Você está na página 1de 7

DILARANG MENGUTIP SEBAHAGIAN ATAU KESELURUHAN ISI JURNAL INI TANPA SEIZIN REDAKSI

VERSI ONLINE
http://www.manbisnis.tripod.com Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Vol. 02 No.
01 April 2002

---DAFTAR ISI--ANALISIS KEBUTUHAN PASAR DAN PREDIKSI PENJUALAN Muis Fauzi Rambe 1-
12 ANALISIS PEMAKAIAN JASA KREDIT PADA PERUM PEGADAIAN KANTOR WILAYAH MEDAN M.
Fitri Rahmadana dan Hafniah Lumbanraja 13-22 INTELEGENCY QUOTIENT, EMOTIONAL
QUOTIENT, DAN SPIRITUAL QUOTIENT DALAM MEMBENTUK PERILAKU KERJA Armansyah 23-32
MEMBENTUK KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM DUNIA KERJA Nel Aryanti 33-40

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

INTELEGENCY QUOTIENT, EMOTIONAL QUOTIENT, DAN SPIRITUAL QUOTIENT DALAM MEMBENTUK


PERILAKU KERJA Oleh: Armansyah*1 )

Abstrak: Masyarakat pada umumnya selalu berorientasi kepada material yang


mengedepankan kecerdasan intelektual dalam meraih kesuksesan hidup, kesuksesan
dalam kerja, dan karir. Kesuksesan, kekayaan dianggap milik dari orang-orang yang
berintelektual tinggi. Kajian-kajian ilmiah di bidang kecerdasan berbasis
“neuroscience”menggolongkan kecerdasan manusia dalam tiga wilayah yakni
Intelegency Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient. Kemampuan
menyeimbangkan ketiga kecerdasan ini akan membentuk manusia-manusia yang tangguh
dan berprestasi dalam dunia kerja. Kata Kunci: Kecerdasan, Intelegency Quotient,
Emotional Quotient, Spiritual Quotient, Perilaku Kerja.

Pendahuluan Pada dasarnya manusia diciptakan dengan membawa unsur-unsur


kecerdasan. Awalnya kecerdasan yang dipahami banyak orang hanya merupakan
kecerdasan intelejensi (Intelegency Quotient), sesuai dengan perkembangan
pengetahuan manusia, maka ditemukan tipe kecerdasan lainnya melalui penelitian-
penelitian empiris dan longitudinal oleh para akademisi dan praktisi psikologi,
yakni kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual
(spiritual quotient). Ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat berdiri sendiri
untuk meraih kesuksesan dalam bekerja dan kehidupan. Kesuksesan paripurna adalah
jika seseorang mampu menggunakan dengan baik ketiga kecerdasan ini,
menyeimbangkannya, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan. Bagi para pekerja
dalam lingkungan organisasi manapun ketiga bentuk kecerdasan ini adalah sesuatu
yang mutlak harus dimiliki, kesuksesan dalam karir tidak hanya dimiliki oleh
karyawan-karyawan yang berintelejensi tinggi saja, namun semua orang dapat meraih
kesuksesan karir, dan memperoleh tempat terbaik dalam bekerja.

*) 1. Drs. H. Armansyah, MM, adalah Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Universitas


Muhammadiyah Sumatera Utara.

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Tiga Bentuk Kecerdasan Manusia Model-model kecerdasan yang kini dikembangkan dalam
dunia psikologi mendasarkan argumen-argumennya pada temuan-temuan ilmiah dari
studi dan penelitian neuroscience. Mulai dari model kecerdasan konvensional
(Intelegency Quotient), kecerdasan emosional (Emotional Quotient), hingga model
kecerdasan ultimat yakni kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Seluruhnya
masih menjelaskan kesadaran manusia dengan segenap aspek-aspeknya sebagai proses-
proses yang secara esensial berlangsung pada jaringan syaraf (Adhipurna, 2001;
Pasiak, 2002). Meski respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasan
berbasis IQ ini telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru
satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi populer
yang mengemas kontribusi-kontribusi studi dan riset dari para penyelidik
kecerdasan sebelumnya dengan cukup baik. Dalam awal tahun 1990-an kita mengenal
istilah Emotional Intelligence diusulkan oleh Daniel Goleman. Belakangan ini
menjadi populer pula istilah Spiritual Intelligence, yang diusulkan oleh pasangan
Danah Zohar dan Ian Marshall. Meski secara esensial tidak terdapat sebuah
terobosan ilmiah yang betulbetul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para
pakar ini telah berhasil mensintesiskan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak
studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang
cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas
dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan. Kecerdasan
pertama, adalah IQ merupakan kecerdasan seseorang yang dibawa sejak lahir dan
pengaruh didikan dan pengalaman (Thoha, 2000). IQ adalah kemampuan yang diperlukan
untuk menjalankan kegiatan mental (Robin, 1996).Unsur-unsur yang terdapat di dalam
IQ adalah: kecerdasan numeris, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran
induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, ingatan (Robin, 1996). Menurut
David Wechsler (Staff IQ-EQ), inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara
terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan
mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu,
inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional
itu. Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas sebagian kecil otak. Otak adalah
organ luar biasa dalam diri manusia. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang
lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini
mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam
tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf
mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang
sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya
digunakan sekitar 4-5 %

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum
memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 % (Umar, 2002). Kecerdasan kedua,
Emotional Quotient (EQ) merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan secara
efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,
koneksi, dan pengaruh yang manusiawi (Cooper dan Sawaf, 1998). Peter Salovey dan
Jack Mayer mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali
perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami
perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga
membantu perkembangan emosi dan intelektual (Stein dan Book, 2002). Goleman
mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri
manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan
efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut. Ia menyebutnya
dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk
mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai
dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati, dan lain-lain. Jika kita
tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu
untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif, demikian
menurut Goleman (Adhipurna, 2001). Penelitian tentang EQ dengan menggunakan
instrumen BarOn EQ-i membagi EQ ke dalam lima skala: Skala intrapersonal:
penghargaan diri, emosional kesadaran diri, ketegasan, kebebasan, aktualisasi
diri; Skala interpersonal: empati, pertanggungjawaban sosial, hubungan
interpersonal; Skala kemampuan penyesuaian diri: tes kenyataan, flexibilitas,
pemecahan masalah; Skala manajemen stress: daya tahan stress, kontrol impuls
(gerak hati); Skala suasana hati umum: optimisme, kebahagiaan (Stein dan Book,
2002). Kecerdasan ketiga, adalah Spiritual Quotient (SQ), Zohar dan Marshall
mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/
berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ) (Zohar dan Marshal, 2000).
Indikasiindikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan mereka meliputi
kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri,
fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara holistik, serta
berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi
hidupnya, dan lain-lain. Bagi Zohar spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan
kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab menurutnya seorang humanis
ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Agustian (2001a)
memberikan makna bertentangan dengan nilai Danah Zohar, yang menyatakan SQ terkait
dengan masalah ketuhanan atau agama. Kecerdasan manusia terwujud karena adanya
dorongan suara hati (fitrah) yang bersumber dari Allah

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

dengan unsur-unsur sifat Tuhan atau God-Spot, menjadikan manusia memiliki


ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial dalam mewujudkan kesuksesan manusia.
Spiritual Quotient menurut pemikiran sekuler belum mampu memberikan makna
menyeluruh kepada manusia. Kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna,
memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif masih terbatas kepada kemampuan
diri sendiri yang suatu saat dapat hilang tanpa kepercayaan dan keyakinan kekuatan
transedental yang memberikan energi bagi manusia. Kesadaran bahwa hidup manusia
ada yang mengatur, dapat memberikan power cukup besar yang berpengaruh kepada
manusia dalam kondisi apapun, baik kondisi normal maupun kondisi pada saat manusia
dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan. Agustian (2001a) menggambarkan
kecerdasan emosional dan kecerdasan berfungsi secara horizontal, yakni berperan
hanya kepada hubungan manusia dan manusia, sedangkan kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan vertikal berupa hubungan kepada Maha Pencipta. Penggabungan ketiga hal
ini akan menghasilkan manusia-manusia paripurna yang siap menghadapi hidup dan
menghasilkan efek kesuksesan atas apa yang dilakukannya. Ketiga bentuk kecerdasan
yang dibahas di atas (IQ, EQ, dan SQ), mempunyai akarakar neurobiologis di otak
manusia. Fakta menyatakan bahwa otak menyediakan komponen anatomisnya untuk aspek
rasional (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Ini artinya secara kodrati,
manusia telah disiapkan dengan tiga aspek tersebut (Pasiak, 2002). Kecerdasan
emosional ada di sistem limbik, alias otak dalam, yang terdiri dari thalamus,
hypothalamus dan hippocampus. Kecerdasan intelektual ada di korteks serebrum atau
otak besar. Sedangkan kecerdasan spiritual mempunyai dasar neurofisiologis pada
osilasi frekuensi gamma 40 Hertz yang bersumber pada integrasi sensasi-sensasi
menjadi persepsi obyek-obyek dalam pikiran manusia (Zohar dan Marshall, 2000).
Peran IQ, EQ dan SQ dalam Dunia Kerja Kecerdasan Intelejensi. Keberhasilan manusia
menurut pendapat umum dipengaruhi oleh peran besar kecerdasan intelegensi atau IQ.
Artinya hanya mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, akademis, matematis
saja yang mampu mewujudkan keberhasilan seseorang termasuk keberhasilan dalam
pekerjaan. Kepintaran banyak dimanfaatkan dalam dunia kerja misalnya dalam level
manajemen atas sebagai pihak perencana strategis yang akan menentukan nasib
organisasi di masa depan. Kemampuan untuk menyusun program-program jangka panjang,
prediksi ke masa depan, menyusun perkiraan-perkiraan strategis, memerlukan
kemampuan intelektual tinggi untuk keperluan analisis-analisis mendalam. Hal ini
memerlukan intelejensi baik agar segala yang ingin diraih dapat terwujud dengan
efektif. Demikian juga untuk manajemen teknis dan operasional
Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

diperlukan kemampuan yang tinggi untuk mensukseskan program-program strategis yang


telah disusun oleh top manajemen. Kebanyakan perusahaan memanfaatkan orang-orang
yang ber-IQ tinggi dengan memanfaatkan seleksi awal berupa tes kecerdasan
intelejensi. Harapan dari perlakuan seleksi seperti ini adalah memperoleh tenaga-
tenaga yang berkualitas yang dapat membangun perusahaan ke arah pencapaian kinerja
tinggi. Banyak dari mereka yang berhasil lulus dalam seleksi berbasis IQ ini
memiliki kinerja yang tinggi dan mendapat karir baik dalam pekerjaannya. Dengan
demikian menurut teori kecerdasan kognitif, bahwa IQ seseorang berpengaruh positif
terhadap kesuksesan di dalam bekerja dan berkarir. Walaupun IQ adalah tolak ukur
dari kepintaran seseorang, IQ bukan merupakan satu-satunya indikator kesuksesan.
IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari
sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi
mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang
secara keseluruhan (IQ-EQ, 2002). Untuk itu seseorang yang ber-IQ tinggi, belum
tentu mutlak akan berhasil memecahkan permasalahan-permasalahan di dalam dunia
kerja yang kompleks, tetapi perlu adanya sisi cerdas lain dari diri karyawan
tersebut. Kecerdasan Emosional. Goleman seorang peneliti ilmu-ilmu perilaku dan
otak, Doktor dari Harvard University, menyatakan bahwa IQ hanya berpengaruh 5-10 %
terhadap keberhasilan, sisanya adalah faktor kecerdasan lain. Lebih lanjut Goleman
menyatakan faktor kecerdasan penting yang lain tersebut adalah Emotional Quotient
(EQ) (Goleman, 2002). EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia.
Di dalamnya terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan,
ketekunan, menjalin hubungan sosial. Jika pekerja memiliki kecerdasan rata-rata,
sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika adanya kepercayaan
terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada orang lain, ketabahan
menghadapi beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan kontak-kontak sosial
dalam kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi rata-rata menuju
tingkat prestasi yang lebih baik. Sebuah penelitian pada hampir 42.000 orang di 36
negara dan mengungkapkan hubungan positif antara kecerdasan emosional dan
kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan (Stein dan Book, 2002). Ini
menunjukkan bahwa seorang karyawan juga akan berhasil jika di dalam diri mereka
terbentuk nilai-nilai EQ yang tinggi. Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa
IQ dapat digunakan untuk memperkirakan sekitar 1-20 % keberhasilan dalam
pekerjaan, EQ di sisi lain berperan 27-45 % berperan langsung dalam keberhasilan
pekerjaan. Jan Derksen dan Theodore

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Bogels di Belanda dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa ada hubungan yang
signifikan yakni orang-orang yang ber-EQ tinggi dengan kemampuan menghasilkan
banyak uang (Stein dan Book, 2002). Penciptaan kesadaran akan EQ ini seperti
merupakan penciptaan akan aspek afeksi karyawan untuk siap terjun dalam dunia
kerja yang penuh dengan tantangan dan kompetisi tinggi, stress, sehingga
memerlukan pengelolaan emosional yang baik. Seorang pakar sekaligus pengamat
sumber daya manusia, Parlindungan Marpaung memberikan solusi untuk mengelola
emosional dalam bekerja (Marpaung, 2002). Ketika tuntutan EQ menjadi fokus utama
dalam pemberdayaan karyawan dalam rangka jenjang karier seseorang maupun
pengembangan pribadinya, tentu menjadi satu hal yang menakutkan bagi seseorang
setelah dia menyadari bahwa EQnya tidak terlalu menonjol. Satu hal yang paling
berbahaya adalah ketika seseorang tidak menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan
bangga dengan gelar/pengetahuan yang dimilikinya (IQ). Oleh karena itu, perlu
beberapa langkah praktis untuk membangkitkan kesadaran ini dan meningkatkan
kecerdasan emosi menuju kecakapan emosi yang maksimal di tempat kerja. EQ tidak
ada yang permanen, dalam arti kata dapat diubah (ditingkatkan) dan inilah tekad
pertama untuk memulai langkah pertama. Pertama, mengenal kekuatan dan kelemahan
diri terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa cara dapat dilakukan,
di antaranya dengan meminta feedback (umpan balik) dari orang lain (terutama rekan
terdekat) tentang tingkah lakunya selama ini. Tingkah laku yang sudah proporsional
dipertahankan dan ditingkatkan, sementara yang dirasa kurang dan tidak profesional
sebagai seorang karyawan/pimpinan harus diubah (transformasi diri). Kedua, bergaul
dan berelasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan karakter.
Seringkali kita terjebak dalam relasi yang menyenangkan, hanya bergaul dengan
orang-orang sepaham, bebas konflik, dan alergi dengan perbedaan pendapat. Ketiga,
belajar setia dan komit terhadap tugas-tugas yang sudah disepakati bersama serta
dilakukan dengan konsisten. Bahkan, tidak hanya itu, dengan mencoba "menantang"
diri sebenarnya kita sedang berusaha mengatur diri dengan optimal. Misalnya, jika
kesepakatan untuk sales target bulan ini 250 juta, buat "kesepakatan" diri sales
target-nya sebesar 300 juta. Jangan cepat puas dengan pencapaian yang sesuai
dengan apa yang sudah disepakati. Berilah diri lebih (go the extramiles), kita pun
akan memperoleh nilai diri lebih dalam performance appraisal. Keempat, kurangi
waktu untuk sibuk mengurusi orang lain, apalagi memiliki kegemaran menyebar gosip
dan rumor di kantor. Kegemaran ini justru akan menyerap energi kita yang
semestinya dapat dipergunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosi tersebut. Hanna
(1997) mengatakan bahwa aktivitas demikian justru akan menurunkan rekening bank
harga diri kita.

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Kelima, bertingkah laku asertif, nyatakan benar kalau benar dan salah jika salah.
Hal itu dilakukan tentu berdasarkan koridor-koridor dan track etika perusahaan
yang profesional. Karyawan/pimpinan yang safety player demi menyelamatkan
kedudukan/fasilitas yang dimilikinya dan membiarkan kondisi yang merusak tatanan
perusahaan tetap berlangsung menunjukkan kekerdilan kecerdasan emosinya. Keenam,
keep learning, terus belajar baik melalui pengalaman pekerjaan sehari-hari,
membaca buku pengembangan diri, mengikuti pendidikan formal maupun pelatihan-
pelatihan yang sifatnya soft skill. Tidak ada kata tamat untuk belajar karena
melalui media inilah kita dapat memosisikan diri dalam self continous improvement.
Ketujuh, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dalam doa permohonan dan ucapan
syukur. Kita adalah ciptaan-Nya, sudah sepatutnya kembali kepada Sang Pencipta
untuk memohon dalam kerendahan hati agar Dia mengubahkan kita. Tak lupa tetap
mensyukuri nikmat dan berkat yang sudah kita terima hingga saat ini.Ibarat pesawat
yang sedang take off dan memerlukan power (kekuatan) besar, demikian pula kita
akan memerlukan energi yang besar dan disertai tekad yang bulat untuk
mentransformasi diri untuk peningkatan kecerdasan emosi. Ketika benih kemauan
sudah mulai bertunas, bentangkan jalan-jalan indah yang akan kita lalui untuk
menjadi lebih baik. BC. Forbes (Founder Forbes) pernah mengemukakan bahwa bekerja
merupakan hidangan utama kehidupan, sedangkan kesenangan merupakan hidangan
penutup. Lebih memuaskan menjadi sopir truk no. I, daripada jadi eksekutif
peringkat kesepuluh. Kecerdasan Spiritual. Nilai-nilai SQ juga berperan penting
akan pembentukan prestasi kerja secara umum. Kesalahan selama ini adalah pendewaan
akan IQ walau sebenarnya terdapat kecerdasan lain yang perlu diseimbangkan untuk
sebuah kesuksesan. Sekularisasi pemikiran masyarakat mengarahkan orang-orang untuk
mengejar kesuksesan secara fisikal dan material, seperti karier, jabatan,
kekuasaan, dan uang. Orientasi materi dan pemisahan seperti ini dapat menjadi
sebab tumbuhnya pemikiran pesimisme bagi mereka yang memiliki kecerdasan rata-
rata, lalu melakukan tindakan tidak etis untuk meraih sebuah kesukesan material.
Kesombongan dapat terjadi bagi mereka yang berintelektual tinggi atau mereka yang
pintar, tidak menghargai bawahan jika menjadi pemimpin. Kondisi lain, mereka yang
terlibat dalam kehidupan material baik bagi yang pintar ataupun tidak, adalah
kemudahan untuk tidak bisa bertahan akan benturan permasalahan kerja, mudah
frustasi, stress akibat tidak adanya keseimbangan spiritual di dalam diri manusia-
manusia modern. Untuk itu kecerdasan spiritual perlu ada di dalam diri seseorang
dalam meraih kesuksesan. Danah Zohar dan Ian Marshal mengartikan SQ sebagai
pemahaman akan nilai dan kesadaran, Agustian (2001a) mengkaitkannya dengan masalah
ketuhanan. Seorang karyawan perlu menyadari nilai-nilai kehidupan yang
integralistik tidak hanya pada masalah material tapi juga spiritual. Intinya
bekerja adalah penting bagi

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

kehidupan dan merupakan ibadah bagi yang melakukannya. Seorang karyawan yang
pintar tetap memerlukan SQ, atau jika kemampuan seseorang kurang dapat ditutupi
dengan keyakinan adanya Allah yang menolong yakni pada saat keikhlasan bekerja ada
di dalam diri. Aspek fisiknya, prestasi hanya dapat dicapai hanya dengan bekerja
keras, ketekunan, ketabahan ditambah dengan IQ yang ada pada diri seseorang. Dalam
seminar nasional bertajuk "Spiritual Quotient, Cerdas Akal-Cerdas Hati-Cerdas
Nurani" di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Solo, Agustian (2001b)
menjelaskan, ketika memasuki rutinitas kerja sehari-hari, manusia sering lupa
menyatukan pikiran dan hati, sehingga mengalami split personality (kepribadian
terpecah) dan sulit memaknai hasil kerjanya sendiri. Kita cenderung mengejar
kemewahan, uang, pesta pora, dan kesuksesan dalam berbagai usaha, tetapi lupa
memaknai setiap hasil usaha dan perilaku kita. Oleh karena itu, kita membutuhkan
emotional spiritual quotient (ESQ) sebagai bekal untuk menyatukan intelligent
quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ). Penutup Kesimpulannya bahwa mengabaikan
salah satu dari ketiga bentuk kecerdasan berbasis neuroscince di atas adalah
sesuatu kekeliruan, demikian juga jika mengagungkan salah satu diantaranya
merupakan kesalahan. Pentingnya keseimbangan ketiga kecerdasan ini untuk menjadi
seorang yang paripurna, memiliki dorongan yang kuat untuk meraih prestasi kerja
tinggi. Perusahaan-perusahaan perlu menciptakan kesadaran akan keseimbangan ini
kepada karyawan-karyawannya melalui pelatihan-pelatihan ESQ, untuk menciptakan
produktivitas kerja tinggi, loyalitas tinggi, sehingga produktivitas perusahaan
dapat lebih ditingkatkan dari saat ini. Daftar Pustaka Adhipurna, Lucky G. 2001.
“Ulasan Kritis terhadap Model-model Kecerdasan Berbasis Neuroscience : IQ, EQ, dan
SQ”. http://www.paramartha.org/cgi-bin/ ksearch/ksearch.cgi Agustian, Ari Ginanjar
2001a. ESQ: Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Penerbit Arga. -----------.
2001b. "Spiritual Quotient, Cerdas Akal-Cerdas Hati-Cerdas Nurani". Makalah
Seminar Nasional di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Solo. Cooper, Robert
K dan Ayman Sawaf. 1998. Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan
Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Goleman, Daniel. 2002. Emotional
Intelegence-Kecerdasan Emosional. Gramedia. Jakarta.

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Hanna, Paul 1997 dalam Marpaung, Parlindungan. 2002. “Kecerdasan Emosi di Tempat
Kerja”. Kamis 5 Juni 2002. Marpaung, Parlindungan. 2002. “Kecerdasan Emosi di
Tempat Kerja”. Pikiran Rakyat. Kamis 5 Juni 2002. Pasiak, Taufik. 2002. Revolusi
IQ, EQ, SQ: Antara Neurosains dan Al-Qur’an, Penerbit Mizan, Bandung. Robin,
Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi. Konsep. Kontroversi. Aplikasi. Jilid 1.
Penerjemah: Hadyana Pujaatmaka dan Benyamin Molan. Penerbit Prenhallindo. Jakarta.
Staff IQ-EQ. 2001. Intelgensi dan IQ. http://iqeq.web.id/art/art09.shtml Stein,
Steven J dan Book, Howard E. 2002. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan
Emosional Meraih Sukses. Penerjemah: Trinanda Rainy dan Yudhi Murtanto. Penerbit
Kaifa. Bandung. Umar, Nasruddin. 2002. Isyarat-isyarat EQ dalam Al-Qur’an. http://
www.harrysufehmi.com/sg2002/Materi/ProfDr_Nasaruddin_Umar_MA/ IQ,%20EQ,%20&
%20SQ.doc Zohar. Danah dan Marshal, Ian. 2000. SQ. “Spiritual Intelligence. the
Ultimate Intelligence” Bloomsbury. London. Dalam Armahedi Mahzar.http://
www.paramartha.org/references/psyche/psyche002/ sqdanah.htm

Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Você também pode gostar