasi tonsilektomi makin ketat.4 palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan
di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Di bagian atas
ANATOMI fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil.
Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa
tonsil.
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a.
karotis eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang
mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a.
maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a. palatina
desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis
dorsal, dan a. faringeal asenden.
Arteri tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m.
konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan
palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-
cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil
melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis
dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke
tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina
Gambar 1. Anatomi tonsila palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatine artery
memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan
Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-
di fossa tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina lebih pleksus dari faring.10,11,12
padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateral- Aliran getah bening dari daerah tonsil menuju ke
nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node)
terdapat kripta.10 bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus.
Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan Selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktuli
masuk ke bagian dalam jaringan tonsil. Umumnya berjumlah torasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh
8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. melalui perjalanan aliran getah bening.
Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V
permukaan medial tonsil. Saluran kripta ke arah luar biasanya melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf
bertambah luas; hal ini membuktikan asalnya dari sisa glossofaringeus (N. IX).12
perkembangan kantong brakial II. Secara klinik kripta dapat
merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena MORFOLOGI TONSILA PALATINA
dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman.9,10,11 1. Kripte dan Epitel Tonsil
Permukaan lateral tonsil yang tersembunyi ditutupi oleh Susunan kripte tubuler di bagian dalam menjadi salah
suatu membran jaringan ikat disebut kapsul; walaupun para satu karakteristik tonsila palatina. Tonsila palatina memiliki
ahli anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para pakar 10 – 30 kripte dan luas permukaan 300 cm2. Masing-masing
klinik menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih kripte tidak hanya bercabang tapi juga saling anastomosis.
Bersama dengan variasi bentuk dan ukuran folikel limfoid 5= memory B cells) telah diidentifikasi pada tonsil manusia.
menyebabkan keragaman bentuk tonsil. Kripte berisi sel Folikel limfoid tonsil berisi jaringan follicular dendritic
degenerasi dan debris selular. Epitel kripte adalah modifikasi cells (FDC) dan sebuah kelas khusus sel dendritik sentrum
epitel skuamosa berstratifikasi yang menutupi bagian luar germinativum yang mengaktivasi sel T di sentrum
tonsil dan orofaring. Derajat retikulasi (jumlah limfosit germinativum. FDC mampu menahan sejumlah besar
intraepitel) epitel sangat bervariasi. Retikulasi epitel kripte kompleks imun di membran plasma untuk jangka lama dan
berperan penting dalam inisiasi imun respon pada tonsila dengan cara beraksi sebagai antigen presenting cells yang
palatina. Pada kripte antigen lumen diambil oleh sel khusus memberikan lingkungan yang sesuai untuk proliferasi dan
dari retikulasi epitel skuamosa yang menyerupai membran sel diferensiasi sel B di sentrum germinativum. Selanjutnya FDC
intestinal peyer’s patches, atau yang dikenal sel M. berperan dalam modulasi kerentanan terhadap apoptosis sel B
Sel M melakukan endositosis antigen, mentranspor di folikel limfoid. Secara ultrastruktur teridentifikasi 7
antigen ke dalam vesikel di basolateral membran dan populasi FDC berbeda namun belum jelas apakah mereka
eksositosis ke rongga intra dan subepitel tempat terjadinya memiliki fungsi yang berbeda. Seperti sel B, FDC sebagian
kontak dengan jaringan limfoid. Sel M tonsil terdiri dari besar terletak dalam dark zone, sedangkan proliferasinya
sedikit sel epitel kripte dan memiliki mikrovilli khusus di terbanyak terletak pada light zone.14
bagian apeks. Fungsi transpor sel M tidak hanya menyediakan
sampling antigen tapi juga sebagai gateway bagi infeksi 3. Daerah Ekstrafolikuler
mukosa atau imunisasi. Sel M memiliki relevansi klinis karena Daerah ekstrafolikular berisi sel T (terutama fenotip
beragam antigen menggunakan sel M sebagai pintu masuk helper, CD 4), interdigitating dendritic cells (IDC), makrofag,
untuk menginvasi host. dan venula khusus yang dikenal high endothelial venules
Sel T dan sel B dapat ditemukan di semua bagian epitel (HEV). HEV diperlukan sebagai pintu masuk sel T dan B dari
tanpa pola distribusi tertentu. Sebagian makrofag dan darah ke dalam tonsil. Dalam zona ekstrafolikuler, terdapat sel
dendritic cells juga berkontribusi terhadap populasi sel non penghasil sitokin spesifik (IL - 1α dan TNFα dari makrofag
epitel. Sel plasma dominan terdapat di sekitar kapiler sebaik IDC, IL-2 dan IFN-γ dari sel T) dan produksi
intraepitel. Banyaknya sel immunokompeten dalam epitel antibodi.14
kripte membentuk satu mikrokompartemen limfoid tersendiri
dalam tonsila palatina14 (gambar 2).
bermigrasi dari dark zone ke light zone, mengembangkan stimulasi oleh IL-4, dan bersama IL-6 menginduksi ekspresi
suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi melalui sel reseptor IL-2 pada sel T istirahat. Terhadap sel sel B, IL-1
plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig bersama IL-4 merupakan aktifator dan khusus IL-1α berperan
(IgG 65%, IgA 20%, sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu membantu sintesis DNA pada perkembangan sel B.
melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak antigen IL-2 dikenal sebelumnya sebagai T-cell growth factor
dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan penting diproduksi oleh sel T. Hanya sel T aktif mengekspresikan
untuk menghasilkan respon imun sekunder. Meskipun jumlah reseptor dengan afinitas tinggi dan mensekresi IL-2 sehingga
sel T terbatas namun mampu menghasilkan beberapa sitokin ekspansi sel T terkontrol. IL-2 berpengaruh terhadap sel T
(misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel B. sebagai aktifator dan faktor pertumbuhan yang kuat, berperan
Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit menginduksi pertumbuhan dan differensiasi sel NK dan sel B,
yang berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui serta mengaktifkan makrofag dan monosit.
HEVdan kembali ke sirkulasi melalui limfe. Tonsil berperan IL-4 dikenal sebagai B-cell activating differentiating
tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar bagi limfosit, factor-1 (BCDF-1) berpengaruh terhadap sel B dalam induksi,
beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin, aktivasi, dan diferensiasi, terutama untuk memproduksi IgG
dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel dan IgE, sehingga IL-4 yang tinggi berperan dalam alergi. IL-
B untuk berperan di dalam kripte.14 4 diproduksi oleh subpopulasi sel T dan sel mast setelah sel T
diaktifkan atau terjadi ikatan silang reseptor pada basofil dan
TONSILITIS KRONIS sel mast. IL-4 juga berperan mengarahkan perkembangan sel
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi T menjadi sel Th2 dengan cara menghambat differensiasi sel
tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat; Th0 menjadi sel Th1. Pengaruh terhadap Th0 dinetralisir oleh
mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu IL-12 yang mengadakan regulasi silang dengan IL-4.
pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini Terhadap makrofag IL-4 akan menginduksi ekspresi MHC II,
biasanya diikuti dengan pengobatan dan serangan yang tetapi menghambat produksi sitokin.
berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4 bulan. Seringnya IL-5 merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel T
serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis aktif, dengan bentuk aktif fungsional berupa disulfid dengan
kronis yang merupakan infeksi fokal.11,12,17 ikatan dimer. Bentuk ikatan ini memungkinkan IL-5
Gejala tonsilits kronis menurut Mawson (1977): 1) gejala berinteraksi pada reseptor yang diekspresikan oleh eosinofil,
lokal, bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit basofil dan sel B aktif. Pada sel B, IL-5 bertindak sebagai
tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2) gejala sistemis, rasa faktor pengaktif sel B dan bersinergis dengan IL-6 berperan
tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, besar dalam produksi IgA. Dikenal juga sebagai faktor
nyeri otot dan persendian, 3) gejala klinis tonsil dengan debris differensiasi eosinofil dan patologis berperan pada penyakit
di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi alergi melalui sekresi eosinophil major basic protein dan
tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan neurotoksin akibat degranulasi eosinofil.
kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior IL-6 menjadi B-cell differentiating factor diproduksi oleh
hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.18 makrofag, endotel dan fibroblast. Fungsi utamanya adalah
Boies (1978) dan Paparella (1980), mengemukakan gejala menginduksi sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel
tonsilitis kronis antara lain: 1) gejala klinis, rasa nyeri di pembentuk antibodi dan jika bersama IL-1 bertindak sebagai
tenggorok disertai demam ringan, nyeri sendi, 2) gejala lokal, co-stimulator ekspresi reseptor IL-2 pada sel T.
hipertrofi tonsil, permukaan berbenjol–benjol, kripte melebar IL-8 diproduksi oleh makrofag dan endotel, terlibat dalam
dan jika kripte ditekan keluar massa seperti keju. Kadang– inflamasi dan migrasi sel, merupakaan inducer kuat
kadang tonsil atrofi atau degenerasi fibrotik dan terlihat dalam kemotaksis neutrofil, sel T memori, monosit, dan basofil. IL-8
fossa tonsilaris, jika ditekan terdapat discharge purulen, dan juga dikenal sebagai faktor angiogenik yang berperan serta
pembesaran kelenjar limfe regional.4,12 pada peningkatan vaskularisasi beberapa tumor.
Gambaran respon imun selular pada tonsillitis kronik IL-10 menjadi mediator penghambat produksi sitokin,
menunjukkan terjadinya peningkatan deposit antigen pada menghambat INFγ, menghambat presentasi aantigen dan
jaringan tonsil. Hal ini menyebabkan peningkatan regulasi sel- menghambat makrofag memproduksi IL-1, IL-6 dan TNFα
sel imunokompeten yang terjadi terus-menerus. Fenomena serta berperan dalam regulasi IgE. Diproduksi oleh sel Th0
peningkatan tersebut telah dibuktikan oleh Agren et al. yang dan Th2 dari sel T dan produksinya dihambat oleh INFγ.
mendapatkan peningkatan insidensi sel yang mengekspresikan Disamping IL-10 berperan sebagai sitokin anti inflamasi, IL-
IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4.19 10 juga bersinergi dengan sitokin lain dalam menstimulasi
IL-1 terdiri dari 2 bentuk yakni IL-1α dan IL-1β keduanya proliferasi sel B. Bersama TGFβ menyebabkan produksi IgA
mempunyai aktifitas biologis sama. IL-1α dibuat oleh oleh sel B.
makrofag sedangkan IL-1β dibuat oleh sel-sel epitel (endotel) TNFα merupakan imunomodulator respon imun yang
dan fibroblas setelah diaktifkan antigen, merupakan sitokin kuat memperantarai induksi molekul adhesi, produksi sitokin,
kunci pada proses inflamasi yang berperan sentral dalam aktifasi neutrofil, dan sinergi dengan sitokin lain bersifat
respon imun. Pengaruh IL-1 terhadap sel T adalah mitogen terhadap endotel. Disekresi oleh beberapa sel antara
meningkatkan kemampuan proliferasi sel Th2 setelah lain oleh makrofag, sel T, sel B, dan sel NK. TNFα yang
disekresi oleh makrofag setelah berinteraksi dengan hipertrofi tonsil sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas
komponen bakteri. dan saluran makanan yang gagal diatasi secara konservatif, 6)
INFγ dikenal sebagai antivirus merupakan glikoprotein untuk pengambilan prosesus styloideus pada neuralgia, 7)
monomer yang dibuat oleh sel T aktif (Th0, Th1 dan CD8+) kecurigaan keganasan jika biopsi tidak cukup. Yang termasuk
dan sel NK. INFγ pengaktif kuat bagi makrofag untuk indikasi fokal adalah: 1) adenitis servikal menetap, 2) infeksi
menginduksi NO sintetase, TNFα dan IL-1. Hal ini saluran nafas atas berulang, 3) rematik akut berulang yang
menjelaskan bagaimana sitokin meningkatkan kemampuan dihubungkan dengan tonsilitis, 4) glomerulonefritis akut yang
mikrobakterisidal makrofag. INFγ juga sinergis dengan dihubungkan dengan tonsilitis, 5) radang dan infeksi,
beberapa sitokin lain, misalnya TNFα memperantarai konjungtiva, sendi dan fascia yang dihubungkan dengan
sitotoksisitas berbagai tipe sel.20 tonsilitis. Yang termasuk indikasi umum adalah: berat badan
tidak bertambah, malaise.
INDIKASI TONSILEKTOMI Indikasi tonsilektomi menurut Adam (1996) dibagi atas
Saat ini indikasi tonsilektomi masih beragam. Di abad ke indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut adalah: 1)
20 tonsilektomi dilakukan karena tonsil merupakan fokus timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas kronis,
infeksi untuk penyakit sistemik seperti reumatisme. Menurut 2) hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu
Ballenger (1997), tidak ada rumusan baku untuk indikasi tidur, 3) hipertrofi berlebihan menyebabkan disfagi dan
tonsilektomi. Grey (1994) dan Simpson (1967) membagi penurunan berat badan, 4) biopsi eksisi kecurigaan keganasan,
indikasi tonsilektomi menjadi indikasi lokal, fokal dan umum, 5) abses peritonsil berulang atau abses yang meluas ke
sedangkan Boies (1997) atas indikasi relatif dan indikasi jaringan sekitarnya. Selain itu ada indikasi relatif yang masih
absolut. Royal College Paediatric & Child Health / RCPCH dapat diterima yaitu: 1) serangan tonsilitis berulang yang
(2000) dan Scottish Intercollegiate Guideline Network / SIGN tercatat, tonsilitis terkait streptokokus menetap dan patogenik
(2001), tidak membagi indikasi tonsilektomi menjadi indikasi (keadaan karier), 2) hipertrofi tonsil dengan obstruksi
relatif dan indikasi absolut. fungsional, 3) riwayat demam rematik, 4) radang tonsil kronis
Antoni W (2002) menyatakan bahwa kriteria pasien tidak responsif terhadap terapi medikamentosa.
dirujuk untuk tonsilektomi adalah 1) ada riwayat abses Rekomendasi indikasi tonsilektomi dari Scottish
peritonsiler, 2) ada riwayat obstruksi akibat hipertrofi tonsil, Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) adalah pasien
3) ada riwayat empat atau lebih episode faringitis streptokokal yang memenuhi semua kriteria berikut: 1) Sakit tenggorokan
yang telah dikonfirmasi laboratorium dalam 1 tahun atau sakit disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode sakit
tenggorokan kronik dengan adenopati yang tidak responsif tenggorok tiap tahun, 3) Gejala sekurangnya 1 tahun, 4)
terhadap terapi selama 6 bulan atau lebih, 4) ada episode sakit Episode sakit tenggorokan mengganggu dan membatasi fungsi
tenggorokan yang mengganggu fungsi normal.7 normal.
Rekomendasi kriteria rujukan indikasi tonsilektomi pada Pasien jarang dirujuk ke spesialis dalam kondisi akut,
tonsilitis dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network oleh sebab itu episode sakit dan disability pasien harus
(SIGN) adalah adanya semua kriteria berikut 1) sakit dikonfirmasi. Dianjurkan periode 6 bulan pengamatan untuk
tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode menentukan pola gejala sakit tenggorokan dan memberi
sakit tenggorokan tiap tahun, 3) gejala sekurangnya 1 tahun, kesempatan pasien mempertimbangkan secara penuh implikasi
dan 4) episode sakit tenggorokan mengganggu dan membatasi operasi. Saat keputusan tonsilektomi diambil, seharusnya
fungsi normal. segera dilakukan saat keuntungan maksimal sebelum
Indikasi yang menjadi perdebatan adalah definisi tonsilitis penyembuhan alami terjadi.
kronis dan tonsilitis rekuren, di samping itu sampai sekarang
belum ada definisi praktis tonsilitis yang jelas dan diterima PEMBAHASAN
secara luas. Hal ini menyulitkan penelitian mengenai tonsilitis. Tonsilitis kronik sangat sulit diobati dan tonsilektomi
Paradise et al. (2003) mendefinisikan secara klinis sebagai lazim dilakukan. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan ber-
sakit tenggorok dengan 1) suhu oral 38,3° C, 2) eksudat tonsil bagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti
atau faring, 3) pembesaran > 2 cm atau nyeri tekan pada perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.
limfadenopati servikal dan 4) swab tenggorok menunjukkan Kriteria pembedahan yang diterima luas saat ini adalah
Streptokokus β hemolitikus grup A (SBHGA).8 Capper dan adanya 7 episode tonsilitis dalam satu tahun, 5 episode
Canter menyatakan bahwa kesepakatan gambaran diagnostik tonsilitis tiap tahun selama 2 tahun atau 3 episode tonsilitis
tonsillitis dan indikasi tonsilektomi sangat rendah. Indikasi tiap tahun selama 3 tahun. Kriteria lain yang sering dijadikan
yang paling banyak dianut adalah tonsillitis rekuren dan landasan adalah 1) Sakit tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2)
obstruksi traktus aerodigestif. Perbedaan definisi antara Lima atau lebih episode sakit tenggorokan tiap tahun, 3)
peneliti menyebabkan banyak penelitian sulit dibandingkan.9 adanya riwayat peritonsiler abses, 4) ada riwayat empat atau
Simpson et al. (1967) dan Gray (1992) membedakan lebih episode faringitis streptokokus yang telah dikonfirmasi
indikasi tonsilektomi dalam indikasi lokal, fokal dan general laboratorium dalam 1 tahun atau sakit tenggorokan kronik
(umum). Yang termasuk indikasi lokal: 1) abses peritonsil, 2) dengan adenopati yang tidak respon terhadap terapi selama 6
tonsilitis rekuren, 3) tonsilitis kronis, 4) tonsil sebagai karier bulan atau lebih, 5) ada episode sakit tenggorokan yang
Streptococcus Beta Hemolyticus Group A (SBGA), 5) menyebabkan gangguan fungsi normal.
Tonsilektomi perlu dipertimbangkan bila ada keyakinan tenggorokan berulang. Hasil penelitian Paradise et al.
tonsil sebagai fokus infeksi dan gagal dieradikasi dengan menunjukkan angka kejadian sakit tenggorokan pada tahun
terapi antibiotika yang adekuat. Tindakan tonsilektomi pertama kunjungan pada kelompok yang menjalani
dilakukan setelah meneliti kembali kegagalan pengobatan tonsilektomi 1,96 (P= 0,02); kelompok adenotonsilektomi
dengan antibiotika standar. Kegagalan terapi dapat pula 1,85 (P= 0,01); dan kelompok kontrol 2,78. Pada tahun ke dua
diakibatkan karena organisme yang ada telah membentuk masing-masing menjadi 1,59 (P= 0,01); 1,78 (P= 0,01); dan
koloni yang tidak responsif terhadap terapi, organisme resisten 2,85. Pada tahun ke tiga kelompok tonsilektomi 1,19
terhadap terapi antibiotika standar atau penderita tidak patuh (P=0,002); kelompok adenotonsilektomi 1,36 (P= 0,01); dan
minum obat sesuai takaran. kelompok kontrol 2,25. Insiden infeksi sakit tenggorokan di
Tonsil sebagai sumber infeksi (focal infection) merupakan kelompok tonsilektomi atau adenotonsilektomi lebih rendah
keadaan patologis akibat inflamasi kronis dan akan dibandingkan kelompok kontrol selama 3 tahun follow up.
menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi organ lain. Hal ini Sedangkan kejadiaan sakit tenggorokan di kelompok yang
dapat terjadi karena kripta tonsil dapat menyimpan bakteri menjalani tonsilektomi saja dan di kelompok
atau produknya yang dapat menyebar ke bagian tubuh adenotonsilektomi tidak berbeda bermakna.24
lainnya.. Dengan desain case series atas 290 penderita peritonsiler
Tonsila palatina yang terpapar infeksi bakteri dan virus abses, Kronenberg et al. (1987) mendapatkan bahwa penderita
dapat merupakan sumber autoantibodi terhadap sejumlah tonsilitis rekuren memiliki angka kekambuhan abses
sistem organ sehingga tonsil memainkan peranan penting peritonsiler lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa
terhadap patogenitas penyakit autoimun.. Tonsilitis fokal oleh riwayat tonsilitis rekuren (40% berbanding 10.5%, nilai p=
virus atau bakteri dapat menghasilkan berbagai antigen yang 0.0001). Tindakan konservatif tanpa tonsilektomi memberikan
mirip dengan bagian lain tubuh yang dapat memacu imunitas angka kekambuhan 22%.
seluler (cell-mediated) maupun imunitas humoral sehingga Gangguan fungsi pada penderita tonsilitis kronik dan
terjadi komplek imun terhadap bagian lain tubuh seperti kulit, dampaknya terhadap kualitas hidup telah banyak diteliti.
mesangium ginjal dan mungkin sendi kostoklavikula. Struktur Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi dan
tonsil dengan banyak tampaknya merupakan pintu gerbang deglutisi mengalami penurunan kualitas hidup, meningkatkan
bagi antigen asing dan merangsang respon imun pada tonsil. biaya perawatan kesehatan dan kehilangan waktu untuk
Tonsilektomi sering dilakukan pada tonsilitis kronik atau sekolah atau bekerja. Obstructive sleep apnea syndrome
rekuren karena tonsil tersebut telah dekompensata dari segi (OSAS), yang prevalensinya 1 – 3 % pada anak TK dan usia
imunologis. Pemeriksaan radioautografi elektron pada limfosit sekolah, menimbulkan masalah kesulitan bernafas malam hari
tonsil 20 penderita tonsilitis kronik dekompensata, terutama saat tidur, gangguan emosional, gangguan perilaku
menunjukkan di jaringan limfoid tonsil terjadi proliferasi dan gangguan neurokognitif.
limfosit T dan B dengan differensiasi jelek. Proses ini Penelitian before and after surgery oleh Goldstein et al.
ditunjukkan dengan kuatnya inkorporasi 3H+-thymidine menggunakan Child behavior checklist (CBCL) dan OSA-18
berbagai tipe limfosit yang berbeda. Tingginya inkorporasi (18 item berkaitan survai QOL pada penderita OSAS) menilai
prekursor radioaktif pada limfosit B menunjukkan terjadinya 64 pasien obstruksi saluran nafas dan atau tonsilitis. Hasil
diferensiasi menetap pada populasi limfosit ini. Esensinya penelitian menyebutkan bahwa gangguan perilaku dan
bahwa limfosit B menunjukkan menetapnya produksi emosional ditemukan pada anak dengan OSAS sebelum
maksimal substrat protein aktif yang memperantarai imunitas diobati dan membaik setelah adenotonsilektomi. Skor CBCL
humoral pada tonsilitis kronik.21 menunjukan korelasi signifikan dengan skor QOL (OSA-18).
Penelitian Unal et al. menggunakan desain before and Penelitian Lianne et al. dengan desain prospektif,
after, mengenai kadar sitokin (IL-1, IL-4, IL-6, IL-8 dan TNF- observasional, before and after trial, atas 101 pasien OSD
α) pada penderita tonsilitis kronik yang menjalani (obstructive sleep disorders) yang menjalani
tonsilektomi. Didapatkan penurunan kadar sitokin IL-1, IL-6, adenotonsilektomi; menggunakan OSD-6, yang meliputi
dan IL-8 setelah tonsilektomi. Peningkatan IL-1β dan IL-6 keluhan fisik, gangguan tidur, kesulitan bicara, kelainan
bertanggung jawab terhadap efek sistemik tonsilitis kronik menelan, distress emosional, keterbatasan fisik, dan perhatian
seperti demam rematik, pustulosis palmaris ataupun orang tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir
glomerulonefritis akut. 90% anak yang menjalani tonsilektomi mengalami
Penyakit nefropati Ig A, yang ditandai dengan adanya peningkatan QOL setelah pembedahan - 75% perbaikan besar
deposit Ig A terutama di mesangium glomerulus, sering terjadi dan 6% perbaikan sedang.
setelah ISPA seperti tonsilitis atau faringitis. Tonsil sebagai Neil et al. meneliti daya guna tonsilektomi pada dewasa
sumber infeksi fokal bertanggung jawab pada peningkatan dan menentukan pengaruhnya terhadap QOL. Desain yang
sirkulasi komplek imun Ig A nefrogenik. Suzuki et al. (2003) dipakai cross-sectional, menggunakan parameter Glasgow
menyebutkan bahwa pada pasien nefropati Ig A ditemukan Benefit Inventory (GBI) meliputi demografi, penggunaan
deposit membran luar Haemophilus parainfluensa di antibiotik, kunjungan pasien, kehilangan waktu kerja
glomerulus dan peningkatan serum Ig A terhadap antigen disebabkan tonsilitis kronik selama 12 bulan sebelum dan
membran luar Haemophilus parainfluensa.23 setelah tonsilektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Tonsilektomi tidak mencegah terjadinya sakit tonsilektomi pada dewasa memberikan perbaikan QOL pasien.
Tonsilektomi juga menurunkan pemakaian sarana kesehatan 5. Ulina S. Hasil guna ketoprofen dalam mengatasi nyeri pasca
tonsilektomi. Karya Akhir Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan
dan waktu kerja yang hilang. Tenggorok. RSUP DR. Sardjito/FK UGM. 2002.
Keuntungan tonsilektomi secara ekonomi diteliti oleh 6. Royal College Paediatric & Child Health. Management of acute and
Bhattacharyya et al. menggunakan break even time analysis recurring sore throat and indication for tonsillectomy. RCPCH. London.
model pada 83 pasien yang menjalani tonsilektomi karena 2000.
7. Anthony WC. Pharyngitis and Tonsillitis. In Best Practice of Medicine.
tonsilitis kronik, menggunakan GBI dan kuesioner untuk www.info@mdx.com. 2002.
menilai sebelum dan setelah tonsilektomi. Dalam 1 tahun 8. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn K, Benard BS, Rockette HE, Lasky
terdapat penurunan pemakaian antibiotik, kunjungan pasien ke MK. Tonsillectomy and adenotonsilectomy for recurrent throat infection
dokter dan hari kerja yang hilang. Break even point in moderately affected children. Pediatrics 2002;110: 7-15.
9. Ballanger JB. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.
keseluruhan tonsilektomi dicapai pada 2,3 tahun. Berdasar Ed.13. Binarupa Aksara. Jakarta: 318-323.
fakta tersebut dapat disimpulkan tonsilektomi menurunkan 10. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In:
pemakaian fasilitas kesehatan, meminimalkan economic Synopsis of Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann
burden tonsilitis kronik pada populasi dewasa. 1992: 288 – 304.
11. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology
mouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease,
a pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -
KESIMPULAN 315.
12. Adam GL. Penyakit – penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies
Tonsilektomi merupakan tindakan operasi bidang THT Buku Ajar Penyakit THT. Edisi bahasa Indonesia. EGC Jakarta 1996:
tersering. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat 337 – 345.
ini adalah tonsilitis kronik dengan 7 atau lebih episode sakit 13. Ballantyne J, Groves J. Acute infection of the pharynx and tonsil. Scott
tenggorok akibat tonsilitis dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun Brown’s Otolaryngology. 5th ed. Butterworth. London, Sydney. Durban
Toronto: 1987. 76 – 98.
dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun. Indikasi 14. Nave H, Gebert A, Pabst. Morphology and immunology of the human
lain adalah riwayat abses peritonsilar, karier SBHGA, dan palatine tonsil. Anat Embryol 2001;204: 367-373.
gangguan fungsi. 15. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D. Imunobiology of the tonsil and
Pada tonsilitis kronik terjadi penurunan fungsi imunitas adenoid. In Handbook of Mucosal Immunology. Academic Press Inc.:
1994. pp. 625-640.
tonsil. Penurunan fungsi ditunjukkan melalui peningkatan 16. Subowo. Imunobiologi. 10 th ed.. Bandung:Angkasa, 1993.
deposit antigen persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi 17. Simpson JF, Robin IG, Ballantyne JC, Groves J. A synopsis of
peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat otolaryngology. 2nd ed. Bristol: John Wright and Sons Ltd. 1967. p: 189-
peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, 193.
18. Mawson SR. Disease of the tonsil and adenoid. In: The Disease of the
IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4. Ear, Nose and Throat. London: Butterworth 1977; 3: 123 – 170.
Tonsilektomi harus dengan indikasi tepat mengingat 19. Agren K, Anderson U, Nordlander B, Nord CE, Linde A, Ernberg I et al.
peranan tonsil sebagai bagian sistem pertahanan tubuh. Upregulated local cytokine production in recurrent tonsillitis compare
Penelitian menunjukkan bahwa pada tonsilitis rekuren atau with tonsillar hypertrophy. Acta Otolaryngol 1995;115: 689-696.
20. Male D, Cooke A, Owen M, Trowsdale J, Champion B. Advance
kronik, tonsilektomi menurunkan angka kejadian sakit Immunology. 3 rd ed. Mosby Year Books. London. 1996.
tenggorok, meningkatkan QOL, menurunkan pemakaian 21. Chikovani NV, Gabuniia UA, Lomaia TG. Morphology of the palatine
fasilitas kesehatan dan meminimalkan beban ekonomi tonsils lymphocytes in chronic tonsillitis using data of electron
penderita tonsilitis. Pada anak-anak hendaknya dikerjakan microscopic radioautography. Arch Pathol 1989;51: 55-59.
22. Murat U, Oztruck C, Gorur K. Effect of tonsillectomy on serum
pada tonsilitis kronik yang telah mengganggu fungsi normal concentration of Interleukin and TNFα in patients in chronic tonsillitis.
seperti obstructive sleep disorders dan gangguan fungsi Otorhinolaryngol 2002;64: 254 – 256.
digesti. Sedang pada kasus Ig A nefropati, palmaris pustulosa, 23. Suzuki S, Fujieda S, Sunaga H, Yamamoto C, Kimura H, Gejyo F. 2000.
demam rematik tonsilektomi dikerjakan untuk menghilangkan Synthesis of immunoglobulins against Haemophilus parainfluenza by
tonsillar lymphocyte from patients Ig A nephropaty. Nephrol Dial
fokus infeksi. Transplant 15: 619-624.
24. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Benard BS, Rockette HE,
Kurs-Lasky M. Tonsilectomy and adenotonsilectomy for rekuren throat
infection in moderately affected children. Pediatrics 2002; 110: 7-15.
25. Kronenberg J, Wolf M, Leventon G. Peritonsilar absess: recurrence rate
and indications of tonsillectomy. Otolaryngol 1987;8: 82-84.
KEPUSTAKAAN
26. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM. Child behaviour
and quality of life before and after tonsillectomy and adenoidectomy.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002;128: 770-775.
1. Quinn FB, Ryan MB. The tonsil and adenoid in pediatric patient. In
27. Lianne M. Impact of adenotonsilectomy on quality of life in children
Grand Round Presentation, UMTB, Dept. Otolaryngology. www.
with obstructive sleep disorders. Arch otolaryngol head neck surg.,
UMTB.edu. 2002.
2002;128:489-496.
2. Timms MS, Temple RH. Coablation tonsillectomy: a double blind
28. Bhattacharyya N, Kepness LJ, Shapiro J. Efficacy and quality of life
randomized controlled study, J Laryngol. Otol. 2002; 116: 450-.2.
impact of adult tonsillectomy. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001;
3. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat
127: 1347-1350.
and indications for tonsilectomy. www.show.scot. nhs.uk. 1999
29. Bhattacharyya N,Kepness LJ.Economic benefit of tonsilectomy in adults
4. Paparella MM. Otolaryngology. Philadelphia: WB Saunders 1980: 417-
with chronic tonsillitis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2002;111: 983-8.
19.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Bakteri penyebab sinusitis maksila kronis banyak macamnya, baik anaerob maupun yang
aerob. Pada kesempatan ini kami hanya meneliti bakteri aerob saja.
Penelitian ini bersifat prospektif deskriptif dari Juli 2000 s/d Juni 2001. Penderita yang
memenuhi kriteria berjumlah 40 penderita dengan bakteri aerob terbanyak adalah Streptokokus
pneumonia.
paru dapat juga menyerang hidung, sinus paranasal dan Stafilokokus aureus7,11, Branhamella katarrhalis7,11,
sebaliknya2. Infeksi sinus paranasal yang paling sering Streptokokus hemolitikus , Mikrokokus katarrhalis5,
4,10
Air-fluid level = 4
CARA 10%
Pada penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan ;
1. Anamnesis yang berhubungan dengan keluhan pasien
2. Pemeriksaan THT rutin Diagram 4.1. Distribusi gambaran foto polos sinus paranasal pada
3. Foto polos sinus paranasal penderita sinusitis maksila kronik.
Setelah ditegakkan diagnosis sinusitis maksila kronik
secara klinis dan radiologis, dilakukan pungsi sinus dari Gambaran foto polos sinus paranasal pada penderita
meatus inferior. Jika dijumpai sinusitis maksila kronis sinusitis maksila kronik terutama berupa perselubungan sinus
dupleks, dipilih satu sinus yang secara radiologis dan klinis (36 kasus - 90%). (Diagram 4.1)
lebih berat. Sebelum cairan pencuci dimasukkan, terlebih
dahulu sekret di dalam sinus maksila dihisap menggunakan
syringe steril yang di ujungnya tersambung selang kecil. Tabel. 4.3. Distribusi kuman aerob pada pemeriksaan kultur dari
penderita sinusitis maksila kronik.
Syringe berisi sekret tersebut langsung ditutup secara steril
dan segera dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik RS HAM No Jenis kuman Jumlah Persentase
untuk dilakukan pemeriksaan kultur dan tes kepekaan.
1. Streptokokus 18 45
Data yang terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk
2. Pseudomonas sp 8 20
tabel serta diagram. 3. Streptokokus piogenes 5 12,5
4. Klebsiela pneumonia 5 12,5
Tabel 4.1. Distribusi umur dan jenis kelamin penderita sinusitis maksila 5. Pseudomonas 2 5
kronik 6. Proteus sp 1 2,5
7. Klebsiela oksitoka 1 2,5
Jenis k el a m i n
Kelompok
No Jml %
Umur (thn) Pria % Prmpn % Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus maksila
1. 15 – 24 3 7,5 3 7,5 6 15
mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah Streptokokus
2. 25 – 34 8 20 8 20 16 40 pneumonia (18 kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp 8 kasus
3. 35 – 44 5 12,5 5 12,5 10 25 (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia
4. 45 – 54 1 2,5 3 7,5 4 10 masing-masing 5 kasus (12,5%). Pada penelitian ini tidak
5. > 55 2 5 2 5 4 10 dijumpai lebih dari 1 kuman aerob pada satu sediaan. (Tabel
JUMLAH 19 47,5 21 52,5 40 100 4.3)
Tabel 4.4. Pola antibiotika yang paling sensitif pada tes sensitivitas dari sinusitis maksila kronis didapat laki-laki 21 orang (52,5%) dan
penderita sinusitis maksila kronik
perempuan 19 orang (47,5%).
No Jenis antibiotika Jumlah Dari data di atas tampak bahwa dalam penelitian kami ini
1. Streptomisin 19 tidak berbeda jauh dari penelitian lain.
2. Rifampisin 19 Keluhan penderita sinusitis maksila kronis dalam
3. Kanamisin 16 penelitian ini yang terbanyak adalah hidung tumpat (38 kasus -
4. Gentamisin 15 95%) diikuti dengan cairan mengalir di belakang hidung dan
5. Doksisiklin 14 sakit kepala masing-masing 37 kasus (92,5%), penciuman
6. Tetrasiklin 14 berkurang sebanyak 25 kasus (62,5%) (tabel 4.2). Hal ini
7. Eritromisin 10 sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa penderita
8. Siprofloksasin 10 sinusitis maksila kronis pada umumnya mengeluh hidung
9. Ampisilin 9 tumpat, gangguan faring, dan nyeri kepala. Hal yang sama
10. Negram (Asam Nalidiksik) 9 juga didapatkan Massudi (Semarang, 1991)19 yang keluhan
11. Linkomisin 8 utama penderitanya adalah hidung tersumbat dan nyeri kepala.
12. Kloramfenikol 6 Benninger (1996)20 juga mendapatkan keluhan terbanyak
13. Amoksisilin 5 penderita sinusitis maksila kronis berupa hidung tersumbat.
14. Trimetoprim 5 Gambaran foto polos sinus paranasal yang terbanyak
15. Fosmisin 1 adalah perselubungan (36 kasus - 90%) sisanya air-fluid level
16. Dibekasin 1 (4 kasus-10%). (diagram 4.1). Nuti W Nizar (Jakarta, 1995)23
17. Imipenam 1 mendapatkan gambaran perselubungan pada foto polos sinus
18. Cefdinir 1 paranasal sebanyak 87,04%; air-fluid level 9,26%. Elfahmi
(Medan, 2001)18 mendapatkan gambaran perselubungan (23
Antibiotika yang sensitif untuk terapi sinusitis maksila sinus - 57,50%), dan air-fluid level ( 3 sinus - 7,50%).
kronik terutama adalah Streptomisin, Rifampisin, Kanamisin Dari pemeriksaan kultur, kuman penyebab terbanyak
dan Gentamisin dalam bentuk injeksi. Antibiotika oral yang dalam penelitian ini adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus
sensitif terbanyak adalah Doksisiklin, Tetrasiklin, Eritromisin, - 45%), diikuti Pseudomonas sp (8 kasus - 20%),
dan Siprofloksasin (tabel 4.4). Streptokokus piogenes dan Klebsiella pneumonia masing-
masing 5 kasus (12,5%). (Tabel 4.3).
Legent F dkk (Prancis, 1994)24 menemukan kuman
PEMBAHASAN penyebab sinusitis maksila kronis yang terbanyak adalah
Penderita yang diikutkan dalam penelitian ini dimulai Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus influensa, Streptokokus
dari usia 15 tahun untuk memudahkan pemeriksaan karena pneumonia. Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994)25
lebih kooperatif. menemukan kuman Streptokokus pneumonia sebagai
Umur penderita terutama 25 – 34 tahun (16 penderita - penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh
40%). (tabel 4.1). Peneliti lain mendapatkan umur terbanyak Stafilokokus aureus dan Hemofilus influenza, Moraksela
21 – 30 tahun13. Di Medan (1998) umur terbanyak adalah 18 – kataralis dan Korinebakterium sp.
27 tahun (60%)14, Di Semarang (1999)15 umur terbanyak 20 – Ika S dan Mulyarjo (Surabaya, 1998) dari 57 penderita
29 tahun. Alfian Taher (Medan, 1999) 16 mendapatkan umur dalam penelitiannya menemukan spektrum kuman aerob yang
penderita terbanyak 15 – 24 tahun (36,85%). Melania & terbanyak pada sinusitis maksila kronis adalah Stafilokokus
Samsul (Malang,1999) 17 mendapatkan umur terbanyak 30 – aureus 15 penderita (33,3%), Streptokokus pneumonia dan
40 tahun. Elfahmi (Medan, 2001)18 mendapatkan umur Streptokokus viridans masing-masing 8 penderita (17,8%),
terbanyak adalah 35 – 44 tahun (12 orang - 30%). Pseudomonas aeruginosa 5 penderita (11,1%), Klebsiella
Dari data di atas terlihat bahwa sinusitis maksila kronik pneumonia dan E.koli masing-masing 3 penderita (6,7%).21
lebih banyak menyerang dewasa muda. Dari 24 kasus di Semarang (1999), Enterobakter
Dalam penelitian ini jumlah penderita perempuan 21 merupakan kuman terbanyak yang menyebabkan sinusitis
penderita (52,5%), laki-laki 19 penderita (47,5%). Massudi maksila kronis yaitu 11 penderita (45,8%). Kemudian diikuti
(Semarang, 1991)19 mendapatkan laki-laki 48,5% dan oleh Stafilokokus epidermidis 8 penderita (33,3%), Klebsiella
perempuan 51,5%. Benninger MS (1996)20 dari 100 penderita 2 penderita (8,3%).15
sinusitis maksila kronis didapatkan laki-laki 45 orang dan Sedangkan di Malang (1999) 20% kuman penyebab
perempuan 55 orang. Ika S & Mulyarjo (Surabaya, 1998) 21 sinusitis maksila kronis odontogenik adalah Stafilokokus
mendapatkan laki-laki 29 orang dan perempuan 40 orang. epidermidis, diikuti oleh Pseudomonas aeruginosa 17,5%;
Muyassaroh & Suprihati (Semarang, 1999) 15 mendapatkan Streptokokus viridans 7,5% dan Asinobakter anitratus 2,5%.17
laki-laki 29 orang dan perempuan 23 orang. Melania S & Penelitian di West Virginia (2000) menemukan kuman
Samsul I (Malang, 1999)17 mendapatkan penderita laki-laki 21 terbanyak adalah Stafilokokus epidermidis (30%), diikuti oleh
orang dan perempuan 19 orang. Pramono (Semarang, 1999)22 Moraksella kataralis (6%), Streptokokus pneumonia (5%),
mendapatkan 34 penderita laki-laki dan 37 perempuan, Stafilokokus aureus (3%). Mereka tidak menjumpai
sedangkan Elfahmi (Medan, 2001)18 dari 40 penderita pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influensa
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia, terutama infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) baik infeksi saluran pernafasan atas maupun infeksi saluran pernafasan
bawah. Terapi antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri (kuman). Salah satu
antimikroba terpilih untuk pengobatan ISPA adalah antimikroba golongan betalaktam. Untuk
mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam,
dilakukan penelitian ini.
Metoda penelitian cross-sectional terhadap 83 pasien tonsilo-faringitis akut pengunjung
dua puskesmas di Jakarta Pusat pada bulan September 1999 sampai bulan Nopember 1999.
Pemeriksaan isolat dan sensitivitas kuman terhadap antimikroba dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi FK-UI.
Hasil penelitian menemukan 132 kuman dari 12 spesies. Lima spesies kuman terbanyak
adalah : Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus β-
hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus
3,82%. Penurunan sensitivitas Streptococcus viridans, Branhamella catarrhalis, Streptococcus
β-hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus nonhemolyticus terbesar terhadap
antimikroba Cephradin berturut–turut adalah 73,3 %; 53,52%; 87,5%; 40% dan 80%.
Penurunan sensitivitas Branhamella catarrhalis terhadap Penisilin G adalah 30%, sedangkan
kuman Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae terhadap Ceftriaxone 20%.
Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni
sebesar 68.04%.
47,1 %, usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %; lebih dari (3.82%) dan Klebsiella pneumoniae (3.05%). Isolat-isolat
50% penyebabnya adalah virus(1). Infeksi sekunder bakterial kuman tersebut kemudian diuji sensitivitasnya terhadap
pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak antimikroba betalaktam, dan hasilnya menunjukkan profil
dan usia lanjut, dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa resistensi seperti pada Tabel 2.
kuman penyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah Sebagian besar kuman Gram positif dan negatif dari isolat
diisolasi dari usap tenggorok antara lain Streptococcus, usap tenggorok tersebut masih cukup sensitif terhadap
Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas, antimikroba betalaktam, kecuali terhadap Cefradin.
Escherichia, Proteus, dan Haemophilus(2), dan untuk Terhadap hasil uji sensitivitas berbagai spesies kuman
mengatasinya seringkali digunakan antimikroba golongan terhadap antimikroba betalaktam di atas dilakukan
betalaktam, makrolida, dan kotrimoksazol(3). penghitungan total resistensi antimikroba (Soebandrio 2000),
Antimikroba golongan betalaktam, yakni golongan dengan cara atau rumus sebagai berikut:
penisilin dan sefalosporin, termasuk jenis antimikroba yang
diperkirakan paling banyak digunakan untuk infeksi saluran % R total antimikroba “A” =
napas; sejauh ini belum banyak diketahui status sensitivitas (% kuman “X” x % R antimikroba “A” terhadap kuman
golongan tersebut, khususnya terhadap kuman penyebab “X”)/100 +
ISPA. (% kuman “Y” x % R antimikroba “A” terhadap kuman
Untuk mengetahui hal tersebut, telah dilakukan uji “Y”)/100 +
sensitivitas kuman yang diisolasi dari usap tenggorok (% kuman “Z” x % R antimikroba “A” terhadap kuman
penderita ISPA, terhadap antimikroba golongan betalaktam. “Z”)/100.
DISKUSI
HASIL Hasil usap tenggorok menemukan 12 jenis kuman Gram
Sejumlah 132 kuman terdiri atas 12 spesies Gram positif negatif dan kuman Gram positif. Kuman yang terbanyak
dan Gram negatif berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari 83 ditemukan S. viridans (54.2 %), berbeda dengan yang
sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis (Tabel 1). dilaporkan Sugito(4) yaitu 25 % dan Hartono(5) yaitu 31,43 %.
Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari Untuk kuman S. β hemolyticus diperoleh 6,4 % , hampir sama
spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah: Streptococcus dengan yang ditemukan Suprihati dkk(6) sebanyak 4,46 %,
viridans (54.2%), Branhamella catarrhalis (22.9%), tetapi berbeda dengan yang ditemukan oleh Sugito(4) sebanyak
Streptococcus β-haemolyticus (6.11%), Streptococcus 25 % dan mirip dengan yang ditemukan Hartono(5) 25,71 %.
pneumoniae (3.82%), Streptococcus non-haemolyticus Kuman ini merupakan kuman yang dicurigai sebagai
penyebab endokarditis.
Tabel 2. Profil resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam
%
% resistensi antimikroba
Isolat kuman isolat
Kuman PeG Amx Sulb Cefo Ceftr Cefta Cefpi Cefe Cefrd
S. viridans 54.2 2.82 2.82 0 1.41 4.23 4.23 0 0 73.33
B. catarrhalis 22.9 30.0 0 0 0 3.33 3.33 3.33 0 53.52
S. β-haemolyticus 6.11 0 0 0 0 0 0 0 0 87.5
S. pneumoniae 3.82 0 0 0 0 20.0 20.0 0 0 40.0
S. non-haemolyticus 3.82 0 0 0 0 0 0 0 0 80.0
K. pneumoniae 3.05 0 0 0 0 20 0 0 0 100
Acinobacter spp. 1.53 0 0 0 0 50 0 0 0 0
Yeast (ragi) 1.53 100 100 100 100 100 100 100 100 100
S. aureus 1.53 0 50 0 0 0 0 0 0 0
Alkaligenes spp. 0.76 0 100 100 0 0 0 0 0 100
P. aeruginosa 0.76 0 100 0 100 0 0 0 0 100
S. epidermidis 0.76 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan:
PeG= Penisilin-G; Amx = Amoksisilin; ; Sulb = Sulbenisilin; Cefo = Cefotiam; Ceftr= Ceftriakson; Cefta = Cefotaksim; Cefpi = Cefpirome;Cefe =
Cefepime; Cefd = Cefradin.
Tabel 3. Total resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap Josodiwondo (1996) 3,7 % dan 96,8 % sedangkan dari
antimikroba betalaktam
penelitian Trihendrokesowo, dkk ( 1986 ) sebesar 3,2 % dan
No. Antimikroba % Total resistensi 66,7 % tidak jauh berbeda dengan resistensi kuman
S.viridans yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 2,82 %,
1. Cefradin 68.04
namun berbeda dengan hasil resistensi kuman S. aureus 0 %.
2. Penisilin-G 9.93
3. Ceftriakson 6.87
Golongan penisilin masih cukup ampuh untuk mengatasi
4. Cefotaksim 5.57 bakteri gram positif, tetapi akhir-kakhir ini banyak dilaporkan
5. Amoksisilin 5.35 bakteri yang resisten terhadap antimikroba golongan penisilin
6. Cefotiam 3.05 bahkan juga pada golongan sefalosporin, karena bakteri ini
7. Cefpirome 2.52 mampu menghasilkan enzim betalaktamase. Untuk mengatasi
8. Sulbenisilin 2.29 bakteri gram negatif tampaknya penisilin, bahkan sefalosporin
9. Cefepime 1.53
sudah berkurang kemampuannya kecuali sefalosporin
generasi ketiga(8,9). Penggunaan tidak rasional akan
mempercepat resistensi, selain hal itu dapat terjadi resistensi
Total resistensi tertinggi berbagai kuman isolat tenggorok silang antar golongan maupun dalam satu golongan. Test
adalah terhadap antimikroba Cefradin sebesar 68,04 %, kepekaan tidak selalu akurat untuk memprediksi kesembuhan
diikuti oleh Penicillin G dan Ceftriakson. Antimikroba dan sering terjadi tidak ada korelasi antara minimum inhibitor
Cefradin merupakan antimikroba generasi I dari golongan concentration (MIC) kuman dan kesembuhan. Observasi pada
sefalosporin dan banyak digunakan secara oral untuk penderita infeksi menunjukkan bahwa 81 % penderita sembuh
penderita infeksi saluran pernafasan sehingga mungkin sudah jika terinfeksi dengan bakteri yang sensitif, 9 % penderita
banyak terjadi resistensi. Penulisan resep oleh dokter umum di meninggal. Bila terinfeksi bakteri yang resisten dapat
United Kingdom (UK) thn 1998(7) untuk infeksi saluran menaikkan rata-rata kematian sebesar 17 % (p< 0,05 )(10 ).
pernafasan adalah antimikroba broadspectrum penisilin
sebanyak 53,2 %, makrolid 15 % dan medium serta narrow
spectrum penisilin 13,0 %, sefalosporin 7,7 %. Tahun 1997 KESIMPULAN
pasar dunia antibiotik mencapai US $ 12 miliar dengan Ditemukan 132 kuman terdiri dari 12 spesies kuman, lima
jumlah peresepan 818 juta untuk infeksi saluran pernafasan kuman terbanyak yang ditemukan adalah : Streptococcus
akut dan sebagian besar antibiotik yang digunakan di rumah viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %,
sakit berturut - turut adalah Golongan beta laktam, makrolid Streptococcus β-hemolyticus 6,11%, Streptococcus
dan fluorokuinolin. pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus 3,82%.
Di Indonesia untuk infeksi pernafasan akut (tonsilitis dan Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus terjadi
faringitis ) sebagai standar pengobatan di puskesmas penisilin terhadap antimikroba cephradin berturut–turut adalah 46,48%;
G masih merupakan obat pilihan keempat setelah eritromisin, 26,67%; 12,5%; 60% dan 20%. Penurunan sensitivitas kuman
amoksisilin dan ampisilin(2). Data resistensi kuman S.viridans Branhamella catarrhalis terhadap antimikroba penisilin G
dan S. aureus terhadap Penisilin G dari hasil penelitian adalah 70%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae
terhadap antimikroba ceftriakson 80%. 6. Suprihati. Faktor Resiko Streptococcus Hemolitikus Beta Grup A pada
Penderita Saluran Nafas Atas di RSUP Dr. Kariadi Semarang, Bag
Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UNDIP. Laporan
adalah terhadap cephradin, yakni sebesar 68.04%. penelitian, 1998.
KEPUSTAKAAN 7. Jones A. Antimicrobial Pharmacodynamics in Respiratory Tract
Infection : New Approach in Determining Patient Response to
Antibiotic Therapy, Medical Progress, January. 2003.
1. Abdoerachman H, Fachrudin D, Infeksi Campuran Aerob dan Anaerob 8. Herman MJ. Antibiotik Beta Laktam. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan
di Bidang THT. MKI 1989; 4 (2/3):56-60. Dokter Indonesia, 1994.
2. Dirjen Binkesmas Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pengobatan 9. Sirot S, Sirot J, Saulnier P. Resistance to Betalactams in
Dasar di Puskesmas Berdasarkan Gejala, 1996. Enterobacteriaceae. Distribution of Phenotypes related to Beta lactamase
3. Dwiprahasta I. Inappropriate use of antibiotics in treatment of acute Production, J Int. Med Res. 1986;14:193-199
respiratory infections for the under five children among general 10. Josodiwondo S, Perkembangan Kepekaan Kuman Terhadap
practitioners, Berkala Ilmu Kedokteran 1997. Antimikroba Saat Ini, MKI 1996; 46(9): 467-476
4. Sugito, Tarigan HMM, Nukman R, Epidemiologi dan Etiologi Infeksi 11. Trihendrokesowo dkk, Macam Kuman (Dari Pelbagai Bahan
Saluran Pernafasan Akut . Dalam buku Kumpulan Makalah Pertemuan Pemeriksaan di Yogyakarta) dan Pola Kepekaannya terhadap Beberapa
Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI, Surakarta, 1988. Antibiotik, MKI 1987; 2 (1): 6-12.
5. Hartono TE, Wibisono MY, Rai IB, Idajadi A. Pola bakteriologi Infeksi 12. Slombe B. Beta Lactamase, Occurrence and Classsification. In :
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Orang Dewasa. Dalam Buku Rolinson GN, Watson A, eds. Augmentin Clavulanate Pontetiated
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V Amoxycillin. Amsterdam: Excerpta Medica 1980; 6-17
IDPI , Surakarta 1988.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Latar belakang: Mastoiditis akut (MA) merupakan salah satu komplikasi intratemporal
Otitis media (OM) yang tidak tertangani dengan baik. Pengobatan OM dengan terapi
antibiotika empirik adalah pilihan pertama berdasarkan kultur dan uji kepekaan antimikroba.
Pengetahuan tentang sebaran jenis kuman dan uji kepekaan antibiotika penting agar terapi
efektif. Tujuan obyektif penelitian ini adalah mempelajari sebaran kuman dan kepekaan obat-
obat antimikroba pada pasien Mastoiditis akut (MA) di RS Dr Kariadi Semarang periode
tahun 2004 sampai 2005.
Metode: Sembilan puluh lima pasien MA diamati dengan metode deskriptif
retrosprospektif. Diagnosis mastoiditis akut ditegakkan dari gejala klinis dan CT scan
mastoid. Sekret diambil melalui perforasi membran timpani kemudian dikultur. Uji kepekaan
antibiotika dilakukan dengan metoda modifikasi piringan difusi Kirby Bauer.
Hasil: Hasil kultur menemukan 7 jenis mikroorganisme dari 80 pasien yang ikut dalam
penelitian. Kuman penyebab terbanyak berturut-turut adalah Staphylococcus aureus (23.1%),
Enterobius aerogenes (22,1%), Pseudomonas aeruginosa (17.9%), Proteus mirabilis (13.7%),
diikuti oleh Streptococcus pneumonia (4.2%), Staphyococcus epidermidis (2.1%) Escherichia
coli (1.1 %). Dari uji kepekaan antibiotika didapatkan hasil sensitif pada antibiotika amikasin
(98.7%), siproflokasin (89.8%), sefotaksim (88.3%) gentamisin (83.6 %) dan khloramfenikol
(75.6 %), sedangkan resistensi didapatkan pada antibiotika tetrasiklin (69.7%), ampisilin
(64.6%) dan trimetoprim/sulfametoksazol (55.1%).
Simpulan: Kuman terbanyak yang ditemukan dari hasil isolasi penyebab MA adalah
Staphylococcus aureus dan antibiotika paling sensitif untuk semua jenis kuman adalah
Amikasin.
escherichia coli
enterobius aerogenes
staphylococcus epide
resistensi, keamanan, risiko toksisitas dan harga. Pengetahuan
dasar tentang pola mikroorganisme pada infeksi telinga dan uji
kepekaan antibiotikanya sangat penting .
METODA
hasil kultur kuman
Dari catatan medis sepanjang Januari 2004 sampai
Desember 2005 didapatkan 95 pasien dengan diagnosis
mastoiditis akut. Hanya pasien yang belum mendapatkan Dari 95 pasien hanya 80 hasil kulturnya positif, diisolasi
pengobatan baik topikal ataupun sistemik sekurangnya lima 7 jenis kuman. Pada 78 (97.5 %) pasien ditemukan 1 jenis
hari terakhir yang diikutkan dalam penelitian. Diagnosis kuman, pada 2 pasien ditemukan dua jenis kuman dalam
ditegakkan dari gejala klinis dan CT scan yang menunjukkan sediaan sekret telinganya. Kuman penyebab terbanyak
mastoiditis. Pasien-pasien yang dicurigai disebabkan oleh berturut-turut adalah Staphylococcus aureus (27.5%),
kolesteatoma dari gambaran CT scan tidak diikutkan dalam Enterobius aerogenes (26,3%), Pseudomonas aeruginosa
penelitian ini. (21.3%), Proteus mirabilis (16.4%), diikuti oleh Streptococcus
Pengambilan sekret telinga tengah memakai swab Mini- pneumonia (5%), Staphylococcus epidermidis (2.5%)
tip Culturette steril lewat membran timpani yang perforasi. Escherichia colli (1.3 %).(Grafik 1)
Swab pertama untuk pemeriksaan kuman aerob, dan swab Temuan ini menunjukkan pola yang hampir sama dengan
yang lain untuk pemeriksaan kuman anaerob menggunakan beberapa pusat pendidikan di Indonesia dan negara tropis
prosedur pemeriksaan mikrobiologi standar. Jika ditemukan lainnya.4-8 Pada hampir semua pasien (97.5%) ditemukan 1
jamur dalam isolasi kuman dilakukan subkultur pada media jenis kuman dari hasil isolasi; hanya pada 2 pasien ditemukan
2 jenis kuman yaitu Pseudomonas aeruginosa dan Grafik 2d Kepekaan Proteus mirabilis terhadap Antibiotika
Staphylococcus aureus. Loy4 melaporkan 23% pasien dengan
hasil kultur lebih dari dua kuman dan 2% pasien dengan 6 Gambaran Kepekaan Antibiotika Proteus mirabilis
100
% Kepekaan
60
100
80 20
60 0
40
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
20 Amikasin Ampisilin Cefotaxim Kloramfenikol Ciprofloksasin Gentamisin Tetrasiklin Sulfa
0
Sensitive
Resisten
Sensitive
Resisten
Sensitive
Resisten
Sensitive
Resisten
Sensitive
Resisten
Sensitive
Resisten
Sensitive
Resisten
Sensitive
Resisten
Hasil uji kepekaan antibiotik terhadap empat kuman
terbanyak hasil kultur dapat dilihat pada Grafik 2a-2d.
Stahpylococcus aureus dalam penelitian ini menunjukkan
kepekaan terhadap antibiotika siprofloksasin, amikasin,
Amikasin Ampisilin Cefotaxim Kloramfenikol Ciprofloksasin Gentamisin Tetrasiklin Sulfa
gentamisin, sefotaksim dan khloramfenikol sementara
Antibiotika Enterobius aerogenes peka terhadap antibiotika amikasin,
siprofloksasin, sefotaksim dan gentamisin. Penyebab tersering
ke tiga Pseudomonas aeruginosa kepekaannya hampir sama
dengan dua kuman di atas. Secara keseluruhan dari rerata uji
Grafik 2b Kepekaan Enterobius aerogenes terhadap Antibiotika
kepekaan antibiotika terhadap kuman didapatkan amikasin,
Gambaran Kepekaan Antibiotika Enterobius aerogenes siprofloksasin, sefotaksim, gentamisin dan khloramfenikol
120
memberikan kepekaan > 50%, sedang tetrasiklin, ampisilin
100
dan trimetoprim/sulfametoksazol memberikan hasil resisten >
50%. Berturut-turut didapatkan hasil sensitif pada antibiotika
80
amikasin (98.7%), siprofloksasin (89.8%), sefotaksim (88.3%)
% Kepekaan
60
gentamisin (83.6 %) dan khloramfenikol (75.6 %), sedangkan
hasil resisten didapatkan pada antibiotika tetrasiklin (69.7%),
40
ampisilin (64.6%) dan trimetoprim/sulfametoksazol (55.1%).
20
Pada penelitian ini tidak ditemukan kuman anaerob, sama
seperti penelitian Khanna7 dan Kenna9. Penelitian Ingelstedt
0
yang dikutip Papastavros6 menyatakan bahwa kadar oksigen di
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
100
1.0
80
.8
% Kepekaan
60
.6
40
.4
20
.2
Mean
0
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Sensitive
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
0.0
AMIKASIN CIPROFLO CHLORAMF TRIMETRO
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN koloni kuman dalam media kultur dalam sebuah plate dan uji
Pada mukosa cavum timpani penderita Otitis Media biokimia. Dari hasil pemeriksaan bakteriologik tersebut
Supuratif Kronik Benigna Aktif (OMSKBA), telah terjadi kuman yang sering ditemukan pada OMSK bervariasi. Pada
banyak perubahan-perubahan yang menetap, sehingga resolusi umumnya ditemukan Pseudomonas spp, dengan persentase
spontan sangat sulit terjadi dan biasanya ada gangguan antara 16%-100%, Staphylococcus aureus 9%-32%,
vaskularisasi di telinga tengah, sehingga antibiotika sistemik Enterobacter spp 3%-30%, H. influenzae 12%, Streptococcus
sulit mencapai sasaran dengan optimal; oleh karena itu 15% dan kuman lain kadang-kadang ditemukan dalam
diperlukan antibiotika topikal. Kronisitas dengan fase aktif persentase kecil.5,1,6,7 Temuan kuman anaerob meningkat dari
dan fase tenang yang bergantian dapat terjadi sepanjang umur 1% menjadi 43% berkat perbaikan teknik pemeriksaan
sehingga diperlukan antibiotika pada setiap fase aktif. Tidak bakteriologik.8
jarang kasus kasus OSMK membandel terhadap pengobatan Secara taxonomy term (klasifikasi) pemeriksaan
dengan kesembuhan yang tidak sempurna bahkan gagal sama bakteriologik dengan media kultur tersebut hanya bisa
sekali. mengidentifikasi jenis kuman setingkat genus maupun spesies.
Antibotika yang diberikan adalah atas dasar hasil uji Pemeriksaan bakteriologik dengan media kultur tidak bisa
kepekaan in vitro terhadap bakteri aerob. Pada pemeriksaan membedakan jenis kuman yang masih dalam satu spesies.
bakteriologik (mikrobiologik), penemuan jenis kuman yang Dengan kemajuan biologi molekuler, teknik PCR-RISA
sama pada media kultur, sering kali menghasilkan hasil uji dapat membedakan jenis kuman antar spesies atau strain dari
kepekaan yang berbeda. satu spesies.9,10
Pada akhir-akhir ini terlihat kecenderungan terjadinya Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran pola
perubahan dalam jenis kuman penyebab penyakit infeksi serta kuman dari hasil isolasi sekret telinga OMSKBA pada media
respon kuman terhadap antibiotika.1 kultur dengan pendekatan PCR.
Akibat perkembangan terapi antibiotika, insidensi dan
prevalensi OMSK menurun, tetapi penurunan ini tidak sebaik TINJAUAN PUSTAKA
penyakit infeksi lainnya terutama pada kasus anak. Seperti Otorea kronis adalah keluarnya cairan dari telinga lebih
dimaklumi hilangnya fokus infeksi di telinga tengah penting dari 2 bulan. Selanjutnya dengan otoskopi dibedakan ada
untuk penyembuhan spontan dari kerusakan akibat penyakit tidaknya perforasi pada membran timpani. Apabila membran
infeksi tersebut.2,3 timpani perforasi, diagnosis mengarah pada OMSK.
Pada umumnya pemberian antibiotika untuk OMSKBA Definisi OMSK adalah radang kronis telinga tengah
didasarkan pada “educated guess” yaitu berdasarkan laporan dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya
terakhir mengenai bakteri yang paling sering ditemukan pada sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus
OMSKBA.4 menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukus
Pemeriksaan bakteriologik OMSKBA selama ini atau purulen.11 Pada OMSK tanpa komplikasi dinilai apakah
dilakukan melalui pemeriksaan isolasi dengan media kultur. ada kolesteatom atau tidak. OMSK tanpa kolesteatom disebut
Identifikasi kuman didapatkan dengan melihat morfologi sebagai OMSK benigna atau tipe mukosa dan yang disertai
kolesteatom disebut sebagai OMSK maligna atau bahaya.12 Pemeriksaan bakeriologik dengan media kultur pada
OMSK benigna dibagi menjadi fase tenang dan aktif. OMSKBA
Fase tenang jika OMSK tersebut adalah OMSK tipe mukosa Saat pengambilan sekret telinga harus diperhatikan
dalam keadaan kering. Jika ada discharge maka disebut fase sterilitasnya; diusahakan tidak ada kontaminasi dari kulit
aktif (OMSKBA). canalis auditorius externus dengan teknik : kulit dibersihkan
dengan jodium dan alkuhol 70%; kontaminasi dari udara luar
dihindari dengan meletakkan lampu spiritus di depan lubang
KEKERAPAN botol steril berisi media transport saat memasukkan spesimen
Di seluruh dunia prevalensi OMSK 65330 juta jiwa, 60% ke dalamnya.
(39200 juta jiwa) mengalami gangguan pendengaran yang Pengambilan sekret/discharge menggunakan jarum no 20
sangat klinis bermakna. Diperkirakan 28000 mengalami yang dihubungkan dengan semprit ukuran 1 atau 2,5 ml.2
kematian dan < 2juta mengalami kecacatan; 94% terdapat di Setelah sekret diambil, segera dimasukkan ke tabung yang
negara berkembang.13 Prevalensi OMSK di Indonesia secara berisi media transport yaitu media setengah padat yang
umum adalah 3,8%.12 Pasien OMSK merupakan 25% dari tersusun oleh:
pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT RS Dr Sardjito - Medium Carry dan Blair (BBL) 2,5 gram
Yogyakarta tahun 2004. - Solutio CaCl2 1% 1,8 ml
- Solutio Rezasurin 0,1 gram
- L Cystein HCl 0,1 gram
Gambaran bakteriologik pada OMSKBA - Distillated water 198 ml
Beberapa penulis melaporkan P.aeruginosa merupakan
bakteri aerob yang paling sering ditemukan, walaupun Selanjutnya tabung dikirim segera ke bagian
persentasenya berbeda-beda.1,14-18 Mikrobiologi. Setiap bahan ditanam di dalam media agar
Friedman (1952) (dikutip oleh Shenoi7) menemukan darah. Kemudian koloni yang tumbuh diisolasi dan
S.aureus sebesar 32,7% dari 318 kasus dan 41% resisten diidentifikasi dengan teknik pure culture (kultur murni).
dengan penisilin, Proteus 27%, Pseudomonas aeruginosa Identifikasi kuman didasarkan pada morfologi koloni kuman
16%, E.coli 10,7%. yang tumbuh pada media kultur (agar darah) dan uji biokimia.
Jonsson (1986)1,6 menemukan 32% Pseudomonas spp, Identifikasi bakteriologik dalam tubuh manusia (dalam hal ini
dengan spesies tersering adalah Ps. aeruginosa. Staphylococus sekret telinga penderita OMSKBA) masih mengandalkan
aureus sebesar 30%, dan batang gram negatif lain 32%. teknik kultur murni.
Spesimen diambil dari telinga tengah.
Fliss16 mendapatkan Pseudomonas spp 100% dari 77 PCR (Polymerase Chain Reaction) – RISA (Ribosomal
spesimen yang diperiksa, kuman enterik gram negatif (E.coli, Intergenic Spacer Analyse)
Enterobacter spp, Proteus mirabilis, lain lain) sebesar 33%, Sekarang telah dikembangkan teknik identifikasi
Staphylococus 25%. Tidak dilakukan pemeriksaan terhadap mikrobakterium dengan metode biologi molekuler seperti
kuman anaerob PCR. Sebagian teknik ini sudah menggunakan analisis
Papastavros17 melaporkan bakteri aerob pada 84,03% molekuler yakni sekuen gen rRNA. Banyak laboratorium yang
spesimen, dengan Pseudomonas sp sebesar 50,67%, S.aureus menggunakan teknik molekuler berdasarkan rRNA untuk
36,00%. mengidentifikasi kuman patogen dan kuman komensal.
Amadasun18 melaporkan Pseudomonas sp sebesar 65%, Metode RISA (Ribosomal Intergenic Spacer Analysis)
Proteus sp 26%, Streptococcus sp 15%, Staphylococcus sp berdasarkan panjang polimorphisme dari sekuen intergenic
12%. spacer (IGS) antara gen subunit rRNA yang kecil (16s) dan
Leibermen14 pada penelitian kuman aerob pada yang besar (23s) yang dapat mengamplifikasi primer
OMSKBA mendapatkan Pseudomonas spp pada semua kasus eubakterial universal langsung dari komunitas.
(100%), Enteric gram negative bacilli 33%, Staphylococcus Kemajuan di bidang biologi molekuler telah dapat
25%, Haemophylus influenzae 12%. mengembangkan komunitas bakterial dengan menggunakan
Kenna5 (1986) melaporkan hasil pemeriksaan metode DNA fingerprinting sehingga dapat memantau
mikrobiologik pada 51 biakan dari 36 penderita (anak) kompleks komunitas bakteri di lingkungan alamiah tanpa
OMSKBA terdiri dari 23 spesies, antara lain P.aeruginosa isolasi.
sebesar 67% dan merupakan kultur murni pada 31% kasus (16 Metode ini melibatkan ekstraksi DNA insitu dari
telinga). Pada 15 anak dengan OMSK bilateral, 73% komunitas bakteri menggunakan amplifikasi sekuens PCR
mengandung kuman yang sama di kedua telinga tengahnya. sehingga didapatkan informasi genetik yang lebih detail.
S.aureus (beta lactamase positive species) sebesar 9,3%, Sekuens yang digunakan sebagai tanda dari komunitas
diphteroids 9,3%, S. epidermidis 6,4%. bakterial ini adalah gen dari ribosomal operon rRNA.
Hariasri19 pada penelitian kuman OMSKBA dengan Ribosomal Intergenic Spacer Analysis (RISA) adalah metode
pengambilan spesimen menggunakan lidi kapas mendapatkan analisis mikrobiologi komunitas yang dapat memperkirakan
Pseudomonas sebesar 59,01%, Staphylococcus 31,14%, keanekaragaman agen mikrobiologi dalam komposisi
Difteroid 16,39% dan Proteus 9,84%. komunitas tanpa melihat bias yang dihasilkan dari pendekatan
metode kultur. Metode ini melibatkan penggunaan amplifikasi Rhodopseudomonas, Bartonella, Nitrobacter, Azospirillum,
PCR berdasarkan panjang polimorphisme dari sekuen Agrobacterium, Rhizobium, Bradyrhizobium, Candidatus, Zy-
intergenic spacer (IGS) dari regio kecil (16s) dan yang besar momonas, Gluconobacter, Acetobacter, Ochrobactrum,
(23s) dari gen subunit rRNA dalam rRNA operon, dengan Brucella, Caulobacter, dan Ehrlichia; β-proteobacteria,
target primer oligonukleotida dalam regio 16s dan 23s. region terdiri atas: Acidithiobacillus, Thiobacillus, Ralstonia,
intergenic 16s-23s, yang mengkode tRNAs tergantung dari Nitrosospira, Nitrosomonas, Burkholderia, Xylophilus,
macam species bakterial, yang diketahui dari heterogenitas Nitrosolobus, Neisseria, dan Microvirgula; γ-proteobacteria,
panjangnya dan sekuens nukleotida terdiri atas: Yersinia, Photorhabdus, Azotobacter,
Metode RISA merupakan metode ekologi molekuler9 Haemophilus, Enterobacter, Citrobacter, Xanthomonas,
yang dapat digunakan untuk mengamati ekologi bakteria pada Pseudomonas, Acinetobacter, Vibrio, Aeromonas, Klebsiella,
lingkungan alamiah. Metode RISA memiliki prospek dalam Escherichia, Salmonella, Pasteurella, Actinobacillus,
kegunaannya untuk mempelajari komposisi komunitas Thiobacillus, Dichelobacter,Piscirickettsia, Xylella, Erwinia,
mikrobia baik untuk identifikasi genus, spesies atau dan Pectobacterium; ε-proteobacteria, terdiri atas:
pengelompokan phylogenetik dan mengamati perubahan Campylobacter; high-GC-content gram-positive bacteria,
lingkungan yang terjadi.9 terdiri atas : Streptomyces, Rhodococcus, Frankia,
RISA merupakan metode yang sangat baik untuk Arthrobacter, Brevibacterium, Microbispora, Bifidobacterium,
mengamati struktur dan dinamisasi komunitas bakteri yang Corynebacterium, Staphylococcus, Mycobacterium,
sangat kompleks melalui perubahan pita-pita DNA. RISA Renibacterium, Tropheryma, Thermonospora, Spirillospora,
dapat digunakan untuk mengidentifikasi populasi yang terjadi Excellospora, Actinocorallia, dan Actinomadura; low-GC-
dalam suatu komunitas.9. content gram-positive bacteria, terdiri atas: Bacillus,
RISA merupakan analisis polimorfis dari bagian yang Lactobacillus, Clostridium, Leuconostoc, Streptococcus,
memisahkan gen rrs dan rrl IGS (intergenic spacer) yang Achole-plasma, Anaeroplasma, Listeria, Enterococcus,
memiliki variasi ukuran dari 50bs sampai 1,5 kb. Mycoplasma, Ureaplasma, Phytoplasma, Lactococcus,
Rangkaian beberapa pita DNA dapat menunjukkan secara Pectinatus, Zymophilus, dan Planococcus; chlamydiae terdiri
spesifik keberadaan populasi dalam suatu komunitas. Variasi atas : Chlamydia, Chlamydophila, Simkania, Parachlamydia,
bagian teramplifikasi dari IGS dapat dengan langsung dan Waddlia; cyanobacteria terdiri atas: Microcystis,
dipisahkan atas dasar ukurannya menggunakan gel Spirulina, Trichodesmium, Arthrospira, dan Anacystis;
poliakrilamid. Variabilitas ukuran yang tinggi menunjukkan spirochetes, terdiri atas : Leptonema dan Treponema; dan
adanya variabilitas yang tinggi dalam struktur genetik cytophagales, Prevotella, Rhodothermus, dan
komunitas.9 Flavobacterium.9
Gambar di atas menunjukkan panjang daerah distribusi
IGS antara gen rrs dan rrl pada kelompok eubakteria & Metode RISA ini berdasar pada panjang sekuen Spacer
menunjukkan rata-rata panjang daerah IGS untuk tiap filum. intergenic yang berbeda di antara gen penyandi sub-unit
Kelompok α-proteobacteria, terdiri atas : rRNA kecil (16S) dan besar (23S) yang diamplifikasi dengan
Hyphomicrobium, Blastobacter, Rhodobacter, primer universal untuk eubakteria.
METODOLOGI PENELITIAN 7. Tabung media transport yang berisi media kultur dan
A. Rancangan Penelitian spesimen dikirim ke Lab Mikrobiologi FK UGM untuk di
Penelitian ini merupakan cross sectional study, isolasi di media kultur (agar darah) dan diidentifikasi jenis
merupakan penelitian eksperimental dan preliminary study. kumannya.
B. Populasi Penelitian 8. Plate (media kultur) berisi isolasi bakteri yang telah
Populasi penelitian adalah semua pasien Poliklinik THT tumbuh koloninya dikirim ke Lab PS-Bioteknologi UGM
RS Dr. Sardjito Yogyakarta yang didiagnosis OMSKBA yang untuk menjalani proses ekstraksi DNA dan diidentifikasi
datang selama jangka waktu penelitian. dengan teknik PCR-RISA
Kriteria inklusi: 9. Pengiriman spesimen disertai formulir yang memuat
- Penderita OMSK benigna aktif yang datang berobat ke catatan: nama, alamat, umur dan jenis kelamin penderita, jenis
poliklinik THT FK UGM/RSUP Dr Sardjito spesimen yang dikirim, tanggal pengambilan spesimen, gejala
- Pada pemeriksaan otoskopi, didapatkan perforasi subtotal /diagnosis penyakit.
atau total C. Pengolahan sampel
Kriteria eksklusi: Spesimen dalam tabung media transport diisolasi dalam
- Penderita menggunakan antimikroba sistemik atau topikal media kultur agar darah dalam plate, lalu diidentifikasi dan
paling sedikit 7 hari sebelum pemeriksaan didifirensiasi di Lab Mikrobiologi FK-UGM Yogyakarta..
- Menderita penyakit berat atau infeksi lain Plate (media kultur) yang berisi isolasi dan koloni kuman
- Penderita otitis eksterna dibawa ke laboratorium Pusat Studi Bioteknologi UGM untuk
- Menolak ikut serta dalam penelitian. menjalani ekstraksi DNA. Setelah itu dilakukan PCR-RISA.
C. Sampel Sesudah PCR selesai, produk PCR di elektroforesis. Setelah
Sampel penelitian adalah sampel sekret/congek penderita itu dilihat di transiluminator u.v., dan difoto dengan
OMSK benigna aktif yang diambil dari telinga pasien. menggunakan kamera digital. Metoda analisis yang dipakai
Besar sampel: 5 pasien adalah RISA. (Ribosomal Intergenic Spacer Analysis).
D. Tempat dan Waktu Penelitian Esktraksi DNA dan PCR dikerjakan di Laboratorium
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik THT RS Dr. Mikrobiologi Pusat Studi Bioteknologi UGM.
Sardjito Yogyakarta, di Laboratorium Mikrobiologi FK-UGM
dan Laboratorium Pusat Studi-Bioteknologi UGM dari tanggal Pemeriksaan bakteriologik menggunakan metoda PCR-
1 April 2005 sampai dengan 31 Mei 2005. RISA
E. Cara Penelitian Bahan: Tris-HCl, EDTA, SDS, lisosim, CTAB, NaCl,
A. Pemilihan sampel. kloroform, isopropanol, etanol 70 %.
a. tempat : Rumah Sakit Dr Sardjito unit THT FK UGM Prosedur kerja
b. waktu : bulan April 2005 Sebanyak 1.5 ml kultur sel dalam tabung 1.5 ml
c. bahan. : discharge diambil dari 5 penderita yang di disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit.
diagnosis OMSK Benigna aktif. (lihat pendahuluan). Supernatan dibuang.
Pemilihan sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi ; Pelet hasil sentrifugasi ditambahi 500 µl TE (100 mM ris-HCl,
tidak ada pembatasan umur, jenis kelamin penderita serta 100 mM EDTA; pH 8), vortex hingga homogen. Ditambahkan
telinga yang kanan atau yang kiri. 40 µl lisosim (50 mg/ml) dan inkubasi pada 37oC selama 60
Setiap pasien hanya diambil dischargenya dari satu telinga menit. Tambahkan 200 µl SDS 10 %, 100 µl NaCl 5 M, dan
saja. 80 µl CTAB lalu inkubasi pada 68oC selama 30 menit (sampel
Pasien harus bebas antibiotika paling sedikit 7 hari sebelum dibolak-balik setiap 10 menit). Dilakukan penambahan 1:1
pemeriksaan chloroform dan sentrifugasi 13.000 rpm selama 10 menit.
Lapisan atas diambil dan tambahkan 0.6 x volume isopropanol
B. Pengambilan Sampel kemudian disentrifugasi kembali 13.000 rpm selama 5 menit.
Sampel/spesimen diambil dengan cara sebagai berikut : Supernatan dibuang dan cuci pelet dengan 100 µl etanol 70 %
1. Sebelum mengambil spesimen, diperhatikan sterilitas. dan kering anginkan. Tambahkan 20 µl TE dan homogenkan.
2. Spesimen diusahakan sejauh mungkin harus steril dengan Untuk sampel langsung tanpa menggunakan teknik kultur,
melakukan desinfeksi (alkohol) di daerah kulit canalis dilakukan prosedur yang sama dengan teknik dikulturkan,
auditoris externus.untuk menghindari kontaminasi kuman dari hanya sampel yang digunakan langsung ditambahi 500 µl TE.
daerah tersebut.
3. Spesimen diambil segera. Polymerase Chain Rection Æ Primer, Reagen, siklus termal
4. Alat untuk mengambil material sekret berupa kateter intra Reagen: Primer; 1406F (5’>TGYACACACCGCCCGT<3’)
vena ukuran 20G dan semprit 1ml. (universal rRNA small subunit)
5. Proses pengambilan spesimen memakai sarung tangan 23SR (5’>GGGTTBCCCCATTCRG<3’)
steril. (bacterial 23S rRNA large subunit)
6. Spesimen dimasukkan ke dalam tabung media transport Ready To Go (Amersham Biosciences);
yang panjangnya 12 cm dan bergaristengah 1,5cm, tabung lalu 2.5 unit Taq polymerase
ditutup kapas. 10 mM Tris HCl (pH 9)
KESIMPULAN
1. Pendekatan molekuler (RISA) lebih unggul/sensitif dalam
membedakan bakteri yang diisolasi dari sekret telinga
penderita Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif
(OMSKBA) dibandingkan dengan pendekatan tradisional
Sampel I II III IV V M (didasarkan pada pengamatan morfologi kultur/koloni bakteri
M : marker Æ 100bp ladder pada media kultur / pure culture).
2. RISA memungkinkan pembedaan bakteri patogen
Tampak gambaran genus Pseudomonas yang tidak sama. penyakit infeksi di telinga (OMSKBA) pada aras spesies
Mungkin merupakan spesies/strain Pseudomonas yang bahkan pada aras intra spesies.
berbeda.
PEMBAHASAN KEPUSTAKAAN
PCR merupakan suatu metode enzimatis untuk 1. Kenna MA, Rosane BA, Bluestone CD. Medical Management of
melipatgandakan secara eksponensial sel nukleotida tertentu Chronic Suppurative Otitis Media without Cholesteatoma in Children-
secara in vitro. Update 1992. Am J Otol 1993: 14:469-73
2. Papastavros T, Giamarellou H, Varledjides S. Obstaining Specimens of 12. Helmi, Djaafar ZA, Sosialisman, Hafil AF, Ratna D. Panduan
Discharge from the Middle Ear for Cultures. Laryngoscope 1985; penatalaksanaan baku Otitis Media Supuratif Kronik di Indonesia. Eds.
95:1413-1414 Soetjipto D, Mangunkusumo E, Helmi. Jakarta 2002 ; 9-10
3. Kenna MA. Epidemiology and Natural History of Chronic Suppurative 13. WorldHealthReport,2000.http://www.who.int/whr/2001/archives/2000/e
Otitis Media. Ann. Otol Rhinol Laryngol. 1988; 95 (Suppl.131);8 n/pdf/Annex4-en.pdf (accessed 21 July 2003).
4. Istioro YH. Penggunaan Antibiotik pada Otitis Media Supuratif Kronik. 14. Leiberman A, Fliss DM, Dagan R. Medical Treatment of Chronic
In: Helmi eds. Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif Kronik. Suppurative Otitis Media without Cholesteatoma in Children-a Two
Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 1990:7-16. Year Follow-up. Internat. J Pediatr. Otorhinolaryngol.. 1992:24;25-33.
5. Kenna MA, Bluestone CD, Reilly JS. Medical Management of Chronic 15. Bluestone CD, Kenna MA. Consensus. Ann Otol Rhinol Laryngol 1988;
Suppurative Otitis Media without Cholesteatoma in Children. 1986; 97 (suppl.131):41-42.
96:146-51. 16. Fliss DM et al. Medical Management of Chronic Suppurative Otitis
6. Jonsson L, Schwan A, Thomander L et al. Aerobic and Anaerobic Media without Cholesteatoma in Children. J.Pediatr. 1990 ;116:991-996.
Bacteria in Chronic Suppurative Otitis Media (a quantitative study). 17. Papastravos T, Giamarellou, Varlejides S. Role of Aerobic and
Acta Otolaryngol. Stockh.1986; 102:410-414. Anaerobic Microorganisms in Chronic Suppurative Otitis Media.
7. Shenoi PM. Management of Chronic Suppurative Otitis Media. In: Kerr Laryngoscope 1986; 96:438-442.
GA. Scott-Brown’s Otolaryngology (Otology). Fifth ed. Butteworths. 18. Amadasun JEO. Bacteriology of Inadequately Treated Active Chronic
1987:215-237. Otitis Media in Paediatric Age Group. J Laryngol Otol 1991; 105:341-
8. Papastravos T, Giamarellou, Varlejides S. Role of Aerobic and 342.
Anaerobic Microorganisms in Chronic Suppurative Otitis Media. 19. Hariasri S. Otitis Media Supuratif Kronik : Latar belakang dan evaluasi
Laryngoscope 1986; 96: 438-442. pengobatan konservatif. Skripsi bagian THT FKUI. Jakarta: FKUI 1983.
9. Ranjard L, Brothier E, Nazaret S. Sequencing Bands of Ribosomal 20. Boyer SL, Flechtner VR, Johansen JR. Is the 16S-23S rRNA internal
Intergenic Spacer Analysis Fingerprints for Characterization and transcribed spacer region a good tool for use in molecular systematics
Microscale Distribution of Soil Bacterium Populations Responding to and population genetics? A case study in cyanobacteria..Mol Biol Evol.
Mercury Spiking. Applied and Environmental Microbiology. 2000: 2001 Jun;18(6):1057-69.
5334-5339. 21. Daffonchio D, Cherif A,1,Brusetti L,Rizzi A,Mora A,Boudabous A,
10. Yu Z, Mohn WW. Bacterial Diversity and Community Structure in an Borin S. Nature of Polymorphisms in 16S-23S rRNA Gene Intergenic
Aerated Lagoon Revealed by Ribosomal Intergenic Spacer Analyses and Transcribed Spacer Fingerprinting of Bacillus and Related Genera. Appl
16S Ribosomal DNA Sequencing. Appl. and Environmental Microbiol.. and Environmental Microbiol. 2003; 69( 9): 5128-5137.
2001; 67 (4):1565–1574 22. Xu, D, Cote, JC. Phylogenetic relationships between Bacillus species
11. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam buku ajar Ilmu Kesehatan and related genera inferred from comparison of 3' end 16S rDNA and 5'
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Eds. Supardi E, Iskandar N. end 16S-23S ITS nucleotide sequences. Int J Syst Evol Microbiol 2003;
2001:Hal 49-62. 53: 695-704.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Latar Belakang : Kualitas hidup anak dapat dinilai dari hasil/prestasi belajarnya. Salah
satu indikasi tonsilektomi adalah jika tonsilitis kronik menyebabkan penurunan kualitas
hidup. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah tonsilitis kronik dapat
mengganggu prestasi belajar anak.
Metode : Penelitian secara belah-lintang pada 514 siswa kelas II SD Kota Semarang
yang memenuhi kriteria penelitian. Sebelum penelitian dilakukan skrining kesehatan
tenggorok melalui pemeriksaan fisik THT, pengukuran tinggi dan berat badan serta data hasil
prestasi belajar dan tes IQ dari sekolah. Orang tua siswa diminta mengisi kuesioner tentang
gangguan tenggorok dan penyakit lain pada anaknya. Data dianalisis dengan menghitung
rasio prevalensi, interval kepercayaan, uji Kai-Kuadrat dan regresi logistik untuk mengetahui
hubungan antara tonsilitis kronik dengan prestasi belajar. Faktor lain yang diteliti meliputi
tingkat pendidikan orang tua, jenis kelamin, les privat dan tingkat kecerdasan siswa.
Hasil : Sebanyak 301 anak yang memenuhi kriteria penelitian, 145 (48,2 %) laki-laki,
156 (51,8 %) perempuan ; 145 (48,2 %) siswa dengan tonsilitis kronik. Uji Kai-Kuadrat
menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara tonsilitis kronik dengan prestasi belajar
siswa (p < 0,05; 95 % CI : 2,48-4,99). Siswa dengan tonsilitis kronik mempunyai risiko 3,5
kali lebih besar mempunyai prestasi belajar kurang dari rata-rata kelas dibandingkan yang
tidak tonsilitis kronik. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa tonsilitis kronik dan
tingkat kecerdasan siswa berpengaruh terhadap prestasi belajar, sedangkan tingkat
pendidikan orang tua, jenis kelamin dan les privat tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar
siswa yang menderita tonsilitis kronik.
Kesimpulan : Tonsilitis kronik menurunkan prestasi belajar.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 kota Semarang yang sekolahnya terpilih : (1) setuju ikut dalam
provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi penelitian (2) administrasi pengisian rapor baik, (3) data tes IQ
tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) lengkap. Kriteria Inklusi : Skor IQ siswa 90 – 129, mendapat
yaitu sebesar 3,8%.3 Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi ijin dari orang tua (orang tua mengisi dan menandatangani
Semarang 23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15 kuesioner). Kriteria Eksklusi : menderita penyakit kronik lain
tahun.4 Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode (otitis media kronik, TBC, penyakit jantung/ginjal atau
April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien anemia).
tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan.5
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala
berupa nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, Prestasi belajar
badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri < rerata kelas
kepala dan badan terasa meriang.4,6
Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea
obstruksi saat tidur; gejala yang umum pada anak adalah
mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang
dan prestasi belajar jelek.7 Kualitas hidup anak dengan apnea Kondisi fisiologis
obstruksi saat tidur dapat dinilai dari hasil/prestasi belajarnya.8 terganggu
Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika
sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan
menimbulkan rasa tidak nyaman.6 Hal ini sesuai dengan kesan
masyarakat bahwa tonsilektomi dapat meningkatkan prestasi
belajar pada anak yang menderita penyakit amandel (tonsil)
sehingga banyak orang tua yang menginginkan operasi Gejala lokal Gejala sistemik
amandel untuk meningkatkan prestasi belajar anaknya,
meskipun belum tentu tonsilnya sakit.
Belajar adalah aktivitas (usaha dengan sengaja) yang
dapat menghasilkan perubahan berupa kecakapan baru pada
diri individu. Proses dan hasil belajar dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain kondisi fisiologis dan psikologis Tonsilitis kronik
diri individu. Perubahan perilaku akibat belajar tersebut
menandai keberhasilan proses belajar dan mengajar dan
digunakan sebagai indikator prestasi belajar.9
Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa Gb.1 Skema hubungan tonsilits kronis dengan prestasi belajar
tonsilitis kronik dapat mengganggu kondisi fisiologis dan
psikologis anak sehingga dapat mengganggu proses belajar.
(Gambar 1) Telah dilakukan penelitian pendahuluan pada bulan
Masalahnya adalah, benarkah anak yang menderita September – Desember 2003 berupa pemeriksaan THT pada
tonsilitis kronik prestasi belajarnya kurang. kelas I dan II Sekolah Dasar di kota Semarang (13 sekolah
Tujuan penelitian : (1) Membuktikan apakah tonsilitis dasar, di 5 kecamatan). Pada pemeriksaan tenggorok 1385
kronik dapat mengganggu prestasi belajar. (2) Menganalisis: siswa tanpa anamnesis didapatkan 682 (49,24 %) tonsilitis
apakah ada hubungan antara tonsilitis kronik dengan prestasi kronik ; 47,92 % pada 674 siswa kelas I dan 50,49 % pada 711
belajar siswa dan apakah ada perbedaan prestasi belajar siswa siswa kelas II.
dengan tonsilitis kronik dengan siswa yang tanpa tonsilitis Berdasarkan data tersebut dilakukan penelitian lanjutan
kronik. pada bulan Mei – Juni 2004 dan didapatkan 301 siswa yang
memenuhi kriteria penelitian dari 514 siswa kelas II yang
diteliti (2 SD Negeri dan 1 SD Swasta). Siswa yang tidak
METODE diikutkan dalam penelitian selain karena kriteria eksklusi juga
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional berbagai sebab antara lain data tidak lengkap dan tidak
dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar siswa mengembalikan kuesioner penelitian.
Sekolah Dasar yang menderita tonsilitis kronik. Lokasi Analisis regresi logistik dan tabulasi silang 2 x 2
penelitian dipilih di wilayah kota Semarang dengan dilakukan untuk menghitung rasio prevalensi dengan tingkat
pertimbangan bahwa sekolah dasar di kota mempunyai kepercayaan 95 %.10 Dikatakan tonsilitis kronik apabila pada
administrasi yang relatif lebih baik, lokasi mudah dijangkau siswa didapatkan gejala sakit tenggorok lebih dari 3 bulan
dan kondisi sosial budaya yang memungkinkan kerjasama disertai tanda klinis berupa kripte melebar, tonsil membesar
yang lebih baik dengan kepala sekolah, guru maupun orang atau tidak dan pembesaran kelenjar limfe subangulus
tua/wali siswa. mandibula. 6,11,12 Data taraf inteligensi siswa diperoleh dari
Sampel penelitian adalah siswa kelas II sekolah dasar di sekolah : diikutkan dalam penelitian jika IQ 90 – 129. IQ
siswa dikategorikan biasa (90 – 109), cerdas (110 – 119) dan
88 Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007
Tonsilitis Kronik dan Prestasi Belajar
sangat cerdas (120 – 129).9 Gb 3. Distribusi Tonsilitis Kronik (TK) jumlah siswa per-kelas (SDN-II)
Status gizi diperoleh dengan pengukuran antropometri
berat badan dan tinggi badan berdasarkan indeks standar 50 45 46 43 44
internasional NCHS – WHO.13 Nilai Z-Score berat badan 40
menurut tinggi badan (BB/TB) adalah indikator terbaik dalam 30 25 27 25 Siswa
23 Sampel
menganalisis status gizi; pada penelitian ini dilakukan 20 15 13 TK
11 12
bersamaan dengan pemeriksaan variabel lainnya.14 Data les 10
privat (pelajaran tambahan di luar jam sekolah) diperoleh dari 0
data kuesioner yang diisi oleh orang tua. Tingkat pendidikan 8.3 9.0 7.6 8.3
terakhir orang tua (ayah & ibu) dikelompokkan ke kategori
Sekolah Dasar (SD & SLTP), Menengah (SLTA) dan Gb 4. Distribusi Tonsilitis Kronik (TK) jumlah siswa per-kelas (SDS)
Perguruan Tinggi.
Faktor-faktor eksternal sosial dan non sosial yang 50
mempengaruhi proses dan prestasi belajar, meliputi guru, 41 40 42
40 34
materi, dan alat-alat pelajaran, sarana dan fasilitas sekolah 32
adalah sama untuk masing-masing kelas. Prestasi belajar 30 Siswa
18 Sampel
masing-masing siswa dibandingkan dengan nilai rerata kelas 20 17
TK
yang sama. Demikian halnya dengan waktu belajar dan
10
suasana kelas.
Faktor lingkungan yang berupa iklim, listrik, transportasi 0
11.4 10,6 0,0
diasumsikan sama karena tiga sekolah terpilih berada di satu
wilayah kota Semarang. Sosial ekonomi dianggap sama Dari hasil pemeriksaan 301 siswa serta data kuesioner
karena orang tua siswa pada tiga sekolah terpilih mempunyai orang tua didapatkan 145 siswa (48,2 %) menderita tonsilitis
tingkat sosial ekonomi menengah ke atas. kronik; 156 siswa yang tidak menderita tonsilitis kronik (51,8
Bakat, konsentrasi, lingkungan keluarga tidak diperhitungkan %). Delapan puluh tiga siswa (79,4 %) menderita tonsilitis
karena keterbatasan peneliti dan kesulitan memperoleh data kronik dengan ukuran tonsil T1 dan T2 sedangkan ukuran
sifatnya sangat subyektif tiap individu. tonsil T3 yang diklasifikasikan sebagai tonsilitis kronik
Prestasi belajar diperoleh diukur/diperoleh berdasarkan nilai hipertrofi didapatkan pada 62 siswa (20,6 %). Tidak
rapor terakhir. Saat dilakukan penelitian ini rapor terakhir ditemukan tonsil ukuran T4. Dari 62 kasus tonsilitis kronik
siswa adalah semester II pada tahun ajaran 2003/2004. Nilai hipertrofi ukuran T3 didapatkan 39 siswa (62,9 %) mempunyai
rapor yang digunakan sebagai hasil/prestasi belajar siswa keluhan tidur mendengkur (gambar 5).
meliputi semua mata pelajaran 1) Matematika, 2) Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), 3) Bahasa Indonesia,
4) Pendidikan Agama, 5) Kerajinan Tangan dan Kesenian, 6) 1,6%
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, 7) Muatan Lokal (Bahasa 5,0%
Jawa, Bahasa Inggris). 27,6%
45,2%
HASIL
Usia subyek penelitian antara 7 sampai 9 tahun (89-113 7,6%
bulan) terbanyak 8 tahun (69,8 %) terdiri dari 45 laki-laki
13,0%
(48,2 %) dan 156 wanita (51,8 %). Distribusi siswa pada
ketiga SD dapat dilihat pada gambar 2,3 dan 4.
Selain tonsilitis kronik, faktor-faktor yang juga Hasil analisis regresi logistik, untuk rerata keseluruhan
mempengaruhi proses dan prestasi belajar, ialah tingkat mata pelajaran menyatakan bahwa tonsilitis kronik
kecerdasan, status gizi, les privat dan tingkat pendidikan berpengaruh buruk terhadap prestasi belajar (p = 0,000). Siswa
orang tua siswa. penderita tonsilitis kronik mendapatkan nilai lebih rendah dari
Berdasarkan hasil tes IQ, siswa dengan kecerdasan biasa rerata kelas 9 kali lebih besar dibandingkan bukan penderita
sebanyak 157 (52,2 %), siswa cerdas 119 (39,5 %) dan cerdas (RP = 8,79 dan 95 % CI 4,78 – 16,13). Tingkat kecerdasan
sekali 25 (8,3 %). Pendidikan orang tua, baik ayah maupun ibu berpengaruh terhadap prestasi belajar (RP = 2,22 dan 95 % CI
siswa sebagian besar tingkat perguruan tinggi (PT) dan sangat 1,27 – 3,86).
sedikit yang tingkat pendidikan dasar (SD). Dari hasil
pengukuran antropometri berat dan tinggi badan semua siswa
Tabel 4. Faktor-faktor risiko terhadap prestasi belajar rerata
ditentukan nilai Z-Score berat badan menurut tinggi badan keseluruhan mata pelajaran.
(NCHS-WHO). Siswa dengan gizi normal sebanyak 245
(81,4%) dan gizi lebih 56 (18,6 %). Variabel β p RP 95 % CI
Dari kuesioner yang diisi oleh orang tua siswa didapatkan Tonsilitis kronik 2.174 0.000 8.790 4,788 - 16,138
siswa yang mengikuti les privat sebanyak 128 (42,5 %). Nilai Tonsil hipertrofi (T3) -0.464 0.264 0.629 0,279 - 1,420
rerata prestasi belajar siswa per kelas pada siswa yang diteliti
untuk semua mata pelajaran antara 7,4-8,4; untuk Matematika Tidur mendengkur -0.068 0.884 0.934 0,373 - 2,338
7,5-8,8; Bahasa Indonesia 7,7-8,9 dan PPKn 7,8-8,8 (tabel 1). Tingkat IQ 0.799 0.005 2.223 1,278 - 3,868
Tingkat pendidikan 0.059 0.874 1.061 0,508 - 2,215
Prestasi belajar siswa penderita tonsilitis kronik yang di ayah
bawah rerata kelas sebesar 76,6 % (95 siswa), sedangkan yang Tingkat pendidikan 0.454 0.168 1.574 0,826 - 3,002
tidak tonsilitis kronik sebesar 23,4 % (29 siswa); berbeda ibu
bermakna (p = 0,000, rasio prevalensi 3,52 dan 95 %CI 2,48- Les privat 0.028 0.920 1.029 0,589 - 1,799
4,99) (tabel 2). Jumlah -3.954 0.000 0.019
Untuk melihat apakah perbedaan bermakna disebabkan oleh
pelajaran tertentu maka dianalisis hubungan prestasi belajar
siswa dengan nilai rerata kelas untuk mata pelajaran Faktor tonsil hipertrofi (T3 ), keluhan tidur mendengkur,
Matematika, Bahasa Indonesia ataupun PPKn. Hasil uji Kai- les privat dan tingkat pendidikan orang tua tidak berpengaruh
Kuadrat pada masing-masing mata pelajaran tersebut terhadap prestasi belajar (tabel 4). Demikian juga untuk mata
menunjukkan perbedaan yang bermakna (tabel 3). pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia maupun PPKn
menunjukkan bahwa tonsilitis kronik maupun tingkat
Tabel 1. Distribusi nilai rerata prestasi belajar per-kelas kecerdasan (siswa yang tidak cerdas) berpengaruh buruk
Sekolah Jumlah Nilai Rerata per-kelas
terhadap prestasi belajar untuk mata pelajaran tersebut (p <
No 0,05, RP dan 95 % CI > 1) sedangkan faktor lainnya tidak
Dasar Siswa Keseluruhan Matematika B.Indonesia PPKn
1 SDN I IIa 29 7,9 8,2 8,4 8,1 berpengaruh terhadap prestasi belajar.
2 IIb 32 7,4 7,5 7,7 7,9 Prestasi belajar siswa cerdas yang menderita tonsilitis
3 IIc 38 7,7 8,0 8,0 8,1
kronik (n =119) dianalisis dengan uji Kai-Kuadrat (tabel 5
4 IId 36 7,4 7,6 7,7 7,8
5 SDN II IIa 34 7,8 8,3 7,7 8,4 dan 6). Ternyata prestasi belajar untuk rerata mata pelajaran
6 IIb 32 7,9 8,2 8,3 8,3 tertentu maupun keseluruhan pada siswa cerdas yang
7 Swasta IIa 25 8,1 8,2 8,6 8,6 menderita tonsilitis kronik lebih rendah daripada siswa cerdas
8 IIb 27 8,2 8,4 8,5 8,6 yang tidak menderita tonsilitis kronik.
9 IIc 23 8,4 8,8 8,9 8,8
10 IId 25 8,0 8,0 8,4 8,4
Jumlah 301
Tabel 5. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar
keseluruhan mata pelajaran pada siswa cerdas.
Tabel 2. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar
keseluruhan mata pelajaran.
< rerata kelas > rerata kelas Jumlah
< rerata kelas > rerata kelas Jumlah Tonsilitis Kronik + 21 (65,6 %) 23 (26,4 %) 44 (37,0 %)
Tonsilitis Kronik + 95 (76,6 %) 50 (28,2 %) 145 (48,2 %) Tonsilitis Kronik − 11 (34,2 %) 64 (73,6 %) 75 (63,0 %)
Tonsilitis Kronik − 29 (23,4 %) 127 (71,8 %) 156 (51,8 % ) Jumlah 32 (26,9 %) 87 (73,1 %) 119 (100,0 %)
Jumlah 124 (41,2 %) 177 (58,8 %) 301 (100,0 %)
Rasio prevalensi = 3,25; 95 % CI = 1,73-6,09; x2, p = 0,000.
Rasio prevalensi = 3,52; 95 % CI = 2,48 – 4,99; x2, p = 0,000
Tabel 3. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar mata Tabel 6. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar mata
pelajaran tertentu. pelajaran tertentu pada siswa cerdas.
Mata Pelajaran x2, p Rasio Prevalensi 95 % CI Mata Pelajaran x2, p Rasio Prevalensi 95 % CI
Matematika 0,000 2,79 2,05 - 3,78 Matematika 0,000 3,28 1,88 - 5,72
B. Indonesia 0,000 4,45 2,96 - 6,68 B. Indonesia 0,000 6,25 2,75 - 14,23
PPKn 0,000 2,50 1,86 - 3,35 PPKn 0,000 3,54 2,05 - 6,12
belajar dengan mempertimbangkan variabel yang belum 10. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi 2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2002.
diteliti dalam penelitian ini. 11. Primara IW, Losin K, Rianto BUD. Hubungan antara tanda klinis
dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada tonsilitis kronis yang
KEPUSTAKAAN telah dilakukan tonsilotomi Kumpulan naskah ilmiah KONAS XII
PERHATI, Semarang:BP Undip;1999: 253-64.
1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan 12. Stevens W. Tonsilitis In : Mc Laughin E, Health Encyclopedia
dan Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam (Reviewer).. North Memorial Health Care. 2002.
kaitannya dengan penyakit ISPA dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes. 13. WHO. Measuring change in nutritional status : Guidelines for assessing
2003; 31:60-71. the nutritional impact of supplementary feeding programmes for
2. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan Saluran vulnerable groups. Geneva : World Health Organization, 1983.
Nafas Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, 14. Hadju V. Analisa status gizi anak Sekolah Dasar yang mendapat
tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: program pemberian makanan tambahan pada anak sekolah (PMTAS) di
Binarupa Aksara; 1994 : 194-224. Sulawesi Selatan. J Epidemiol.Indon. 2001; 5:24-30.
3. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan 15. Smet B. Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Grasindo; 1994.
makalah dan pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. 16. Shah UK. Tonsilitis and peritonsillar abscess. :http://www.
PIT PERHATI-KL, Palembang, 2001: 8-12. emedicine.com/ent/topic 314.htm.2001.
4. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT 17. Fujita S. Pharyngeal surgery for obstructive sleep apnea and snoring.
RSUP Dr. Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI In: Fairbanks DNF, Fujita S, eds. Snoring and Obstructive Sleep
PERHATI, Medan, 1980: 249-55. Apnea. 2nd ed. New York: Raven Press 1994 : 83-5.
5. Udaya R, Sabini TB. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada apus 18. Strohl KP, Roth T, Redline S. Cardiopulmonary and neurological
tonsil dan jaringan tonsil pada tonsilitis kronis yang mengalami consequences of obstructive sleep apnea. In Fairbanks DNF, Fujita S,
tonsilektomi. Kumpulan naskah ilmiah KONAS XII PERHATI, eds. Snoring and Obstructive Sleep Apnea. 2nd ed. New York: Raven
Semarang:BP Undip;1999: 193-205. Press 1994 : 31-40.
6. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2nd ed.. 19. Bailey CM, Craft CB, Sleep apnea. In : Kerr AG ed. Scott-Brown’s
Philadelphia: WB Saunders Co; 1959: 239-57. Otolaryngology-Paediatric Otolaryngology. 6th ed. Butterworth; 1997 :
7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome. 1-10.
:http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002. 20. Lind MG, Lundell PW. Tonsillar hyperplasia in children. Arch
8. Franco RA, Rosenfeld RM. Quality of life for children with obstructive Otolaryngol. 1982; 18: 650-4.
sleep apnea. Otolaryngol. Head and Neck Surg. 2000; 123:9-16. 21. Tirtonegoro S. Penanganan kesulitan belajar anak slow learner. Jurnal
9. Suryabrata S. Psikologi pendidikan. Jakarta: Fajar Interpratama Offset; Rehabilitasi dan Remediasi. 1995; 12:1-9.
2002.
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
dengan hambatan yang terjadi pada fisiologi pembentukan kelelahan bersuara. Kapasitas vital yang dibutuhkan untuk
suara serta sifat biomekanis pita suara.1,4 berbicara normal adalah 50% dari kapasitas paru-paru normal,
sedangkan untuk bernyanyi dibutuhkan 100% dari kapasitas
KELELAHAN NEUROMUSKULER paru-paru. Kelelahan bersuara akibat mekanisme ini
Kelelahan neuromuskuler didefinisikan sebagai bergantung kepada jenis pekerjaan, kebiasaan latihan fisik dan
menurunnya kapasitas regangan otot jika dilakukan stimulasi kesehatan paru-paru.1,7
berulang. Pada proses pembentukan suara, kelelahan otot-otot
intrinsik dan atau ekstrinsik laring berpotensi mengurangi PERUBAHAN VISKOELASTISITAS PITA SUARA
kapasitas untuk meregangkan dan menjaga stabilitas plika Bersuara dalam jangka panjang dapat mengubah
vokalis.1 komposisi cairan di dalam plika vokalis, berupa meningkatnya
Kelelahan neuromuskuler dapat terjadi di otot, viskositas dan kekakuan plika vokalis (perubahan
sambungan saraf-otot (neuromuscular junction), dan di jalur viskoelastisitas). Hal ini terjadi karena pada saat bersuara akan
saraf di atasnya5. Kelelahan otot dapat terjadi karena habisnya terjadi penguapan cairan dari dalam jaringan akibat
komponen energi (seperti glikogen dan kreatinin fosfat) serta peningkatan suhu lokal karena pelepasan energi. Hal ini akan
menumpuknya asam laktat dalam otot. Kelelahan mengakibatkan cairan menjadi lebih kental. Agitasi termal
neuromuscular junction terjadi akibat berkurangnya pada molekul jaringan juga akan mengakibatkan lemahnya
asetilkolin di dalam kantungnya atau berkurangnya sensitivitas ikatan protein sehingga akhirnya menimbulkan kelelahan
reseptor asetilkolin pada membran post sinaptik. Pada jalur viskoelastis.1 Tetapi Titze et al. (2003)7 berpendapat bahwa
saraf di atasnya juga dapat terjadi kelelahan akibat perubahan suhu yang terjadi pada plika vokalis saat bergetar
berkurangnya eksitasi motoneuron dan perubahan input sangat kecil (0,002-0,0050C), sehingga peningkatan suhu
motoneuron dari perifer. bukan penyebab utama kelelahan bersuara.
Faktor-faktor lain yang menjadi faktor risiko terjadinya Terapi medikamentosa terutama ditujukan untuk
kelelahan bersuara juga harus diperhatikan. Penggunaan mengurangi udem jaringan dengan pemberian obat-obat anti
alkohol, merokok, dan obat-obatan tertentu sebaiknya inflamasi steroid atau non steroid. Terapi operatif diperlukan
dihindari karena dapat mempengaruhi kondisi permukaan jika sudah terjadi kelainan permanen laring.11
plika vokalis.11
Salah satu penyebab iritasi larings adalah refluks dari KESIMPULAN
esofagus11. Hal ini dapat mempercepat terjadinya kelelahan Aspek-aspek fisiologis dan biomekanis yang bertanggung
bersuara karena akan mengakibatkan hilangnya lapisan mukus jawab terhadap terjadinya kelelahan bersuara diduga adalah
permukaan pita suara serta terkelupasnya epitel. Beberapa hal kelelahan neuromuskuler, gangguan viskoelastisitas plika
yang dianjurkan untuk mencegah refluks antara lain, pertama vokalis, gangguan aliran darah, dan kelelahan otot-otot
menghindari konsumsi kafein dan coklat karena akan pernapasan. Penatalaksanaannya didasarkan pada patofisiologi
mengakibatkan relaksasi spinkter esofagus. Kedua, hindari tersebut, terdiri dari terapi suara, konservasi suara, latihan
makan dan minum pada jam tidur dan sebaiknya tunggu 2-3 bersuara dan terapi medikamentosa.
jam setelah makan baru kemudian tidur atau posisi kepala
ditinggikan. Bila sudah ada gejala refluks mungkin diperlukan
KEPUSTAKAAN
obat-obatan untuk menetralisir asam lambung atau
mengurangi produksinya. 1. Welham NV, Maclagan MA. Vocal fatigue: current knowledge future
directions. J Voice 2003;17:21-30.
2. Gotaas C, Starr CD. Vocal fatigue among teachers. Folia Phoniatricia et
Logopedica 1993;145:120-129.
TERAPI KELELAHAN BERSUARA 3. Forcin A, McGlashan J, Huckvale M. The generation and reception of
Ada beberapa pendekatan penatalaksanaan11,12. Pertama, speech. In Basic Science. In Kerr AG ed. Scott-Brown Otolaryngology
terapi suara dengan komponen utama berupa edukasi dasar 6th ed. Butterworth-Heinemann 1997.
anatomi dan fisiologi produksi suara. Pasien harus mengerti 4. Bailey BJ. Upper airway anatomy and function. In Otolaryngology Head
Neck Surgery 2nd ed. New York: Mosby. 1998.
hubungan antara gangguan suara dan penyebabnya sehingga 5. Astrand P, Rodahl K, Dahl HA, Stromme SB. Fatigue. In Text Book of
lebih menyadari apa yang boleh dilakukan dan apa yang Work Physiology Human Kinetics 4th ed. 2003: 453-477.
dihindari. Kedua, konservasi suara yang prinsipnya lebih 6. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi olahraga. Dalam Setiawan I ed. Buku
praktis dan realistis dibandingkan terapi suara. Caranya adalah Ajar Fisiologi Kedokteran ted 9. EGC 1997:1339-1354.
7. Titze IR, Svec JG, Popolo PS. Vocal dose measure: quantifying
dengan mengurangi penggunaan suara atau istirahat bersuara accumulated vibration exposure in vocal fold tissue. J Speech Language
yang bertujuan mengurangi udem jaringan. Perlu juga Hearing Res 2003; 46:922-935.
mengurangi sumber penyalahgunaan suara dan menggunakan 8. Yiu EML. Impact and prevention of voice problem in the teaching
alat pengeras suara. profession: embracing the customer views. J Voice 2001;15:275-290.
9. Solomon NP, Glaze LE, Arnold RR, van Mersebergen M. Effect of
Terapi tingkah laku suara ditujukan untuk meningkatkan vocally fatiguing task and systemic hydartions on men voices. J Voice
aspek teknik penggunaan suara termasuk pernapasan perut, 2003;17:31-46.
latihan penggunaan tinggi nada dan intensitas yang benar, 10. Yiu EML, Chan RMM. Effect of hydration and vocal rest on vocal
meningkatkan phrasing dan teknik-teknik spesifik lainnya. fatigue in amateur karaoke singers. J Voice 2003;17:216-227.
11. Lundy DS, Casiano RR. Diagnosis and management of hoarseness.
Para penyanyi yang dilatih selama 3 bulan akan mengalami Hospital Physician 1999; 10: 59-69.
penurunan serangan kelelahan bersuara secara bermakna 12. Welham NV, Maclagan MA. Vocal fatigue among trained singers across
dibandingkan sebelum dilatih12. a solo performance: preliminary study. Logofed Phoniatr Vocol 2004;
29: 3-12.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Latar Belakang : Formaldehid merupakan bahan kimia yang banyak dijumpai di lingkungan
indusri, pertanian, peternakan, rumah tangga, bahkan dalam makanan/ minuman. Bahan ini
dapat berbentuk padat, cair, uap/ asap. Formaldehid bersifat korosif terhadap mukosa, secara
tidak langsung, formaldehid dapat memicu terjadinya mutasi DNA.
Metode: Matching case control. Sejumlah 32 penderita karsinoma nasofaring (KNF) di
bangsal THT-KL RSDK dan 32 penderita bukan KNF yang periksa di klinik THT-KL RS Dr
Kariadi Semarang. Kriteria paparan formaldehid dinilai berdasarkan lama dan frekuensi
paparan formaldehid berbagai bentuk.
Hasil : Umur termuda 15 tahun, tertua 79 tahun. Laki-laki (87,5%) lebih banyak dari
perempuan (12,5%). Paparan formaldehid berbentuk uap OR 16.0 CI 2,9 -338,9 p = 0,000068.
Berbentuk asap OR 7,5 CI 1,7 – 67,6 p= 0,0001. Berbentuk partikel debu OR 3,0 CI 1,04 –
10,6 p= 0,0206. Berbentuk makanan bakar/asap OR 1,8 CI 0,5 – 6,8 p= 0,222. Berbentuk
awetan/instan OR 2,8 CI 0,8 – 11,8 p= 0,059. Berbentuk minuman beralkohol OR 3,7 CI 1,9 -
16,4 p=0,028. Hasil analisis multivarian mendapatkan paparan formaldehid berbentuk
uap,asap terbukti secara bersama berpengaruh secara signifikan (α =0,05) terhadap kejadian
KNF
Kesimpulan: Urutan pertama paparan formaldehid yang paling berpengaruh terhadap
terjadinya KNF adalah paparan berbentuk uap, disusul urutan ke dua adalah paparan
berbentuk asap dan ke tiga adalah minuman beralkohol.
TINJAUAN PUSTAKA makromolekul sel, meliputi DNA, RNA dan protein. Senyawa
Kanker disebabkan oleh interaksi berbagai faktor eksogen ini akan menyebabkan cedera sel (kerusakan DNA). Cedera
dan endogen melalui berbagai tahapan proses perubahan sel. ini akan diperbaiki dengan mekanisme apoptosis dan reparasi
Faktor endogen yang terutama adalah gen beserta produknya. DNA. Apabila cederanya mengenai gen supresor tumor p53,
Faktor eksogen (lingkungan) yang terutama adalah senyawa maka akan menyebabkan mutasi struktur DNA yang
kimia.1,3,8 diturunkan dan akan terjadi disfungsi gen-gen bersangkutan
Perubahan sel akibat faktor endogen terjadi akibat menyebabkan penyimpangan pertumbuhan sel normal menjadi
pengaruh Virus Epstein Barr (VEB). Virus ini berperan sel kanker. 2,10,12
penting dan hampir dapat dipastikan sebagai virus penyebab Terdapat berbagai jenis formaldehid. Jenis hirupan
utama terjadinya KNF.3,4,9 (inhalation) berbentuk uap, asap, atau partikel debu. Jenis
Formaldehid merupakan senyawa kimia yang tersusun telanan (ingestion) berupa pengawet/komponen minuman atau
dari unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksida.10,11,12 makanan, dapat ditemukan pada makanan yang
Formaldehid sengaja diproduksi manusia untuk memenuhi dibakar/diasapkan/dipanggang.7,1 CICAD (Concise
berbagai kebutuhan antara lain sebagai bahan dasar perekat, International Chemical Assessment Documents), dan CEPA
bahan pengikat kayu, bahan campuran plastik, bahan (Canadian Environmental Protection Act), menyatakan bahwa
pengawet dan anti kusut tekstil, bahan penyamak kulit, bahan paparan formaldehid bisa terjadi di semua tempat kerja dan di
pengencer larutan desinfektan, cairan pembalsam, bahan tempat ada pembakaran.7 Ambang batas toksik formaldehid
pengawet jaringan atau organ anatomi.6,13,14 Keberadaan bervariasi, tergantung jenis maupun bentuknya.
formaldehid di lingkungan manusia juga sebagai akibat
pembakaran berbagai bahan seperti solar, bensin, plastik, ban,
kayu, sampah. 6,7 BAHAN DAN CARA
United States Agency for Toxic Substances and Diseases Penelitian ini merupakan studi observasional dengan
Registry, dan Concise International Chemical Assessment desain matching case control. Diagnosis KNF ditegakkan
Documents (1987) menggolongkan formaldehid sebagai bahan dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi; kelompok kontrol
karsinogen untuk manusia. 11,12 sesuai usia dan jenis kelamin yang tidak menderita KNF.
Formaldehid merupakan xenobiotic yang dapat bersifat Kedua kelompok secara retrospektif diselidiki ada tidaknya
karsinogen bagi tubuh melalui paparan hirupan maupun riwayat paparan formaldehid dengan cara wawancara dan
telanan (makanan/minuman).10 Formaldehid pada kadar kunjungan rumah.
tertentu dapat mengakibatkan korosi mukosa apabila terhirup
atau tertelan. Akibat korosi ini, mukosa (termasuk mukosa HASIL DAN PEMBAHASAN
nasofaring) menjadi lebih peka terhadap bahan-bahan Sampel penelitian sejumlah 64 orang terdiri atas 32 KNF
karsinogen lainnya, terutama jika terpapar terus menerus.2,10,12 dan 32 kontrol. Usia termuda 15 tahun dan tertua 79 tahun.
Xenobiotic hirupan menimbulkan efek toksisitas lokal dan Dari penelitian ini juga terlihat bahwa angka kejadian KNF
mengubah protein jaringan, sehingga memacu proses makin meningkat dengan bertambahnya umur.
perubahan sel. Xenobiotic telanan masuk ke dalam tubuh Angka kejadian KNF pada penelitian ini adalah 88%
secara sistemik dalam bentuk pro-karsinogen. Sasaran utama laki-laki dan 12% perempuan atau 7,3 : 1, hampir sama
xenobiotic hirupan atau telanan adalah menimbulkan cedera dengan penelitian di Malaysia melaporkan perbandingan
untaian DNA yang mengandung berbagai jenis gen. Apabila angka kejadian KNF pada laki-laki dibanding perempuan
yang terkena cedera adalah gen yang mengatur siklus dan sebesar 8:1. Perbedaan perbandingan angka kejadian ini
pertumbuhan sel (gen supresor tumor p53), maka akan terjadi diduga kuat akibat variasi ras, letak geografis yang amat
disfungsi gen-gen bersangkutan dengan akibat penyimpangan terkait dengan kualitas lingkungan, adat istiadat atau
pertumbuhan sel ke arah ganas. kebiasaan, dan pola makan.6,7,8
Xenobiotic merupakan senyawa asing bagi tubuh, secara
sistemik akan dimetabolisme dalam hati dan diekskresikan ke
Tabel 1. Risiko paparan formaldehid uap terhadap kejadian KNF
luar tubuh melalui 2 fase reaksi perubahan yaitu hidroksilasi
dan konjugasi. Reaksi hidroksilasi mengubah xenobiotic Paparan Sampel (%) Total mOR
menjadi derivat xenobiotic terhidroksilasi yang lebih mudah Kasus/ Kontrol/ (%) (95%CI)
larut air dengan dikatalisis oleh kelompok enzim KNF Non KNF
monooksigenase atau sitokrom P450. Selanjutnya derivat
Ada (+) 26 (81,2) 11 (34,4) 37 (57,8) 16,0
xenobiotic terhidroksilasi hasil metabolisme fase I akan Tidakada (-) 6 (18,7) 21 (65,6) 27 (42,2) (2,9-338,9)
terkonjugasi dengan molekul asam glukuronat dan glutation
(GSH S-transferase) untuk kemudian diekskresikan bersama Total 32 (100,0) 32 (100,0) 64 (100,0)
urin atau getah empedu. 2,10,12 Apabila kedua fase reaksi p=0,000068
metaabolisme xenobiotic tersebut terganggu, maka xenobiotic
tadi tidak dapat diekskresikan ke luar tubuh dan akan tertahan Kelompok yang terpapar formaldehid berbentuk uap
dalam jaringan adiposa. Xenobiotic ini akan menjadi senyawa mempunyai kemungkinan 16 kali lebih besar untuk menderita
xenobiotic reaktif yang berikatan secara kovalen dengan KNF dari pada kelompok yang tidak terpapar (tabel 1).
Tabel 2. Risiko paparan formaldehid asap terhadap kejadian KNF Kelompok yang terbiasa makan makanan awetan/instan
mempunyai kemungkinan hampir 3 kali lebih besar untuk
Paparan Sampel (%) Total mOR
Kasus/ Kontrol/ (%) (95%CI) menderita KNF daripada kelompok yang tidak terbiasa makan
KNF Non KNF makanan awetan/instan, namun secara statistik tidak bermakna
(tabel 5).
Ada (+) 30 (93,8) 17 (53,1) 47 (73,4) 7,50 Kelompok yang terbiasa minum minuman beralkohol
Tidak ada (-) 2 (6,2) 15 (46,9) 17 (26,6) (1,7-67,6)
mempunyai kemungkinan hampir 4 kali lebih besar untuk
Total 32(100,0) 32(100,0) 64 (100,0) menderita KNF daripada kelompok yang tidak terbiasa minum
p=0,0001 minuman beralkohol (tabel 6).
Tabel 6. Risiko paparan formaldehid dari kebiasaan minum minuman
Kelompok yang terpapar formaldehid berbentuk asap beralkohol terhadap kejadian KNF
mempunyai kemungkinan 7,5 kali lebih besar untuk menderita
KNF daripada kelompok yang tidak terpapar asap formaldehid Paparan Sampel(%) Total mOR
(tabel 2) Kasus/ Kontrol/ (%) (95%CI)
KNF Non KNF
Tabel 3. Risiko paparan formaldehid partikel debu terhadap kejadian
KNF Ada (+) 12 (37,5) 4 (12,5) 16 (25,0) 3,7
Tidak ada (-) 20 (62,5) 28 (87,5) 48 (75,0) (1,9-16,4)
Paparan Sampel (%) Total mOR
Kasus/ Kontrol/ (%) (95%CI) Total 32 (100,0) 32 (100,0) 64 (100,0)
KNF Non KNF p=0,0286
Ada (+) 25 (78,1) 15 (46,9) 40 (62,5) 3,0 Pada penelitian ini, didapatkan fakta bahwa paparan
Tidak ada (-) 7 (21,9) 17 (53,1) 24 (37,5) (1,04-10,6)
formaldehid uap dan asap yang terhirup, berpengaruh paling
Total 32 (100,0) 32 (100,0) 64 (100,0) besar terhadap kejadian KNF.
p=0,0206
Paparan Sampel (%) Total mOR Variabel Nilai p mOR (95% CI)
Kasus/ Kontrol/ (%) (95%CI)
KNF Non KNF Uap 0,0006 5,4 1,3-21,9
Partikel Debu 0,0206 3,0 1,0-10,6
Ada (+) 11 (34,4) 4 (12,5) 15 (23,4) 2,8 Asap 0,0001 7,5 1,7-67,6
Tidak ada (-) 21 (65,6) 28 (87,5) 49 (76,6) (0,8-11,8) Alkohol 0,0286 3,7 1,9-16,4
Paparan formaldehid yang paling berpengaruh terhadap 4. Her Cheng. Nasopharyngeal cancer and the Southeast Asian patient. The
American Academy of Family Physcians. May 2001; 63: 1776-85
kejadian KNF adalah faktor risiko paparan formaldehid yang 5. Kwarditawati M. Survival penderita karsinoma laring di bagian THT
terhirup, berupa uap dan asap. Dengan α=0.05, kedua variabel RSUP Dr. Kariadi Semarang. Kumpulan naskah KONAS XII PERHATI
tersebut terbukti secara bersama-sama berpengaruh secara Semarang 1999; 1279-88.
signifikan terhadap kejadian KNF. Paparan formaldehid 6. Huff J. Sawmill chemicals and carcinogenesis. Environmental Health
Perspectives. 2001; 109: 209 – 11.
berbentuk asap, uap, partikel debu, dan minuman beralkohol 7. US Environmental Protection Agency's Integrated Risk Information
mempunyai nilai p < 0.05, adalah faktor risiko yang System (IRIS) on Formaldehyde. Available from URL
berpengaruh secara bersama-sama terhadap kejadian KNF http://www.epa.gov/ngispgm3/iris on the Substance File List as of
(tabel 7). March 15, 2000.
8. Prasad U. Neuro-ophthalmological manifestation in nasopharyngeal
carcinoma. In: Proc. 3rd Asia-Oceania Congress of
Otorhinolaryngology.1995.244-52.
KESIMPULAN 9. Bailet JW, Mark RJ, Abemayor, Lee SP, Tran LM, Juillard G et al.
Nasopharyngeal carcinoma: treatment result with primary radiation
Paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup therapy. Laryngoscope 1992; 102: 965-72
berpengaruh paling besar terhadap kejadian KNF, keduanya 10. Murray RK. Metabolisme Xenobiotik. Dalam Bani PA, Tiara. Biokimia
terbukti secara bersama sama berpengaruh secara signifikan Harper. Edisi ke-25. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC 2003 :
terhadap kejadian KNF. Paparan formaldehid bentuk makanan 743-48
11. Mutschler E. Dinamika obat. Dalam Rini. Buku ajar Farmakologi dan
asap/bakar dan makanan awetan/instan tidak berbeda Toksikologi. Edisi ke-5. Bandung; Institut Teknologi Bandung Press.
bermakna antara kedua kelompok, namun formaldehid bentuk 1991: 611 – 12.
makanan asap/bakar mempunyai risiko hampir 2x dan bentuk 12. Besari I, Sulistyowati E, Ishak M. Kimia organik untuk universitas.
makanan awetan/instan hampir 3x dibanding kelompok yang Edisi I. Bandung: CV. Armico; 1982 : 77 – 132.
13. Olsen JH, Asnaes S. A Study of verified cancers and the relation
tidak terpapar. occupational exposure to formaldehyde. Br. J. Ind Med 1986; 43 (11) :
769-74
14. Boysen M. The histopathological evaluation on nasal biopsy of
KEPUSTAKAAN occupationally exposed to formaldehyde workers. Br. J. Ind Med 1990;
47 (2) : 116-21
1. Sukardja IDG. Onkologi klinik. Surabaya : Airlangga Universitas Press. 15. Vaughan TL, Stewart PA, Teschke.K, Lynch CF, Swanson GM, Lyon
2000. p. 111-25. JL et al. Occupational exposure to formaldehyde and wood dust and
2. Murray RK. Kanker, gen kanker dan faktor pertumbuhan. Dalam Bani nasopharyngeal carcinoma. Occup. Environ. Med. 2000; 57: 376-84.
PA, Tiara. Biokimia Harper. edisi 25. Penerbit buku kedokteran EGC 16. Armstrong RW, Imrey PB, Lye MS, Armstrong MJ, Yu MC, Sani S.
2003: 750-53. Nasopharyngeal carcinoma in Malaysian Chinese: Occupational
3. Kencono WA. Pengaruh vaksinasi BCG dalam meningkatkan respons T exposures to particles, formaldehyde and heat. Internat. J. Epidemiol.
helper 1 (Th1) dan respon tumor terhadap radiasi pada karsinoma 2000; 29; 991-8.
nasofaring (disertasi). Surabaya. Universitas Airlangga; 2001 : 18-36.
HASIL PENELITIAN
Hubungan antara
Densitas Mikrovaskuler dengan
Respon Klinik Penderita Karsinoma
Nasofaring WHO 2 dan WHO 3
terhadap Terapi Radiasi
Willy Yusmawan, Amriyatun
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/
SMF Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang
ABSTRAK
Latar belakang : Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang paling sering terjadi
di bidang THT KL. Respon penderita terhadap terapi radiasi yang merupakan terapi utama
penyakit ini berbeda beda. Densitas mikrovaskuler yang berhubungan dengan oksigenasi
massa tumor dipandang sebagai faktor yang berperan dalam perbedaan respon terhadap terapi
radiasi ini.
Tujuan : Membuktikan bahwa karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 dengan
densitas mikrovaskuler tinggi akan mempunyai respon klinik yang lebih baik terhadap terapi
radiasi dibandingkan dengan tumor dengan densitas mikrovaskuler rendah
Metode : Studi kohort prospektif terhadap penderita karsinoma nasofaring WHO 2 dan
WHO 3 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di klinik dan bangsal THT KL RSDK.
Secara keseluruhan terdapat 32 penderita karsinoma nasofaring yang sampel biopsinya dinilai
densitas mikrovaskulernya.
Hasil : Uji Fisher dan uji korelasi Koefisien kontingensi tidak mendapatkan ada
hubungan antara densitas mikrovaskuler dengan respon klinik terapi radiasi berupa pengecilan
massa tumor di nasofaring dan kelenjar limfe leher.
Simpulan : Densitas mikrovaskuler tidak berhubungan dengan respon klinik karsinoma
nasofaring WHO 2 dan WHO 3 yang diterapi radiasi dan tidak dapat dijadikan faktor
prognosis untuk menentukan keberhasilan terapi radiasi terhadap penderita karsinoma
nasofaring WHO 2 dan WHO 3
Kata kunci : Karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3, densitas mikrovaskuler, respon
klinik terapi radiasi
Beberapa penulis menyatakan bahwa karsinoma Penderita yang datang ke Klinik THT RSDK dan
nasofaring WHO 2 dan WHO 3 mempunyai epidemiologi, memenuhi kriteria tanda karsinoma nasofaring yaitu gejala
serologi, dan gambaran klinik yang hampir sama, sehingga telinga, gejala hidung, gejala leher, gejala mata dan gejala
untuk kepentingan klinik dan prognostik, pembagian tersebut kepala dikirim ke bagian Endoskopi untuk menjalani
disederhanakan menjadi 2 yaitu tipe karsinoma sel skuamosa nasofaringoskopi dan biopsi massa tumor di nasofaring. Hasil
(WHO 1) dan karsinoma tak berdiferensiasi (WHO2 dan biopsi dikirim ke bagian Laboratorium Patologi Anatomik RS
WHO 3). Berdasarkan respon terhadap terapi radiasi, Dr Kariadi Semarang untuk pengecatan Hematoxylin-Eosin
karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 mempunyai respon menggunakan blok parafin. Pada penelitian ini tidak dilakukan
yang lebih baik dibandingkan dengan karsinoma nasofaring biopsi kelenjar limfe leher.
WHO 1. Preparat selanjutnya dikirim ke laboratorium Patologi
Dalam kenyataannya, respon klinik terhadap radiasi antar Anatomik FK UGM Yogyakarta untuk dihitung derajat
sesama penderita karsinoma nasofaring tidak sama, walaupun densitas mikrovaskulernya dengan pengecatan sel endotel
tipe histopatologinya sama. Beberapa penderita massa dengan faktor Von Willebrand. Dengan mikroskop cahaya
tumornya mengecil setelah dosis 6000-7500 cGy yang binokuler pembesaran 40X dinilai area dengan
diberikan dengan teknik fraksinasi, sementara penderita lain neovaskularisasi terbanyak (hot spot). Kemudian dilakukan
massa tumornya cenderung tetap. penghitungan jumlah pembuluh darah mikro pada 10 lapangan
Dalam hal dosis radiasi, oksigen, dan kematian sel tumor, pandang dengan pembesaran 400X (high resolution field)
terdapat istilah OER (oxygen enhancement ratio) yaitu dalam area hot spot tersebut. Hasil akhir jumlah pembuluh
perbandingan dosis radiasi yang dibutuhkan untuk mematikan mikro dalam satu preparat adalah hasil penjumlahan pembuluh
sel dalam keadaan hipoksik dan sel dalam keadaan oksik darah mikro pada sepuluh lapangan pandang yang dinyatakan
(cukup oksigen). Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk dalam jumlah pembuluh mikro per lapangan pandang.
mematikan sel dalam keadaan hipoksik 2 kali lebih tinggi Penilaian dilakukan oleh dua orang ahli Patologi Anatomi.
dibandingkan dengan untuk sel yang oksik. Reliabilitas pengukuran ditingkatkan dengan dengan
Pasokan oksigen dalam suatu tumor sangat pengukuran berulang. Derajat angiogenesis dinilai dengan
ditentukan oleh proses angiogenesis (pembentukan pembuluh skala nominal. Nilai batas densitas mikrovaskuler adalah 43.
darah baru). Anyaman pembuluh darah dalam suatu area Densitas mikrovaskuler < 43 dinyatakan sebagai derajat
disebut densitas mikrovaskuler. Densitas mikrovaskuler densitas mikrovaskuler rendah, sedangkan derajat densitas ≥
diukur dalam area hot spot yaitu daerah yang mempunyai 43 dinyatakan sebagai densitas mikrovaskuler tinggi.
anyaman pembuluh darah paling padat dalam suatu area Respon klinik terhadap radiasi berupa pengecilan massa
tumor. di nasofaring dan pengecilan kelenjar limfe leher pada
penderita karsinoma nasofaring yang telah mendapat terapi
radiasi sebanyak 30 kali. Derajat pengecilan massa di
TUJUAN PENELITIAN nasofaring dinyatakan : respon komplit bila massa di
Untuk membuktikan bahwa penderita karsinoma nasofaring hilang sama sekali, respon parsial bila massa di
nasofaring WHO 2 dan WHO 3 yang mempunyai derajat nasofaring mengecil >50% tapi <100%; minimal atau tidak
densitas mikrovaskuler tinggi akan mempunyai respon klinik ada respon bila massa di nasofaring mengecil <50% atau
terhadap radiasi lebih baik bila dibandingkan dengan penderita besarnya tetap dan progresif jika massa di nasofaring makin
karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 dengan densitas membesar atau timbul lesi baru. Sementara itu, derajat
mikrovaskuler rendah. pengecilan limfonodi leher dinyatakan : respon komplit bila
tidak teraba lagi limfonodi leher, respon parsial apabila
BAHAN DAN CARA KERJA pengecilan >50% dan <100%, minimal atau tidak ada
Merupakan penelitian prognostik menggunakan respon bila pengecilan limfonodi leher <50% atau massa
rancangan Kohort yaitu dengan mengikuti dan mengamati tumor besarnya tetap dan progresif bila limfonodi leher makin
kasus yang diteliti sampai kurun waktu tertentu. membesar atau timbul lesi baru. Untuk kepentingan
Kasus adalah penderita karsinoma nasofaring yang pengolahan data maka respon tersebut dibagi menjadi respon
menjalani pemeriksaan nasofaringoskopi dan biopsi di RS Dr positif yang meliputi : respon komplet dan sebagian serta
Kariadi Semarang pada periode penelitian (Mei –Desember respon negatif yang meliputi : minimal atau tidak respon dan
2005),memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dan terdiagnosis respon progresif.
sebagai karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3.
laryngeal carcinoma treated with radiotherapy. Clin. Cancer Res.. 30. Suryohudoyo. Oksidan antioksidan dan radikal bebas. Dalam: Kapita
September 2001;7.p.2809-14. selekta ilmu kedokteran molekuler. Jakarta; CV Infomedika. pp.31-47
10. Shih CH, Ozawa S, Ando N. Vascular endothelial growth factor 31. Bushberg JT, Seibert JA, Boone J. Radiation biology. In : Williams and
expression predicts outcome and lymph node metastasis in squamous Wilkins eds. The essential physics of medical imaging .2nd ed.
cell carcinoma of the esophagus. Clin. Cancer Res. March 2000 ; 6 : Lippincot; 2002.p.90-9
1161-68. 32. Skeel R. Systemic assessment of the patient with cancer. In: Skeel T eds.
11. Weidner M. Tumor angiogenesis : A new significant and independent Handbook of cancer chemotherapy. 3rd ed. Ohio:Little Brown Co.
prognostic indicator in early stage breast carcinoma. J.Nat.Cancer :1991.p.55-61
Institute 1992;:84:1875-87. 33. Wei W, Sham JS. Cancer of the nasopharynx. In : Myers E, Suen Y eds.
12. Neel B, Witte MC. Nasopharyngeal cancer. In : Bailey BJ, ed. Head and Cancer of the Head and Neck. Philadelphia: WB Saunders Co. 2003;19.
Neck Surgery Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia : Lippincot Raven pp.717-35
1998. pp. 1637-71. 34. Kian AK, Milas T, Shiu AS. General principles of radiation therapy for
13. Sudaryanto T. Petunjuk diagnosis karsinoma nasofaring. Kumpulan cancer of the head and neck. In : Myers E, Suen J eds. Cancer of the
Makalah Ilmiah. Semarang. 1998 Head and Neck 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 2003. pp.717-35
14. Wei Wi, Sham JS. Cancer of the nasopharynx. In : Myers EN, Suen Y 35. Fang FM, Tsai WL. Implications of quantitative tumor and nodal
eds. Cancer of the Head and Neck. Philadelphia : WB Saunders regression rates for nasopharyngeal carcinoma after radiation therapy.
Co.1996. pp. 277-93. Internat. J. Oncol.Biol. Phys. 2001:.961-9
15. Mould RF, Tai TH. Nasopharyngeal carcinoma.; treatment and 36. Bambang SS. WHO classification of the Nasopharyngeal Carcinoma in
outcomes in 20th century. Br. J.Radiol..2002.:.307-39 North Central Java. Asean Otolaryngol. Head and Neck Surg.J. 1997 ; 1:
16. Hasselt CAV. Nasopharyngeal carcinoma. In: Andrew SJ, David EP eds. 1-6.
Disease of the Head and Neck, Nose and Throat. London : Arnold.1998. 37. Sanguineti G, Tucker SL, Garden AS, Ang KK, Morrison WH, Peters
p.297-307 LJ. Carcinoma of the nasopharynx treated by radiotherapy alone :
17. Barnes L. Patholgy of Head and Neck : general consideration. In : Myers determinants of distant metastasis and survival. J. Radiother. Oncol.
EN, Suen JY eds. Cancer of the Head and Neck. 3rd ed. Philadelphia. 1997; 1:.53-61.
WB Saunders Co. 1996. pp. 17-32. 38. Kusumo H, Hadi W. Aspek klinik dan histopatologis karsinoma
18. Slingerland JM, Tannock IF. Cell proliferation and cell death. In : nasofaring. Kumpulan makalah Kongres Nasional Perhati XII. Semarang
Tannock IF, Hill PR eds. The Basic Science of Oncology. 3rd ed. .1999
Singapore: McGraw Hill; 1998. pp. 134-165. 39. Liu MT, Hsieh CY, Chang TH, Lin JP, Huang CC, Wang AW.
19. Andreef M, Goodrich D, Pardee A. Cell proliferation, differentiation and Prognostic factors affecting the outcome of nasopharyngeal carcinoma.
apoptosis. In : Holland, Frei, eds. Cancer Medicine. Philadelphia ; WB Japan.J. Clin.Oncol 2003; 33:.501-08.
Saunders Co :2002. pp. 17-29. 40. Affandi Y. Evaluasi hasil radioterapi pada karsinoma nasofaring di
20. Fedi P, Kimmelman A, Aaronson SA. Growth factor signal transduction lab/UPF THT FK UNPAD/RS Dr Hasan Sadikin Bandung periode 1
in cancer. In : Holland, Frei, eds. Cancer Medicine. Philadelphia:WB Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1989. Oto Rhino Laringol.
Saunders Co. :2002.pp. 32-47. Indon. 1992; XXIII(3): .113-23.
21. Kerbel RS. Tumor angiogenesis : past, present and the near future. 41. Stillwagon GB, Lee DJ, Kashima H, Harris A, Johns M. Response of
Carcinogenesis. 2000; 21: 505-15 cranial nerve abnormalities in nasopharyngeal carcinoma to radiation
22. Dedhar S, Hannigan GE. The extracelluler environtment and cancer. In : therapy. J.Clini.Oncol. 1997; 11:.34-7.
Tannock I, Hill R eds . The Basic Science of Oncology. Singapore: Mc 42. Indudharan R, Kannan T, Sidek D. Nasopharyngeal carcinoma: clinical
Graw Hill. 1998.. pp. 197-218. trends. J.Laryngol.Otol 11:.724-29
23. Guang-Wu H, Sunagawa M, Shimada S. The relationship between 43. Muyassaroh, Samsudin. Kelainan neurologik pada karsinoma nasofaring
microvessel density, the expression of vascular endothelial growth factor di SMF kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 1996-1998.
and the extension of nasopharyngeal carcinoma. The Laryngoscope. Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 1999.p.250
2000 ; 110: 2066-9. 44. Lin JC, Jan JS. Locally advanced nasopharyngeal cancer : Long term
24. Zang SC, Miyamoto SI, Kamijo T. Intratumoral microvessel density in outcomes of radiation therapy. J. Radiol. 1999; 211: 513-18
biopsy specimens predicts local response of hypopharyngeal cancer to 45. Morera C,Burgos J. Tumor angiogenesis in nasopharyngeal carcinoma
radiotherapy. Japan. J. Clin. Oncol. 2003;; 33: .613-19. patients Pathol. Oncol. Res. 2000 ; 6 : 210-16
25. Ito Y, Kamijo T, Yokose T. Microvessel density predicts the 46. Miyamoto, Zang J. Intratumoral microvessel density in biopsy
radiosensitivity of metastatic head and neck squamous cell carcinoma in specimens predicts local response of hypopharyngeal cancer to
cervical lymph node. Internat. J. Oncol. 2003: 19:1127-32. radiotherapy. Japan.J.Clin Oncol 2003; 33;.613-19.
26. Wachsberger P, Burd R, Dicker AP. Tumor response to ionizing 47. Ozawa S, Ando N. VEGF predicts outcome and lymph node metastasis
radiation combined with antiangiogenesis or vascular targeting agents. in squamous cell carcinoma of the esophagus. Clin .Cancer Res. 2000; 6:
Clin. Cancer Res. 2003; 9 : 1957-71. 161-68.
27. Understanding angiogenesis. The angiogenesis foundation 2000; 48. Kamijo T The radiosensitivity of metastatic head and neck squamous
angio.org/understanding.content understanding.ntnn cell carcinoma in cervical lymph node. Internat.J.Oncol. 2003; 9:.1127-
28. Scoazec JY.Current concept of angiogenesis. Service central d anatomie 32
et cytologie pathologiques. Lyon, France ;2001. 49. Hasebe T, Ebihara S. Image analysis of microvessel area predicts
29. Soehartati G, Djakaria M. Peran onkologi radiasi dalam penanganan radiosensitivity laryngeal carcinoma treated with radiotherapy.
penyakit keganasan. Subbag Radioterapi FKUI RSCM. Jakarta Clin.Cancer Res 2001; 7: 2809-14.
1999:.pp.23-25.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Puasa dapat diartikan sebagai pembatasan asupan makanan dan minuman. Pengurangan
jumlah asupan makanan akan mempengaruhi keseimbangan energi selanjutnya akan dapat
menyebabkan perubahan komposisi tubuh. Perubahan komposisi tubuh terutama penurunan
massa lemak akan dapat mengurangi risiko kardiovaskuler.
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung perbedaan komposisi tubuh, kadar plasma
kolesterol, tekanan darah sebagai faktor risiko kardiovaskuler sebelum dan sesudah puasa.
Pengukuran antropometri, tekanan darah dan plasma kolesterol dari 10 mahasiswa laki-laki
Fakultas Kedokteran Gigi yang bersedia menjadi sukarelawan dilakukan 5 hari sebelum dan
20 hari setelah puasa dalam bulan Ramadhan 2005. Selama puasa tidak ditemukan perbedaan
IMT, total kolesterol, dan HDL kolesterol serta tekanan sistolik maupun diastolik, tetapi ada
perbedaan rasio lingkar pinggang pinggul yang bermakna.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa puasa selama bulan Ramadhan dapat menurunkan
risiko kardiovaskuler melalui penurunan rasio lingkar pinggang dan pinggul.
Kata kunci : Puasa, Sistolik, Diastolik, Komposisi Tubuh, IMT, Rasio Lingkar Pinggang
Pinggul, Total Kolesterol, HDL Kolesterol.
disebabkan karena perubahan pola makan saat puasa yaitu dari keseimbangan maka kelenjar adrenal akan merangsang
3 kali menjadi 2 kali dengan interval 12 jam tidak mengubah pengeluaran hormon aldosteron. Hormon ini akan
pola konsumsi makanan, baik dari segi jumlah energi kalori meningkatkan reabsorbsi natrium, sehingga konsentrasi
maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Dan biasanya natrium dalam sel-sel ginjal meningkat, akibatnya tubuli ginjal
kualitas gizi makanan yang dihidangkan pada saat sahur dan akan mengabsorbsi air lebih banyak, sehingga volume plasma
buka puasa sebanding dengan kualitas makanan pada saat akan meningkat dan tekanan darah akan normal lagi.
tidak puasa. Mekanisme ini mungkin dapat menerangkan tidak adanya
penurunan tekanan sistolik maupun diastolik di kelompok ini.
Tabel 3. Perbedaan rasio lingkar pinggang pinggul sebelum dan
sesudah 20 hari puasa
Tabel 5. Rata-rata tekanan darah (mmHg) sebelum dan sesudah puasa
Ratio lingkar pinggang pinggul* 20 hari
No sebelum sesudah 20 hari Sistolik (mmHg)* Diastolik (mmHg)*
No
1 0.89 0.87 Sebelum Puasa sebelum Puasa
2 0.90 0.88 1 105 103 72 65
3 0.91 0.90 2 115 110 80 75
4 0.88 0.86 3 112 109 65 65
5 0.89 0.86 4 118 115 70 75
6 0.90 0.87 5 105 110 75 70
7 0.91 0.87 6 110 108 70 75
8 0.89 0.88 7 110 105 75 75
9 0.88 0.88 8 120 115 80 80
10 0.90 0.89 9 110 115 80 70
Mean ± SD 0.90 ± 0.01 0,87 ± 0,01 10 120 115 75 80
Tabel 4. Rata-rata kolesterol total dan HDL sebelum dan sesudah 20 * Tidak bermakna
hari puasa
Kolesterol total (mg/dL)* HDL Kolesterol (mg/dL)* KESIMPULAN
No Selama puasa tidak ditemukan adanya perbedaan IMT,
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1 121 122 52 53 total kolesterol, dan HDL kolesterol serta tekanan sistolik
2 132 127 55 58 maupun diastolik, tetapi ada perbedaan rasio lingkar pinggang
3 117 119 50 50 pinggul yang bermakna. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
4 140 135 58 54
5 133 127 54 58
puasa selama bulan Ramadhan dapat menurunkan risiko
6 127 126 55 59 kardiovaskuler melalui penurunan rasio lingkar pinggang dan
7 122 122 54 56 pinggul.
8 121 122 50 54
9 134 130 61 60
10 129 125 56 55
KEPUSTAKAAN
Mean±SD 127.7±7.3 125.5±4.4 54.5±3.2 55.7±3.1
1. Ferland G, Sadowsky JA, O’Brien ME. Dietary induced subclinical
vitamin K deficiency in normal human subjects. J Clin Invest
* Tidak bermakna
1993;91:1761-8
2. Husband AJ, Bryden WL. Nutrition, stress and immune activation. Proc
Status tekanan darah Nutr Soc Aust 1996;20: 60-70.
Pembatasan konsumsi air dan mineral selama 20 hari pada 3. Prijatmoko D, Strauss BJG, Lambert JR et al. Body composition in
penelitian ini tidak menyebabkan penurunan tekanan darah alcoholic cirrhosis. Gastroenterol. 1993;105:1839-45.
4. Prijatmoko D. The effect of alcohol consumption on body composition
sistolik maupun diastolik (tabel 5). Walaupun telah dilaporkan and health status. PhD Thesis, Monash University, Australia. 1993.
bahwa pada minggu pertama puasa terjadi penurunan tekanan 5. Prijatmoko D, Strauss BJG. Using low-cost body composition
sistolik dan diastolik meningkat (6) . technology for health surveillance. Asia Pacific J Clin Nutr 1995;4:15-7.
Puasa atau pembatasan asupan makanan akan dapat 6. Sediaoetomo DA. Ilmu Gizi menurut Pandangan Islam. Jakarta, Dian
Rakyat 1990
mempengaruhi sekresi insulin dalam darah. Walaupun banyak 7. Simmons D, Mesui J. Decisional balance and stage of change in relation
teori yang berusaha menerangkan adanya hubungan antara to weight loss, exercise and dietary fat reduction among Pacific Island
teori resistensi insulin dan tekanan darah, akan tetapi people. 1999;8(1):39-45.
hubungan sebab akibat antara insulin dan tekanan darah belum 8. Venkatramana P, Reddy PC. Association of overall and abdominal
obesity with coronary heart disease risk factors: comparison between
dapat dipastikan. Tidak adanya perbedaan antara IMT, tekanan urban and rural Indian men. Asia Pacific J Clin Nutr 2002;11(1):66-71.
darah dan kolesterol dalam studi ini menunjukkan 9. Wahlqvist, ML, Dalais FS. Nutrition and cardiovascular disease. Asia
kemungkinan adanya faktor lain selain insulin yang dapat Pacific J Clin Nutr 1999;8(1):2-3.
mempengaruhi tekanan darah. 10. Western Pacific Regional Office of the World Health Organization, The
International Association for the Study of Obesity, The International
Pada saat berpuasa, konsumsi air terbatas, hal ini bisa Obesity Task Force. The Asia-Pacific Perspective: redefining obesity
menyebabkan asupan natrium berkurang. Untuk menjaga and its treatment. Sydney: Health Communications Australia, 2000.
Dari: Husain SJ, Forsyth PA. Headache associated with Intracranial Neoplasm. Dalam: Schiff D, Wen PY. Cancer Neurology in Clinical Practice.
Toronto, New Jersey : Humana Press, 2003. p.27
brw
Lancet 2006;367:340
brw
1. Tonsil sebenarnya merupakan jaringan berisi : 6. Kuman tersering hasil penelitian mastoiditis akut di
a) Sel limfoid Semarang :
b) Sel monosit a) Strept. pyogenes
c) Sel plasma b) Strept. viridans
d) Sel kelenjar c) Strept. pneumoniae
e) Sel adenoid d) Klebsiella pneumoniae
e) Staph. aureus
2. Teknik tonsilektomi saat ini sebagian besar berdasarkan :
a) Meyer 7. Yang tidak berperan pada pembentukan suara :
b) Crowe a) Laring
c) Crowe – Davis b) Faring
d) Sluder c) Esofagus
e) Willis d) Sinus
e) Diafragma
3. Persarafan tonsil berasal dari :
a) n. trigeminus 8. Yang bukan merupakan tanda voice fatigue :
b) n. fasialis a) Nyeri tenggorak
c) n. glosofaringeus b) Nyeri menelan
d) n. vagus c) Suara serak
e) n. C1 – C3 d) Volume suara turun
e) Semua termasuk
4. Penelitian Delfitri Munir menunjukkan bahwa penyebab
tersering sinusitis maksilaris kronis : 9. Paparan formaldehid yang paling berpengaruh terhadap
a) Strept. pyogenes kejadian karsinoma nasofaring :
b) Strept. viridans a) Makanan asap
c) Strept. pneumoniae b) Terhirup asap
d) Klebsiella pneumoniae c) Makanan awetan
e) Staph. aureus d) Makanan yang dibakar
e) Makanan yang diasin
5. Sedangkan pada penelltian Retno Gitawati dkk. terhadap
isolat hasil usap tenggorok di puskesmas di Jakarta : 10. Yang bukan komplikasi tonsilitis kronis :
a) Strept. pyogenes a) Nefropati
b) Strept. viridans b) Demam rematik
c) Strept. pneumoniae c) Obstructive sleep disorders
d) Klebsiella pneumoniae d) Abses peritonsiler
e) Staph. aureus e) Semua termasuk