Você está na página 1de 23

A.

Pengantar tentang Hipotalamus & Hipofisis Sistem neuroendrokin yang terdapat dalam tubuh kita diatur oleh hipofisis dan hipotalamus, yang mengkoordinasi fungsi-fungsi tubuh dengan menstransmisi pesan-pesan antara setiap sel-sel dan jaringan-jaringan. Hal ini berbeda dengan sistem saraf yang berkomunikasi secara lokal dengan impuls listrik dan neurotransmitter yang diarahkan melalui satu neuron ke neuron lain atau spesifik pada organ target, seperti otot dan kelenjar. Sistem endrokin melepaskan hormon ke dalam aliran darah dengan membawa pesan kimia ke seluruh tubuh. Hormon memiliki berbagai waktu respon jauh lebih luas dari pada impuls saraf, sehingga memerlukan waktu dari detik hingga ke jam, bahkan bisa lebih lama dari pada itu, sehingga menyebabkan terjadi respon hingga seminggu atau sebulan. Antara sistem hormon dan sistem saraf memiliki keterkaitan erat dalam sistem pengaturan tubuh. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus, pelepasan hormon dirangsang atau dihambat oleh sistem saraf, dan beberapa hormon dapat merangsang atau menghambat impuls saraf. Dalam hal ini yang berperan penting adalah sentral hipotalamus dan hormon hipofisis. (Katzung, 2010). Hipotalamus terletak pada lantai otak, mengelilingi bagian bawah ventrikel ketiga. Batas anterior adalah kiasma optika; batas posterior adalah korpus mamilaris; batas lateral adalah sulkus lateral; dan batas ventrodorsal adalah tuber cinereum (dasar hipotalamus yang membulat dan memanjang kearah kaudal hingga tangkai hipofisis). Bentuk hipotalamus memang tidak beraturan, namun dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu: (1) area hipotalamus dorsal; (2) area hipotalamik anterior; dan (3) area preoptikus (Guyton & Hall, 1997). Hipotalamus terletak di batang otak tepatnya di dienchepalon, dekat dengan ventrikal otak ketiga (ventrikulus tertius). Hipotalamus sebagai pusat tertinggi sistem kelenjar endrokin yang menjalankan fungsinya melalui humoral (hormonal) dan saraf (Rumahorbo, 1999). Hipotalamus merupakan bagian kecil dengan berat sekita 4 gram dan terletak paling depan dari dienchepalon dan di bawah thalamus mulai dari daerah kiasma optik sampai ke lamina terminal dan kommisura anterior sehingga daerah yang ditempati oleh hipotalamus tersebut disebut juga sebagai area preoptikum. Hipotalamus diperdalahi dengan sirkulus Wilisi. Kedua kaudal hipotalamus

menyatu dengan tegmentum mesencephalon. Hipotalamus mengandung sejumlah nukleus neuron yang berguna untuk pengaturan sekresi hormon hipofisis (Greenstein & Wood, 2010). Hipotalamus adalah kumpulan nukleus spesifik dan serat-serat terkait yang terletak di bawah thalamus. Daerah ini merupakan pusat integrasi untuk banyak fungsi homeostatik (kestabilan lingkungan internal) dan berfungsi sebagai penghubung antara sistem saraf otonom dan sistem endokrin (Sherwood, 2007). Hipotalamus memiliki nukleus-nukleus yang terbagi dalam empat wilayah utama, yaitu : 1. Wilayah mamiliari dekat dengan otak tengah dan merupakan bagian paling posterior dari hipotalamus. Bagian ini mencakup badan mamiliari dan nukleus hipotalamus posterior. Badan mamiliari ada dua, kecil, bulat dan berfungsi sebagai stasiun relay untuk refleks yang berhubungan dengan indera penciuman. 2. Wilayah tuberal. Bagian terluas dari hipotalamus yang mencakup ini nukleus dorsomedial, nukleus ventromedial, dan nukleus arcuata ditambah dengan tangkai infundibulum yang menghubungkan kelenjar pituitary (hipofisis) dengan hipotalamus. 3. Wilayah supraoptik. Terletak di superior kiasma optik (titik persimpangan saraf optik) dan berisi nukleus paraventrikular, nukleus supraoptik, nukleus hipotalamus anterior, dan nukleus suprakiasmatik. Akson dari nukleus paraventrikular dan nukleus supraoptik membentuk saluran

hipotalamohipofiseal yang memperpanjang melalui infundibulum ke lobus posterior hipofisis. 4. Wilayah proptik. Tetap diianggap sebagai bagian dari hipotalamus karena partisipasinya dengan hipotalamus dalam mengatur kegiatan otonom tertentu. Wilayah preoptik mengandung nukleus proptik medial dan nukleus preoptik lateral. (Tortora & Derrickson, 2009). Hipotalamus berperan penting dalam pengendalian aktivitas sistem saraf otonom yang melakukan fungsi vegetatif, seperti pengaruh frekuensi jantung, tekanan darah, suhu tubuh, keseimbangan air, selera makan, rasa haus, saluran

pencernaan, dan aktivitas seksual. Selain itu, hipotalamus juga berperan sebagai pusat otak untuk emosi seperti kesenangan, nyeri, kegembiraan, dan kemarahan. Hipotalamus memproduksi hormon yang mengatur pelepasan atau inhibisi hormon kelenjar hipofisis, sehingga mempengaruhi keseluruhan sistem endokrin (Greenstein & Wood, 2010). Hipotalamus sebagai bagian dari sistem endokrin mengontrol sintesa dan sekresi hormon-hormon hipofase. Hipofise anterior dikontrol oleh kerja hormonal sedang bagian posterior dikontrol melalui kerja saraf (Rumahorbo, 1999). Kelenjar hipofisis disebut juga sebagai kelenjar pituitary. Kata hipofisis berasal dari bahasa yunani, hypo yang berarti dibawah dan physis yang berarti pertumbuhan. kelenjar hipofisis terletak di hipofiseal fossa sella tursika di tulang spenoidale dengan tangkai pituitary (infundibulum). berat kelenjar hipofisis adalah 0,5 gr dengan diameter 1-5 cm dan ukuran normal pada manusia 10 13 16 mm. (Guyton & Hall, 1997). Kelenjar hipofisis terletak pada dasar tengkorak pada bagian tulang sphenoid yang disebut sella tursika (Turkish Saddle). Bagian anterior yaitu tuberkulum sella tursika, diapit oleh dua tonjolan posterior sayap tulang sphenoid yaitu prosesus klinoideus anterior, dorsum sellae membentuk dinding posterior, pada sudut atasnya menonjol ke prosesus klinoideus posterior. Kelenjar dilapisi oleh dura dan atapnya dibentuk oleh lipatan dura yang melekat pada prosesus klinoideus, yaitu diafragma sellae. Dalam keadaan normal, membrane arakhnoidea dan cairan serebrospinal tidak dapat masuk sella tursika dengan adanya diafragma sellae. Tangkai hipofisis dan pembuluh darahnya melewati lubang pada diafragma ini. Dinding lateral kelenjar secara tidak langsung berhadapan dengan sinus kavernosus dan dipisahkan oleh duramater. Kiasma optikum terletak 5-10 mm diatas diafragma sellae dan didepan tangkai kelenjar (Greenspan and Baxter, 1994). Selama embryogenesis, sebagian hipofisis berkembang dari kavitas oral primitive (ektoderm oral) dan sebagian lagi berasal dari jaringan saraf. A. Infundibulum dan kantong Rathke berkembang dari lapisan ektoderm neural dan ektoderm oral B. Kantong Rathke menyempit di bagian basal

C. Kantong Rathke terpisah dari epitel oral D. Adenohipofisis terbentuk dari pengembangan dari pasr distalis, pars tuberalis, dan pars intermedia sementara neurohipofisis terbentuk dari perkembangan pars nervosa, batang infundibulum dan eminensia medianan. (Guyton & Hall, 1997). Hubungan hipotalamus dan kelenjar hipofisis 1. Jalur neural: traktus hipotalamohipofisis dari nukleus supraopticum dan nukleus paraventrikuler menuju lobus posterior hipofisis untuk

mensekresikan hormon oksitosin dan vasopresin ke pembuluh darah. 2. Jalur vaskuler: sistem portal hipotalamohipofisis merupakan baggian dari sistem portal yang menghubungkan sinusoid pada eminentia mediana dan infundibulum hipothalamus dengan anyaman vena pada lobus anterior hipofisis sebagai jalur untuk merangsang kelenjar hipofisis anterior mensekresikan hormon tertentu. Kelenjar hipofisis dapat dibagi bagi menjadi bagian yang berbeda, yaitu: 1. Adenohipofiis (hipofisis anterior). Hanya terdiri dari epitel kelenjar (adeno artinya kelenjar). Merupakan bagian dari hipofisis yang berkembang dari ektoderm. Terdapat pars distalis, pars tuberalis, dan pars intermedia. 2. Neurohipofisis (hipofisis posterior). Merupakan bagian dari hipofisis yang berkembang dari jaringan saraf. terdapat pars nervosa, bagian yang paling besar dan infundibulum yang terdiri dari eminentia mediana dan stem. 3. Pars intermedia merupakan daerah kecil avaskuler yang terletak diantara adenohipofisis dan neurohipofisis. Pada manusia nyaris tidak terdapat hipofisis pars intermedia, namun ada pada beberapa jenis hewan tingkat rendah dan ukurannya jauh lebih besar serta jauh lebih berfungsi. (Guyton & Hall, 1997). Hipofisis memiliki dua lobus yang secara anatomis dan fungsional berbeda, hipofisis posterior dan hipofisis anterior. Hipofisis posterior terdiri dari jaringan saraf dan karenanya dinamai neurohipofisis. Hipofisis anterior terdiri dari jaringan epitel kelenjar dan karenanya juga dinamai adenohipofisis (adeno artinya kelenjar). Hipofisis anterior dan posterior hanya memiliki kesamaan lokasi (Sherwood, 2007).

Besarnya kelenjar hipofisis berbeda-beda, dimana lobus anterior terdiri dari dua pertiga bagian. Ukuran hipofisis kira kira 15 10 6 mm dan beratnya 500900 mg. pada kehamilan ukurannya bisa dua kali lipat. Karena bentuk sella tursika menyesuaikan diri dengan bentuk dan ukuran kelenjar, maka struktur tulang ini berbeda beda (Greenspan and Baxter, 1994). a. HIPOFISIS POSTERIOR (Neurohipofisis) Hipofisis posterior atau neurohipofisis berkembang dari infundibulum yang merupakan perpanjangan ke bawah dari ektoderm neural. Kelenjar ini muncul sebagai ekstruasi ke bawah dari hipotalamus (Greenstein & Wood, 2010). Kelenjar hipofisis posterior terutama terdiri atas sel-sel glia yang disebut pituisit. Namun, pituisit ini tidak mensekresi hormon, sel ini hanya bekerja sebagai struktur penunjang bagi banyak sekali ujung-ujung serat saraf dan bagian terminal akhir serat dari jaras saraf yang berasal dari nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikel hipotalamus. Dalam hipofisis posterior, ujung ujung akson supraoptik dan paraventrikularis dapat diamati berhubungan erat dengan pembuluh darah. Ujung ujung saraf tersebut tampak seperti batang batang berbentuk seperti susunan pagar (Ganong, 1995). Secara histologis, kelenjar hipofisis berkembang dari jaringan saraf dan terdiri dari pars nervosa dan infundibulum (tangkai neural). 1. Pars nervosa tampak sel akson tak bermielin dari traktus

hipotalamohipofiseal. Sel akson akson tanpa mielin tersebut yang menghasilkan oksitosin yang menimbulkan kontraksi pada miometirum dan sel mioepitel kelenjar payudara serta mengahsilkan vasopresin atau ADH yang menyebabkan peningkatan reabsorbsi Na dan air pada tubulus ginjal. Diantaranya terdapat sel sel glia dan pituisit yang mengisi 25% dari pars nervosa. Sel sel glia pada hipofisis posterior berfungsi untuk melindungi sel sel saraf. Sementara sel pituisit adalah sel sel stelata yang mengandung globules globules lemak yang dahulu diperkirakan mensekresikan hormon hormon lobus posterior tetapi sekarang dianggap hanya sebagai modifikasi dari sel astroglia yang berfungsi untuk menyokong akson. Terlihat pula adanya badan Herring irreguler yang

merupakan kumpulan dari granula neurosekresi sel saraf hipotalamus dan ditemukan banyak kapiler (Ganong, 1995). Pars nervosa dibagi menjadi lobulus lobulus oleh septum dan mengandung banyak anyaman kapiler. Di bagian tengah lobulus terdapat akson akson dan sel sel pituisit yang berbentuk irregular dan banyak tonjolan sitoplasma. Sel pituisit mengandung tetes lemak, pigmen lipokrom, dan filamen intermediet (Greenstein & Wood, 2010). 2. Tangkai neural (Infundibulum). Terdiri atas eminensia mediana hipotalamus, yang merupakan tempat terjadinya hubungan vascular antara neuron sekretorik hipotalamus dan kelenjar endokrin, dan stem.(Ganong, 1995). Hipofisis posterior diperdarahi arteri hipofisealis inferior (cabang dari arteri karotid interna) yang membentuk pleksus kapilaris dan keluar sebagai vena posterior hipofisealis untuk menuju ke vena cava (Tortora & Derrickson, 2009). Hipofisis posterior sebagian besar tersusun dari berbagai ujung saraf yang tersusun dari berbagai ujung akson yang muncul dari nukleus besar yang disebut nukleus magnoseluler, yang terletak di nukelus supraoptikus dan nukelus paraventrikel di hipotalamu, yang kemudian berkumpul di hipofisis posterior melalui traktus hipotalamohipofisis. Sebagian besar serabut supraoptik berakhir di lobus posterior itu sendiri, sedangkan sebagian serabut paraventrikel berakhir di eminensia mediana. Akson neuron neuron turun melalu tangkai penghubung tipis yang disebut infundibulum untuk berakhir di kapiler di hipofisis posterior. (Sherwood, 2007). b. HIPOFISIS ANTERIOR (ADENOHYPOFISIS) Merupakan kelenjar yang sangat vaskuler dengan sinus - sinus kapiler yang luas diantara sel sel kelenjar, 0,6 gr dan diameternya sekitar 1 cm sekresi hipofisis anterior diatur oleh hormon yang dinamakan releasing dan inhibitory hormones (atau factor) hipotalamus yang disekresi dalam hipotalamus sendiri dan kemudian dihantarkan kehipofisis anterior melalui

pembuluh darah kecil yang dinamakan pembuluh partal hipotalamik hipofisial. Kelenjar hipofisis anterior terdiri atas beberapa jenis sel. Pada umumnya terdapat satu jenis sel untuk setiap jenis hormon yang dibentuk pada kelenjar ini, dengan teknik pewarnaan khusus berbagai jenis sel ini dapat dibedakan satu sama lain. Satu-satunya kemungkinan pengecualiannya adalah sel dari jenis yang sama mungkin menyekresi hormon iuteinisasi dan hormon perangsang folikel. Hormon-hormon yang dikeluarkan hippotalamus dan hipofisis adalah dari golongan peptida atau protein dengan berat molekul rendah yang bekerja setelah terikat pada situs reseptor di jaringan target. Hormon-hormon dari hipofisis anterior diatur oleh neuropeptida, disebut sebagi faktor atau hormon pelepas atau penghambat yang dihasilkan oleh se-sel hipotalamus dan berhubungan dengan sel-sel hipofisis. Interkasi hormon pelepas dan dengan reseptornya menyebabkan terjadinya sintesis dan pelepasan hormon hipofisis masuk sirkulasi. Setiap hormon pengatur hipotalamus mengatur pelepasan hormon spesifik dari hipofisis anterior. Hormon pelepas hipotalamus terutama digunakan untuk maksud-maksud diagnosis (yaitu menentukan insufisiensi hipofisis) (Mycek dkk, 2001). Hormon yang dihasilkan hipotalamus sering disebut faktor R dan I mengontrol sintesa dan sekresi hormon hipofase anterior sedengankan kontrol terhadap hipofase posterior berlangsung melalui kerja saraf. Pembuluh darah kecil yang membawa sekret hipotalamus ke hipofase disebut portal hipotalamik hipofase. Hormon-hormon hipotalamus antara lain: 1. ACRH : Adrenocotico Releasing Hormone ACIH : Adrenocotico Inibition Hormone 2. TRH : Tyroid Releasing Hormone TIH :Tyroid Inibition Hormone 3. GnRH : Gonadotropin Releasing Hormone GnIH : Gonadotropin Inhibition Hormone 4. PTRH : Paratyroid Releasing Hormone PTIH : Paratyroid Inibition Hormone 5. PRH : Prolaktin Releasing Hormone PIH : Prolactine Inibition Hormone

6. GRH : Growth Releasing Hormone GIH : Growth Inibition Hormone 7. MRH : Melanocyte Releasing Hormone MIH : Melanocyte Inibition Hormone (Rumahorbo, 1999).

B. Somatotropin Hormone (Growth Hormone/GH)


Hormon pertumbuhan manusia (GH) (somatotropin) adalah hormon peptida endogen yang terlibat dalam sistem regulasi dari proses fisiologis dalam pertumbuhan tubuh, protein, karbohidrat, dan metabolisme lipid (termasuk efek pada komposisi tubuh seperti anabolik dan tindakan lipolitik), kesehatan jantung, kinerja fisik, dan kesejahteraan. Hormon ini disekresikan secara berdenyut dari sel-sel somatotrope dari kelenjar hipofisis anterior didominasi selama dalam (gelombang lambat) tidur. Namun, berbagai rangsangan fisiologis termasuk olahraga, asupan makanan, dan stres juga memodulasi sekresi (Brown & Jim, 2009). Reseptor spesifik GH (GHR) merupakan sebuah protein 638-asam amino, reseptor dari ekstrinsik tirosin kinase kelompok dikodekan pada kromosom 5. Ini terdiri dari sebuah ekstraseluler bagian untuk mengikat GH, urutan

transmembranal dan bagian sitoplasma. The GHBP adalah proteolitik bagian dari urutan ekstraseluler dari GHR dan mungkin dilepaskan ke sirkulasi oleh aksi dari Nekrosis Tumor Faktor (TNF-) converting enzyme. (9) Dengan demikian, informasi dapat diperoleh pada GHR oleh mengukur tingkat GHBP. (5) GHBP memainkan peran regulasi pada penghambatan dan aktivasi pelepasan GH terikat dan yang distribusi ke jaringan. Tingkat GHBP adalah menurun pada diabetes mellitus (DM), malnutrisi, hipotiroidisme, penyakit hati dan meningkat pada obesitas dan estradiaol terapi (Brown & Jim. 2009). Selain berguna dalam pertumbuhan, GH dapat mempengaruhi dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (lipid). Dengan demikian, GH dapat meningkatkan kadar glukosa gula dalam darah dengan mengurangi pengambilan glukosa dari sel-sel otot dan jaringan adiposa dan dengan membentuk produksi glukosa (glukoneogenesis) dari molekul prekursor dalam hati. (Tindakan ini berlawanan dengan orang-orang dari hormon insulin, yang dibahas dalam bagian

"Pankreas The dan Its Hormon," p. 160.) GH juga meningkatkan penyerapan asam amino dari darah ke dalam sel, serta penggabungan mereka ke dalam protein, dan merangsang pemecahan lipid dalam jaringan adiposa. Untuk memperoleh berbagai efek, GH memodulasi aktivitas berbagai organ sasaran, termasuk hati, ginjal, tulang, tulang rawan, otot rangka, dan sel-sel adiposa. Untuk beberapa ini efek, GH bekerja langsung pada target sel. Dalam kasus lain, bagaimanapun, GH bertindak secara tidak langsung dengan merangsang produksi molekul yang disebut insulinlike factor pertumbuhan 1 (IGF-1) di hati dan ginjal. Darah kemudian mengangkut IGF-1 ke organ sasaran, di mana ia mengikat reseptor spesifik pada sel. Interaksi ini kemudian dapat menyebabkan peningkatan produksi DNA dan sel divisi yang mendasari proses pertumbuhan. Dua hormon hipotalamus mengontrol GH release: (1) GHRH, yang menstimulasi pelepasan GH, dan (2) somatostatin, yang menghambat pelepasan GH. ini mekanisme pengaturan juga melibatkan short-loop umpan balik komponen, dengan yang bertindak GH pada hipotalamus untuk merangsang pelepasan somatostatin. Selain itu, rilis GH ditingkatkan dengan stres, seperti kadar gula darah rendah (yaitu, hipoglikemia) atau latihan berat, dan dengan onset tidur nyenyak. Konsumsi alkohol akut dan kronis telah terbukti mengurangi tingkat GH dan IGF-1 dalam darah. Pemberian alkohol secara akut dapat mengurangi sekresi GH dan dapat mempengaruhi system yang dapat meningkatkan GH. Tentunya hal ini sangat berbahaya bagi para remaja yang membutuhkan GH dalam perkembangan normal dan pubertas ( STURMHFEL & Bartke. 1998). Sintesis dan sekresi GH diatur oleh dua neuropeptida hipotalamus, Growth-Hormone Releasing Hormone (GHRH) dan somatostatin ataupun faktor yang menghambat somatostatin. GHRH merangsang baik sintesis dan pelepasan GH. GHRH-dimediasi mengikat guanidin trifosfat (GTP) dengan -unit G-protein (Gs) mengaktifkan Gs, sehingga secara berurutan dalam peningkatan siklik adenosine-mono-fosfat (cAMP), perubahan intraseluler keseimbangan Na+ dan Ca++ ion dan sekresi GH (Bideci & Orhun, 2009). Farmakokinetik Hormon pertumbuhan ini yang diberikan secara injeksi IM atau SC. Puncak konsentrasi plasma dari somatropin terjadi dalam 2-6 jam setelah

pemberian. Sekitar 20 persen dari yang beredar somatropin terikat untuk pertumbuhan protein pengikat hormon. Puncak konsentrasi plasma IGF-1 terjadi sekitar 20 jam setelah pemberian somatropin. Somatropin dimetabolisme oleh hati, ginjal, dan jaringan lain, sedikit ekskresi terjadi melalui urin. Penghapusan paruh plasma adalah sekitar 20 sampai 30 menit. Karena rilis lanjutan dari somatropin dari tempat suntikan, serum konsentrasi menurun dengan waktu paruh sekitar 3-5 jam. Karena induksi lambat dan clearance IGF-1, efek somatropin bertahan lebih lama daripada eliminasi paruhnya (Provider Synergies, 2010). Somatropin adalah hormon polipeptida asal DNA rekombinan. Urutan asam amino dari somatropin yang identik dengan hGH hipofisis asal. Efek pertumbuhan dapat terjadi karena pembentukan peptida anabolik dimediasi oleh faktor-faktor pertumbuhan seperti insulin. Peptida (khusus IGF-1) bertindak sebagai stimulator langsung dari sel yang berproliferasi dan mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tulang, pertambahan jumlah dan ukuran sel otot, massa sel darah merah, kondroitin dan kolagen sintesis, dan lipid mobilisasi semua positif dipengaruhi oleh hormon pertumbuhan (Provider Synergies, 2010). Hormon pertumbuhan merupakan kontraindikasi pada pasien dengan kondisi berikut: ditutup epiphyses (pasien anak saja); keganasan aktif, penyakit kritis akut sebagai respon untuk membuka operasi jantung, operasi perut, atau beberapa trauma kecelakaan ,atau kegagalan pernafasan akut, dan proliferasi aktif atau retinopati diabetik non-proliferasi parah. Ada kasus kematian yang telah dilaporkan dengan penggunaan hormon pertumbuhan untuk PWS pada pasien yang memiliki satu atau lebih faktor risiko berikut: obesitas berat, riwayat gangguan pernapasan atau sleep apnea, atau infeksi saluran pernapasan tak dikenal. Somatropin memiliki kontraindikasi pada pasien yang mengalami pengobatan dengan hormon pertumbuhan, karena dapat menurunkan sensitivitas insulin, terutama pada dosis yang lebih tinggi di pasien rentan terkena diabetes. Terapi hormon pertumbuhan memiliki dikaitkan dengan kasus-kasus intoleransi glukosa dengan onset, diabetes tipe onset baru 2 mellitus, dan eksaserbasi yang sudah ada sebelumnya diabetes mellitus (Provider Synergies. 2010). Hormon Pertumbuhan (Somatotropin)

Somatotropin merupakan polipeptida besar, dilepaskan oleh hipofisis anterior sebagai respons terhadap hormon pelepas hormone pertumbuhan (GHRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus. Zat ini dihasilkan secara sintetik dengan teknologi rekombinan DNA. Hormon pertumbuhan (GH) dari sumber hewani tidak efektif untuk manusia. Somatotropin mempengaruhi berbagai proses biokimiawi secara luas, misalnya melalui stimulasi proses sintetik protein, terjadi proliferasi sel dan pertumbuhan tulang. Pembentukan hidroksiprolin dari yang menigkat juga memacu sintesis tulang rawan. Karena itu somatotropin digunakan untuk pengobatan defisiensi hormone pertumbuhan (GH) pada anak-anak. Obat yang ekivalen secara terapi, somatrem mengandung satu gugus metionil ekstra terminal yang tidak ditemukan pada somatotropin. Meskipun waktu paruh obatobat ini pendek sekitar 25 menit obat dapat memacu pelepasan somatomedin dari hati, suatu factor tumbuh serupa insulin-1 (IGF-1) yang berfungsi selanjutnya sebagai hormone pertumbuhan. Somatotropin dan somatrem jangan digunakan untuk mereka dengan epifisis tertutup atau pembesaran masa intracranial (Mycek et all, 2001).

C. Hormon Penghambat hormone pertumbuhan (Somatostatin)


Aslinya diperoleh oleh hipotalamus, somatostatin adalah polipeptida kecil yang juga ditemukan dalam neuron di sel utuh tubuh, intestine dan pangkreas. Karena itu somatostatin diperkirakan mempunyai beberapa fungsi. Oktreotid adalah oktapeptida sintetik analog dengan somatostatin. Waktu paruh lebih panjang dari senyawa alamiah dan berguna untuk pengobatan akromegali akibat tumor penghasil tumor dan diare sekretorik yang berkaitan dengan tumor penghasil peptide intestinal vasoaktif (VIP). Efek samping pengobatan oktrotida adalah kembung, mual dan steatorea (Mycek et all, 2001).

D. Vasopressin
Vasopressin merupankan hormone peptide yang dirilis daripituari posterior sebagai respon terhdap peningkatan tonositas plasma atau penurun tekanan darah. Vasopressin memiliki sifat antidiuretik dan memberi tekana terhadap pembuluh

darah (vasopressor). Defisiensi hormone tersebut mengakibatkan diabetes insipidus. Vasopressin merupakan suatu nonpeptida dengan enam cicin asam amino dan tiga rantai samping asam amino. Residu pada posisi 8 adalah suatu anginine pada manusia dan pada sebagian besar mamalia kecuali babi dan species yang terkait. Vasopressin diberikan secara intravena, intramuscular atau intranasal. Absorpsi pada pemberian oral hanya sedikit. Waktu paruh ADH dalam sirkulasi kira kira 20 menit, dengan katabolisme pada ginjaldan hati terjadi melalui pengurangan ikatan disulfide dan pemecahan peptide. Sebagian vasopressin diekskeresi sedemikian rupa melalui urin. Vasopressin berintraksi dengan 2 jenis reseptor, reseptor v1 terdapat pada sel otot polos vascular dan memperantarai terjadinya vasokontriksi. Reseptor v2 terdapat pada sel tubulus ginjal dan memeperantai efek antideuresik melalui peningkatan permeabilitas dan resorpsi ai dalam tubulus pengumpul. Reseptor yang mempuyai v2 di luar ginjal memperatarai rilis dari factor koagulasi VIIIc dan factor von willebrand.

Vasopresin (hormone antidiuretik, ADH) secara kimiawi berkaitan dengan oksitosin. Non apeptida yang secara kimiawi disintesis ini telah menggantikan hormone yang diambil dari hipofisis posterior hewan. Vasopressin mempunyai efek antidiuretik dan vasopresor. Dalam ginjal, hormone terikat pada reseptor V2 untuk meningkatkan permeabilitas air resorpsi dalam tubulus renalis rektus. Dengan demikian , penggunaan utama vasopressin adalah untuk mengobati diabetes insipidus. Obat ini juga digunakan untuk pendarahan varises esophagus atau divertikula kolon. Efek vasopressin lain melalui reseptor V1, ditemukan pada otot polos vascular, hati dan jaringan lain. Seperti diperirakan, toksisitas utama adalah intoksikasi air dan hiponatremi. Sakit kepala, bronkokonstriksi dan tremor juga dapat terjadi. Perlu perhatian pada penggunaan dengan pasien penyakit arteti koronaria, epilepsy dan asma. Aqueous Vassopressin ; vasopressin aquos sintesis merupakan suatu bentuk sediaan dengan massa kerja pendek untuk pemberian intramuscular, subkutan, atau intravena. Dosis yang diberikan sebesar 5-10 unit secara subkutan atau intramuscular setiap 3-6 jam untuk diabetes insipidus sementara dan 0,1-0,5 unit/menut secara intravena untuk pendarahan pada saluran cerna.

E. Desmospresisin
Desmospresisin acetate ( DDAVP, 1-desamino-arginine vasopressin) adalah suatu analog vasopressin sintetis yang mempuyai masa kerja panjang dengan akivitas v1 minimal dan suatu rasio antideuritik terhadap pemberian

tekanansebayak 4000 kali dibanndinvasopresin. Vasopressin dan desmospressin merupakan pengobatan alternatif yang dapat diplih untuk pituari diabetes insipidus. Terapi desmospressin pada waktu tidur dapat memperbaik enuresis malam dena menurukan produksi urin malam hari. Infus vasopressin merupakan cara yang efektif pada beberpa kasus peadarahan varises esophagus dan pendarahan diverticulum kolon Desmopressin Acetat; sediaan tersebut merupakan pengobatan yang disukai bagi sebagian besar pasien dengan diabetes insipidus sentral. Desmopressin dapat diberikan secara intranasal, intravena, subkutan, atau secara oral. Dosis nasal yang tipikal adalah 10-40 g (0,1-0,4 ml) perhari dalam dosis yang dibagi satu atau

tiga. Desmoressin nasal tersedia sebagai satu unit dosis semprot (spray) yang dapat memeberikan 0,1 ml tiap semprotan; tersedia pula tube nasal yang dikalibrasi yang dapat memberikan dosis secara tepat. Desmopressin yang diberikan melalui suntikan memiliki bioavailabilitas sekitar sepuluh kali lebih besar daripada desmopressin intranasal. Dosis yang diberikan melalu suntikan adalah 1-4 g (0,25-1 ml) perhari setiap 12-24 jam sebagaimana digunakan untuk poliuria, polidipsia, atau hipernatremia. Untuk enuresis malam dapat digunakan desmopressin, 10-20 g (0,1-0,2 ml) secara intranasal pada saat menjelang tidur. Desmopressin juga tersedia dalams ediaan oral. Dosis yang lazim digunakan adalah 0,1 0,2 mg setiap 12-24 jam. Desmopressin juga digunakan untuk pengobatan koagulopati pada hemofilia A dan penyakit non Willebrand. Jarang terjadi sakit kepala, mual, keram perut, agitasi dan reaksi alergi. Overdosis dapat menyebabkan kejang hiponatremik. Vasopressin (tetapi bukan desmopressin) dapat menyebabkan vasokonstriksi dan sebaiknya digunakan secara berhati hati pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Penggunaan desmopressin insuflasi hidung kurang efektif apabila hidung tersumbat.

F. Prolactin Prolactin merupakan suatu hormon peptide 198 asam amino yang dihasilkan oleh pituitari anterior. Strukturnya menyerupai struktur hormon pertumbuhan (Growth hormon = GH). Prolactin merupakan hormon utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya laktasi. Produksi susu distimulasi oleh prolactin apabila terdapat kadar yang tepat dari estrogen, progesteron, corticosteroid, dan insulin dalam sirkulasi. Suatu defisiensi prolactin yang dapat terjadi pada defisiensi pituitari dimanifestasikan dengan kegagalan laktasi atau cacat pada fase luteal. Pada kerusakan hipotalamus, kadar prolactin dapat ditingkatkan sebagai akibat dari hambatan transpor hormon penghambat prolactin (dopamin) ke pituitari. Hiperprolaktinemia dapat menyebabkan galaktorea dan hipogonadisme dan dapat dihubungkan dengan gejala dari terdapatnya suatu massa di pituitari. Tidak terdapat sediaan untuk digunakan pada pasien dengan defisiensi prolactin. Untuk pasien dengan simptomatis hiperprolaktinemia, hambatan sekresi prolactin dapat

dicapai dengan pemberian bromocriptine dan agonis dopamine lainnya (Katzung, 2001). Prolaktin adalah hormon peptida mirip dengan struktur GH, dan juga disekresi oleh hipofisis anterior. Sekresinya dihambat oleh dopamin yang bekerja pada reseptor D2. Fungsi utamanya adalah untuk merangsang dan

mempertahankan laktasi. Selain itu, mengurangi dorongan seksual dan fungsi reproduksi. Hormon memasuki sel, di mana ia mengaktifkan tirosin kinase untuk mempromosikan fosforilasi tirosin dan aktivasi gen. Tidak ada persiapan yang tersedia untuk kondisi hypoprolaktinemik. Di sisi lain, hiperprolaktinemia, yang berhubungan dengan galaktorea dan hipogonadisme, biasanya diobati dengan agonis reseptor D2, seperti bromocriptine dan cabergoline (Lippincott, 2009). Kedua agen ini juga digunakan dalam pengobatan mikroadenoma dan macroprolactinomas. Keduanya tidak hanya bertindak pada reseptor D2 untuk menghambat sekresi prolaktin tetapi juga menyebabkan peningkatan dopamin hipotalamus dengan mengurangi omset. Di antara efek sampingnya adalah mual, sakit kepala, dan masalah kejiwaan (Lippincott, 2009).

G. Dopamine Dopamine dirilis oleh hipotalamus untuk menghambat rilis prolactin dari pituitari anterior. Bromocriptine, cabergoline, dan pergolide merupakan turunan ergot dengan afinitas yang sangat tinggi pada resptor dopamine D2 di pituitari. Quinagolide adalah suatu obat nonergot dengan afinitas reseptor D2 yang serupa. Obat tersebut dapat menurunkan kadar prolactin dalam sirkulasi dan mengempiskan tumor pituitari yang menyekresi prolactin (Katzung, 2002). Agonis dopamine menurunkan sekresi prolaktin pituitari melalui suatu aksi dopamin mimetikpada pituitari pada dua lokus sistem saraf pusat: (1) agonis dopamine menurunkan perputaran dopamine pada neuron tuberoinfundibuler dari nucleus arcuatus, menghasilkan peningkatan dopamine hipotalamus; dan (2) bekerja secara langsung pada reseptor dopamine pituitari untuk menghambat rilis prolactin (Katzung, 2002).

Agen seperti L-dopa, menstimulasi rilis hormon pertumbuhan pituitari pada subjek yang normal dan yang secara berlawanan menekan rilis hormon pertumbuhan pada penderita akromegali (Katzung, 2001). Cabergoline mencapai kadar puncak plasma darah 2-3 jam setelah suatu pemberian dosis 1 mg secar oral. Cabegoline mempunyai waktu paruh 63-69 jam. Sebagian besar metabolit diekskresi melalui feses. Bromocriptine dimetabolisme lebih cepat (Katzung, 2001). Semua agonis dopamine dapat diberikan secara oral. Selain itu, bromocriptine dan carbegoline secara sistemik setelah insersi tablet intravagina. Pada pemberian intravagina, kadar serum mencapai puncak dengan lebih lambat (Katzung, 2001). Farmakologi Klinik a. Adenoma yang menyekresi Prolactin: Agonis dopamine lazim digunakan sebagai pengobatan awal untuk prolaktinoma. Terjadi pengurangan secara bermakna baik pada ukuran tumor dan kadar prolactin serum pada sekitar 85% pada pasien yang mendapat obat tersebut selama 6 bulan atau lebih. b. Amenorema-Galaktorea: Agonis dopamine bermanfaat untuk mengobati masalah yang diinduksi oleh hiperprolaktinemia: amenorea, galactorea, lunaknya payudara (mastodynia), infertilitas dan hipogonadisme. c. Laktasi Fisiologis: Agonis dopamine dapat mencegah pembengkakan payudara apabila tidak diinginkan untuk menyusui. Kegunaan agonis dopamine untuk tujuan tersebut telah ditolak karena terjadinya toksisitas (lihat berikut). d. Akromegali: Agonis dopamine tunggal atau yang dikombinasi dengan pembedahan pituitari, iradiasi, atau octreotide diduga dapat digunakan untuk mengobati akromegali. Pasien dengan akromegali jarang merespons secara memadai terhadap bromocryptine kecuali jika tumor pituitari tersebut menyekresi prolactin seperti juga hormon pertumbuhan. e. Penyakit Parkinson (Katzung, 2001). Penggunaan cabergolide diawali pada dosis sebesar 0,25 mg secara oral atau secara vaginal dua kali seminggu. Cabergolide dapat ditingkatkan secara

bertahap berdasarkan penentuan kadar prolactin serum, sampai maksimal sebanyak 1 mg dua kali seminggu (Katzung, 2002). Bromocryptine lazimnya digunakan setelah makan malam pada dosis awal sebesar 1,25 mg; dan dosisnya kemudian ditingkatkan sesuai toleransi. Sebagian besar pasien memerlukan 2,5-7,5 mg per hari; akromegali memerlukan dosis yang lebih tinggi, sampai sebanyak 20 mg/hari. Tablet bromocriptine dapat diberikan secara intravaginal untuk mengurangi mual. Formulasi bromocryptine secara oral dengan masa kerja panjang (Parlodel SRO) dan formulasi intramuskuler (Parlodel L.A.R) tersedia di luar Amerika Serikat (Katzung, 2002). Quinagolide (CV 205-502, Norprolac) dalam dosis sebesar 0,15-0,6 mg/hari secara oral, menekan prolactin dan mengempeskan sebagian besar prolaktinoma. Quinagolide juga menurunkan siklus mastodynia. Quinagolide kadang-kadang ditoleransi secara lebih baik daripada agonis dopamine yang merupakan turunan ergot. Quinagolide tidak tersedia di Amerika Serikat (Katzung, 2002). Agonis dopamine dapat menyebabkan mual, sakit kepala, rasa ringan pada kepala, hipotensi ortostatik, dan kelelahan. Manifestasi psikiatris kadang-kadang terjadi meskipun pada dosis yang lebih rendah dan mungkin perlu beberapa bulan untuk penyembuhan. Eritromelalgia jarang terjadi. Dosis tinggi dapat

menyebabkan vasospasme jari-jari perifer yang diinduksi rasa dingin. Infiltrasi paru dapat terjadi pada terapi kronis dosis tinggi. Cabergoline diduga tidak sering menyebabkan mual dibandingkan dengan bromocriptine. Pemberian cabergoline atau bromocriptine secara vaginal juga cenderung mengurangi mual, tetapi dapat menyebabkan iritasi vagina (Katzung, 2002). Terapi bromocriptine pada masa 3 minggu pertama kehamilan tidak dikaitkan dengan peningkatan resiko aborsi spontan atau malformasi kongenital. Berdasarkan pengalaman panjang dengan bromocriptine, obat tersebut masih tetap merupakan obat pilihan bagi wanita dengan makroprolaktinoma yang harus meneruskan penggunaan suatu agonis dopamine selama kehamilan. Pada pasien dengan adenoma pituitari yang kecil, bromocriptine dihentikan berdasarkan konsepsi karena biasanya tidak terjadi pertumbuhan makroadenoma selama kehamilan. Pasien dengan adenoma yang besar membutuhkan kewaspadaan

terhadap perkembangan tumor dan seringkali membutuhkan

bromocriptine

selama masa kehamilan. Jarang dilaporkan adanya stroke atau trombosis koroner pada wanita pascapartus yang menggunakan bromocriptine untuk menekan laktasi pascapartus (Katzung, 2002). Apabila seorang wanita yang menerima agonis dopamine terlambat mendapatkan menstruasi, maka perlu dilakukan tes kehamilan; jika ia menderita amenorea, maka tes kehamilan harus dilakukan secara teratur karena ovulasi mungkin terjadi sebelum menstruasi dimulai lagi (Katzung, 2002). Reseptor dopamine di dalam system saraf pusat memainkan peran penting sebagai pengendalian motor ekstrapiramidal dan regulasi rilis prolactin. Dari semua turunan ergot yang tersedia saat ini, bromocriptine dan pergolide memiliki selektivitas paling tinggi untuk reseptor dopamine pituitari. Obat tersebut dapat menekan sekresi prolactin secara langsung dari sel pituitari dengan mengaktifkan reseptor regulatorik dopamine. Mereka saling bersaing dengan dopamine dan agonis dopamine lain seperti apomorphine untuk mengikatkan diri pada tempat tersebut (Katzung, 2001). Bromocriptine sangat efektif dalam menurunkan kadar prolactine yang dihasilkan dari tumor pituitari dan dihubungkan dengan terjadinya regresi tumor pada beberapa kasus. Dosis bromocriptine lazimnya adalah 2,5 mg dua atau tiga kali sehari. Bromocriptine juga digunakan pada dosis yang sama untuk menekan laktasi fisiologis. Namun demikian, telah dilaporkan terjadinya toksisitas kardiovaskular pascapartus yang serius yang dihubungkan dengan penggunaan bromocriptine atau pergolide, dan karenanya aplikasi tersebut tidak dianjurkan (Katzung, 2001). H. Oksitosin Oksitosin merangsang frekuensi dan kekuatan kontraksi uterus. Oksitosin eksogen dapat menginisiasi atau meningkatkan kontraksi yang berirama pada setiap saat, tetapi dosis yang jauh lebih tinggi diperlukan pada awal kehamilan. Peningkatan delapan kali lipat pada kepekaan rahi m terhadapoksitosin terjadi pada paruh terakhir kehamilan, terutama di 9 minggu terakhir, disertai dengan peningkatan yang tiga puluh jumlah reseptor oksitosin antara awal kehamilan dan persalinan dini.

Oksitosin memainkan peran fisiologis penting dalam pengeluaran air susu. Stimulasi payudara saat menyusui atau manipulasi mekanik menginduksi sekresi oksitosin, yang menyebabkan kontraksi myoepithelium yang mengelilingi saluran alveolar di kelenjar susu. aksi ini mendorong susu keluar dari saluran alveolar ke sinus penampung yang besar, yang tersedia untuk menyusui bayi (Goodman & Gilman, 2008). Oksitosin beraksi melalui specific G proteincoupled yang berhubungan erat dengan reseptor V1a and V2 vasopressin. Pada miometrium manusia,

reseptor ini berpasangan pada Gq dan G11, yang mengaktifkan jalur PLC-IP3Ca2 + dan meningkatkan aktivasi voltage-sensitive kanal ion Ca2 +. Oksitosin juga meningkatkan produksi prostaglandin lokal, yang selanjutnya merangsang kontraksi rahim (Goodman & Gilman, 2008). Ketika oksitosin digunakan dengan benar, toksisitas serius jarang terjadi. Di antara efek samping yang dilaporkan adalah kematian maternal akibat kejadian hipertensi, ruptur uterus, intoksikasi air, dan kematian janin. Afibrinogenemia juga telah dilaporkan. Kontraindikasi meliputi fetal distress, prematuritas, presentasi janin abnormal, disproporsi sefalopelvik, dan kecenderungan lain untuk ruptur uterus (Katzung, 2002). Penggunaan klinis oskitosin: Menginduksi untuk melahirkan Augmentasi persalinan Mengetahui persalinan tahap tiga dan Puerperium Oxytocin Challenge Test

(Goodman & Gilman, 2008). I. Antagonis Oksitosin Peptida analog yang kompetitif menghambat interaksi oksitosin dengan membran reseptor yang telah berkembang, salah satu antagonis tersebut, atosiban, yang telah dikenal di sejumlah Negara sebagai obat persalinan

prematur(Goodman & Gilman, 2008). Dalam uji klinis, atosiban menurunkan frekuensi kontraksi rahim dan meningkatkan jumlah kaum perempuan yang masih undelivered, dengan keberhasilan setidaknya sebanding dengan agonis adrenergik tetapi dengan kejadian yang lebih rendah dari efek samping (Tsatsaris et al.,

2004). Untuk saat ini, bagaimanapun, penelitian belum menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap hasil bayi. Penetapan peran relatif atosiban dan antagonis reseptor oksitosin lainnya sedang dikembangkan terhadap agen seperti calcium channel blockers dalam persalinan prematur tetap menjadi bidang investigasi aktif (Goodman & Gilman, 2008).

KESIMPULAN

1. Hipotalamus merupakan pusat integrasi untuk banyak fungsi homeostatik (kestabilan lingkungan internal) dan berfungsi sebagai penghubung antara sistem saraf otonom dan sistem endokrin 2. Hormon-hormon yang dikeluarkan hippotalamus dan hipofisis adalah dari golongan peptida atau protein dengan berat molekul rendah yang bekerja setelah terikat pada situs reseptor di jaringan target. 3. Hormon pertumbuhan manusia (GH) (somatotropin) adalah hormon peptida endogen yang terlibat dalam sistem regulasi dari proses fisiologis dalam tubuh. 4. somatostatin adalah polipeptida kecil yang juga ditemukan dalam neuron di sel utuh tubuh, intestine dan pangkreas. Karena itu somatostatin diperkirakan mempunyai beberapa fungsi. 5. Vasopressin merupankan hormone peptide yang dirilis daripituari posterior sebagai respon terhdap peningkatan tonositas plasma atau penurun tekanan darah. 6. Vasopressin dan desmospressin merupakan pengobatan alternatif yang dapat diplih untuk pituari diabetes insipidus. 7. Prolactin merupakan hormon utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya laktasi. 8. Dopamine dirilis oleh hipotalamus untuk menghambat rilis prolactin dari pituitari anterior. 9. Oksitosin merangsang frekuensi dan kekuatan kontraksi uterus. Oksitosin eksogen dapat menginisiasi atau meningkatkan kontraksi yang berirama pada setiap saat. 10. Peptida analog yang kompetitif menghambat interaksi oksitosin dengan membran reseptor yang telah berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Bideci, A., & Orhun C. 2009. Physiology of Growth Hormone Secretion. Journal of Turkish Pediatric Endocrinology and Diabetes Society. Gazi University Medical School. Ankara. Brown, M.E & Jim, M. 2009. Injecting Human Growth Hormone As A Performance Enhancing DrugPerspectives From The United Kingdom. Journal of Substance Use. Liverpool John Moores University. Inggris. Ganong.W.F. 1995. Buku Ajar Fisiologi kedokteran Edisi 14. EGC. Jakarta Goodman & Gilman. 2008. Manual pharmacology and Theraphy. New York: The McGraw-Hill Companies. Greenspan, F.S., Baxter, J.D. 1994. Basic and Clinical Endocrinology (4th ed.). Wijaya, Caroline et al. 1998 (alih bahasa). EGC. Jakarta. Greenstein, Ben, & Diana Wood. 2010. At a Glance Sistem Endokrin ed. 2. Erlangga. Jakarta Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC. Jakarta Katzung, B. G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Ed. 10. EGC. Jakarta Mycek, M.J., R. Harvey, P.C. Champe. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Media. Jakarta Rumahorbo, H. 1999. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Endrokin. EGC.Jakarta Provider Synergies. 2010. Growth Hormone Review. Intellectual Property Department. United States of America. Sherwood, L., 2007. Human Physiology: from Cells to Systems (6th ed.). Pendit, B.U. 2011 (alih bahasa), EGC. Jakarta. Sturmhfel, S.H & A. Bartke. 1998. The Endocrine System An Overview. Alcohol Health & Research World. Carbondale Illinois. United States. Tortora & Derrickson. 2009. At a Glance Sistem Endokrin. EGC. Jakarta Tsatsaris, V., Carbonne, B., and Cabrol, D. Atosiban for preterm labour. Drugs, 2004, 64:375382. [PMID: 14969573]

Você também pode gostar