Você está na página 1de 12

STRESS LUNG (Acute Lung Injury / Acute Respiratory Distress Syndrome) J.

F Palilingan

Lab I Penyakit Paru FK Unair / SMF Penyakit Paru RSUD dr.Soetomo

Suatu gejala klinik berupa gagal nafas mendadak yang ditandai dengan infiltrate difus pada foto thoraks, hipoksemia berat dan menurunnya complains paru disebut oleh asbaugh dan kawan kawan pada tahun 1967 sebagai acute respiratory distress in adults. Gambaran patologi berupa edema paru yang berat, kongesti vaskuler dengan perdarahan, atelektasis serta pembentukan membran hialin. Berikutnya Petty dan Asbaugh pada tahun 1971 sindroma klinik tersebut oleh Petty disebut dengan adult respiratory distress syndrome. Oleh murray kerusakan di paru dibagi dalam beberapa gradasi untuk mengetahui besarnya gangguan pernafasan, berupa lung injury score (LIS). Terdapat skor untuk empat komponen yaitu skor untuk foto thoraks, hipoksemia, positive end expiratory syndrome (PEEP) dan system complains (compliance) pernafasan dengan nilai 0,1,2,3,4. Apabila LIS > 2.5 maka keadaan tersebut disebut ARDS. Sedangkan skor yang lebih rendah menunjukkan kerusakan paru yang derajatnya ringan atau sedang (Ware and Mattnay, 2000) The American European consensus conference (AECC) on ARDS pada tahun 1994 memberi batasan ALI sebagai berikut a) gangguan oksigenasi dengan rasio arterial parsial pressure of oxygen to inspired oxygen fraction (PaO2/FiO2) < 300 mmHg. b) kesuraman bilateral pada foto toraks yang sesuai dengan edema paru, dan c) pulmonary artery occlusion pressure (PAOP) < 18 mmHg atau bila tidak ada kelainan pada pemeriksaan klinik adanya hipertensi atrium kiri. Kerusakan yang lebih berat berupa ARDS yang kriterianya sama, kecuali untuk rasio PaO2/FiO2 <200 (Lee and Slutsky, 2005) Faktor Resiko Terdapat banyak factor resiko yang berkaitan dengan ARDS baik melalui jejas paru langsung maupun tidak langsung (Deutcsmann, 1998, Ware and Matthay, 2000)

Clinical disorders associated with the development of ARDS Direct lung Injury Common Causes Pneumonia Aspiration of gastric contents Indirect Lung Injury Common Causes Sepsis Severe trauma with shock and multiple transfusions Less Common Causes Pulmonary contusion Fat Emboli Near Drowning Inhalation Injury Less Common Causes Cardiopulmonary bypass Drug Overdose Acute Pancreatitis Transfussions of Blood Products

Sepsis tetap merupakan penyebab terbanyak dengan 5-35% penderita sepsis berkembang menjadi ARDS. Syok atau Hipotensi berkepanjangan, luka Bakar dan systemic inflamatory response syndrome (SIRS) juga sering jatuh dalam keadaan ARDS (Balk, 1998). Pada SIRS (n=2527) didapatkan ARDS sebanyak 3%. Pada penderita dengan sepsis angkanya kurang lebih sama 4%. Pada penderita sepsis yang biakannya positif terdapat dua kali lebih banyak dari penderita sepsis yang biakannya negatif (6% dan 3%). Pada penderita sepsis berat (hipotensi atau hipoperfusi organ) dan syok septik (hipotensi atau hipoperfusi organ) masing masing sebanyak 6% dan 18%. Hudson dan kawan-kawan pada tahun 1995 mendapatkan 32% penderita septik yang akhirnya yang menjadi ARDS dalam 12 jam. 54% menjadi ARDS dalam 24 jam, 72% dalam 2 hari dan 90 % dalam 4 hari. Penderita dengan asidosis respiratorik akan berkembang lebih cepat menjadi ARDS (90% dalam waktu 2 hari) sedang penderita akibat trauma lebih lambat (90 % dalam 5-6 hari) (Sessler et.al 1996). Beberapa penyebab selainnya sepsis adalah pneumonia akibat infeksidenhgan virus seperti severe acute respiratory distress syndrome (SARS) dan Avian influenza (Looney, 2006)

Evaluasi klinik Pemeriksaan klinik yang diperlukan pada penderita yang dicurigai sebagai ALI atau ARDS ialah pemeriksaan yang tercantum dalam kriteria untuk menegakkan diagnosis, serta untuk melakukan penderajatan beratnya penyakit sesuai dengan LIS. Juga perlu diketahui adanya faktor risiko, penyakit akut atau kronis yang menyertai, serta adanya manifestasi gangguan organ non-paru lainnya. Adanya gagal jantung kiri diketahui dengan monitoring

hemodinamik menggunakan kateter arteri pulmonal untuk mengukur pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) serta output jantung. Pada pemeriksaan radiologis dengan foto toraks, didapatkan infiltrat alveolar bilateral, difus, yang identik dengan gagal jantung kongestif, tetapi tidak dipengaruhi oleh gravitasi. Penggunaan computed tomography (CT) pada ARDS selain untuk deteksi kelainan di paru, juga untuk evaluasi gangguan fisiologi paru sehubungan dengan proses kerusakan di paru. Pemeriksaan fiberoptic Bronchoscopy (FOB) dan bronchoalveolar lavage (BAL) penting pada evaluasi penderita dengan infiltrate paru yang difus untuk mengekslusi efusi, perdarahan alveolar, keganasan, serta penyakit lain yang mirip dengan ARDS. Neutrofilia pada cairan BAL dihubungkan dengan meningkatnya permeabilitas vascular, lamanya ARDS serta meningkatnya kematian (Lee and Slutsky, 2005)

Patogenesis Terdapat banyak proses komplek yang menyebabkan kegagalan membrane alveolar kapiler dengan akibatnya berupa edema karena meningkatnya permeability. Berbai jalur untuk terjadinya ALI/ARDS dan pengaruh dari factor inang meninimbulkan keragaman dari manifestasi dan prognosis penyakit. Juga factor usia, gender dan ras mempengaruhi resiko kejadian penyakit dan mortalitasnya yang mungkin mencerminkan perbedaan fatofisiologi penyakit. (Piantadosi and schwatz, 2004)

Kegagalan Membran Alveolar-kapiler Pada fase akut ALI/ARDS terjadi penungkatan permeabilitas rintangan alveolar kapiler yang ditandai adanya influx cairan edema kaya protein. Membrane alveolar-kapiler dibentuk oleh endotel kapiler dan epitel alveolar, yang fungsi keduanya terganggu pada ALI/ARDS. Ada banyak mekanisme yang menyebabkan kegagalan membrane alveolarkapiler dan dapat dibedakan yaitu yang mempengaruhi endotel kapiler dan yang mempengaruhi epitel alveolar. Struktur dan fungsi endotel dapat berubah secara independent dengan aktivasi endotel. Aktivasi endotel terjadi sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti sitokin, thrombin, lipopolisakarida, dan produk mikroba dan juga perubahan ektrim dari tekanan darah. Pada ALI/ARDS aktivasi endotel ini mengalami disregulasi dan tek terkendali, yang berkembang menjadi kebocoran kapiler, ekspresi molekul adhesi dan sitokin. Kerusakan epitel berupa nekrosis dan gangguan yang hebat merupakan tanda dariALI/ARDS. Sebanyak 90% epitel alveolar normal adalah tipe I berbentuk pipih, yamg

berfungsi untuk pertukaran gas dan merupakan barrier ketat terhadap ektravasasi cairan ke dalam rongga alveolar. Sel tipe II berbentuk kuboid dan jumlahnya lebih sedikit, 10 % di permukaan alveoli dan berfungsi sebagai produksi surfaktan, transport ion dan mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel tipe I serta reabsorpsi cairan di dalam rongga alveoli. Cairan edema yang mengandung bahan protein, merupakan ciri dari ALI/ARDS akibat dari gangguan pada kedua komponen membrane alveolar-kapiler, berupa hilangnya fungsi barier dan resorpsi cairan (Suratt and Parsons, 2006)

Leukosit dan mediator Peran neutrofil sejak lama telah diketahui pada fase akut ALI/ARDS. Predominasi neutrofil dengan pelepasan bahan oksidan dan protease di cairan edema paru serta cairan BAL. Neutrofil direkrut ke dalam paru oleh mediator seperti lipopolisakharida (pada sepsis kuman gram-negatif) dan molekul seperti fragmen komplemen, faktor lipid dan sitokin. Peran sitokin diawali dengan pelepasan tumor necrosis faktor- (TNF-) dan interleukin- (IL-) yang disebut sitokin respons awal. Kedua sitokin ini bekerja pada leukosit dan sel lainnya seperti epitel alveoli, endotel dan fibroblas untuk memulai suatu rangkaian sitokin sekunder serta untuk melepas bahan lainnya yang akan menguatkan sinyal inflamatori. Sitokin sekunder yang bekerja pada neutrofil adalah sitokin CXC (terutama IL-8) dan monosit (sitokin CC, misalnya macrophage inflammatory protein-1) yang bekerja mengaktifkan dan merekrut sel-sel tersebut. Juga sitokin yang mengaktifkan endotel vaskuler di paru akan mengekspresikan molekul adhesi leukosit (Matthay dan Zimmerman, 2005). Aktivasi neutrofil dan endotel vaskuler menyebabkan neutrofil menempel pada endotel kapiler yang mengalami jejas dan bergerak menepi (marginating) melalui interstitium ke dalam rongga alveol yang terisi dengan cairan edema kaya protein. ALI/ARDS dapat terjadi pada penderita neutropenia dan beberapa hewan coba dengan ALI merupakan proses neutrofil-independen. Neutrofil mempunyai peran penting dalam pertahanan inang pada keadaan ALI/ARDS, suatu faktor yang dapat menerangkan mengapa pemberian antiinflamatori tidak memberi hasil (Ware and Matthay, 2000). Variasi genetik pada sitokin dan reseptornya mempengaruhi ekspresi ALI/ARDS. Polimorfism pada gen untuk (TNF-) mempengaruhi meningkatnya kepekaan dan mortaliti ALI/ARDS. Polimorfism lainnya pada mediator pro dan anti-inflamatori serta reseptor seperti antagonis reseptor IL-1 dan toll-like receptor-4 (reseptor untuk lipopolisakharida) mempengaruhi manifestasi klinis sepsis dan juga ALI/ARDS (Suratt and Parsons, 2006).

Sitokin Suatu jaringan sitokin yang kompleks dan bahan pro-inflamatori lainnya mengawali dan menguatkan respons inflamatori pada ALI/ARDS. Sitokin pro-inflamatori dapat diproduksi lokal di paru oleh sel inflamatori, sel epitel paru atau fibroblas. Di dalam rongga alveolar, makrofag alveolar menghasilkan berbagai macam sitokin, interleukin 1, 6, 8 dan 10 (IL-1, IL-6, IL-8 dan IL-10) dan tumor necrosis faktor- (TNF-), yang bekerja lokal untuk merangsang kemotaksis dan mengaktifkan neutrofil. Sitokin lainnya juga disekresi oleh makrofag, termasuk IL-1, IL-6 dan IL-10. Molekul IL-10 juga dapat merangsang fibroblas untuk produksi matriks ekstraseluler. Neutrofil dapat melepaskan oksidan, protease, leukotrien dan molekul pro-inflamatori lainnya, seperti platelet activating factor (PAF). Sejumlah mediator anti-inflamatori juga terdapat di miliu alveolar, termasuk antagonis reseptor-interleukin-1, reseptor tumor necrosis factor, autoantibodi terhadap IL-8, sitokin IL10 dan IL-11. Molekul macrophage inhibitory factor (MIF) merupakan suatu sitokin regulator yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary anterior yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi di cairan BAL penderita. Sitokin ini meningkatkan produksi sitokin IL-8 dan TNF- dan dapat meniadakan hambatan glukokortikoid pada sekresi sitokin. Selain produksi sitokin proinfalamtori, juga balans antara mediator proinflamatori dan antiinflamatori mempunyai peran yang penting (Ware and Matthay, 2000; Matthay and Zimmerman, 2005).

Koagulasi dan Platelet Telah diketahui bahwa membran hialin intraalveolar dan trombi mikrovaskuler merupakan gambaran histologi akut ALI/ARDS yaitu deposit fibrin di paru dan dengan imbalans produksi dan degradasi molekul tersebut. Pada paru yang sehat, status fibrinolitik dipertahankan dengan kerja aktivator plasminogen urokinase, yang mengubah plasminogen menjadi faktor fibrinolitik, plasmin. Plasmin akan memecah fibrin. Pada paru yang sakit balans ini terganggu dengan bocornya faktor koagulasi ke dalam interstitium dan rongga alveoli. Keadaan imbalans ini disertai ekspresi molekul prokoagulan oleh endotel yang sakit dan komponen epitel serta peningkatan inhibitor fibrinolisis (seperti plasminogen activator-1 atau plasminogen-activator inhibitor type-1 [PAI-1]) mengakibatkan aktivitas prokoagulan tanpa ada yang menghalangi. Pembentukan fibrin ini akan menyebabkan gangguan keseimbangan ventilasi-perfusi. Deposisi fibrin dan trombin ini, yang menguatkan ekspresi molekul adhesi pada kedua sel dan pada endotel, meningkatkan permiabilitas kapiler. Juga aktivasi ini menyebabkan pelepasan lebih lanjut TNF- dan IL1- dan sitokin lainnya seperti IL-8, yang selanjutnya

akan mengaktivasi neutrofil dan endotel vaskuler secara langsung untuk meningkatkan respons inflamatori. Platelet juga mempunyai efek pro-inflamatori yang sama pada ALI/ARDS, tetapi juga mempunyai efek memperbaiki kebocoran kapiler, sehingga efek keseluruhannya belum jelas. Peran genetik polimorfism pada protein koagulasi seperti PAI-1 dan trombospondin menyebabkan variasi pada kadar sitokin pro-inflamatori serta keadaan klinis pada penderita sepsis dengan ALI/ARDS (Matthay and Zimmerman, 2005).

Surfaktan Peran lain pada patofisiologi ALI/ARDS adalah disfungsi surfaktan. Surfaktan merupakan kompleks lipoprotein terdiri dari fosfolipid, lipid netral dan protein surfaktan (SPA, B, C dan D) dan disekresi oleh epitel alveolar tipe II yang membatasi permukaan alveolar. Berfungsi biologis dan imunologis yang menurunkan tegangan permukaan pada perbatasan udara dan cairan (mempertahankan patensi alveoli) serta ikut pada respons imun inat. Pemeriksaan BAL pada penderita ALI/ARDS menunjukkan perubahan surfaktan pada fase awal, komposisi dan influks cairan edema serta protein serum ke dalam alveoli. Keadaan ini diperburuk dengan jejas pada epitel tipe II, sehingga menyebabkan gangguan instabilitas dan kolaps alveoli serta mengubah fungsi imunnya. Kolapsnya alveoli menurunkan komplains paru, memperburuk hipoksemia dan menarik cairan edema lebih banyak masuk ke dalam alveoli mengakibatkan suatu lingkaran disfungsi lebih lanjut dari surfaktan serta edema alveoli. Genetik polimorfism pada protein SP-B menyebabkan resiko lebih besar terjadinya ALI/ARDS, sehingga disfungsi surfaktan mungkin dipengaruhi oleh mekanisme jejas dan faktor inang (Ware and Matthay, 2000; Suratt and Parsons, 2006).

Ventilator-induced Lung Injury ALI yang disebabkan ventilator mekanik pada hewan coba disebut ventilator-induced lung injury (VILI). Sedangkan ventilator-associated lung injury (VALI) adalah lung injury yang mirip ARDS dan terjadi pada penderita yang menggunakan ventilator mekanik. Telah diketahui sejak lama bahwa terdapat efek toksik yang potensial pada penggunaan oksigen dengan fraksi tinggi. Penggunaan ventilator dengan volume dan tekanan tinggi dapat menimbulkan jejas pada paru, menyebabkan peningkatan permiabilitas edema paru di bagian paru yang tidak sakit dan meningkatkan edema paru di bagian paru yang sakit. Pada pemeriksaan radiologi diketahui adanya heterogenitas dari patensi alveoli pada keadaan ini. Selama siklus volume tidal terdapat tiga area, yaitu area yang terisi penuh cairan merupakan area kolaps, area paten yang mengalami overdistensi pada inspirasi dan area atelektasis yang

mengalami buka dan tutup berulang karena instabiliti alveoli. Dengan demikian pada penggunaan ventilator terjadi overdistensi berulang pada alveoli yang paten dan shear injury pada area yang mengalami atelektasis siklis. Keadaan ini menimbulkan sinyal inflamatori lokal dan sistemik, gangguan langsung pada membran alveol-kapiler dan gangguan klirens cairan alveolar. Sitokin inflamatori termasuk IL-6 dan IL-8 dilepaskan ke dalam paru dan darah selama penggunaan ventilator pada ALI/ARDS. Juga dengan volume tidal yang tinggi, dapat terjadi jejas mekanik langsung pada membran alveol-kpiler dan aktivasi endotel alveolar serta dapat mengurangi klirens edema alveoli melalui perubahan fungsi pneumosit tipe II (Piantadosi and Schwartz, 2004; Ramnath and Thompson, 2006).

Fibrosing Alveolitis Beberapa penderita setelah fase akut ALI/ARDS mengalami penyembuhan tanpa komplikasi dan mengalami resolusi dengan cepat. Dapat juga berkembang menjadi jejas paru fibrotik, yang dapat dilihat sejak 5-7 hari setelah kelainan mulai. Rongga alveolar menjadi penuh terisi dengan sel mesenkim dan produknya, bersama dengan pembuluh darah baru. Adanya fibrosing alveolitis (FA) berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. Penderitanya meninggal dengan akumulasi kolagen dan fibronektin di dalam parunya pada autopsi. Nampaknya proses FA timbul sejak awal terjadinya kelainan dan diperlancar oleh mediator proinflamatori dini seperti IL-1. Kadar peptida prokolagen III, suatu precursor dari sintesis kolagen, meningkat jumlahnya sejak awal penyakit di kompartemen alveolar, bahkan pada saat intubasi dan mulainya ventilator. Munculnya prokolagen III yang dini di dalam rongga alveolar berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian (Gambar 1) (Ware and Matthay, 2000). Transfusion-related acute lung injury Transfusion-related acute lung injury (TRALI) merupakan diagnosis klinis apabila 6 jam setelah transfuse dengan produk darah terjadi ALI/ARDS (tanpa adanya risiko lainnya untuk ARDS). Insidens TRALI sebanyak 1:5000 transfusi produk darah dan kemungkinan terjadinya ALI akibat tranfusi produk darah (TRALI) lebih banyak, karena mungkin ringan berupa penurunan sedikit saturasi oksigen sehingga tidak terdiagnosis. Semua produk darah yang mengandung plasma dapat menimbulkan TRALI, termasuk whole blood, PRBC, fresh frozen plasma (FFP), whole blood platelets, apheresis platelets, dan lebih jarang yaitu intravena immunoglobulin dan cryoprecipitate. Penyebab terbanyak ALI/ARDS adalah produk darah dengan fraksi plasma terbanyak yaitu FFP dan platelet (Looney, 2006).

Gambar 1. Patogenesis ARDS (Ware dan Matthay, 2000)

Resolusi Cara yang dapat mempercepat terjadinya resolusi keadaan ini sama pentingnya dengan proses yang dapat mengurangi jejas paru inflamatori dini. Pengurangan edema alveolar terjadi melalui transport aktif Na dan Cl dari rongga paru distal ke dalam interstisium, sedangkan air dialirkan secara pasif melalui kanal air transeluler akuaporin yang terutama terdapat pada sel tipe I. Kemampuan mengalirkan cairan alveoli ini berkaitan dengan perbaikan oksigenasi, waktu penggunaan ventilator yang lebih pendek dan kemungkinan untuk penyembuhannya. Pembersihan protein tak larut mempunyai peranan penting, Karena membrane hialin merupakan kerangka yang baik untuk terbentuknya jaringan fibrosis. Protein tak larut ini dibersihkan melalui endositosis dan transitosis oleh epitel elveoli serta fagositosis oleh makrofag. Protein terlarut dibersihkan melalui difusi antar sel epitel alveoli (Hudson and Hough, 2006). Sel tipe II merupakan progenitor untuk re-epitelialisasi dinding alveoli yang mengalami denudasi. Sel-sel tersebut berproliferasi untuk menutup keadaan denudasi pada membrane basalis, berdiferensiasi menjadi sel tipe I, memulihkan arsitektur dari alveolar dan meningkatkan kemampuan epitel alveolar untuk transport cairan. Proliferasi ini dikendalikan oleh factor pertumbuhan epitel yaitu keratinosit dan hepatocyte growth factors.

Ventilator Mekanik Penggunaan volume tidal pada penderita ARDS selama kurun waktu duapuluh tahun ini menurun dari > 12 ml/kgBB pada tahun 1970an menjadi < 9 ml/kgBB. Pada tahun 2000 penelitian ARDS Network mendapatkan bahwa volume tidal 5 ml/kgBB dengan tekanan plateau yang dibatasi sampai 30 cmH2O, menurunkan angka mortalitas dari 40 % menjadi 31 %. Penelitian ARDS Network berikutnya pada tahun 2004 tidak mendapat perbedaan pada penggunaan dengan tekanan PEEP yang lebih rendah dari 8,3 cmH2O dibandingkan dengan tekanan PEEP yang lebih tinggi 13,2 cmH2O ( Haitsma, 2006)

Prone Ventilasi Pada ARDS, hipoksemia yang terjadi terutama akibat perfusi bagian paru yang letaknya di bagian bawah (dependent), bagian yang mengalami atelektasis atau konsolidasi dengan akibat ketidakseimbangan V/Q atau shunt. Melakukan reposisi dari posisi terlentang (supine) menjadi posisi tiarap (prone) dapat mengubah densitas paru ( dideteksi dengan CTscan) yang terdapat di bagian posterior menjadi di paru bagian anterior. Beberepa penelitian mendapatkan perbaikan oksigenasi dengan cara ini pada 75 % penderita. Juga terdapat

reduksi pada shunt sebanyak 11 %. Dan peningkatan sebanyak 12 % pada unit dengan V/Q normal. Setelah beberapa jam pada posisi tiarap, penderita tetap dalam perbaikan oksigenasinya setelah dikembalikan pada posisi terlentang. Dengan menggunakan tempat tidur yang dapat diputar, posisi penderita juga dapat diubah-ubah, dapat diperoleh perbaikan oksigenasi pada penderita ARDS. Walaupun posisi tiarap dapat memperbaiki oksigenasi, penggunaan secara rutin pada gagal nafas akut belum dapat dibenarkan. Posisi tiarap mungkin bermanfaat untuk penderita dengan hipoksia berat (Anzueto and Guntapalli,2006; Haitsma, 2006).

Penggantian Surfaktan Gangguan fungsi surfaktan memiliki peran yang jelas dalam perkembangan ARDS. Penggunaan surfaktan pada penderita ARDS sulit untuk menunjukkan hasil yang baik. Exosurf, suatu surfaktant sintetis diberikan secara nebulisasi dalam suatu penelitian multicenter. Hasilnya tidak dapat menunjukkan adanya perbedaan mortalitas antara exosurf dengan placebo pada penderita septic ARDS. Suatu bahan surfaktan dari hewan sapi survanta (beractant) diberikan melalui pipa endotrakeal, menunjukkan adanya hubungan antara dosis dengan menurunnya mortaliitas. Walaupun penggantian surfaktan adalah pada fisiologi pernafasan, terdapat bukti in vitro bahwa surfaktan menghambat sekresi sitokin oleh makrofak alveolar, dengan demikian mungkin dapat mengurangi imflamasi alveolar pada ARDS. Sampai saat ini penggunaan surfaktan eksogen belum dapat direkomendasikan secara rutin untuk ALI/ARDS (Anzueto and Guntapalli,2006; Haitsma, 2006).

Partial Liquid Ventilation dengan Perfluorocarbon Perfluorocarbon adalah suatu bahan kimia organic perfluorochemical dengan delapan atom karbon, merupakan bahan cair yang nonkompresibel, mempunyai afinitas tinggi terhadap oksigen dan korbondioksida dan mempunyai sifat seperti surfaktan. Pengisian paru dengan bahan ini akan menyebabkan rekrut dari alveolar yang kolap dengan cairan sehingga mencegah pembukaan dan penutupan siklik dari alveolar. Mungkin diperkirakan dapat

membantu dalam kerusakan paru. ( Anzueto and Guntapalli, 2006). Kacmarek dan kawankawan mendapatkan bahwa pada saat ini belum dapat merekomendasikan penggunaan untuk ARDS ( Kacmarek, 2006)

Pembatasan Cairan Keadaan ARDS ditandai dengan meningkatnya 2-3 kali cairan paru ektravaskular ( extravascular lung water) ( EVLW) dibandingkan dengan orang normal. Akumulasi cairan pada ARDS terjadi karena meningkatnya permaibilitas vascular serta meningkatnya perfusi atau tekanan hidrostatik. Terdapat hubungan antara intake cairan kumulatif, berat badan, serta prognosa yang jelek. Dieresis atau retriksi cairan dapat memperbaiki fungsi paru tetapi dapat membahayakan organ ektrapulmonal. Penelitian ARDS Network dan beberapa penelitian membandingkan managemen cairan yang dibatasi dengan yang lebih bebas pada penderita ARDS. Walaupun secara statistic tidak bermakna, angka mortalitas pada cara retriksi lebih rendah. Terdapat perbaikan fungsi paru dan penggunaan ventilator serta perawatan di ICU yang lebih pendek tanpa meningkatkan kegagalan organ nonpulmonal. ( Wiedemann et al, 2006). Saat ini terdapat kecendrungan untuk memakai restriksi cairan dan penggunaan diuretika ( Haitsma, 2006)

Kortikosteroid Sehubungan dengan mekanisme inflamatori pada ARDS, banyak yang menggunakan kortikosteroid sebagai pengobatannya. Pada awal tahun 1980 beberapa penelitian menggunakan kortikosteroid dosis tinggi untuk terapi shock septic dengan hasil yang negative. Tidak didapatkan perbaikan pada oksigenasi complains, skor foto thoraks atau pulmonary artery pressure serta jumlah yang lebih sedikit kasus yang sembuh dari ARDS dari pada pemberian dengan placebo. Annane dan kawan-kawan dengan steroid dosis kecil, mendapat perbaikan pada shock septic yang nonrespon pada uji dengan kortikotropin, tetapi tidak mendapat perbaikan pada mereka yang member respone pada uji kortikotropin dan penderita bukan shock septic ( Annane et al, 2006). Juga penelitian ARDS Network pada 180 penderita, pemberian metilprednisolone berhubungan dengan meningkatnya kematian pada hari ke 60 dan hari ke 180 ( steinberg et al, 2006). Medun dan kawan-kawan menggunakan metilprednisolon infuse 1 mg/kgBB/hari dengan dosis menurun selama 28 hari. Terdapat penurunan respone inflamasi dengan perbaikan disfungsi organ paru dan ektrapulmonal serta pengurangan penggunaan ventilator di ICU ( Menduri, 2007). Masih diperlukan penelitian lainnya untuk menjelaskan peran kortikosteroid pada ADRS (Haitsma 2006).

Summary Acute Lung Injury (ALI) and Acute Respiratory Distress Syndrome are the complex response of the lung to direct or indirect insult characterized by sudden onset severe hypoxemia, radiographic evidence of bilateral infiltrates and absence of left heart failure. The most commons cause of ARDS is sepsis (including pneumonia), but severe trauma, and aspiration of gastric contents are also independent risk factors. Tranfusion-related Acute Lung Injury (TRALI), the Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) and H5N1 Influenza are also recently described as cause of ALI/ARDS. The pathofisiology of ALI/ARDS represent a complex and protean expression of multiple processes culm nating in a common end point. ARDS should be seen as a systemic disease therefore systemic management in most importantand must focus primarily on treatment of the underlying cause (e.g the causing the sepsis). Other treatment are primarily supportive.

Você também pode gostar