Você está na página 1de 12

SITUASI EPIDEMIOLOGI ASMA BRONKIAL

EPIDEMIOLOGICAL SITUATION OF BRONCHIAL ASTHMA

Oleh : Rahmawati Sari Budi Utami, Eka Pratiwi, Aditya Kurnia Pratama, Budi Hartanto, Fariz Zuvil Arganata, Anikha Widya Bestari, Azzah Taswirul Bariro, Ika Putri Hasanah, Amadea Ukhtikasari, Rahmadi Fahmi Priandri. Abstrak Asma sebagai salah satu penyakit alergi yang terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara maju dan negara-negara berkembang. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan mengi episodic, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas. Secara umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan lingkungan. Tujuan pengobatan asma adalah tercapainya kontrol asma secara klinis. Tatalaksana asma yang efektif merupakan hasil hubungan yang baik antara dokter dan pasien, dengan tujuan pasien mandiri. Edukasi merupakan bagian dari interaksi antara dokter dan pasien. Asma bronkial merupakan masalah kesehatan global yang serius. 5% sampai 10% dari orang-orang dari segala usia menderita gangguan ini saluran napas kronis. Asma bronkial adalah penyakit peradangan kronis dari saluran udara ditandai dengan hiperreaktivitas bronkus dan tingkat variabel obstruksi jalan napas. Penyakit yang ditandai adanya respon berlebihan dari trakhea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan yang mengakibatkan penyempitan saluran pernafasan yang tersebar luas di seluruh paru dan yang derajatnya dapat berubah secara spontan setelah pengobatan (American Thoracis Society, 1962). Hal ini didiagnosis berdasarkan sejarah klinis, pemeriksaan fisik, dan tes fungsi paru, termasuk uji reversibilitas dan pengukuran reaktivitas bronkial. Tujuan dari pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala penyakit secara efektif dan dalam mode abadi. Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi adalah dasar dari pengobatan asma, di samping tindakan pencegahan dan pendidikan pasien. Bronkodilator seperti simpatomimetik beta-2 digunakan untuk mengurangi gejala-gejala yang cepat serangan akut. Asma bronkial merupakan penyakit yang dapat dicegah atau dikontrol progresivitasnya bila patogenesis penyakit dapat dipahami dengan baik. Asma bronkial yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kekambuhan yang bisa mengganggu kualitas hidup. Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu : asma ekstrinsik, asma intrinsik, dan asma gabungan. Kekambuhan asma bronkial dapat dicegah dengan mengindari faktor pencetus, salah satunya adalah asap rokok, debu, bulu binatang peliharaan, pollen dan spora jamur. Kata kunci : asma bronkial, faktor risiko, riwayat alamiah, upaya pencegahan, konsep epidemiologi penyakit

Abstract Asthma as one of the allergic diseases continous to be a major public health problem in developed and developing countries. Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways associated with airway hyperresponsiveness that leads to recurrent episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. These episodes are usually associated with widespread, but variable, airflow, obstruction. Factors that influence the risk of asthma can be divided into those that trigger asthma symptomps, the former include host factors which are primarily genetic and the later are environmental factors. The goal of asthma treatment is to achieve and maintain clinical control. The effective management of asthma requires the development of a partnership between doctor and patient. Education should be an integral part of all interactions between doctors and patient. Bronchial asthma is a serious global health problem. 5% to 10% of persons of all ages suffer from this chronic airway disorder. Bronchial asthma is a chronic inflammatory disease of the airways characterized by bronchial hyperreactivity and a variable degree of airway obstruction. Disease characterized by exaggerated response from the trachea and bronchi to various stimuli that cause constriction of the airways that is widespread throughout the lung and the rank may change spontaneously after treatment (American Thoracis Society, 1962). It is diagnosed on the basis of the clinical

history, physical examination, and pulmonary function tests, including reversibility testing and measurement of bronchial reactivity. The goal of treatment is to control the symptoms of the disease effectively and in lasting fashion. Long-term treatment with inhaled corticosteroids is the basis of asthma treatment, alongside preventive measures and patient education. Bronchodilators such as beta-2 sympathomimetics are used for rapid symptomatic relief of acute attacks. Bronchial asthma is a disease that can be prevented or controlled progressiveness when the pathogenesis of the disease can be well understood. Bronchial asthma is not handled properly can caused relapse that could disturbed quality of life. Based on the cause, bronchial asthma can be classified into 3 types, that is: extrinsic asthma, intrinsic asthma, and combined asthma. Recurrence of bronchial asthma can be prevented by avoid trigger factors, one of them are cigarette smoke, dust, pet dander, pollen and mold spores. Keywords: bronchial asthma, risk factors, natural history, prevention, disease epidemiology concepts.

PENDAHULUAN Asma bronkial merupakan kelainan saluran napas kronik yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, sehingga asma juga dideskripsi sebagai penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan lingkungan. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius. Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia, baik laki-laki maupun perempuan dan pada semua kalangan, sehingga masalah asma bronkial ini menjadi masalah yang menarik untuk diketahui. Pengetahuan mengenai asma bronkial akan dijelaskan pada penulisan artikel review ini, hingga akhirnya akan dapat dilakukan pencegahan dan penatalaksanaan terkait penyakit ini. Masalah yang akan diidentifikasi dalam penulisan ini adalah konsep epidemiologi dari asma bronkial. Pada konsep epidemiologi ini nanti dapat diketahui apa, siapa dan bagaimana asma bronkial terjadi. Berlanjut dari konsep epidemiologi, maka perlu diketahui pula riwayat alamiah dari asma bronkila ini, riwayat alamiah disini adalah perjalanan dan perkembangan penyakit asma bronkial mulai dari timbulnya penyakit, perubahan patologis hingga asma bronkial secara klinik benar-benar nyata dan mungkin dapat mengalami relaps, memburuk secara spontan atau mengakibatkan kematian. Riwayat alamiah dari asma bronkial ini sangat diperlukan sebagai kerangka berpikir dalam upaya pencegahan dan pengendalian asma bronkial. Aspek pencegahan dari penyakit ini sendiri meliputi tiga level pencegahan. Mulai dari pencegahan mulai dari mengurangi peranan penyebab serta derajat risiko hingga pencegahan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat disembuhkan. Asma bronkial memang sebuah kelainan yang tidak apat sembuh secara sempurna, sehingga upaya yang dilakukan adalah dengan mengurangi risiko terjadinya serangan dan memperkecil keparahan dari serangan. Untuk mengupayakan itu semua, perlu diketahui pula mengenai pengenalan faktor risiko dari asma bronkial. Faktor risiko penyakit ini dapat dibedakan ke dalam faktor predisposisi dan faktor presipitasi.faktor predisposisi ini merupakan faktor yang menyebabkan orang terkena risiko asma, sedangkan faktor presipitasi adalah faktor pencetus terjadinya serangan asma bronkial. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengintegrasikan konsep-konsep dari asma bronkial. Dari pengintegrasian ini diharapkan akan dapat diambil sebuah informasi untuk meningkatkan pengetahuan seputar

penyakit asma. Peningkatan pengetahuan juga bermanfaat untuk meningkatan sikap dan tindakan yang benar dalam menghadapi penyakit asma bronkial dalam penatalaksanaan diri dan lingkungan. KONSEP DASAR EPIDEMIOLOGI PENYAKIT Pada kasus Asma Bronkial diperoleh konsep dasar epidemiologi penyakit dengan menggunakan segitiga epidemiologi yang di dalamnya terdapat faktor host, agent, environment yang dapat mempengaruhi prevalensi asma bronchial, faktor terseburt antara lain adalah sebagai berikut: 1. Faktor Host (tuan rumah/pejamu) Host adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbul dan menyebarnya penyakit. Faktor resiko penyebab asma bronchial pada manusia bisa beragam antara lain: a. Umur : Ada kecenderungan penyakit tertentu menyerang umur tertentu. Pada kasus Asma Bronkiale dapat timbul pada semua umur meskipun paling banyak pada anak dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun. b. Jenis kelamin : Ada penyakit yang lebih banyak atau hanya menyerang jenis kelamin tertentu. Pada kasus Asma Bronkiale, pria merupakan risiko untuk asma bronkiale pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. Sehingga asma bronkiale lebih banyak menyerang perempuan daripada laki-laki. c. Ras/Suku/Warna kulit Pada kasusAsma Bronkiale, penderita lebih banyak atau lebih tinggi terjadi pada mereka yang memiliki ras kulit hitam dibandingkan ras kulit putih. d. Genetik Pada kasus Asma Bronkiale, penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi.Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. e. Nutrisi Pada penderita Asma Bronkiale asupan nutrisinya kurang sehingga daya tahan tubuhnya menurun menyebabkan penderita sangat rentan untuk terjangkit penyakit. f. Status kekebalan (Keadaan Immunologis) Pada penderita Asma Bronkialeyang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. g. Tingkah Laku (behaviour) Kebiasaan makan makanan secara berlebihan dapat menyebabkan obesitas. Dan obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Kebiasaan merokok pada perokok aktif menyebabkan perokok aktif terpapar dengan asap rokok. Paparan asap rokok juga bisa terpapar pada perokok pasif. Dan asap rokok tersebut berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. h. Psikis : Kelelahan, kehamilan, pubertas, stress, keadaan gizi Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukanaktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Biasanya terjadi setelah selesai olaraga, lamanya sesak 10 60 menit. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati,

penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati. 2. Faktor Agent (pembawa penyakit) Agent penyakit adalah suatu substansi atau elemen-elemen tertentu yang keberadaannya bisa menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Agent yang berpengaruh pada kasus asma bronchial antara lain sebagai berikut: a. Agent kimiawi: seperti zat kimia, allergen, gas, debu, dan lain-lain. Pada kasus asma bronkiale agen yang dapat meningkatkan prevalensi asma bronkiale adalah debu rumah yang terdiri atas bermacam macam allergen seperti berbagai sisa makanan, potongan rambut. Selain debu rumah agent kimia lain yang dapat mempengaruhi adalah asap rokok. b. Agent fisika : panas, dingin, kelembaban, radiasi, tekanan, trauma mekanik. Pada kasus Asma Bronkiale, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Lingkungan (Environment) Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa lingkungan fisik, biologis dan sosial. a. Lingkungan fisik : bersifat abiotik seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, panas, radiasi, dan lainlain. Pada kasus Asma Bronkiale, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dinginmerupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga(serbuk sari beterbangan).Hal ini berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu. Debu rumah sebenarnya terdiri atas bermacam macam allergen seperti berbagai sisa makanan, potongan rambut. Tungau debu rumah hidup di tempat yang hangat, lembab, dan banyak makanan seperti tempat tidur atau dapur, di karpet, buku buku tua, barang barang yang berbulu seperti selimut, gorden, kursi, dan sebagainya. Pada penderita yang alergi apabila terpapar segera terjadi reaksi yang mula mula berupa bersin, mata gatal, batuk, sesak. Alergi makanan sering menyebabkan eksema dan gejala gastrointestinal daripada asma, tetapi terdapat beberapa kasus yang sungguh terjadi. Bila terdapat alergi, khusus terhadap bahan makanan yang paling mungkin akan terlibat adalah susu, telur, kacang kacangan, gandum, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. Obatobatan juga dapat mencetuskan serangan Asma Bronkiale. Obat obatan yang sering adalah golongan penyekat Reseptor beta . Aspirin dan obatobatan anti rematik dapat mencetuskan serangan pada 2 1% penderita asma bronkial. Serangan biasa berat kadang kadang di sertai gejala alergi lain seperti mata dan bibir bengkak, kulit gatal, meskipun mekanismenya bukan reaksi alergi. Contoh macam-macam obat yang bisa menyebabkan alergi pada penderita asma bronkiale yaitu:penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. Bahan yang mengiritasi penderita Asma Bronkiale contohnya seperti parfum, household spray,perhiasan, logam, jam tangan dan lain-lain. Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan b. Lingkungan biologis : bersifat biotik seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, mikroorganisme yang dapat berfungsi sebagai agen penyakit dan hospes perantara. Serbuk bunga, spora jamur, serpih buluh kucing, anjing, kulit binatang seperti kecoa dan seranggadapat menimbulkan serangan Asma Bronkiale pada penderita yang peka. Kucing merupakan masalah terbesar, dengan allergen dalam liur, urine, dan bulunya, tetapi sebagian besar hewan piaraan sekali kali memicu asma.

3.

c. Lingkungan sosial Di perkirakan 215 % penderita Asma Bronkiale pencetusnya adalah lingkungan kerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. Selain itu keluhan asma bronkiale terjadi setelah penderita kontak dengan zat zat seperti amoniak, sulfurdioksida. Status sosial ekonomi akan mempengaruhi gaya hidup seseorang. Orang yang memiliki status sosial ekonomi tinggi maka orang tersebut memiliki gaya hidup yang mewah sedangkan orang yang memiliki status sosial ekonomi rendah maka orang tersebut memiliki gaya hidup yang sederhana. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel. Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6 Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,3-6 Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.

Adapun riwayat alamiah penyakit Asma pada anak antara lain sebagai berikut: 1. Asma pada anak terjadi adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan respon terhadap bahan iritasi dan stimulus lain. 2. Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul ( immunoglobulin E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di muculkan pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran histamin dan zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asthma. 3. Respon astma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate yang ditandai dengan bronkokontriksi ( 1-2 jam ); tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama ; tahap late yang ditandai dengan peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan. 4. Astma juga dapat terjadi faktor pencetusnya karena latihan, kecemasan, dan udara dingin. 5. Selama serangan asthmatik, bronkiulus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak, kemudian meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan 6. Anak yang mengalami astma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada jalan nafas.Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan pertukaran gas.Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat ventilasi dan saturasi 02, sehingga terjadi penurunan p02 ( hipoxia).Selama serangan astmati, CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea. Kemudian sistem pernafasan akan mengadakan kompensasi dengan meningkatkan pernafasan (tachypnea), kompensasi tersebut menimbulkan hiperventilasi dan dapat menurunkan kadar CO2 dalam darah (hypocapnea). Alergen, Infeksi, Exercise (Stimulus Imunologik dan Non Imunologik) Merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel T helper IgE diikat oleh sel mastosit melalui reseptor FC yang ada di jalan napas Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit Akibat ikatan antigen-IgE, mastosit mengalami degranulasi dan melepaskan mediator radang ( histamin ) Peningkatan permeabilitas kapiler ( edema bronkus ) Kontraksi otot polos secara langsung atau melalui persarafan simpatis ( N.X ) Hiperresponsif jalan napas Astma Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas berhubungan dengan bronkospasme, edema mukosa dan meningkatnya produksi sekret. Fatigue berhubungan dengan hypoxia meningkatnya usaha nafas. Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan distress pernafasan FAKTOR RESIKO 1. Genetik Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatik. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, labilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot. Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali

menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah. 2. Asap Rokok Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein. 3. Alergen Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Inhalan yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi. 2. Ingestan Yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-obatan 3. Kontaktan Yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh: perhiasan, logam, dan jam tangan. 4. Perubahan Cuaca Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan. 5. Stress Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati. 6. Olah raga atau aktifitas jasmani yang berat Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut. 7. Perokok pasif Paparan asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif. 8. Perokok aktif Merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma karena pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja. Namun hanya sedikit bukti-bukti bahwa merokok aktif merupakan faktor risiko berkembangnya asma secara umum.

9. Tungau Debu Rumah Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersentitivitas Tipe I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1 - 0,3 m dan lebar 0,2 m, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu. Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran-koran, buku-buku, pakaian lama. 10. Jenis Kelamin Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung usia dan mungkin disebabkan oleh perbedaan karakter biologi. Penyakit asma 2 kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-5 tahun dibandingkan perempuan sedangkan pada usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini. 11. Binatang Peliharaan Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui. 12. Jenis Makanan

Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodum glutamat-MSG) juga bisa memicu asma. Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan telur. Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma. 13. Perabot Rumah Tangga

Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion products (CO, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet. Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping menyebabkan ketidaknyamanan juga dapat menyebabkan reaksi peradangan paru. PENCEGAHAN Upaya pencegahan penyakit asma bronkial ini terdiri dari tiga level. Ketiga level tersebut adalah pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer terdiri dari upaya Health Promotion dan Specific Protection. Pencegahan sekunder terdiri dari upaya Early Diagnosis and Prompt Treatment dan Disability Limitation, sedangkan untuk pencegahan tersier adalah upaya Rehabilitation. Konsep pencegahan ini jika diaplikasikan dalam pencegahan penyakit asma bronkial adalah sebagai berikut :

1.

Pencegahan primer a. Health Promotion Asma bronkial terjadi pada orang yang telah memiliki faktor yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma (faktor predisposisi). Akan tetapi Health promotion dilakukan tidak hanya pada orang-orang yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Health promotion dapat dilakukan juga pada keluarga pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidang kesehatan/asma, bahkan masyarakat secara luas. Harapannya, agar mereka mampu melakukan penanganan jika anggota keluarga dan orang lain terserang asma bronkial sebelum sampai ke perawatan medis. Implementasi dari health promotion sangat luas, dalam kasus ini misalnya adalah melakukan edukasi kepada orang dengan faktor predisposisi bagaimana agar dapat mengontrol dirinya dari hal-hal yang dapat mencetuskan asmanya, bagaimana tindakan yang harus dilakukan jika terjadi serangan dan bagaimana upaya-upaya untuk mempertahankan dirinya agar tetap sehat dan meningkatkan kesehatan saluran respirasinya. Sedangkan upaya health promotion pada pihak sekunder misalnya melakukan edukasi dan sosialisasi terkait upaya pertolongan terhadap kejadian asma, dan bagaimana menciptakan lingkungan yang sehat bagi mereka. Beberapa hal yang perlu diketahui dan dikerjakan oleh penderita dan keluarganya adalah : memahami sifat-sifat dari penyakit asma, bahwa penyakit asma tidak dapat disembuhkan secara sempurna, bahwa penyakit asma bisa disembuhkan tetapi pada suatu saat oleh karena faktor tertentu bisa kambuh lagi. Bahwa kekambuhan penyakit asma minimal bisa dijarangkan dengan pengobatan jangka panjang secara teratur. (Medlinux,2008). Pendidikan kepada penderita dan keluarganya adalah menjadi tanggung jawab dokter Puskesmas, sehingga dicapai hasil pengobatan yang memuaskan bagi semua pihak. (Medlinux,2008).

b. Specific Protection Specific protection dilakukan pada orang-orang yang memiliki faktor risiko potensial dimana asma bronkial dapat dengan mudah menyerangnya. Perlindungan spesifik ini dilakukan untuk menghindarkan faktor pencetus (presipitasi) terjadinya asma terhadap orang-orang yang berisiko. Misalnya dengan menjauhkan alergan seperti debu, jenis makanan tertentu, perlindungan tubuh terhadap kondisi cuaca dingin, menghindarkan diri dari stress, menghindari olahraga berat, menghindari paparan asap rokok yang berarti tidak menjadi perokok aktif maupun pasif. 2. Pencegahan Sekunder a. Early Diagnosis and Prompt Treatment Diagnosa dini digunakan untuk mengetahui adanya potensi penyakit asma bronkiale sehingga dapat dilakukan penanganan sesegera mungkin. Diagnosa dini pada penderita asma bronkial dapat ditegakkan dengan menggunakan metode uji provokasi Bronkus. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik. Selanjutnya bisa diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaannya. Uji kulit umumnya dilakukan dengan prick test.

Sedangkan untuk upaya Prompt Treatment dapat dilakukan dengan bantuan medis untuk pasien agar pasien dapat mengontrol asma melalui monitor dan menilai keadaan asma serta melakukan penanganan mandiri dengan arahan dokter, hal ini terbukti menurunkan morbiditi. Untuk memudahkan hal tersebut digunakan alat bantu peak flow meter dan kartu catatan harian. Peningkatan kepatuhan pasien terhadap pengobatan juga merupakan salah satu upaya dalam prompt treatment ini. Pengobatan yang dilakukan adalah pengobatan Simptomatik. Tujuan Pengobatan Simpatomimetik adalah Mengatasi serangan asma dengan segera, mempertahankan dilatasi bronkus seoptimal mungkin, mencegah serangan berikutnya. (Medlinux,2008). Obat pilihan untuk pengobatan simpatomimetik di Puskesmas adalah Bronkodilator golongan simpatomimetik (beta adrenergik / agonis beta) Adrenalin (Epinefrin) injeksi, Bronkodilator golongan teofilin Teofilin, Kortikosteroid, Ekspektoran, Antibiotik Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi. (Medlinux,2008) b. Disability Limitation

Disability limatation (pembatasan kecacatan) disini diartikan sebagai upaya untuk mencegah komplikasi yang terjadi pada penderita asma bronkial agar tidak semakin parah. Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional, karena sasaran obatobat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme. Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja obat menghambat pelepasan mediator dan menekan hiperaktivitas bronkus. Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik, menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid, mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai, mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan meringankan beratnya serangan. Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah Steroid dalam bentuk aerosol, Disodium Cromolyn, Ketotifen, dan Tranilast. (Medlinux,2008) 3. Pencegahan Tersier a. Rehabilitation Rehabilitasi asma dilakukan sebagai cara untuk menghindari kondisi yang lebih parah dari sebelumnya, biasanya dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang dapat mempercepat kesembuhan, membantu perbaikan dan mengurangi serangan yang telah disebutkan di atas. Upaya terapi yang kini dilakukan untuk penderita asma bronkial adalah Senam Nafas sehat (SNS). Sampai saat ini SNS efektif untuk mengurangi frekwensi serangan dan dapat membantu menenangkan serangan. Adapun rehabilitasi dengan cara Non-Pharmacological Treatment yaitu penghilangan alergen (terutama hewan peliharaan yang berbulu), perbaikan manajemen diri, latihan fisik (terbukti untuk pengurangan gejala asma, toleransi latihan ditingkatkan), terapi pernafasan dan fisioterapi (misalnya teknik pernapasan, pernapasan mengerutkan-bibir), berhenti merokok (dengan bantuan medis dan non medis, jika perlu), pengobatan Psikososial (terapi keluarga), dan penurunan berat badan bagi pasien obesitas. Jika pengobatan awal gagal untuk mencapai kontrol yang memadai dari asma bronkial dimana pasien telah diberikan untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu bulan, berbagai aspek harus dipertimbangkan lebih lanjut adalah memeriksa kepatuhan pasien terhadap pengobatan, memeriksa teknik inhalasi pasien melalui observasi langsung oleh dokter, Re-evaluasi diagnosis (membandingkan diagnosis yang lain yang mungkin harus dipertimbangkan meliputi, misalnya , penyakit paru obstruktif kronik/PPOK, penyempitan saluran napas oleh tumor, vaskulitis, dan emboli paru), dan faktor yang memberatkan seperti gastroesophageal reflux dan sinusitis kronis.

Selain itu terdapat Inadequate Treatment Benefit yaitu dengan cara akupunktur, kontrol kelembaban udara, pelatihan teknik pernafasan, langkah-langkah diet : minyak ikan; asam lemak; mineral suplemen; vitamin C, penggunaan ionizers (pemurni udara kamar), mengkonsumsi ekstrak tanaman (agen phytotherapeutic), terapi relaksasi (relaksasi progresif, hipnoterapi, pelatihan autogenic, pelatihan biofeedback, meditasi transedental), dan mengkonsumsi obat tradisional Cina. KESIMPULAN Asma bronkial merupakan kelainan saluran napas kronik yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, sehingga asma juga dideskripsi sebagai penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan lingkungan. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Faktor resiko penyakit asma bronkial adalah asap rokok, alergen, perubahan cuaca, stress, olahraga atau aktivitas jasmani yang berat, perokok pasif, perokok aktif, tungau debu rumah, jenis kelamin, binatang peliharan, jenis makanan, dan perabotan rumah tangga. Upaya pencegahan penyakit asma bronkial ada tiga level, pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer melakukan edukasi dan sosialisasi terkait upaya pertolongan terhadap kejadian asma, dan bagaimana menciptakan lingkungan yang sehat bagi mereka. Pencegahan sekunder melakukan diagnosa dini digunakan untuk mengetahui adanya potensi penyakit asma bronkiale sehingga dapat dilakukan penanganan sesegera mungkin. Pencegahan tersier adalah rehabilitasi asma dilakukan sebagai cara untuk menghindari kondisi yang lebih parah dari sebelumnya, biasanya dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang dapat mempercepat kesembuhan, membantu perbaikan dan mengurangi serangan Perlunya memberikan pengetahuan masyarakat mengenai situasi epidemiologi Penyakit Asma Bronkial, serta untuk mengetahui pentingnya pengaruh gaya hidup tidak sehat terhadap kejadian Penyakit Asma Bronkial.

DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. 2. Santoso, A. 2007. Hubungan Tingkat Keparahan Asma dengan Derajat Kecemasan pada Penderita Asma di Poli Paru RSU Haji Surabaya. Skripsi. Program Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya. Wulandari, L.M. 2009. Hubungan Karakteristik Penderita dan Kebiasaan Olahraga dengan Frekuensi Kekambuhan Asma Bronkial di RSUD Pamekasan. Skripsi. Program Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya. Dita, Mutiara F. 2010. Hubungan Paparan Asap Rokok dengan Frekuensi Kekambuhan Asma Bronkial. Skripsi. Program Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya Irfan, M. 2009. Fisioterapi pada Asma Bronchiale. http://fisiosby.com/artikel/. 4 Oktober 2013 (10:00). Ukena, Dieter et all. 2008. Bronchial Asthma: Diagnosis and Long-Term Treatment in Adults. Deutsches rzteblatt International. Germany. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2696883/. 4 Oktober 2013 Clifford, dkk. 1987. Symptoms, atopy, and bronchial response to methacholine in parents with asthma and their children. www.ncbi.nlm.nih.gov/ pmc/articles/.../pdf/archdisch00702-0072.pdf. 2 September 2013 (20:01) Alotaibi, Sultan 2000. Diagnosis of Occupational Asthma: Review Vol. 22, No. 1, March 2000. www.bahrainmedicalbulletin.com/march_2000/Asthma.pdf. 2 September 2013 (20:15)

3. 4. 5.

6.

7.

8.

9. 10. 11. 12. 13.

Sastrawan, I Gede Pande dkk. 2008. Prevalensi Asma Bronkial Atopi pada Pelajar di Desa Tenganan (volume 9, No.1 Januari 2008). Journal Of Internal Medicine. http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/view/3848. 5 Oktober 2013 (21:00). Rengganis, I. 2008. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia. 11 Nopember. Halaman 444-451. Jakarta. Meiyanti, Julius I. Mulia. 2000. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma Bronkial. Jurnal Manajemen Kedokter Trisakti. 19 (3): 125-132 Meyanti, dan Mulia, Julius, I. 2000. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma Bronkial. http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Vol.19_no.3_5.pdf. 29 September 2013. (18.35) Tanjung, Dudut. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf. 29 September 2013. (18.47) Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/.../59. 29 September 2013. (19.05)

Você também pode gostar