Você está na página 1de 14

1

MAKALAH

ISLAM DIANCAM! Konstruksi Wacana Keberagaman melalui Media Islam Online1


ISLAM DIANCAM! Konstruksi Wacana Keberagaman melalui Media Islam Online1

OLEH: ADE ARMANDO

OLEH: ADE ARMANDO2

Saya akan memulai presentasi saya dengan memaparkan tiga tulisan yang tersaji di situs Voice of al-Islam ( disingkat VOA-islam) yang saya unduh pada 12 Oktober 2011. Yang pertama mengenai kisruh Gereja Yasmin, yang kedua soal kerusuhan Ambon, dan yang ketiga mengenai apa yang digambarkan sebagai Kristenisasi melalui praktek penghamilan.
Tulisan pertama berjudul Kisruh Gereja Yasmin: Ormas Islam Diadu Domba, Pihak Kristen Tepuk Tangan (3 Oktober 2011). Begin isinya:
BOGOR (voa-islam.com) Sangat disayangkan, ormas-ormas Islam terpecahbelah menyikapi kasus gereja manipulatif GKI Yasmin Bogor. Meski warga menolak keberadaan gereja yang didirikan dengan memanipulasi tanda tangan warga, beberapa ormas Islam ngotot mendukung keberadaan gereja. Bila sesama ormas Islam berseteru soal keberadaan gereja manipulatif, maka pihak Krsiten yang tertawa dan bertepuk tangan. Hal itu diungkapkan tokoh Muslim Bogor, KH Muhyidin Djunaedi . . . Muhyidin menambahkan, sebenarnya pemkot menawarkan solusi untuk menyelesaikan polemik GKI Yasmin. Pemkot, kata dia, sudah menawarkan tiga tempat relokasi rumah ibadah, tapi GKI menolak. . . . Kepada pihak gereja, Muhyiddin mengimbau agar bersikap fair dan menempuh jalur yang prosedural jika ingin membangun gereja. Adanya manipulasi dalam pendirian rumah ibadah, sangat disayangkan.. .
Disampaikan dalam Diskusi Media, Kebencian dan Kekerasan di Komunitas Salihara, Senin 24 Oktober 2011. Makalah ini tidak disunting. Makalah ini milik Kalam dan tidak untuk dimuat di mana pun. 2 Pengajar Universitas Indonesia dan Pengurus Yayasan Paramadina
1

Makalah Diskusi | Oktober 2011

2
Kepada sesama Muslim dari GP Anshor yang mendukung pihak gereja, Muhyiddin Ketua MUI bidang Hubungan Kerjasama dan Internasional itu menasihati agar tidak melakukan provokasi. . . Muhyiddin membandingkan, di wilayah-wilayah minoritas muslim seperti di NTT, Bali dan Papua, mendirikan rumah ibadah juga sangat sulit mendapatkan izin, tapi minoritas Muslim sabar tanpa melakukan manipulasi data pendirian masjid. Sebagaimana diberitakan voa-islam.com sebelumnya, kasus Gereja GKI Yasmin Bogor bergulir sejak awal mula didirikan, karena pihak gereja melakukan kebohongan dalam proses pembangunan GKI, antara lain dengan mamalsukan surat dan tanda tangan masyarakat setempat untuk persyaratan keluarnya IMB. Pemalsuan tandatangan warga ini terbukti secara sah dan meyakinkan dalam Pengadilan Negeri Bogor. Majelis Hakim menjatuhkan PUTUSAN BERSALAH kepada terdakwa Munir Karta pada hari Kamis 20 Januari 2011, sebagai pelaku pemalsuan surat dan tandatangan masyarakat setempat. Dengan terungkapnya pemalsuan tandatangan warga ini, maka otomatis status IMB GKI menjadi CACAT HUKUM. Ketika GKI Yasmin disegel Pemkot, jemaat gereja berulangkali melakukan pelanggaran lain, misalnya merusak segel dan selalu mengadakan kebaktiankebaktian di trotoar/bahu jalan. Membuka paksa segel untuk kebaktian adalah tindakan kriminal yang melanggar Pasal 232 KUHP Pasal 1 ayat 1, sedangkan kebaktian di trotoar adalah tindakan provokasi dan pelanggaran terhadap Instruksi Gubernur Jawa Barat No. 28 Tahun 1990 pasal 11 tentang Kerukunan Kehidupan Beragama, butir 2(g) bahwa Tidak mengalihfungsikan suatu tempat atau dan bangunan untuk digunakan tempat ibadah. Peraturan lain yang dilanggar GKI Yasmin adalah Perda Kota Bogor No. 8/Thn 2006 Tentang Ketertiban Umum Pasal 6 (k): Setiap orang dan/atau Badan, dilarang mempergunakan jalan, trotoar, jalur hijau, dan taman selain untuk peruntukannya tanpa mendapat ijin Walikota. Meski demikian, ada ormas Islam yang ngotot mendukung pendirian gereja manipulatif GKI Yasmin itu antara lainGP Anshor yang mendapat dukungan penuh dari Shinta Nuriyah, janda Gus Dur yang notabene tokoh NU. [taz/dbs]

Karya jurnalistik semacam ini jelas adalah laporan yang buruk. Salah satu masalah terpenting adalah bahwa si jurnalis dengan sengaja mengarahkan pembaca untuk percaya bahwa pelarangan pembangunan gereja itu adalah akibat kekeraskepalaan dan kelicikan umat Kristen yang dengan sengaja melanggar hukum untuk melicinkan jalan pembangunan, tanpa menyebutkan bahwa tuduhan tersebut sebenarnya tidak diterima secara hukum. Si wartawan dengan sengaja menyembunyikan fakta utama bahwa Mahkamah Agung sebenarnya sudah menetapkan bahwa pendirian Gereja Yasmin tersebut adalah sah dan karenanya pemerintah daerah Bogor seharusnya mencabut larangan dan membuka segel. Tapi tampaknya fakta sepenting itu, bagi si jurnalis, tidak dianggap layak muat karena satu hal: tulisan ini memang merupakan bagian dari propaganda untuk menyerang umat Kristen. Pemuatan fakta bahwa sebenarnya Gereja Yasmin berhak berdiri secara hukum akan merusak segenap imej yang hendak
Makalah Diskusi | Oktober 2011

3
dibangun, yaitu gereja tersebut adalah gereja manipulatif yang memang didirikan dengan niat busuk.

Tulisan kedua adalah soal kerusuhan Ambon dengan judul: Copot Polisi Kristen Pembantai Umat Islam dalam Kerusuhan Ambon!! (13 septemer 2011)
JAKARTA (voa-islam.com) Front Pembela Islam (FPI) menemukan fakta adanya aparat kepolisian beragama Kristen yang turut membantai umat Islam dalam kerusuhan di Ambon. FPI mendesak Kapolri memecat Kepala Brimob dan mengadili polisi yang terlibat dalam kerusuhan itu. Laporan warga itu diaminkan oleh Front Pembela Islam (FPI). Menurut Sekjen FPI, KH Muhammad Shabri Lubis, aparat Kristen terlibat langsung dalam kerusuhan Ambon jilid II yang menewaskan umat Islam ini. Kita terus mengikuti perkembangan, memang kerusuhan ini sekarang meluas dan melibatkan aparat-aparat Kristen untuk ikut serta membantai umat Islam. Jadi aparat Kristen itu turun, itu temuan kita, ujarnya kepada voa-islam.com, Senin sore, (12/9/2011). . . Kita minta kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mengirimkan Polisi Militernya agar melihat di situ aparat-aparat yang terlibat dan ikut serta membantai kaum muslimin, desak Shabri. Mereka harus diseret ke pengadilan atau mahkamah militer dan juga kepada HAM Internasional, itu yang kita akan tuntut, tambahnya. . . FPI sangat menyayangkan aparat yang tidak profesional dalam menjalankan tugas di Ambon dengan ikut membantai kaum Muslimin. . . FPI menengarai, keterlibatan aparat dalam kerusuhan di Ambon yang menewaskan umat Islam itu mudah terjadi karena komposisi aparat Brimog yang mayoritas beragama Kristen. Kita juga mempertanyakan apakah normal jumlah dan komposisi Brimob yang ada di Ambon ? Sebab di situ ada Brimob bisa berjumlah lebih dari 70 persen Nasrani. Ini masuk di akal apa tidak? tukas Shabri. Ini jadi kesempatan mereka, bukannya melakukan penertiban malah melakukan pembantaian, imbuhnya. Kita juga minta Kepala Komando Brimob di sana untuk diganti, dan juga jumlah komposisi anggota Brimob yang Muslim dan yang Nasrani bisa segera disesuaikan misalnya 50-50 jadi ada keadilan, jadi tidak didominasi kalau mereka memang betul-betul untuk menjaga NKRI. Tapi kalau Polisi ini memang dikuasai agen-agen Yahudi untuk melepas Indonesia melalui itu, urusan mereka, ujar Shabri. [taz/ahmed widad]

Tulisan tersebut adalah bentuk laporan jurnalistik buruk karena secara serampangan menggunakan pendapat sebuah sumber sebagai kebenaran faktual. Berita ini hanya didasarkan pada keterangan sekjen FPI yang mengklaim bahwa penilaiannya itu didasarkan pada temuan dan keterangan warga. Tak ada keterangan apa-apa soal temuan yang disebut-sebut. Misalnya si sumber menyatakan adanya aparat Kristen yang membantai warga muslim, tapi tak ada penjelasan tentang data yang bisa memperjelas tuduhan tersebut. Misalnya, di mana? Sapa orangnya? Apa yang terjadi? Apa bukti yang mendukung tuduhan tersebut? Si penulis dengan enak saja memperlakukan apa yang dikatakan sebagai
Makalah Diskusi | Oktober 2011

4
apa yang terjadi,. Si penulis tidak merasa perlu menulis dilaporkan atau diduga. Dan setelah mengabaikan elemen-elemen prinsipil semacam itu, si penulis dengan seenaknya saja mengutip pernyataan narasumber yang menggambarkan pembantaian tersebut dilakukan secara kolektif dan didukung oleh kesatuan Brimob lebih luas yang memang dikuasai umat Kristen.

Tulisan ketiga adalah soal Kristenisasi dengan modus penghamilan. Judulnya: Waspadai Kristenisasi via Pacaran & Hamilisasi (Belajar dari Kasus Bantul (20 september 2011)
BANTUL (voa-islam.com) -Cinta memang membutakan.Love is Blind. Begitulah sebuah ungkapan. Ketika cinta sudah merasuk ke dalam dada, maka mata tidak bisa melihat sebuah kebenaran. Apapun akan dikorbankan untuk mendapatkan yang dicintainya. Tidak peduli akan melanggar norma agama ataupun harus mengorbankan kebahagiaan hakiki di akhirat.Naudzubillahi min dzalik. Sebuah pengalaman berharga dialami Mawar, bukan nama sebenarnya, muslimah penduduk Bambanglipuro Bantul Jogjakarta. Bambanglipuro adalah sebuah kecamatan yang cukup banyak komunitas nasraninya hasil proyek penjajah Belanda. Meski pendidikan yang dialami mawar cukup memada. Dari TK hingga SMK di sekolah Muhammadiyah, bukan merupakan jaminan bagi gadis berusia 18 tahun ini untuk mempertahankan akidahnya ketika suatu saat ia berkenalan dengan seorang pemuda Katolik. Dengan usia masih sangat belia, Mawar berkenalan dengan Alex, lajang yang cukup berumur 33 tahun. Kesenjangan usia yang cukup jauh bukanlah hambatan. Cinta pun tumbuh seiring perkembangan waktu. Hingga suatu ketika, di awal bulan September 2011, Alex datang dengan ditemani tokoh Nasrani setempat mengatakan kalau mawar sudah hamil, maka mereka harus segera dinikahkah di gereja. Pak Amir, ayah Mawar pun linglung tak tahu harus berbuat apa. Maka ketika disodori surat kesediaan untuk menikahkan putrinya yang hamil di gereja, Pak Amir menyetujuinya dengan membubuhkan tanda tangan. . . Dengan dibantu segenap tokoh agama, tokoh masyarakat setempat dan beberapa ormas Islam, akhirnya Pak Amir mencabut surat pernikahan anaknya di gereja. Proses pencabutan berlangsung cukup cepat. Beberapa orang berkumpul di parkir samping gereja membuat warga sekitar gereja kaget hingga beberapa personel polisi datang. Upaya penyadaran terhadap Mawar terus dilakukan. Ruqyah, dan pendampingan serta penambahan pemahaman kepada keluarga Pak Amir. Bu Amir yang berada di luar kota pun pulang untuk melihat keadaan anak dan suaminya karena beberapa kali Bu Amir diteror pemuda gereja tentang keselamatan suaminya. Tak hanya itu, para pemuda gereja juga menghembuskan berita bohong bahwa ormas Islam menggropyok gereja ketika melakukan pencabutan pembatalan pernikahan dengan menggunakan 3 truk. Padahal saat itu rombongan datang hanya beberapa orang tidak menggunakan truk. Datang dengan baik-baik dengan sebuah mobil dan puluhan sepeda motor. Juga ketika Alex, pacar korban datang dengan tokoh agama Nasrani setempat mereka sudah menipu dengan mengatakan kalau mawar sudah hamil 3 bulan dengan maksud agar pihak keluarga (ayah korban) segera memberikan restu
Makalah Diskusi | Oktober 2011

5
untuk dinikahkan di gereja. Tindakan ngawur untuk mengelabuhi korban. Cara apapun mereka tempuh untuk memurtadkan umat Islam.

Laporan semacam mungkin penting kalau apa yang diberitakannya sungguh terjadi. Masalahnya tak ada indikasi cukup menilai aktualitas berita tersebut. Ada satu hal yang hampir selalu melekat di tulisan sejenis: tidak pernah menggunakan nara sumber dengan identitas asli. Hampir selalu, laporan semacam ini mengisahkan cerita dengan tokoh anonim. Ini tentu membuat kita layak curiga dengan kebenaran fakta. Bila memang tokoh aslinya ada, mengapa harus digunakan nama samaran? Tidak ada orang yang identitasnya perlu disembunyikan dalam kisah di atas, kecuali bila memang data yang ditampilkan bisa menimbulkan tuduhan pencemaran nama baik. Ketiga ilustrasi di atas sengaja digunakan untuk menunjukkan bagaimana media massa dapat menjadi salah satu kekuatan yang mendorong tumbuh suburnya kecurigaan antar kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia. Secara spesik, untuk kasus voa-islam, skema yang dibangun adalah kebencian terhadap umat Kristen yang dianggap sebagai pihak yang dengan sengaja ingin membasmi atau setidaknya umat Kristen. Tanpa disadari banyak pihak, muatan semacam ini sekarang tersedia secara cukup berlimpah di media massa, terutama di media online. Dengan daya jangkaunya yang luas, media semacam ini terus menginjeksi alam berpikir para khalayaknya dengan rangkaian informasi yang terseleksi dan disajikan dengan cara sedemikian rupa sehingga secara perlahan-lahan akan terbangun sikap yang memandang umat Kristen sebagai musuh bersama yang harus dihadapi.

Sebuah Kunjungan Kembali


Pengamatan saya terhadap voa-Islam sebenarnya merupakan kunjungan kembali ke lokasi penelitian yang sudah pernah saya datangi pada akhir 2010. Saat itu saya mempelajari bagaimana media Isam online membangun ideologi mengenai keberagaman, yang diindikasikan oleh penggambaran mengenai kelompok-kelompok yang dipersepsikan berada di luar komunitas Islam, seperti Kristen, Ahmadiyah ataupun kalangan yang dianggap menyimpang seperti kaum homoseksual. Lima media online menjadi objek penelitian: Voice of al-Islam, Eramuslim, Suara-Islam, Hidayatullah, dan Arrahmah. Kali ini, sebagai pembanding, saya hanya membaca satu situs saja. Dan dari apa yang saya sekarang baca, tak ada banyak perubahan temuan dibandingkan gambaran pada 2010. Penelitian 2010 itu pada dasarnya dilandasi oleh pandangan bahwa kebangkitan kesadaran keagamaan di kalangan kelas menengah di kota-kota besar Indonesia dalam dekade terakhir ini justru berada dalam arah yang mungkin turut mendorong lahirnya sikap-sikap eksklusif, tidak toleran, radikal, tertutup dan anti-demokrasi. Sejarah memberi bukti bahwa meski agama memang bisa berkembang menjadi sesuatu yang melahirkan pencerahan dan memerdekakan manusia; di banyak kurun waktu dan tempat berbeda, agama juga bisa menjadi ajaran dan gagasan yang mendorong konik, peperangan dan penderitaan. Saya percaya agama yang damai adalah mungkin dan salah satu langkah terpentingnya adalah mengintensifkan penyebaran cara penafsiran keagamaan
Makalah Diskusi | Oktober 2011

6
yang mendukung keterbukaan berpikir, keberagaman, toleransi dan demokrasi. Namun kita perlu sadar bahwa ada sejumlah kondisi yang menyebabkan langkah semacam itu tak dengan sendirinya mudah dlakukan. Pertama, pada saat bersamaan, berkembang upaya serius untuk mengarahkan cara beragama di Indonesia ke jalur yang justru eksklusif dan tertutup. Kalangan yang mendorong corak beragama eksklusif ini kerap dengan cara menyederhanakan menggunakan referensi Kitab Suci dan sumbersumber ajaran agama otoritatif lainnya sebagai bukti bahwa agama dan demokrasi, HAM dan keterbukaan adalah hal-hal yang tidak mungkin hidup berdampingan. Kalangan ini lazim membangun pandangan bahwa wacana tersebut adalah sesuatu yang mutlak benar sebagai penafsiran tunggal yang tak boleh dipertanyakan. Cara pandang semacam ini sering nampak kokoh karena yang menyuarakannya adalah mereka yang diklaim sebagai ulama dan pemuka Islam. Kedua, gagasan-gagasan tentang Islam eksklusif ini secara konsisten disuarakan dan disebarkan melalui beragam komunikasi agama tradisional namun juga beragam media modern. Dengan kata lain, wacana tersebut terus dikumandangkan baik melalui sarana pengajian, ceramah agama, khotbah Jumat, namun juga melalui publikasi modern seperti majalah, buku, VCD dan DVD serta situs internet. Propaganda tersebut dilakukan dengan semangat dan komitmen yang kuat. Dalam perkembangan terakhir, gagasan-gagasan anti keterbukaan tersebut sudah ditanamkan sejak anak-anak Ketiga, karena kerasnya suara dan kuatnya komitmen para penyebar gagasan Islam yang eksklusif tersebut, banyak pihak yang merasa tak nyaman untuk meresponsnya karena efek yang mungkin ditimbulkan dari konik yang mungkin ditimbulkannya. Dalam hal ini kalangan yang sebenarnya menganut cara penafsiran keagaman yang lebih inklusif kerap memilih untuk diam dan tidak berani bahkan sekadar mendiskusikan cara pandang yang terutup tersebut terutama karena khawatir bahwa ini dapat menimbulkan reaksi balik yang tidak proporsional. Akibat dari rangkaian kondisi tersebut adalah lahirnya sebuah siklus ketertutupan yang tak berujung. Karena hanya penafsiran keagamaan yang tertutup yang diulang-ulang, itu yang dianggap sebagai kebenaran. Karena itu dianggap sebagai kebenaran yang tunggal, mereka yang sebenarnya merasa tak nyaman dengan cara beragama semacam itu memilih diam. Karena tak ada bantahan atau tawaran alternatif, cara beragama semacam itu benar-benar menjelma menjadi kebenaran. Pada titik itu, agama menjadi sebuah faktor yang berpotensi mengancam umat manusia. Masalah di Indonesia bertambah rumit mengingat saat ini bahkan pemerintah, penegak hukum atau bahkan kalangan pemodal nampak cenderung berusaha menyesuaikan diri dengan logika ketertutupan itu. Kerap dengan alasan sensitivitas, pihak-pihak tersebut tak ingin berperan atau terlibat dalam isu-isu yang menyangkut perbedaan penafsiran keagamaan. Data yang tersedia sendiri menunjukkan terutama setelah digulingkannya pemerintah Orde Baru, tekanan terhadap kelompok-kelompok non-muslim dan mereka yang berada di luar wilayah arus utama Islam mengalami peningkatan. Data dari Setara Institute menunjukkan pada dalam periode 2008-2010 berlangsung peningkatan penyerangan terhadap rumah ibadat, khususnya
Makalah Diskusi | Oktober 2011

7
gereja. Bila pada tahun 2008 hanya terdapat 17 tindak kekerasan dan pada tahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran HAM terhadap jemaat gereja; pada tahun 2010 sampai Juni-Juli sudah tercatat 28 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Menurut temuan Setara, pelanggaran HAM yang terdokumentasikan dalam tahun 2010, semuanya dilandasi oleh argumen bahwa keberadaan rumah ibadah telah mengganggu dan meresahkan masyarakat. Selain itu, pelanggaran juga dijustikasi oleh alasan bahwa bangunan/ rencana pembangunan tidak sesuai dengan peruntukkan atau menyalahi konsep tata ruang. Laporan penelitian Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010 yang dikeluarkan The Wahid Institute, menunjukkan gambaran serupa. Menurut laporan tersebut, terdapat 133 kasus tindakan intoleransi keagamaan di 13 wilayah pemantauan pada tahun 2010. Ini berarti bahwa setiap bulan terjadi rata-rata 11 kali tindakan intoleransi dan diskriminasi. Dengan latar belakang tersebut, saya berusaha mempelajari isi media massa sebagai lembaga yang memiliki kekuatan besar dalam membangun ideology -- yakni pikiran terorganisir mengenai dunia tentang keberagaman di kalangan pembacanya. Dalam hal ini saya berusaha melihat bagaimana media Islam online menggambarkan beragam tindak penindasan, intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok non-Islam ataupun kelompok dalam umat Islam yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Sebagai seorang yang menekuni kajian komunikasi, saya percaya media massa adalah sarana ampuh untuk menanamkan ideology. Isi media tidak tampil secara acak. Media massa menyajikan gambaran tentang dunia dalam skema tertentu. Dalam skema itulah, ideologi diangkat dan diamplikasi. . , diberi legitimasi . . . dan didistribusikan secara persuasif, seringkali secara bergelora, kepada khalayak yang luas (Lull). Ideologi menjadi tertanam dalam diri khalayak karena ia muncul secara berkelanjutan dalam fragmen-fragmen informasi yang tersaji dalam transmisi rutin berita, hiburan dan bahkan iklan. Karena tampilan formatnya yang tak selalu terlihat sebagai propaganda, muatan ideologis ini tak gampang teridentikasi sehingga dengan mudah diterima secara apa adanya oleh khalayak. Dalam hal ini, mengkonsumsi media merupakan kegiatan mikrososial yang secara dinamis bercampur baur dengan hubungan antarpribadi yang ditanamkan di dalam konteks kultural yang dipengaruhi struktur sosial. Mungkin tanpa disadari khalayak , media menginjeksikan peraturan (rules) yang melaluinya kita memahami representasi simbolik dan pola sosial yang kita hadapi secara rutin. Tentu saja tak selalu mudah untuk menggunakan media massa. Salah satu persoalan besar di masa lalu adalah media massa merupakan produk yang harus dibuat melalui proses yang melibatkan modal besar, secara sangat teroganisir untuk dapat didistribusikan kepada khalayak luas. Namun masalah ini sebenarnya relatif tertangani dengan kehadiran media online. Kehadiran media online mengatasi hambatan (entry barriers) yang di masa sebelumnya menyulitkan berbagai kelompok yang tak memiliki modal ekonomi cukup untuk mengembangkan media massa untuk mencapai publik luas. Di masa lalu, mendirikan media massa merupakan sebuah kegiatan yang mahal
Makalah Diskusi | Oktober 2011

8
mengingat biaya produksi dan distribusinya yang tinggi dari membeli kertas, menata isi, mencetak, mengedarkan sampai mempromosikan. Belum lagi dengan biaya persyaratan izin. Untuk media penyiaran, persyaratan model nansial ini semakin berlipat ganda. Untuk menjaga keberlangsungan hidup media, dibutuhkan pula kehadiran pembeli dan pengiklan dalam jumlah cukup. Sebuah media cetak yang hanya memiliki sirkulasi terbatas tak akan memperoleh pemasukan yang memadai dari penjualan dan juga tak akan mudah meraih pengiklan. Bahkan sebuah media dengan pembeli yang cukup besar bisa saja tak akan mudah mengundang pengiklan bila karakteristik demogras para pembeli itu tidak serasi dengan kebutuhan pasar yang dibidik pengiklan ataupun isi yang disajikann dianggap bertentangan dengan kepentingan pengiklan. Segenap hambatan ini tak dihadapi oleh media online. Di masa ini, setiap kelompok masyarakat bahkan individu bisa mengembangkan media yang hidupnya tak bergantung kepada pembeli dan pengiklan. Biaya produksi dan distribusi produk media online relatif murah. Walau kebutuhan biaya rutin untuk membayar karyawan, penulis, disainer, webmaster dan infrastruktur lainnya tetap ada, total pengeluarannya tetap terjangkau oleh kelompokkelompok yang mendanai sendiri pengembangan media tersebut. Media online inipun dapat menjangkau khalayak cukup luas. Karena tidak memerlukan kehadiran sik, media online dapat menjangkau publik luas yang memiliki akses internet. Bahkan apa yang tersaji di situs tersebut dapat diseberluaskan lebih jauh lagi melalui proses pengggandaan yang mudah, baik secara online maupun ofine. Sebuah tulisan di sebuah situs online, misalnya, bisa saja disebarkan melalui mailing-list, dikirim melalui email, atau juga didownload untuk kemudian dicetak dan dicopy untuk disebarkan melalui sarana komunikasi tradisional. Karena rangkaian karakter tersebut, media online menjadi jawaban yang dapat memenuhi harapan banyak kalangan yang selama ini tak memiliki kesempatan menjangkau khalayak luas, termasuk di dalamnya kelompokkelompok Islam yang untuk memudahkan pembicaraan saya sebut sebagai eksklusif, ekstrem atau radikal. Sebeum era Media Baru, kelompok-kelompok ini sulit sekali mengatasi rangkaian kendala yang sudah disebut. Kini, media online menjelma menjadi sarana dakwah dan sekaligus propaganda yang dibutuhkan.

Metode
Penelitian pada akhir 2010 saya lakukan dengan metode sederhana. Saya secara acak memilih tanggal 14 Oktober 2010 sebagai tanggal penelitian. Pada hari itu saya membuka setiap situs yang dipelajari dan saya mempelajari setiap artikel di halaman muka situs yang bersangkutan yang terkait dengan topik yang diteliti. Nyatanya, dengan mudah sekali saya memperoleh artikel-artikel yang terkait dengan isu keberagaman. Judul-judul artikel di bawah ini saja sudah menampakkan kecenderungan isinya: Voa-Islam: - Penyusupan Kristenisasi pada VCD Hadad Alwi Gegerkan pekanbaru
Makalah Diskusi | Oktober 2011

9
- Charles Evers Masuk Islam Setelah Jadi Korban Pelecehan Seks Pastur (prol) - Maunya HKBP, Kerukunan Atau Kerusuhan (Chirstology and Liberalism) - Sajadah Bergambar Salib Gegerkan Masjidil Haram - Toleransi Islam vs Toleransi Barat.htm (Christology and Liberalism) Eramuslim.com - Heboh tulisan Jesus dalam Video Klip Haddad-Alwi - Demokrasi itu Busuk (Editorial) - Pemerintah Wajib melindungi atau Membubarkan Ahmadiyah? (Dialog) - Masihkah umat Islam dituduh Tidak toleran? (Catatan redaksi) - Mayoritas Warga Jerman Dukung Pembatasan bagi Umat Islam Suara-Islam.com - Menag: Pembubaran Ahmadiyah Langkah Terbaik - Metamorfosa Kenabisan dan Ketuhanan Yesus - Peternakan Gay - Indonesia Ingin Dijadikan Negara Kristen - Gesekan Islam Kristen Yang Terus Membara - Bahaya Pendidikan Multikultural - Pendeta Pembakar Quran Akhirnya Tewas Mengenaskan - Saatnya Ahmadiyah Dibubarkan - Konsolidasi Umat Dan Urgensi Tv Islam Hidayatullah.com - - - - Non-muslim Indonesia Menikmati Kebebasan Luar Biasa Untuk Apa Gereja Didirikan? Fundamentalis-radikalis-dan-the-real-terrorism Skandal dan Kriminal Paus Borgia [1-4]

Arrahmah.com - Tiga Salibis NATO Tewas di Afghanistan - Kebijakan Perancis Memang Rasis - Muslim India Akan Gugat Kebijakan Atas Masjid Babri - Bunuh Pekerja Sosial Inggris, Tentara Salibis AS Dijerat Sanksi

Kristen sebagai Sumber Masalah


Pada dasarnya, penelitian pada 2010 itu menunjukkan bahwa terdapat konsistensi yang kuat dalam isi berbagai media online yang diteliti. Mereka secara padu menyajikan gambaran yang mendelegitimasi gagasan pluralisme dan toleransi. Media yang diteliti menampilkan dunia Islam sebagai berada di bawah ancaman kalangan anti-Islam yang berusaha untuk menghancurkan
Makalah Diskusi | Oktober 2011

10
umat Islam, dan gagasan tentang keberagaman adalah sebuah bagian penting dari proses penghancuran itu. Dapat dikatakan, kalangan yang dianggap sebagai aktor utama dalam proses penghancuran ini adalah umat Kristen. Berbagai media yang diteliti membangun gambaran tentang umat Kristen sebagai musuh umat Islam yang berbahaya yang akan melakukan tindakan apapun termasuk melanggar hukum untuk melakukan Kristenisasi. Media membangun gambaran bahwa ancaman Kristenisasi ini bukan main-main dan dilakukan dalam proses berkelanjutan. Media menunjukkan Kristenisasi di Indonesia adalah upaya yang sudah dimulai dari jaman penjajahan Belanda. Bahkan digambarkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat penduduk Islam terbesar di dunia hendak diubah menjadi Negara Kristen terbesar kedua di dunia setelah AS. Lebih jauh dari itu, apa yang terjadi di Indonesia tersebut digambarkan sebagai bagian yang integral dengan penindasan Islam dalam skala global. Kaum Kristen bersama kaum sekuler digambarkan menjajah dunia Islam, menguasai kekayaan alamnya, mengeksploitasi penduduknya, dan itu hanya bisa dilanggengkan dengan menanamkan agama Kristen di tengah-tengah penduduk muslim. Media menggambarkan bahwa dengan tujuan itu kelompok Kristen akan rela melakukan apa saja, termasuk melakukan kebohongan, untuk mencapai tujuan mereka. Media mengarahkan pembaca pada pandangan bahwa pada dasarnya kelompok Kristen ingin menyudutkan umat Islam karena mereka merasa terhambat untuk menjalankan misi Kristenisasi di Indonesia. Upaya itu sudah dilakukan sejak lama, dan kelompok Kristen tidak akan pernah mau meninggalkan misi mereka. Dalam konteks itulah, kaum Kristen membangun imej tentang umat Islam yang tidak toleran, tidak mau hidup rukun dengan agama lain, dan berusaha menindas agama minoritas. Pembahasan tentang kasus penyerangan terhadap jemaat HKBP di Ciketing dan penghambatan pembangunan gereja di tempat lain dikerangkai dengan cara pandang itu. Media menampilkan argument bahwa bahwa kasus tertusuknya jemaat HKBP dalam kasus Ciketing terjadi karena para jemaat gereja tersebut memaksakan kehendak membangun gereja meskipun tidak memperoleh dukungan dari masyarakat setempat. Media menggambarkan bahwa pihak gereja memang tidak memiliki niat baik, yang antara lain dibuktikan dengan tuduhan bahwa untuk memperoleh izin, gereja bahkan dengan sengaja memalsukan tandatangan penduduk setempat. Penggambaran kasus HKBP tersebut tersaji dalam cara yang memperingatkan bahwa umat Kristen adalah kaum kar yang menyebarkan kemunkaran dengan beragam cara sistemis yang licik, dan karena itu umat Islam perlu menghambat ruang gerak mereka. Dengan penggambaran semacam itu, media membangun pandangan bahwa wajar bagi warga muslim untuk menolak kehadiran tempat ibadat umat Kristen. Yang mencari-cari masalah sebenarnya adalah kalangan Kristen sendiri. Media menggambarkan bahwa umat Islam sebenarnya sangat toleran. Dalam kasus Ciketing, digambarkan bahwa selama 20 tahun warga tidak pernah mengganggu ibadah Jemaat HKBP di daerah tersebut yang dilakukan di sebuah rumah tinggal. Ini baru menjadi masalah, menurut media, ketika
Makalah Diskusi | Oktober 2011

11
jumlah jemaat yang datang dari luar perumahan semakin banyak sehingga meresahkan warga. Sebagian tulisan bahkan menuduh bahwa dalam kasus Ciketing sebenarnya tidak ada penyerangan sebagaimana yang diberitakan oleh media massa. Dalam penggambaran media tersebut, pihak Kristen dengan sengaja memprovokasi konik dan kemudian memanfaatkannya untuk menjustikasi desakan mereka kepada pemerintah agar mencabut SKB 3 Menteri tentang penyiaran agama dan Peraturan bersama Menteri tentang pembangunan rumah ibadat. Media yang diteliti menggambarkan bahwa kekhawatiran tentang ketidaktoleranan umat Islam terhadap umat non-Islam sebagai berlebihan. Sebalknya digambarkan bahwa warga non-Muslim di Indonesia betul-betul menikmati kebebasan luar biasa, bahkan hampir-hampir tidak ada hambatan dalam beribadat. Justru orang Islam di Indonesia yang sering tertindas, seperti di Ambon, Bali, Papua, dan di wilayah-wilayah Indonesia lain yang Muslimnya minoritas. Dengan demikian, dapat terbaca bahwa media tersebut berusaha membangun gambaran bahwa dalam kasus konik keagamaan yang terkait dengan pembangunan gereja, yang bersalah adalah pihak Kristen yang berusaha melakukan Kristenisasi di Indonesia dengan menghalalkan segala cara. Pihak Islam sebenarnya selama ini sudah bersikap sangat toleran. Yang menjadi masalah, menurut media, gereja bagi umat Kristen bukanlah sekadar sebagai tempat ibadat, tapi sebagai tempat untuk menjalankan misi Kristenisasi. Artikel-artikel di media tersebut menggambarkan bagaimana kelompok Nasrani berusaha memojokkan umat Islam. Bila umat Islam sudah terpojok dan tidak bisa berbuat apa-apa, demikian tertulis, maka golongan Nashrani dengan leluasa mereka mengembangkan agama mereka, sekaligus melakukan pemurtadan. Segenap tipu daya kelompok Kristen, menurut media yang diteliti, luput dari perhatian publik karena kelompok Kristen bekerjasama dengan kaum sekuler menguasai media massa. Di bawah kendali koalisi Kristen-Sekuler, media massa besar justru mendiskreditkan umat Islam. Media yang diteliti menyebut media yang dikendalikan oleh golongan Nashrani terus berusaha memanipulasi peristiwa dengan tujuan agar kekuatan sosial politik dan pemerintah menghantam umat Islam. Berbagai media yang diteliti nampak berusaha membangun kesan bahwa Islam berada dalam kondisi diserang oleh lawan-lawannya dari berbagai penjuru. Media tersebut juga menyajikan berita-berita tentang berlangsungnya kasus-kasus pelecehan terhadap Islam melalui berbagai produk budaya. Walau memang tidak selalu dikatakan bahwa pelakunya adalah kelompok atau umat Kristen, ada tanda-tanda yang sengaja ditampilkan yang menjadikan pembaca memahami bahwa yang dianggap sebagai pelaku adalah kaum Kristen. Ini misalnya terlihat dalam berita mengenai beredarnya sajadah di Mekah dengan gambar Salib. Atau ada pula berita mengenai beredarnya VCD penyanyi Muslim Hadad Alwi yang disisipi tulisan Yesus. Dalam konteks perseteruan Islam dan Kristen ini, media juga menyajikan muatan yang melakukan demonisasi Kristen, yaitu penggambaran Kristen
Makalah Diskusi | Oktober 2011

12
sebagai ajaran buruk dengan menampilkan kejahatan yang dilakukan umat, lembaga atau pemimpin Kristen. Secara konsisten penggambaran Kristen tampil dengan negatif. Misalnya ini terlihat dalam berita tentang kisah tentang seorang penganut Katolik yang pindah ke agama Islam karena ia mengalami pelecehan seksual di gereja. Dalam artikel itu, dikutip pernyataan yang menunjukkan bahwa Katolik adalah kepercayaan yang mengerikan dan nggak beres. Ditampilkan juga di sebuah media, tulisan berseri mengenai kehidupan seorang Paus dan keluarganya yang melakukan rangkaian kejahatan di masa kekuasaannya, yang terentang luas dari korupsi, pembunuhan, pembantaian, skandal seks, sampai termasuk incest.. Media Islam yang diteliti secara padu menunjukkan bahwa Barat sebenarnya tidak menyukai Islam, ingin mengenyahkan Islam atau menindas Islam. Secara selektif, media tersebut menyajikan praktek-praktek diskriminasi terhadap umat Islam di Barat, serta berkembangnya sikap anti-Islam di Barat. Secara konsisten pula, Barat diidentikkan dengan Kristen. Pendudukan pasukan Nato di Afghanistan, misalnya, digambarkan sebagai pendudukan tentara Salibis, penamaan yang ditujukan kepada Kristen. Namun, bukan hanya Kristen yang dijadikan saran tembak media Islam ini. Bahwa Islam diancam di mana-mana, juga ditunjukkan oleh artikel mengenai sikap diskirminatif pengadilan India yang menguntungkan kaum Hindu dan merugikan kaum muslim di Negara itu. Pembahasan mengenai Ahmdiyah pun tak luput dari kerangka Islam berada di bawah ancaman itu. Media Islam menampilkan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat yang nyatanyata murtad tapi ngotot untuk tetap diakui sebagai umat Islam. Namun lebih dari kesesatannya, Ahmdiyah juga digambarkan oleh media yang diteliti sebagai bagian dari strategi kaum kar liberal untuk menghancurkan umat Islam. Dalam skema ini, umat Ahmadiyah digambarkan sebagai masalah yang disengaja dipelihara untuk menyudutkan umat Islam. Diteorikan bahwa kalangan LSM dalam dan luar negeri sengaja mempengaruhi pemerintah untuk membiarkan kelangsungan hidup Ahmadiyah, agar kalangan ormas-ormas Islam semakin bersikap emosional, dan bertindak diluar hukum, sehingga ada alas an untuk lebih jauh menyudutkan umat Islam. Dalam istilah salah satu media, kartu Ahmadiyah ini akan terus dimainkan dengan lebih efektif, guna menciptakan situasi yang dapat menganggu internal umat Islam. Dengan latar belakang argument itu, media Islam yang diteliti menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan terhadap penganut Ahmdiyah adalah sesuatu yang wajar mengingat kekeraskepalaan mereka. Dapat dikatakan, secara padu beragam media Islam online tersebut menyajikan gambaran yang mempertentangkan Islam dengan kelompokkelompok lain. Media tersebut mendorong khalayaknya untuk memandang dunia sebagai wilayah konik yang menempatkan Islam dan umat Islam dalam kondisi terdesak dan harus bersatu untuk menegakkan kebenaran Islam. Dalam skema itulah, media tersebut mendorong eksklusivisme yang dijustikasi sebagai kebutuhan umat Islam dalam rangka melindungi diri dari ancaman dari luar. Dengan logika serupa, wacana tentang keberagaman ditempatkan sebagai tertuduh yang mengancam Islam.
Makalah Diskusi | Oktober 2011

13
Media online yang diteliti secara padu menyajikan gambaran yang mendelegitimasi gagasan pluralisme dan toleransi. Mereka memposisikan gagasan tentang keberagaman sebagai bagian penting proses penghancuran Islam. Di satu sisi, rangkaian tulisan yang tersaji berusaha membangun pandangan bahwa gagasan tentang arti penting toleransi dalam kerangka menghargai keberagaman adalah sesuatu yang tidak serasi dengan ajaran Islam dan karena itu harus ditolak. Di sisi lain, lebih jauh lagi, media yang diteliti bahkan menampilkan argumen bahwa gagasan keberagaman dan toleransi sebenarnya adalah produk Barat yang sarat dengan kepentingan untuk meruntuhkan dunia Islam. Di tataran pertama, para penulis di media tersebut membangun pandangan bahwa gagasan keberagaman dan toleransi adalah sesuatu yang bersifat ahostoris dalam dunia Islam dan di Barat gagasan itu lahir akibat keburukan gereja di zaman kegelapan sebelum abad 14 H. Media Islam tersebut berusaha mengajak pembaca untuk meyakini bahwa Islam memiliki cara pandang berbeda menganai konsep keberagaman dan toleransi yang asing tersebut. Dalam kaitan itu, media islam juga berusaha menunjukkan bahwa di dalam wacana keberagaman yang berasal dari Barat tersebut, termuat unsur-unsur yang bertentangan dengan Islam. Sebagai contoh, pendidikan keberagaman mengajarkan penerimaan terhadap kesetaraan agama. Ini, menurut penulis di media Islam online, bertentangan dengan Islam karena konsekuensinya Islam tidak boleh diajarkan sebagai satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah. Bila pandangan kesetaraan dan keberagaman ini diterima, menurut media yang diteliti, bahkan orang atheis pun harus dihagai meski itu jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Demikian pula, dengan diterimanya gagasan ini, mereka yang jelas-jelas menyimpang seperti kaum homoseksual pun harus bisa diterima oleh Islam. Karena itu, dalam pandangan yang disebarkan media ini, gagasan pluralism, toleransi dan kesetaraan tersebut berbahaya. Pada analisis terakhir, mereka nampaknya menolak prluralisme bukan karena alasan substantifnya melainkan karena politik. Mereka percaya dan berusaha membuat khalayak percaya bahwa segenap kampanye pluralism dan toleransi merupakan bagian dari upaya barat dan Kristen untuk meneguhkan dominasi mereka di Indonesia. Mereka yang menyebarkan gagasan pluralism ini digambarkan sebagai antek kaum kar liberal yang ingin mengacaukan cara pandang umat Islam sehingga perlahan meninggalkan ajaran agamanya yang luhur. Dalam konteks ini, media Islam menampilkan argument bahwa segenap kampanye prinsip HAM, kebebasan beragama, pluralisme dan inklusivisme ini sebenarnya bertujuan untuk menjadikan kaum Nasrani menempati posisi dominan dalam politik Indonesia. Bisa dipahami pula bila sejalan dengan itu, mereka juga mengarahkan pembaca untuk tiba pada pandangan bahwa demokrasi yang didengungdengungkan Barat sebagai pilihan sistem politik terbaik itu sebenarnya merupakan bagian dari skenario Barat dan Kristen untuk menindas dunia Islam.

Makalah Diskusi | Oktober 2011

14

Media sebagai Sarana Propaganda


Seperti yang saya sampaikan di awal, saya berusaha melihat apakah konstruksi realitas yang tersaji di media islam online pada 2010 masih bertahan pada 2011. Saya memang hanya menggunakan satu media online, lebih sebagai ilustrasi pembanding. Tapi hanya dengan sedikit keraguan, saya akan menjawab: ya, tidak ada perubahan. Setidaknya, secara umum. Ketiga tulisan yang saya kutip di awal kembali menunjukkan bagaimana media menggambarkan Kristen sebagai para penjahat. Dalam membangun kontruksi itu, media nampak mengabaikan begitu saja segenap persyaratan etik dan profesionalitas jurnalistik. Tidak ada verikasi, tidak ada penggalian, tidak ada keseimbangan. Segenap persyaratan mendasar dalam hal akurasi, objektivitas dan keadilan sama sekali tak terlihat dipenuhi para jurnalis. Untuk derajat tertentu, saya bahkan percaya sebagian isi berita itu hanyalah kabar burung atau ksi. Tapi barangkali memang terlalu mewah bagi kita mengharapkan media tersebut peduli dengan segenap prinsip jurnalisitik yang dengan mudah dituduh sebagai karangan kaum sekuler barat itu. Saya percaya bagi para pengelolanya, media massa adalah sarana perjuangan untuk mencegah kemunkaran. Bagi mereka, Islam diancam. Sebagian dari mereka rela membunuh dan dibunuh untuk memperjuangkan keyakinan mereka. Sebagian dari mereka memilih untuk menjadi agen agitasi dan propaganda. Adalah ironis bahwa dalam era tumbuhnya harapan akan Jurnalisme Damai, justru berkembang media berbasis islam yang dengan sengaja menyebarkan kebencian. Sebagaimana saya katakana, saya percaya media massa memiliki peran penting dalam mengarahkan cara berpikir khalayaknya. Bila media secara berkelanjutan menyebarkan ayat-ayat kebencian, jangan heran bila khalayaknya menjadi umat Islam yang berhasrat menindas kelompok-kelompok di luar dirinya. Sebagai penutup, saya ingin mengulang cerita tentang pengalaman saya menjadi pembicara bersama tokoh pers senior, Atmakusumah, di sebuah workshop media islam beberapa tahun yang lalu. Ketika itu, pak Atmakusumah dengan berapi-api mengajarkan para peserta arti penting kode etik dan standard professional pers. Begitu tiba di sesi tanya jawab, Pak Atmakusumah ditanya seorang peserta: Yang menetapkan aturan dalam kode etik itu siapa, Pak? Yah, masyarakat pers di dunia. Selama Anda menjadi bagian dari masyarakat demokratis, panduan itu sama, jawab Pak Atmakusumah dengan meyakinkan. Syukurlah kalau begitu, kata si peserta lagi. Kalau itu bukan dari Al Quran dan as-Sunnah ya saya tidak wajib mengikutinya, bukan? Bogor, 19 Oktober 2011

Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org Makalah Diskusi | Oktober 2011

Você também pode gostar