Você está na página 1de 27

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Rumah sakit merupakan badan usaha yang menyediakan dan memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terapeutik, dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka dan untuk melahirkan. Keadaan organisasi yang sangat komplek karena padat modal, padat teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem dan padat mutu serta resiko sehingga tidak mengejutkan bila Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) akan sering terjadi dan akan berakibat terjadinya injuri atau kematian pasien. Frekuensi dan besarnya KTD belum diketahui secara pasti, ketika berbagai negara melaporkan dalam jumlah yang mengejutkan pasien cedera dan meninggal dunia akibat medical error. Dampak error pelayanan kesehatan terhadap 1 dari 10 pasien di seluruh dunia maka World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa perhatian terhadap keselamatan pasien sebagai suatu endemis. Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat pelayanan pada pasien lebih aman yang meliputi assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasinya. Solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) dan tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Keselamatan pasien sudah diakui sebagai suatu prioritas dalam pelayanan kesehatan. Maka dari itu diperlukannya pemantauan manajemen risiko dalam suatu tindakan. Manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur atau metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman, suatu rangkaian aktivitas manusia termasuk penilaian risiko, 1

pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan atau pengelolaan sumber daya. Rumah sakit dapat memilih berbagai program Keselamatan Pasien mulai dari upaya klasik Keselamatan Pasien seperti meningkatkan program pengendalian infeksi di rumah sakit dengan program hand hygiene, program K3 RS (versi KARS yaitu Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana), Informed Consent, Safe Blood Transfusion dan sebagainya. Namun sebaiknya rumah sakit menerapkan Keselamatan Pasien dalam lingkup Kerangka Kerja Komprehensif (KKPRS) yaitu selain upaya klasik, juga upaya baru seperti penerapan 7 Langkah Keselamatan Pasien, Standar Keselamatan Pasien. Salah satu program yang menjadi dasar Keselamatan Pasien adalah menekan atau menurunkan insiden Keselamatan Pasien beserta KTD / KNC. Sesuai dengan visi Rumah Sakit berkelas dunia dan berstandar internasional yang maka RSUD. Dr. Moewardi (RSDM) akan lebih

mengedepankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien khususnya bagi pasien, keluarga, pengunjung, karyawan dan juga lingkungan. Poliklinik Kulit dan Kelamin merupakan bagian dari instalasi rawat jalan di RSDM yang memberikan pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien penyakit kulit dan kelamin secara komprehensif,untuk mendukung pelayanan yang bermutu diperlukan sumber daya manusia yang berkompeten,sarana sarana yang memadai. Untuk menjawab masalah-masalah terjadi dalam rumah sakit yang menyebabkan kerugian baik fisik maupun finansial maka diperlukan suatu cara untuk menganalisa penyebab masalah dan mencari pemecahan agar tidak terulang kembali serta mencegah suatu resiko dari setiap proses pelayanan di rumah sakit. Oleh karena itu RSDM sesuai standar mutu dan keselamatan pasien menerapkan manajemen resiko klinis mulai dari lini paling bawah sampai teratas yang mengedepankan keselamatan pasien.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahannya yaitu bagaimana manajemen risiko tepapar infeksi pada tenaga kesehatan di poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi? C. Tujuan 1. Mengetahui standar pelayanan meliputi sarana prasarana, SPO, dan tata laksana ruang poli penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi. 2. Mengetahui manajemen resiko terpapar infeksi pada tenaga kesehatan di poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi. D. Manfaat Studi observasi ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait : 1. Bagi Peneliti Sebagai penambah pengetahuan di bidang manajemen resiko di pelayanan kesehatan, sehingga diharapkan dapat menerapkan manajemen risiko dengan efektif dan efisien ketika terjun di masyarakat. 2. Bagi institusi kesehatan Sebagai masukan dan rekomendasi guna meningkatkan penjaminan mutu pelayanan kesehatan, terutama dalam mengaplikasikan manajemen risiko terpapar infeksi pada tenaga kesehatan di poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi. .

BAB II LANDASAN TEORI


A. Manajemen Resiko 1. Pengertian a. Manajemen risiko menurut The Joint Commission On Acreditation Of Healthcare Organizations adalah aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh RS untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, pengunjung dan institusi RS. b. Manajemen risiko dapat digambarkan sebagai proses berkelanjutan dari identifikasi secara sistemik, evaluasi dan penatalaksanaan risiko dengan tujuan mengurangi dampak buruk bagi organisasi maupun individu. c. Risiko klinis merupakan bahaya, potensi terjadinya hal yang merugikan pasien terkait dan diberikan atau sebagai dampak asuhan klinis yang diberikan kepadanya. d. Risiko non klinis merupakan bahaya potensial akibat lingkungan seperti kebakaran, keracunan, keamanan dan sebagainya. e. Risiko keuangan merupakan dampak berkurangnya kemampuan organisasi dalam pencapaian tujuan. f. Risiko operasional merupakan kerugian yang memberi dampak pada organisasi. g. Resiko organisasi adalah kemungkinan terjadinya perubahan struktur personalia, prosedur maupun metode yang telah ditetapkan oleh organisasi sebelumnya karena adanya suatu kerugian. 2. Proses Management Resiko Proses manajemen resiko merupakan suatu proses yang siklik terus menerus, yang terdiri dari 4 tahap :

a. Risk Awareness Pada tahap ini seluruh pihak memahami situasi yang beresiko tinggi atau merupakan tahap mengenali resiko. Self assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non blaming merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengenali resiko. b. Risk Control Manajemen merencanakan langkah dalam mencegah dan menghindari risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Langkah dimulai dengan penilaian risko tentang derajat dan probabilitasnya dilanjutkan mencari jalan untuk menghilangkan risiko atau bila tidak mungkin maka dicari upaya untuk menguranginya baik derajatnya ataupun probabilitasnya apabila tidak mungkin mencari jalan untuk mengurangi dampaknya. c. Risk Containment Unsur utamanya adalah merespon dengan cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien dan komunikasi yang efektif. d. Risk Transfer Akhirnya apabila risiko itu tetap timbul maka diperlukan pengalihan penanganan risiko terhadap pihak yang sesuai. 3. Langkah Langkah Manajemen Resiko a. Menentukan personil penilai Penilai risiko dapat berasal dari intern perusahaan atau dibantu oleh petugas lain diluar perusahaan yang berkompeten baik dalam pengetahuan, kewenangan maupun kemampuan lainnya yang

berkaitan. Tergantung dari kebutuhan, pada tempat kerja yang luas, personil penilai dapat merupakan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang. b. Menentukan obyek/bagian yang akan dinilai Obyek atau bagian yang akan dinilai dapat dibedakan menurut bagian / departemen, jenis pekerjaan, proses produksi dan sebagainya. Penentuan obyek ini sangat membantu dalam sistematika kerja penilai. 5

c. Kunjungan / Inspeksi tempat kerja Kegiatan ini dapat dimulai melalui suatu walk through survey / Inspection yang bersifat umum sampai kepada inspeksi yang lebih detail. Dalam kegiatan ini prinsip utamanya adalah melihat, mendengar dan mencatat semua keadaan di tempat kerja baik mengenai bagian kegiatan, proses, bahan, jumlah pekerja, kondisi lingkungan, cara kerja, teknologi pengendalian, alat pelindung diri dan hal lain yang terkait. d. Identifikasi potensi bahaya Berbagai cara dapat dilakukan guna mengidentifikasi potensi bahaya di tempat kerja, misalnya melalui : 1) Inspeksi / survei tempat kerja rutin 2) Informasi mengenai data kecelakaan kerja dan penyakit, absensi 3) Laporan dari Panitia Pengawas Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (P2K3), supervisor atau keluhan pekerja 4) Lembar data keselamatan bahan (material safety data sheet) 5) dan lain sebagainya e. Analisis dan penilaian terhadap potensi bahaya tersebut untuk memprediksi langkah atau tindakan selanjutnya terutama pada kemungkinan potensi bahaya tersebut menjadi suatu risiko. f. Mencari informasi / data potensi bahaya Upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui kepustakaan, mempelajari Materil Safety Data Sheet (MSDS), petunjuk teknis, standar, pengalaman atau informasi lain yang relevan. g. Analisis Risiko Dalam kegiatan ini, semua jenis resiko, akibat yang bisa terjadi, tingkat keparahan, frekuensi kejadian, cara pencegahannya, atau rencana tindakan untuk mengatasi risiko tersebut dibahas secara rinci dan dicatat selengkap mungkin. Ketidaksempurnaan dapat juga terjadi, namun melalui upaya sitematik, perbaikan senantiasa akan diperoleh.

h. Evaluasi risiko Memprediksi tingkat risiko melalui evaluasi yang akurat merupakan sangat menentukan dalam rangkaian penilaian risiko. Kualifikasi dan kuantifikasi risiko dikembangkan dalam proses tersebut. Konsultasi dan nasehat dari para ahli seringkali dibutuhkan pada tahap analisis dan evaluasi risiko. i. Menentukan langkah pengendalian Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti : a. Memilih teknologi pengendalian seperti eliminasi, substitusi, isolasi, engineering control, pengendalian administratif, pelindung peralatan/mesin atau pelindung diri. b. Menyusun program pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman berkaitan dengan risiko. c. Menentukan upaya monitoring terhadap lingkungan atau tempat kerja. d. Menentukan perlu atau tidaknya survailans kesehatan kerja melalui pengujian kesehatan berkala, pemantauan biomedik, audiometri dan lain-lain. e. Menyelenggarakan prosedur tanggap darurat dan pertolongan pertama sesuai dengan kebutuhan. j. Menyusun pencatatan dan pelaporan. Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penilaian risiko harus dicatat dan disusun sebagai bahan pelaporan secara tertulis. Format yang digunakan

dapatdisusun sesuai dengan kondisi yang ada. k. Mengkaji ulang penelitian. Pengkajian ulang perlu senantiasa dilakukan dalam periode tertentu atau bila terdapat perubahan dalam proses produksi, kemajuan teknologi, pengembangan

informasi terbaru dan sebagainya, guna perbaikan berkelanjutan penilaian risiko tersebut. B. Analisis Fishbone Diagram 1. Pengertian Fishbone Diagram Diagram Fishbone atau diagram sebab akibat sering juga disebut dengan istilah Diagram Ishikawa. Penyebutan diagram ini sebagai Diagram Ishikawa karena yang mengembangkan model diagram ini adalah Dr. Kaoru Ishikawa pada sekitar Tahun 1960-an. Penyebutan diagram ini sebagai diagram fishbone karena diagram ini bentuknya menyerupai kerangka tulang ikan yang bagian-bagiannya meliputi kepala, sirip, dan duri. Diagram fishbone merupakan suatu alat visual untuk

mengidentifikasi, mengeksplorasi, dan secara grafik menggambarkan secara detail semua penyebab yang berhubungan dengan suatu permasalahan. Menurut Scarvada (2004), konsep dasar dari diagram fishbone adalah permasalahan mendasar diletakkan pada bagian kanan dari diagram atau pada bagian kepala dari kerangka tulang ikannya. Penyebab permasalahan digambarkan pada sirip dan durinya. Kategori penyebab permasalahan yang sering digunakan sebagai start awal meliputi materials (bahan baku), machines and tools (mesin dan peralatan), man (sumber daya manusia), dan methods (metode), mother nature/environment Keenam penyebab

(lingkungan),

measurement

(pengukuran).

munculnya masalah ini sering disingkat dengan 6M. Penyebab lain dari masalah selain 6M tersebut dapat dipilih jika diperlukan. Untuk mencari penyebab dari permasalahan, baik yang berasal dari 6M seperti dijelaskan di atas maupun penyebab yang mungkin lainnya dapat digunakan teknik brainstorming (Pande &Holpp, 2001 dalam Scarvada, 2004). Diagram fishbone ini umumnya digunakan pada tahap

mengidentifikasi permasalahan dan menentukan penyebab dari munculnya permasalahan tersebut. Selain digunakan untuk mengidentifikasi masalah

dan menentukan penyebabnya, diagram fishbone ini juga dapat digunakan pada proses perubahan. Scarvada (2004) menyatakan Diagram fishbone ini dapat diperluas menjadi diagram sebab dan akibat (cause and effect diagram). Perluasan (extension) terhadap Diagram Fishbone dapat dilakukan dengan teknik menanyakan mengapa sampai lima kali (five whys) (Pande & Holpp, 2001 dalam Scarvada, 2004). 2. Manfaat Diagram Fishbone Diagram Fishbone dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan baik pada level individu, tim, maupun organisasi. Terdapat banyak kegunaan atau manfaat dari pemakaian Diagram Fishbone ini dalam analisis masalah. Manfaat penggunaan diagram fishbone tersebut antara lain : a. Memfokuskan individu, tim, atau organisasi pada permasalahan utama. Penggunaan diagram dalam tim atau organisasi untuk menganalisis permasalahan akan membantu anggota tim dalam menfokuskan permasalahan pada masalah prioritas. b. Memudahkan dalam mengilustrasikan gambaran singkat permasalahan tim atau organisasi. Diagram Fishbone dapat mengilustrasikan permasalahan utama secara ringkas sehingga tim akan mudah menangkap permasalahan utama. c. Menentukan kesepakatan mengenai penyebab suatu masalah. Dengan menggunakan teknik brainstorming para anggota tim akan

memberikan sumbang saran mengenai penyebab munculnya masalah. Berbagai sumbang saran ini akan didiskusikan untuk menentukan penyebab yang berhubungan dengan masalah utama termasuk menentukan penyebab yang dominan. d. Membangun dukungan anggota tim untuk menghasilkan solusi. Setelah ditentukan penyebab dari masalah, langkah untuk

menghasilkan solusi akan lebih mudah mendapat dukungan dari anggota tim.

e. Memfokuskan tim pada penyebab masalah. Diagram Fishbone akan memudahkan anggota tim pada penyebab masalah. Juga dapat dikembangkan lebih lanjut dari setiap penyebab yang telah ditentukan. f. Memudahkan visualisasi hubungan antara penyebab dengan masalah. Hubungan ini akan terlihat dengan mudah pada Diagram Fishbone yang telah dibuat. g. Memudahkan tim beserta anggota tim untuk melakukan diskusi dan menjadikan diskusi lebih terarah pada masalah dan penyebabnya. 3. Langkah-langkah dalam Penyusunan Diagram Fishbone Langkah-langkah dalam penyusunan Diagram Fishbone dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Membuat kerangka Diagram Fishbone. Kerangka Diagram Fishbone meliputi kepala ikan yang diletakkan pada bagian kanan diagram. Kepala ikan ini nantinya akan digunakan untuk menyatakan masalah utama. Bagian kedua merupakan sirip, yang akan digunakan untuk menuliskan kelompok penyebab permasalahan. Bagian ketiga

merupakan duri yang akan digunakan untuk menyatakan penyebab masalah. Bentuk kerangka Diagram digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Bentuk Kerangka Diagram Fishbone Fishbone tersebut dapat

10

b. Merumuskan masalah utama. Masalah merupakan perbedaan antara kondisi yang ada dengan kondisi yang diinginkan (W. Pounds, 1969 dalam Robbins dan Coulter, 2012). Masalah juga dapat didefinisikan sebagai adanya kesenjangan atau gap antara kinerja sekarang dengan kinerja yang ditargetkan. Masalah utama ini akan ditempatkan pada bagian kanan dari Diagram Fishbone atau ditempatkan pada kepala ikan. c. Langkah berikutnya adalah mencari faktor-faktor utama yang berpengaruh atau berakibat pada permasalahan. Langkah ini dapat dilakukan dengan teknik brainstorming. Menurut Scarvada (2004), penyebab permasalahan dapat dikelompokkan dalam enam kelompok yaitu materials (bahan baku), machines and equipment (mesin dan peralatan), manpower (sumber daya manusia), methods (metode), Mother Nature/environment (lingkungan), dan measurement

(pengukuran). Gaspersz dan Fontana (2011) mengelompokkan penyebab masalah menjadi tujuh yaitu manpower (SDM), machines (mesin dan peralatan), methods (metode), materials (bahan baku), media, motivation (motivasi), dan money (keuangan). Kelompok penyebab masalah ini kita tempatkan di Diagram Fishbone pada sirip ikan. d. Menemukan penyebab untuk masing-masing kelompok penyebab masalah. Penyebab ini ditempatkan pada duri ikan. Berikut disajikan contoh penyebab masalah : 1) Kelompok Man (manusia) Masalah ini terkait dengan tenaga kesehatan yaitu rendahnya kompetensi tenaga kesehatan, terdapat beberapa kesehatan yang tidak sesuai dengan bidangnya, kurangnya pelatihan mengenai keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), tidak

mengetahui prosedur K3, dan tidak mengikuti prosedur K3.

11

2) Kelompok Material Terkait dengan alat perlindungan diri pada tenaga kesehatan, material yang tidak bisa diandalkan, misalnya tempat sampah yang tidak memenuhi standar, penggunaan material yang salah. 3) Kelompok Machine / tools (Mesin dan Peralatan) Penyebab masalah dari sisi mesin dan peralatan misalnya mesin tidak layak pakai, tidak di kalibrasi, ataupun mesin yang rusak. 4) Kelompok Method Penyebab masalah dari sisi metode adalah standar prosedur operasional yang tidak pernah diperbaharui, tidak adanya prosedur K3, prosedur yang membingungkan. kurangnya inovasi dalam model pembelajaran. 5) Kelompok Mileu Mileu berkaitan dengan lingkungan, misalnya pembuangan limbah, saluran air, sirkulasi udara di ruangan, dan sebagainya. e. Langkah selanjutnya setelah masalah dan penyebab masalah diketahui, kita dapat menggambarkannya dalam Diagram Fishbone. C. Infeksi 1. Pengertian Infeksi Infeksi adalah proses infasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Dalam kamus keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan tubuh khususnya

menimbulkan cedera selular setempat akibat metabolism kompetitif, toksin, replica intraselular atau reaksi antigen-antibodi. 2. Cara Penyebaran Penyakit Secara umum, proses terjadi penyakit melibatkan 3 faktor yang saling berinteraksi, yaitu : a. Faktor penyebab penyakit, yang sering disebut agen (agent) b. Faktor manusia, yang sering pejamu (host) 12

c. Faktor lingkungan Ketiga factor tersebut saling mempengaruhi dan dalam epidemiologi disebut segitiga epidemiologi atau disebut tria penyebab penyakit. (Darmadi : 2008) Gambar 2. 2 Trias Penyebab Penyakit
Pejamu

Agen

Lingkungan

Dalam garis besarnya, mekanisme transmisi mikroba patogen ke pejamu yang rentan (susceptible host) melalui dua cara : a. Transmisi Langsung Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejamu. Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan, ciuman, atau adanya droplet nucle saat bersin, batuk, berbicara, atau saat transfusi darah dengan darah yang terkontaminasi mikroba pathogen. b. Transmisi Tidak Langsung Penularan yang memerlukan adanya media perantara baik berupa barang atau bahan, air, udara, makanan atau minuman, maupun vektor 1) Vehicle-borne Sebagai media perantara penularan adalah barang atau bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan dan minum, intrumens bedah /kebidanan, peralatan laboratorium, peralatan infuse. 2) Vektor-borne Sebagai media penularan adalah vektor (serangga) yang

memindahkan mikroba pathogen ke pejamu dengan cara sebagai berikut:

13

a) Cara Mekanis Pada kaki serangga melekat kotoran atau sputum (mikroba pathogen) lalu hinggap pada makanan atau minuman, dimana selanjutnya akan masuk ke saluran cerna pejamu. b) Cara biologis Sebelum masuk ke pejamu, mikroba mengalami siklus perkembangbiakan dalam tubuh vektor, selanjutnya mikroba dipindahkan ke pejamu melalui gigitan. 3) Food-borne Makanan dan minuman adalah media perantar yang cukup efektif untuk menyebarnya mikroba patogen ke pejamu, yaitu melalui pintu masuk saluran cerna. 4) Water-borne Air sangat mudah menyebarkan mikroba pathogen ke pejamu melalui pintu masuk saluran cerna maupun pintu masuk yang lain. 5) Air-borne Mikroba pathogen dalam udara masuk melalui saluran nafas pejamu dalam bentuk droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk atau bersin, bicara atau bernafas melalui hidung. Penularan melalui udara ini umumnya mudah terjadi didalam ruangan tertutup seperti di dalam gedung,

ruangan/bangsal/kamar perawatan atau pada laboratorium klinik. (Darmadi : 2008). 3. Cara Pencegahan Infeksi a. Antisepsis Antisepsis adalah usaha mencegah infeksi dengan cara membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit atau jaringan tubuh lainnya.

14

b. Asepsis atau Teknik Aseptik Asepsis atau teknik aseptik adalah semua usaha yang dilakukan dalam mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang mungkin akan menyebabkan infeksi. Caranya adalah menghilangkan dan atau menurunkan jumlah mikroorganisme pada kulit, jaringan dan benda benda mati hingga tingkat aman. c. Dekontaminasi Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa petugas kesehatan dapat menangani secara aman benda-benda (peralatan medis, sarung tangan, meja pemeriksaan) yang

terkontaminasi darah dan cairan tubuh. Cara memastikannya adalah segera melakukan dekontaminasi terhadap benda - benda tersebut setelah terpapar/terkontaminasi darah atau cairan tubuh d. Disinfeksi Tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan hampir semua mikroorganisme penyebab penyakit pada benda benda mati atau instrument. e. Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) Suatu proses yang menghilangkan mikro organisme kecuali beberapa endospora bakteri pada benda mati dengan merebus, mengukus, atau penggunaan desinfektan kimia. f. Mencuci dan membilas Suatu proses yang secara fisik menghilangkan semua debu, kotoran, darah, dan bagian tubuh lain yang tampak pada objek mati dan membuang sejumlah besar mikro organisme untuk mengurangi resiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau menangani benda tersebut (proses ini terdiri dari pencucian dengan sabun atau deterjen dan air, pembilasan dengan air bersih dan pengeringan secara seksama).

15

g. Sterilisasi Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan semua mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), termasuk endospora bakteri pada benda-benda mati atau instrument.. 4. Tindakan-tindakan pencegahan infeksi meliputi : a. Cuci tangan b. Memakai sarung tangan c. Memakai perlengkapan pelindung d. Menggunakan asepsis atau teknik aseptik e. Memproses alat bekas pakai f. Menangani peralatan tajam dengan aman g. Menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan serta pembuangan sampah secara benar.

16

BAB III METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional deskriptif yaitu penelitian yang tidak melakukan manipulasi atau intervensi pada subyek yang diteliti. Desain penelitian ini digunakan untuk mengetahui manajemen resiko yang terjadi pada tenaga kesehatan di poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi (RSDM). Penelitian deskriptif ini dirancang untuk meneliti beberapa fenomena dengan cara mengukur dalam satu waktu. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian di poliklinik kulit dan kelamin RSDM, waktu penelitian dari bulan Desember 2013. C. Pengalokasian Subyek Penelitian Semua tenaga kesehatan yang kemungkinan mengalami resiko tertular infeksi penyakit kulit dan kelamin. D. Definisi Operasional 1. Manajemen resiko yaitu aktivitas dilakukan oleh RS untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya infeksi. 2. Infeksi yaitu proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit. 3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang memerlukan kewenangan dalam menjalankan pelayanan kesehatan di poliklinik kulit dan kelamin. E. Instrumen Penelitian Adalah alat yang membantu dalam mendapatkan data. Kualitas data yang akan dikumpulkan tergantung pada kualitas alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian. Instrumen penelitian dalam studi kasus manajemen resiko dengan menggunakan dokumentasi laporan manajemen 17

resiko di poliklinik kulit dan kelamin serta daftar pertanyaan untuk pedoman brainstorming. F. Cara Pengumpulan Data 1. Jenis Data Peneliti menggunakan dua jenis data untuk penyusunan Studi Kasus ini. Adapun jenis data tersebut adalah: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian dengan wawancara dan observasi terhadap subjek penelitian. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi dan laporan manjemen resiko di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSDM. 2. Teknik Pengambilan Data Data diperoleh dengan melakukan observasi, studi dokumentasi serta wawancara pada kepala ruang dan stafnya. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu yang pertama, peneliti meminta persetujuan dari kepala RSDM untuk melakukan penelitian di poli penyakit kulit dan kelamin dengan menggunakan surat pengantar dari institusi pendidikan yang selanjutnya mendapat surat perijinan untuk melakukan penelitian di ruangan. Selanjutnya peneliti datang pada waktu yang telah ditentukan oleh peneliti dan pihak rumah sakit untuk melakukan observasi dan wawancara langsung di ruangan. Data yang diperoleh tersebut dianalisis menggunakan diagram tulang ikan (fish bone) dengan mencantumkan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi kejadian infeksi kepada tenaga medis.

18

BAB IV HASIL PENELITIAN


A. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN Poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi (RSDM) adalah poliklinik yang bertujuan untuk membantu pasien yang memiliki

permasalahan kulit, kecantikan dan penyakit kelamin dengan didukung beberapa dokter ahli spesialis kulit dan kelamin. Poliklinik ini ditunjang dengan peralatan dan fasilitas ruang konsultasi, tindakan, perawatan kulit dan kecantikan yang lengkap. Pelayanan Poliklinik Kulit dan Kelamin terdiri dari konsultasi kesehatan dan tindakan. Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSDM terletak di lantai 3 gedung Wijaya Kusuma. Ruang poliklinik ini terdiri dari 14 ruangan yang terdiri dari ruang resepsionis, ruang pemeriksaan, ruang tindakan,

laboratorium, dan ruang perawat. Di dalam ruang pemeriksaan terdapat meja konsultasi, komputer, tempat tidur, wastafel, tempat sampah medis dan non medis, trolly, lampu, peralatan diagnostik penyakit kulit dan kelamin, handrub, alkohol 70%, dan tisu. B. HASIL PENELITIAN Identifikasi masalah dilakukan dengan brainstorming yang dilakukan dengan kepala ruang poliklinik kulit dan kelamin sehingga didapatkan hasil analisis situasi. Dari analisis situasi didapatkan masalah potensial berpotensi terpapar infeksi. Analisis masalah potensial infeksi yaitu dengan

menggunakan diagram fishbone (Diagram Sebab Akibat). Analisis penyebab masalah ditinjau dari faktor man, method, mileu, measurement, material,dan machine(tools). 1. Faktor man (manusia) Pada faktor ini dianalisis mengenai kemampuan petugas melakukan tugas, pengetahuan mengenai prosedur Kesehatan dan Keselamatan Kerja 19

(K3), mengikuti prosedur K3, pernah mengikuti pelatihan mengenai K3 atau tidak, serta pemeriksaan kesehatan yang dilakukan. Secara umum untuk faktor man, petugas kesehatan di Poliklinik Kulit dan Kelamin telah melakukan tugas sesuai dengan standar karena setiap tindakan yang dilakukan sesuai Standard Procedure Operating (SPO) yang ada

diruangan tersebut. Tidak semua petugas mengetahui prosedur K3 secara mendalam, tetapi semua telah mengetahui prinsip yang mendasar serta menerapkan prinsip K3 dalam ruangannya contohnya membedakan antara tempat sampah medis dengan tempat sampah non medis. Untuk pelatihan-pelatihan perbaharuan ilmu yang berkembang di dunia kesehatan, belum semua petugas di poliklinik tersebut melakukan pelatihan yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan pelatihan dilakukan secara bergiliran antar tenaga kesehatan yang berada di poliklinik tersebut sehingga terdapat petugas yang belum mendapat giliran untuk mengikuti suatu pelatihan atau dapat dikatakan pelatihan belum menyeluruh. Juga terdapat petugas yang sudah mendekati waktu pensiun, jadi tidak diprioritaskan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut. Dasar tersebut yang menyebabkan tidak semua tenaga kesehatan di poliklinik tersebut tidak mendapat perbaharuan ilmu. Petugas yang pernah mengikuti pelatihan, pelatihan diikuti hanya 1 kali dalam setahun ini yaitu pelatihan SPF medical, Clinical Instructur, manajemen resiko, dan lain sebagainya. Pemeriksaan kesehatan dilakukan secara keseluruhan, mulai dari cek lab darah, urin, dan lainnya telah dilakukan oleh semua petugas kesehatan di poli tersebut. Dari pemeriksaan kesehatan tersebut akan diketahui status kesehatan dari para tenaga kesehatan tersebut. Dan sampai saat ini diketahui bahwa hasil medical check up tenaga kesehatan di poliklinik tersebut menunjukkan bahwa mereka dalam keadaan sehat tidak terinfeksi penyakit apapun atau dalam keadaan sehat. 2. Faktor method Mengenai prosedur tindakan, prosedur penggunaan alat, SPO tentang mencuci tangan, SPO tuntuk terhindar dari tertusuk jarum, SPO 20

penanggulangan limbah seperti darah yang tercecer dilantai, dan lain sebagainya. Dari hasil wawancara ini bahwa SPO yang digunakan selalu rutin diperbaharui setiap setahun sekali tetapi untuk prosedur K3 tidak ada diruang tersebut dan tidak ada SPO tentang pemisahan tempat untuk mencuci alat dan mencuci tangan. 3. Faktor mileu (Lingkungan) Mengenai tata ruang di poli Kulit dan Kelamin tersebut, suhu, kelembaban, serta kebisingan ruangan sudah baik. Tata ruangan tersebut sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan, suhunya normal sesuai suhu ruangan dan untuk tingkat kebisingannya normal. Sehingga dari segi lingkungan, poliklinik tersebut sudah baik dan bisa mengurangi potensial terjadinya infeksi. 4. Faktor measurement Mengenai keidealan perbandingan jumlah tenaga kesehatan yang tersedia didalam ruangan dengan jumlah pasien yang datang. Jumlah tenaga kesehatan yang ada sebanyak 4 orang dengan rata-rata pasien perharinya 20 pasien perhari. Hal ini telah sesuai dengan peraturan Depkes tentang ketenagaan. Serta pengukuran standar alat yang sesuai dengan tipe rumah sakit. 5. Faktor material Mengenai Alat Perlindungan Diri (APD) yang dipakai serta peralatan yang mendukung sudah lengkap untuk melindungi diri dari infeksi, yang terdiri dari sarung tangan bersih, sarung tangan steril, masker, kacamata, dan gaun pelindung. Semua tenaga kesehatan di poli tersebut telah menggunakan APD tersebut sesuai dengan SPO yang telah ada. 6. Faktor machine/tools Alat yang tersedia untuk pemeriksaan. Diruangan poliklinik ini tersedia alat Fototerapi, Elektrocauter, dan Demabrasi, serta wastafel.

Wastafel yang digunakan untuk mencuci tangan dan mencuci alat. Berdasarkan hasil waawancara, hal tersebut dikarenakan pihak dari 21

Central Sterilization Supply Department (CSSD) menghendaki peralatan tindakan yang telah dipakai agar dikirim ke bagian CSSD dalam keadaan bersih. Sehingga merupakan suatu keharusan untuk melakukan pencucian peralatan tindakan medis yang telah dipakai di dalam ruang poliklinik tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kinerja CSSD kurang optimal. Pencucian di wastafel tersebut memungkinkan mikroorganisme penyebab infeksi tertinggal, dan saat tenaga kesehatan mencuci tangan di wastafel tersebut akan berpotensial terkena infeksi.

22

BAB V PEMBAHASAN
Dari hasil analisis diatas, dapat diketahui bahwa terdapat 3 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi (gambar 5.2) di poli kulit dan kelamin RSUD Dr.Moewardi yaitu pada faktor man, method, dan machine. Pada faktor man (manusia) terdapat penyebab masalah yang dapat mengakibatkan infeksi yaitu dari petugas yang belum semuanya mendapatkan pelatihan-pelatihan. Dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan, dicanangkan program pembangunan kesehatan dengan sebutan Panca Karya Husada yang salah satunya yaitu pengembangan tenaga kesehatan yang meliputi program pendidikan latihan dan pendayagunaan kesehatan (sistem kesehatan nasional). Salah satu upaya pembangunan kesehatan adalah dengan mencegah masalah kesehatan terjadi. Pencegahan masalah kesehatan dapat diwujudkan dengan upaya pencegahan potensial terjadinya infeksi.

Ketrampilan untuk mencegah infeksi dapat dilakukan dan diperbaharui melalui pelatihan-pelatihan bagi tenaga kesehatan. Dengan tidak semua petugas yang tidak mengkuti pelatihan maka dapat menunjukkan kurangnya kemauan untuk melakukan pencegahan masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah Infeksi. Beberapa tenaga kesehatan yang sudah mengikuti pelatihan tentu tingkat pengetahuan dalam proses tindakan akan lebih tinggi daripada tenaga kesehatan yang belum mengikuti pelatihan. Dengan pengetahuan yang lebih tinggi tentu akan memicu sikap dan perilaku yang lebih baik dan tanggapan berbagai keadaan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan dalam hal ini infeksi. Dalam poliklinik tersebut akar masalah dari pelatihan yang kurang disebabkan karena jadwal pelatihan yang pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran antar tenaga kesehatan di dalam ruangan tersebut. Sehingga terdapat masa masa tertentu dimana ada tenaga kesehatan yang belum mengikuti pelatihan-pelatihan secara keseluruhan seperti SPF medical, Clinical Instructur, manajemen resiko, dan lain sebagainya yang menyebabkan tingkat 23

pengetahuan mengenai suatu ilmu baru berbeda antar tenaga kesehatan sehingga menimbulkan sikap yang berbeda meskipun pada kenyataannya seluruh ilmu yang diperoleh dar pelatihan tenaga kesehatan tersebut pada akhirnya akan ditularkan kepada tenaga kesehatan yang lain. Dalam faktor method tidak adanya SPO mengenai sistem pemisahan antara tempat pencucian alat dengan wastafel. Tidak adanya SPO mengenai sistem pemisahan antara tempat cuci tangan dengan tempat cuci alat tersebut disebabkan karena memang belum ada tempat pencucian alat yang tersendiri dalam suatu poliklinik sehingga belum terdapat SPO dikarenakan SPO terbentuk apabila udah terdapat peralatan. Dengan tidak adanya SPO, maka belum ada cara pencegahan penularan infeksi yang bisa berupa infeksi silang yaitu disebabkan oleh kuman dari orang atau penderita lain dirumah sakit secara langsung ataupun tidak langsung (Darmadi,2008). Dalam hal ini infeksi dapat terjadi karena tidak ada prosedur tindakan peniadaan secara langsung pada sisa mikro organisme yang mungkin tertinggal pada wastafel meskipun pada kenyataannya aliran air wastafel setiap kali menyiram wastafel tersebut, karena aliran air hanya akan mengurangi keberadaan mikro organisme tidak mematikan atau meniadakan mikro organisme. Pada faktor machine atau tools yaitu tidak ada pemisahan antara wastafel cuci alat dengan cuci tangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 74 tahun 2001 tentang B3 (Bahan Berbahaya dan Baracun) (gambar 5.1), maka dari sini infeksi dapat terjadi. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa bahan harus di identifikasi terlebih dahulu dengan dibedakan antara berbahaya atau beracun dengan bahan yang tidak berbahaya atau tidak beracun. Setelah di bedakan bahan yang berbahaya akan diserahkan pada lembaga yang mempunyai izin unuk memusnahkan bahan berbahaya dan beracun, sedangkan untuk bahan yang tidak berbahaya dan tidak beracun akan dibuang pada tempatnya. Infeksi sendiri diperoleh dari salah satunya melalui kontak tidak langsung bisa melalui instrumen bedah, peralatan laboratorium begitu juga dengan satu wastafel yang digunakan untuk mencuci tangan dan alat bekas tindakan medis. 24

Dalam hal ini tenaga kesehatan yang melakukan pencucian tangan di wastafel yang sama dengan tempat pencucian alat akan berpotensi terkena mikro organisme yang ada di wastafel tersebut secara tidak langsung sehingga berpotensi terkena infeksi. Gambar 5.1 Penanganan Limbah
Mulai

Identifikasi Jenis Limbah

B3

Ya

Tidak

Penampungan limbah non B3

Penampungan sementara limbah B3

Buang ditempat yang telah ditentukan

Menyerahkan ke lembaga yang mempunyai ijin

selesai

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2001 tentang B3

25

Gambar 5.2. Diagram Fishbone

Man

Pelaksanaan Belum semua nakes pelatihan bergilir mendapatkan pelatihan pelatihan bergilir

Pelatihan formal tenaga kesehatan kurang

Ada tenkes yang Ada tenkes yang mendekati masa mendekati masa purna tugas purna tugas

TERPAPAR INFEKSI
Belum dibuat tempat untuk pencucian alat Tidak ada SPO untuk tempat pencuci alat

Tidak ada tempat pencuci alat


CSSD hanya Kinerja CSSD menerima peralatan belum optimal

Machine /tools

Method

Sumber : Hasil wawancara di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi 26

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan analisis Fishbone hal yang dapat menyebabkan resiko terpapar infeksi pada tenaga kesehatan di poli klinik kulit dan kelamin yaitu faktor method tidak adanya SPO tentang pemisahan wastafel untuk mencuci tangan dan wastafel untuk mencuci alat serta tidak adanya prosedur K3, kemudian faktor man ada beberapa petugas yang belum mengikuti pelatihan, seperti pelatihan Kesehatan Keselamatan Kerja (K3), SPF medical, CI,

manajemen resiko dan lain sebagainya yang harus diikuti oleh para petugas kesehatan, serta pada faktor machine atau tools tempat pencucian alat dengan tempat pencucian tangan masih menjadi satu. B. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan yang di atas maka kami merekomendasikan bagi RSDM dan petugas kesehatannya untuk mengoptimalisasikan pengadaan pelatihan-pelatihan untuk tenaga kesehatan terkait kemajuan ilmu pengetahuan serta optimalisasi kinerja CSSD yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit.

27

Você também pode gostar