Você está na página 1de 193

Tradisi Natal Kaum Kafir Rabu, 07 Januari 2004 Natal merupakan tradisi kafir (pagan) di Romawi.

Literatur menyebutkan, 25 Desember merupakan peringatan Dewa Matahari yang dikenal sebagai Sol Invictus. Baca CAP ke-38 Adian Husaini, MA Remi Silado, seorang budayawan Kristen, menulis kolom yang menarik di majalah Gatra, edisi 27 Desember 2003. Judulnya "Gatal di Natal". Beberapa kutipan kolomnya kita petik di sini: (1) "Sebab, memang tradisi pesta ceria Natal, yang sekarang gandrung dinyanyikan bahasa kereseh-reseh Inggris, belum lagi terlembaga. Sapaan Natal, "Merry Christmas" --dari bahasa Inggris Lama, Christes Maesse, artinya "misa Kristus"-- baru terlembaga pada abad ke-16, dan perayaannya bukan pada 25 Desember, melainkan 6 Januari." (2) "Dengan gambaran ini, keramaian Natal sebagai perhitungan tahun Masehi memang berkaitan dengan leluri Barat, istiadat kafir, atau tradisi pagan, yang tidak berhubungan dengan Yesus sendiri sebagai sosok historis-antropologis bangsa Semit, lahir dari garis Ibrahim dan Daud, yang merupakan bangsa tangan pertama yang mengenal monoteisme absolut lewat Yehwah." (3) Saking gempitanya pesta Natal itu, sebagaimana yang tampak saat ini, karuan nilai-nilai rohaninya tergeser dan kemudian yang menonjol adalah kecenderungan-kecenderungan duniawinya semata: antara lain di Manado orang mengatakan "makang riki puru polote en minung riki mabo" (makan sampai pecah perut dan minum sampai mabuk). (4) "Demikianlah, soal Natal sekali lagi merupakan gambaran pengaruh Barat, dan persisnya Barat yang kafir, yang dirayakan dengan keliru." Kritikan tajam terhadap budaya Natal dari kalangan Kristen itu sebenarnya sudah banyak dilakukan. Seorang pendeta bernama Budi Asali M.Div., menulis artikel panjang tentang Natal berjudul Pro-Kontra Perayaan Natal, dan disebarluaskan melalui jaringan internet. Pendeta ini membuka tulisannya dengan ungkapan: "Akhir-akhir ini makin banyak orang-orang kristen yang menentang perayaan Natal, dan mereka menentang dengan cara yang sangat fanatik dan keras, dan menyerang orang-orang kristen yang merayakan Natal. Kalau ini dibiarkan, maka Natal bisa berkurang kesemarakannya, dan menurut saya itu akan sangat merugikan kekristenan. Karena itu mari kita membahas persoalan ini, supaya bisa memberi jawaban kepada orang-orang yang anti Natal." Jelas, banyak kalangan Kristen yang "anti-Natal", meskipun mereka tenggelam oleh gegap gempita peringatan Natal, yang begitu gemerlap. Di Malaysia, 27 Desember 2003, ada perayaan Natal Bersama di Lapangan Olahraga Kinabalu, Sabah, yang dihadiri ratusan ribu orang. Selain ada pawai lampion, nyanyi-nyanyi lagu-lagu Natal, ada juga acara peragaan busana batik, yang dilakukan oleh

beberapa peserta lomba ratu kecantikan dari berbagai negara. Acara ini disiarkan langsung oleh TV1 Malaysia. Seperti halnya di berbagai belahan dunia lainnya, sosok Santaklaus sudah jauh lebih popular daripada sosok Jesus. Pohon cemara yang sulit dicari di Palestina, sudah menjadi simbol Natal. Sebenarnya, jika ditelusuri, kisah Natal itu sendiri sangat menarik. Bagaimana satu tradisi kafir (pagan) di wilayah Romawi kemudian diadopsi menjadi tradisi keagamaan Kristen. Banyak literatur menyebutkan, bahwa tanggal 25 Desember memang merupakan hari peringatan Dewa Matahari yang di Romawi dikenal sebagai Sol Invictus. Setelah Constantine mengeluarkan the Edict of Milan, pada 313 M, maka ia kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan keagamaan yang mengadopsi tradisi pagan. Pada 321, ia memerintahkan pengadilan libur pada hari "Hari Matahari" (sunday), yang dikatakan sebagai "hari mulia bagi matahari". Sebelumnya, kaum Kristen - sama dengan Yahudi menjadikan hari Sabbath sebagai hari suci. Maka, sesuai peraturan Konstantine, hari suci itu diubah, menjadi Sunday. Sampai abad ke-4 M, kelahiran Jesus diperingati pada 6 Januari, yang hingga kini masih dipegang oleh kalangan Kristen Ortodoks tertentu. Namun, kemudian, sebagai penghormatan terhadap Dewa Matahari, peringatan Hari Kelahiran Jesus diubah menjadi 25 Desember. Ada sebagian kalangan Kristen yang berargumen, bahwa tanggal 25 Desember itu diambil supaya perayaan Natal dapat menyaingi perayaan kafir tersebut. Tetapi, apa yang terjadi sekarang, tampaknya seperti yang dikatakan oleh Remi Silado, bahwa perayaan Natal sudah didominasi oleh tradisi perayaan kaum kafir. Maka, muncullah, di kalangan Kristen, gerakan untuk menentang perayaan Natal pada 25 Desember. Apalagi ada yang kemudian melihat, penciptaan tokoh Sinterklass, sebenarnya merupakan bagian dari rekayasa Barat untuk melanggengkan hegemoni imperialistiknya, yakni ingin menciptakan image, bahwa Barat adalah dermawan, baik hati, suka bagi-bagi hadiah, seperti Sinterklas itu. Begitulah bagian dari tradisi Kristen. Kaum Muslim seyogyanya mengambil ibrah dari kisah ini, dan kemudian tidak menjadi latah untuk mengambil apa saja yang datang dari kaum Kristen, yang sebenarnya mereka sendiri juga mengadopsi tradisi itu dari kaum kafir pagan (penyembah berhala). Di dalam Islam, ada hal yang menarik jika dicermati, bagaimana dalam soal perayaan Hari Besar, sejak awal mula, Rasulullah saw sudah memberikan garis yang tegas, agar kaum Muslim merayakan hari besarnya sendiri. Jangan meniru-niru atau mengambil hari yang sama dengan kaum musyrik atau kaum Yahudi dan Nasrani. Dalam Islam ada satu batasan yang ketat dalam soal ibadah, bahwa haram hukumnya melakukan ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw. Islam memiliki Kitab Suci yang terpelihara terjada otentisitasnya. Bahkan, sikap dilarang meniru-niru tradisi kaum kafir itu sangat ditekankan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam sehari, minimal 17 kali, di dalam salat wajib, kaum Muslim selalu meminta petunjuk kepada Allah agar diberi petunjuk jalan yang lurus, dan dijauhkan dari jalan kaum yang dimurkai

Allah dan jalan kaum yang sesat. Karena itulah, Islam memiliki tata cara ubudiyah yang terjaga. Kitab suci Islam, tetap berbahasa Arab, sampai sekarang, dan bahasa ritual Islam adalah bahasa Arab.Ini yang tidak dimiliki kaum Kristen. Sebab, kalangan sejawaran Kristen masih berdebat tentang bahasa Ibu dari Jesus itu sendiri, apakah bahasa Syriac, Aramaic, Greek, Hebrew. Bahkan ada yang menyebut mungkin bahasa Ibu Jesus adalah bahasa Latin. Ketika berbicara tentang teks Bible, muncul lebih banyak masalah lagi. Perjanjian Baru (New Testament) ditulis dalam bahasa Greek. Remi Silado mencatat bahwa Injil sekarang diterjemahkan ke dalam semua bahasa, yaitu 2.062 bahasa di dunia dan 135 bahasa di Indonesia. Gereja Vatikan sendiri sekarang tidak lagi menggunakan bahasa Greek (Yunani) sebagai bahasa ritual keagamaan, tetapi menggunakan bahasa Latin.Padahal, banyak keterbatasan bahasa Latin dalam terjemahan dari bahasa Greek. Dalam buku the Early Versions of the New Testaments karya Bruce M. Metzger (Oxford: Clarendon Press, 1977), disebutkan sejumlah teks Bible awal, seperti Syriac versions, Coptic versions, Armenian versions, Georgian versions, Ethiopic versions, Arabic versions, Latin versions, Gothic versions, dan beberapa bahasa Eropa lainnya. Bonifatius Fischer, dalam tulisannya berjudul, "Limitation of Latin in Representing Greek", yang dimuat dalam buku Metzger ini mencatat, "Although the Latin language is in general very suitable for use in making a translation from Greek, there still remain certain features which can not be expressed in Latin." (hal. 362-365). Jadi, meskipun bahasa Latin cukup memadai sebagai terjemahan dari Bible bahasa Yunani, tetapi tetap ada banyak hal yang tidak mampu diekspresikan oleh bahasa Latin. Ini sebenarnya problema dari setiap terjemahan. Karena itulah, sehingga kini, ada ulama yang mengharamkan menerjemahkan al-Quran. Yang boleh adalah menafsirkan al-Quran. Sekalipun disebut sebagai terjemahan al-Quran, teks asalnya tetap terjaga, dan bahasa Arab masih tetap terjaga hingga sekarang, karena adanya al-Quran ini. Bahkan, bahasa Hebrew modern saat ini pun, dikembangkan dengan asas tata bahasa dan kosa kata bahasa Arab. S.D. Goitein, seorang professor Yahudi mengakui, bahwa bahasa Yahudi, pemikiran Yahudi, hukum Yahudi, dan filsafat Yahudi, disusun di bawah pengaruh Muslim-Arab. ("There, under Arab-Muslim influence, Jewish thought and philosophy, and even Jewish law and religious practice were systematized and finally formulated. Even the Hebrew language developed its grammar and vocabulary on the model of the Arab language." (Lihat bukunya, yang berjudul Jews and Arabs, Their Contacts through the Ages, (New York: Schocken Books, 1974). Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Injil. Satu bukunya berjudul "The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration" (Oxford University Press, 1985). Jadi, memang ada korupsi dalam penyusunan teks Bible ini. Dalam bukunya yang lain, yang berjudul "A Textual Commentary on the Greek New Testament", (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya.

Inilah realitas Bible yang dinyatakan oleh seorang sarjana terkemukanya. The Encyclopaedia of Religion juga memberikan paparan yang cukup jelas tentang transmisi dan kodifikasi teks Bible ini. Problema teks Bible inilah yang kemudian dicoba dibawa-bawa ke dalam teks al-Quran oleh sebagian kalangan Muslim. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, sudah menyatakan, "sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur'an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur'an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)." (Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77). Lalu, website www.islamlib.com pada 17-11-2003 meluncurkan artikel berjudul Merenungkan Sejarah Alquran tulisan seorang dosen Universitas Paramadina, yang antara lain memuat ungkapan berikut: "Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik katakatanya (lafdhan) maupun maknanya (ma'nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (alkhayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa." Serangan terhadap al-Quran dari kalangan sarjana Muslim sendiri, belum pernah dihadapi oleh kaum Muslim Indonesia sepanjang sejarahnya. Jadi, bisa dikatakan, ini merupakan babak baru dalam sejarah Islam Indonesia. Memang, al-Quran sudah menggariskan, bahwa Islam akan senantiasa diserang. (QS 2:120, 217). Namun, belum pernah terjadi dalam sejarah kaum Muslim Indonesia, muncul begitu ramai cendekiawan (ulama) dan misionaris Kristen pada waktu bersamaan menggugat dan menyerang otentisitas al-Quran. Jika al-Quran, fondasi Islam utama, diserang, maka unsur-unsur bangunan Islam lainnya - hadith, ijma', sunnah sahabat, otoritas ulama - akan dengan mudah diruntuhkan. Ini memang era baru. Sama dengan saat Belanda menjejakkan kakinya pertama di Banten, 1596. Serangan terhadap al-Quran dilakukan dengan sangat serius dan menyita energi yang sangat besar. Sudah ratusan tahun hal ini disiapkan. Para penyerang itu menguasai ilmu-ilmu tentang a-Quran. Biasanya, para orientalis ini memahami bahasa Arab, Inggris, Hebrew, Syriac, dan mungkin beberapa bahasa lain. Tak hanya itu, bahan-bahan dalam bentuk manuskrip pun sudah mereka boyong ke Barat. Dan yang lebih hebat, mereka sudah didik anak-anak Muslim untuk belajar dan menguasai jurus-jurus serangan terhadap al-Quran - dari berbagai sudut. Tentu, serangan dari dalam tubuh umat Islam akan membawa dampak yang jauh lebih dahsyat terhadap umat. Menghadapi semua ini, kaum Muslim tidak cukup hanya melakukan aksi demonstrasi. Ini memang

aksi intelektual, dan wajib dihadapi dengan cara yang sama. Wallahu a'lam. (KL, 31 Desember 2003). Membongkar Konsep Dasar al-Quran Senin, 12 Januari 2004 Nasr Hamid yang melakukan kritik terhadap teks al-Quran, banyak persamaan dengan fenomena dalam tradisi Kristen yang begitu digemari para sarjana Muslim. Baca di CAP Adia Husaini, MA ke39 Pada tanggal 27 Desember 2003, Harian Republika menurunkan artikel saya yang berjudul Mendudukkan Tradisi. Seminggu kemudian, 3 Januari 2004, muncul tanggapan terhadap artikel tersebut dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Indonesia yang sedang belajar di Department of Comparative Religion, Western Michigan University. Ia juga penulis buku berjudul Nasr Hamid Abu Zaid dan Kritik Teks Keagamaan. Salah satu masalah yang mendapat sorotan adalah kritik terhadap Nasr Hamid Abu Zaid oleh Dr. Mustha Tajudin, pakar Ulumul Quran asal Maroko, yang sekarang mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. Musthafa yang pernah berdebat secara terbuka dengan Nasr Hamid di Maroko memberikan kritikan tajam terhadap pendapat-pendapat Nasr Hamid. Karena sosok Nasr Hamid itu sekarang sangat popular di dunia internasional, termasuk di Indonesia, maka kiranya perlu kita pahami sedikit latar belakang kehidupannya. Beberapa bukunya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ia memang menekuni bidang Bahasa Arab dan Ulumul Quran. Meskipun kemudian melarikan diri dari Mesir ke Belanda, namun dalam satu wawancara, dia menyatakan bangga, karena telah mendidik banyak cendekiawan, termasuk beberapa dari Indonesia. Tahun 1972, ia menjadi asisten dosen di Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Kairo. Pada tahun 1975-1977, ia mendapat bantuan beasiswa dari Ford Foundation untuk studi di Universitas Amerika Kairo. Lalu, tahun 1978-1979 ia belajar di Universitas Pennsylvania, Philadelphia USA. Berbeda dengan banyak ulama atau cendekiawan Muslim, Nasr Hamid banyak menulis tentang kritik terhadap teks al-Quran, satu studi yang biasa dilakukan terhadap Bible. Tentu, bagi kaum Muslim, kritik teks (textual Criticism) terhadap al-Quran adalah sesuatu yang aneh. Studi tentang kritik teks Bible memang telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement. Maka, jika teks-teks Bible sudah begitu banyak dikritisi, muncul pertanyaan di kalangan orientalis, mengapa teksteks al-Quran tidak dapat diperlakukan yang sama? Menurut mereka, bukankah al-Quran juga sebuah teks? Apa bedanya dengan Bible? Toby Lester dalam The Atlantic Monthly, Januari 1999, mengutip pendapat Gerd R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji al-Quran, yang menyarankan perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan al-Quran. So many Muslims have this belief that everything between the two covers of the Koran is just Gods unaltered word, (Dr. Puin) says. They like to quote the textual work that shows that The

Bible has a history and did not fall straight out of the sky, but until now the Koran has been out of this discussion. The only way to break through this wall is to prove that the Koran has a history too. Jadi, orang seperti Lester ini ingin agar kaum Muslim melepaskan keyakinannya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah) yang tidak berubah. Untuk menjebol tembok keyakinan umat Islam itu, menurut Puin, maka harus dibuktikan bahwa al-Quran juga memiliki aspek kesejarahan. Aspek historisitas al-Quran inilah yang harus ditekankan. Disamping merujuk kepada sederet orientalis, Lester juga menyatakan kegembiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang telah melakukan usaha revisi terhadap paham tentang teks al-Quran sebagai kalam Allah. Diantaranya, ia menyebut nama Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoen, dan beberapa lainnya. Michael Cook, dalam bukunya, The Koran: A Very Short Introduction, (2000:44), mengutip pendapat Nasr Hamid yang dia tulis sebagai a Muslim secularist tentang al-Quran sebagai produk budaya: If the text was a message sent to the Arabs of the seven century, then of necessity it was formulated in a manner which took for granted historically specific aspects of their language and culture. The Koran thus took shape in human setting. It was a cultural product a phrase Abu Zayd used several times (Pendapat Lester dan Cook dikutip dari buku The History of the Quranic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, karya Musthafa Azhami (2003). Dalam melakukan kajian terhadap al-Quran, disamping merujuk kepada pendapat-pendapat Mutazilah, Nasr Hamid banyak menggunakan metode yang disebut sebagai hermeneutic. Ia seorang hermeneut. The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsipprinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Salah satu prinsip penting dalam hermeneutika untuk memahami satu teks adalah menganalisis kondisi pengarang dari teks tersebut. Untuk Bible, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, sebab semua Kitab dalam Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, apa ada yang disebut sebagai pengarang al-Quran? Bapak hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Analisis terhadap faktor pengarang ini sangat penting untuk memahami teks. Tentang al-Quran, Nasr Hamid menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai penerima wahyu, pada posisi semacam pengarang al-Quran ini. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Mekkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Saad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui.

Dengan demikian, kata Nasr Hamid, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terhadap harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya, dan sejarah masyarakatnya. Tentang konsep wahyu dan Muhammad ini, ditulis dalam buku Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan (2003:70), Mereka memandang al-Quran setidaknya sampai pada tingkat perkataan bukanlah teks yang turun dari langit (surga) dalam bentuk kata-kata aktual sebagaimana pernyataan klasik yang masih dipegang berbagai kalangan --, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya. Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad saw diposisikan sebagai semacam pengarang al-Quran. Dan ini sebenarnya masih sejalan dengan pendapat para orientalis dan misionaris Kristen yang menyebut agama Islam sebagai agama Muhammad, dan hukum Islam disebut sebagai Mohammedan Law, umat Islam disebut sebagai Mohammedan. Tokoh misionaris terkenal Samuel M. Zwemmer, menyebut bukunya yang berjudul Islam: A Challenge to Faith (terbit pertama tahun 1907), sebagai studies on the Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From the standpoint of Christian Missions. Karena itu, mestinya penyebaran pendapat tentang al-Quran yang nyeleneh seperti itu dipikirkan dan didiskusikan secara serius dengan para ulama dan cendekiawan Muslim lainnya. Sebab, pendapat seperti ini membawa dampak yang serius dalam pemahaman tentang konsep dasar al-Quran. Sebagaimana ditulis dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia, bahwa Dengan pembongkaran ini, kajian atas al-Quran menjadi semakin menarik, merangsang perdebatan ini melahirkan konsep baru yang radikal terhadap eksistensi al-Quran. Pendapat Nasr dan kalangan dekontsruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang alQuran yang selama ini diyakini kaum Muslim, bahwa al-Quran, baik makna maupun lafaz-nya adalah dari Allah. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan seketika itu. Posisi beliau saw dalam menerima dan menyampaikan al-wahyu memang pasif, hanya sebagai penyampai apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau mashum. Al-Quran menyebutkan: Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS Al-Najm: 3). Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw hanyalah sebagai penyampai. Teks-

teks al-Quran memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tetapi, al-Quran tidak tunduk pada budaya. Al-Quran justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu yang baru. Istilah-istilah yang dibawa al-Quran, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi membawa makna baru, yang berbeda dengan yang dipahami kaum Musyrik Arab waktu itu. Kajian historisitas Kitab suci semacam ini pun sebenarnya telah berkembang lama dalam tradisi Bible. Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical Introduction to the New Testament, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd, 1979), menulis: That is why if we are to understand what the New Testament texts were meant to say by the authors when they were first written we must first understand the historical situation in which they were first written. Jadi, kata penulis buku ini, jika ingin tahu apa yang dimaksud oleh teks Perjanjian Baru oleh penulisnya, maka harus tahu kondisi sejarah saat kitab itu ditulis. Canon Sell (1839-1932), seorang misionaris Kristen di Madras, India, sudah lama menyarankan agar kajian kritis-historis terhadap alQuran dilakukan dengan menggunakan metodologi kritik Injil (Biblical Criticism). Sell sendiri, dalam karyanya Historical Development of the Quran sudah menggunakan metodologi higher criticism, untuk mengkaji historisitas al-Quran. (Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama terbit tahun 1928). Pertanyaan kita, apakah Nabi Muhammad saw menulis al-Quran? Sebagaimana Lukas, Markus, Matius, Johanes menulis Bible? Tentu tidak sama. Posisi dan kondisi teks al-Quran dan Bible itulah yang sebenarnya berbeda, sehingga tidaklah tepat jika metode interpretasi Bible yang disebut sebagai hermeneutika juga diterapkan tehadap al-Quran. Tetapi, sekarang sudah begitu banyak yang mengecam kitab-kitab tafsir para ulama dan mengajukan tafsir baru metode hermeneutika. Dalam sebuah buku hermeneutika yang terbit di Indonesia, penulisnya mencatat: Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Nasr Hamid yang seorang hermeneut, juga mengecam keras metode tafsir kaum Ahlusunnah yang didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat Nabi, Tabiin, dan tabiit tabiin. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nas Diraasah fii Uluum al-Quran: bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang didasarkan pada kuasa ulama kuno, yang mengaitkan makna teks dan signifikansinya dengan masa keemasan, kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu. Mereka menyusun sumbersumber pokok pengambilan tafsir pada empat hal yang dimulai dengan pengambilan dari Rasulullah saw, kemudian mengambil pendapat sahabat, lalu merujuk pendapat-pendapat tabiin, baru kemudian muncul tingkat keempat, dan terakhir yaitu tafsir bahasa. Fenomena Nasr Hamid dan para pendukungnya di Indonesia perlu dikaji secara serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. Mengapa pemikiran yang nyeleneh dan banyak persamaannya dengan fenomena serupa dalam tradisi Kristen itu begitu banyak digemari oleh kalangan sarjana Muslim. Beberapa diantaranya menjadi fanatik dan marah-marah kalau tokoh pujaannya dikritik. Dalam beberapa buku tentang Nasr Hamid yang terbit di Indonesia ditulis sejumlah pujian terhadapnya. Ia digambarkan sebagai sosok ilmiah, akademis, progresif, dan sebagainya, sementara pengritiknya diposisikan sebagai ortodoks, fundamentalis, dan sebagainya. Seolah-olah ia adalah

seorang mujtahid abad ke-21. Misalnya ditulis dalam sebuah buku tentang dia: Kendati ia harus diseret ke pengadilan dan diharuskan bercerai dengan istrinya karena dianggap keluar dari Islam, namun gairah intelektual tak pernah menyurutkan dirinya untuk berkarya. Dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia ditulis: Buku ini merupakan salah satu sayap penafsiran radikal yang menolak al-Quran didekati secara dogmatis-ideologis. Sebagai sanggahannya, penulis melakukan pembongkaran atas Konsep Teks dan Wahyu melalui metode analisis teks. Para pendukung Nasr Hamid bukanlah manusia sembarangan. Mereka rata-rata para sarjana agama dan beberapa diantaranya aktif di organisasi Islam terkenal. Ada yang sejak kecil hidup di pesantren dan berasal dari keluarga tokoh Islam. Memang sering muncul pertanyaan, mengapa orang yang sama-sama belajar al-Quran justru kemudian memiliki pandangan dan sikap yang berbeda-beda terhadap al-Quran? Secara ekstrim, banyak kasus semacam ini terjadi. Para orientalis begitu banyak yang mengkaji al-Quran, namun justru mereka ingin meruntuhkan otoritas al-Quran. Nama-nama Arthur Jefry, Noldeke, dan sebagainya, sudah sangat terkenal dalam kajian tentang alQuran. Arthur Jefry, misalnya, mendesak agar tafsir kritis terhadap teks al-Quran diwujudkan dengan menggunakan metode penelitian kritis modern. Jefry mengatakan, bahwa apa yang kita butuhkan, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Quran. Mestinya, karya-karya orientalis seperti ini dikritisi, sebab banyak diantara mereka yang memiliki misi dan motif tidak baik dalam mengkaji al-Quran. Musthafa Azhami dalam bukunya, The History of the Quranic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, membongkar habis-habisan serangan orientalis dan berbagai kalangan lain terhadap al-Quran. Fenomena semacam ini sekali lagi membuktikan, bahwa sedang terjadi proses liberalisasi yang sangat serius di dalam tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan cendekiawan dari kalangan kaum Muslim sendiri kini siap membongkar-bongkar apa yang selama ini telah selesai dalam konsep Islam. Tidak perlu orientalis atau misionaris yang turun tangan. Banyak diantara pelakunya yang kemudian mendapat keuntungan di dunia. Apalagi, penguasa dunia yang sedang berkuasa dan kaya raya, pun suka terhadap mereka. Wallahu alam Memahami Program Sekularisasi Partai Kristen Salah satu program PDS, satu-satunya partai Kristen di Indonesia adalah adalah menjamin pemisahan negara dengan agama. Kampanye sekularisme atu misi gereja? baca di CAP Adian Husaini, MA ke-41 Harian The Jakarta Post, edisi 26 Januari 2004, memuat profil Partai Damai Sejahtera (PDS), satu-satunya partai Kristen di Indonesia yang lolos seleksi sebagai kontestan Pemilu 2004. Beberapa program partai ini diantaranya adalah: kebebasan beragama dan proteksi terhadap kebebasan tersebut (Freedom of religion and protection for that freedom) dan menjamin pemisahan antara negara dengan agama (to ensure separation of state and religion).

Mengapa sebuah Partai Kristen memperjuangkan pemisahan agama dengan negara (sekularisasi)? Inilah yang perlu kita telusuri. Apakah ajaran Kristen memang memerintahkan seperti itu? Partai Damai Sejahtera (PDS) dipimpin oleh seorang pendeta Kristen fanatik bernama Ruyandi Hutasoit, yang oleh The Jakarta Post, disebutkan juga sebagai president of the Doulos Foundation, focusing on social services. Koran ini tampak tidak terbuka sepenuhnya dalam menjelaskan tentang Doulos foundation, atau Yayasan Doulos. Yayasan Doulos ini jelas bukanlah sekedar yayasan sosial semata. Kaum Muslim di Indonesia sudah sangat mengenal Doulos, yang merupakan yayasan misi Kristen, dan mempunyai target mengkristenkan masyarakat Indonesia. Perlu diingat, bahwa Komplek Kristen Doulos pernah diserang penduduk pada tanggal 16 Desember 1999, yang mengakibatkan komplek itu habis terbakar, seorang tewas, dan puluhan lainnya luka-luka. Komplek Kristen itu telah bertahun-tahun diprotes umat Islam, karena melakukan aksi Kristenisasi (pemurtadan) terhadap umat Islam. Pemda Jakarta Timur pun sudah memerintahkan agar Komplek itu ditutup. Yayasan Doulos yang berlokasi di Jalan Tugu No 3-4, Rt 04/04, Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur, sudah lama memicu kontroversi diantara warga setempat. Awal Oktober 1999, ratusan masyarakat setempat sudah membuat surat pernyataan yang ditujukan kepada Walikota Jaktim Andi Mapaganthy, yang isinya berkeberatan dengan keberadaan yayasan tersebut. Surat itu juga telah mendapat rekomendasi dari Muspika Kecamatan Cipayung Jaktim bernomor 231/1.75, tertanggal 11 Oktober 1999, yang isinya meminta agar kegiatan Yayasan Doulos segera ditutup. Dalam sebuah pertemuan di Balai Kecamatan Cipayung yang dihadiri sekitar 500 umat Islam, telah disampaikan tuntutan tersebut kepada pihak kecamatan, Danramil, dan Kapolsek. Yayasan Doulous oleh warga setempat dinilai telah melakukan proyek Kristenisasi terselubung, dengan berkedok pendirian RS Ketergantungan Obat, RS Jiwa, dan Sekolah Tinggi Theologia. Berdasarkan bukti-bukti aktivitas kristenisasi Yayasan Doluos tersebut dan keresahan warga setempat, maka Walikota Jaktim, melalui suratnya bernomor 3488/1.857.2, memerintahkan Yayasan Doulos untuk menghentikan kristenisasinya. Juga, Yayasan ini dianggap melanggar surat keputusan Ditjen Bimas Kristen Protestan No 5 tahun 1993 tanggal 29 Januari 1993. Di dalam diktum keempat keputusan tersebut, dinyatakan bahwa Yayasan Doulos tidak dibenarkan menjalankan fungsi dan tugas sebagai gereja dan atau mengarah kepada pembentukan gereja. Aktivitas Doluos pun dinilai bertentangan dengan SK Menteri Agama No 70 tahun 1978 tanggal 1 Agustus 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. Fakta tentang Yayasan Doulos in penting untuk dicatat, bahwa Doulos yang dipimpin oleh Ruyandi Hutasoit memang jelas-jelas merupakan kelompok misionaris Kristen. Adalah menarik, bahwa dalam

partai PDS, misi Kristen itu dengan halus disembunyikan. Bahkan, partai ini ikut-ikutan mendukung gerakan pemisahan agama dengan negara. Pemisahan agama dengan negara sebenarnya bertentangan dengan ajaran Kristen dan tidak dikehendaki oleh kaum Kristen yang taat beragama. Logisnya, setiap orang beragama, pasti bercitacita menjadikan negaranya dikelola dan diatur sesuai dengan ajaran agamanya. Dalam ceramahnya di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada tanggal 21 April 1970, Prof. Dr. Hamka, yang ketika itu menjadi ketua umum MUI, menyatakan, baik Islam maupun Kristen, harusnya tidak dapat mengkhayalkan negara yang terpisah dari agama, karena jika negara terpisah dari agama, hilanglah tempat dia ditegakkan. Islam memandang bahwa negara adalah penyelenggara atau pelayan atau khadam dari manusia. Sedang manusia adalah kumpulan dari pribadi-pribadi. Maka tidaklah dapat tergambar dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun terpisah dengan sendirinya dengan agamanya. Menurut Hamka, tidaklah mungkin orang yang benar-benar beragama menjadi sekuler, apa pun agamanya. Dikatakan oleh Buya Hamka di hadapan para tokoh dan aktivis Kristen: "Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara, agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang Kabinet, agamanya musti diparkirnya bersama mobilnya di luar. Dan kalau dia menjadi Kepala Negara haruslah jangan memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum. Simpan saja agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali. Saya percaya bahwa cara yang demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang memang tidak beragama. Sebab memang tidak ada pada mereka agama yang akan disimpan dirumah itu, atau diparkir di luar selama Sidang Kabinet". "Kalau dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di Sidang Kabinet, dalam hidup pribadi atau hidup bernegara. Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya bernegara, menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan yang diberikan negara kepadanya menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada. Begitulah dia, kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen." Hamka berkesimpulan, seorang Kristen yang benar, tidaklah akan mau menerima gagasan, kalau dengan gagasan itu mereka diajak memisahkan kegiatan hidup dengan yang diajarkan oleh Isa Almasih. Padahal, Almasih telah memerintahkan ummatnya untuk menegakkan Syariat Musa, dimana satu titik pun, satu noktah pun, tidak boleh diubah. Jadi ketiga agama langit, yaitu Islam dan Yahudi, dan Nasrani, sebenarnya merupakan agama aqidah dan syariat. Demikianlah pendapat Buya Hamka.

Di dalam Bible dikatakan: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu, siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekali pun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga." (Matius 5:17-19) Memang, jika hukum Taurat diterapkan, kaum Kristen sekarang ini bisa kelabakan dan sulit bernafas. Karena itu, misalnya, sejak lama mereka mengembangkan salah satu model interpretasi Bible, yang disebut model interpretasi moral dengan cara membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari beberapa bagian dalam Bible. The Letter of Barnabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewanhewan itu. Padahal, dalam Kitab Imamat 11:1-46, disebutkan daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi hutan, burung rajawali, burung onta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, dan bunglon. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram itu semuanya bagimu. (ayat 8). Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000, pasal 11 ini diletakkan di bawah tajuk Binatang yang haram dan yang tidak haram. Dalam ayat 35 disebutkan: Kalau bangkai seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis; pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan haruslah najis juga bagimu. Karena begitu beratnya hukum Taurat itulah, maka berbagai usaha dilakukan untuk meninggalkannya. Sebenarnya, sebagaimana disebutkan dalam catatan sebelumnya, sejak awal abad ke-20, kaum misionaris Kristen telah menjadikan sekularisasi sebagai musuh besar mereka. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, sekulerisme telah ditetapkan sebagai musuh besar dari Geraja Kristen dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). (Lihat buku The Theology of Mission and Evangelism, 1980).

Seorang aktivis Kristen dari Yabina Bandung, bernama Herlianto, menulis sebuah buku berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? yang dengan cukup jelas memaparkan kehancuran gereja-gereja di Eropa, gara-gara serbuan arus sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan klenikisme. Sebagai contoh, di Amsterdam, yang 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen, sekarang tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali. Pada tahun 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa agama sudah tidak diperlukan lagi. Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu. Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atai imam Katolik. Di Jerman Barat sebelum bersatu dengan Jerman Timur -- terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang. Di negara-negara Kristen Barat itu, nilai-nilai agama Kristen sudah hancur. Masyarakat sudah tidak peduli nilai-nilai Kristen. Pemimpin yang jelas-jelas melakukan kejahatan seksual seperti Bill Clinton tetap dipilih. Bahkan, hal-hal yang jelas-jelas ditentang oleh Kristen, seperti homoseksualitas dan aborsi, sudah menjadi tradisi. Semua itu adalah akibat arus sekularisasi dan liberalisasi. Tentu kita bertanya, mengapa sebuah Partai Kristen (PDS) yang dipimpin pendeta misionaris fanatik begitu bersemangat memperjuangkan sekularisasi di sebuah negeri Muslim (Indonesia) dan berjuang keras agar negara dipisahkan dari agama? Jawabnya tidak terlalu sulit ditebak, karena mereka tidak ingin bangsa Muslim ini menjadi bangsa yang taat kepada nilai-nilai Islam. Mereka ingin kaum Muslim hancur dan jauh dari nilai-nilai dan hukum agama Islam, sehingga mudah menjadi mangsa pemurtadan. Mereka paham, bahwa sekularisme adalah senjata pemusnah massal yang ampuh untuk memusnahkan nilai-nilai agama, sebagaimana yang terjadi di wilayah Kristen. Al-Quran menyebutkan: "Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), jika mereka sanggup." (QS Al Baqarah:217). "Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannam orang-orang kafir itu akan dikumpulkan."

(QS Al Anfal:36). Dalam Tafsir al-Azhar, Hamka memberi penjelasan tentang ayat tersebut: "Perhatikanlah betapa di zaman sekarang, orang-orang menghambur-hamburkan uang berjuta-juta dolar tiap tahun, bahkan tiap bulan, untuk menghalang-halangi jalan Allah yang telah dipegang teguh oleh kaum Muslimin. Perhatikanlah betapa zending dan misi Kristen dari negara-negara Barat memberi belanja penyebaran agama Kristen ke tanah-tanah dan negeri-negeri Islam. Diantara penyebaran Kristen dan penjajahan Barat terdapat kerjasama yang erat guna melemahkan keyakinan umat Islam kepada agamanya. Sehingga ada yang berkata bahwa, meskipun orang Islam itu tidak langsung menukar agamanya, sekurang-kurangnya bila mereka tidak mengenal agamanya lagi, sudahlah suatu keuntungan besar bagi mereka. Jika bapa-bapanya dan ibu-ibunya masih saja berkuat memegang iman kepada Allah dan Rasul, moga-moga dengan sistem pendidikan secara baru, jalan fikiran si anak hendaknya berubah sama sekali dengan jalan fikiran kedua orang tuanya. Demikian juga propaganda anti-agama, mencemohkan agama, dan menghapuskan kepercayaan sama sekali kepada adanya Allah, itupun dikerjakan pula oleh orang kafir dengan mengeluarkan belanja yang besar. Yang menjadi sasaran tiada lain daripada negeri-negeri Islam. Demikian Hamka. Karena itu, kita dapat memahami, jika sekularisme menjadi program partai misionaris Kristen di Indonesia, karena mereka memang berkepentingan untuk memuluskan misinya, melemahkan aqidah dan akhlak kaum Muslim. Tetapi, dapatkah kita memahami, jika ada umat atau tokoh politik atau tokoh Islam yang mengkampanyekan hal yang sama dengan kelompok misionaris Kristen itu? Wallahu alam. (KL, 28 Januari 2004). Janji dan Ancaman Powell di Kompas Di harian Kompas, Menteri luar negeri AS, Colin Powell, menulis artikel panjang berjudul ? Strategi Kemitraan AS?. AS membangun opini bahwa dirinya adalah negara pembela demokrasi dan keadilan. Baca di CAP Adian Husaini, MA ke-42 Menteri luar negeri AS, Colin Powell, menulis artikel panjang di Harian Kompas (29-30 Januari 2004). Judulnya sangat menarik: ?Strategi Kemitraan AS?. Melalui judul itu, tentu AS ingin membangun opini, bahwa AS ingin membangun kemitraan, pertemanan dengan semua bangsa, dan bukan ingin menjajah, menghegemoni, mendikte, menguasai, dan menindas. Tulisan in perlu dicermati dengan seksama, meskipun sebagian besar manusia di muka bumi in mungkin sudah a priori, bahwa itu hanya retorika AS, yang biasanya berbeda dengan aplikasinya di lapangan. Tapi, bagaimana pun, ada banyak ungkapan yang perlu dicermati untuk membuktikan, apakah hal itu hanya berupa retorika atau memang fakta. Kata Colin Powell: ?Kami ingin mengembangkan martabat kemanusiaan dan demokrasi di dunia, untuk menolong masyarakat bangkit dari kemiskinan dan untuk mengubah sistem kesehatan publik yang tidak memadai. Namun, keinginan itu hanya bisa terwujud bila perdamaian di masa ini bisa "dipelihara, dipertahankan, dan diperluas".

Jangan salah, inilah yang menjadi tujuan utama kebijakan AS di abad ke-21. Kami memerangi terorisme bukan hanya karena kami berkewajiban, namun juga karena kami mampu melakukannya demi mewujudkan dunia yang lebih baik. Itu sebabnya kami komit terhadap demokrasi, pembangunan, kesehatan masyarakat global, dan hak asasi manusia sebagai syarat mutlak perdamaian global.? Indah sekali kata-kata Colin Powell itu bukan? AS ingin membangun martabat kemanusiaan umat manusia seluruhnya. Benarkah demikian? Dunia kini masih dicekik berbagai ketimpangan. Sebagian besar umat manusia masih hidup dalam kemiskinan. Sejak tahun 1980-an, setiap hari, 10.000 manusia mati kelaparan. Tetapi, AS mengucurkan dana ratusan trilyun rupiah untuk mega proyek yang disebut terorisme, termasuk mengucurkan dana trilyunan rupiah setiap tahun kepada Israel untuk memburu para pejuang Palestina yang dicap sebagai teroris. Secara kultur, pola hidup banyak rakyat AS sudah terlalu jauh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Lihatlah, bagaimana mereka mengeruk keuntungan dari bisnis film, minuman keras, dan berbagai aneka hiburan yang menjual mimpi dan membangun mental konsumerisme. Biaya makan untuk anjing di AS, jauh mencukupi untuk makanan seluruh penduduk Afrika. Di tengah situasi penderitaan umat manusia, kita menyaksikan, bagaimana rakyat AS berebut membeli celana dalam Marylin Monroe dan Madonna, dan sibuk melakukan polling memilih artis terseksi tahunan. Film berjudul ?8 mm?, menggambarkan bagaimana bisnis pornografi di AS berlangsung dengan sangat mengerikan. AS membangun demokrasi dunia? Kita akui, dunia bisa banyak belajar dari proses pemilihan Presiden AS yang sekarang sedang berlangsung. Cukup menarik. Tetapi, pada level global, AS sebenarnya telah gagal membangun demokrasi. Di PBB, hingga kini, AS selalu menolak proses demokratisasi, dan terus mempertahankan sistem veto di Dewan Keamanan PBB, yang hanya dinikmati 5 negara pemenang Perang Dunia II. Dalam berbagai kasus internasional, seperti Israel, Mahkamah Kriminal Internasional, dan penyelamatan lingkungan (Protokol Kyoto), AS berjalan sendirian dengan beberapa gelintir sekutunya. Mereka berhadapan dengan hampir semua semua negara. Inikah demokrasi? Dalam kasus serbuan ke Iraq, jelas sekali posisi AS adalah minoritas. Tampak, bahwa tulisan Powell itu masih berbicara dalam tataran ?idealis? dengan mengedepankan jargon-jargon moralis, semisal perdamaian dunia, pemberantasan terorisme, kemitraan, dan sebagainya. Tulisan Powell cukup retoris. Para pendukung Bung Karno bisa lupa jargon popular di masanya, ? Amerika kita seterika, Inggris kita linggis!? Pun, ketika Bung Karno berpidato di depan Sidang Umum PBB ke-15, 30 September 1960, beliau katakan: ?imperialisme dan kolonialisme adalah buah dari system Negara Barat itu, dan seperasaan dengan mayoritet yang luas daripada organisasi in, saya benci imperialisme, saya jijik pada kolonialisme.?

Itu zaman Soekarno, dunia masih bercorak ?bi-polar?, ada dua kutub besar yang bertarung: AS dan USSR. Setelah USSR runtuh, zaman berubah. AS menjadi satu-satunya raja dan superpower yang telunjuknya kian ampuh. Jari jemarinya mencengkeram ke seantero jagad. Atas nama memelihara perdamaian dunia. Para pemimpin dunia, meskipun terkadang enggan menuruti semua perintah ?kaisar?, tetap menjadikan ?restu AS? sebagai indikator penting satu kekuatan politik. Kira-kira, banyak yang berlogika, ?Buat apa lawan AS, cari penyakit?. Lihatlah ? musuh-musuh? AS, satu-persatu ditumbangkan atau ditaklukkan: Taliban, Saddam Hussein, Omar alBashir, Khadafy. Nasib Norriega dari Panama begitu mengenaskan. Setelah bertahun-tahun mengabdi kepada AS, akhirnya diculik dan dijebloskan ke tahanan AS. Saddam Hussein, yang berkoar-koar hebat, sebelum perang, kini meringkuk dalam tahanan AS. Khadafy yang bertahun-tahun menolak menyerahkan dua warganya, tersangka kasus pengeboman Pan Am, akhirnya juga menuruti kemauan AS. Jadi, kata-kata Colin Powell yang manis, akan banyak dilihat sebagai kata-kata sang penguasa dunia, yang ditakuti begitu banyak penguasa dunia. Dunia sebenarnya masih bisa berharap, AS tidak berjalan sendiri dalam menangani dunia, tidak mengedepankan unilateralisme, tetapi multilateralisme. Tidak hanya memikirkan kemakmuran dan keamanan dirinya dan sekutu-sekutu dekatnya saja, melainkan juga memikirkan nasib umat manusia, semuanya. Tetapi, Colin Powell masih tetap menggunakan logika kekuatan dalam mengatasi masalah dunia : ?Prioritas kami yang tak kalah penting adalah determinasi untuk mengembangkan hubungan kooperatif di antara kekuatan-kekuatan besar di dunia (major powers).? Tahun 1961, sejarawan Arnold Toynbee menulis tentang posisi dan sikap AS yang tidak adil, dan hanya mementingkan kekuatan-kekuatan besar, kaya, dan minoritas umat manusia, sebagaimana yang dulu dilakukan imperium Romawi. Tulis Toynbee: ?America is today the leader of a world-wide anti-revolutionary movement in the defense of vested interests. She now stands for what Rome stood for. Rome consistently supported the rich against the poor in all foreign communities that fell under her sway; and, since the poor, so far, have always and everywhere been far more numerous than the rich, Rome?s policy made for inequality, for injustice, and for the least happiness of the greatest number.? Sebagai super power dan jagoan, AS telah banyak menunjukkan kekuatan ototnya. (Rakyat California pun lebih percaya ?sang terminator?, Arnold Scwarzenegger, untuk memimpin mereka). Kini, yang perlu dibuktikan AS adalah menundukkan hati dan akal umat manusia. Bahwa AS bukan hanya jagoan dan mampu berbuat apa saja untuk memenuhi kepentingannya, tetapi AS juga menjadi negara dan bangsa yang dicintai dan dihormati umat manusia. Hingga kini, terbukti, hal itu masih menjadi mimpi. Ideal sekali kata-kata penutup Colin Powell, bahwa, ?Reputasi AS dalam hal kejujuran dan kepedulian akan terus berlangsung? Namun, seraya kami memelihara, mempertahankan, dan

memperluas perdamaian yang dimenangi manusia-manusia bebas di abad ke-20; kebenaran akan terbukti di abad ke-21. Kami senantiasa mengejar kepentingan rakyat AS yang mengedepankan kebenaran maupun dalam prinsip serta tujuan kami yang benar? Kepentingan kami yang mengedepankan kebenaran telah menjadikan kami mitra bagi siapa pun yang menghargai kebebasan, martabat kemanusiaan, dan perdamaian.? Kebenaran, kebebasan, martabat manusia, dan perdamaian! Luar biasa, kata-kata Powell itu. Bisakah kata-kata Powell itu dipertanggungjawabkan dan dibuktikan? Dalam wawancara dengan Harian Kompas (17 November 2002), Prof. Johan Galtung menyatakan: ?Dibandingkan dengan serangan yang pernah dilakukan teroris, terorisme negara yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.? Galtung, perumus teori dependensia dan strukturalisme, mengaku telah berkirim surat kepada Presiden Bush yang meminta agar AS mengubah politik luar negerinya, mengakui negara Palestina, meminta maaf karena sering mencampuri urusan negara lain, melanggar hukum internasional, dan tidak menghormati Islam. ?Saya tidak tahu apakah Bush membaca surat itu, tetapi yang dilakukan justru sebaliknya,? kata Galtung. Tentang peristiwa 11 September yang banyak dijadikan pijakan kebijakan luar negeri AS dewasa ini, Galtung memberi saran: ?Tangkap pelakunya dan ubah kebijakan luar negeri AS! Ubah kebijakan luar negeri AS!?. Suara semacam itu begitu banyak dilantunkan oleh para pemikir dan pemimpin dunia. Wahai AS, ubahlah kebijakan luar negerimu! Di tanganmu, kini terletak tanggung jawab besar menyelamatkan dunia! Namun, AS seperti belum memandang penting berbagai seruan dan imbauan semacam itu. Logika kekuatan, miht is right, masih begitu banyak digunakan dalam menangani berbagai masalah. Kadang terlihat tidak sabar. Serbuan ke Irak telah meluluhlantakkan harapan umat manusia akan pentingnya peran ?hukum internasional?. Jutaan manusia di AS dan negara-negara Barat berdemonstrasi menentang tindakan AS itu. Sampai-sampai George Sorosh menyerukan untuk mengakiri pemerintahan ?ekstrimis Bush?. Penulis terkenal Chile Luis Sepulveda mengecam invasi pimpinan AS ke Iraq, dengan menyebutkan tindakan itu sebagai ulah sekelompok "orang-orang fanatik yang berbahaya" yang berkuasa di Washington. "AS adalah bangsa teroris pelopor," katanya dalam satu wawancara yang diterbitkan mingguan berita Portugal Visao. Suara-suara seperti ini sudah tak terhitung lagi banyaknya. Kritik dan sentimen anti AS bermunculan dan tumbuh subur di mana-mana. Bahkan, dalam sebuah polling di Eropa, awal November 2003, AS menduduki posisi keenam sebagai negara yang mengancam perdamaian dunia, setelah Israel, Korea Utara, Iran, Afghanistan dan Iraq. Ingat, bahwa sekutu terdekat AS, Israel, justru dipandang sebagai ancaman perdamaian dunia yang utama di dataran Eropa.

Dunia pun selama ini banyak dibuat dibuat geleng-geleng kepala dengan berbagai kebijakan AS, terutama dalam soal pembelaannya yang membabi buta terhadap Israel. AS sering berjalan sendiri, berhadapan dengan suara mayoritas negara. Dengan senjata vetonya, AS terus memainkan peranan penting dalam menjaga dan menganakemaskan Israel. Dunia telah kelu lidahnya meminta agar PBB direstrukturisasi dan hak-hak istimewa (veto) AS dan empat negara lainnya di DK-PBB dihilangkan. Bisakah logika internasional terus-menerus dipaksa menerima, bahwa semua keistimewaan yang dinikmati AS, Israel, dan beberapa sekutunya, perlu dipertahankan sampai kiamat, demi memelihara perdamaian dan kemaslahatan umat manusia? Tahun 1997, Senat AS meluluskan undang-undang yang meratifikasi implementasi ?Convention of the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their Destruction?. Namun, itu dengan syarat: Presiden AS berhak menolak permintaan inspeksi fasilitas persenjataan kimia di dalam negeri AS, jika Presiden menganggap inspeksi tersebut akan mengancam kepentingan pertahanan nasional (the national security interests) AS. Emak bukan jadi super power? Negara lain boleh diobok-obok karena diduga memiliki senjata nuklir, dan senjata pemusnah massal lainnya, tetapi negaranya sendiri tidak boleh! Menarik menelaah buku berjudul ?Rouge State: A Guide to the World?s Only Superpower? (2002), yang ditulis William Blum, seorang bekas pejabat Departemen Luar Negeri Amerika. Blum menjelaskan, bahwa intervensi Amerika ke berbagai penjuru dunia, diantaranya bertujuan menguatkan Amerika sebagai satu-satunya superpower. Bagi Amerika, tidak boleh ada yang menyaingi dia. Blum menyimpulkan, sudah dibuktikan, bahwa selama lebih dari 50 tahun, secara klinis, politik luar Amerika boleh dikatakan ?gila? (However, it can be argued, that for more than half century American foreign policy has, in actuality, been clinically mad.). Blum menunjukkan dokumen ?US Strategic Command? tentang ?Essentials of Post-Cold War Deterrence?, yang menyebutkan bahwa tindakan Amerika yang terkadang kelihatan ?out of control?, irasional, dan pendendam, boleh jadi menguntungkan untuk menciptakan rasa takut dan keraguan pada musuh-musuhnya. (That the US may become irrational and vindictive if its vital interests are attacked should be a part of national persona we project to all adversaries). Powell boleh bicara seideal mungkin. Namun, Samuel P. Huntington (1996) -- penasehat kawakan politik luar negeri AS ? menulis panduan: ?It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics.? Kata Huntington, adalah manusiawi untuk saling membenci satu sama lain. Untuk mendefinisikan dirinya, dan untuk menimbulkan motivasi, manusia membutuhkan musuh. Jadi, AS butuh musuh. Dan sungguh, ini merupakan hal yang luar biasa dalam sejarah politik internasional, bahwa sebuah negara superhebat yang belum pernah ada dalam sejarah manusia sebelumnya, menentukan musuh utamanya adalah seorang kakek bernama Osama bin Laden. (KL, 6 Februari 2004).

Tokoh Katolik Minta Mukaddimah UUD 1945 Diganti Tokoh CSIS, J Soedjati Djiwandono dalam tulisannya di sebuah koran mengatakan, secara logis RI seharusnya adalah negara sekuler merupakan sikap istiqomah kalangan Kristen sejak perjuangan Piagam Jakarta. Baca CAP Adian Husaini, MA ke-43 Tulisan tokoh Katolik dari CSIS, J Soedjati Djiwandono, di Harian Suara Pembaruan (9 Februari 2004), sangat perlu untuk dicermati bangsa Indonesia. Kaum Muslim khususnya. Judulnya ialah ?Mukadimah UUD 1945 Tidak Sakral, Perlu Diganti?. Soedjati adalah seorang pakar hubungan internasional yang banyak menulis masalah politik dalam negeri Indonesia. Ia juga kolumnis tetap di majalah Katolik Hidup. Ia bisa dikatakan, salah satu tokoh dan cendekiawan Katolik penting yang merumuskan pemikiran-pemikiran politik keagamaan di Indonesia. Gagasannya sangat jelas, pikiran bahwa Mukaddimah UUD 1945 tidak dapat diganti, adalah keliru. Sebab UUD 1945, termasuk mukaddimahnya, adalah buatan manusia, bukankitab suci, dan karena itu keliru membuat atau menganggapnya sakral atau keramat. Secara sekilas, kita bisa menyimak alasan yang dikemukakan Soedjati. Bagian Pemukaan UUD 1945, yaitu Pancasila, terutama Sila Ketuhanan YME, telah menimbulkan perbedaan pemahaman diantara berbagai golongan agama di Indonesia. Perbedaan, kerancuan atau ambivalensi pemahaman tentang makna sila pertama itu, telah selalu mengancam persatuan bangsa dan keutuhan negara. Hal itu lebih lanjut mengakibatkan kerancuan identitas negara Indonesia, yang "bukan negara sekuler", tetapi juga "bukan negara agama". Pihak sebagian golongan Islam, kata Soedjati, menganggap sila pertama, "Ketuhanan YME," sebagai kewajiban setiap warga negara untuk percaya pada Tuhan YME. Lebih dari itu, kepercayaan itu sekan-akan harus melalui agama dan itu pun terbatas pada agama yang diakui negara. Sebaliknya, pihak golongan-golongan non-Muslim memahaminya sebagai pernyataan kebebasan beragama, sehingga mereka merasa "aman" dalam menjalankan ibadah, mendirikan rumah ibadat, dan berganti agama kapan pun mereka menghendakinya, apa pun alasannya. Yang lebih serius lagi, menurut Soedjati, dalam jangka panjang, perbedaan pemahaman itu lebih berbahaya untuk persatuan, keutuhan maupun keamanan negara ini, sebab adanya kerancuan identitas negara RI, dan akhirnya juga menyangkut ketidaktegasan tentang sumber hukum negara. ?Apakah hukum agama merupakan sumber hukum negara, dan kalau ya, hukum agama yang mana, dalam bidang apa dan seberapa jauh? Kecenderungannya hingga sekarang adalah bahwa hukum agama mayoritas semakin berperanan, bahkan kalaupun semakin lama kurang dibungkus dengan "Syariat Islam". Usulan Soedjati dalam tulisannya sangat tegas: ?Secara logis dan jelas RI seharusnya adalah negara sekuler, dalam pengertian yang paling mendasar, yaitu dipisahkannya politik dari agama, antara "kekuasaan" agama dan kekuasaan politik atau negara.? Soedjati berargumen, ?Kenyataannya adalah bahwa negara-negara sekuler tidak menindas, apalagi melarang dan membunuh agama. Berbagai agama, Kristen, Yahudi, maupun Islam, justru hidup subur di negara-negara sekuler. Sebaliknya, sekularisasi menghalangi dan mencegah manipulasi agama dan

intervensi negara dalam masalah-masalah internal agama.? Ia menyebut sumber rujukannya dari buku karya tokoh feminis Fatema Mernissi, berjudul ?Islam and Democracy: Fear of the Modern World?. Karena itu, kata Soedjati, menganggap Mukadimah itu kramat atau sakral sehingga tidak boleh diubah, dan dengan demikian membiarkan perbedaan, sekurang-kurangnya ambivalensi atau ketidakjelasan pemahaman tentang asas Ketuhanan YME; berarti juga mengabadikan benih perpecahan bangsa. Sebab itu pula, demi persatuan bangsa dan keutuhan negara, Mukadimah UUD 1945 pada ahirnya harus diganti, dan dengan demikian kita berganti UUD. Para pendiri republik ini bukannya tidak dapat berbuat salah. Mereka tidak bisa secara lengkap dan akurat mengantisipasi perkembangan zaman yang kita hadapi sekarang ini. Terakhir ia menutup tulisannya: ?Kompromi yang lebih menjamin keadilan antar golongan adalah sekularisasi.? Demikian gagasan Soedjati Djiwandono. Usulan tokoh Katolik ini menarik jika kita telaah dari aspek historis. Ada kemajuan pesat dalam pemikiran dan sikap politik pihak non-Muslim (khususnya Kristen/Katolik) dalam soal UUD 1945. Perlu kita catat, bahwa Mukaddimah UUD 1945 sekarang in adalah hasil ultimatum pihak Kristen Indonesia Timur, yang disampaikan melalui Bung Hatta. Isi ultimatum itu ialah: jika Indonesia tidak mengubah Mukaddimah UUD 1945 hasil Sidang BPUPKI (Piagam Jakarta), yan mengandung ?tujuh kata? ? Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ? maka Indonesia Bagian Timur tidak akan mau bergabung dengan negara Indonesia. Ultimatum pihak Kristen itu dilakukan, setelah mereka gagal menyampaikan aspirasi dalam sidang-sidang BPUPKI. Pada tanggal 11 Juli 1945, misalnya, seorang tokoh Kristen asal Maluku bernama Latuharhary memprotes Piagam Jakarta, dalam sidang BPUPKI. Ketika itu Soekarno dan KH Wachid Hasjim (bapaknya Abdurrahman Wahid), membela Piagam Jakarta. Soekarno mengatakan: ?Saya ulangi lagi, bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat ?dengan didasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya" sudah diterima oleh Panitia ini.? Maka, upaya Latuharhary untuk menjegal Piagam Jakarta gagal. Tetapi, kalangan Kristen tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian menggunakan tangan opsir Jepang dan Muhammad Hatta untuk mengganjal Piagam Jakarta. Akhirnya, Piagam Jakarta dapat digagalkan melalui ultimatum pihak Kristen. Moh. Natsir dalam tulisannya di buku Fakta dan Data, menyebut peristitiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai "Peristiwa ultimatum terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan". Ia juga mengingatkan, bahwa umat Islam jangan sampai lupa akan peristiwa 18 Agustus 1945 tersebut. Kata Natsir: ?Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insyaallah umat Islam tidak akan lupa.? (Lihat, Moh. Natsir dalam tulisannya berjudul "Tanpa Toleransi Takkan Ada Kerukunan", dalam buku Fakta dan Data, Media Dakwah, 1991). Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka, sikap pihak Kristen terhadap Piagam Jakarta tidak berubah sama sekali. Majalah Katolik, Hidup, No. 27, Tahun 1989, memuat sebuah tulisan Pater

Wijoyo S.J yang berjudul ?Tiada Toleransi untuk Piagam Jakarta?. Dalam sidang-sidang Konstituante, 1955-1959, pihak Islam masih tetap memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Perlu dicatat, bahwa dalam Sidang-sidang BPUPKI, tahun 1945, mula-mula pihak Islam memperjuangkan terbentuknya sebuah negara Islam. Namun ditolak oleh golongan sekuler-Kristen. Akhirnya, seperti dikatakan Soekarno, tercapailah kata sepakat atau kompromi, yaitu Piagam Jakarta. Jadi, Piagam Jakarta adalah hasil kompromi, bukan kemenangan pihak Islam. Tetapi, dalam perjalanan sejarahnya, hasil kompromi itu pun digugat dan ditentang pihak Kristen, habis-habisan. Perubahan besar-besaran sikap tokoh-tokoh Muslim di era reformasi. Pucuk pimpinan NU, Muhammadiyah, dan juga sejumlah cendekiawan terkemuka, memelopori penolakan usaha memasukkan kembali ?tujuh kata? dalam UUD 1945. Para tokoh Islam in beralasan, bahwa memperjuangkan masuknya syariat Islam dalam konstitusi akan membuat bangsa Indonesia pecah belah. Para tokoh itu mencoba mengakomodir dan memahami jalan pikiran dan sikap pihak Kristen. sebagaimana yang juga dulu dilakukan saat mereka menerima ultimatum pihak Kristen melalui Bung Hatta. Pada tanggal 10 Agustus 2000, tiga tokoh ? M. Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, dan Nurcholish Madjid -- mengeluarkan pernyataan bersama di Hotel Indonesia, yang isinya menolak upaya mengembalikan Piagam Jakarta. Judul pernyataan mereka: ?Kami menolak Pencantuman Kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945.? Salah satu alasan penolakan mereka adalah, bahwa ?dimasukkannya kembali tujuh kata itu akan membangkitkan kembali prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai ?negara Islam? di Indonesia. Prasangka-prasangka in jika dibiarkan kembali berkembang, akan dapat mengganggu hubungan-hubungan antar kelompok yang pada ujungnya akan menimbulkan ancaman disintegrasi.? Terlepas dari pro-kontra sikap ketiga tokoh tersebut, tampak bahwa semangat kaum Muslim untuk mempertahankan integritas negara kesatuan RI (NKRI) begitu besar. Gagasan negara Islam, Piagam Jakarta, Ketuhanan YME, didasari oleh sikap mempertahankan NKRI. Untuk itu, umat Islam bersedia mengalah, bersedia kompromi, meskipun mereka adalah mayoritas, dan sangat besar andilnya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI dan mengusir penjajah yang begitu banyak berjasa dalam menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Itu bisa dilihat dari perjalanan gagasan dari konsep ?negara Islam?, sampai akhirnya menerima ?Mukaddimah UUD 1945? dengan sila ?Ketuhanan YME?. Perlu dicatat, bahwa ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, Partai Islam Masyumi yang sangat dirugikan oleh Dekrit tersebut, juga menyatakan, menerima dekrit. Dalam notanya kepada Presiden RI tanggal 28 Juli 1959, Masyumi menyampaikan pernyataan: ?Mulai saat in (derkit), sesuai dengan pembawaan Masyumi, maka Masyumi tunduk kepada UUD yang berlaku dan oleh karena itu merasa berhak pula untuk meminta dan dimana perlu menuntut, kepada siapa pun, juga pemerintah dan Presiden, untuk tunduk kepada UUD sebagai landasan hidup bernegara.? Namun, tulisan Soedjati memberikan bukti, bahwa pihak Kristen tampaknya belum puas untuk terus menekan umat Islam Indonesia. Meskipun sudah menjadi kesepakatan semua kekuatan politik

pada Sidang MPR terakhir, tokoh Katolik itu tetap melihat bahwa sila ?Ketuhanan YME? pun masih menguntungkan umat Islam. Jadi sila itu perlu diubah dan dinyatakan secara tegas, bahwa Indonesia adalah negara sekuler, dan tidak ada hak istimewa apa pun yang boleh dinikmati oleh umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia. Tidak boleh! Maka, pihak Kristen memang sangat geram ketika ada kalangan Muslim yang mempromosikan gagasan demokrasi rasional-proporsional, bahwa sebagai mayoritas bangsa yang begitu besar jasanya kepada bangsa ini, seyogyanya umat Islam juga terwakili secara proporsional dalam berbagai aspek kehidupan: politik, militer, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Pemikiran yang wajar dalam sebuah kerangka pemikiran demokrasi. Seperti halnya, sekarang dikembangkan oleh kalangan aktivis perempuan, yang menuntut kuota politik tertentu di lembaga legislatif. Seorang seorang pendeta, bernama Oktavianus, menulis dalam buku ?Beginikah Kemerdekaan Kita??, bahwa "Jika ide demokrasi rasional dan proporsional diterapkan dan bukan demokrasi Pancasila, Indonesia bagian Timur tentu akan terangsang untuk memisahkan diri dari Republik." Ini adalah ultimatum seperti halnya, pada tahun 1945. Bagaimana pun, kita perlu salut pada sikap ?konsisten? pihak Kristen dalam menentang ide negara Islam, Piagam Jakarta, sampai sila Ketuhanan YME. Mereka konsisten, dan kokoh sikapnya. Tidak bergesar sedikit pun sejak 1945, sampai sekarang, bahkan terus maju. Ibarat jual beli, sejak awal kemerdekaan, pihak Kristen membuka harga Rp 100, dan tidak bergeser. Sementara pihak Islam, semula mengajukan tawaran Rp 100, kemudian tinggal Rp 70, dan seterusnya, sampai akhirnya muncul berbagai seruan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler, sebagaimana yang diserukan oleh pihak Kristen. Dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 31 Januari 2001, bersama Nurcholish Madjid, A. Syafii Ma'arif, Ulil Abshar Abdalla, dan Ja'far Umar Thalib, saya sempat sampaikan, bahwa saya salut pada sikap pihak Kristen yang sejak awal ?konsisten? dalam soal Piagam Jakarta, syariat Islam, dan sebagainya. Sementara, pihak Islam, justru kemudian bergeser jauh dan semakin mendekati sikap pihak Kristen. Ini fakta. Sekarang terbukti, bahwa sikap ?mengalah? dan ?toleran? pihak Islam itu masih tidak dianggap cukup. Sila Ketuhanan YME masih dianggap ada celah-celah yang menguntungkan Islam, sehingga perlu diubah, itu bukanlah hal baru. Sikap Soedjati terhadap sila Ketuhanan YME dapat dijadikan bahan pelajaran, bahwa dalam satu pergulatan ideologi, politik, di Indonesia, pertarungan ideologis ini masih terus berlangsung dengan hebat. Seperti kita bahasa dalam catatan sebelumnya, kita bisa mempertanyakan, mengapa pihak-pihak Kristen begitu gencar, mempromosikan ide sekularisme ini? Betulkah di negara-negara sekuler, agama berkembang dengan baik, seperti klaim Soedjati? Ini adalah ucapan tanpa bukti yang nyata. Betapa banyak keluhan dari pihak Kristen sendiri, bahwa sekularisme di Barat, telah meruntuhkan sendisendi bangunan Kristen. Jika negara-negara Kristen Barat kemudian terpaksa menerima sekulerisme, itu adalah karena trauma Barat terhadap dominasi dan kekuasaan Gereja Kristen yang menindas masyarakat, atas nama agama. Sebab Paus diposisikan sebagai wakil Kristus (Vicar of Christ), sehingga boleh berbuat apa saja atas nama Tuhan.

Kita sungguh tidak habis mengerti, pihak Kristen begitu benci dan takutnya dengan syariat Islam, dan sekuat tenaga menghalangi orang Islam menjalankan hukum-hukum agamanya, tetapi mereka sendiri tidak mengajukan hukum-hukum agama mereka untuk diterapkan di tengah masyarakat. Padahal, Kitab mereka, Bible, penuh dengan ketentuan dan hukum-hukum Tuhan. Mengapa? Karena mereka, orang-orang Kristen sekuler, itu sendiri sudah tidak yakin dengan agama mereka, dengan kitab agama mereka. Keraguan, ketidakyakinan mereka itu, kemudian ingin dipaksakan kepada kaum Muslim. Jika ada kaum Muslim yang mengikuti jalan mereka, maka benarlah apa yang dikatakan Rasulullah saw, tentang fenomena Muslim yang mengikuti sunnah, jalan hidup kaum Yahudi dan Nasrani, meskipun mereka masuk ke lubang biawak sekalipun. Perlu dicatat, Soedjati adalah seorang tokoh Katolik yang sejak puluhan tahun lalu sudah punya hubungan dengan Zionis Israel. Maka, ia sangat geram ketika kaum Muslim menentang rencana pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia-Israel. Di Majalah Katolik Hidup, edisi 14 November 1999 ia menulis kolom berjudul: ?Hubungan Dagang dengan Israel.? Di situ, ia mengecam politik luar negeri Indonesia selama ini yang hanya berpihak kepada Palestina. Ia menulis: ?Tetapi mengapa kita hanya mendukung bangsa Palestina, dan tidak mendukung Israel? Apakah bangsa Yahudi bukan suatu bangsa yang juga mempunyai hak menentukan nasib sendiri? Kalau kita secara mutlak hanya memikirkan bangsa Palestina, lalu mau diapakan bangsa Israel? Dipunahkan sama sekali, dibuang ke laut? Kalau benar ada, pemikiran semacam itu sejajar dengan pemikiran komunis, yang mana kelas lain di luar kelas proletar (buruh) harus dimusnahkan.? Begitu tulis Soedjati! Tampak, bahwa sebagai pakar hubungan internasional, pemikiran Soedjati sangat bias, sengaja memanipulasi sejarah. Umat Islam, dan dunia internasional, tidak mendukung Israel, karena negara Zionis itu adalah negara penjajah dan kolonial, yang terus melakukan kekejaman dan pembantaian serta pendudukan terhadap wilayah Palestina. Puluhan Resolusi PBB telah diabaikan oleh Israel. Dunia internasional tahu akan hal itu. Kristen Palestina sendiri terus menjadi korban kekejaman Israel. Beratus-ratus tahun, Umat Islam menjadi pelindung bangsa Yahudi, saat mereka ditindas dan dibantai habis-habisan oleh kaum Kristen Eropa. Semua fakta sejarah itu begitu gambling. Sikap Indonesia hingga kini jelas, berdasarkan Mukaddimah UUD 1945 yang ?anti-penjajahan? maka, Indonesia menolak membuka hubungan dengan Israel, karena negara Zionis itu adalah kolonial. Tetapi, mengapa Soedjati meminta Indonesia mendukun Israel? Itulah Soedjati Djiwandono. Wallahu a?lam. (KL, 12 Februari 2004). Pemilu 2004: Pilih Apa? Pemilu 2004 diduga akan didominasi partai sekular. Politisi Muslim mungkin akan berkoalisi dengan mereka untuk capres. Mana yang akan menguntungkan Islam?. Baca CAP Adian Husaini ke-45

Kamis 11 Maret 2003, kemarin, kampanye pemilihan umum 2004 dimulai. Gegap gempita dan semarak pemilu mulai merambah jalan-jalan raya. Selama beberapa hari di Jakarta dan beberapa kota lainnya, mulai 19 Februari-7 Maret lalu, saya sempat bertemu dengan sejumlah tokoh dan politisi di Indonesia. Banyak informasi penting seputar pemilu 2004 dan perilaku para politisi. Beberapa diantaranya tidak terekspose di media massa. Dari sejumlah analisis dan informasi yang saya terima, tampaknya ada dugaan, bahwa Golkar akan memenangkan pemilu 2004, disusul PDIP, PKB, dan seterusnya. Golkar diperkirakan meraih suara sekitar 25 persen, PDIP, sekitar 20 persen. Benarkah? Wallahu alam. Malah, ada berita, Golkar kemungkinan akan menjalin koalisi dengan PDIP untuk pemilihan Presiden RI 2004-2009. Jika koalisi itu terjadi, ditambah PKB, maka kemungkinan ketiga partai itu akan mendominasi suara pemilihan Presiden. Bisa diatur, misalnya, Megawati Presiden, Yusuf Kalla Wapres, dan PKB akan mendapat jatah posisi-posisi kabinet dan jabatan strategis lainnya. Tentu semua perkiraan itu masih terlalu dini, masih harus menunggu hasil pemilu legislatif 2004. Bagaimana dengan Amien Rais dengan PAN-nya? Aneh! Dari berbagai tokoh yang saya temui, hampir semua tidak terlalu optimis. Jika dalam pemilu tahun 1999, PAN meraih suara sekitar 7 persen, maka masih menjadi tanda tanya, apakah dalam pemilu kali ini, PAN akan meraih suara yang sama. Ini juga masih dugaan, masih harus ditunggu hasilnya. Begitu juga dengan PPP dan PBB. Dua partai Islam ini masih menghadapi kondisi internal yang cukup pelik. Setelah diguncang perpecahan dengan PBR PPP juga menghadapi berbagai persoalan. Namun, PPP masih tetap diuntungkan dengan kuatnya jaringan yang telah mapan sampai ke pelosok-pelosok daerah. PKS merupakan satu partai Islam yang banyak diperkirakan akan mengalami kenaikan suara. Ada yang memperkirakan PKS akan meraih sekitar 5-6 persen suara. Tentu ini cukup signifikan bagi peningkatan suara sebuah partai baru. PKS sangat diuntungkan dengan wajah dan citra partai yang muda, progresif, islami. Ia pun praktis tidak terbebani dengan dosa-dosa masa lalu. Para tokohnya pun relatif bersih dari berbagai isu tentang kecurangan, korupsi, dan sebagainya. Pertanyaan yang banyak muncul di tengah masyarakat adalah: pilih apa dalam pemilu 2004? Di kalangan aktivis Islam pun, di Indonesia dan Malaysia, pertanyaan semacam itu bermunculan. Pilih apa? Ada yang menyesalkan, mengapa umat Islam tidak dapat bersatu dalam satu partai saja. Kalau semua tujuannya sama, mengapa mereka tidak gabung saja? Mengapa mesti ada beberapa partai Islam? Bahkan, banyak juga aktivis dan tokoh Islam yang lebih memilih partai sekuler daripada partai Islam. Itulah uniknya Islam. Islam memang satu. Islam tidak sekedar warna-warni. Ada yang satu dalam Islam. Ada juga perbedaannya. Unsur-unsur aqidah tidak ada perbedaan. Umat Islam seluruh dunia membaca al-Quran yang satu. Beriman kepada satu Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. Syahadatnya satu. Mereka melakukan shalat, azan, dan menjalankan berbagai ibadah lainnya dalam bahasa Arab. Bangunan Islam sudah selesai sejak zaman Nabi Muhammad saw. Makna Islam itu sendiri digambarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai sabda beliau.

Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arbain al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah -- jika engkau berkemampuan melaksanakannya. (HR Muslim). Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan. (HR Bukhari dan Muslim). Kita tentu berharap, para politisi Muslim yang aktif berpartai memiliki pedoman yang sama, yakni untuk memperkuat bangunan Islam. Utamanya, bangunan aqidah Islamiyah, Iman kepada Allah dan yakin bahwa tidak ada ajaran yang lebih baik dibanding ajaran Allah dan Rasul-Nya. Politisi Muslim perlu bersikap tegas dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah Islam. Bukan hanya tegas dalam masalah korupsi dan penyelewengan kekuasaan, tetapi juga tegas dalam menyikapi ide-ide sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan berbagai ide yang meruntuhkan dan menyerang sendi-sendi aqidah Islam. Adalah aneh jika sejumlah politisi Muslim aktif menyebarkan ide politisi busuk untuk koruptor, tetapi tidak kritis terhadap politisi yang menyebarkan ide-ide yang meruntuhkan aqidah Islamiyah. Jika berpolitik diniatkan sebagai ibadah, maka seyogyanya, diberikan pedoman yang jelas, bagaimana ibadah itu dilakukan. Banyak politisi Muslim aktif menyebarkan ide reformasi dan menjadikannya sebagai kriteria furqan, untuk membedakan yang haq dan bathil. Tetapi, anehnya, tidak diberikan batasan yang jelas, apa makna kata reformasi itu sendiri, dalam pandangan Islam. Akibatnya, kata ini bisa menjadi begitu bias dan liar artinya. Sekali waktu, Abdurrahman Wahid dipuja sebagai reformis, lalu didukung dan dipilih. Lain waktu, ia dijatuhkan, karena tidak reformis. Megawati didukung karena dianggap reformis. Lain waktu lagi, dikecam karena dengan alasan tidak reformis. Lalu, gantian, di waktu lain, Abdurrahman Wahid menjadi reformis lagi dan diajak bersama-sama menumbangkan Megawati. Apakah tidak ada yang tetap dalam memilih pemimpin sesuai dengan ajaran Islam? Tentu ada. AlQuran dan hadits begitu banyak menyebutkan kriteria pemimpin yang layak dipilih sebagai pemimpin negara atau pemimpin apa saja. Jika untuk pemimpin rumah tangga saja diatur sedemikian rupa, maka tentu Islam sangat berkepentingan dalam menentukan kriteria ideal bagi pemimpin negara. Dalam hal ini, kita memang sudah masuk ke dalam perangkap demokrasi. Dalam system seperti ini, pemimpin tentu merupakan cerminan dari rakyatnya. Jika mayoritas rakyat hobi dangdut, maka mereka akan memilih penyanyi dangdut untuk menjadi pemimpin mereka. Setidaknya, mereka akan memilih partai yang pro-dangdut. Jika rakyat pro kepada pornografi dan pelacuran, tentu mereka akan menolak pemimpin yang menentang hobi mereka itu. Para politisi Muslim perlu menyadari bahwa gerakan sekularisasi dan liberalisasi di Indonesia, terus-menerus menggerus nilai-nilai agama dalam kehidupan politik. Mereka mengajak masyarakat untuk memisahkan politik dengan agama. Nilai-nilai moral dan hukum Islam mereka sarankan untuk dibuang jauh-jauh dan menggantikannya dengan hukum kesepakatan publik.

Hukum-hukum agama dianggap kuno dan membelenggu, sehingga harus dibuang. Itulah yang telah terjadi pada dunia Kristen, ketika mereka menolak untuk berpegang kepada hukum Taurat. Mereka kemudian mencari-cari alas an untuk membuang hukum Taurat dan menerima sekularisasi. Misalnya, dicarilah dalil pada Bible, bahwa Paulus pernah menyatakan: Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib! (Galatia, 3:13). Padahal, Yesus sendiri diberitakan pernah menyatakan: Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat, atau kitab para nabi; Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (Matius:5;17;18) Para politisi Muslim kiranya perlu memiliki perspektif jauh ke depan dalam memandang perjalanan dakwah Islam di Indonesia. Aspek-aspek aqidah perlu mendapatkan perhatian yang serius, disamping aspek-aspek syariah Islam. Banyak partai dan organisasi Islam yang tertarik untuk menanggapi masalah-masalah syariat, seperti soal perkawinan antar-agama, atau isu fiqih lintas agama. Tetapi, hampir tidak ada yang peduli dengan upaya sejumlah cendekiawan dan tokoh Islam yang menyebarkan metode hermeneutika sebagai alternatif pengganti tafsir al-Quran. Padahal, kini hermeneutika yang merupakan metode interpretasi Bible, sudah diajarkan di sejumlah institut dan perguruan tinggi Islam. Dampak hermeneutika ini sudah terlihat dan akan terus bertambah, karena semakin banyak yang meminati kajian ini. Sementara banyak tokoh dan ilmuwan Muslim yang tidak peduli dan tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Pemilu 2004 harusnya tidak melenakan kaum Muslim akan adanya tantangan serius di bidang pemikiran dan tantangan di bidang aqidah, yang kini telah merasuk ke dalam organisasi-organisasi dan institusi Islam. Banyak dugaan, pemilu 2004 akan mempertontonkan dominasi partai-partai sekular, yang tidak berbasis agama. Sebagian politisi Muslim sudah mengambil ancang-ancang untuk melakukan koalisi dengan tokoh partai sekular untuk pencalonan Presiden. Dengan dalil memilih kemudharatan yang lebih kecil, biasanya akan diambil keputusan untuk mendukung calon Presiden tertentu, yang popular, berbasis partai yang kuat, dan banyak duitnya. Yang penting dia dianggap tidak memusuhi Islam. Beberapa politisi Muslim yang saya temui di Indonesia mengemukakan argumen yang sama. Mereka enggan mengeluarkan jago Presidennya sendiri. Logika politiknya, untuk apa menjagokan pemimpin partainya sendiri, jika toh akan kalah. Lebih baik mendukung jago PDIP atau Golkar ketimbang menjagokan tokoh partai Islam, yang secara logika politik, akan kalah. Itu memang logika politik. Tapi, jika berpikir jauh ke depan, bukankah lebih baik jika partai Islam atau satu partai Islam mulai memunculkan calon Presidennya sendiri? Apakah umat Islam masih ingin mengulang pengalaman lalu ketika mereka aktif mendorong terpilihnya Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati? Mengapa PKS, misalnya, tidak secara tegas menyatakan untuk mencalonkan Hidayat Nurwahid? Secara logika politik, tahun 2004, Hidayat memang tidak terpilih menjadi Presiden RI 2004.

Tetapi, jika dilakukan usaha yang serius dan yakin dengan pertolongan Allah, bukankah ada peluang untuk tahun 2009 atau 2014? Bukankah sangat kasihan, para pendukung dan pemilih PKS, jika akhirnya para pemimpinan PKS justru mengarahkan suara pendukungnya untuk memilih seorang Presiden yang jauh dari kriteria Islam? Kita berharap, sejak sekarang, secepat mungkin, akan ada partai Islam yang dengan berani mencalonkan Presiden yang ideal, berdasarkan kriteria Islam, bukan berdasarkan kriteria pragmatispolitik. Tentu, si calon perlu diuji benar, diteliti akhlaknya, keluarganya, harta kekayaannya, ilmunya, kepiawaiannya dalam berpolitik. Ia harus siap diuji di depan publik tentang semua hal. Sayangnya, secara umum, terlihat, banyak yang kehilangan daya kritis terhadap pemimpinnya. Yang ada justru kecenderungan budaya kultus. Padahal, tradisi Islam di masa lalu, dipenuhi dengan budaya kritis yang luar biasa terhadap para pemimpin dan ulamanya. Ulama-ulama yang fasik dan jahat, segera diumumkan sebagai fasik, zalim, pendusta, dan sebagainya, sehingga periwayatan mereka tidak diterima lagi. Mereka juga sangat kritis terhadap serangan dari luar. Ide-ide yang dating dari luar disaring dan dikritisi habis-habisan, sehingga tidak menyebar dengan leluasa ke tengah masyarakat. Adalah sangat aneh, jika banyak tokoh Islam yang tahu tentang kejahatan dan penyelewengan yang dilakukan tokoh-tokoh dan pemimpin partai Islam tertentu, tetapi tetap mendiamkan begitu saja, dan membiarkan umat Islam terus-menerus tertipu dengan berbagai kata-kata manis yang dikeluarkan si pemimpin. Padahal, Rasulullah saw dan para ulama Islam dahulu tidak melakukan hal yang semacam itu. Kejahatan publik diekspose, sehingga masyarakat tidak tertipu untuk memilih pemimpin yang tidak semestinya. Walhasil, pemilu 2004 sudah mulai menggelinding. Pilih apa nanti kita semua? Tentu baiknya kita cari informasi sebanyak-banyaknya. Kita pilih partai dan politisi yang berkata dan berbuat benar, tidak munafik, berani memperjuangkan al-haq, dan tidak membohongi kita semua atas nama apa pun, apakah atas nama Islam atau atas nama rakyat. Sebelum memilih, kita istikharah, sambil berdoa, semoga Allah menunjukkan kepada kita pilihan yang benar dan semoga Allah menjatuhkan hukumannya kepada partai atau politisi yang berani mendustai umat Islam; yang dimanamana bicara untuk perjuangan Islam dan rakyat, tetapi terbukti hanya untuk kepentingan perut dan kepentingannya sendiri. Allahumma arinal haqqa haqqan, war zuqna ittibaan; wa arinal baathila baathilan war zuqna ijtinaabaa. Wallahu alam. (KL, 11 Maret 2004). Upaya Mengkristenkan Yasser Arafat Kaum Kristen tengah berusaha mengkristenkan Presiden Palestina, Yaser Arafat yang dilakukan oleh seorang pengajar Injil bernama R.T. Kendal. Baca kegigihan misi Kristen di CAP Adian Husaisin, MA ke-46 Majalah Rohani Populer (Krisren), BAHANA, edisi XXXXV , Februari 2004, menulis satu berita menarik tentang usaha mengkristenkan Presiden Palestina Yasser Arafat. (lihat: www.bahana-magazine.com). Diceritakan, seorang Pengajar Injil bernama R.T. Kendall, bertemu untuk kedua kalinya dengan Yasser Arafat di kediamannya di Ramallah.

"Rais [sebutan presiden dalam bahasa Arab], kata Kendall, Saya ingin mengatakan sesuatu untuk direnungkan. Ada yang mengatakan pada saya bahwa Yesus Kristus sangat berkesan bagi Anda." Arafat segera menjawab, "Oh ya, sangat, sangat penting." Kendall yang setiap hari sejak tahun 1982 selalu mendoakan Arafat ini tahu bahwa Arafat pernah bermimpi tentang Yesus. Arafat lalu menceritakan mimpinya, ketika tentara Israel menyerang dan mengebomi kediaman Arafat, tahun 2002. "Pada hari ketiga pengepungan itu.....seekor domba menuntun saya ke Betlehem," kata Kendall menirukan kembali ucapan Arafat. "Di sana saya melihat bunda Maria sedang menggendong bayi Yesus. Saya mencium Yesus. Ketika saya bangun, saya kaget karena saya memerintahkan domba itu disembelih dan diserahkan kepada para imam di Gereja tempat kelahiran Yesus di Betlehem supaya mereka berpesta." Kendall lalu berkata, "Saya minta Anda mau mengakui bahwa Yesus benar-benar mati bagi dosa Anda. Dia bukan diselamatkan dari salib itu, melainkan Dia benar-benar mati." Ketika Kendall sedang berbicara tentang 'panggilan untuk bertobat' itu, tiba-tiba penerjemahnya menyela. "Tetapi Arafat menaruh tangannya pada penerjemah itu untuk memberi isyarat bahwa saya boleh meneruskan kata-kata saya," ucap Kendall. Setelah menjelaskan pada Arafat apa saja keuntungan menjadi orang Kristen, Kendall memperhatikan bahwa penerjemah itu keberatan lagi ketika Kendall sekali lagi melakukan 'panggilan untuk bertobat'. "Saya berkata, 'Saya hanya berusaha agar publik tahu apa yang diyakini Arafat,'" kata Kendall (67 th) "Saya berkata pada Arafat, 'Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Perdamaian [di Timur Tengah] tidak bisa tercipta melalui jalur militer atau politik,'" lanjut Kendali. Setelah itu, Kendall minta Arafat supaya bersedia merenungkan hal ini. Arafat setuju. Di akhir pertemuan, Kendall berdoa bagi Arafat dan memberikan buku "Total Forgiveness," yang dia tulis. "Saya tidak tahu apakah dua kunjungan saya ini berdampak baik atau tidak," kata Kendall kepada Charisma News Service ," tapi yang penting saya telah berusaha keras untuk membawa seseorang kepada Yesus Kristus. Begitulah berita tentang usaha pengkristenan Yaser Arafat yang dilakukan oleh Kendall, sebagaimana diceritakan Majalah BAHANA. Sebagai berita, tentu saja, cerita ini sulit dipercaya kebenarannya, karena belum ada konfirmasi dari pihak Arafat. Apakah cerita Kendall itu betul atau ngibul? Kita tidak tahu pasti. Yang penting dari cerita itu adalah paparan tentang kegigihan seorang mionaris Kristen (yang sudah tua, berumur 67 tahun) masih begitu bersemangat untuk meng-Kristenkan seorang tokoh dunia bernama Arafat, yang jelas-jelas dikenal publik internasional sebagai seorang Muslim. Simaklah katakata Kendall: Tapi yang penting saya telah berusaha keras untuk membawa seseorang kepada Yesus Kristus. Semangat misionaris Kendall itu sangat luas biasa. Adakah tokoh Islam yang berusaha mengislamkan Bush, Kofi Annan, dan berbagai pemimpin dunia lainnya, sebagaimana yang dulu

dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat beliau yang mulia? Dalam soal misi Kristen, ada ayat Bible yang biasanya banyak dikutip misionaris Kristen dan dijadikan pijakan misinya. Misalnya, dalam Matius 28:19 dikatakan: Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Dulu, para pemuka agama dan penguasa Kristen melakukan tindakan pembaptisan paksa terhadap semua manusia. Siapa yang menolak dibaptis, maka akan disiksa atau dibunuh. Sebagai contoh, di Spanyol, berdasarkan hasil The Third Council of Toledo (589), maka Katolik dijadikan sebagai agama negara, dan ditetapkan sejumlah keputusan terhadap kaum Yahudi: (1) larangan perkawinan antara pemeluk Yahudi dengan pemeluk Kristen, (2) keturunan dari pasangan itu harus dibaptis dengan paksa, (3) budak-budak Kristen tidak boleh dimiliki Yahudi (4) Yahudi harus dikeluarkan dari semua kantor publik, (5) Yahudi dilarang membaca Mazmur secara terbuka saat upacara kematian. Dalam periode 612-620, banyak kasus tejadi dimana Yahudi dibaptis secara paksa. Ribuan Yahudi melarikan diri ke Perancis dan Afrika. Pada 621-631, di bawah pemerintahan Swinthila, perlakuan Yahudi agak lebih lunak. Pelarian Yahudi kembali ke tempat tinggalnya semula dan mereka yang dibaptis secara paksa kembali lagi ke agama Yahudi. Tetapi, Swinthila ditumbangkan oleh Sisinad (631-636), yang melanjutkan praktik pembaptisan paksa. Pada masa pemerintahan Chintila (636-640), dibuatlah keputusan dalam The Six Council of Toledo (638), bahwa selain orang Katolik dilarang tingal di wilayahnya. Euric (680-687) membuat keputusan: seluruh Yahudi yang dibaptis secara paksa ditempatkan di bawa pengawasan khusus pejabat dan pemuka gereja. Raja Egica (687701) membuat keputusan: semua Yahudi di Spanyol dinyatakan sebagai budak untuk selamanya, harta benda mereka disita, dan mereka diusir dari rumah-rumah mereka, sehingga mereka tersebar ke berbagai profinsi. Upacara keagamaan Yahudi dilarang keras. Lebih dari itu, anak-anak Yahudi, umur 7 tahun keatas diambil paksa dari orang tuanya dan diserahkan kepada keluarga Kristen. (Lihat, Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 304-306). Misi Kristen terus berjalan, berangkat dari doktrin, bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. (Extra ecclesiam nulla salus). Sebagian kalangan Kristen berusaha mendobrak doktrin itu dan melakukan liberalisasi teologi yang kemudian dikenal sebagai teologi pluralis, yang menganggap bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju kebenaran. Itu klaim mereka. Kasus Arafat dan masih bergiatnya kegiatan misionaris Kristen di seluruh dunia menunjukkan, bahwa semangat pembaptisan itu masih terus bercokol dan berjalan. Hingga, mereka memandang perlu untuk mengkristenkan seorang Yasser Arafat. Untuk apa? Mengapa mereka tidak berusaha mengkristenkan Ariel Sharon? Sejarah mencatat betapa misi Kristen telah memakan begitu banyak korban. Di Spanyol, misalnya, Mahkamah Inquisisi secara resmi dibentuk oleh Paus Sixtus IV pada November 1478, dan baru berakhir pada 1820. Pembentukan ini dipicu oleh laporan bahwa para Yahudi dan Muslim yang dipaksa memeluk Kristen (dikenal sebagai conversos dan marranos) masih tetap mempraktikkan ritualitas agama lama mereka. Pada tahun 1480, dimulai satu penyelidikan dan pengadilan terhadap mereka di sebuah jalan utama di Kota Barcelona, yang dikenal sebagai Ramblas. Di sini, semua korban disiksa. Kaum

Kristen yang berasal dari Yahudi, misalnya, dicap sebagai heretics karena masih mempraktikkan tradisi Yahudi, seperti mengenakan baju linen setiap Hari Sabtu, atau tidak mau memakan babi. Dalam setahun saja, sebanyak 300 orang telah dibakar hidup-hidup. Kondisi kaum Yahudi dan Muslim menjadi lebih buruk setelah Tomas de Torquemada diangkat sebagai inquisitor general untuk Castil dan Aragon, tahun 1483. Jumlah yang dibakar hidup-hidup semakin banyak. Tidak puas dengan membantai para Yahudi tersembunyi (crypto-Jews), Torquemada kemudian berusaha mengusir seluruh Yahudi dari Spanyol. Upaya ini kemudian berhasil, dengan dikeluarkannya perintah pengusiran Yahudi dari Spanyol oleh Ferdinand dan Isabella, yang dikenal dengan General Edict on the Expulsion of the Jews from Aragon and Castile. (Martin Gilbert (ed), Atlas of The Jewish People, hal. 61-64.) Selain bermotif keagamaan, pengusiran kaum Yahudi dan Muslim dari Spanyol oleh Ferdinand dan Isabella juga memberikan banyak kekayaan kepada para penguasa Kristen Spanyol. Dengan pengusiran itu, mereka berhasil menguasai seluruh kekayaan Yahudi dan Muslim dan menjual mereka sebagai budak. Bahkan, diantara mereka yang diusir itu, mereka dirampok di tengah jalan dan sering dibedah perutnya untuk mencari emas yang diduga disembunyikan dalam perut kaum yang terusir itu. Masa kekuasaan Ferdinand -- The King of Aragon -- dan Isabella -- the Queen of Castiledicatat sebagai puncak persekusi kaum Yahudi dan Muslim di Spanyol. Keduanya dikenal sebagai the Catholic Kings, yang dipuji sebagai pemersatu Spanyol. Masa kekuasaan Kristen itu memang telah berakhir di Barat. Masyarakat Kristen Barat sendiri mengalami trauma dengan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh tokoh Gereja dengan mengatasnamakan wakil Kristus. Karena itu, kemudian merek tidak memberi tempat lagi kepada institusi Gereja untuk berkuasa dalam semua bidang, seperti di zaman pertengahan Eropa. Hanya saja, mereka pun tetap memanfaatkan misi Kristen untuk kepentingan kolonialisme dan imperialisme mereka. Kasus Kendall yang mencoba mengkristenkan Yasser Arafat sebenarnya hal yang mengherankan jika kaum Kristen sendiri mau mengkaji dengan cermat problema teologi dan teks Bible sendiri. Jika para misionaris mengajak manusia untuk mempercayai dan mengakui bahwa kematian Jesus di Tiang Salib adalah untuk menebus dosa manusia, maka hingga kini, para teolog Kristen sendiri masih terus berdebat tentang hal itu. Heboh Film 'The Passion of the Christ' karya Mel Gibson menunjukkan bagaimana kontroversialnya cerita tentang penyaliban Jesus itu sendiri. Paus Yohanes Paulus II menyetujui film itu dan menyatakan, bahwa film itu adalah apa adanya, sesuai dengan cerita Bible. Namun, seorang tokoh Kristen membuktikan, banyak gambaran dalam film itu yang tidak sesuai dengan Bible. Misalnya digambarkan, bahwa Iblis menemui Yesus di Getsemane, padahal Bible menyebut Malaekat yang menemui Yesus (Luk.22:43). Film ini juga secara khas model Perjanjian Baru yang menggambarkan, bahwa Yahudi bertanggung jawab atas kematian Jesus itu. Tetapi, John Dominic Crossan, professor dalam Biblical Studies di DePaul University Chicago, menulis sebuah buku berjudul Who Killed Jesus? yang isinya membuktikan bahwa pemahaman tradisional terhadap terbunuhnya Jesus, yang digambarkan sebagai perbuatan kaum Yahudi, sebagaimana dipaparkan dalam Perjanjian Baru, bukan hanya salah, tetapi

juga berbahaya. Ia juga mempertanyakan berbagai persoalan teologis yang mendasar, seperti benarkah Jesus mati untuk menebus dosa-dosa manusia? juga apakah keimanan kita sia-sia jika tidak ada kebangkitan tubuh Jesus? (Lihat, John Dominic Crossan, Who Killed Jesus (New York: HarperCollins Publishers, 1995). Perdebatan seputar Jesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Jesus itu benar-benar ada atau sekedar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). (Lihat, Howard Clark Kee, Jesus in History, (New York: Harcourt, Brace&World Inc, 1970), hal. 29. Konsep ketuhanan Jesus itu sendiri baru diputuskan secara resmi pada Konsili Nicea tahun 325 M. Sebuah buku berjudul The Messianic Legacy mencatat: At Nicea Jesuss divinity, and the precise nature of his divinity, were established by means of a vote. It is fair to state that Christianity as We know It today derives ultimately not from Jesuss time, but from the Council of Nicea. Jadi, konsep Ketuhanan Jesus dan hakikat alamiahnya ditetapkan dalam Konsili tersebut, melalui cara voting. Maka, kata buku ini, adalah fair untuk menyatakan, bahwa Kekristenan yang dikenal saat ini diturunkan bukan dari zaman Jesus, tetapi dari Konsili Nicea. Maka, sejak awal mula perkembangan Kristen, banyak sekali aliran yang tidak mengakui Ketuhanan Jesus. Contohnya, adalah satu kelompok yang bernama Cathary yang hidup di Selatan Perancis. Kelompok Cathary adalah penganut Catharism, satu kelompok heresy radikal di Zaman Pertengahan. Cathary percaya bahwa karena daging adalah jahat, maka Kristus tidak mungkin menjelma dalam tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Dalam ajaran Cathary, Jesus bukanlah Tuhan, tapi Malaikat. Untuk memperhambakan manusia, tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang mempertontonkan sihirnya dengan mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum ini tidak dapat disadarkan dengan persuasif, Paus Innocent III menyerukan kepada rajaraja untuk memusnahkan mereka dengan senjata, sehingga ribuan orang dibantai. Lebih pelik lagi jika kaum Kristen mau menelaah dengan serius problema yang dihadapi Kitab agama mereka sendiri, yaitu Bible. Begitu banyak kajian ilmiah yang membuktikan bahwa Bible memang bermasalah. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan tekateki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. Hasil penelaahan serius oleh Prof. Bruce M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bahwa sekarang mungkin saja untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (the way is open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament canon).

(Lihat, Bruce M. Metzger, The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance, (Oxford:Clarendon Press, 1987), hal. 273). Kristen adalah agama yang dibentuk dan disusun teologi dan ritualitasnya oleh perkembangan sejarah. Ini sangat berbeda dengan Islam, yang merupakan satu-satunya agama, yang namanya sudah diberikan oleh Allah, melalui Kitab Suci al-Quran. Nama Islam sudah built-in sejak awal. Konsep teologi dan ritual pokok dalam Islam pun sudah sempurna sejak awal mula. (al-Yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu alaikum nimaty, wa radhiitu lakumul Islama diinaa). Tidak ada satu pun agama yang memiliki sifat dan karakteristik seperti Islam itu, sehingga pendiri Islamic Studies di MacGill University, Wilfred Cantwell Smith, dalam bukunya The Meaning and End of Religion, menampatkan satu bab khusus The Special Case of Islam. Meskipun dalam buku ini ia mereduksi makna Islam hanya sekedar submission to God atau pasrah kepada Tuhan. Maka, kisah Kendall dan Arafat itu seyogyanya dapat menjadi pelajaran bagi kaum Muslim. Bahwa, meskipun secara konseptual teologis dan kitab Kitab-nya masih dipersoalkan, namun Kendall begitu bersemangat mengkristenkan Yasser Arafat. Jika kaum Muslim yakin bahwa Islam adalah yaluu wa laa yulaa alaihi, maka adalah sangat aneh, jika semangat kaum Muslim dalam melakukan Islamisasi jauh lebih rendah daripada Kendall. Wallahu alam. (Kuala Lumpur, 18 Maret 2004).

"Terimakasih Sharon!" Terimakasih Sharon, kau telah menghantarkan seorang mujahid mulia, kakek renta, menuju jannatul ma'wa. Semoga Allah memuliakan tempatnya. CAP Adian Husaini, MA ke-47 Terimakasih Sharon! (Puisi Mengenang Syeikh Yassin) Terimakasih, Ariel Sharon! Senin (22 Maret 2004), kau hantarkan seorang mujahid mulia, Syeikh Ahmad Yassin, semoga Allah Muliakan tempatnya. Menuju al-jannah al-mawa. Ahmad Yassin, seorang kakek renta berkursi roda getar suaranya menggetarkan Zionis Yahudi pengumbar angkara, dihujani peluru kendali oleh helikopter buatan Amerika. Terimakasih Sharon! Di tanganmu, dunia makin terbuka matanya

Kejahatan Zionis Israel sungguh tiada tara Konferensi Asia Afrika di Indonesia tahun 1955, Sudah satu suara Zionisme Yahudi benar-benar imperialisme paling utama Zionisme bukan hanya menjajah, mengeruk kekayaan negeri Muslim Palestina, Tetapi pun mengusir jutaan penduduknya, terlunta-lunta di berbagai pelosok dunia. Terimakasih Sharon! Tidaklah sia-sia, kau mewarisi ideologi Vladimir Jabotinski, orang Rusia. Guru mu itu seorang Zionis-Realis sejati pemuja kuasa. Kata dia, Zionisme sama dengan imperialisme, penjajahan atas manusia. Tidak ada yang rela dijajah dan diperhina. Sebab itu, kata gurumu, hanya satu cara untuk menghadapi mereka, Gunakan kekuatan dan senjata! Kau, Ariel Sharon, sejak Zionis bermula Telah akrab dengan darah dan air mata manusia Saat kau memimpin unit 101, ratusan tawanan tentara kau lindas dengan kendaraan lapis baja.

Terimakasih Sharon! Sebutan-mu sebagai penjagal manusia Karna jasamu membantai ribuan pengungsi Palestina di Shabra-Shatila Tidaklah sia-sia. Kau memang jagal manusia. Terimakasih Sharon!

Nafsu membunuhmu tampak begitu membara, Setelah Syekh Yassin sirna Shaul Mofaz, menteri Pertahanan negara Zionis, berkata Akan kami bunuh semua pemimpin Hamas Palestina Belumkah jutaan jiwa menjadi pelepas dahaga haus darah sang-drakula? Terimakasih Sharon! Seketika, kau masih dapat berleluasa Karena Sang Adi Kuasa, Amerika, masih membela Tindakan biadabmu dalam menjajah dan membunuh warga Palestina, Untuk Syeikh Yassin, sang juru bicara Gedung Putih, hanya berkata We are deeply troubled by this morning's actions in Gaza." Tidak ada sanksi apa-apa untuk para drakula dan teroris negara Hanya itu saja, kata-kata adikuasa! Bahkan, berkata si Condoleeza, penesehat keamanan kuasa dunia Hamas adalah teroris dunia. Dan Yassin adalah pemimpinnya. Katanya: "Let's remember that Hamas is a terrorist organization and that Sheikh Yassin himself has been heavily involved in terrorism." Jika Yassin, kakek tua, yang teraniaya dicap teroris dunia, akan banyak yang bertanya, apakah Ariel Sharon manusia? Terimakasih Sharon! Mata dan telinga manusia telah terbuka Dunia Islam begitu juga, semoga! Darah dan perjuangan Syeikh Yassin tidak sia-sia Yassin boleh pergi ke alam baqa Tapi perjalanan masih belum lama

1948 Zionis berkuasa di Palestina 1967 al-Aqsha diterkam pula Sabda Nabi Akhir Zaman akan terjelma Yahudi akan dikalahkan dan terhina Bersembunyi di balik batu dan tetumbuhan Ketakutan diserbu pasukan sabilillah Generasi 54 surat al-Maidah Yang Cinta Allah, dan Allah cinta mereka Terimakasih Sharon! Untuk para penjahat dan penjagal manusia Allah SWT sudah sediakan tempatnya Nereka Jahannam, tempat paling hina Kau memang berjasa, menabur dosa dan angkara Membuka fakta Akan kejahatan dan kekejaman keturunan Yehuda si Pezina Tapi, Sharon! Saya kuatir bila kata-kata Mofaz benar adanya Kemarahan umat Islam hanyalah sementara Sebentar lagi mereka lupa Dan sibuk dengan urusan dunia seperti semula Sebab al-wahnu telah menggejala Cinta dunia dan takut menemui Allah Azza wa-Jalla. Allahumma, Rabbanaa Laa tuakhidznaa in nasiinaa Aw akhthanaa Rabbanaa wa laa tahmil alainaa Ishran kamaa hamaltahuu alalladziina min qablinaa

Rabbanaa wa laa tuhammilnaa ma laa thaaqata lanaa bih Wafu anna wa ighfirlana warhamnaa Anta maulaanaa fanshurnaa ala al-qaumil kaafiriin Amin. (KL, 24 Maret 2004)

Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen Hermeneutika yang semula lahir akibat polemik teks Bible yang dianggap banyak masalah, kini, secara latah dicoba untuk mengkritik Al-Quran dan meragukan mushaf Usmani. Baca CAP Adian Husaini ke-48 Majalah Gatra, edisi 3 April 2004 menurunkan laporan cukup panjang tentang fenomena kajian hermeneutika di kalangan perguruan Islam di Indonesia. Disebutkan, dua perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Islam Negeri Jakarta dan IAIN Yogyakarta sudah mengajarkan mata kuliah Hermenutika untuk mahasiswanya. Laporan Gatra itu menarik untuk dicermati, di tengah-tengah hingar bingar pemilu 2004. Mengapa? Sebab, fenomena ini menunjukkan, betapa lemahnya pertahanan kaum Muslim dalam aspek yang sangat strategis, yakni cara pemahaman (epistemologis) terhadap sumber utama Islam, yakni al-Quran. Laporan Gatra mengulas terbitnya satu majalah pemikiran dan peradaban Islam, ISLAMIA, awal Maret 2004, yang nomor perdananya mengulas secara mendalam masalah hermeneutika. Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode tafsir Bible, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim, kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman al-Quran yang dikenal sebagai ilmu tafsir. Jika metode atau cara pemahaman al-Quran sudah mengikuti metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Bible, maka patut dipertanyakan, bagaimanakah masa depan kaum Muslim di Indonesia? Pertanyaan ini perlu disampaikan, kepada kita semua, termasuk kepada para politisi Muslim, yang sedang aktif menggalang dukungan suara untuk partai dan dirinya. Bahwa, ada kanker ganas yang sedang bekerja sangat cepat menggeregoti organ-organ vital kaum Muslimin. Apakah hermeneutika dapat diadopsi untuk menggantikan tafsir al-Quran? Sebuah ulasan ringkas dan komprehensif tentang hermeneutika dan al-Quran disusun oleh Syamsuddin Arif, kandidat doktor bidang pemikiran Islam di ISTAC-IIUM, yang sedang melakukan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitet, Frankfurt am Main, Jerman. Syamsuddin Arif termasuk salah satu cendekiawan Muslim langka yang kini dimiliki kaum Muslim. Selain menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan

fasih, lisan dan tulisan, alumnus Pondok Gontor ini juga menguasai bahasa Latin dan Yunani. Di Jerman, di tengah-tengah kesibukan penelitiannya, sedang menekuni bahasa Hebrew dan Syriac. Catatan Syamsuddin Arief yang dikirimkan kepada saya berikut ini sangat menarik dan penting untuk dicermati, mengingat, bahwa biasanya, banyak pemikir dan tokoh Islam, sangat peduli dengan wacana pemikiran Islam yang terkait dengan aspek fiqih dan politik, seperti isu perkawinan antar agama atau masalah penerapan syariat Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi, jarang sekali yang peduli atau memahami masalah-masalah kajian metodologis atau epistemologis yang sebenarnya lebih mendasar dan berdampak besar dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia di masa depan. Contohnya masalah hermeneutika. Tampak, bagaimana banyak ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia, terlambat memahami masalah yang sangat fundamental tersebut. Padahal, beberapa institusi pendidikan Islam sudah mengajarkan hermeneutika sebagai alternatif bagi metode penafsiran al-Quran yang selama ini dikenal olen umat Islam pada umumnya. Bahkan, sekarang sudah banyak muncul cendekiawan dan tokoh-tokoh organisasi Islam, yang begitu bersemangat menyebarkan dan mengajarkan hermeneutika, dengan menyerukan agar metode tafsir klasik al-Quran tidak digunakan lagi. Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri. Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman al-Quran dan al-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan impor pemikiran semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki sikap teliti sebelum membeli gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak-belakang dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim. Salah satu produk asing tersebut adalah hermeneutika, yang belum lama ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional Hermeneutika alQuran: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci di sebuah perguruan Tinggi. Konon tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah hermeneutika al-Quran yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya dan di Indonesia khususnya. Terlanjur gandrung pada segala yang baru dan Barat (everything new and Western), sejumlah cendekiawan yang nota bene Muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh ahistoris (mengabaikan konteks sejarah) dan uncritical (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen. Istilah dan Sejarahnya Secara etimologi, istilah hermeneutics berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk

jamak dari to hermeneutikon) yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata Hermes, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata hermeneias berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu. Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah interpretatio untuk tafsir, bukan hermeneusis. Karya St. Jerome, misalnya, diberi judul De optimo genere interpretandi (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik), sementara Isidore dari Pelusium menulis De interpretatione divinae scripturae (Tentang Penafsiran Kitab Suci). Adapun pembakuan istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, baru terjadi kemudian, pada sekitar abad ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, hermeneutics biasanya dikontraskan dengan exegesis, sebagaimana ilmu tafsir dibedakan dengan tafsir. Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi hermeneutika umum (General Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk membebaskan tafsir dari dogma, ia bahkan melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum, semua teks diperlakukan sama, tidak ada yang perlu di-istimewakan, apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks karya manusia biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan historisitas teks dan pentingnya kesadaran sejarah (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati jarak sejarah antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita mengalami kembali (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut. Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya hermeneutic circle, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis. Asumsi dan Implikasinya Dengan latarbelakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah

asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Quran, hermeneutika otomatis akan menolak status al-Quran sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani. Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai produk sejarah---sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Quran, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li-n naas). Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al-Quran yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman. Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar). Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang kebenaran satu agama, serta tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Pada 1 Maret 2004 lalu, dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, seorang profesor juga mengajukan gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth claim. Sebab, hanya Allah yang tahu kebanaran. Pada tataran fiqih, semakin gencar disebarkan pemahaman yang mendekonstruksi hukum-hukum fiqih Islam, yang qathiy, seperti kewajiban jilbab, haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, dan sebagainya. Jika metodologi pemahaman al-Quran sudah dirusak oleh para ulama, cendekiawan, dan tokoh Islam, yang semestinya menjaga umat, maka keadaan ini bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Pekerjaaan merusak pemikiran Islam semacam ini dulu hanya diakukan oleh para misionaris Kristen dan Orientalis. Karena itu, tentunya kaum Muslimin sangat perlu mencermati dan melakukan tindakan pencegahan dan penyembuhan terhadap serbuan penyakit yang sudah begitu jauh mencengkeram dan merusak tubuh umat Islam. Wallahu alam. (KL, 31 Maret 2004).

Ancaman Lee dan Masa Depan PKS Jumat, 09 April 2004 Simpatisan PKS mungkin akan merayakan kemenangan atas meroketnya suara dalam Pemilu 2004 kali ini. Tapi, stigma dan ancaman, akan makin berdatangan. Baca CAP ke-49 Adian Husaini, MA Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew mengulangi lagi seruannya agar kelompok Islam moderat memerangi ekstrimis Islam, yang ia sebut telah membuat teror di dunia. Jika tidak, maka AS dan sekutunya akan memerangi kelompok ekstrimis Islam itu. Lee mengingatkan kelompok Islam moderat di dunia jika tak segera mengambil sikap dan memulai memerangi kelompok ekstrimis di masjidmasjid dan sekolah-sekolah muslim, maka yang akan terkena getahnya tidak saja kelompok ekstrimis itu saja, melainkan komunistas Islam secara keseluruhan. Adanya respons dari kelompok moderat ini, kata Lee, juga akan mengurangi jurang pertentangan antara Barat dengan Muslim. Lee membuat pernyataan itu dalam wawancara dengan BBC East Asia Today, Sabtu (27 Maret 2004), yang juga dikutip oleh Tempo Interaktif. Lee mengatakan, berdiamnya kelompok Islam moderat membuat Islam ekstrimis leluasa meledakan bom seperti di Bali dan di Madrid baru-baru ini yang menewaskan 190 orang. Karena ada reaksi dari kalangan Islam moderat, menurut Lee, mendorong Amerika Serikat dan sekutunya memerangi kelompok ekstrimis Islam itu. Jika bom-bom terus meledak setelah 11 September, Madrid, dan Bali lalu kelompok Islam moderat diam saja, dan bahaya Barat mulai terasa, maka tak akan ada yang menang melawan teroris. "Ini masalah yang sangat berbahaya," katanya. Selain Amerika, menurut Lee, negara-negara Eropa juga akan mengambil sikap yang sama menumpas kelompok-kelompok ekstrimis itu. Sehingga tidak bisa disalahkan jika dua kekuatan besar itu kemudian memerangi Islam, karena orang Islamnya sendiri membiarkan aksi kelompok-kelompok Islam garis keras itu. Begitulah pernyataan mutakhir Lee Kuan Yew. Pernyataan Lee itu tentu bukan hal yang baru. Beberapa kali ia menyatakan sikap senada. Ia pernah meminta agar AS membantu TNI untuk menumpas gerakan yang disebutnya sebagai Islam radikal dan ekstrimis. Berulang kali pula Lee menyerukan kepada dunia akan bahaya Islam militan, radikal, dan sebagainya. Kita tidak terlalu terkejut dengan ucapan tokoh Cina perantauan (Overseas Chinese) yang mutakhir ini. Meskipun demikian, ucapan Lee perlu menjadi perhatian dan catatan serius kalangan Muslim. Apalagi, ucapan itu diungkapkan dan disebarluaskan di tengah-tengah momentum Pemilu Indonesia tahun 2004, yang memunculkan fenomena baru, meroketnya perolehan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bagaimanapun jargon dan strategi yang digunakan PKS dalam meraih suara, PKS tetaplah akan dipandang Barat sebagai partai Islam yang berkeinginan melaksanakan syariat Islam. Para aktivis dan tokoh PKS dengan mudah akan dituding memiliki hubungan dengan teroris, karena mereka aktif mendukung perjuangan Palestina dan mau tidak mau harus berhadapan dengan Israel yang sekaligus pelindung utamanya, AS.

Siapapun tau, para aktivis PKS dikenal aktif dalam mendukung perjuangan Hamas, yang oleh Israel dan AS sudah dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris. Karena itu, tidaklah heran, jika beberapa waktu lalu, Presiden PKS, Dr. Hidayat Nurwahid juga dikaitkan dengan jaringan teroris, karena organisasi yang dipimpinnya, yakni Yayasan Haramain, dicap punya kaitan dengan organisasi teroris tertentu versi AS dan PBB. Jika Lee Kuan Yew meminta agar Islam moderat memerangi Islam teroris dan ekstrimis, maka yang perlu dipertanyakan kepada kakek Lee adalah tentang definisinya, siapakah yang disebut sebagai ?moderat? dan siapakah yang disebut sebagai ?ekstrimis? atau ?teroris?. Dalam kamus ?terorisme? definisi ini tidak pernah jelas. Dunia dengan gamblang melihat bagaimana standar ganda diterapkan. Pembunuhan tentara Israel terhadap Syeikh Ahmad Yassin dan tokoh-tokoh Hamas bukanlah termasuk tindakan teror. Dalam kurun waktu 28 September 2000 hingga 8 April 2004, sudah lebih 3.800 warga Palestina yang dibunuh oleh Israel. Satu jumlah yang melampaui korban serangan 11 September 2001. Jika warga Palestina yang jadi korban, maka itu bukanlah tindakan terorisme. Tetapi jika orang Yahudi atau Amerika dan sekutunya yang jadi korban, maka itu dikatakan terorisme. Padahal, dunia mengakui, Israel adalah penjajah wilayah Palestina, karena terus-menerus melanggar berbagai resolusi PBB yang memerintahkan mereka keluar dari wilayah Palestina yang didudukinya. Sudah terlalu banyak pakar yang mengritik kebijakan AS dalam soal terorisme, yang tidak melihat pada akar persoalan, tetapi terus-menerus menebar permusuhan dan melindungi berbagai tindakan kejahatan sekutu-sekutu atau kroninya, hanya karena menguntungkan politik dan kepentingan-kepentingannya. Karena itu, kita perlu memahami apa yang ada di balik ucapan Lee Kuan Yew. Sejatinya, dunia Barat, khususnya AS dan sekutunya, sudah mulai ketakutan dan kebingungan dengan kondisi mereka sendiri, yang tidak lagi akur dan bersatu padu. Karena itu, mereka resah. Perdebatan antara Huntington dengan Anthony Giddens beberapa waktu lalu dipublikasikan oleh sejumlah media internasional dengan judul ?Two West? (Dua Barat). Thomas L. Friedman, dalam kolomnya di International Herald Tribune (3 November 2003), berjudul ?Is this the end of the West?? menulis, bahwa Barat memang telah pecah. AS dan Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, telah berbeda dalam banyak hal prinsip. Carld Bildt, mantan PM Swedia, menyatakan, bahwa selama satu generasi, Amerika dan Eropa bersepakat selama puluhan tahun bersama Aliansi Atlantik Utara membangun komitmen bersama untuk menciptakan pemerintahan demokratis, pasar bebas, dan menangkal pengaruh komunisme Uni Soviet. Namun, kini, semua itu sudah berubah. Bagi Eropa, tahun penting adalah 1989 (keruntuhan Soviet), sedang bagi AS adalah 2001 (Tragedi WTC). Eropa dan AS juga gagal untuk membangun visi bersama dalam menghadapi isu-isu global. ?We have also failed to develop a common vision for where we want to go on global issues confronting us,? kata Bildt. Karena itulah, Barat membutuhkan musuh bersama. Berbagai isu mereka bangkitkan untuk menyatukan visi dan langkah mereka. Isu ?terorisme Islam? merupakan isu yang sensitif bagi Barat, karena pengalaman sejarah yang panjang tentang Islam. Memori kolektif masyarakat Barat ? juga sekutunya, seperti Lee Kuan Yew, yang negaranya terjepit di tengah negeri Muslim -- akan dengan mudah dibangkitkan dengan tantangan dan ancaman Islam. Mengapa? Di dunia ini tidak ada peradaban lain yang begitu lama mampu menaklukkan peradaban

Barat dan masuk ke jantungnya, selain peradaban Islam. Di Spanyol, umat Islam bertahan hampir 800 tahun (711-1492). Mereka masih sulit melepaskan ingatan, bagaimana Kota Kebanggaan Kristen, Konstantinopel, direbut oleh umat Islam pada 1453. Oleh Sultan Muhammad al-Fatih, Kota itu diubah namanya menjadi ?Islambul? (Kota Islam). Konstantin adalah Kaisar Romawi yang sangat dihormati oleh kalangan Kristen, karena dialah yang pertama kali memberikan kelonggaran kepada kaum Kristen untuk menjalankan agamanya di wilayah Romawi, dengan mengeluarkan Edict of Milan pada 311 M. Maka, dia dijuluki sebagai ?The Great Constantine?. Atas prakarsa dia pula, pada 325 diselenggarakan Konsili Nicaea, yang merumuskan Teologi Kristen resmi, yang masih dijadikan pegangan Gereja hingga kini. Secara teologis, Islam juga memberikan tantangan besar sejak awal mula, terhadap pondasi dan Kitab Yahudi dan Kristen (Bible). Al-Quran menyebut mereka sebagai kafir ahlul kitab dan karena mereka ingkar kepada kenabian Muhammad maka mereka tidak akan mendapatkan keselamatan. Secara tegas al-Quran menyatakan, mereka yang beriman kepada trinitas sebagai kafir (QS Al-Maidah 72-75). Bahkan, Al-Quran juga secara tegas menyebut bahwa mereka sudah mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga menjadi tidak suci lagi. Bukan hanya itu, al-Quran juga membongkar asas-asas peradaban Barat modern yang berbasis kepada rasionalisme dan menolak wahyu. Tidak ada satu agama dan kitab suci pun di muka bumi ini, yang membongkar dan mengkritisi habis-habisan unsur-unsur peradaban Barat, sebagaimana peradaban Islam. Karena itu, meskipun sebagian besar masyarakat Kristen Barat telah menjadi ?Kristen-nominal?, namun sentimen keagamaan mereka dan memori kolektif mereka terhadap Islam, masih sangat mudah diungkit dan dibangkitkan. Tidak heran, pasca peristiwa 11 September, umat Islam di berbagai negara Barat menghadapi pelecehan dan serangan, meskipun mereka tidak tahu menahu tentang peristiwa 11 September. Jadi, pada perspektif politik internasional, demi menjaga kepentingan Barat, khususnya ?American interests?, maka isu ?teroris Islam? terus-menerus dipelihara. Dan memang, ada saja diantara kaum Muslim, yang terpancing atau dengan sadar dan terpaksa melakukan tindakan kekerasan terhadap Yahudi di Palestina atau berbagai penindas kaum Muslim (di Chekhnya, Kashmir, Moro, dan sebagainya). Mereka melakukan itu biasanya sebagai respon. Bom Madrid, misalnya, sangatlah penting nilainya bagi AS untuk meyakinkan sekutu-sekutunya di Eropa akan bahaya ?teroris Islam?. Bom Bali, terbukti memiliki nilai strategis bagi AS untuk mengokohkan imej dunia, bahwa ancaman ? teroris Islam? bukanlah isapan jempol. Sebenarnya, mayoritas kaum Muslim bukannya membenarkan tindakan bom Bali dan sejenisnya. Yang mereka tuntut adalah keadilan. Jika Imam Samudera dkk dihukum karena membunuh 190-an orang, maka bagaimana dengan Israel atau AS yang membunuh ribuan wanita dan anak-anak di Palestina, Iraq, Afghanistan dan sebagainya? Jika Lee Kuan Yew berteriak tentang bahaya Islam teroris, mengapa dia membiarkan para koruptor dan pelarian Indonesia yang menggondol trilyunan rupiah uang rakyat Indonesia, bersembunyi di Singapura. Mengapa Singapura selalu menolak menandatangai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia? Bukankah terorisme ekonomi memiliki dampak yang jauh lebih dahsyat dari pada terorisme dengan bom tangan? Sebab, terorisme ekonomi membunuh generasi. Jutaan orang sengsara sebab hak-hak hidup mereka dirampas. Kita berharap,

tuntutan-tuntutan keadilan semacam ini akan semakin banyak diungkapkan oleh pemerintah Indonesia di masa depan, siapa pun yang menjadi presiden. Di tengah situasi politik internasional saat ini, yang masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan neokonservativ (terutama Yahudi sayap kanan dan Kristen-Zionis), maka partai-partai Islam yang sedang menanjak naik bintangnya --seperti PKS-- perlu sangat cermat, dan tidak tenggelam ke dalam kegembiraan yang berlebihan. Sejumlah kasus menunjukkan, Barat dan kekuatan-kekuatan sekulermisionaris, tidak pernah berhenti untuk menghancurkan partai-partai Islam. Kasus FIS di Aljazair tahun 1991, menunjukkan bagaimana Barat begitu risau ketika FIS memenangkan pemilu. Necmetin Erbakan, hanya bertahan 18 bulan di pemerintahan Turki. Awal Januari 1992, militer garis keras di Aljazair membatalkan pemilu, memberangus FIS dan menahan ratusan anggotanya sehingga negara itu terus menerus dalam perang sipil dan menimbulkan korban sampai 80 ribu jiwa. Pembatalan pemilu itu, dimana pemerintahan Bush (senior) menghormati keputusan militer Aljazair, dianggap sebagai suatu keputusan Washington yang membingungkan. Bahkan lebih jauh, ketika militer mengambil paksa pemerintahan Aljir pada Januari 1992, Departemen Pertahanan AS mengatakan hal itu dibenarkan dalam konstitusi Aljazair. Diplomatdiplomat Amerika secara pribadi juga setuju bahwa kemenangan kaum Islamis di Aljazair dapat menimbulkan efek anti Barat dan dapat menimbulkan gejolak yang luas di negara-negara lain. Pemerintahan Bush juga khawatir kemenangan Islam Fundamentalis ini menyeberang ke Afrika. Menteri Luar Negeri AS di masa pemerintahan Bush, James Baker lebih jelas lagi menyatakan ketidakinginannya melihat hasil pemilu di Aljazair. Sebab ia melihat, FIS adalah sebuah gerakan Islam fundamentalis radikal yang benar-benar anti Barat, anti nilai-nilai demokrasi, kebebasan pasar dan prinsip-prinsip serta nilai-nilai Barat. Baker menyatakan: "Kita tidak bisa hidup dengan gerakan itu (fundamentalis radikal) di Aljazair, sebab kita merasa bahwa pandangan-pandangan fundamentalis radikal bertentangan dengan apa yang kita yakini dan kita dukung dan bertentangan dengan kepentingan nasional AS." Sebagai partai Islam yang bintangnya sedang bersinar, PKS haruslah mencermati kasus FIS juga Erbakan. Pernyataan Lee bisa jadi serius. Jika begitu, apakah pernyataan Lee dimaksudkan agar PKS, PPP, PBB, PNUI, PBR, dan lain-lain, diperangi? Yang perlu dicermati adalah bagaimana kiat-kiat dan cara melumpuhkan kekuatan Islam. Mereka memulai dari dasarnya, dari unsur aqidah atau ideologisnya. Justru partai-partai Islam yang meraih suara signifikan kali ini perlu lebih menyadari, bahwa jumlah besar bukan jaminan kekuatan dan kebenaran. Al-Quran banyak mengingatkan untuk tidak berbangga-bangga dengan jumlah besar. Dalam Perang Hunain, ketika kaum muslim berbangga-bangga dengan jumlah yang besar, justru mereka mendapatkan pukulan hebat dari kaum kafir. (QS 9:25). Jumlah besar, disamping potensi, juga menyimpan kerawanan, terutama dari para infiltran yang berniat tidak baik terhadap Islam. Wallahu a?lam. (KL, 9 April 2004).

Seruan Paus untuk Konflik di Iraq dan Palestina Rabu, 21 April 2004 Pidato Paus memberatkan para pejuang Palestina dan Iraq. Kita menunggu pemimpin Katolik yang memberikan hak kaum muslim lepas dari belenggu penjajah Barat. Baca CAP ke-50 Adian Husaini, MA Pemimpin kaum Katolik sedunia Paus Johannes Paulus II membuat seruan dalam pidato Paskah Mingu (11 April 2004), agar para pemimpin negara menyelesaikan konflik-konflik di Iraq, Timur Tengah, dan Afrika dan mendesak para pemeluk Kristiani, Islam, dan Judaisme (Yahudi) untuk menemukan kembali persaudaraan yang mereka miliki. Paus juga berdoa agar harapan dapat mengalahkan fenomena meningkatnya terorisme yang tak berperikemanusiaan. Seruan Paus untuk menyelesaikan konflik-konflik di dunia internasional itu tentu perlu disambut baik. Namun, Paus tidak memberikan klarifikasi yang lebih jelas, mengapa dan bagaimana konflikkonflik dan tragedi itu mestinya diselesaikan. Tahun 2003, Paus termasuk diantara tokoh dunia yang menentang invasi AS ke Iraq. Ia bahkan memperingatkan bahwa invasi pasukan AS dan koalisinya di Iraq akan memicu keretakan hubungan antara Muslim dan Kristen. Paus termasuk penentang serangan AS ke Iraq. Tahun lalu, pada tanggal 20 April 2003, dalam rangka Minggu Paskah, Paus juga berpidato yang isinya menyerukan perdamaian di Iraq dan pencegahan ancaman konflik antarbudaya dan agama. Ketika itu, di hadapan sekitar 50 ribu orang di lapangan Basilika Santo Petrus dan jutaan pemirsa televisi, Paus menyampaikan khotbahnya tentang konflik yang masih berlangsung di Tanah Suci. Menurutnya, kekerasan yang terus berlangsung antara tentara Israel dan penduduk Palestina memperlihatkan tidak adanya usaha untuk melakukan gencatan senjata. "Marilah kita hentikan mata rantai kebencian dan terorisme yang mengancam keberlangsungan keluarga manusia. Semoga Tuhan membebaskan kita dari pertentangan tragis antarbudaya dan agama," katanya. Paus Johannes Paulus II juga mengungkapkan kekhawatiran perang yang dikobarkan AS di Iraq akan dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem yang menganggap hal ini sebagai konflik antarperadaban. "Dianggap sebagai konflik antara Barat dan Timur atau antara Kristen dan Muslim," ungkapnya lagi, seperti diberitakan website Kompas. Secara umum, pidato Paus itu tentu simpatik, mengajak dan mengharapkan terciptanya perdamaian dunia. Namun, dunia tentu berharap lebih jauh dari itu. Paus, sebagai institusi wakil Kristus seyogyanya memberikan penilaian yang lebih tegas terhadap berbagai masalah yang didoakannya. Paus seyogaynya menunjukkan dengan jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Seperti masalah Palestina dan Iraq. Kedua, masalah itu begitu jelas duduk persoalannya. Masalah Palestina terjadi karena pendudukan dan penjajahan Zionis Israel atas Palestina. Sedangkan masalah Iraq yang terus berkelanjutan sampai sekarang terjadi akibat serangan AS terhadap Iraq.

Mengapa Paus tidak dengan tegas mendoakan agar Zionis Israel segera menghentikan kezalimankezalimannya dan mundur dari wilayah yang didudukinya. Sepanjang sejarah Kepausan, sikap Paus terhadap Yahudi memiliki berbagai corak yang beragam. Pada satu sisi, Paus seperti dibayangi sejarah masa lalu yang kelam, saat Gereja melakukan berbagai tindakan sadis dan kekejaman terhadap Yahudi di Eropa. Sekarang, ada tanda-tanda, Paus tidak bersikap begitu tegas terhadap Zionis Israel. Pada 1 Desember 2003, sekelompok Yahudi sayap kanan (Yahudi Zionis), berjumpa dengan Paus untuk melakukan pembicaraan yang menentang aksi suicide bombing (bom syahadah). Kelompok Yahudi dari The Simon Wiesenthal Center itu melakukan kampanye yang mendesak dunia internasional agar menetapkan suicide bombing sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Mereka juga menyatakan, suicide bombing sebagai the crime of the 21st century. Saat berjumpa Paus, ketika itu, Rabbi Marvin Hier, menyatakan, bahwa dunia sekarang berharap pada Paus untuk menyatakan, aksi bom syahadah semacam itu adalah kejahatan terhadap Tuhan dan manusia. (The world turns to you, Your Holiness, to declare such acts as both crimes against God and crimes against humanity) Namun, Paus tidak menjawab secara tegas permintaan kelompok Yahudi sayap kanan itu, dan hanya menyatakan: "In these difficult times let us pray that all peoples everywhere will be strengthened in their commitment to mutual understanding, reconciliation and peace." Sikap Paus terhadap Yahudi yang memicu kontroversi juga adalah komentarnya tentang film kontroversial The Passion of the Christ karya Mel Gibson, dimana Paus diberitakan menyatakan film itu sebagai It is at It was. News Week edisi 16 Februari 2004 memberitakan, Paus memberikan komentarnya setelah menonton film tersebut. Secara umum, Film ini memang digarap sesuai dengan cerita dalam empat versi Perjanjian Baru. Hanya, menurut News Week, Bible itu sendiri boleh jadi merupakan sumber cerita yang problematis. Jika Paus menyatakan film itu sesuai dengan apa adanya, sebagaimana paparan dalam Bible, justru dalam film itu ditemukan berbagai penyimpangan dari cerita versi Bible. Mel Gibson adalah penganut Roma Katolik yang ultra konservatif. Ia menafsirkan penderitaan Yesus dalam Injil secara literal. Dengan dukungan kaum Injili Amerika, yang pro-Zionis, film itu mendapat promosi gratis di kalangan jemaat gereja-gereja dan sudah mendatangkan keuntungan sekitar lebih dari 29 juta USD. Padahal, film ini memberikan gambaran yang jelas, bahwa Yahudilah yang harus bertanggung jawab terhadap terbunuhnya Jesus. Sedangkan Pilatus, penguasa Romawi, digambarkan sebagai penguasa yang lemah dan menyerah kepada tuntutan pemuka-pemuka Yahudi ketika menghukum Jesus. Juga, dalam film ini, Maria Magdalena, yang dalam Bible disebutkan sebagai saksi mata kebangkitan Jesus, diidentikkan dengan perempuan yang berzina. Di kalangan Kristen telah muncul perdebatan keras seputar kebangkitan Jesus itu sendiri. Padahal, ini adalah masalah pokok dalam teologi atau kepercayaan mereka. Tahun 2003 lalu, dalam pidato Paskahnya, Paus menyatakan: "Jika Kristus tidak bangkit dari kematian, tidak saja iman kita menjadi sia-sia, namun kita semua juga masih akan terbelenggu iblis dan maut." Dalam Bible, (Markus 16:1-8, Matius 28:1-10), misalnya, diceritakan tentang kebangkitan Jesus

itu. Meskipun Maria Magdalena dan Maria lainnya tidak menyaksikan langsung proses kebangkitan Jesus itu. Cerita seputar inilah yang menimbulkan perdebatan hebat di kalangan Kristen. Seorang profesor Bible, John Dominic Crossan, dalam bukunya, Who Killed Jesus?, (1995:216-217) menulis, bahwa cerita tentang kubur Jesus yang kosong adalah satu cerita tentang Kebangkitan dan bukan kebangkitan itu sendiri. (Empty tomb stories and physical appearance stories are perfectly valid parables expressing that faith, akin in their own way to the Good Samaritan story. They are, for me, parables of resurrection not the resurrection itself). Cerita tentang Jesus, seperti tertera dalam Bible, disusun sekitar tahun 60-90 M, atau 30-60 tahun sesudah peristiwa itu terjadi. Tentu saja, cerita-cerita itu disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Jesus. Itulah yang dibuktikan oleh Crossan melalui bukunya tersebut. Buku ini tentu saja ditolak oleh kalangan Kristen utama. Jika buku ini diterima, maka runtuhlah fondasi utama kepercayaan Kristen. Al-Quran sudah mengkritik salah satu pilar kepercayaan Kristen ini dan menjelaskan, bahwa orang-orang yang berselisih pendapat tentang masalah pembunuhan Jesus itu hanyalah mengikuti syakwasangka. Wa inna lladziina ikhtalafuu fiihi lafii syakkin minhu, (QS 4:157). Syak artinya tingkatan kepercayaan itu hanya sekitar 50 persen. Mereka tidak yakin akan hal itu, dan memang hingga kini mereka berkutat mempersoalkan bukti-bukti sejarah. Berbeda dengan penulisan al-Quran dan hadith yang menggunakan metodologi ilmiah yang kuat dengan metode isnad maka hal semacam itu tidak dijumpai dalam metodologi penulisan Bible. Terlepas dari itu, Paskah memang menjadi hari Raya penting kaum Nasrani. Seperti biasanya, Paus juga menyampaikan pidato yang menyerukan perdamaian. Sementara pada sisi lain, tahun ini, George W. Bush, pengobar perang di Iraq, juga merayakan Paskah di pangkalan Angkatan Darat terbesar AS di Fort Hood, Texas. Di Moskow, Presiden Rusia Vladimir Putin dan beberapa pejabat tingginya merayakan Paskah Kristen Ortodoks dipimpin Patriarkh Alexy II. Di beberapa tempat, seperti di Filipina, beberapa kalangan Kristen masih ada yang merayakan Paskah dengan meniru proses penyaliban yang dialami Yesus. Puluhan orang di sebuah desa (Cutud) di Filipina membiarkan dirinya disalib. Di Surabaya, beberapa gereja Katolik menggelar pementasan jalan salib. Di Indonesia, Paskah ditetapkan menjadi hari libur nasional. Di Malaysia tidak. Di tengah semaraknya Paskah, di dunia Barat dan berbagai dunia, kasus Iraq menjadi semakin tidak menentu. Bush yang mengaku sebagai Kristen yang terlahir kembali, terus memerintahkan pasukannya melakukan pendudukan dan pembunuhan di Iraq. Keluarga Bush juga dikenal sangat dekat dengan tokoh-tokoh gereja konservatif, terutama Reverend Moon, seorang pemimpin The Unification Church. Kalangan fundamentalis Kristen inilah yang sangat dekat dengan kalangan fundamentalis Yahudi. Karena itu, tidaklah heran, jika begitu Iraq diduduki, kalangan misionaris Kristen segera bertindak melaksanakan aksinya. Satu lembaga amal bernama Samaritan's Purse, yang dikelola Franklin Graham, misalnya bertindak menyebarkan makanan dan Bible.

Franklin Graham adalah anak dari tokoh misionaris AS Billy Graham, yang menyatakan, bahwa Islam adalah agama jahat (a very evil and wicked religion). Bagi kaum Muslim, tidaklah sulit untuk melihat, bahwa selain ada motif-motif politik, ekonomi, dan sebagainya, perang itu juga bernuansa agama. Tindakan pasukan AS dan para misionaris Kristen di Iraq tentulah sulit untuk tidak dikaitkan dengan agama. Karena itu, sangatlah tidak tepat, jika Paus mengungkapkan rasa khawatirnya, bahwa perang yang dikobarkan AS di Iraq akan dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem yang menganggap hal ini sebagai konflik antar peradaban; dianggap sebagai konflik antara Barat dan Timur atau antara Kristen dan Muslim. Kaum Muslim pun paham, bahwa jutaan orang Kristen dan Yahudi di negara-negara Barat sendiri juga menentang Perang terhadap Iraq itu. Namun, Paus juga perlu memahami bahwa jika rakyat Iraq bereaksi melakukan aksi jihad melawan penjajahan, itu bukanlah tindakan ekstrim. Itu adalah tindakan sah dari rakyat yang dijajah dan begitu dimuliakan dalam ajaran Islam. Pidato seperti itulah yang kita tunggu dari Paus, yang memberikan hak kepada kaum Muslim dan seluruh manusia untuk merdeka dan terlepas dari belenggu penjajahan sebagian penguasa Barat yang notabene juga memiliki kepercayaan yang sama tentang Yesus dengan Paus. (KL, 15 April 2004 Indonesia Menunggu 'Napoleon' Senin, 26 April 2004 Napoleon mengembalikan Perancis menjadi tercerahkan. Bisakah Presiden baru menjadikan Indonesia negara kuat, adil, dan makmur, yang dicita-citakan rakyat? Baca CAP ke-51 Adian Husaini, MA Mengapa Golkar menang dalam pemilu 2004? Mengapa Jenderal TNI (Purn) Wiranto memenangkan konvensi Golkar untuk pemilihan Presiden? Mengapa Susilo Jenderal TNI (Purn) Bambang Yudhoyono menjadi populer dan partai yang mencalonkannya pun mendapatkan suara besar dalam pemilu 2004? Harian Utusan Melayu, (Kamis, 22 April 2004) menurunkan beberapa tulisan, berita dan artikel, tentang Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono, menjelang pemilihan Presiden Indonesia pada 5 Juli 2004. Kedua calon Presiden dari Partai Golkar dan Partai Demokrat ini banyak menimbulkan spekulasi, apakah sebagian besar rakyat Indonesia mengharapkan tampilnya pemimpin yang kuat, setelah selama 6 tahun lebih mereka hidup di alam reformasi. Mengapa partai PAN pimpinan Bapak Reformasi Amien Rais justru jeblok suaranya, dan kalan jauh dengan suara Golkar, partai warisan Orde Baru? Apa yang sebenarnya sedang dan akan terjadi dalam aspek sosial-ekonomi-politik di Indonesia? Adalah menarik untuk membandingkan keadaan Indonesia sekarang dengan kondisi Perancis pada saat-saat negara itu mengalami Revolusi tahun 1789. Menjelang Revolusi, Perancis adalah negara autokrasi di bawah kekuasaan Raja Louis ke-14 yang berpenduduk sekitar 26 juta jiwa. Kekuasaan terpusat di tangan raja dan kaum elite negara. Ada dua kelompok yang sangat

diistimewakan ketika itu. Pertama, kaum agamawan (clergy), yang diwakili oleh Geraja Katolik, dan kaum bangsawan (nobility). Gereja mendapatkan berbagai keistimewaan, seperti memungut pajak hasil bumi, mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian, melakukan penyensoran terhadap bukubuku yang dinilai melawan ajaran Gereja, mengoperasikan sekolah-sekolah. Walaupun tanah-tanah Gereja banyak menghasilkan keuntungan, namun mereka tidak membayar pajak apa pun. Karena itu, banyak dijumpai, tokoh-tokoh agama yang hidup dalam kemewahan. Kelompok bangsawan yang jumlahnya hanya sekitar 350 ribu juga mendapatkan berbagai keistimewaan. Mereka dikecualikan dari hampir semua jenis pajak. Mereka menguasai sekitar sampai 1/3 tanah Perancis. Krisis ekonomi menjelang tahun 1789, dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan liberal dan kelompok bourgeoisie (borsua) Perancis untuk melakukan revolusi dan meruntuhkan monarkhi. Dan itu terjadi pada 14 Juli 1789, saat masyarakat Perancis berhasil meruntuhkan penjara Bastile, yang menjadi simbol dari kekuasaan Rejim Lama. Revolusi Perancis mengusung jargon yang sangat terkenal: liberty, egality, dan fraternity (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Namun, revolusi itu selama beberapa tahun tidak melahirkan stabilitas dan kebaikan bagi rakyat Perancis. Masa-masa teror sempat terjadi selama beberapa tahun yang memakan korban sekitar 40 ribu orang. Saling bunuh dan teror terjadi antar rezim yang berganti-ganti kekuasaan. Rezim Thermidorean, misalnya, pada 1795, melakukan aksi kontra-revolusi yang membantai pengikut rezim sebelumnya. Di saat-saat berkembangnya anarkhi dan ketidakpastian itulah, muncul seorang Jenderal militer, bernama Napoleon Bonaparte, yang mengambil alih kekuasaan di Perancis pada tahun 1799. Napoleon lahir tanggal 15 Agustus 1769 di Pulau Corsica. Ia masih termasuk keluarga bangsawan kecil. Tahun 1796, ia memimpin pasukan Perancis di Itali. Di sinilah ia meraih reputasi yang hebat dalam kemiliteran. Tahun 1799, ia menjadi jenderal terkemuka di Perancis. Ia bergabung dalam satu konspirasi untuk menumbangkan penguasa lama, dan mendirikan sistem pemerintahan baru dengan kekuasaan dipegang oleh tiga konsul. Sebagai konsul pertama, Napoleon memonopoli kekuasaan. Tahun 1802, ia menjadi konsul pertama seumur hidup, yang berhak menentukan penggantinya. Dan pada 2 Desember 1804, dalam satu seremoni agung di Katedral Notre Dame di Paris, Napoleon menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis (emperor of the French). Napoleon memang cinta pada kekuasaan, yang ia ibaratkan, seperti seorang musisi mencintai biolanya. Napoleon melakukan perombakan sistem pemerintahan di Perancis. Ia mengembalikan Perancis ke dalam sistem pemerintahan yang disebut sebagai enlightened despotism (despotisme yang tercerahkan). Ia menjadikan pemerintahan berjalan lebih efektif, dengan melakukan berbagai kebijakan, seperti: efisiensi dan penyeragaman administrasi pemerintahan, menolak feodalisme, menentang persekusi keagamaan, dan menghilangkan diskriminasi warga negara. Juga, ia memilih kebijakan yang menjadikan negara mengontrol perdagangan dan industri. Menurut Napoleon, sistem enlightened despotisme merupakan alat untuk menjamin stabilitas politik dan memperkuat negara. Napoleon juga memelihara dan melaksanakan sejumlah hasil yang dicapai dalam revolusi Perancis, seperti: persamaan di depan hukum, jenjang karir berdasarkan kemampuan dan prestasi (meritokrasi), penekanan pada pendidikan sekular, dan pengurangan kekuasaan Gereja (clerical power). Namun, Napoleon menekan kebebasan politik. (Bandingkan konsep Napoleon ini dengan konsep Trilogi Pembangunan Orde Baru, yaitu Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan).

Berbagai cara dilakukan Napoleon untuk mengkonsentrasikan kekuasaan, sehingga menjadi efektif. Untuk meraih dukungan kaum Katolik, ia melakukan negosiasi dengan Paus, yang hasilnya adalah pengesahan Concordat 1801, berupa pengakuan Katolik sebagai agama mayoritas rakyat Perancis. Napoleon menolak permintaan Paus untuk menjadikan Katolik sebagai agama negara. Ia pun melakukan berbagai cara untuk membungkam penentangnya, dari kalangan bekas keluarga kerajaan maupun pendukung republik. Namun, ia pun melakukan berbagai perbaikan di bidang hukum, ekonomi, dan pendidikan. Ia mendirikan University of France. Untuk menekan laju inflasi, misalnya, ia mendirikan Bank of France. Ia juga membiarkan para petani menguasai lahan para tuan tanah, yang mereka peroleh di masa Revolusi. Di tangan Napoleon, Perancis kemudian menjadi kekuatan besar di Eropa. Antara tahun 18051807, Perancis mampu menaklukkan Austria, Russia, dan Prussia (cikal bakal Jerman). Tahun 1810, Napoleon mendominasi Eropa Daratan, kecuali Semenanjung Balkan. Napoleon berhasil membawa Perancis menjadi negara besar yang sayangnya kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas imperialisme. Ekspansi yang berlebihan akhirnya mengantarkan kehancuran tentara Perancis, terutama setelah kekalahan besar di Rusia pada tahun 1812 yang membawa kematian ratusan ribu tentara Napoleon. Akhirnya, tahun 1814 Paris diduduki Tentara Sekutu Austria, Russia, Prussia, dan Swedia, dan Napoleon berhasil ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba. Namun, setahun kemudian, sang jenderal kembali ke Paris sebagai hero dan bertempur kembali melawan pasukan Sekutu, sebelum akhirnya dikalahkan kembali. Akankah Napoleon baru muncul di Indonesia? Sejak kemerdekaan, Indonesia memang telah mengalami berbagai sistem politik. Pemilu pertama dalam sistem parlementer menghasilkan pemerintahan yang sering dikatakan tidak stabil. Ujung-ujungnya, Soekarno mengeluarkan dekrit pada 1959 yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945, sekaligus memberikan kekuasaan besar kepada Presiden Soekano. Orde Baru muncul menggantikan Orde Lama, yang kemudian bertahan selama 32 tahun. Tahun 1998, muncul Orde Reformasi, yang diharapkan mampu membawa perbaikan kepada masyarakat dalam berbagai bidang. Namun, apa yang terjadi? Selama Orde Reformasi Indonesia masih mengalami berbagai keterpurukan. Kebebasan di berbagai bidang memang dinikmati masyarakat. Termasuk kebebasan melakukan dan menyebarkan berbagai kemaksiatan melalui media massa. Utang Indonesia pun bukannya mengecil, masih sekitar Rp 1300 trilyun. Pemberantasan korupsi masih menjadi perbincangan ideal, dan bahkan semakin menyebar, merata, ke pelosok-pelosok, sejalan dengan program otonomi daerah. Pengangguran masih melangit. Angka kemiskinan masih cukup tinggi. Konon, menurut Departemen Sosial, sebanyak 15,8 juta penduduk Indonesia tergolong fakir miskin pada tahun 2003. Jumlah tersebut sekitar 42,4 persen dari seluruh populasi penduduk miskin 37,3 juta jiwa tahun 2003. Presentase tersebut menunjukan secara rata-rata dari setiap 100 orang penduduk miskin, 42 orang diantaranya, masih tergolong fakir miskin. Ia menjelaskan fakir miskin adalah mereka yang

pendapatannya masih dibawah normal, yaitu kurang dari 1 USD perhari. Sedangkan, pendapatan antara 1-2 USD perhari tergolong sebagai penduduk miskin. Sedangkan yang dikatakan sejahtera, bila mereka sudah berpenghasilan diatas 2 USD tiap harinya. Angka-angka ini tentu masih perlu dipertanyakan, mengingat standar kemiskinan yang diterapkan. Jika seorang berpenghasilan 2 USD (sekitar Rp 17,000) perhari dikatakan sejahtera, maka angka ini tentu sangat rendah untuk dearah Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bagaimana jika ia mempunyai tanggungan keluarga, dan sebagainya. Kenyataannya, masih begitu banyak penduduk yang merasakan berbagai kesulitan memenenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Reformasi juga menunjukkan betapa banyaknya OKB (Orang Kaya Baru) dari kalangan politisi yang kemudian menimbulkan kesenjangan sosial baru dengan masyarakatnya. Berbagai kasus korupsi dan penghamburan uang negara serta gaya hidup mewah kalangan pejabat dan politisi juga terusmenerus menjadi sorotan masyarakat di berbagai daerah. Kebebasan (liberalisme) telah dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian kalangan untuk menyebarkan maksiat. Dibubarkannya Departemen Penerangan, pada satu sisi membawa berkah kepada pers. Namun, pada sisi lain, media massa, terutama televisi pun semakin leluasa mengumbar acara yang mempertontonkan pornografi dan kebejatan moral lainnya. Nyaris tidak ada kontrol. Masyarakat pun dibuat tidak berdaya, karena media massa memiliki kekuatan lebih besar ketimbang mereka. Maka muncullah di sana-sini gugatan untuk melakukan pembatasan tayangantayangan amoral. Liberalisasi di bidang ekonomi, dengan alasan privatisasi, ternyata dimanfaatkan dengan baik untuk melakukan penjualan aset-aset strategis milik negara, seperti BCA, Indosat, dan sebagainya. Program liberalisasi ekonomi ala IMF, menurut pememang hadiah Nobel, Joseph Stiglitz, dikenal dengan Four-Step Program. Pertama, privatisasi aset-aset negara; kedua, liberalisasi pasar modal; ketiga, penerapan harga berdasarkan pasar; dan keempat, adalah penetapan perdagangan bebas. Program-program itulah yang dikritiknya habis-habisan. Untuk Indonesia, ujung-ujungnya adalah begitu banyak aset-aset strategis milik negara dijual, angka kemiskinan bertambah, dan juga semakin banyak kebanjiran barang impor. Kondisi kebebasan nyaris tanpa batas (anarkhi) dalam negara demokrasi --menurut Socrates (469399 SM)-- akhirnya memunculkan bentuk tirani (tyranny). Socrates, seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya The Republic, memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal; lebih rendah nilainya dibandingkan aristokrasi (negara dipimpin para pecinta hikmah/kebenaran), timokrasi (negara dipimpin para ksatria pecinta kehormatan), dan oligarchi (negara dipimpin oleh sedikit orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat the rule of the people), kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri, yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi sempurna. Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran

untuk memulihkan aturan. ( when men tire of the lawlessness of a liberty they appoint a strong man to restore order). Tentu, pertanyaanya, dengan kondisi hasil pemilu 2004 yang begitu menyebar perolehan suaranya, akankah Presiden dan pemerintahan baru mendatang mampu menjadikan Indonesia negara kuat, adil, dan makmur, seperti dicita-citakan semua rakyat? Akankah politik dagang sapi antar tokoh dan partai terus dijalankan untuk mengejar ambisi meraih kekuasaan demi kepuasan hawa nafsu? Jika para elite politik hasil pemilu 2004 sama saja kualitas dan perilakunya dengan rezim-rezim sebelumnya, maka bukan tidak mungkin rakyat tidak percaya lagi dengan reformasi, dan semakin mengharapkan munculnya Sang Napoleon. Konon, Jenderal Napoleon itu tidak terlalu tinggi postur tubuhnya. Ini analisis. Bisa terjadi, bisa tidak. Tentu, kita berharap, akan ada perubahan ke arah yang lebih baik, dalam standar nilai dan parameter Islam. Wallahu alam. Bernard Lewis dan Ketakutan Yahudi Jumat, 30 April 2004 Garakan 'anti-Semit' di seluruh dunia belakangan ini adalah gejala yang paling ditakuti Yahudi. Baca pesan Bernard Lewis yang menempatkan diri sebagai penasehat Barat dan AS. Baca CAP ke-52 Adian Husaini, MA Website Koran Haaretz yang berbasis di Israel, edisi 28 April 2004, menurunkan sebuah berita berjudul: ?55-nation meeting on anti-Semitism opens in Germany?. Konferensi Internasional tentang ? anti-semitisme? itu diselenggarakan di Berlin dan dibuka oleh Presiden Jerman Johannes Rau. Penyelenggaranya, Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) dan Jerman. Sejumlah tokoh dunia juga dijadwalkan memberikan presentasinya, seperti Menlu AS Colin Powel, sejumlah menteri negara-negara Eropa, dan pemenang Hadiah Nobel Elie Wiesel. Konferensi tersebut merupakan bagian kampanye serius Israel untuk melawan dan mengurangi gelombang anti-semitisme yang melanda Eropa. Akhir-akhir ini, pemerintah Israel memang sangat serius untuk menghadapi apa yang mereka sebuat sebagai ?anti-semitisme?. Bulan lalu, Menlu Israel Silvan Shalom melawan ke Eropa dengan misi khusus meredam gelombang anti-semitisme di Eropa, yang belum pernah terjadi sehebat ini, pasca Perang Dunia II. Kata Shalom, ?Anti-Semitism is not only a problem for Israel and the Jews, it is Europe's problem as well." Polling di kalangan masyarakat Eropa, November 2003, menunjukkan, Israel dipandang sebagai ancaman pertama bagi perdamaian dunia. Awal Januari 2004, Haaretz menyebutkan, 54 persen warga Israel mendesak pemerintah Israel agar melakukan usaha lebih aktif untuk melawan gelombang antiYahudi di Eropa. Syndroma ketakutan Yahudi terhadap sejarah masa lalu mereka tampaknya sedang kembali mencengkeram banyak kaum Yahudi.

Istilah anti-semitisme itu sendiri sudah banyak dikritik. Tetapi, kuatnya propaganda Yahudi menyebabkan, istilah itu akhirnya diterima secara luas di kalangan media massa dan dunia akademis. Istilah antisemitisme merujuk kepada nama ?Sem?, anak Noah ?yang menurut Kitab Kejadian 11:1032 ? akan menurunkan Abram (Abraham). Dari Abram garis Ismail, akan lahir bangsa Arab. Artinya, bangsa Arab pun sebenarnya anak keturunan Sem. Karena itu, ada istilah ?Semitic language?, sebutan untuk sejumlah bahasa rumpun Semit, seperti Bahasa Arab, Hebrew, Syriac, dan lain-lain. Istilah yang tepat sebenarnya ?anti-Yahudi?. Namun, entah mengapa istilah yang jelas-jelas salah ini masih terus dipertahankan di dunia internsional, dan dikhususkan untuk orang-orang Yahudi saja. Fenomena ketakutan dan keterancaman kaum Yahudi ini sudah sejak lama dikhawatirkan oleh sejumlah cendekiawan Yahudi anti-Zionis Israel. Bahwa, negara Israel bukan hanya menjadi ancaman bagi Timur Tengah, tetapi juga ancaman bagi dunia internasional. ?In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond,? kata Dr. Israel Shahak dalam bukunya Jewish History, Jewish Religion. (London: Pluto Press, 1994). Tapi, hingga kini, peringatan Shahak, Noam Chomsky, Einstein, dan sebagainya, dianggap angin lalu saja oleh manusia sejenis Sharon dan Bush. Penjajahan, kekejaman, dan pembunuhan-pembunuhan terus dilakukan terhadap para pejuang Palestina. Masalah Palestina, dari aspek hukum internasional, sebenarnya sangatlah jelas. Sesuai Resolusi 242 dan 338 PBB, Israel hanya dituntut mengembalikan sekitar 20 persen wilayah yang didudukinya dalam Perang 1967, yang hanya meliputi Jalur Gaza dan Tepi Barat. Itu artinya, PBB sudah mengesahkan pendudukan Isreal terhadap sekitar 80 persen wilayah Palestina. Padahal, sesuai Resolusi MU-PBB, No 181 tahun 1947, Yahudi hanya berhak terhadap 50 persen wilayah Palestina, tidak termasuk Jerusalem ? yang kini dijadikan ibukota Israel. Masalahnya menjadi berkepenjangan dan sulit diselesaikan karena ? selain berbagai faktor lainnya ? faktor AS. Politik AS yang terus memihak Israel telah menimbulkan kecaman hebat di dunia internasional. Bahkan, pasca pembunuhan Syeikh Yassin, AS benar-benar sendirian. Eropa pun mengecam sikap Israel. Harian Haaretz, edisi 2 April 2004, memuat berita, bahwa Masyarakat Eropa menilai, aksiaksi tentara Israel (Israeli Defence Force/IDF) terhadap penduduk sipil Palestina, juga merupakan aksi teror. Ditulis dalam berita itu: ?The European Parliament on Thursday compared injuries to Palestinians by Israeli military action to "acts of terror," and called for a suspension of the Israel-EU Association Agreement, should Israel persist with its policy of assassinations.? Israel adalah pelanggar terbesar berbagai resolusi PBB. Ia jelas-jelas melakukan praktik kolonialisme yang bertentangan dengan Piagam PBB. Dunia internasional, hampir tiap hari menyaksikan dan mendengar cerita tentang penjajahan, pembunuhan, dan berbagai kekejaman tentara Israel. Kasus ini benar-benar jelas. Mana yang salah dan mana yang benar. Mana yang zalim, dan mana yang dizalimi. Kasus ini menjadi titik penting penyelesaian berbagai masalah internasional, termasuk masalah terorisme.

Namun, AS terus-menerus melakukan pembelaan terhadap Israel. Mengapa? Ada sejumlah teori yang menjelaskan soal hubungan khusus (special ally) antara AS dan Israel. Kali ini, kita simak dua faktor penting yang menyebabkan AS terus mengekalkan politik ?anak-emas?nya terhadap Israel, yaitu (1) dukungan kelompok Kristen fundamentalis dan (2) kelompok ?neo-orientalis?. Kedua kelompok itu dikenal dalam politik AS sebagai kelompok neo-konservatif yang berpengaruh besar terhadap politik internasional AS. Buku Religion and Globalization, (London: SAGE Publications, 1994), yang diedit oleh Peter Beyer, menyebutkan, kelompok Kristen fundamentalis AS, yang lebih dikenal sebagai Kristen Sayap Kanan (The New Christian Right/NCR), mulai dikenal pada akhir 1970-an. Ketika itu masyarakat AS menyaksikan kebangkitan munculnya kelompok ini, yang dalam politik AS dikenal sebagai ?gerakan politik keagamaan konservartif? atau a conservative religio-political Movement. Kelompok Kristen fundamentalis juga dikenal dengan sebutan ?Kristen-Zionis? (The Zionist Christian) karena dukungan kuat mereka terhadap posisi dan kepentingan Zionis Israel. Mereka menggunakan ayat-ayat Bible untuk menguatkan posisi Israel, bahwa seolah-olah Tuhan telah memuliakan bangsa Israel, sehingga apa pun perilaku bangsa Yahudi tersebut, harus didukung. Kitab Kejadian 12:3 menyebutkan pernyataan Tuhan kepada bangsa Israel: ?Aku akan memberkati orangorang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Satu kelompok lain yang terus menyokong posisi AS terhadap Israel adalah para ilmuwan yang dikenal sebagai kelompok ?neo-orientalis?. Salah satu yang menonjol, misalnya, Bernard Lewis. Tahun 2003, ia menerbitkan buku tipis berjudul The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (London: Phoenix, edisi 2004). Buku ini perlu dicermati, karena kabarnya termasuk yang cukup laris di Barat dan memberikan panduan, bagaimana Barat, khususnya AS, memandang dan menerapkan kebijakan terhadap dunia Islam, termasuk masalah Palestina. Jika ditelaah, buku Lewis ini merupakan satu bentuk ?apologia?, yang dalam bahasa Greek (Yunani) memiliki arti ?pembelaan diri? (?speech in defence?). Buku Lewis memiliki gaya dan ruh sejenis dengan buku The Clash of Civilization and Remaking of World Order -nya Samuel P. Huntington. Bahkan, Lewis lah yang sebenarnya telah mengangkat tema ?Clash of Civilization? sebelum dipopulerkan oleh Huntington, di era pasca keruntuhan Soviet. Shireen T. Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamist Movements and The Western Rresponse: Clash of Civilizations or Clash of Interests??, menyebut, ilmuwan seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran ?neo-Orientalist?. Aliran ini melihat munculnya kecenderungan anti-Barat pada kalangan ?Islamists? sebagai konsekuensi dari ?clash of civilizations?. Lewis menganggap, bahwa paham anti-Barat (anti-Westernism), khususnya anti-Amerika (anti-Americanism), merupakan derivasi dari gabungan antara unsur-unsur ?penghinaan?, ?kecemburuan?, dan ?ketakutan?. Aliran Lewis ini berbeda dengan aliran neo-Third-World, yang memandang munculnya semangat anti-Barat sebagai dampak dari kebijakan politik Barat. Misalnya, dukungan Barat terhadap rezim-rezim represif otoriter di dunia Islam dan juga dukungan sepihak terhadap Israel. Pola pikir ?neo-orientalist? itulah yang mewarnai isi buku The Crisis of Islam ini. Maka, jangan

heran, jika pembaca nyaris tidak akan mendapatkan kritik apa pun terhadap berbagai kebijakan Barat dalam buku ini. Sebaliknya, berbagai justifikasi dan legitimasi politik Barat dan AS khususnya bisa dinikmati dalam buku ini. Sebuah pertanyaan yang populer di Barat pasca Perang Dingin, misalnya, dilontarkan Lewis, ?Is Islam, whether fundamentalist or other, a threat to the West?? Kata Lewis, yang juga keturunan Yahudi, Islam itu sendiri, bukan musuh Barat. Banyak kalangan Muslim, baik di dunia Islam, maupun di Barat, yang ingin menjalin hubungan lebih dekat dan bersahabat dengan Barat serta mengembangkan demokrasi di negara mereka. Tetapi, Muslim ? dalam jumlah yang signifikan, baik yang fundamentalis maupun tidak ? adalah jahat dan berbahaya; bukan karena Barat membutuhkan musuh, tetapi karena mereka memang seperti itu. (Islam as such is not enemy of the West? But a significant sumber of Muslims ? notably but not exclusively those whom we call fundamentalists ? are hostile and dangerous, not because we need enemy but because they do). Untuk memudahkan Barat dalam membuat kebijakan politik, Lewis membagi Muslim dalam tiga kelompok: (1) Yang melihat Barat secara umum dan AS, khususnya, sebagai musuh Islam yang abadi; penghalang utama menerapkan keimanan dan hukum Tuhan. Maka, cara satu-satunya dalam menghadapi Barat adalah perang. (2) kalangan Muslim yang tetap berpegang kepada kepercayaan dan budayanya, tetapi mau bergabung dengan Barat untuk menciptakan dunia yang lebih bebas dan lebih baik. (3) Muslim yang melihat Barat sebagai musuh utama. Tapi, karena sadar terhadap kekuatan Barat, mereka melakukan akomodasi sesaat, untuk mempersiapkan ?perjuangan akhir? (final struggle). Lewis mengingatkan, agar Barat tidak salah dalam mengidentifikasi kelompok ke-2 dan ke-3. (We would be wise not to confuse the second and the third). Dengan tegas, Lewis menyebut Muslim fundamentalis sebagai musuh Barat. Ia menyebut sejumlah ciri Muslim fundamentalis: (1) menganggap masalah yang dihadapi Muslim sebagai dampak dari modernisasi yang berlebihan dan mengkhianati nilai-nilai Islam yang murni (2) menganggap obat dari ?penyakit? itu adalah kembali kepada Islam sejati dan sekaligus menghapuskan semua hukum dan aspek sosial yang dipinjam dari Barat, serta menggantikannya dengan syariat, (3) menganggap bahwa perjuangan tertinggi adalah melawan pengkhianat di dunia Islam yang melakukan Westernisasi. Menempatkan dirinya sebagai penasehat Barat, maka tidaklah aneh jika Lewis melakukan berbagai legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan politik Barat dan AS. Dalam soal Israel-Palestina, misalnya, Lewis lebih banyak mengkritik sikap Muslim ketimbang kebijakan AS. Ia mengritik, mengapa pihak Arab dan Palestina pada 1930-an justru bersekutu dengan Jerman yang banyak mengirim orang Yahudi ke Palestina, dibanding Inggris, yang justru ingin mengeluarkan orang-orang Yahudi. Ia pun mempertanyakan, mengapa Arab lebih banyak memusuhi AS ketimbang Soviet, padahal Soviet memainkan peranan penting dalam pendirian negara Israel. Kritik Lewis jelas tidak fair. Sejumlah fakta penting tentang peranan Inggris dan AS dalam pendirian negara Israel, tidak diungkapnya. Ia tidak menyebut Deklarasi Balfour yang merupakan satu diantara tiga pijakan berdirinya negara Israel. Benar, Soviet banyak membantu senjata kepada Israel dalam perang tahun 1948-1949. Tapi, AS adalah arsitek keluarnya Resolusi 181 MU-PBB, 1947, yang membagi Palestina menjadi tiga bagian, dan memberi Yahudi hak 50 persen wilayah Palestina. Lewis tidak menyebut soal ini. Pun, ia membuang fakta AS adalah pelindung dan pembantu setia Israel. Apalagi, dengan

menguatnya peran lobi-lobi Yahudi sayap kanan di sana. Hendrick Smith, pemenang Hadiah Pulitzer, menulis dalam bukunya The Power Games: How Washington Works, sederet fakta tentang soal ini. Berkat peran AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee), bantuan AS kepada Israel melonjak dari 2,1 milyar USD (1980) ke 3,8 milyar USD pada 1986. Buku-buku yang mengulas tentang ?hubungan spesial? antara Israel-AS ini begitu banyak bertebaran. Namun, Lewis sama sekali tidak menghiraukannya. Malah, ia menulis, bahwa hubungan strategis antara AS dan Israel adalah akibat dari penetrasi Soviet, bukan sebab. Lewis secara jujur menyatakan, perhatian utama semua pemerintah AS adalah untuk menjamin kepentingan-kepentingan AS. Pasca Perang Dingin, kebijakan utama AS di Timur Tengah, ditujukan untuk mencegah munculnya hegemoni tunggal di wilayah itu, yang akan memonopoli minyak. Untuk itu, ia tidak menyoal, mengapa Barat dan AS mendukung rezim-rezim otoriter di Timur Tengah yang melakukan berbagai tindak kejahatan kemanusiaan. Sebab, itu dilakukan untuk mengejar kepentingan. Maka, tulis Lewis, sikap Eropa dan AS terhadap rezim-rezim semacam ini adalah: ?We don?t care what you do your own people at home, so long as you are cooperative in meeting our needs and protecting our interests?. Buku Lewis ini sebenarnya tidak terlalu ?serius? dibandingkan buku-buku yang dia tulis sebelumnya, seperti buku Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993). Namun, buku The Crisis of Islam, lebih praktis dan mudah dibaca sebagai panduan politik penguasa Barat. Itulah yang terjadi di Iraq. Sebelum serangan AS, Lewis sudah menulis, bahwa di Iraq dan Iran, penguasanya sangat anti-AS. Maka, kata dia, ?Kita? dapat membantu kekuatan-kekuatan oposisi demokratis untuk mengambil oper dan membentuk pemerintahan baru. Ia juga menasehati, agar AS dan Barat pada umumnya, membantu atau tidak menjauhi kalangan Muslim yang memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Maka, jangan heran, jika AS sekarang rajin membantu sebagian kalangan sekular-liberal yang dipandang sejalan dengan mereka. Dan mendorong kelompok-kelompok ini untuk ?nggebuki? (menghantam) saudara-saudara Muslimnya sendiri. Ilmuwan-ilmuwan sejenis Lewis inilah yang membuat persoalan Palestina dan dunia pada umumnya sulit terpecahkan. Ia tidak mau melakukan koreksi yang substansial terhadap politik Barat, khususnya AS, dalam masalah Palestina. Padahal, dunia begitu jelas melihat duduk persoalannya. Bahwa yang terjadi di Palestina adalah pendudukan Israel, pengusiran warga Palestina, kekejamandemi kekejaman yang dilakukan Israel, dan dukungan yang terus-menerus dari AS. Semenntara dunia pun makin terbuka, dan kejahatan Israel semakin tersingkap. Ujung-ujungnya justru berakibat pada ketakutan kaum Yahudi sendiri di berbagai belahan dunia. Itu memang ulah mereka sendiri. Kita dapat membaca fenomena Yahudi kontemporer sekarang ini dan menelaah, bagaimana Al-Quran telah banyak bercerita tentang sifat kaum Yahudi. Diantaranya, sifat serakah pada dunia dan ingkar nikmat Allah. Wallahu a?lam.

(KL, 30 April 2004)

Menara Doa Jakarta dan Perang Salib Sabtu, 08 Mei 2004 Bethany membangun Menara Doa Jakarta (MDJ) senilai Rp 2,5 T di negeri mayoritas muslim. Jika lembaga gereja tak mengambil tindakan, sulit membangun kerukunan beragama yang kondusif. Baca CAP ke-53 Adian Husaini, MA Website Eramuslim.com, 27 April 2004, menurunkan wawancara dengan Pendeta Abraham Alex Tanusaputra dengan Warta Plus Bethany. Isinya tentang rencana pembangunan Menara Doa Jakarta (MDJ) yang menelan biaya sekitar Rp 2,5 trilyun. Pendeta Abraham Alex Tanusaputra yang biasa dipanggil Alex menyatakan, bahwa Menara itu memang seperti sebuah proyek mimpi. Tetapi, katanya, Karena Tuhan yang menyuruh, ya saya harus melangkah. Meski banyak anakanak rohani yang meninggalkan saya." Dengan biaya yang begitu fantastis, MDJ tentulah sebuah proyek raksasa kelompok Kristen Bethany ini. Tahun 2000 lalu, Bethany baru saja menyelesaikan proyek raksasa di Surabaya Graha Bethany yang mampu menampung sekitar 20.000 jemaat. MDJ diperkirakan memapu menampung 200.000 jemaat, atau dua kali lipat kapasitas tempat duduk lapangan sepak bola Senayan. Menurut Pendeta Alex, pembangunan MDJ merupakan perintah Tuhan tanpa menjelaskan, bagaimana Alex menerima perintah Tuhan itu. Sebenarnya berulang kali saya mencoba untuk menghindar dan melupakannya. Tetapi setiap kali saya coba melupakan, timbul banyak persoalan dalam kehidupan saya. Sampai suatu ketika Tuhan menegor saya: "Kalau kamu tidak menurut, okey kamu akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Yunus. Kalau menurut perintah, kamu akan dikeluarkan dari mulut ikan, tapi jika tidak, akan keluar dari belakang (maaf anus ikan -red Warta Plus Bethany Nginden). Saya bertobat dan mulai melangkah lagi dalam proyek Menara Jakarta, kata Pendeta Alex. Mengapa proyek ini dinamakan Menara Doa Jakarta? Kata Pdt. Alex: Karena itu visi yang Tuhan Yesus berikan untuk proyek ini. Dulu Namanya Menara Jakarta. Sekarang tinggal ditambah Doa, sebab memang visinya Doa bagi bangsa, Doa untuk menyongsong Indonesia Baru. Soal dana, Alex menambahkan: Yang back up adalah Tuhan Yesus, sebab ini proyeknya Tuhan YesusSaya sadar, Tuhan Yesus punya cara sendiri, ada 1001 jalan yang Dia Bisa buat untuk back up pendanaan proyek ini. Alex mengaku mengenal suara Tuhan. Maka, ia mengaku berjalan terus dengan rencananya, meskipun banyak yang menentangnya. Ia menyatakan, lebih mendengar suara Tuhan lebih dari suara penentang-penentangnya. Saya mengenal suara Tuhan, suara Tuhan yang berbicara kepada saya untuk membangun gereja Mojokerto, Manyar, Nginden adalah suara yang juga berbicara kepada saya untuk

Menara Doa Jakarta, begitu kata dia. Dan konon, menurut pengakuannya, pemerintah telah memberikan respon positif. Sejak awal Pemerintah DKI Jakarta, lewat Gubernur Dan Pemerintah Pusat melalui Setneg, sangat mendukung realisasi proyek yang ditujukan untuk kebesaran Tuhan, bangsa dan negara tercinta Indonesia. Jika proyek MDJ ini lancar, maka 8,5 tahun kemudian, Indonesia akan menyaksikan sebuah Menara Doa kaum Kristen yang kabarnya memiliki ketinggian sekitar 500 meter. Untuk pa menara itu dibangun? Kata Alex: Nama Tuhan ditinggikan, menarik banyak orang datang dan Percaya kepadaNya. Nama Tuhan dimuliakan. Kepercayaan dunia international ke Indonesia dipulihkan dan segera terwujud Indonesia Baru. Itulah semangat yang luar biasa dari seorang pendeta bernama Kristen untuk menjalankan misinya di Indonesia. Untuk mengenal perkembangan kelompok ini, bisa dilihat di website mereka, www.kasih.org. Tahun 1993, mereka memulai kebaktian di daerah Cinere, dengan anggota kelompok sekitar 70 orang. Pendeta Alex merintis persekutuan doa sejak 1977 di Surabaya, dengan peserta 7-10 orang. Tahun 1978, berdiri Gereja Bethany di Jalan Manyar Rejo I/29. Tahun 1989, mereka mulai membangun Graha Bethany, dan selesai tahun 2000. Disamping terus membangun Gereja, kelompok ini juga aktif mengembangkan jaringan ke berbagai penjuru Indonesia. Tahun 1996, jumlah cabang-cabang yang ada di Indonesia dan luar negeri sekitar 100 cabang. Tahun 1977, cabang-cabang yang ada terus berkembang menjadi 254 buah. 1999, GBI Jemaat Bethany berkembang menjadi hampir 1000 cabang yang tersebar didalam dan luar negeri. Jika kita membaca website kelompok Kristen Bethany ini, akan kita dapati sejumlah website misionaris Kristen di berbagai belahan dunia. Salah satunya, website Billy Graham, tokoh terkemuka Kristen fundamentalis AS (www.billygraham.org). Dalam website ini kita temukan banyaknya digunakan istilah Crusade untuk menggambarkan bahwa aktivitas misionaris Kristen di AS dan dunia lainnya merupakan satu bentuk Crusade (Perang Salib). Di dalam website itu, ditulis ungkapan sebagai berikut: Evangelist Billy Graham has preached the Gospel to more people in live audiences than anyone else in history -- over 210 million people in more than 185 countries and territories -through various meetings. Every evangelistic crusade conducted by Mr. Graham is the result of a cooperative effort involving the evangelist, his team, and many local Christians and churches. Jadi, Evangelis atau Misionaris Billy Graham disebutkan telah mempropagandakan Injil kepada lebih dari 210 juta orang, lebih banyak dari penginjil mana pun dalam sejarah. Setiap upaya Perang Salib yang dilakukan Billy Graham merupakan hasil kerja sama para misionaris, tim Billy Graham, dan sejumlah orang dan Gereja Kristen lokal. Kelompok Billy Graham melakukan Perang Salib adalah untuk menyeru manusia untuk melakukan penebusan dosa dan mempercayai Tuhan Jesus Kristus. (The Billy Graham Evangelistic Association continues to work diligently in calling men and women to repent of their sins and receive the Lord Jesus Christ into their hearts by faith). Dalam tradisi Kristen dan hingga sekarang, istilah Crusade merujuk pada peristiwa Penyerbuan Besar-besaran kaum Kristen untuk merebut Jerusalem dari tangan kaum Muslim. Dalam buku Concise Dictionary of the Christian Church, (Oxford University Press, 1996) disebutkan, bahwa istilah

Crusade terutama digunakan untuk menggambarkan serangkaian expedisi dari Barat ke Timur, dimulai tahun 1095, yang bertujuan untuk membebaskan Tanah Suci (Holy Land)dari tangan Muslim dan untuk mempertahankannya di tangan Kristen. Belakangan, istilah Crusade juga digunakan untuk menghadapi kekuatan Ottoman (Turki Utsmani). Jadi, istilah Crusade memang membawa kenangan khusus bagi kaum Kristen untuk melawan dan menaklukkan Islam. Istilah itulah yang digunakan oleh tokoh Misionaris terkemuka AS dan dipopulerkan diantaranya oleh kelompok Bethany yang sedang berjuang keras membangun sebuah Menara Kristen di Jakarta. Pengaruh besar Crusade terhadap kaum Kristen di Barat dapat dibaca pada buku Karen Armstrong, berjudul Holy War: The Crusades and Their Impact on Todays World (1991). Perang itu dimulai pada 25 November 1095, saat Paus Urbanus II, menyerukan Perang Salib. Paus mengimbau, agar para ksatria Kristen menghentikan konflik antar mereka, dan bersatu padu menghadapi musuh Tuhan, yang mereka sebut Turks. The Turks, kata Paus, Adalah bangsa terkutuk, dan membunuh monster seperti mereka itu adalah tindakan suci. Maka, wajib bagi kaum Kristen memusnahkan mereka dari tanah kita. (Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands). Seruan Paus Urbanus mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West (terbit pertama tahun 1960), Norman Daniel menyebut semangat Crusade adalah melakukan pembantaian demi Kasih Tuhan. (The essence of crusading was to slay for Gods love). Maka, tidak heran, jika tentara Salib kemudian melakukan pembantaian yang luar biasa sadisnya terhadap Muslim, Yahudi, dan berbagai kelompok masyarakat lain. Tahun 1099, saat menaklukkan Jerusalem, mereka membantai sekitar 30.000 warganya. Puluhan ribu kaum Muslim yang menngungsi di atap al-Aqsha dibantai dengan sadis, tanpa pandang bulu, wanita, anak-anak, atau orang tua. Setahun sebelumnya, 1098, pasukan Salib (dikenal dengan istilah Franks/Crusaders) membantai ratusan ribu kaum Muslim di Marrat un-Noman, Syria. Paus menjanjikan pengampunan dosa bagi siapa pun yang bergabung dalam pasukan Salib dan jaminan sorga bagi yang mati dalam perang suci itu. Karena itu, menurut Armstrong, Crusade adalah proyek kerjasama besar-besaran Eropa di masa kegelapan mereka. Mereka dicengkeram dengan semangat Kristen yang tinggi. Jelas, Crusade merupakan jawaban terhadap kebutuhan Kristen Eropa ketika itu. (Clearly, crusading answered a deep need in the Christian of Europe). Jadi, tidaklah mengherankan, jika Presiden George W. Bush menggunakan istilah Crusade ketika mengobarkan perang melawan teroris, sebab sasaran mereka yang utama adalah kaum Muslim yang mereka cap sebagai teroris dan mengganggu kepentingan AS, dan bukan kelompok-kelompok teroris non-Muslim, seperti kelompok Kach (Yahudi), IRA (Kristen), Aungshirinkyo (Jepang), Tamil Elan (Hindu), dan sebagainya. Karena itu, kita mesti memahami, mengapa Billy Graham dan berbagai kelompok misionaris dan fundamentalis Kristen lainnya, sangat gemar menggunakan istilah Crusade ketika mereka bermaksud menaklukkan kaum Muslim atau satu negeri Islam. Merasa mengemban misi untuk meng-Kristenkan seluruh umat manusia, kaum misionaris Kristen memang akan terus melakukan

gerakannya. Mereka paham, bahwa Indonesia adalah mangsa yang empuk, dengan sekitar 170 juta Muslim, yang dikatakan Berkhof: Indonesia adalah suatu daerah Pekabaran Injil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit Firman Tuhan. Setelah gagalnya Musyawarah Antar Agama pada 30 November 1967, Prof. Dr. Hamka menulis sebuah kolom berjudul Musyawarah Antar-Agama Tigak Gagal!. Ketika itu pihak Kristen menolak usulan rumusan, agar pemeluk satu agama tidak dijadikan sasaran propaganda oleh agama lain. Tokoh Kristen, Tambunan SH, menyatakan, bahwa bagi orang Kristen menyebarkan Perkabaran Injil kepada orang yang belum Kristen adalah Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi. Jika tidak melakukan gerakan misi Kristen, maka mereka akan dimurkai Tuhan Yesus. Bahkan, mereka mengancam, kalau gerak-gerik mereka dibatasi, bukan saja akan menjadi masalah nasional, malah akan menjadi masalah internasional. Hamka menulis: Kalau bangsa penjajah dahulu telah menyatakan berulang-ulang bahwa kedatangan mereka kemari adalah membawa mission sacre, sekarang setelah penjajah tak ada lagi, kewajiban itu dilanjutkan oleh Kristen bangsa kita sendiri, dengan diberi bantuan tenaga misi dan zending dari negeri-negeri Barat itu; diberi uang dan orang. Kepada kaum Muslim, Hamka mengingatkan: dengan sikap Kristen yang demikian, mereka pun tidak boleh lagi berlalai-lalai, melainkan wajiblah mereka menghidupkan semangat jihad dalam artinya yang luas, yaitu bekerja keras, membanting tulang, dan bersedia memberikan seluruh pengorbanan dalam mempertahankan agama. Mereka tidak lagi akan bersikap masa bodoh seperti selama ini, karena merasa bilangan mereka lebih banyak. Sebab yang mereka hadapi bukanlah golongan minoritas dalam negeri sendiri, tetapi kekuatan Kristen Politik Internasional, Perang Salib Gaya Baru, yang diinstruksikan kepada teman sebangsa kita sendiri. Mantan Perdana Manteri RI, Dr. Mohammad Natsir pernah memberikan pringatan keras kepada kaum Nasrani yang terus berusaha meng-Kristenkan kaum Muslim Indonesia: "Hanya satu saja permintaan kami: Isyhaduu bi anna muslimuun. Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu-mengganggu dalam soal agama ini. Agar agama-agama jangan jadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak semestinya begitu. Marilah saling hormat menghormati identitas kita masingmasing, agar kita tetap bertempat dan bersahabat baik dalam lingkungan "Iyalullah" keluarga Tuhan yang satu itu. Kami ummat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang menganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap zalim bila berbuat demikian (almumtahinah). Dengan sepenuh hati kami harapkan supaya saudara-saudara tidaklah hendaknya mempunyai hasrat sebagaimana idam-idaman sementara golongan orang-orang Nashara yang disinyalir dalam Al Quran yang tidak senang sudah, bila belum dapat mengkristenkan orang-orang yang sedang beragama Islam. Mudah-mudahan jangan demikian, sebab kalau demikian maka akan putuslah tali persahabatan, akan putus pula tali suka dan duka yang sudah terjalin antara kita semua.

Jangan-jangan nanti jalan kita akan bersimpang dua dengan segala akibat yang menyedihkan. Baiklah kita berpahit-pahit, kadang-kadang antara saudara dengan saudara ada baiknya kita berbicara dengan berpahit-pahit, yakni yang demikian tidaklah dapat kami lihatkan saja sambil berpangku tangan. Sebab, kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuantuan coba pula memotong tali warisan ini." (Seperti dikutip oleh Prof. Umar Hubeis dalam mukaddimah buku Dialog Islam dan Kristen, karya Bey Arifin). Lembaga-lembaga Kristen/Katolik, seperti Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) atau Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), seyogyanya segera mengambil tindakan terhadap manuvermanuver berlebihan kalangan Kristen yang sangat tidak kondusif untuk membangun kerukunan umat beragama di Indonesia. Wallau alam. (KL, 6 Mei 2004). Kasus Timtim: Kasihan Indonesia! Jumat, 14 Mei 2004 RI terus dicurangi menyangkut Timtim. Kalau tak bisa membela diri atas berbagai kecurangan pada RI, mengapa masih rebutan jadi Presiden? Baca CAP ke-54 Adian Husaini, MA Meskipun sudah meraih kemerdekaan dari Indonesia, kasus Timor Timur ternyata belum selesai. Sejumlah perwira TNI sudah diadili dan dijatuhi hukuman yang beragam. Namun, Pengadilan Timor Timur, pekan lalu, atas dukungan PBB, mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Jenderal TNI (Purn) Wiranto, atas kasus kerusuhan yang melanda Timtim pasca jajak pendapat. Wiranto selama ini memang masih lolos, dan berulangkali menjadi isu internasional, bahwa namanya masuk daftar cekal pemerintah AS. Setahun lalu, Februari 2003, Jaksa penuntut umum PBB di Timtim sudah menuduh Wiranto melakukan kejahatan kemanusiaan di Timtim. Terlepas dari kasus Wiranto, dalam kasus Timtim secara umum, Indonesia memang sangat patut dikasihani. Setelah dipaksa melepaskan Timtim, Indonesia terus dikejar soal Timtim. Pada tanggal 7 Desember 1975 ? hanya beberapa jam setelah Presiden AS Gerald Ford dan Menlu Henry Kissinger meninggalkan Jakarta -- Tentara Indonesia menyerbu Timtim. Laporan Legislative Report Service dari Parlemen Australia melaporkan jumlah korban sekitar 100.000 orang. Ketika itu tidak ada jenderal atau pejabat Indonesia yang dituntut Padahal, New York Times, (13 Desember 1975) menulis: ?Indonesia is guilty of naked aggresion in its military seizure of Portuguese Timor.? Indonesia masuk ke Timtim atas restu AS, sebagai bagian dari politik ?pembendungan komunis? Barat. Meskipun kalangan NGO internasional dan Gereja Katolik tidak pernah mendukung integrasi Timtim ke Indonesia, tetapi AS tetap mendukung Indonesia, dan tidak pernah mempersoalkan berbagai kebijakan Indonesia di Timtim. Henry Kissinger ketika itu menyatakan, ?AS memahami posisi

Indonesia.? Pada tanggal 12 Desember 1975, MU-PBB mengeluarkan resolusi 3485 yang memerintahkan Indonesia menarik tentaranya dari Timtim. Sebanyak 72 negara mendukung resolusi itu, 10 menentang, dan 43 abstain, termasuk AS. Pasca Perang Dingin situasi berubah. Setelah komunis runtuh, tahun 1990, Barat tidak lagi melihat komunis sebagai ancaman utama. Maka, posisi AS terhadap masalah Timtim pun sedikit demi sedikit berubah. Posisi Indonesia sama dengan posisi Yugoslavia yang selama bertahun-tahun digunakan sebagai ?buffer-zone? untuk membendung pengaruh komunis dari Utara. Para era pasca Perang Dingin inilah, kita melihat peran penting tokoh Katolik Timtim, Uskup Belo, dalam membebaskan Timtim dari Indonesia. Belo dengan cerdiknya memainkan isu agama dalam dunia internasional. Bahwa, yang terjadi di Timtim, bukan hanya soal pelanggaran HAM, tetapi islamisasi oleh orang Islam Indonesia dan juga pemusnahan orang-orang Kristen. Pasca Perang Dingin, media massa Barat, rajin menyorot ancaman dan bahaya Islam. Majalah The Economist edisi 4 April 1992 menyorot perkembangan Islam yang dipandangnya makin hebat kekuatannya. ?One anti-westernism is growing stronger,? tulis majalah tersebut mengawali artikelnya. Majalah Time edisi 15 Juni 1992 menjadikan tema kebangkitan Islam sebagai topik utama, dengan judul cover yang mencolok, ?Islam: Should the World be Afraid?. Yang mereka maksud dengan paham anti-Barat tak lain adalah Islam. Ada tiga gejala yang disorot sebagai bukti menguatnya paham anti-Barat itu. Pertama, perkembangan kaum fundamentalis Islam di negera-negera Arab. Kedua, kebangkitan Islam di negara-negara bekas Uni Soviet. Dan ketiga, perkembangan bank Islam. Bisa dipahami, pada saat itu, isu Islamisasi dan ancaman terhadap kaum Kristen di Timtim yang dikampanyekan oleh Uskup Belo mendapat sambutan luas. Dalam beberapa kali kesempatan mengikuti perjalanan jurnalistik ke luar negeri, antara tahun 1996-1997, saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di Timtim itu beberapa kali diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI. Yang lebih menarik, menurut Uskup Belo, Islamisasi di Timtim, difasilitasi oleh ABRI. Bertahuntahun Uskup Belo berkampanye di luar negeri bahwa di Timtim terjadi Islamisasi. Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi, bukan Islamisasi. Tahun 1972, orang Katolik Timtim hanya 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim. Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, ?Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.? Namun, ironinya, Belo tak henti-hentinya menyebarkan isu terjadinya Islamisasisasi di Timtim, sehingga dalam tahun 1995 dan 1996 terjadi pengusiran besar-besaran warga Muslim dari Timtim. Tentang sikap Belo dan Barat ini, Prof. Bilver Singh, pakar politik Universitas Nasional Singapura

mencatat: ?Dalam kerangka itu, yang tampak adalah berlangsungnya apa yang dikatakan ?Sindrom Perang Salib Lama?, di mana banyak negara Barat dan kelompok Kristen berupaya untuk membuat gambar negatif mengenai kebijakan Indonesia terhadap Timtim?Tuduhan-tuduhan jahat ini didorong oleh ketakutan, meski tak berdasar, bahwa benteng Kristen dan Katolik di Timtim akan dikepung oleh gerombolan-gerombolan Jawa Islam.? Pasca jajak pendapat, Uskup Belo terus menekan Indonesia. Ia menyebut, kerusuhan pasca jajak pendapat itu sebagai ?genocide? dan setingkat dengan pembasmian etnis di Bosnia-Herzegovina dan Rwanda. Belo menyebut TNI sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap kasus itu. TNI, katanya, menaruh dendam karena gagal mempertahankan Timtim. ?Karena dendam itulah Timtim dibikin kacau tak karu-karuan,? kata Belo, dari tempat persembunyiannya di Lisabon. Saat itu pun, Belo sudah menuntut agar persoalan itu di bawa ke mahkamah internasional. Suara Belo tentang Timtim ketika itu juga mendapat dukungan dari Vatikan. Siaran pers Vatikan pertengahan September 1999 memuat hal-hal yang dikampanyekan Belo, termasuk soal genocide atas bangsa Timtim. Dan setelah Timtim merdeka, Sang Uskup juga terus berkampanye agar masalah Timtim di bawa ke mahkamah internasional. Pada 4 September 2002, Belo meminta dukungan internasional untuk menggelar pengadilan internasional bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Permintaan itu diungkapkan Belo dalam surat yang dikirim ke pemerintah Timtim. Surat Uskup Dili ini --selain dikirimkan ke pemerintah Timtim ? juga diedarkan dan dibacakan ke seluruh jamaah gereja Katolik sediosis Dili. Sejak tahun 1990-an, peran Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo dalam pemisahan Timtim dari Negara Kesatuan RI memang sangat besar. Namun, pemerintah RI belum pernah berani menindak Sang Uskup, sampai Timtim dipaksa lepas dari Indonesia. Tahun 1996, Belo menggoncang politik Indionesia dalam wawancaranya di Majalah der Spiegel edisi 14 Oktober 1996. Kepada majalah Jerman itu, Belo menyatakan, ?Tentara Indonesia telah merampas kemerdekaan dan menghancurkan kebudayaan kami, juga memperlakukan kami seperti anjing kudisan. Mereka tidak mengenal tata keadilan. Orang Indonesia memperlakukan kami seperti budak belian.? Judul berita itu sendiri adalah ?Sie halten uns wie Sklaven? (Mereka Memperlakukan Kami Seperti Budak Belian). Pemerintah RI sangat berang dengan wawancara Belo itu. Menlu Ali Alatas sampai-sampai menemui Menlu Vatikan Mgr. Jean Louis Tauran di Roma dan menyampaikan keprihatinan Indonesia terhadap ucapan-ucapan Belo. Ketika itu, dalam pesawat kepresidenan dari Jakarta-Jordan-Roma, saya melihat bagaimana masalah Uskup Belo dan Timtim menjadi pembicaraan serius di kalangan pejabat-pejabat tinggi RI. Tetapi, posisi Uskup Belo sangat kuat, sehingga pemerintah Indonesia tidak berani menindaknya. Tetapi, hanya mengadukan ulah Uskup itu kepada bosnya di Vatikan. Bahkan, tahun itu juga, Uskup Belo dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian. Posisi Belo semakin naik, sebaliknya posisi Indonesia di mata internasional semakin jeblok. Terlepas dari soal kasus para jenderal dan kemerdekaan Timtim, apa yang menarik kita simak dalam kasus ini adalah kegigihan seorang Uskup dalam membela jemaatnya. Ia tampak begitu

bersemangat memperjuangkan nasib kaumnya. Harga nyawa kaumnya begitu tinggi di matanya. Meskipun hanya berpenduduk sekitar 700 juta jiwa, Timtim cepat meraih kemerdekaannya dari Indonesia, karena mereka khawatir dengan isu ancaman Islamisasi yang digulirkan Uskup Belo. Perlakuan Barat terhadap Timtim, sangat berbeda dengan nasib rakyat Palestina, yang 3 juta lebih rakyatnya kini masih hidup dalam pengasingan, dan PBB sendiri tidak pernah mengesahkan pendudukan Israel terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza. Tetapi, usaha pendirian negara Palestina masih belum jelas. Nasib Muslim Kashmir pun serupa. Sejak tahun 1948, PBB sudah meminta diadakan usaha penentuan nasib sendiri oleh rakyat Kashmir, tetapi India tidak pernah mau melaksanakannya. Kaum Muslim Kashmir yang jumlahnya sekitar 25 juta jiwa, masih tetap dibiarkan dijajah oleh India. Ratusan ribu kaum Muslim sudah terbunuh. Data Amnesty Internasional dan Asia Watch, menyebutkan, antara tahun 1990-1999, sekitar 71.204 rakyat Kashmir dibunuh oleh aparat India; sekitar 7.613 wanita menjadi korban perkosaan. Kita berharap, tokoh-tokoh dan pemimpin Islam juga bersikap vokal dan bertanggung jawab terhadap berbagai kondisi yang dialami kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Baru-baru ini, 7 Mei 2004, misalnya, ribuan kaum Muslim di kota Yelwa, Nigeria, mengungsi dari kota itu, dan ratusan lainnya terbunuh diserang oleh milisi Kristen, seperti diberitakan Reuters. Siapa tokoh-tokoh dunia Islam yang membela kaum Muslim tersebut? Padahal, kita ingat bagaimana di zaman Rasulullah saw, hanya gara-gara seorang wanita muslimah diganggu oleh kaum Yahudi Bani Qainuqa?, maka akhirnya terjadi perang antara Muslim dengan Yahudi tersebut. Alkisah, ketika itu, seorang wanita Muslimah datang ke pasar Bani Qainuqa' dengan membawa perhiasan. Ketika ia sedang duduk menghadapi tukang emas, sejumlah Yahudi berusaha melihat muka si Muslimah, namun wanita muslimah menolak (Kisah lain menyebutkan, Yahudi di situ juga berusaha mencopot jilbabnya). Diam-diam, seorang Yahudi datang dari belakang dan mengikatkan ujung baju si muslimah pada sebatang pengikat. Ketika berdiri, tampaklah aurat muslimah. Mereka beramai-ramai menertawainya, dan wanita itu menjerit-jerit. Seorang laki-laki Muslim yang lewat disitu segera menerkam tukang emas Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi lain berdatangan dan membunuh Muslim tersebut. Segera Nabi Muhamad SAW mendatangi Yahudi Bani Qainuqa' dan mengingatkan mereka, agar memelihara perjanjian damai yang sudah disepakati. Jika tidak, ancam Nabi, maka mereka akan mengalami nasib seperti kaum Quraisy yang kalah dalam Perang Badar. Ancaman Nabi SAW itu malah dilecehkan. Mereka katakan, "Hai Muhammad, jangan kau tertipu karena kau sudah berhadapan dengan suatu golongan yang tidak punya pengetahuan berperang sehingga engkau mendapat kesempatan mengalahkan mereka. Tetapi, kalau sudah kami yang memerangi kau, niscaya akan kau ketahui, bahwa kami inilah orangnya." Maka tidak ada pilihan bagi Nabi SAW kecuali memerangi mereka. Setelah dikepung selama 15 hari, Yahudi Bani Qainuqa' menyerah. Seluruh Bani Qainuqa' diusir dari Madinah, dan kemudian mereka menetap di daerah Syam (Syiria). Sekarang, kita juga bisa melihat, bagaimana kaum Yahudi terus memburu para pelaku ?holocaust? dan menuntut diberlakukannya sanksi terhadap para pembantai Yahudi di tahun 1940-an itu. Baru-baru

ini, pada tanggal 5 Mei 2004, pemerintah Jerman menyerahkan dana 12 juta Euro untuk korban pembantaian kaum Yahudi (holocaust) yang masih selamat. Israel Singer, Presiden Komite Klaim Holocaust, menyatakan, bahwa keputusan pemerintah Jerman itu merupakan ?langkah pertama yang penting?. Jadi, meskipun sudah puluhan tahun berlalu, tuntutan mereka terhadap pelaku holocaust tidak pernah dihapuskan. Kita bisa bertanya, mengapa Indonesia tidak menuntut Westerling, Van den Bosch, Van der Capellen, dan para penjajah dan pembantai rakyat Indonesia? Indonesia juga sama sekali tidak menyatakan, bahwa mereka masuk ke Timtim atas restu dan dukungan AS. Kasihan betul nasib bangsa Muslim terbesar ini. Di suruh masuk ke Timtim, masuk saja. Disuruh pergi, ya pergi saja. Padahal, selama puluhan tahun, Indonesia menyatakan, bahwa Timtim adalah bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan RI. Dicurangi dalam jajak pendapat tahun 1999, ya diam saja. Malah dengan segera mengakui bahwa jajak pendapat itu sah. Itulah nasib bangsamu, wahai Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, Hamzah Haz, Amien Rais, atau siapa saja yang mau jadi Presiden RI 20042009! Sanggupkah Anda mengubah kondisi bangsamu, dari bangsa yang terhina menjadi bangsa mulia? Jika tidak sanggup, untuk apajadi Presiden? Wallahu a?lam. (KL, 12 Mei 2004). Sikap Fanatik dalam Beragama Minggu, 23 Mei 2004 Megawati mengatakan radikal dan militan itu berbahaya. Pejuang kemerdekaan dulu bangga disebut kaum radikal, termasuk Soekarno yang memutuskan keluar dari PBB. Baca CAP ke-55 Adian Husaini, MA Presiden Megawati Soekarnoputri meminta Departemen Agama agar memperhatikan Sikap Fanatik Dalam Beragama. Itu disampaikan ketika membuka Rapat Kerja Departemen Agama di Istana Negara (17 Mei 2004). Sikap fanatik itu, kata Presiden, disertai perilaku yang progresif dan militan yang diperlihatkan dengan meminggirkan paham yang berbeda dan kalau perlu dimusnahkan. "Mereka menganggap tugas itu merupakan tugas suci yang mutlak harus dipenuhi," kata presiden. Presiden menilai, penyiaran agama telah melahirkan insan yang cenderung memandang ajarannya yang paling benar. Hal itu telah melahirkan sikap memusuhi yang kurang menguntungkan bagi kehidupan toleransi. Peringatan Presiden itu perlu dicermati. Apakah benar, bahwa dalam beragama seseorang tidak boleh bersikap fanatik? Sayangnya, Presiden tidak memberikan penjelasan yang memadai, tentang arti kata fanatik. Ia hanya menyebutkan beberapa hal yang menjadi indikator sikap fanatik, yaitu: perilaku progresif, militan, dan memandang ajarannya yang paling benar. Benarkah kata-kata Presiden itu?

Kata fanatik sebenarnya berasal dari bahasa Latin fanaticus, yang dalam bahasa Inggris diartikan: frantic atau frenzied. Artinya, gila-gilaan, kalut, mabuk, atau hingar-bingar. That music drives him frantic, artinya: music itu membuat dia kegila-gilaan. Dari asal kata ini, tampaknya kata fanatik bisa diartikan dengan sikap seseorang yang melakukan atau mencintai sesuatu secara serius dan sungguh-sungguh. Sehingga kata ini dikontraskan dengan kata toleransi. Itulah, yang dikatakan Presiden, bahwa indikasi dari fanatik adalah progresif, militan, dan merasa ajaran agamanya yang paling benar. Pidato Presiden ini sebenarnya hal yang sengat serius, yang harusnya didiskusikan oleh para ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia. Benarkah orang Islam tidak boleh fanatik dalam beragama, dalam arti: tidak boleh progresif, militan, dan merasa ajarannya yang paling benar? Jika dicermati dengan akal sehat dan jernih, jelas sekali pidato Presiden itu tidak benar. Dalam aspek keimanan, orang Islam tidak ada tawar-menawar. Iman haruslah merupakah keyakinan yang pasti. Tidak ada keraguan di dalamnya, laa rayba fiihi. Iman harus sampai ke tahap yaqin. Bahwa Allah SWT adalah Esa, Ahad, itu tidak boleh ada tawar-menawar. Seorang Muslim tidak akan ragu bahwa sorga dan neraka adalah wujud. Malaikat adalah wujud. Dan juga bahwa Nabi Muhammad saw adalah Rasul Utusan Allah yang makshum, terjaga dari kesalahan. Tidak ada yang ragu akan hal itu, siapa pun orang mukmin sejati. <>br> Kita percaya, bahwa Presiden Megawati tentunya yakin, bahwa Taufik Kiemas adalah seorang laki-laki. Tidak ada keraguan sama sekali. Begitu juga Taufik Kiemas tentu yakin, bahwa Megawati adalah seorang wanita. Tidak ada kompromi dalam hal itu. Tentu Bung Taufik Kiemas akan sangat marah jika ada yang menyatakan, bahwa istrinya diragukan kewanitaannya. Atau, sebaliknya. Begitu juga dalam hal haq dan bathil. Tidak ada kompromi. Yang haq tetaplah haq, dan yang bathil harus dikatakan sebagai bathil. Bahwa minuman keras, zina, judi adalah haram, sudah merupakan hal yang pasti. Seorang mukmin tidak akan pernah menyatakan bahwa shalat lima waktu adalah tindakan tercela. Dalam hal-hal seperti itu, sebagai seorang pemeluk Islam, Presiden Megawati pun akan bersikap fanatik untuk meyakini bahwa Tidak Ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Antara haq dan bathil tidak bisa dicampur, tidak ada kompromi. Jika seorang dikatakan pasti lakilaki, maka tidak ada peluang untuk menyatakan, kemungkinan bahwa dia adalah perempuan. Jika seorang Muslim menyatakan, bahwa Allah adalah Esa, Satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, maka kaum Muslim akan meyakini bahwa kepercayaan lain yang menyatakan Allah itu punya anak dan anaknya itu pernah dikorbankan untuk menebus dosa manusia, adalah kepercayaan yang bathil. AlQuran (QS. 5:72-75) pun menegaskan, bahwa kepercayaan seperti itu adalah bathil, dan orang yang mempercayainya disebut kafir. Kaum kafir akan dijebloskan ke dalam neraka. Apakah dengan sikapnya yang tegas seperti itu, lalu al-Quran dikatakan bersikap fanatik? Nabi Muhammad saw memberi contoh, bagaimana beliau begitu bersemangat untuk menyebarkan Islam. Beliau mengirim surat kepada para tokoh dan raja-raja, mengajak mereka masuk Islam, beriman kepada Allah dan Kerasulan beliau saw. Masuk Islamlah anda, maka anda akan selamat.

Begitu antara lain bunyi surat Nabi saw itu. Tentu, Nabi saw yakin, bahwa hanya Islam-lah agama yang benar dan jalan keselamatan. Karena keyakinan seperti itulah, maka para wali songo dulu bersemangat menyebarkan Islam ke Indonesia, sehingga Soekarno pun menjadi Muslim, dan begitu juga Megawati Soekarnoputri. Apakah Nabi Muhammad saw akan dituduh bersikap fanatik dan mengajarkan umatnya untuk bersikap fanatik, karena meyakini hanya Islam yang benar? Jadi, sudah sepatutnya umat beragama memang fanatik dalam memegang agamanya. Umat Islam harus fanatik, yakin dengan agamanya. Tidak ragu-ragu akan kebenaran agamanya. Dan serius dalam memperjuangkan agamanya. Juga bersifat progresif untuk mengejar kemajuan. Harusnya, Presiden Megawati menganjurkan agar jajaran Departemen Agama bersikap fanatik dalam menjalankan agamanya, agar mereka tidak korupsi, tidak menelantarkan dan menindas jamaah haji, tidak bermain-main dengan agamanya; tidak bersikap munafik, bicara agama tetapi perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Harusnya, Presiden meminta agar Menteri Agama tidak setengah-setengah dalam menjalankan jajaran Islam, sehingga tidak perlu percaya kepada mimpi tentang harta karun. Jadi, untuk hal-hal yang prinsip, sudah selayaknya orang beragama, bersikap fanatik. Orang Islam pun sudah paham, untuk hal-hal yang bersifat khilafiah, maka tidak perlu ada sikap fanatik, seperti soal doa qunut, cadar, dan sebagainya. Kaum Muslimin sudah mafhum akan hal itu. Dalam hal seperti inilah ada toleransi. Boleh qunut boleh tidak. Boleh pakai cadar untuk wanita, boleh tidak. Tidak perlu fanatik. Tapi, kalau soal keimanan dan hal-hal yang qathiy, maka tidak ada kompromi dalam pendapat. Jadi, mestinya, Presiden menjelaskan, kapan umat beragama boleh bersikap fanatik dan kapan tidak sepatutnya bersikap fanatik. Ini sangat diperlukan, untuk mendidik rakyat, memahami makna kata-kata dengan jelas, dan ilmiah. Bukan dengan kata-kata yang bersifat politis dan peyoratif. Sebagai contoh, bisa dilihat juga dalam penggunaan kata militan. Karena kita mengikuti arus opini internasional, maka kata ini sudah dipahami oleh banyak orang sebagai kata yang buruk. Karena dikaitkan dengan terorisme. Ketika membunuh sekitar 40 orang sipil Irak dalam pesta perkawinan pada 19 Mei 2004, komandan pasukan AS mengatakan, bahwa mereka telah membunuh kaum militan. Padahal, yang mereka bunuh adalah orang-orang sipil yang sedang mengawakan kenduri perkawinan, termasuk wanita dan anak-anak. Padahal, makna kata militan sendiri sebenarnya dapat bermakna baik, yaitu bersemangat dalam mengerjakan sesuatu. Bisa dikatakan, para calon Presiden RI 2004-2009 bersikap militan dalam mengejar cita-citanya. Artinya, mereka sangat serius dan bersungguh-sungguh, serta bersemangat. Sampai-sampai ratusan milyar dikorbankan untuk itu. Hamzah Haz saja menganggarkan biaya kampanye sebesar Rp 500 milyar. Namun, media massa terus-menerus memborbardir kata militan dan identik dengan teroris. Harian Kompas (3/8/2002) menulis sebuah berita berjudul Perjanjian Antiteroris. Tertulis dalam berita itu: Malaysia dan Australia hari Jumat (2/8), menandatangani Perjanjian Antiterorisme yang

memungkinkan kedua negara bekerjasama memerangi tersangka militan. Kamis (1/8/2002) lalu, rancangan perjanjian antiterorisme ASEAN-AS -- yang diberi nama ASEAN-AS Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism -ditandatangani. Menlu AS Colin Powell langsung hadir dalam peristiwa penting di Brunei Darusslam. Disebutkan, Pakta itu juga menolak anggapan bahwa Islam militan adalah satu-satunya pihak yang didefinisikan sebagai teroris. (Koran Tempo, 30/7/ 2002) Kata lain yang banyak dicitrakan dengan makna negatif adalah kata radikal. Para pejabat dan pemuka agama sering mengutuk kaum radikal dan mengaku moderat. Usai bertemu dengan Colin Powell, di Jakarta, Jumat (2 Agustus 2002), Menlu Hassan Wirajuda menepis kekhawatiran meluasnya gerakan Islam radikal di Indonesia. Mayoritas muslim Indonesia, kata Wirajuda, cenderung moderat dan gerakan radikal tak memiliki banyak pendukung. Pemberlakuan syariat Islam sudah dibicarakan sejak 1945, hanya sedikit yang mendukung, ujarnya seperti dikutip Koran Tempo (3/8/2002). Apa yang dimaksud dengan radikalisme? Horace M. Kallen (1972) mencatat tiga ciri radikalisme, yaitu (1) radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respon ini dapat berupa evaluasi, penolakan, atau perlawanan, (2) radikalisme biasanya bukan sekedar penolakan, tetapi berlanjut pada upaya mengganti tatanan yang ada dengan tatanan lain. Jadi, sesuai arti kata radic, sikap radikal mengandung keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar, (3) radikalisme juga ditandai dengan kuatnya keyakinan kaum radikalis terhadap program atau ideology yang mereka bawa, dan sekaligus penafian kebenaran system lain yang akan diganti. (Effendy & Prasetyo, 1998). Maka, berpijak pada definisi Kallen tersebut, radikalisme bukanlah sesuatu yang pasti buruk. Pidato Soekarno di depan Sidang Umum PBB ke-15, 30 September 1960, yang bertajuk Membangun Dunia Baru, bisa dikatakan sebagai sebuah pandangan dan sikap radikal, karena berupaya mengganti tatanan dunia yang tidak adil dan menindas. Juga, perjuangan Nabi Muhammad saw yang menentang, merombak, dan mengganti tatanan jahiliyah dengan tatanan Islam merupakan sikap dan perjuangan yang sangat radikal. Bahkan, jika ditelusuri dalam sejarah, berbagai perubahan besar di dunia ini dimotori oleh gerakan-gerakan radikal yang berupaya merombak tatanan yang ada dan menggantinya dengan tatanan dan nilai baru. Banyak tokoh yang namanya harum dalam sejarah dan diberi julukan sebagai radikal. Salah satunya adalah tokoh NU, Subchan ZE. Dalam tulisannya di edisi khusus 20 tahun Majalah Prisma, Arief Mudatsir mencatat Subchan sebagai politisi yang keras dan radikal serta memiliki kepribadian yang teguh dalam pendirian politik. Para pejuang kemerdekaan RI, dulu, juga bangga disebut sebagai kaum radikal. Pada 1918 dibentuklah apa yang disebut dengan Radicale Concentratie yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, Indische Sociaal Democratische Vereniging yang bertujuan membentuk Majelis Nasional sebagai praparlemen untuk menyusun rancangan UUD Sementara bagi Indonesia. Radicale Concentratie ini kemudian menuntut dibentuknya parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat, dan pertanggungjawaban pemerintahan kepada parlemen ini. (Nasution, 1995).

Kamus Umum Belanda-Indonesia yang dikarang S. Wojowasito mendefinisikan radicaal sebagai (1) mendalam hingga ke akarnya, (2) ekstrim, (3) berpendirian amat jauh. Tampaknya, para pejuang kemerdekaan RI dulu bangga pula disebut sebagai ekstrim oleh Belanda. Padahal, mereka adalah kaum radikal yang memiliki pandangan amat jauh dan berupaya menumbangkan kekuasaan kolonial. Dalam kamus politik AS saat ini, Islam radikal, Islam militan, Islam fundamentalis, memang masuk daftar musuh Barat yang utama yang wajib diberantas. Dan ini memang hasil penggodokan para ilmuwan garis keras AS. Fawaz A Gerges, dalam bukunya America and Political Islam: Clash of Cultures or Clash of Interests, 1999, mengungkapkan, beberapa ilmuwan AS (seperti Indyk, Kirkpatrick dan Miller), membuat sejumlah kesimpulan tentang Islam. Diantaranya, pembentukan rezim otoriter adalah pilihan lebih baik dari pilihan jelek dari dua setan (the least of two evils). Karena itu AS mesti terus menyokong regim yang otoriter itu, meskipun mengorbankan demokrasi. Jadi meskipun banyak kaum konfrontasionis merasa pemerintahan Timteng memperlakukan rakyatnya secara buruk, tapi regim-regim itu telah membantu AS untuk menetralisir Islam radikal-Islam politik dan juga melindungi kepentingan AS, kata Gerges. Seyogyanya, Presiden dan para pejabat Indonesia, lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah, dan tidak hanya percaya kepada para pembuat naskah pidatonya. Jika kita menyimak sejumlah Pidato Soekarno tahun 1960-an, kita akan melihat, bagaimana fanatik, militan, dan radikalnya Soekarno dalam memegang ideologinya. Dalam pidatonya di MUPBB, 30 September 1960, Soekarno meyatakan: Imperialisme dan kolonialisme adalah buah dari sistem negara Barat itu saya benci imperialisme, saya jijik pada kolonialisme. Untuk melawan Barat, pada 7 Januari 1965, Soekarno memutuskan RI keluar dari PBB. Menurut Soekarno, dengan keluar dari PBB, Indonesia akan menjadi negara yang bebas dan berdikari. Saat berpidato di Gelora Bung Karno, 7 Januari 1965, ia katakan: Bukan lagi satu bangsa yang selalu minta aid, please, please give us aid, pleas give us aid. Beberapa waktu yang lalu saya sudah berkata, go to hell with your aid. Kita tidak memerlukan aid. Itulah pidato Soekarno, ayah Presiden Megawati Soekarnoputri yang kini akan berpasangan dengan Hasyim Muzadi, untuk merebut kursi RI , lagi! (KL, 20-5-2004 Kecerobohan Intelektual Rabu, 09 Juni 2004 Munculnya intelektual yang pendapat-pendapatnya disebarluaskan ke public yang menyesatkan bila dibiarkan akan melahirkan para intelektual yang jahil. Baca CAP ke-56 Adian Husaini, MA Dunia intelektual Indonesia, sejak beberapa waktu lalu, dikenalkan dengan munculnya sebuah kelompok bernama ?Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah?, disingkat JIMM. Adalah sesuatu yang menggembirakan, bahwa di kalangan organisasi Islam, muncul semangat ilmiah, semangat untuk mengkaji ilmu dan menyebarkan ilmu ke tengah masyarakat. Termasuk di lingkungan Muhammadiyah.

Sebab, kita tahu, masalah ilmu sangatlah mendasar dalam pandangan Islam. Banyak ayat al-Quran dan hadith Nabi Muhammad saw yang menekankan pentingnya peran ilmu dalam kehidupan manusia. Karena itu, kaum Muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Orang-orang yang berilmu, yang disebut ulama, sangat dihormati posisinya. Ulama bukan hanya orang yang pintar tetapi yang juga bertaqwa kepada Allah. (QS 35:28). Ulama-ulama yang jahat (ulamaa? al-suu?), sangatlah berbahaya bagi masyarakat. Baik ulama yang ilmunya salah, maupun ulama yang perilakunya jahat. Sebab itu, orang yang ingin menyebut atau disebut dirinya ulama, cendekiawan, intelektual, dan sebagainya, yang ingin pendapat-pendapatnya didengar dan dituruti masyarakat, perlu sangat berhatihati, senantiasa bersikap cermat, teliti, dan tidak mudah menyebarkan pendapatnya kepada masyarakat. Apalagi, ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ad Darimy, yang menyatakan "Orang yang terlalu mudah berfatwa (ceroboh) dalam berfatwa diantara kamu, akan masuk neraka.? (Lihat al-Faidhul Qadir, Jld 1, hadith no.183). Diceritakan dalam buku Biografi Empat Imam Mazhab, karya Munawar Khalil, bawa Imam Malik -- guru Imam Syafii -- dikenal sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bahkan lebih banyak menjawab "saya belum tahu" ketika ditanya pendapatnya tentang berbagai hal. Imam Syafii menceritakan, "Sungguh aku telah menyaksikan pada Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah. Beliau menjawab 32 masalah dengan perkataan, "Saya belum tahu". Imam Abu Mash'ab juga menceritakan, "Aku belum pernah memberi fatwa tentang satu masalah, sehingga aku mengambil saksi dengan 70 orang ulama, bahwa aku memang ahli dalam soal yang demikian itu." Imam Abu Musa juga menceritakan, bahwa ketika berkunjung ke Iraq, Imam Malik ditanya 40 masalah, dan hanya 5 yang dijawabnya. "Tidak ada perkara yang lebih berat atas diriku, selain daripada ditanya tentang hukum-hukum halal dan haram," kata Imam Malik. Terkadang, untuk menemukan jawaban atas sesuatu, Imam Malik sampai tidak dapat makan dan tidur pulas. Kehatihatian para imam besar itu, sangat perlu menjadi pelajaran. Sebab, jika seseorang salah dalam menyebarkan pendapat, maka ia akan bertanggungjawab terhadap kesalahan yang timbul akibat perbuatannya. Karena itu, pada satu sisi kita gembira dengan bersemangatnya kaum muda muslim melakukan kajian-kajian keislaman. Namun, pada sisi lain, kita juga perlu prihatin jika kajian-kajian itu dilakukan dengan tidak serius dan sepintas tanpa mendalami akar persoalannya. Sebagai contoh, adalah tulisan yang dibuat oleh Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pada 21 Mei 2004, di Republika, yang berjudul ?Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam?. Kita bisa menyimak berbagai kecerobohan dan kekeliruan fakta dan pendapat yang cukup fatal dalam tulisan tersebut: 1. Ditulis: ?Banyak yang mengganggap dan mempercayai, bahwa Islam yang otentik dan paling benar adalah Islam yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad semasa hidup.? Kita bertanya: ?Apakah ada orang lain, termasuk di lingkungan Muhammadiyah, yang memahami

dan mempraktikkan Islam lebih baik dari apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw? Bukankah kuam Muslim pasti meyakini, bahwa Nabi saw adalah uswatun hasanah; contoh yang baik?? Kita sungguh sulit memahami, jika ada yang menyebut dirinya intelektual Muslim, tetapi berani melakukan gugatan terhadap keislaman Nabi Muhammad saw, dengan alasan apa pun, termasuk dengan menyatakan, bahwa ?pemahaman dan pelaksanaan Islam di masa Nabi SAW itu, hanya cocok untuk zaman dan tempatnya saja. ?Nabi hidup di zaman onta, kita hidup di zaman pesawat terbang," katanya. Simaklah sebuah tulisan karya seorang dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, di website islam liberal, 17 Mei 2004, yang menyatakan sebagai berikut: ?Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandanganpandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.? Begitulah kata-kata calon doktor yang merupakan alumnus pesantren terkenal di Bekasi. Bayangkan, ada dosen pemikiran Islam, yang tetap mengaku Muslim, yang berani mengkategorikan, pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, al-Ghazali, Imam al-Syafii, para sahabat, bahkan pemikiran Nabi Muhammad SAW, dan mengajak kita untuk berani mengkritik mereka. Sementara, di tulisan yang sama, dia mengutip pendapat seorang Immanuel Kant, tanpa kritik apa pun! Sebagai Muslim kita wajib beriman bahwa Nabi Muhammad adalah ma?shum, terjaga dari kesalahan. Jika ada meragukan akan hal ini, konsekuensinya, jelas akan meragukan al-Quran dan hadits Nabi sebagai sumber kebenaran. Jika hal itu terjadi, maka apakah lagi yang tersisa dari Islam? Padahal, Allah SWT berfirman: ?Dan dia (Muhammad SAW) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.? (QS, Al-Najm: 3). Nabi Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 4446, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad SAW: ?Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.? Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu, dan beliau adalah yang paling memahami makna yang terkandung dalam wahyu tersebut. Kita sungguh sulit memahami, jika ada manusia yang merasa lebih pandai dari Nabi SAW dalam menafsirkan al-Quran. 2. Ditulis: ?Bila kita lihat ke belakang, hal itu berawal dari intensnya persentuhan umat Islam dengan politik dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara simbolik, mungkin saat itu bisa dikatakan Islam mencapai zaman keagungan. Namun, perkembangan Islam secara substansial sebetulnya menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Sebab, saat

itu para ulama menyerukan agar ijtihad dihentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan dibiarkan terus berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara. Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab; Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii. Sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy'ariah. Dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.? Begitulah kutipan dari penulis artikel tersebut. Kita sebenarnya sulit memahami logika penulis dari kelompok intelektual yang mengusung nama Muhammadiyah ini. Sejak berdirinya daulah Madinah, dengan Konstitusi Madinah-nya, yang sangat terkenal dan diakui sebagai ?Konstitusi tertulis pertama di dunia?, maka sejak itu pula umat Islam sudah intens dengan politik. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara. Begitu juga para khulafaurrasyidin. Jadi, apa yang aneh dengan persentuhan yang intens antara umat Islam dengan politik? Apakah karena itu, kemudian terjadi penyimpangan dalam penafsiran ajaran Islam? Logika ini hanya muncul, jika kata ?politik? dipahami dalam kerangka pikir Machiavelis. Kita bertanya kepada penulis artikel itu: ?Siapakah ulama yang menyerukan ijtihad dihentikan? Ketika Perang Salib bermula, tahun 1095, dan mulai menduduki sebagian wilayah Suria, tahun 1097, umat Islam masih mengalami zaman kegemilangan secara peradaban, termasuk dalam bidang intelektual. Hanya sebagian kecil wilayah Islam yang jatuh ke tangan pasukan Salib. Literatur tentang masalah ini melimpah ruah. Pada saat-saat itu pula, al-Ghazali menulis karya besarnya, Ihya? Ulum al-Diin. Berabad-abad kemudian, masih bermunculan ulama-ulama besar, seperti Ibn Taimiyah, Imam Fakhruddin al-Razi, dan sebagainya, dengan karya-karya agung mereka, yang hingga kini masih dijadikan bahan kajian para intelektual ?-muslim dan non-muslim-? di berbagai dunia. Pintu Ijtihad tidak pernah tertutup. Tidak ada yang bisa menutup pintu ijtihad itu. Hanya saja, seseorang mestilah ?berkaca diri?, apakah dirinya memang layak mengaku mujtahid, padahal belum memahami al-Quran, hadith, serta berbagai perangkat ijtihad lainnya. Imam dan pemikir besar seperti al-Ghazali, al-Bukhari, dan sebagainya, tetaplah mengakui mengikuti Imam al-Syafii dalam bidang ushul fiqih. Jika Imam al-Bukhari saja mau mengakui keagungan Imam al-Syafii, apakah ada intelektual dari Muhammadiyah yang bisa menyusun hadith sendiri, tanpa mengikuti koleksi hadith al-Bukhari? Bahkan, tokoh Mu?tazilah, Qadhi Abdul Jabbar pun juga bermazhab al-Syafii. Imam Ibn Taimiyah yang telah menulis ratusan Kitab juga mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Imam al-Ghazali, meskipun beliau menulis kitab Ushul Fiqih, tetapi beliau pun tetap mengakui otoritas al-Syafii. Itulah sikap para ilmuwan Muslim, tahu adab, tahu diri, tawadhu?, mengakui otoritas ilmuwan lain, yang diakuinya lebih hebat dari dirinya. Jika penulis artikel dari intelektual Muhammadiyah itu lebih mau bersikap cermat, maka akan paham, bahwa mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat itu saja. Ada mazhab Ja?fary, Dawud alDhahiry, dan sebagainya. Sudah banyak kajian, mengapa empat mazhab itu yang kemudian lebih berkembang di dunia Islam. Tidak ada yang membatasi bahwa mazhab fiqih yang boleh berkembang hanya empat mazhab itu saja.

3. Ditulis juga: ?Pembakuan penafsiran dan corak keber-Islam-an itu, sebetulnya justru malah membuat umat Islam tidak kreatif, apologetis, serta senantiasa memuja masa lalu. Mereka seringkali tidak berusaha untuk mencari makna agama dengan berpikir mandiri dan kritis, soalnya semua urusan senantiasa dikembalikan ke otoritas teks dan masa lalu. Padahal, menurut Nasr Hamid Abu Zaid (2003), antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Artinya, Islam sebagai wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu Islam yang universal itu dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah pemahaman. Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi.? Mencermati tulisan intelelektual muda Muhammadiyah ini, kita patut prihatin, karena pada akhirnya, ia pun merujuk dan memuja masa lalu, dengan menokohkan Nasr Hamid Abu Zaid, yang banyak memuji aliran Mu?tazilah. Padahal, jika kita telaah buku Mafhum al-Nash, dan karya-karya Nasr Hamid yang lain, banyak masalah yang bisa kita kritisi. Dr. Anis Malik Toha, dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia, dalam kajiannya terhadap buku Nasr Hamid yang berjudul ? Naqd al-Khitab al-Diiniy?, membuktikan, bahwa adanya dominasi pola pikir sekulerisme dalam diri Nasr Hamid. Karena itu, sebelum seseorang menolak dan membuang karya-karya besar ulama Islam terdahulu, dan mengadopsi pemikir modern seperti Nasr Hamid, mestinya dilakukan kajian yang serius dulu. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah berbagai berbagai ironi. Bisa-bisa muncul apa yang disebut sebagai ?mujtahidun jahilun?, mujtahid bodoh, yang ingin disebut mujtahid, tetapi sejatinya tidak tahu apa-apa. Jika kita melakukan kajian peradaban dengan serius, maka kita akan menjumpai, bahwa Umat Islam mencapai kegemilangan selama ratusan tahun, dengan menggunakan pola pendekatan yang dicontohkan Rasulullah, para sahabat, tabi?in, para ulama besar, seperti Maliki, al-Syafii, al-Asy?ari, al-Ghazali, dan sebagainya. Contoh yang jelas, adalah bagaimana keberhasilan Shalahuddin alAyyubi dalam mengembalikan kejayaan Islam dan mengalahkan Pasukan Salib, serta merebut Jerusalem pada tahun 1187. Buku yang ditulis Carole Hillenbrand, berjudul ?The Crusades: Islamic Perspectives? ( Edinburgh University Press, 1999), menggambarkan bagaimana pengaruh pemikiran Islam mazhab Asy?ari, Syafii, dan peran para ulama Ahlus Sunnah lainnya, dalam kebangkitan para pemimpin Muslim ketika itu, termasuk dalam diri Shalahuddin al-Ayyubi. Tentang masalah geografi dan waktu, sebenarnya juga hal yang sangat jelas dalam Islam. Kita bisa melihat, bahwa dalam banyak aspek, ajaran Islam bersifat universal, tidak melihat tempat dan waktu. Kapanpun, di mana pun, kaum Muslim akan sholat dalam bahasa Arab, Azan dalam bahasa Arab, meskipun masyarakat tidak mengerti makna azan itu. Tidak boleh diubah. Apakah terpikir, jika di kalangan JIMM ada yang tidak mengerti bahasa Arab lalu mengubah azan dalam bahasa Jawa, agar Islam cocok untuk setiap tempat? Tentu tidak, sampai kapan pun! Sebab itu, kita sebenarnya sangat prihatin, jika pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak cermat, ceroboh, keliru, dan tidak mendalam, disebarkan ke tengah masyarakat dengan mengatasnamakan ? intelektual? dari organisasi Islam tertentu. Masalah kekeliruan pemikiran ini sangat penting, tidak

kalah pentingnya dengan pemilihan Presiden. Sebab, jika Presiden yang kita pilih berpikir salah tentang Islam atau dikelilingi oleh orang-orang yang berpikir salah, maka dampaknya akan sangat besar buat Islam, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Wallahu a'lam. (KL, 26 Mei 2004). PDS, Mega-Hasyim, dan SKB 1/1969 Sabtu, 12 Juni 2004 Sebelum berjanji mendukung pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, Partai Damai Sejahtera (PDS) mengajukan syarat lain pencabutan SKB Mendgri dan Menag Nomor 1/1969. Baca CAP Adian Husaini, MA Ketika akan bergabung dengan kubu Megawati-Hasyim Muzadi, Partai Damai Sejahtera (PDS) mengajukan sejumlah syarat, antara lain pencabutan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 dan UU Sisdiknas. SKB 1/1969 ini berisi antara lain: setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Sedangkan UU Sistem Pendidikan Nasional berisi antara lain kewajiban sekolah untuk menyediakan guru agama sesuai dengan agama siswa. Dengan dua juta suara pendukung, PDS secara tegas berusaha menyuarakan aspirasi kelompoknya. Tuntutan PDS itu diterima Megawati-Hasyim, sehingga para pendeta beramai-ramai mulai berkampanye unsuk suksesnya pasangan tersebut. Mengapa kelompok Kristen begitu alergi terhadap SKB 1/1969 tersebut? Mereka selalu beralasan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, itu adalah "bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Tap MPRS No XX/MPRS/1966, Hak Asasi Manusia untuk beribadah, menafikan kebebasan beribadah umat Kristen dan Katolik di Indonesia, serta menumbuhkan fanatisme sempit pada umat beragama lain." Tuntutan pencabutan SKB 1/1969 juga sempat muncul ke pemrukaaan, menyusul penyerbuan Komplek Kristen Doulos, tahun 1999, yang ketika itu dipimpin oleh Pendeta Ruyandi Hutasoit, presiden PDS. Sejak lahirnya, SKB No 1 tahun 1969 sudah menjadi bulan-bulanan pihak Kristen, seperti halnya SK Menteri Agama No 70 tahun 1978 yang mengatur tentang Pedoman Penyiaran Agama. SK Menteri Agama No 70 itu misalnya menetapkan, bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan untuk (1) ditujukan terhadap orang-orang yang telah memeluk agama lain, (2) dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik memeluk sesuatu agama, (3) dilakukan dengan cara-cara penyebaran panflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah/ di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain, (4) dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apa pun.

Tentu saja SK Menteri Agama No 70/1978 itu ditolakc mentah-mentah oleh kalangan Kristen. Sebab bunyi SK Menteri Agama itu sejalan dengan klausul yang ditolak oleh kaum Kristen dalam Musyawarah Antar Golongan Agama pada 30 November 1967, yaitu "tidak menjadikan umat yang telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing". SKB No 01/BER/MDN-MAG/1969 itu adalah SKB tentang "Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya". SKB No 1/1969 ditetapkan tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh Menteri Agama KH Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Soal yang berkaitan dengan pembangunan gereja diatur dalam pasal 4 SKB tersebut. (1) Setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepala daerah atau Pejabat Pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. (2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan (a) pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi (c) kondisi dan keadaaan setempat. (3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat. Gugatan keras terhadap SKB 1/1969 misalnya pernah datang dari JE Sahetapy, seorang tokoh PDIP. Tokoh Kristen yang juga pakar hukum dari Unair Surabaya ini mengaitkan maraknya aksi pembakaran dan perusakan gereja dengan keberadaan SKB No 1/1969. JE Sahetapy menulis soal ini, " sejak tahun 1969 umat Kristiani telah diviktimisasi, antara lain, melalui SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, dan yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai surat instruksi dan surat radiogram, yang pada intinya, bagaimana mendiskreditkan dan memojokkan kehidupan beragama/bergereja umat Kristiani." SKB 1/1969 dikatakan Sahetapy telah memasung kebebasan HAM. Berdasarkan pasal 29 UUD 1945 dan penjelasannya, Sahetapy menyimpulkan, secara legalistik positivistik, maka tidak mungkin kebebasan beragama secara diskriminatif dipasung dengan suatu produk hukum yang tidak dikenal dan tidak berjiwa Pancasila dan serta tidak sesuai dengan Tap MPRS No XX Tahun 1966. Pancasila tidak boleh dalam keadaan apa pun dan yang bagaimana pun mendiskriminasikan dan meminoritaskan agama manapun dengan cara terselubung dalam bentuk dan dengan sifat apa pun. Jadi, dengan kata lain, tegas Sahetapy, SKB Menag dan Mendagri Nomor 1 tahun 1969 adalah "van rechtswege nietig" atau "batal dengan sendirinya berdasarkan hukum". SKB Nomor 1 tahun 1969 juga disebut Sahetapy sebagai bentuk "penjajahan terselubung" yang bertentangan dengan makna "kemerdekaan" sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di

atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Dari uraian panjang lebar Sahetapy dapat disimpulkan betapa jengkelnya kaum Kristen dengan keberadaan SKB No 1 tahun 1969 tersebut. Bahkan, Sahetapy dengan tegas menyatakan, SKB itu dengan sendirinya batal hukum. Artinya, sesuai pandangan Sahetapy dan berbagai kelompok Kristen lainnya, SKB yang sudah berumur 30 tahun itu dianggap tidak ada oleh kaum Kristen di Indonesia. Apa artinya? Tidak lain, kecuali, kaum Kristen enggan menerima aturan-aturan yang "mengatur" soal pembangunan gereja. Mereka mau jalan sendiri, tanpa aturan, dengan alasan kebebasan dan HAM. Mungkin, karena menganggap sepi SKB Nomor 1 tahun 1969 itulah, maka persoalan gereja di Indonesia tidak pernah tuntas. Sebab, pihak Kristen menganggap, untuk membangun gereja tidak perlu melalui prosedur izin sesuai SKB Nomor 1 tahun 1969. Sementara pemerintah dan kaum Muslim Indonesia menilai SKB itu adalah peraturan yang sah dan berlaku di negara hukum Indonesia. Jika logika dan pendapat Sahetapy soal SKB Nomor 1 tahun 1969 tetap dipegang teguh oleh kaum Kristen Indonesia, sementara pihak Muslim dan pemerintah RI tetap berpegang teguh pada SKB Nomor 1 tahun 1969 itu, maka "sudah sewajarnya" jika konflik antara kaum Muslim dan kaum Kristen dalam soal gereja akan terus berlangsung dan tidak pernah berakhir. Tuntutan pihak Kristen untuk mencabut SKB No 1/1969 dengan alasan HAM sangatlah tidak masuk akal. Di belahan mana pun di dunia ini, masalah pembangunan rumah ibadah pasti mendapat perhatian dan aturan serius. Kaum Muslim juga harus berjuang keras melalui berbagai persyaratan administrasi yang berat, ketika hendak mendirikan masjid di negara-negara Kristen Eropa. Tidak mungkin, dengan alasan HAM dan kebebasan, maka kaum Muslim bebas begitu saja mendirikan masjid. Kaum Muslim di Roma, misalnya, harus berjuang puluhan tahun untuk dapat mendirikan sebuah masjid. Pada dekade 1930, kaum Muslim pernah meminta ijin kepada Mussolini untuk mendirikan Masjid, tetapi dijawab Mussolini: No! When we can build a Roman Catholic church in Mecca, you can build a mosque in Roma. Permintaan Mussolini tentu mustahil dipenuhi kaum Muslim, sebab Kota Suci Mekkah memang hanya dikhususkan untuk dihuni oleh kaum Muslim. Kini, jika SKB 1/1969 itu dicabut, kita bertanya kepada pihak Kristen, apakah mereka akan dengan seenaknya sendiri mendirikan gereja di mana-mana? Bukankah hal ini akan semakin memperkeruh situasi hubungan antar agama di Indonesia? Inikah yang diinginkan PDS dan kelompokkelompok Kristen lain di Indonesia? Kaum Muslim Indonesia telah terbukti memberikan sikap toleransi yang tinggi terhadap kehidupan keagamaan kaum Kristen. Ratusan, bahkan ribuan Gereja berdiri di mana-mana, dengan atau tanpa ijin.

Kadangkala, Gereja itu sengaja didirikan dengan sangat mencolok di tengah komunitas Muslim. Tengoklah, misalnya, sebuah Gereja yang amat sangat megah dan mewah yang dibangun di depan Komplek Kopassus AD, Cijantung. Di tengah penderitaan bangsa Indonesia, kelompok Kristen justru membangun sebuah Menara Doa Jakarta senilai Rp 2,5 trilyun. Itu semua didirikan ketika SKB 1/1969 masih berlaku. Bagaimana jika nanti SKB tersebut dicabut oleh pemerintahan Megawati-Hasyim Muzadi? Tentulah, perjanjian antara PDS dan Megawati-Hasyim Muzadi itu sangat disesalkan. Keputusan itu harusnya dipertimbangkan dengan seksama. SKB No 1/1969 sebenarnya masih ideal. Itu bukan hanya berlaku untuk kaum Kristen, tetapi juga untuk kaum Muslim yang tinggal di daerah mayoritas Kristen seperti NTT, dan sebagainya. Aturan semacam ini sangat diperlukan untuk mencegah semakin memburuknya hubungan antar-agama, karena sikap agresif sebagian kaum Kristen dalam menyebarkan agamanya terhadap kaum Muslim di Indonesia. Kaum Kristen tidak dilarang membangun Gereja, tetapi perlu dicermati, apakah Gereja itu dibangun untuk keperluan ibadah mereka atau berfungsi sebagai pusat dan alat misi Kristen untuk memurtadkan kaum Muslim. PDS adalah kelompok Kristen yang dipimpin oleh seorang pendeta misionaris fanatik Kristen. Ketika memimpin Doulos, Ruyandi Hutasoit mempunyai ambisi untuk meng-Kristenkan Indonesia. Tabloid Tekad No 8/Tahun II/20-26 Desember 1999, mengungkap misi Doulos World Mission, yaitu Mengkristenkan 125 suku terasing di Indonesia, yang jumlahnya 160 juta jiwa. Tentu, maksudnya, adalah kaum Muslimin Indonesia. Mereka mentargetkan, sebelum tahun 2000 usai, semua suku terasing itu harus mendengar Injil, karena mereka adalah suku yang terabaikan oleh Kristus. Melalui Departemen Misinya, Doulos mengkader para penginjil militan yang dididik di Sekolah Tinggi Teologia mereka. Soal fanatisme kelompok Dolulos/PDS ini adalah hak mereka. Yang perlu menjadi pelajaran bagi kaum Muslim ialah, betapa percaya dirinya kelompok kecil ini. Ini bisa dibandingkan dengan sikap banyak tokoh dan politisi Muslim, yang mungkin karena ingin dicap sebagai nasionalis, toleran, dan sebagainya, mereka berlomba-lomba memasang calon legislatif atau pengurus partainya dari kalangan Kristen. Seolah-olah, dengan itu, mereka lalu mendapatkan dukungan dari kelompok Kristen, atau tidak dicap lagi sebagai kelompok Islam yang fanatik, dan sebagainya. PAN, PKB, PBB, tercatat sebagai partai-partai Islam atau partai berbasis Muslim yang memasang caleg-caleg non-Muslim. PKS juga mengangkat pengurus Kristen. Dalam buku Penegakan Syariat Islam menurut Partai Keadilan (2004:133-134), misalnya, tertulis: Dimana beberapa pengurus PK wilayah Irian Jaya, khususnya DPD Jayawijaya dari 30 nama pengurus DPD, hanya 9 orang yang beragama Islam. Selebihnya adalah penganut Kristen yang diwakili marga Hilapok dan Itlay yang beragama Kristen. Kita berprasangka baik terhadap saudara-saudara kita dari kalangan partai politik, bahwa mereka

mempunyai pertimbangan sendiri dalam mengangkat pengurus atau calon legislatif dari kalangan Kristen. Kita sekedar membandingkan, sikap kalangan Kristen seperti PDS, yang memiliki pandangan dan sikap tersendiri dalam menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi keagamaan mereka. Kita sungguh patut memberi acungan jempol kepada kalangan Kristen seperti PDS ini, yang begitu gigih memperjuangkan aspirasi Kristen. Mereka juga tidak berpikir, untuk meraih dukungan suara, maka diangkatlah pengurus atau calon anggota legislatifnya dari kaum Muslim, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Mereka tidak gentar, meskipun jumlahnya kecil. Dalam soal penegakan syariat Islam, sejak tahun 1945, dalam Sidang-sidang BPUPKI, sikap kelompok Kristen tidak pernah bergeser: Tolak penerapan syariat Islam di Indonesia! Sekarang, di website majalah Kristen BAHANA, Juni 2004, terpampang sebuah judul tulisan: KH Hasyim Muzadi: Syariat Islam Tidak Relevan Lagi. Apakah yang terbayang di benak masyarakat, jika ada seorang Kyai membuat statemen seperti itu? Syariat Islam, yang hingga kini, masih tetap menjadi pegangan kaum Muslim, bahkan warga Nahdhiyin, dikatakan sudah tidak relevan lagi. Di kalangan NU, masih tetap ada forum bahtsul Masail yang merupakan forum kajian hukum Islam. Artinya, NU sendiri tetap memandang, syariat Islam sebagai hal yang tetap relevan. Jika syariat Islam dikatakan sudah tidak relevan lagi, lalu dengan syariat apakah kaum Muslim melaksanakan aktivitas perkawinan, pemakaman, kelahiran bayi, berpakaian, dan sebagainya? Kita berharap, KH Hasyim Muzadi meralat ucapannya tersebut, atau semoga Majalah Kristen tersebut salah kutip. Sungguh merupakan fitnah dan bencana yang besar, jika seorang yang dipandang ulama, benar-benar membuat ucapan seperti itu. Jika untuk urusan kepentingan politik, kaum Muslim diminta untuk melepaskan tuntutan pelaksanaan aqidah dan syariah Islam, maukah pihak Kristen diminta melepaskan kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yesus dan Bible? Tentu mereka tidak mau, meskipun dasar pijakan kepercayaan itu semakin banyak digugat oleh kalangan Kristen sendiri. Apapun sikap PDS dan kelompok-kelompok Kristen lainnya, kaum Muslim perlu terus-menerus melakukan introspeksi, agar tidak terus-menerus dipecundangi. Wallahu alam. (KL, 10 Juni 2004) Nasehat dan Harapan Untuk Amien Rais Jumat, 25 Juni 2004 Kalangan Islam memilih Amien Rais karena dianggap pilihan terbaik yang ada. Karenanya, Amien sepatutnya bersandar pada Allah, bertobat atas kesalahannya, dan tidak mengulangi lagi jika terpilih. Baca CAP ke-60, Adian Husaini, MA Diukur dari berbagai faktor, diantara calon presiden yang ada, Amien Rais memang yang paling

dapat diharapkan untuk membawa perubahan bagi kondisi Indonesia di masa depan. Beberapa tokoh Islam yang mendukung Amien Rais, menyatakan, bahwa Amien Rais sekarang sudah dan mau berubah, tidak ingin lagi menyakiti umat Islam, tidak mengeluarkan pernyataanpernyataan yang kontroversial, dan sebagainya. Malah, seorang tokoh Islam yang sangat terkenal namanya, menyebarkan SMS, bahwa diantara calon presiden yang ada, Amien Rais lah yang paling kecil mudharatnya. Daftar kontroversi Amien Rais di kalangan tokoh-tokoh Islam, memang panjang. Pasca Soeharto, dia adalah satu-satunya tokoh reformasi yang paling menonjol. Namun, keinginannya untuk dilihat sebagai tokoh bangsa, bukan sekedar sebagai tokoh Islam, menyebabkan dia melangkah untuk membuat partai yang tidak berasas Islam, Partai Amanah Nasional (PAN). Berbagai kalangan non-Muslim masuk dalam daftar pimpinan PAN, salah satunya tokoh pemuda Katolik, Pius Lustrilanang. Amien Rais juga batal masuk PPP, PBB, dan sebagainya. Seorang konseptor PAN menyatakan, bahwa ia ingin membuat partai seperti Golkar, tetapi didominasi oleh Muslim. Langkah Amien ini telah menimbulkan perpecahan di kalangan aktivis Islam, termasuk warga Muhammadiyah. Banyak diantara mereka yang memilih bergabung ke PBB atau PKS. Dalam pemilu 1999, pilihan Amien terbukti tidak pas. Suara PAN jeblok, tidak sepeti yang diharapkan. PAN masih kalah dengan PPP. Bahkan, dalam pemilu 2004, tampak bagaimana berbagai upaya Amien untuk menarik suara buat PAN, juga gagal. Suara PAN kali ini hanya 6,4 persen, kalah dibandingkan PKS yang 7,3 persen atau Partai Demokrat yang 7,5 persen. Bayangkan, seorang tokoh yang begitu populer, didukung oleh jaringan Ormas Islam kedua terbesar, meraih suara yang jauh dari harapan semula. Berbagai cara pun sudah dilakukan oleh Amien Rais untuk menarik dukungan rakyat, seperti menyanyi campur sari, dan membuat iklan selamat Hari Natal dan Hari besar keagamaan lainnya, di televisi. Jebloknya suara PAN inilah yang kabarnya, menjadi pukulan berat buat Amien Rais, sehingga dia menyadari kekeliruannya. Ia kemudian mencalonkan diri sebagai calon Presiden, dan melakukan berbagai pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam, yang selama bertahun-tahun berseberangan secara politis dengannya. Ada semacam kontrak baru antara Amien Rais dengan para tokoh Islam. Seorang pendukung Amien saya tanya: Apakah ada jaminan, Indonesia dan umat Islam akan lebih baik jika Amien terpilih sebagai Presiden? Dia menjawab: Tidak ada. Tapi, kalau yang lain, lebih buruk lagi. Jadi, yang digunakan adalah konsep yang terbaik diantara yang ada. Dari pada yang lain, lebih baik pilih Amien. Memang, jika dipikir secara logis, ada harapan, di bawah kepemimpinan Amien Rais, Indonesia akan berubah. Berbagai janji dan program untuk memperbaiki Indonesia telah dibuat pasangan Amien Rais-Siswono. Kita paham, mengingat beratnya kondisi dan masalah yang dihadapi bangsa, maka

perubahan yang diharapkan, mungkin tidak akan terwujud dalam waktu singkat. Tapi, bagaimana pun, seharusnya, program utama yang akan dilakukan oleh semua capres, adalah program penyelamatan bangsa. Bukan program pembangunan. Bangsa ini perlu diselamatkan dari kehancuran. Perlu ada revolusi besar-besaran di bidang mental. Bangsa ini perlu menyusun dan menjabarkan ideologi negara yang jelas, untuk menghadapi tantangan yang semakin berat. Dan itu harus dimulai dari diri Presiden, keluarga, kroni, menteri, dan aparat pemerintahan. Berbagai acara formalitas kenegaraan yang tidak penting, seyogyanya dihapuskan saja. Protokoler yang berlebihan yang menelan dana milyaran rupiah pun sudah saatnya dikurangi. Juga, berbagai aktivitas seremonial kenegaraan yang tidak perlu, sebaiknya dihentikan. Dalam wawancara dengan satu stasiun TV , pada 7 Juni 2004, pakar ekonomi dari Harvard University, Hartojo Wignjowijoto, menyatakan, problem mendasar bangsa Indonesia adalah tidak memiliki kepercayaan diri dan tidak mau kerja keras. Tidak percaya diri, malas bekerja, malas belajar, malas mencari ilmu, mau dapat gelar tanpa belajar keras. Lihatlah, bagaimana masih banyaknya program yang menawarkan gelar magister, Doktor, dari berbagai institusi pendidikan, tetapi tidak memperhatikan kualitas penerima gelar. Sekarang, sudah sampai di kampung-kampung, orang menawarkan program mudah untuk mendapatkan gelar magister atau doktor. Budaya jalan pintas dan budaya korupsi sudah begitu berurat berakar. Kekuasaan sudah silih berganti, dari Soeharto ke Habibie, Abdurrahman Wahid, lalu Megawati. Tetapi, budaya jahili dan korupsi tidak berganti. Hanya saja, bagaimana budaya kerja keras mau ditanamkan, sementara media massa terus-menerus menjejali masyarakat dengan program hiburan dan merusak mental dan melenakan mereka serta menjejali mereka dengan mimpi-mimpi? Diantara agenda terpenting dari para calon Presiden seharusnya adalah program menghentikan atau mengurangi kezaliman. Sabda Rasulullah saw: Barangsiapa berjalan bersama seorang yang zalim untuk membantunya dan dia mengetahui bahwa orang itu zalim, maka dia telah keluar dari agama Islam. (HR Ahmad dan Thabrani). Bila orang-orang melihat orang zalim, tapi mereka tidak mencegahnya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua. (HR Abu Daud). Kebaikan yang paling cepat mendapat balasan ialah kebajikan dan menyambung tali silaturahmi. Dan kejahatan yang paling cepat mendapat hukuman ialah kezaliman dan pemutusan tali silaturahmi. (HR Ibnu Majah). Agenda memberantas kezaliman inilah yang begitu kuat dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin. Khalifah Ali bin Abi Thablib, dalam sebuah suratnya kepada Malik bin Asytar, gubernur Mesir, mengingatkan: Tanamkan dalam hatimu rasa kasih sayang terhadap rakyat. Cintailah mereka dan berlaku sopanlah terhadap merekaIngatlah, bahwa allah selalu berada di atas orang yang mengangkatmu sebagai penguasa. Berhati-hatilah, janganlah kamu menganggap keberadaanmu sama dengan keberadaan Allah atau menganggap kekuasaanmu sama dengan kekuasaan Allah. Ketahuilah, Allah itu Maha Kuasa. Dia berkuasa menghancurkan setiap orang yang zalim dan akan

membinasakan setiap orang yang angkuh dan sombong. Berlaku baiklah kepada Allah dan jadikanlah dirimu panutan di hadapan sesama manusia, terutama terhadap sanak keluargamu dan terhadap setiap orang yang berkepentingan denganmu. Bila hal-hal yang baik itu kamu abaikan, maka kamu termasuk orang yang zalim. Padahal, barang siapa yang berlaku zalim terhadap hamba-hamba Allah, maka Allah adalah musuhnya. Dan orang yang dimusuhi Allah, maka tertolaklah amalnya. Tidak ada yang dapat merusak nikmat Allah dan mempercepat azab-Nya, seperti berbuat kezaliman. Allah Maha Mendengar doa orang yang tertindas. Dan Allah senantiasa mengawasi perbuatan orang itu kemana saja ia pergi. Umar bin Khathab juga pernah berkirim surat kepada Gubernur Abu Musa al-Asyari: Sesungguhnya kebahagiaan seorang penguasa ditentukan oleh kebahagiaan rakyatnya, dan celakanya seorang penguasa ialah karena mencelakakan rakyatnya. Ketahuilah, sesungguhnya apa yang kamu perbuat akan ditiru oleh pegai-pegawaimu. Kamu bagaikan seekor hewan yang melihat padang rumput, lalu hewan itu makan sekenyang-kenyangnya, hingga ia menjadi gemuk. Kegemukan itu akan menjadikannya binasa, karena dia disembelih dan dagingnya dimakan. Kezaliman itulah yang kini merajalela dimana-mana, pada tingkat nasional maupun global. Pada tataran politik, kita melihat, bagaimana negara-negara kuat melakukan kezaliman. Para pejuang Islam dianiaya, sementara para pendukung Zionis dan penjajahan mendapatkan berbagai penghargaan. Pada level nasional, kezaliman yang sangat mencolok adalah masalah alokasi keuangan negara, yang digunakan bukan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan rakyat di bidang kebutuhan pokok: pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Tetapi, anggaran itu digunakan untuk berbagai hal yang tidak terlalu penting, bahkan terkadang dihambur-hamburkan untuk aktivitas yang mubazir. Dalam penyusunan APBN, setiap tahun, rakyat dizalimi, karena hak anggarannya dipotong puluhan trilyun untuk membayar utang luar negeri, yang tidak pernah mereka nikmati. Pada skala mikro, kita menyaksikan, bagaimana kezaliman itu dilakukan oleh penguasa jalan raya, penguasa sekolah, penguasa rumah sakit, penguasa kantor pajak, penguasa kelurahan, dan sebagainya. Bahkan, beberapa waktu lalu, di sebuah kampung di Jawa Timur, saya merasakan sendiri, bagaimana ketika rombongan capres mau lewat, maka jalanan harus dikosongkan. Semuanya harus minggir. Seolah-olah jalan itu adalah miliknya. Padahal, sang capres hanya mau berkampanye. Ia belum jadi Presiden. Katanya, itu aturan protokoler. Tapi, beginikah aturan protokoler yang harus diikuti? Saya lihat, seorang cawapres, yang saya kenail baik, begitu sulit untuk berkomunikasi dengan rakyat, karena begitu keluar dari mobil langsung diapit dan dikepung oleh sejumlah pengawal berbadan tegap. Itu baru cawapres, belum jadi wapres betulan. Lihatlah, setiap tahun, kita menyaksikan kezaliman itu berlangsung dengan mencolok di depan

mata kita. Contoh kecil, apakah bukan suatu kezaliman, jika masih banyak rakyat yang kelaparan dan kekurangan biaya pendidikan, maka negara justru membelanjakan fasilitas-fasilitas mewah untuk pejabatnya. Mobil-mobil mewah diimpor untuk kenyamanan mereka, dengan menggunakan uang rakyat. Alat-alat kantor mewah, permadani mewah, makanan mewah. Semuanya menggunakan uang negara. Jika Amien Rais jadi Presiden dan benar-benar bertekad memberantas korupsi dan kezaliman, mulailah dari yang kecil-kecil dulu dan berada di sekitar istana. Jangan gunakan pakaian mewah, jam tangan mewah, mobil mewah, dan sebagainya. Beranikah Amien Rais melawan dan memberantas berbagai kezaliman semacam ini? Juga untuk kroni dan keluarganya? Dalam hal ini, diantara para capres, Amien memang yang paling bisa diharapkan. Satu hal yang penting, untuk tegaknya kekuasaan dengan baik, maka penguasa juga harus berteman dengan ulama yang baik. Bukan ulama yang jahat, yang ilmunya pas-pasan dan akhlaknya diragukan. Yang diperlukan adalah ulama yang memiliki keilmuan yang tinggi dan akhlak yang mumpuni. Ulama yang benar-benar berkhidmat untuk umat, yang berjuang untuk kemaslahatan umat. Ulama yang konsisten dan memiliki kemampuan dalam menjaga aqidah umat dan memiliki komitmen yang tinggi dalam memperjuangkan kebenaran. Jika Amien Rais salah dalam memilih teman, maka akibatnya akan fatal. Inilah yang biasanya menjadi salah satu sebab penting kehancuran para pemimpin Islam. Yakni, salah dalam memilih teman kepercayaan. Al-Quran sudah mengingatkan, jangan pilih orang-orang yang di luar kalangan-mu, jangan pilih orang-orang yang menjadikan agama sebagai bahan mainan. Dan sebagainya. (QS al-Maidah:57). Ketika menjadi penguasa, maka peran orang sekitar, baik istri, anak-anak, teman dekat, sangatlah penting. Pepatah Arab terkenal menyatakan: Qul lii shadiiqaka, aqul laka man anta. (Katakan padaku, siapa teman kepercayaanmu, maka akan aku katakan siapa kamu). Jika ingin menilai Amien Rais, tengoklah siapa yang ada di sekitarnya? Dalam sejarah kekuasaan, peran istri juga sangat penting. Banyak penguasa berjaya karena dibantu oleh istri yang tangguh, semacam Syajaratud Dur. Tetapi, bukan tidak sedikit penguasa yang jatuh karena istri yang sejatinya lebih berkuasa dari suaminya. Di luar rumah, pemimpin macam itu tampak seperti seorang jagoan, tetapi di hadapan istrinya, ia tidak berdaya menolak kehendak dan kemauannya. Dalam keadaan seperti itu, lawanlawan politiknya atau pihak-pihak yang berkepentingan, akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bagaimana cara menaklukkan dan menjinakkan si pemimpin, dengan menggunakan pengaruh sang istri. Tentu saja, jika menjadi Presiden, Amien Rais perlu benar-benar mewaspadai hal-hal semacam ini. Juga, para capres lainnya. Akhirul kalam, entah siapa yang akan memenangkan pertandingan pada 5 Juli 2004 nanti, kita berdoa, semoga Allah SWT berkenan memberikan kepada bangsa Indonesia, pemimpin yang mau dan berani bersikap adil dan berani dan mau melawan kezaliman. Rasulullah saw bersabda: Orang yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan amat dekat kedudukannya di sisi Allah adalah penguasa yang adil. Dan orang yang paling dibenci Allah pada hari Kiamat dan amat jauh kedudukannya dari Allah adalah imam yang zalim. (HR Tirmidzi).

Semoga Amien Rais, jika terpilih jadi Presiden, tidak menyia-nyiakan harapan banyak kalangan umat Islam yang kini secara lahir-batin memperjuangkannya naik ke tahta kepresidenan. Sebab, di pundak Amien Rais, kini banyak terpikul harapan dan doa umat Islam. Sebagai tokoh Islam dan didukung oleh elemen-elemen penting dari umat dan tokoh Islam, maka jika Amien Rais berbuat salah, dampaknya akan sangat besar. Apalagi, jika kesalahan itu terjadi pada hal-hal yang pokok, seperti masalah keimanan dan pemurtadan. Sebagai salah satu pemimpin dan tokoh Islam, Amien Rais tentu paham, bahwa jadi atau tidaknya dia sebagai Presiden adalah semata-mata izin dan ketentuan Allah SWT. Karena itu, Amen Rais dan pendukungnya, sepatutnya hanya bersandar kepada Allah SWT. Iklan dan kampanye boleh terus jalan, tetapi juga perlu berdoa sungguh-sungguh kepada Allah. Doa adalah senjata orang beriman. Dan salah satu syarat diterimanya doa, adalah bertobat atas kesalahan di masa lalu, dan berjanji tidak mengulangi lagi di masa mendatang. Ya Allah, Yang mempunyai Kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki. Dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Ali Imran:26). (KL, 25 Juni 2004 Memerdekakan Kembali Indonesia Kamis, 08 Juli 2004 Dalam pengertian imperialisme modern, Indonesia sesungguhnya masih terjajah dan belum merdeka. Mengapa kita tidak benar-benat pernah merdeka dan berdaulat? Baca CAP Adian Husaini, MA ke-61 Sesuai pembukaan UUD 1945, maka salah satu tugas penting Presiden RI mendatang adalah memerdekakan kembali Indonesia. Ini pernah diungkapkan oleh Dr. Rizal Ramli, dalam sebuah tulisannya berjudul "Krisis Argentina dan Indonesia Mei 1998, Korban Kebijakan IMF": Pada awal abad ke-21 ini, sudah waktunya bangsa kita menyatakan diri untuk bertekad melakukan "Gerakan Kemerdekaan Kedua", sehingga dapat menjadi bangsa maju dan besar di Asia. Jika tidak, bangsa ini hanya akan menjadi permainan negara-negara maju dan hanya akan menjadi nation of coolies and coolies among nations. Soekarno dan Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secara politik pada tanggal 17 Agustus 1945, sudah waktunya memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia berani menyatakan dirinya merdeka secara ekonomi.? (Kompas (26/12/2001) Dalam khazanah hubungan internasional, salah satu unsur penting dari negara merdeka adalah sovereignty, atau kedaulatan, yang oleh Grotius didefinisikan sebagai "that power whose acts are not subject to control of another, so that they may be made void by act of any other human will" (Encyclopedia of Social Sciences, 52). Jadi, sovereignty atau kedaulatan adalah suatu kemampuan, keupayaan, atau kekuatan untuk

melakukan tindakan atas kemauan sendiri, bukan di bawah kontrol atau telunjuk orang lain. Dengan kata lain, suatu negara dikatakan merdeka dan berdaulatan secara hakiki, jika kemauan dan kebijakan negara itu, tidak lagi berada di bawah telunjuk penjajah. Pembukaan UUD 1945 menyatakan, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Secara fisik, saat ini hampir tidak ditemukan adanya bentuk penjajahan militer, kecuali di Palestina dan Iraq. Tetapi, kolonialisme klasik yang hilang, kini digantikan oleh imperialisme modern, yang oleh Dieter Nohlen (1994), didefinisikan sebagai politik yang bertujuan menguasai dan mengendalikan bangsa-bangsa lain di luar batas negaranya, baik secara langsung (melalui perluasan wilayah) atau secara tidak langsung (mendominasi politik, ekonomi, militer, budaya). Bangsa yang dikuasai itu sebenarnya tidak suka dan menolak tekanan serta pengaruh negara imperialis. Dari segi pengertian imperialisme modern ini, dengan mudah kita mengatakan, bahwa Indonesia memang belum merdeka. Sebagaimana penjajahan klasik, imperialis modern yang menguasai dan menghegemoni negara lain, juga melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan kekuasaannya atas negara lain. Sebab, kekuasaan telah memberi keuntungan besar kepada mereka, terutama secara ekonomi. Di masa penjajahan Belanda, kita mengenal teori ?Islam Politiek?-nya Snouck Hurgronje, yang membagi masalah Islam ke dalam tiga ketegori: (1) bidang agama murni dan ibadah, (2) bidang sosial kemasyarakatan, (3) bidang politik. Masing-masing bidang mendapat perlakuan yang berbeda. Resep Snouck Hurgronje ini diberikan kepada pemerintak kolonial Belanda untuk menangani masalah Islam di Indonesia. Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu rakyat menempuh jalan tersebut. Dan dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islam. Di zaman itu, salah satu yang dianggap ancaman oleh pemerintah kolonial adalah ibadah haji, sehingga mendapatkan pembatasan yang sangat ketat. Karena itu, tahun 1908, anggota parlemen Belanda bernama Bogardt, menyatakan, bahwa pemerintah kolonial harus mengambil tindakan terhadap ibadah haji ke Mekkah. Para haji secara politis dinilainya berbahaya, dan karena itu ditegaskannya bahwa melarang perjalanan ibadah haji adalah lebih daripada kemudian terpaksa harus menambak mati mereka. (Lihat, buku Aqib Suminto yang berjudul Politik Islam Hindia Belanda, 1985:12,21). Di zaman imperialisme modern, cara untuk mempertahankan penjajahan agak berbeda dengan dulu, meskipun tujuannya sama, yaitu mempertahankan kekuasaan dan hegemoni atas negara lain. Banyak calon Presiden yang sudah menyadari akan hal ini. Mereka ingin agar Indonesia mandiri dalam berbagai hal, tidak tergantung atau didekte oleh negara atau kekuatan lain. Bagi Indonesia, masalah ini tentulah merupakan masalah yang sangat besar dan berat. Secara ekonomi, jelas Indonesia tidak mandiri. Selain utang yang sangat besar, juga dari waktu ke waktu, semakin banyak aset strategis

yang dijual ke luar. Dengan dikuasainya BCA dan Indosat oleh asing saja, maka bisa dibayangkan, begitu mudah ekonomi dan situasi negara ini digoyang ? jika diperlukan. Meskipun merupakan salah satu negara produsen minyak, perusahaan minyak negara -- Pertamina-- kalah jauh dibandingkan dengan Petronas Malaysia, yang tahun ini mencatat keuntungan sebesar RM 37,4 milyar (sekitar Rp 89 trilyun). Mengapa kita tidak merdeka dan berdaulat? Jawabnya, tentu karena kita lemah. Banyak calon Presiden yang mengajukan gagasan untuk memperbaiki Indonesia. Tetapi, sayangnya, masih dalam tataran yang superfisial. Kelemahan dan ketidakberdaulatan Indonesia harus dicari pada akar masalahnya, yaitu pada masalah pikiran dan mental manusia Indonesia. Jika jiwa dan pikiran tidak merdeka, maka akan sulit dilakukan perbaikan. Apalagi bercita-cita besar untuk menjadikan Indonesia bangsa yang merdeka dan bangsa besar. Inilah yang mestinya disadari oleh para capres yang semuanya Muslim dan sudah berkali-kali melakukan haji dan umrah. Karena itu, sebagai Muslim, mereka seyogyanya menyadari, bahwa jalan satu-satunya untuk memerdekakan Indonesia adalah mulai dengan menanamkan jiwa merdeka dalam diri manusia Indonesia. Dan bagi Muslim, jiwa dan pikiran merdeka tidak bisa tidak mesti dibangun dari dasar Tauhid. Para capres perlu mencamkan benar, bahwa Islam datang ke Kepulauan Nusantara ini bukan untuk menjajah, tetapi untuk memerdekakan manusia Indonesia, untuk membawa Indonesia ke dalam satu peradaban tinggi. Dalam seminar tentang Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963, diambil sejumlah kesimpulan: 1.Islam untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 atau 8 M) langsung dari Arab. 2.Bahwa daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera, dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama berada di Aceh. 3.Bahwa dalam proses pengislaman berikutnya, orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian. 4.Bahwa mubalig-mubalig Islam yang pertama-tama, selain sebagai penyiar Islam juga sebagai saudagar. 5.Bahwa penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara-cara damai. 6.Bahwa kedatangan Islam ke Indonesia itu membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia. Islam datang dengan nilai dasar Tauhid. Tauhid-lah yang secara hakiki membebaskan jiwa dan pikiran manusia dari penjajahan. Dengan Tauhid, manusia hanya mengakui keagungan dan kedaulatan Allah SWT, dan tidak gentar serta tunduk dengan kekuatan makhluk-makhluk lain.

Presiden Indonesia nanti yang jelas-jelas mengaku Muslim, dituntut untuk membuktikan janjinya dan pengakuannya, bahwa dia adalah Muslim, pemeluk agama Islam. Mereka tentu tidak ingin dikatakan sebagai orang-orang munafik, yang menjadikan agama sebagai komoditi politik untuk menarik dukungan orang Islam, atau Islamnya hanya formalitas KTP saja. Mereka semua pasti ingin dikatakan sebagai Muslim yang baik. Dan karena fondasi Islam adalah Tauhid, maka tugas yang amat sangat penting dari pemimpin bangsa adalah menegakkan Tauhid. Presiden wajib mendidik dan memberi contoh rakyatnya, bagaimana menjadi Imam yang baik. Sebab, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Kekuasaan yang dinikmatinya tidak akan lama, tetapi tanggung jawabnya abadi, sampai di hari kiamat. Jika dia ingin menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya, maka konsep Nabi Muhammad saw, bahwa pemimpin adalah yang pertama lapar dan terakhir kenyang perlu dicontoh. Dia tidak akan tenang tidur nyenyak, jika masih ada rakyatnya yang kelaparan atau menderita berbagai kesulitan hidup. Semua itu hanya mungkin dilakukan, jika dilandasi dengan jiwa dan semangat Tauhid. Salah satu penjajah besar dalam diri manusia adalah hawa nafsunya. Hawa nafsu sering dijadikan oleh manusia sebagai penjajah bagi dirinya sendiri. Bahkan, hawa nafsu sering dijadikan sebagai Tuhan, sebagai Ilah, yang disembah dan dituruti segala macam perintahnya. Al-Quran menyebutkan tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan, dan karena itu tersesat dan mati hatinya untuk menerima kebenaran. Orang-orang ini hanya mengakui kehidupan dunia. Mereka tidak percaya pada kehidupan akhirat, dan hanya waktu yang akan membinasakan mereka. (QS 45:23-24). Karena itu, saat Perang Salib, ulama dan pemimpin Islam sangat menekankan masalah Jihad alNafs. Dalam satu hadith sahih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, disebutkan: Al-Mujaahid man jaahada nafsahu fi-llaahi-Allah Azza wa-Jalla. (Bahwasanya mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Syekh Ali al-Sulami, dalam Kitab-nya Kitab al-Jihad menjadikan jihad al-nafs, sebagai batu pijakan penting dan bagian tak terpisahkan dari konsep jihad secara keseluruhan melawan penjajahan Pasukan Salib ketika itu membebaskan Indonesia dari berbagai belenggu penjajahan dan memerdekakan Indonesia kembali adalah pekerjaan yang amat sangat besar, satu misi yang nyaris tidak mungkin (mission impossible) dalam pikiran banyak orang. Hanya pemimpin yang berpikiran dan berjiwa besar, yang dilandasi jiwa dan semangat Tauhid, yang mampu melakukan hal itu. Jiwa dan semangat yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Jiwa dan semangat percaya dan yakin akan pertolongan Allah. Karena itu, salah satu tugas besar pemimpin Indonesia nanti adalah menegakkan Tauhid dan mengurangkan berbagai hal yang melemahkan Tauhid. Berbagai jenis tontonan, tradisi, budaya, dan hiburan yang melupakan manusia dengan Tuhannya dan menjadi candu atau narkotika seyogyanya tidak diumbar dan diberi kesempatan berkembang seluas-luasnya di tengah masyarakat. Berbagai pemikiran dan ajaran yang menghancurkan Tauhid juga tidak semestinya diberi fasilitas untuk berkembang seluas-luasnya.

Kita tidak perlu heran, jika penjajah modern telah dan sedang melakukan berbagai cara untuk mengubah cara berpikir dan cara berbudaya kaum Muslim, demi mengokohkan hegemoni mereka atas kaum Muslim. Untuk itu mereka rela mengeluarkan dana milyaran bahkan trilyunan rupiah, baik melalui pemerintah maupun LSM-LSM yang mengemban misi penghancuran Tauhid. Mereka ingin agar kaum Muslim menjadi jinak dan ?rusak secara aqidah dan akhlak. Cara-cara ini hakekatnya sama dengan yang dilakukan oleh penjajah-penjajah klasik dahulu, hanya pola dan modus serta sarana dan prasarananya yang berbeda. Sebuah lembaga asing yang bermarkas di San Francisco AS, dan memiliki cabang di Indonesia, mengaku, selama 30 tahun telah aktif menggarap institusiinstitusi dan umat Islam Indonesia. Tahun 2004, lembaga ini memberikan pelatihan kepada lebih dari 1000 pesantren tentang nilai-nilai pluralisme agama, gender equality, toleransi, dan civil society. Juga, lembaga ini dengan bekerjasama dengan empat universitas Islam, telah melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang mewakili 625 institusi Islam dan sekitar 215.000 mahasiswa. Lembaga ini mengaku mendapatkan dana dari perusahaan, individu, dan pemerintah AS, serta beberapa negara Eropa lainnya. Mengapa mereka mempromosikan paham pluralisme agama. Tentu karena mereka ingin agar kaum muslim tidak fanatik, dan tidak meyakini, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan. Padahal, di sinilah salah satu jantung dari ajaran tauhid. Jika ribuan pesantren dididik untuk memahami toleransi, maka tentu ada asumsi, bahwa para kyai dan santri kurang atau tidak paham tentang toleransi atau mereka dianggap tidak toleran. Jika kaum Muslim tidak boleh fanatik dan memeluk nilai-nilai dan ajaran agamanya, pada sisi lain, aktivitas lembaga ini membuktikan, bahwa Barat justru begitu fanatik dengan nilai-nilai mereka, sehingga mereka sanggup mengeluarkan dana yang sangat besar untuk proyek ?perubahan cara berpikir dan cara berperilaku umat Islam, agar menjadi seperti mereka. Kita paham, disamping misi ideologis, ada banyak keuntungan ekonomi yang mereka raih. Sebab, dengan mengakui dan mengagumi nilai-nilai Barat, maka kaum muslim akan tidak segan-segan mengkonsumsi shampo, sabun, makanan, mode pakaian, lisptik, dan berbagai produk imperialis lainnya. Jadi, sangatlah naif, kalau menyangka, bahwa dana melimpah yang kini dinikmati oleh berbagai organisasi Islam, dari lembaga semacam ini, semuanya diberikan secara gratis. Dan kita tidak usah heran, bahwa sejak zaman kolonial, akan ada saja di kalangan muslim, yang dengan sadar atau tidak, menjadi agen penghancuran aqidah dan akhlak kaum muslim. Tentu dengan imbalan kegemilangan dan gemerlap kehidupan dunia yang fana ini. Wallahu a'lam. (KL, 2 Juli 2004) Singapura dan Israel Sabtu, 17 Juli 2004 Singapura telah bekerjasama dengan Israel dalam keamanan. Meski kecil, dengan bantuan Israel, Singapura berambisi menjadi salah satu negara tentara terkuat di Asia. Baca CAP ke-62, Adian Husaini, MA

Pada 15 Juli 2004, penulis Israel, Amnon Barzilai, menulis sebuah berita pendek di Haaretzdaily.com yang berjudul Israel set up Singapore's army, former officers reveal. Isinya menjelaskan, bahwa sejak awal berdirinya, negara Singapura telah meminta bantuan Israel untuk merancang tentaranya, sehingga sekarang menjasi salah satu tentara terkuat di Asia Tenggara. Dikatakan: The Singaporean army, which is today considered one of the strongest in southeast Asia, was set up by Israel. Pada Desember 1965, delegasi militer Israel yang diketuai oleh Mayor Jenderal Ya'akov Elazari tiba di Singapura secara rahasia dan mulai membangun berbagai cabang kekuatan militer di sana. Sejak itu, hubungan keamanan antara kedua negara mulai diperkuat, dan sekarang, Singapura merupakan salah satu konsumen terbesar terhadap senjata dan sistem persenjataan Israel. Pendiri Singapura dan sekaligus perdana menteri pertama, Lee Kuan Yew, ketika itu, meminta Israel untuk membantu mendirikan ketentaraan negaranya, tidak lama setelah Singapura dipisahkan dari Malaysia tahun 1965. Delegasi Israel terdiri atas enam pewira tentara dan dibagi dalam dua tim. Pertama, dipimpin oleh Elazari, bertugas mengatur pertahanan dan keamanan internal kementerian. Yang lain dipimpin oleh Mayjen Yehuda Golan membangun infrastruktur militer, dengan mengikuti model Israeli Defence Force (IDF). Para perwira Israel itu juga memberikan pelatihan pertama terhadap para perwira tentara Singapura. Dan yang menarik, disebutkan dalam berita itu, delegasi Israel yang berangkat ke Singapura dilatih oleh seorang fundamentalis Zionis bernama Rehavam Ze'evi, mantan menteri pariwisata Israel, yang akhirnya dibunuh oleh pejuang Palestina dari kelompok PFLP. Zeevi-lah yang dikatakan menulis blueprint untuk tentara Singapura. Berita yang disebarkan di surat kabar Israel itu sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali. Sudah lama kedua negara kecil itu memiliki hubungan yang erat. Singapura telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Negara yang berpenduduk hanya sekitar 3 juta jiwa ini telah lama menjadi diperhitungkan sebagai kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang penting di Asia Tenggara. Bahkan, setelah pembelian Indosat oleh Singapura, muncul guyonan getir di kalangan elite Indonesia, bahwa Indonesia telah menjadi satu propinsi atau negara bagian dari Singapura. Terbukti, negara besar bernama Indonesia dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, dalam banyak hal tidak berdaya menghadapi tekanan Singapura. Sebutlah satu contoh, tentang masalah Perjanjian Ekstradisi. Sampai sekarang, belum ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Padahal, pemerintah Indonesia telah meminta berkali-kali, namun selalu ditolak Singapura. Masalahnya, di Singapura, banyak sekali warga Indonesia yang bersembunyi karena melakukan pencucian uang (money laundering). Dalam acara Conference on Combating Money Laundering and Terrorist Financing di Bali pada 18 Desember 2002, pemerintah Indonesia menyampaikan kekesalannnya, karena Singapura selalu menolak membuat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Banyak orang Indonesia yang menjadi

tersangka tindak pidana pencucian uang sekarang ada di Singapura. Bahkan, sebagian sudah dituntut ke pengadilan, tapi tidak bisa dihadirkan, karena mereka tinggal di Singapura. Singapura beralasan menolak perjanjian ekstradisi itu, karena mereka menganut British Commowealth System yang menyulitkan perjanjian ekstradisi di Indonesia. Indonesia sendiri menganut sistem Eropa Continental. Alasan itu dibantah oleh pemerintah Indonesia. Sebab Indonesia sudah punya perjanjian ekstradisi dengan Australia dan Hongkong yang punya prinsip hokum seperti Singapura. Singapura mampu berbuat seperti itu karena merasa kuat, merasa lebih hebat dari Indonesia. Ironisnya, Indonesia pun tidak berdaya menghadapi berbagai tekanan yang sangat tidak adil dan merugikan bangsa. Dengan kekuatan ekonomi dan militernya, Singapura seringkali memberikan tekanan dan ikut campur dalam masalah dalam negeri Indonesia. Sebagai contoh, apa yang sering dilakukan oleh Lee Kuan Yew dalam memberikan pandangan terhadap Indonesia dan umat Islam. Dalam wawancara dengan BBC, 27 Maret 2004, Lee Kuan Yew menyerukan agar Muslim Moderat memerangi Ekstrimis, yang ia sebut telah membuat teror di dunia. Menurut Lee, berdiamnya kelompok Islam moderat membuat Islam ekstrimis leluasa meledakkan bom seperti di Bali dan di Madrid yang menewaskan 190 orang. Tak adanya reaksi dari Islam moderat pula, kata Lee, yang mendorong Amerika Serikat dan sekutunya untuk memerangi kelompok ekstrimis Islam itu. Jika bom-bom terus meledak setelah 11 September, Madrid, dan Bali, lalu kelompok Islam moderat diam saja, dan bahaya Barat mulai terasa, maka tak akan ada yang menang melawan teroris. "Ini masalah yang sangat berbahaya," katanya. Kita tidak setuju dengan ekstrimitas keagamaan. Sikap ekstrim adalah sikap yang melampaui batas, dan tidak dibenarkan oleh Islam. Tetapi, siapakah yang menurut versi Barat disebut ekstrim oleh Barat? Selain Osama bin Laden, diantara mereka dimasukkan para pejuang Palestina yang berjuang mati-matian melawan pendudukan Zionis Israel. Dan siapakah yang disebut sebagai Islam moderat? Tentu, diantara mereka adalah kaum Muslim yang dianggap tidak membahayakan kepentingan dan dominasi Singapura. Untuk itulah, kita tidak heran, jika Singapura juga rajin membantu berbagai kelompok sekuler-liberal pro Barat untuk mengembangkan pikiran dan kekuatan mereka dalam menghancurkan pikiran dan kelompok-kelompok Islam yang dianggap menjadi ancaman Barat dan Singapura. Cara berpikir Lee Kuan Yew menunjukkan cara pandang yang sama sekali tidak mau melakukan introspeksi terhadap berbagai kesalahan dan kekeliruan serta kezaliman yang dilakukan Barat terhadap umat Islam dan umat manusia pada umumnya. Dan itu bisa dipahami, karena Singapura telah menjadikan Zionis Israel sebagai patron-nya, sebagai pelindungnya. Jika kita bertanya, apakah moderat atau manusiawi, tindakan Singapura melindungi orang-orang yang telah mencuri uang rakyat Indonesia bertrilyun-trilyun rupiah? Hal seperti itu merupakan tindakan ekstrim atau moderat? Kejahatan ekonomi itu merupakan tindakan yang jauh lebih kejam dari tindakan pengeboman, sebab yang menjadi korban adalah jutaan orang. Mantan Perdana Menteri Malaysia, menyatakan,

bahwa Terorisme Ekonomi Lebih Berbahaya, karena menyebabkan kerusakan yang berefek sangat panjang. Pernyataan ini disampaikan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad menanggapi dominasi mata uang dan ekonomi Barat di Yogyakarta, seusai memperoleh penghargaan "AFEO (Asean Federation of Engineering Organizations) Distinguished Fellow Award", 22 Oktober 2003. Sebenarnya, politik Singapura yang mengandalkan kekuatan ekonomi dan militer, serta politik dukungan Barat dan Zionis Israel, justru telah menempatkan Singapura dalam posisi yang tidak nyaman. Singapura mudah dilanda paranoid, ketakutan yang berlebihan, terhadap ancaman Islam, sebagaimana dikampanyekan oleh sebagian ilmuwan dan politisi Barat. Cara pandang Singapura terhadap Islam, seperti pelarangan siswi berjilbab, tampak terimbas oleh pola pikir semacam itu. Bisa dipahami, dengan pola pikir paranoid terhadap Islam, Singapura sangat khawatir, jika yang tampil sebagai pemimpin di Indonesia adalah dari kalangan tokoh Islam yang dianggap tidak bisa memenuhi agenda Singapura-Zionis Israel. Itu bisa dilihat, misalnya, dalam pernyataan Lee Kuan Yew, tahun 1998, menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI. Ketika itu, Lee mengingatkan Indonesia, agar jangan salah memilih wakil Presiden. Kata Lee, Pasar uang akan bereaksi sangat negatif kalau sampai Indonesia memilih orang yang salah untuk menjadi wakil presiden. Pernyataan Lee itu mengarah pada figur Habibie. Kini, dalam pemilihan Presiden Indonesia 2004-2009, Singapura juga memainkan peranan aktif, dengan mengundang sejumlah capres ke Singapura, seolah-olah restu Singapura sangat penting dalam meraih kursi kepresidenan RI. Sebagai kekuatan ekonomi-politik-militer yang dominan di Asia Tenggara, Singapura tampaknya ingin memainkan peranan sebagai super-power tunggal, tentu dengan dukungan penuh Zionis Israel dan Barat. Dalam teori politik hegemonik, sang hegemon biasanya selalu berusaha keras mencegah munculnya rival atau kekuatan lain di kawasan itu. Itu artinya, secara teoris, Singapura akan berusaha mencegah, agar Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara lain, terutama yang Muslim, muncul sebagai kekuatan yang signifikan. Karena itu, bisa dipahami, mengapa Singapura sangat aktif membeli saham berbagai perusahaan strategis milik negara RI, seperti Indosat dan Telkom. Dengan menguasai sektor telekomunikasi Indonesia, hampir tidak ada yang rahasia lagi apa yang terjadi di Indonesia, di mata Singapura. Di kalangan militer Indonesia, sebenarnya sudah sangat memahami kondisi dan posisi militer Singapura yang memang dirancang sesuai dengan pola militer Israel. Kecanggihan militer Singapura memang sulit ditandingi, karena terutama menyangkut masalah dana. Jika Indonesia tidak ingin dijadikan sebagai bahan mainan oleh negara mana pun, maka seyogyanya, Indonesia benar-benar melakukan introspeksi total. Dalam percaturan militer, senjata memang sangat penting. Tetapi, yang jauh lebih penting adalah manusianya. Indonesia perlu sangat serius memikirkan strategi untuk bangkit dari keterpurukan dan kehinaan, sehingga tidak terus-menerus dijadikan bahan permainan. Para pemimpin dan elite bangsa Indonesia perlu menyadari, bahwa kekuatan untuk bangkit itu justru ada pada Islam. Bukan pada sebagian politisi yang menggunakan nama Islam untuk sekedar

meraih kedudukan duniawi, tetapi pada nilai dan ajaran Islam sendiri. Kekuatan inilah yang sejak dulu hingga kini ditakuti oleh para penjajah, sehingga mereka terusmenerus berusaha menindas dan membuang Islam dari kehidupan masyarakat Muslim. Usaha mereka cukup berhasil dengan semakin banyaknya cendekiawan dari kalangan Muslim yang asyik membongkar-bongkar aqidah dan asas-asas Islam, seperti menyebarkan paham pluralisme agama dan menentang Al-Quran sebagai wahyu Allah. Singapura, sebagaimana Israel, saat ini bisa dikatakan sebagai bagian dari peradaban Barat, yang sebenarnya sangat rapuh dalam ideologi dan kejiwaan, karena mereka hanya menekankan pada aspek kehidupan duniawi. Peradaban yang mereka bangun dan pertahankan sekarang ini, terus-menerus menjadi bahan gugatan umat manusia, karena memang hanya sebagian kecil umat manusia yang menikmati hasil kemajuan mereka. Dunia masih terus dalam situasi tidak aman. Belum pernah dalam sejarah umat manusia, ada peradaban yang membangun senjata pemusnah massal yang begitu dahsyat dan mampu memusnahkan umat manusia dalam beberapa kejap saja, seperti yang dilakukan oleh peradaban Barat saat ini. Krisis kemanusiaan terus berlangsung. Hawa nafsu menjadi tuhan mereka. Ketika manusia melupakan Tuhan, maka mereka menjadi lupa terhadap dirinya sendiri. Mereka memang tidak secara tegas menolak Tuhan, tetapi tidak memberi ruang yang memadai bagi Tuhan dalam sistem berpikir mereka. Itu yang dikatakan Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya Islam at The Crossroads: Western Civilization does not strictly deny God, but has simply no room and no use for Him in its present intellectual system. Jika bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim sadar akan sumber kekuatan mereka, yakni alQuran, al-Sunnah, dan khazanah tradisi intelektual Islam yang sangat melimpah, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, insyaallah, bangsa ini akan bangkit menjadi kekuatan besar. Setiap peradaban punya karakteristik dan cara khas untuk bangkit dan menjadi besar. Satu dengan yang lain tidak sama. Adalah sangat keliru, jika dalam hal ini saja, kaum Muslim menjiplak jalan kebangkitan Barat. Banyak hal yang perlu dipelajari dan diambil dari Barat, tetapi bukan dengan menjiplak pandangan hidup (worldview)-nya. Janganlah kalian bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kalian adalah orang-orang yang paling tinggi (martabatnya), Jika kalian orang-orang beriman. (QS Ali Imran:139). Wallahu alam. (KL, 16 Juli 2004 Mengapa Barat masih takut terhadap Islam Rabu, 28 Juli 2004 Guru besar di Univ. Pensylvania menyebut terorisme, adalah industri multinasional, yang

berhubungan erat antara sponsor dan institusi pemikir. Baca CAP ke-63 Adian Husaini, MA Ada sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli 2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Judulnya: Europe fears threat from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa. Sebagai sebuah artikel populer di media massa, sebenarnya terdapat aspek generalisasi yang berlebihan dalam menarik satu kesimpulan. Tetapi, dilihat dari sisi pembentukan opini publik di dunia Barat, tulisan semacam ini tampaknya dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan terhadap Islam. Kampanye internasional anti-terorisme yang kini lebih banyak ditujukan kepada kelompokkelompok Islam ternyata tidak berhasil menahan laju perkembangan Islam di Eropa. Tulisan-tulisan seperti ini tampaknya dibuat untuk memperkuat kembali kesadaran Barat terhadap bahaya Islam, yang terus-menerus dibangun oleh media massa dan sebagian politisi Barat, sejak kekalahan komunisme. Era Perang Dingin berakhir, berganti dengan era Perang melawan Islam (tertentu). Fakta perkembangan Islam di Eropa itu menunjukkan, kampanye anti-terorisme oleh Barat, terutama, AS, yang menjadikan al-Qaidah sebagai musuh utama dunia internasional, ternyata tidak terlalu berhasil. Bahkan, di Arab Saudi, menurut laporan Newsweek edisi 28 Juni 2004, simpatisan Osama bin Laden ternyata cukup tinggi. Sebuah polling rahasia yang dilakukan oleh pemerintah Saudi menunjukkan, 49 persen responden mendukung gagasan Osama. Fenomena itu bisa dipahami, mengingat dunia internasional semakin jelas menyaksikan bagaimana berbagai paradoks dan kebrutalan ditunjukkan oleh AS, khususnya dalam kasus Palestina dan Irak. Terbongkarnya kebrutalan tentara-tentara AS terhadap tawanan Irak di penjara Abu Gharib semakin membuka mata umat manusia terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa, kampanye anti-terorisme sebenarnya tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi Barat untuk mempertahankan hegemoninya. Sebuah buku berjudul Western State Terrorism (ed. Alexander George), mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry OSullivan menulis sebuah artikel berjudul Terrorism as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut terorisme, sebagai industri multinasional, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris. Contoh bagaimana

biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, ketika itu, seperti PLO, BaaderMeinhof gang dan Red Brigades. Salah satu peran penting untuk mendukung operasi industri terorisme dimainkan oleh lembagalembaga studi quasi pemerintah, seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Georgetown, AS. Institusi-institusi semacam ini beserta para pakar di dalamnya bekerja bersama agensi-agensi pemerintah untuk memberikan perspektif tertentu tentang terorisme kepada masyarakat. Mereka juga merupakan alat penting bagi propaganda pemerintah Barat. They are also important vehicles for spesific pieces of government propaganda, tulis Herman dan Sullivan. Lembaga-lembaga ini mendapatkan alokasi dana yang sengat besar. Pada pertengahan 1980-an, CSIS, Hoover Institution, American Enterprise Institute (AEI), dan Heritage Foundation, masingmasing mendapatkan anggaran lebih dari 10 juta USD (sekitar Rp 90 milyar) per tahun. CSIS, yang aktif mengadakan diskusi di berbagai negara, memiliki kecenderungan kuat ke kelompok sayap kanan. Bahkan, pada awal 1970-an, CSIS memiliki peran penting dalam melakukan destabilisasi rezim Allende di Chili. Setelah menguraikan peran CSIS dalam kasus terorisme, kedua penulis ini menyimpulkan: The CSIS is a truly multinational member of the terrorism industry. Adakah hubungan CSIS di AS dengan CSIS di Indonesia? Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai ekstrimis, teroris, militan Yahudi, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush. Sudah jelas berbagai kesalahannya dan tanggung jawabnya terhadap terbunuhnya puluhan ribu nyawa manusia tidak berdosa di Afghanistan, Irak, Palestina, dan sebagainya. Hubungannya dengan kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi pun sangat jelas. Tetapi, adakah pers di Indonesia yang mau secara konsisten menjuluki Bush sebagai ekstrimis atau militan Barat? Pada akhirnya, semua kepalsuan dan standar ganda itu sulit untuk ditutup-tutupi. Dunia pun semakin terbuka. Dan itulah memang konskuensi dari cara berpikir peradaban Barat. Marvin Perry memulai kata pengantar untuk bukunya Western Civilization: a Brief HistoryWestern civilization is a grand but tragic drama. Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi

merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit sosial dan konflik antar negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga memproduksi senjata pemusnah massal. Disamping mempromosikan perlindungan hak asasi manusia, Barat pun memproduksi rejim-rejim totaliter yang menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal. Dalam buku Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002), yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius (551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx (1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003), dimuat tulisan Prof. Syed Naquib al-Attas, berjudul The Dewesternization of Knowledge. Tulisan ini membongkar sebab-musabab bahaya yang ditimbulkan peradaban Barat terhadap umat manusia. Al-Attas memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of mans confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than todays challenge posed by Western Civilization). Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari sistem keilmuan Barat itu sendiri, yang disebarkan ke seluruh dunia. Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut al-Attas, pada hakekatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam the Three Kingdom of Nature yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satusatunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan karakteristiknya semacam itu, maka menurut al-Attas, peradaban Barat juga merupakan tantangan terbesar bagi kaum Muslim. Dan secara konseptual, antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Ia juga mengingatkan,

bahwa dalam melihat Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi. Diantara berbagai peradaban yang eksis saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku terkenalnya, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Huntington menyimpulkan: Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice. (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menampatkan keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi sekurangnya dua kali). Dalam kilasan sejarahnya, Islam pernah menaklukkan Barat selama beratus-ratus tahun. Islam pernah menduduki Spanyol selama hampir 800 tahun (711-1492). Kekuatan Islam, yang ketika itu diwakili oleh Turki Uthmani, selama beratus-ratus tahun menjadi momok yang sangat menakutkan bagi Barat. Selama dua kali (1529 dan 1683) kota Vienna dikepung oleh Turki Uthmani, yang ketika itu menjadi The Superpower of the World. Jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, oleh Turki Uthmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fatih, juga merupakan pukulan berat bagi Barat. Konstantine adalah nama Kaisar Romawi yang dianggap begitu besar jasanya bagi perkembangan agama Kristen. Dialah yang membangun imperium Romawi Timur. Dia juga yang dikenal memelopori penyelenggaraan Konsili Nicea, 325, yang kemudian merumuskan doktrin-doktrin pokok dalam Teologi Kristen. Setelah runtuhnya imperium Romawi Barat, maka Imperium Romawi Timur masih tetap bertahan sampai masuknya pasukan Islam di bawah pimpinan al-Fatih pada 1453. Selama dua bulan, sejak 6 April sampai 29 Mei 1453, pasukan al-Fatih (yang ketika itu berumur 29 tahun), mengepung Konstantinopel yang dikenal memiliki pertahanan sangat kuat. Meskipun mengalami perpecahan dalam paham keagamaan dengan Kristen Ortodoks di Romawi Timur, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan al-Fatih. Jadi, meskipun Kristen bersatu, mereka tetap kalah. Begitu juga yang terjadi dalam Perang Salib. Meskipun Barat sudah bersatu padu, tetap kalah melawan Islam. Memori kolektif sejarah Barat memang menyimpan kenangan pahit dan kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam. Apalagi, begitu banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa peradaban Barat sedang mengalami kemunduran. Tahun 1917, filosof Jerman Oswald Spengler menulis dua jilid buku berjudul Der Untergang des Abenlandes (The Decline of the West). Buku populer The Rise and Fall of the Great Powers, ditutup Paul Kennedy dengan bab The United States: the Problem of Number One in Relative Decline. Sebenarnya merupakan hal yang mudah dipahami, bahwa Barat akan selalu berusaha mempertahankan eksistensinya, dengan menekan bangkitnya peradaban lain, terutama Islam. Kekhawatiran terhadap Islam akan mudah sekali dibangkitkan. Masyarakat Barat, yang secara nominal beragama Kristen, tidak risau jika warga mereka menjadi ateis, Budha, Hindu, atau mengikuti

berbagai aliran keagamaan dari Cina. Tetapi, mereka tampak begitu peduli dan risau jika warganya masuk Islam. Yang justru sulit dipahami, adalah, bahwa ada saja kalangan sarjana Muslim yang justru habishabisan menjiplak pandangan hidup Barat untuk memimpikan adanya kebangkitan Islam. Mereka berpikir, untuk maju, jangan tanggung-tanggung dalam menjiplak Barat. Ambil semuanya apapun yang dari Barat. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan: Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus. (There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn). Banyak yang bermimpi, bahwa dengan mengikuti sekularisme dan liberalisme Barat, Islam akan maju dan mujur. Padahal, yang terjadi bukan mujur, tetapi malah babak belur. Wallahu alam. (KL, 23 Juli 2004).

Legenda-legenda Barat Senin, 02 Agustus 2004 Meski peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan, tetapi masyarakatnya masih tetap terkenal sebagai pemuja legenda atau dongeng-dongeng. Baca CAP ke-64 Adian Husaini. MA Meskipun peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, tetapi masyarakat Barat ternyata masih tetap terkenal sebagai pemuja legenda atau dongeng-dongeng. Kamus The American Heritage Dictionary on the English Language, mengartikan kata legend dengan An unverifiable popular story handed down from the past. Artinya, legenda adalah cerita masa lalu yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Kata ini berasal dari bahasa Latin legere yang artinya to collect, to gather, atau to read, yakni mengumpulkan atau membaca. Lihatlah deretan judul film-film yang beredar di gedung-gedung biosksop dalam beberapa bulan ini. Penuh dengan cerita-cerita legenda. Film Troy yang bercerita tentang legenda kepahlawanan Achiles dan Agammemnon, di masa Yunani kuno, laris manis diserbu penonton di gedung-gedung bioskop Kuala Lumpur. Penonton harus rela antri untuk dapat menikmati film yang dibintangi oleh Brad Pitt, Orlando Bloom, dan Eric Bana ini. Film Spiderman 2, juga bukan main hebatnya dalam menyerap penonton. Sampai-sampai penonton dilarang membawa handphone saat masuk ke dalam gedung bioskop (di Malaysia disebut Pawagam). Sementara, sampai 23 Juli 2004, film Spiderman 2 telah maraup keuntungan 15 juta USD (sekitar Rp 140 milyar), masih dibawah perolehan film legenda Catwoman yang maraup 16,7 juta USD.

Kini, sedang hangat-hangatnya masyarakat di sini dibuai oleh film King Arthur. Baru diedar bebarapa saat, sampai 23 Juli 2004, King Arthur sudah maraup keuntungan 3,04 juta USD. Film The Passion of The Christ yang begitu kontroversial, berhasil meraup keuntungan 19,2 juta USD, sampai bulan Februari 2004. Film ini, meskipun didasarkan pada cerita Perjanjian Baru, tetapi juga dibumbui dengan berbagai cerita yang sulit diverifikasi kebenarannya. Film trilogi The Lord of the Rings, mampu maraup keuntungan lebih dari 2000 juta USD. Jauh sebelumnya, berbagai film legenda semacam Rambo, Batman, Superman, dan sebagainya, yang ternyata juga menjadi film-film yang laku dijual. Dengan promosi yang sangat dahsyat, filmfilm itu pun dinikmati oleh banyak umat manusia di belahan dunia lainnya. Mengapa masyarakat Barat menyukai legenda, mitos-mitos, atau mimpi-mimpi? Padahal, ada yang menyebut bahwa cerita-cerita yang menjual mimpi biasanya diproduksi oleh masyarakat tertindas untuk menghibur diri dan membayangkan akan kejayaan di masa yang akan datang. Cerita-cerita legenda itu biasanya dikaitkan dengan kisah kepahlawanan (epik) untuk membangkitkan moral. Apakah fenomena ini berkaitan dengan masyarakat Barat yang sakit dan sedang mengalami krisis dalam hidup? Sebagai peradaban yang sedang berkuasa, Barat terbukti tidak mampu menyelesaikan problema yang dihadapi umat manusia, bahkan probem dirinya sendiri. Mereka dihantui dengan berbagai kecemasan yang tidak berkesudahan. Itu semua karena mereka kehilangan pegangan hidup, setelah menempatkan manusia sebagai tuhan. Terlepas dari hal itu, ada baiknya kita telaah kilasan sejarah tentang berbagai legenda tentang Islam yang hidup di kalangan masyarakat Barat, khususnya di abad pertengahan. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya berjudul Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe (1999) mencatat banyak legenda menarik tentang Islam yang populer di kalangan masyarakat Barat di abad pertengahan. Bahkan, meskipun Barat menyerap banyak informasi langsung dari dunia Islam, saat Perang Salib (Crusade), legenda-legenda tentang Islam tetap hidup subur di kalangan masyarakat. But Western Christian were more likely to hear legends, many of which were brought backs by the Franks who had been to the Holy Land, tulis Cruz. Misalnya, legenda bahwa Ida, seorang janda pasukan Salib, dikawini seorang Muslim (Sarancens) dan akhirnya menurunkan seorang anak bernama Zengi. Nama lengkapnya, Nuruddin Zengi. Dalam sejarah, ia adalah paman Shalahuddin al-Ayyubi, yang membalik sejarah Perang Salib, dengan keberhasilannya menaklukkan Edessa dari pasukan Salib (the Franks) pada 1144. Legenda tentang Shalahuddin al-Ayyubi tokoh yang merebut kembali Jerusalem dari the Franks, 1187 bertebaran. Ada cerita tentang Eleanor of Aquitaine, istri Louis VII, yang memiliki affair dengan Shalahuddin. Ada juga legenda, bahwa Shalahuddin adalah keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga legenda bahwa Shalahuddin dibaptis pada akhir hayatnya. Legenda, bahwa Dome of the Rock di Jerusalem menyimpan banyak berhala sesembahan kaum Muslim. Dan bahwa di Mekah, pendeta murtad bernama Nicholas, dijadikan sesembahan. Pidato

Pope Urban II yang terkenal di The Council of Clermont, 25 November 1095, juga menyebarkan banyak legenda tentang Muslim. Di tengah konflik antar masyarakat Eropa ketika itu, Pope Urban II, menggalang sebuah legenda tentang musuh bersama bernama Turks. The Turks, kata Paus, adalah bangsa terkutuk. Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands, katanya. Seruan The Pope, mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West, Norman Daniel menyebut: The essence of crusading was to slay for Gods love. . Maka, saat memasuki Jerusalem, 1099, the Franks melakukan tindakan yang sulit dipercaya. Mereka membantai sekitar 30.000 warganya, Muslim dan Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak. Fulcher of Chartress mencatat: If you had been there your feet would have been stainen to the ankles in the blood of the slain. Seorang tentara the Franks menulis dalam Gesta Francorum : No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were. Sepanjang sejarah, hubungan Islam-Barat diwarnai dan memunculkan banyak legenda. Dokumen Chanson de Roland (sekitar tahun 1100) yang ditemukan di Inggris pada abad ke-19 memberikan gambaran bahwa kaum Muslim adalah penyembah berhala, pengecut, berperang demi kekayaan, tanah, dan perempuan. Dokumen ini bercerita tentang legenda kepahlawanan (epic) Charlemagne yang digambarkan berhasil menaklukkan seluruh Spanyol. Padahal, pada 778, Charlemagne gagal menjalankan misi membantu gubernur Barcelona dan Saragossa melawan Khalifah Umayyah di Cordoba. Saat pulang, pasukan Charlemagne melakukan pembunuhan dan perampokan di Kota Pamplona. Pasukan Basque/Wascons (Kristen) melakukan pembalasan dan mengalahkan pasukan Charlemagne. Uniknya dalam Chanson de Roland, Charlemagne digambarkan telah berhasil menaklukkan semua Spanyol, kecuali Saragossa. Musuh utamanya, bukan pasukan Wascons, tetapi kaum Muslim (Saracens). Cerita tentang Charlemagne sangat penting disimak dalam sejarah Eropa. Sebab, pada tahun 800, Paus Leo III membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada Charlemagne yang diangkat sebagai Emperor of the Romans. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat. Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan Gereja. Legenda lain yang memberikan gambaran buruk tentang Islam adalah cerita tentang Aymeri of Narbonne dan putranya, William of Orange. Dalam legenda ini, Muslim digambarkan lebih buruk ketimbang yang ada dalam Chanson de Roland. Selain penyembah berhala, Muslim adalah pencipta segala kejahatan, musuh Tuhan, dan pemuja setan. Mereka memakan tawanan perang, mengkhianati

perjanjian, dan menjual belikan wanita mereka sendiri. Mereka adalah manusia-manusia kejam, pengkhianat, dan menyembah banyak dewa, seperti Mahomet, Cahu, Apollyon, dan Tervagant. Dalam banyak aspek, perang melawan terorisme juga diwarnai berbagai legenda. Legendalegenda tentang ancaman Islam itu terus hidup di benak masyarakat Barat, sehingga begitu peristiwa 11 September 2001 meletus, banyak kaum Muslim mengalami perlakuan tidak manusiawi di Barat. Banyak ilmuwan Barat yang telah membongkar berbagai legenda seputar masalah terorisme. Siapa yang sebenarnya teroris? Syekh Ahmad Yassin (almarhum) atau Ariel Sharon? Tahun 1980an, isu terorisme PLO menyita perhatian dunia internasional. Padahal, pada 1982, terjadi pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) oleh Tentara Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades. Kita ingat, bagaimana banyaknya cerita-cerita yang menyeramkan seputar Taliban di Afghanistan diproduksi dan ditulis. Tak lama kemudian, Taliban dihancurkan. Kita ingat, bagaimana legenda tentang senjata pemusnah massal dibuat, sebelum Irak diserang. Kini, sejumlah cendekiawan neokonservatif seperti Bernard Lewis dan juga sejumlah media massa Barat banyak membuat cerita seputar bahaya Wahabi dan Arab Saudi. Apakah ini juga pertanda, rezim Wahabi di Arab Saudi berada dalam ancaman? Majalah Newsweek 28 Juni 2004 menggunakan istilah the demonizing of Saudi Arabia. Dulu, Wahabisme disokong Barat (Inggris) untuk melawan Ottoman, dan selama puluh dekade, Barat berada di belakang Saudi. Hubungan khusus AS dan Arab Saudi sudah menjadi rahasia umum. Apakah akan terjadi suatu perubahan besar dalam kebijakan AS terhadap Saudi? Mari kita lihat dan tunggu, apakah dalam waktu dekat akan beredar luas berbagai legenda melalui surat kabar, majalah, film, dan sebagainya tentang Arab Saudi dan keluarga kerajaan yang berlimpah dengan kekayaan itu. Sudah terbukti dalam sejarah, legenda sangat ampuh dalam membentuk persepsi masyarakat Barat. Wallahu alam. (KL, 30 Juli 2004). Mukjizat Kristen di Senayan Senin, 09 Agustus 2004 Konsep ketuhanan Yesus sejak Konsili Nicea tahun 325 sudah kontroversial. Bagaimana menjelaskan dengan akal sehat, bahwa Yesus benar Tuhan" dan sekaligus "manusia"?. Baca CAP Adian Husaini ke-64 Majalah Kristen BAHANA edisi Agustus 2004 menurunkan satu berita dengan judul panjang:

"Doa Bagi Bangsa: Pesona Reinhard Bonke di Stadion Bung Karno, Mengawal Indonesia Memilih Presiden, Menebar Mukjizat Ilahi." Ada baiknya kita simak berita tersebut secara lengkap: "Kidung pujian bagi Bapa di Surga kembali bergema dari Stadion Gelora Bung Karno. Ribuan umat Kristiani dari penjuru Jakarta berkumpul memanjatkan Doa Bagi Bangsa, melepas denominasi masing-masing. Bagai dupa yang harum dengan ketulusan pujian sebagai korban persembahan membuka pintu surga, menerangi malam yang gelap dengan cahaya mukjizat yang luar biasa. Sejak sore, ribuan jemaat yang rindu akan Tuhan telah membanjiri stadion terbesar di Indonesia ini. Pujian penyembahan menggema dari mereka yang haus bersekutu dengan-Nya, ataupun dari tubuhtubuh lemah yang rindu jamahan mukjizat Tuhan. Melalui hamba-Nya Reinhard Bonke, Tuhan menyatakan kuasa-Nya dengan begitu ajaib. Dari kisah perempuan yang berzinah (Yoh. 8:1-11), Bonke memaparkan, bahwa betapa pun hinanya dia di mata manusia, namun Yesus tetap mengampuni dan memintanya untuk tidak berbuat dosa lagi. Usai khotbah, Bonke mengajak seluruh jemaat berdoa bersama. Kesibukan drastis terjadi tepat di depan panggung, tempat orang-orang sakit berkumpul. Mulai dari yang pincang, lumpuh, buta, hingga yang terbaring sekarat di atas tempat tidur berjajar kesembuhan Ilahi. Para pendoa segera menyebar, mendampingi mereka yang butuh bantuan doa. Kuasa Tuhan bekerja dengan dahsyat. Usai berdoa, satu per satu jemaat yang beroleh kesembuhan bersaksi di atas panggung. Mereka yang lumpuh dapat berjalan, yang tuli dapat mendengar. Bahkan ada seorang wanita yang minta jamahan Tuhan agar diberi anak beberapa tahun lalu saat Bonke kali pertama datang ke Indonesia, dengan dua anak kembarnya naik ke atas mimbar menyaksikan mukjizat Tuhan yang luar biasa. Menurut ketua panitia, Cecilia Sianawati, acara ini merupakan kegiatan doa untuk menopang bangsa Indonesia memasuki pemilihan presiden. Dengan persembahan puji-pujian, umat Kristiani percaya Tuhan Yesus membuka pintu gerbang transformasi bagi bangsa Indonesia. "Kita sadar, semua usaha kita sebagai manusia tidak cukup. Kita butuh pertolongan Tuhan,"katanya. Doa Bagi Bangsa juga dihadiri Ketua Umum Partai Damai Sejahtera Ruyandi Hutasoit, Ketua Umum Nahdlatul Ulama dan Menteri Agama (Menag) Said Aqil Husein Al Munawar. Menag: Syaloom Syaloom, teriak lantang Menag Al-Munawar mengawali kata sambutannya. Sontak salam hangat ini disahut ribuan jemaat dengan pekik Syaloom pula. Dalam sambutannya, Al-Munawar menyatakan mendapat kehormatan mewakili Presiden Megawati Soekarnoputri sekaligus permintaan maaf yang sebesar-besarnya dari presiden yang berhalangan karena tengah menuju Bali menghadiri pertemuan penting. Sebagai bangsa pluralis, lanjut Al-Munawar, langkah menggelar Doa Bagi Bangsa ini sangat tepat, sebab mendoakan bangsa dan negara, serta pemimpin yang tepat merupakan tanggung jawab semua warga negara, tanpa memandang agama ataupun sukunya. "Untuk membangun Ibu pertiwi,

kemajemukan harus dipertahankan, " ungkapnya. Dalam kesempatan ini, menteri juga menyatakan, SKBRI bagi WNI keturunan dicabut dan Keputusan Bersama dua menteri tahun 1969 yang melarang umat Nasrani beribadah di luar gereja, telah direvisi. Inilah mukjizat lain juga luar biasa malam itu. "Syaloom Indonesia." (***) Begitulah berita yang disebarluaskan oleh majalah Rohani populer Kristen itu. Membaca berita tersebut, sangatlah mengherankan, bahwa pejabat tinggi Negara setingkat Menteri Agama menghadiri acara itu. Sudah lama bangsa Indonesia disuguhi adegan penyebaran agama melalui cara-cara ? penyembuhan ajaib? yang selain tidak masuk akal, juga sebenarnya melecehkan kalangan Kristen sendiri. Logikanya, jika para pendoa Kristen itu mampu menyembuhkan orang buta, lumpuh, pincang, dan sebagainya, lalu buat apa mereka membangun begitu banyak rumah sakit Kristen? Beberapa waktu lalu, saat pro-kontra RUU Sisdiknas, beredar luas "VCD Gus Dur" yang didoakan oleh pendeta wanita AS dan diikuti oleh ribuan jemaat yang hadir. Mereka berdoa agar saat itu juga Tuhan membuka mata Gus Dur, sehingga dapat melihat. Sampai berulangkali doa itu itu dipanjatkan, ternyata Gus Dur tidak berubah. Sekali lagi, jika formula pengobatan ajaib yang diklaim sebagai "mukjizat" oleh kaum Kristen itu memang ampuh, maka Depkes RI sebaiknya segera dibubarkan saja. Adalah ajaib, jika berita itu benar, menteri agama kita yang Prof. Dr. dan pakar dalam agama, mau menghadiri acara yang sudah begitu banyak menimbulkan pro-kontra di kalangan umat beragama. Beginikah cara kaum Kristen menyebarkan agamanya kepada bangsa Indonesia? Dari segi pengembangan intelektualitas dan diskursus keagamaan, berita yang dibanggakan oleh Majalah Kristen itu menunjukkan, bahwa mereka sama sekali tidak mau memahami problematika teologis yang ada dalam agama mereka sendiri. Justru ketika mereka selalu menyebut Tuhan Yesus, maka disitulah, sejak ratusan tahun lalu, sejak awal-awal masa Kekristenan, problematika yang paling mendasar dalam teologi Kristen muncul. Mereka belum pernah selesai dalam mendefinisikan siapa sebenarnya yang mereka sebut dengan Yesus itu. Apakah dia manusia, atau dia Tuhan. Apakah dia manusia dan sekaligus Tuhan. Atau dia memang Tuhan. Sejak dulu, hingga kini, perdebatan seputar ketuhanan Yesus berlangsung sengit. Dr. C. Groenen ofm, seorang teolog Belanda, mencatat, bahwa seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem. Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus (Kristologi) dari para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan, bahwa kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di Barat. "Kesimpang siuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia Barat," tulis Groenen. Dalam buku Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen (1988). Setelah membahas puluhan konsep para teolog besar di era Barat modern, Groenen memang akhirnya "menyerah" dan "lelah", lalu sampai pada kesimpulan klasik, bahwa konsep Kristen tentang

Yesus memang "misterius" dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Sebab itu, jangan dipikirkan. Kata dia: "Iman tidak tergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus, relevansi dan kebenaran abadi-Nya, akhirnya hanya tercapai dengan hati yang beriman dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski otak itu sangat cerdas dan tajam sekali pun." Sepanjang sejarah peradaan Barat, terjadi banyak problema serius dalam perdebatan teologis Kristen. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan seperti Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal (reason) dan teks Bible (revelation). Problema yang kemudian muncul ialah, ketika para ilmuwan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problema itu sendiri. Disamping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengatahuan. Sejumlah ilmuwan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengatahuan, seperti Gelileo Galilei (1546-1642) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup. Thomas Aquinas mengungkapkan konsep teologi Kristen dengan kata-katanya: "deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari" (That God is three and one is only known by belief, and it is in no way possible for this to be demonstratively proven by reason). Konsep ketuhanan Yesus yang dirumuskan dalam Konsili Nicea, tahun 325, sudah memunculkan problem serius dan kontroversial tentang "ketuhanan Yesus". Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat, bahwa Yesus adalah "Tuhan" dan sekaligus "manusia". Apa yang disebut kaum Katolik sebagai "Syahadat Nicea", secara eksplisit mengutuk pemikiran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir tahun 280. Arius didukung sejumlah Uskup menyebarkan pemahaman bahwa Yesus bukanlah Tuhan adalah tunggal, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus adalah "Firman Allah" yang secara metafor boleh disebut "Anak Allah" bukanlah Tuhan,tetapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi. "Syahadat Nicea" menyatakan: "Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada" (Lihat, C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, dan buku Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, (Yogyakarta, Kanisius, 2003). Simaklah, bagaimana perdebatan tentang "Syahadat Kristen" yang menjadi perbincangan dan kontroversi hebat dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431, melarang perubahan apa pun pada "Syahadat Nicea", dengan ancaman kutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili Kalsedon, tahun 451,

mengubah "Syahadat Nicea". Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon berasal dari konsili local di Konstantinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi tahun 325 dianggap sudah tidak memadai untuk berhadapan dengan situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 adalah penyempurnaan naskah tahun 325, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut "Syahadat dari Nicea dan Konstantinopel" disingkat N-C. Naskah syahadat N-C ini hingga sekarang masih menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani. Namun, pada Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, Gereja Barat melakukan tambahan frasa "dan Putra" (Filioque), pada penggal kalimat "dan akan Roh Kudus" yang berasal dari Bapa". Penambahan itu dimaksudkan untuk menekankan keilahian dan kesetaraan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu, akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun, Gereja Timur menolak, karena melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi penyebab utama terjadinya "skisma", perpecahan antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada abad ke11. Konsili Vatikan II juga membuat perubahan kecil pada Syahadat N-C, dengan mengganti kata pembuka "Aku percaya" menjadi "Kami percaya". (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja). Perdebatan seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau sekedar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). (Lihat, Howard Clark Kee, Jesus in History, (New York: Harcourt, Brace&World Inc, 1970). Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala sampai menyentuh aspek moralitas Yesus sendiri dalam aspek sexual. Marthin Luther sendiri dilaporkan menyebutkan , bahwa Yesus berzina seban yak tiga kali. Arnold Lunn, dalam bukunya, The Revolda Against Reason, (London: Eyre&Spottiswoode, 1950), hal. 233, mencatat: "Weimer quoted a passage from the Table-Talk, in which Luther states that Christ committed adultary three times, first with the woman at the well, secondly with Mary Magdalene, and thirdly with the woman taken adultary, "whom he let off so lightly. Thus even Christ who was so holy had to commit adultary before he died." Bahkan, The Times, edisi 28 Juli 1967, mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh Gereja di Oxford tahun 1967: "Women were his friends, but it is men he is said to have loved. The stricking fact was that he remained unmarried, and men who did not marry usually had one of three reasons: they could not afford it; there were no girls, or they were homosexual in nature.." (Dikutip dari: Muhammad Musthafa al-A'zhami, The History of The Quranic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, (Leicester: UK Islamic Academy, 2003) Perdebatan seputar Yesus memang tidak berkesudahan. padahal, di atas landasan inilah, teologi Kristen ditegakkan. Pada awal-awal kekristenan, mereka ingin menonjolkan aspek ketuhanan Yesus. Tetapi, teolog-teolog modern kemudian ingin menonjolkan aspek kemanusiaan Yesus, mendekati

gagasan Arius yang dulu dikutuk Gereja. Menyimak perdebatan tentang Yesus yang tiada henti itu, maka teolog Kristen seperti Groenen membuat teori "pokoknya", bahwa meskipun pemikiran kaum Kristen tentang Yesus Kristus berbeda-beda, tetapi Yesus tetap tidak berubah. Yesus tetaplah Yesus. Argumentasi Groenen semacam ini tentu sulit dipahami oleh kalangan teolog yang sejak dahulu kala berusaha merumuskan pemahaman tentang Yesus, namun tidak pernah mencapai titik temu. Kepelikan itu bisa dipahami, mengingat Yesus sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa dia adalah Tuhan. Paul Young, dalam bukunya, Christianity, mencatat, bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru menekankan hakikat kemanusiaan Yesus. Ia lapar, haus, dan lelah, sebagaimana manusia lainnya. Ia juga punya emosi, bisa sedih dan senang. Tetapi, beratus tahun kemudian, Yesus dirumuskan dan disembah sebagai Tuhan. "This Jesus, a real human being, is the focus of Christian worship. Such worship contrasts sharply with all other great world religion," tulis Young. Tentang kepelikan seputar "misteri Yesus", Mark Twain membuat sindiran: "It's not the parts of the Bible which I can't understand that bother me, it's the parts that I can understand." Bukan bagian Bible yang tidak dipahaminya yang meresahkannya, tetapi justru bagian yang ia pahami. Kontroversi dalam soal teologi seperti dalam sejarah Kristen semacam itu tidak dijumpai dalam Islam. Mengingat begitu hebatnya kontroversi teologis Kristen dan trauma Barat terhadap hegemoni Gereja ketika mereka memegang doktrin eksklusivisme teologis (extra ecclesiam nulla salus), bisa dipahami jika mereka lebih menyukai pengembangan paham pluralisme agama. Kondisi Islam sama sekali berbeda. Dasar-dasar teologi Islam sudah dirumuskan dan sudah sangat jelas, sejak awal Islam lahir, serta tidak pernah diputuskan melalui satu "kongres", musyawarah, atau "konsili". Karena itu, sejak awal kelahirannya, Islam memang sudah sempurna. Konsep teologi dan ibadah dalam Islam sudah selesai dirumuskan. Bahkan, sebagai agama, nama "Islam" pun sudah diberikan oleh Allah. (QS al-Maidah:3). Sebaliknya, Konsep Kristen tentang tuhannya dirumuskan melalui Kongres, dan hingga kini masih saja memunculkan kontroversi, sehingga banyak memunculkan apatisme di kalangan masyarakat Barat. Hanya sebagian kecil kalangan Kristen yang nekad, menyebarkan agamanya kepada kaum Muslim, dengan cara-cara seperti di Stadiun Bung Karno itu. Yang perlu diacungi jempol, meskipun berdiri di atas landasan yang rapuh, tetapi kelompok kristen di Senayan itu nekad; alias bonek, "bondo nekad". Wallahu a'lam. (KL, 6 Agustus 2004). Heboh Film BCG Senin, 23 Agustus 2004 MUI bersama KH Abdullah Gymnastiar (AA Gym), melakukan aksi penolakan terhadap film BCG. Peradaban Barat disebarkan melalui proses globalisasi. Menganggap urusan pribadi. Baca CAP Adian Husaini, MA ?Heboh Film BCG? Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan protes keras terhadap film

berjudul Buruan Cium Gue (Film BCG). MUI bersama KH Abdullah Gymnastiar (AA Gym), melakukan aksi penolakan terhadap film tersebut, dan meminta pemerintah agar menarik peredaran film ini. Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Dr. M. Din Syamsuddin mengatakan, Film itu telah menyinggung rasa susila masyarakat, menimbulkan rasa ketakutan di kalangan orang tua dan pendidik, menimbulkan ancaman gangguan ketertiban umum, serta kemungkinan munculnya reaksireaksi yang tak terkendali. Ia mengatakan, surat yang telah dikirimkan pada tanggal 14 Agustus lalu itu, dibuat oleh MUI setelah Forum Ukhuwah Islamiyah MUI melakukan pertemuan yang dihadiri oleh wakil-wakil ormas kelembagaan Islam pada 13 Agustus. Mereka menyatakan keprihatinan terhadap film tersebut. Dari adegan-adegan, dialog, suara serta imajinasi yang dikembangkan dalam film tersebut dapat disimpulkan secara sengaja bermaksud menghina, melecehkan, menertawakan pihak-pihak yang dipandang konservatif dan kolot, karena berpegang dengan nilai-nilai budaya yang luhur, nilai norma agama dan pendidikan sekolah. MUI juga menyimpulkan bahwa film BCG! itu berangkat dari pembuatan ide yang dangkal, bagaimana membuat film dengan biaya relatif murah, tapi provokatif dan memiliki daya magnet bagi remaja serta mengundang kontroversi, dan film ini berharap laku di pasaran. Sementara itu, Aa Gym menilai bahwa judul film tersebut begitu vulgar dan berani. Kalau secara ekstrim judul film tersebut sebenarnya "ayo buruan zinahi gue". Menurut UU no 8 th 1992 pasal 31 disebutkan bahwa pemerintah dapat menarik suatu film bila dalam penayangannya mengganggu ketertiban, ketentraman, dan keselarasan hidup masyarakat. Kita patut menyatakan hormat dan terharu terhadap MUI dan AA Gym serta berbagai pihak yang masih peduli pada masalah moral bangsa. Di tengah dunia yang semakin kuat dicengkeram nilai-nilai sekularisme dan materialisme, maka batas-batas moral agama menjadi kabur. Manusia sudah menjadi Tuhan untuk dirinya sendiri. Mereka mau menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, berdasarkan pertimbangan mereka sendiri. Akhlak dilepaskan dari agama. Di tengah dunia yang seperti itu, maka orang-orang yang menentang film BCG bisa dituduh sebagai ?sok moralis?, ?kuno?, ?penjaga moral?, dan sebagainya. Sementara masyarakat sudah semakin dicengkeram dengan berbagai jenis hiburan dan pemujaan antar manusia, melalui acara-acara pemilihan ?Idol?. Bukan hanya di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan sebagainya, di negara asalnya, Amerika Serikat, acara American Idol, juga digilai oleh masyarakatnya. Peserta sampai rela menginap dua hari untuk menunggu giliran audisi. Di Malaysia, acara Malaysian Idol, Akademi Fantasia, Audition, dan sejenisnya juga digilai oleh jutaan rakyat Malaysia. Jumlah pengirim SMS mencapai puluhan juta orang, melebihi jumlah penduduk Malaysia yang hanya sekitar 22 juta orang. Protes bermunculan di sana-sini, tetapi tidak dipedulikan. Pengaruh peradaban Barat yang disebarkan melalui proses globalisasi menjadi semakin kuat

mencengkeram umat manusia. Ketika ada yang protes dan membawa-bawac agama, maka mereka akan ditertawakan. Agama dianggap urusan pribadi, jangan di bawa-bawa dalam urusan masyarakat. Biarlah masyarakat yang menentukan sendiri, baik dan buruk untuk mereka. Inilah yang 30 tahun lalu dikatakan oleh Harvey Cox, dalam buku yang menghebohkan AS ketika itu, ?The Secular City?, bahwa ?secularization simply bypasses and undercuts religion and goes on to other things? Religion has been privatized.? Jika agama dipotong, ditinggalkan, dan dijadikan urusan privat, maka sama saja dengan agama telah ?dimuseumkan?. Agama dijadikan barang antik. Seluruh agama menghadapi tantangan berat semacam ini. Kristen sendiri sangat menyadari akan bahaya sekularisasi ini ini, sehingga pada Kongres Misionaris Internasional di Jerusalem, 1928, mereka menetapkan bahwa sekularisme ?was seen as the great enemy of the church and its message.? Bahwa sekularisme dipandang sebagai musuh besar gereja dan ajaran-ajarannya. Sekularisme adalah buah dari peradaban Barat yang disebut Muhammad Asad (Leopold Weiss), intisarinya adalah ?irreligious?. Dalam bukunya yang terkenal, ?Islam at The Crossroads?, Asad menulis, ?? so characteristic of modern Western Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or any other religion, because it is irreligious in its very essence).? Peradaban yang semacam inilah yang sekarang sedang mendominasi umat manusia dan setiap detik menjejalkan nilai-nilainya ke tengah masyarakat, termasuk umat Islam, melalui acara-acara TV , di sudut-sudut kamar hampir setiap rumah tangga Muslim. Barat tidak menolak Tuhan, tetapi Tuhan dibuat tidak berdaya. Tuhan tidak diberi tempat dalam kehidupan. Mirip dengan konsep Tuhan filosof Yunani terkenal, Aristotle, yang menyebut Tuhan sebagai ?Unmoved mover?, penggerak yang tidak bergerak. Tuhan dipandang sebagai ?Sebab Pertama? (Causa Prima), yang menggerakkan alam semesta, tetapi dia sendiri tidak bergerak, dan tidak ikut campur tangan dalam proses kehidupan manusia dan alam semesta.Tuhan yang istirahat. Ini tentu berbeda dengan gambaran al-Quran bahwa Allah senantiasa dalam kesibukan. Kulla yaumin huwa fii sya?nin. (QS 55:29). Dalam pembukaan Olimpiade 2004 di Yunani, awal Agustus 2004, tampak bagaimana tradisi Yunani memperlakukan tuhan-tuhan mereka. Sebuah kuil di Delphi, tempat Dewa Apholo, yang masih tersisa artefaknya, dipertontonan berkali-kali kepada umat manusia. Betapa pun, sejarah Kristen menunjukkan, mereka akhirnya menyerah kepada sekularisme. Sejak awal-awal perkembangan agama ini, mereka sudah mengadopsi konsep Trinitas, dan menyerap unsurunsur paganisme Yunani-Romawi kedalam agama Kristen. Hari suci mereka ubah dari Hari Sabtu (Sabath) menjadi Hari Matahari (Sunday), untuk menghormati tuhan mereka, Sol Invictus. Dalam bahasa Latin, Sol artinya ?matahari?. Peringatan kelahiran Yesus dipaskan dengan Hari Kelahiran Sol Invictus, yaitu 25 Desember. Ini sudah dilakukan sejak awal abad ke-4 Masehi. Maka, ketika Barat sudah semakin dominan dengan nilai-nilai sekularisme dan liberalisme, kalangan agamawan Kristen pun bersikap adaptif, agar agama mereka tetap dapat diterima di Barat.

Mereka mulai mengubah ajaran-ajaran pokok agama mereka, dan menerima sekularisme, bahkan kemudian dicarikan legitimasinya dalam Bible. Harvey Cox menempatkan bab pertama bukunya dengan judul ?The Biblical Sources of Secularization?, yang diawali dengan ungkapan teolog Jerman, Friedrich Gogarten: ?Secularization is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history.? Dalam masyarakat secular, agama tidak ditolak sama sekali, namun agama harus menyesuaikan kehendak masyarakat. Ajaran agama yang tidak cocok lagi, perlu dibuang, atau disimpan dalam museum. Manerik jika mencermati kondisi masyarakat AS yang dikatakan Huntington, lebih religius ketimbang masyarakat Eropa. Sebuah buku berjudul ?What Americans Believe? (1991), mengungkap hasil riset Barna Research Group, yang menunjukkan, bahwa 64 persen golongan tua mengaku sebagai religius. Tahun 1985, jumlahnya masih mencapai 72 persen. Sebanyak 74 persen percaya kepada Tuhan, yang menciptakan alam semesta. Sebaliknya, 47 persen berpendapat, bahwa setan hanyalah simbol kejahatan (symbol of evil). Disamping itu, hanya 28 persen setuju bahwa Gereja mereka relevan dengan kehidupan mereka saat ini. Disamping itu, hanya 19 persen yang mengaku, bahwa Gereja Kristen bersikap toleran terhadap ajaran yang berbeda dengan Gereja. Dalam masyarakat dunia seperti inilah agama-agama menghadapi tantangan berat. Sebab, kebenaran tidak ditentukan oleh agama, tetapi oleh suara masyarakat. Kaum feminis berusaha keras bagaimana agar gerakan mereka mendapatkan legitimasi dari Bible. Mereka tidak lagi menulis God, tetapi juga Goddes. Dalam buku ?Feminist Aproaches to The Bible?, seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer-Kensky, menulis makalah dengan judul: ?Goddesses: Biblical Echoes?. Aktivis lain, Pamela J. Milne, mencatat, bahwa dalam tradisi Barat, Bible manjadi sumber terpenting bagi penindasan terhadap perempuan. Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen juga berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan oleh Gereja. Dalam Bible, Kitab Kejadian 19:4-11, diceritakan tentang hukuman Tuhan terhadap kaum Sodom dan Gomorah. Pada umumnya, kaum Kristen memahami, bahwa homoseksual adalah penyebab kaum itu dihancurkan oleh Tuhan. Sehingga mereka mempopulerkan istilah Sodomi yang menunjuk pada praktik maksiat antar sesama jenis. Tokoh-tokoh Gereja pada awal-awal Kristen, seperti Clement of Alexandria, St John Chrysostom, dan St Agustine, mengutuk perbuatan homoseksual. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan Doktrin ?The Vatican Declaration on Social Ethics?, yang hanya mengakui praktik heteroseksual dan menolak pengesahan homoseksual. St Thomas menyebut Sodomi sebagai ?contra naturam?, artinya, bertentangan dengan sifat hakiki manusia. Tetapi, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual kemudian membuat tafsiran lain. John J. McNeill SJ, misalnya, menulis buku ?The Church and the Homosexual? memberikan justifikasi moral terhadap praktik homoseksual. Menurut dia, Tuhan menghukum kaum Sodom dan Gomorah, bukan karena praktik homoseksual, tetapi karena ketidaksopanan penduduk kota itu terhadap Tamu Lot. Kaum Katolik mendirikan sebuah kelompok gay bernama ?Dignity? yang mengajarkan, bahwa praktik homoseksual tidak bertentangan dengan ajaran Kristus. Teolog lain, Gregory Baum, menyatakan: bahwa ?If the homosexual can live that kind of life (love), than homosexual love is not contrary to the

human nature.? Tahun 1976, dalam pertemuan tokoh-tokoh Gereja di Minneapolis, AS, dideklarasikan, bahwa ?homosexual persons are children of God.? Puncaknya, adalah ketika pada November 2003 lalu, Gereja Anglican di New Hampshire mengangkat Gene Robinson, seorang homoseksual, menjadi Uskup. Maka, gerakan kaum homoseksual dengan resmi mendapat legitimasi dari Gereja. Sesuatu praktik maksiat yang dikutuk dalam Bible dan selama ratusan tahun dipertahankan, akhirnya tidak mampu dibendung karena mendapatkan legitimasi agama. Fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat Kristen ini sedang diglobalkan ke seluruh umat manusia. Umat Islam tidak terkecuali. Kerusakan moral akhirnya dicarikan justifikasinya dalam agama. Sebab, dengan cara itu, agama dianggap mampu bertahan dalam kehidupan modern. Di kalangan Muslim, proses semacam ini sedang berjalan. Sejumlah cendekiawan secular-liberal secara terang-terangan mempromosikan paham yang meletakkan agama adalah masalah privat, dan tidak berhak campur tangan dalam urusan seni. Seni adalah seni. Film dianggap sebagai karya seni, dan tidak layak dicampuri urusan agama. Dalam tradisi Yunani, hampir semua patung ditampilkan dalam bentuk telanjang bulat. Katanya, itu untuk keindahan. Dalam kasus film BCG, pendukung moral sekuler akan berkata, bahwa biarlah masyarakat yang menentukan, apakah mereka menerima atau tidak film itu. Tidak usah dilarang. Celakanya, Indonesia sendiri menganut asas sekuler dalam sebagian besar Undang-undangnya. Pasal yang akan digunakan untuk menilai film BCG adalah pasal 282 KUHP warisan Belanda, yang meletakkan respons masyarakat sebagai ?tolok ukur? sesuatu itu ?asusila? atau ?tidak?. Perdebatan tentang masalah ini sudah dan akan panjang, tidak pernah berhenti. Sebagian akan menyatakan, bahwa itu merupakan karya seni, sebagian lagi menyatakan, itu merusak moral masyarakat. Karena itulah, dalam kondisi masyarakat yang semakin tersekularkan, terliberalkan, dan terBaratkan, maka perjuangan MUI, AA Gym, untuk menentang fim BCG sangatlah berat. Dalam kamus kesehatan, BCG adalah kuman penyebab penyakit TBC (Bacillus Calmette Guirin). Tentu banyak masalah lain yang sangat penting, seperti masalah kemiskinan, pendidikan yang mahal, korupsi yang masih merajalela, utang luar negeri yang menjerat leher rakyat, dan sebagainya. Tetapi, masalah moral tetap penting. Kita gembira dengan adanya sebagian tokoh yang peduli dengan masalah ini. Tetapi kita juga berharap, MUI dan AA Gym juga tokoh-tokoh Islam lainnya, lebih peduli pada perusakan aqidah Islamiyah dan penghancuran tradisi ilmu di kalangan masyarakat Muslim. Semoga Allah SWT meridhai perjuangan para tokoh itu. Amin. (KL, 20 Agustus 2004). Sihir Idol Senin, 30 Agustus 2004 Imperealisme budaya merebak luas dan digandrungi masyarakat Muslim. Idolisasi dan mitosisasi Barat yang telah melibas nurani dan akal sehat baca CAP Adian Husaini, MA ke-67

Sihir program-program Idol di televisi sungguh luar biasa. Ribuan orang bernafsu menjadi peserta. Jutaan orang terlibat dalam acara itu melalui penghantaran SMS. Di AS, para peserta rela menginap dua hari di lapangan terbuka, hanya untuk menunggu giliran audisi. Di Malaysia, acaraacara sejenis, seperti Malaysian Idol, Akademi Fantasia, dan Audition, mampu meraup jumlah SMS puluhan juta, melebihi jumlah penduduk Malaysia. Di Indonesia, demam acara sejenis melanda sampai ke desa-desa. T-Shirt AFI ada juga yang dipakai pekerja Indonesia di Malaysia. Ujung dari berbagai program tersebut adalah upaya penciptaan idola, bintang pujaan, khususnya dalam dunia bisnis hiburan (showbiz). Tentu, acara-acara ini merupakan lahan basah untuk meraup keuntungan para pemilik industri televisi. Iklan membanjiri acara-acara itu. Di Malaysia, acara Malaysian Idol meraup iklan dari perusahaan-perusahaan besar, seperti Telekom, Coca Cola, Revlon, dan sebagainya. Idol sudah menjadi kosa kata bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani eidolon yang berarti image atau form. The American Heritage Dictionary mengartikan kata idol sebagai An image used as an object of worship, atau one who is adored. Dari kata Idol berkembang kata idolatry kemudian dimaknai sebagai The worship of idol, yakni penyembahan satu idola atau blind devotion, yakni, ketaatan yang membuta. Kekaguman, pemujaan, biasanya memang berujung pada ketaatan yang membabi-buta. Itu tampak dari perilaku banyak remaja yang menggilai idola pujaannya di kalangan selebritis, mulai drai perilaku mengoleksi album, foto, tanda tangan, lalu meniru-niru perilaku dan model pakaiannya. Sebagian pak turut buta ini sampai rela menyerahkan dirinya untuk diapakan saja oleh idolanya. Berbagai acara TV yang mempertemukan antara idola dan pemujanya sudah ditayangkan. Biasanya digambarkan, bagaimana histerisnya, ketika sang pemuja berjumpa dengan sang idola. Satu bentuk kegetaran hati, kebahagiaan, keterharuan, yang menurut al-Quran, harusnya dialami oleh seorang mukmin, saat berjumpa dengan Allah, ketika sang mukmin melaksanakan ibadah salat. Jadi, kata idol memang berkaitan dengan aspek pemujaan, penghormatan, dan penyembahan. Para juara dalam program-program ini akan ditampilkan sebagai idol, idola, yang dipuja, dihormati, dan mendapatkan berbagai fasilitas hidup duniawi yang menggiurkan. Pesatnya perkembangan industri showbiz membutuhkan banyak idol. Sebagaimana layaknya, dunia showbiz, sosok-sosok pujaan dibangun di atas realitas kamera atau realitas semu, yang sifatnya temporer, sesuai dengan kebutuhan dunia bisnis hiburan. Di atas realitas inilah dibangun mitos-mitos. Mitos tentang idol, mitos tentang sang pujaan, mitos tentang sang bintang, yang cantik/tampan, berbakat menyanyi, berakting, dan beruntung. Demam acara Idol di berbagai negara merupakan gambaran yang tepat dari sebuah proses globalisasi di bidang fun atau hiburan. Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk imperialisme budaya (cultural imperialism) Barat terhadap budaya-budaya lain. Prof. Amer al-Roubaie, pakar Globalisasi di International Institute of Islamic Thought and CivilizationInternational Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), mencatat: It has been widely acknowledged that the present waves of global culture trends are mainly of Western products, spreads across the world by the advancement in electronic technologies and various form of media and communication systems. Terms such as cultural imperialism, media imperialism, cultural cleansing, cultural dependency and electronic colonialism are used to describe the new global culture as well as

its implications on non-Western societies. Hegemoni Amerika dalam dunia hiburan dan pembentukan budaya global, dapat dikatakan sebagai satu bentuk American Cultural Imperialism. Industri film Amerika dan berbagai stasiun TV-nya mendominasi pembentukan budaya global. Dan dibalik itu semua adalah mempromosikan kepentingan-kepentingan Amerika dengan mengekspor modernitas dan mempropagandakan konsumerisme. Globalisasi adalah satu masyarakat post-kapitalis yang mendorong kapitalisme dengan mempromosikan sejumlah karakteristik dari kapitalisme. Sebagaimana dikatakan Holton: Americanization thesis is that it is capitalism rather than Americanization that is becoming globalized. Itulah yang sebenarnya sedang menimpa umat manusia di seluruh pelosok dunia, Sebuah proses imperialisme budaya yang dilakukan budaya Barat, yang akhirnya juga tidak lepas dari kepentingan (interests) dari negara-negara kuat. Dalam bukunya, Ideologies of Globalization: Contending visions of a New World Order, Mark Rupert menulis satu bab berjudul The Hegemonic Project of Liberal Globalization. Ia mencatat, bahwa globalisasi adalah proyek politik dari kekuatan sosial dominan dan akan selalu problematis dan mendapat tentangan: There is no reason to believe that liberal globalization is ineluctable it has been the political project of an identifiable constellation of dominant social forces and it has been, and continues to be, politically problematic and contestable. Berbagai kajian tentang fenomena globalisasi telah banyak diungkapkan. Namun, kuatnya arus konsumerisme, hedonisme, dan narkotikisme yang dijejalkan kepada masyarakat dunia melalui berbagai acara-acara hiburan, memang sulit dibendung. Sihir-sihir dunia showbiz begitu menawan dan menyapu akal sehat. Manusia terus dijejali cara berpikir pragmatis dan hedonis, untuk melahap apa saja, menikmati hidup, tanpa peduli apakah cara yang dilakukannya menghancurkan nilai-nilai akhlak dan agama. Jika liberalisasi di bidang moral sudah berlangsung, maka sebagian kalangan akan mencoba-coba mencari legitimasi dari agama, sebagaimana dalam kasus homoseksual di Barat. Homoseksualitas yang berabad-abad dicap sebagai praktik kotor dan maksiat, oleh agama-agama, justru kemudian diakui sebagai praktik yang manusiawi dan harus dihormati sebagai bagian dari penghormatan Hak Asasi Manusia. Perkembangan kasus homoseksualitas di Barat sungguh sangat mengerikan. Pemimpin-pemimpin Gereja semakin terdesak opininya, karena sebagian pemuka Kristen dan cendekiawanannya pun sudah mendukung dan menjadi pelaku homoseksual atau lesbianisme. Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen juga berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan oleh Gereja. Tetapi, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual kemudian membuat tafsiran lain yang melegitimasi praktik homoseksual, juga dengan dalil-dalil Bible. Logika kaum sekular di Barat yang enggan berpegang kepada agamanya ini sebenarnya sederhana. Karena homoseksual sudah menjadi kenyataan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Barat, maka untuk memberikan legitimasinya, tidak jarang mereka harus merekayasa ajaran agama mereka agar sesuai dengan tuntutan zaman, agar Kristen tetap relevan untuk kaum homoseksual; agar Kristen

tidak dicap kuno, dan dapat diterima oleh masyarakat modern, sebab homoseksual sudah dipersepsikan oleh para pendukungnya sebagai gaya hidup modern. Maka, dunia Kristen semakin terpukul ketika media massa membongkar ribuan kasus pedopilia (pelecehan seksual terhadap anakanak) yang dilakukan oleh para tokoh Gereja. Seolah-olah kemunafikan itu terbongkar, dimana tokohtokoh agama yang tidak kawin dan punya hak memberikan pengampunan dosa, ternyata melakukan tindakan keji dengan menzinahi anak-anak. Pada 27 Februari 2004, The Associated Press wire menyiarkan satu tulisan berjudul Two Studies Cite Child Sex Abuse by 4 Percent of Priests, oleh Laurie Goodstein, yang menyebutkan, bahwa pelecehan seksual terhadap anak-anak dilakukan oleh 4 persen pastur Gereja Katolik. Setelah tahun 1970, 1 dari 10 pastur akhirnya tertuduh melakukan pelecehan seksual itu. Dari tahun 1950 sampai 2002, sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh 4392 pastur. Studi ini dilakukan oleh The American Catholic bishops tahun 2002 sebagai respon terhadap tuduhan adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para tokoh Gereja. Fenomena Idolisasi yang merebak luas dan digandrungi oleh masyarakat Muslim, seharusnya menjadi refleksi serius dari para ulama. Berkaca pada fenomena dalam masyarakat Barat, maka sumber masalah ini sebenarnya terletak pada diri kaum Muslimin sendiri, yaitu rusaknya ilmu dan ulama. Ulama sudah meninggalkan tugasnya, yaitu menjaga aqidah umat, dan tidak lagi peduli dengan pengembangan ilmu. Banyak ulama yang terjun ke politik, dan melupakan tugasnya, bahkan ada yang perilakunya dalam dunia politik, sama saja dengan kaum juhala. Atau, banyak juga orang yang berperilaku tidak baik, dan berilmu dangkal dalam agama, tetapi sudah dijuluki ulama. Padahal, kata ulama, artinya adalah orang yang sangat tinggi ilmunya. Harusnya, orang dijuluki ulama, karena ilmunya, bukan karena gelar KH yang kadang kala dipasang sendiri pada kartu namanya. Seharusnya masyarakat tidak terburu-buru mengakui seseorang sebagai Kyai Haji sebelum terbukti, orang itu ilmunya mumpuni dan akhlaknya terpuji. Rasulullah saw sangat mengkhawatirkan dampak dari perilaku ulama jahat (as-su) terhadap amsyarakat. Ulama yang keliru dan salah lalu menyebarkan ilmunya yang salah, jauh besar pengaruh negatifnya ketimbang pastor yang salah. Karena para remaja tidak menemukan lagi panutan dan tidak mendapatkan tuntunan dari para ulama, maka mereka mencari tuntunan pada dunia tontonan. Mereka lebih menghormati selebritis yang hobi mengumbar aurat, ketimbang ulama. Dalam masyarakat yang sakit, masyarakat, pers, pengusaha, dan pemerintah, jauh lebih menghormati dan memuliakan Artika Sari Devi, putri Indonesia 2004, dan Taufik Hidayat, ketimbang Septinus George Saa, pemenang medali emas dalam ajang First Step to Nobel Prize in Physics, 30 Maret 2004. Fenomena ini menjadi tugas para ulama sejati untuk menelaah, memahami, dan mencarikan solusinya. Bangsa Indonesia terutama calon presidennya seyogyanya sadar bahwa mereka sedang berada dalam arus imperialisme budaya global yang dahsyat dan melenakan serta membuai kemiskinan dan kenistaan bangsa dengan narkobaisme dalam dunia hiburan. Imperialisme budaya membutuhkan idol dan sekaligus menciptakan mitos-mitos yang memang tumbuh subur dan berurat berakar dalam tradisi Barat, sejak zaman Yunani kuno.

Pembukaan acara Olimpiade di Athena baru-baru ini menunjukkan bagaimana kuatnya pengaruh mitos dalam kehidupan masyarakat Yunani ketika itu, yang kemudian juga diwarisi oleh masyarakat Barat. Berbagai mitos jauh lebih menarik dan berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Barat ketimbang fakta-fakta. Jan Bremmer, dalam buku Interpretations of Greek Mythology, mencatat, bahwa meskipun masyarakat Barat sudah tersekulerkan dan membuang hal-hal yang supranatural, namun mereka tetap memelihara cerita-cerita tertentu sebagai model perilaku dan ekspresi ideal negara mereka. Meskipun berbeda, masyarakat Barat memiliki banyak kesamaan dengan masyarakat Yunani. Sebagaimana masyarakat Yunani, mitos-mitos juga banyak menarik bagi masyarakat Barat. Kata mitos (myth) berasal dari kata Yunani kuno muthos yang asalnya berarti ucapan, dan kemudian berarti cerita oral atau tertulis. Pengaruh mitos-mitos Yunani terhadap masyarakat Barat dapat dilihat dari banyaknya istilah atau nama-nama yang diambil dari nama-nama dewa dalam mitologi Yunani, seperti Titans, Eros, Aether, Uranus, Electra, Hera, Apollo, Mars, Hermes, dan sebagainya. Apollo, yang dijadikan nama pesawat pertama Amerika Serikat ke bulan, dipuja sebagai dewa rasional, dan diasosiasikan dengan budaya dan musik. Ia digambarkan sebagai pria tampan yang memiliki banyak affair dengan laki-laki maupun wanita. Hermes, anak Zeus bos para Dewa yang bermarkas di Gunung Olympus -- juga digambarkan memiliki banyak affair, seperti Apollo. Ia pun dikenal sebagai Dewa para pencuri. Ketika ia tumbuh besar, Zeus menjadikannya sebagai utusan para dewa. Dari nama Hermes kemudian diambil istilah hermeneutika. Cerita-cerita dalam mitologi Yunani memang dipenuhi dengan unsur seksual dan perselingkuhan, baik diantara para dewa maupun antara dewa dengan manusia. Karena itu, gambaran tentang dewa oleh Iwan Fals, dalam lagunya, Manusia Setengah Dewa tidaklah terlalu tepat. Mitos-mitos itu hidup di tengah masyarakat Yunani, meskipun sebagian mereka juga mengembangkan pemikiran tentang filsafat dan ilmu pengetahuan alam. Bahkan, seringkali rasional dan mitos disatukan dalam satu figur. Seperti sosok Horace (Quintus Horatius Flaccus). Selain belajar filsafat di Academia di Athena, ia juga percaya kepada mitos-mitos. Sebelum bergabung dengan tentara Brutus melawan Antonius, ia berkunjung ke kuil Dewa Apollo di Delphi (yang gambarnya berulangkali muncul dalam acara seputar Olympiade 2004). Di masa modern, Barat pun mengembangkan mitos-mitos yang mirip dengan mitologi Yunani. Wonderwomen yang diperkenalkan oleh Charles Moulton, identik dengan cerita Diana dalam mitologi Yunani. Superman, yang tidak dapat dilemahkan kecuali dengan Kryptonite Hijau, mirip dengan kehebatan Achilles yang tidak dapat dilukai kecuali pada tumitnya. Dalam tradisi masyarakat Barat, misalnya, juga sangat terkenal legenda dan mitos tentang Santa Claus dan Suartepit, dalam kaitan dengan Perayaan Natal. Cerita ini sama sekali tidak ada kaitan dengan agama Kristen. Tetapi, toh, tetap mendominasi suasana Natal di Barat dan berbagai penjuru dunia lainnya. Sosok Santa Claus jauh lebih popular ketimbang Jesus dalam perayaan Natal. Di era globalisasi, idolisasi dan mitosisasi terus dibangun untuk berbagai tujuan dan kepentingan.

Arus besar Idolisasi dan mitosisasi Barat yang mengandung unsur-unsur narkotikisme, telah melibas nurani dan akal sehat, membuai banyak manusia dengan hiburan. Jika mau bertahan dan survive, Indonesia, dalam kondisi seperti ini, membutuhkan al-Ghazali, dan Shalahuddin al-Ayyubi yang mengembangkan peradaban berbasis ilmu dan keyakinan; bukan lagi kelas Ken Arok dan Ken Dedes yang mengembangkan peradaban berbasis keris, batu dan pesona badan. Wallahu alam. (KL, 28 Agustus 2004) Promosi Zina dan Kebebasan Berekspresi Sabtu, 04 September 2004 Eksponen Pendukung Kebebasan Berekspresi menyesalkan pelarangan film BCG. Katanya, pelarangan tidak mencerdaskan warga. Berkepresi, seolah dibolehkan promosi zina. Baca CAP Adian Husaini ke 68 Koran Utusan Melayu, yang terbit di Kuala Lumpur, edisi Ahad, 29 Agustus 2004, menurunkan satu artikel tentang kontroversi film Buruan Cium Gue (BCG). Diceritakan, kontroversi film BCG meruyak sejak dai kondang AA Gym mempersoalkan film tersebut pada 8 Agustus lalu. Bersama MUI, dan berbagai eksponen masyarakat, AA Gym secara aktif melakukan kampanye agar film itu ditarik dari peredaran. Dengan tegas, pemimpin Pesantren Darut Tauhid itu menyatakan, bahwa ajakan berciuman di luar nikah adalah sama dengan ajakan untuk berbuat zina. Argumentasi keagamaan AA Gym sangat mudah dipahami, lugas, dan bernas. Hasilnya, pada tanggal 20 Agustus 2004, film BCG ditarik. Tentu banyak yang bersyukur dengan ditariknya BCG. Namun, tampaknya ada diantara kelangan masyarakat Indonesia yang marah dan protes dengan penarikan BCG. Menyusul pelarangan tersebut, pada 25 Agustus 2004, kelompok yang menamakan diri Eksponen Pendukung Kebebasan Berekspresi (EKSPRESI), menentang dan menyesalkan pelarangan tersebut. Kelompok ini berpendapat, bahwa pelarangan tidak mencerdaskan kehidupan warga Indonesia. Mereka menyatakan: Maka kami menentang langkah sejumlah pihak, antara lain Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Majelis Ulama Indonesia, dan KH Abdullah Gymnastiar, yang menyatakan sikap mereka terhadap film Buruan Cium Gue! Melalui tekanan, bahkan ancaman, dan penghakiman sepihak, dengan mengatasnamakan "moral bangsa." EKSPRESI khawatir, pemberangusan terhadap BCG akan membuka jalan bagi kembalinya represi dan kesewenangan terhadap dunia kreativitas seperti yang sering terjadap pada zaman Orde Baru. Juga, mereka dikatakan, tak ada satu pihak pun yang boleh mengambil alih dan memonopoli kewenangan dalam melakukan penghukuman dan pemberangusan, atas nama apapun. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat.

Kami cemas, sekali alasan itu dipakai, ia bisa dimanipulasi dan disalahgunakan setiap waktu untuk memberangus kebebasan berkarya. Ini bukan saja membahayakan kebebasan berekspresi, namun pada gilirannya, juga akan membahayakan demokrasi negeri ini, begitu logika EKSPRESI. Kasus BCG mengulang kembali berbagai kasus pro-kontra sejenis dalam dunia hiburan dan soal kebebasan berekspresi di Indonesia. Sebelumnya, kasus Inul telah menyita begitu banyak pikiran warga masyarakat. Pro-kontra berlangsung hebat. Di era globalisasi, dimana proses lebaralisasi berlangsung di berbagai bidang, pro-kontra tentang batas-batas moral akan selalu terjadi. Kaum sekular-liberal dengan mudahnya berpikir, bahwa kebebasan bereskpresi adalah standar moral yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat. Jadi, kata mereka, tidak boleh ada satu pihak pun yang boleh mengambil alih dan memonopoli kewenangan dalam melakukan penghukuman dan pemberangusan, atas nama apapun. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat. Logika kaum liberal ini berasal dari prinsip humanisme sekular, yang menempatkan manusia sebagai Tuhan. Manusialah yang menentukan, dengan kebebasan individunya - asal tidak merugikan orang lain. Mereka tidak mau ada campur tangan agama dalam masalah moral. Mereka ingin mengatur diri mereka sendiri. Menurut mereka, Tuhan tidak berhak campur tangan dalam urusan kehidupan, karena manusia lebih hebat dari Tuhan. Meskipun agama jelas-jelas melarang, negara, ulama, atau kelompok apa pun, tidak boleh ikutikutan melarang. Kelompok semacam ini tidak mau belajar dari sejarah dan juga pengalaman-pengalaman negara lain. Standar moral mereka juga kacau. Pada kasus film BCG, persoalan intinya, -- bagi kaum Muslim - adalah soal zina, dimana al-Quran sudah menegaskan, agar jangan sekali-kali mendekati zina. Allah berfirman: Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan tindakan yang buruk. (QS Al-Isra:32). Rasulullah SAW bersabda: "Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim). Beliau SAW juga bersabda: "Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah SWT, semoga kalian tidak menemui zaman itu. Lima perkara itu ialah: (1) Tidak merajalela praktik perzinaan pada suatu kaum, sampai mereka berani berterus-terang melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umatumat yang lalu. (HR Ibnu Majah). Jadi, dalam pandangan Islam, zina adalah perbuatan kriminal kelas berat, dan kejahatan yang sangat serius, sehingga segala hal yang menjurus ke arah zina, yang mendekati zina, wajib ditutup. Film BCG dengan jelas sekali mengajak masyarakat untuk mendekati zina, yang dalam bahasa AA Gym dikatakan, judul film itu artinya sama dengan buruhan zinahi gue. Kaum sekular-liberal

memandang bahwa zina bukanlah kejahatan, karena tidak merugikan orang lain. Karena itu, KUHP kita warisan Belanda, juga tidak melihat zina sebagai kejahatan. Hanya mereka yang telah terikat dengan perkawinan dan kemudian melakukan hubungan sex di luar pernikahan, dapat dikatakan sebagai perzinahan. Itu pun harus ada unsur paksaan atau di bawah umur. Artinya harus ada tuntutan daripihak suami/istri (pasal 284 KUHP). Ini berbeda dengan Malaysia, yang secara juridis, masih memandang tindakan yang menjurus perzinahan, seperti khalwat, sebagai kejahatan. Sebagai misal, Enakmen Jenayah Syariah (1995) Selangor, perkara 29 (berhubung khalwat), menyatakan: (1) Mana-mana (a) orang lelaki yang didapati berada bersama dengan seorang atau lebih daripada seorang perempuan yang bukan istrinya atau mahramnya; (b) orang perempuan yang didadapi berada bersama dengan seorang atau lebih daripada seorang lelaki yang bukan suami atau mahramnya, dimana-mana tempat yang terselindung atau di dalam rumah atau bilik dalam keadaan yang boleh menimbulkan syak bahawa mereka sedang melakukan perbuatan yang tidak bermoral adalah melakukan suatu kesalahan dan apabila disabitkan boleh didenda tidak melebihi tiga ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi dua tahun atau kedua-duanya. Karena di mata Islam zina dipandang sebagai kejahatan serius, maka segala hal yang menjurus kepada zina, sudah semestinya tidak diizinkan. Termasuk kebebasan berekspresi yang mempromosikan perbuatan zina. Islam memandang bahwa zina adalah sumber kehancuran masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh al-Quran dan hadits Rasulullah saw. Di masyarakat Indonesia, wabah zina dan pembudayaan perilaku kebebasan seksual di luar nikah sebenarnya sudah sangat mengkhawatirkan. Angka aborsi (pengguguran kandungan), misalnya, tampak fantastis. Tahun 1997, WHO memperkirakan, sekitar 4,2 juta bayi digugurkan di Asia Tenggara. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan, ketika itu, Khafifah Indar Parawansa, mengutip data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dalam dua tahun terakhir (1999-2000), diperkirakan wanita yang melakukan aborsi sebanyak dua juta orang, diantaranya 750.000 remaja yang belum menikah. Dr. Biran Affandi SpOG, Ketua Umum Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI), menunjuk angka 2,3 juta, untuk aborsi di Indonesia per tahun. Meruyaknya praktik perzinaan juga sejalan dengan meruyaknya peredaran Narkoba (dadah) di Indonesia dan berbagai bisnis kemaksiatan lainnya. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari, pemerintah sendiri punya kepentingan, sehingga tidak serius memberantas kejahatan jenis ini. Bisnis narkotik per hari mencapai Rp 200 milyar, bisnis judi Rp 50 milyar, bisnis minuman beralkohol Rp 4 milyar. Omset bisnis pelacuran sekitar Rp 11 trilyun per tahun. Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat memperkirakan, perputaran uang dalam bisnis narkoba di Indonesia mencapai Rp 24 trilyun per bulan, atau Rp 800 milyar perhari. Dr. Boyke Dian Nugraha mengakui, budaya free sex ada hubungannya dengan penyebaran nilainilai Barat yang serba permissive. Film-film Barat seperti Dawson's Creek, Beverly Hills, Melrose Place, dan sejenisnya, sangat digemari penonton TV di Indonesia. Film-film itu memberi teladan kebebasan sex di kalangan remaja.

Di salah satu channel TV Malaysia, belum lama ini disiarkan program The Bachelor yang mempertontonkan, cara memilih istri bagi seorang profesional kaya. Untuk sampai ke jenjang perkawinan, dia adakan iklan bagi para wanita yang berminat menikah dengan dia. Lalu, dia seleksi satu persatu. Setelah tinggal beberapa orang calon, masing-masing diajaknya kencan (zina) secara bergantian, sampai tinggal dua orang. Terakhir, dua calon terseleksi, dan keduanya diperkenalkan kepada keluarga si laki-laki, untuk menilai, mana dari kedua wanita itu yang layak dikawini. Beberapa kali kita menelaah kasus gay di negara-negara Barat, terutama yang terjadi di AS. Kasus gay atau homoseksual memang kasus yang sangat nyata, bagaimana pergeseran moral terjadi begitu dahsyat di kalangan masyarakat sekular yang mengaku religius. Majalah The Economist edisi 28 Februari-5 Maret 2004, menyebutkan, bahwa AS adalah The most religious countries in the industrialized world. Lebih dari 80 persen lebih rakyat AS mengaku percaya kepada Tuhan. Sementara hanya 62 persen rakyat Perancis dan 52 rakyat Swedia yang percaya kepada Tuhan. Sekitar dua pertiga penduduk AS mengaku sebagai anggota Gereja, 40 persen pergi ke gereja tiap minggu, dan 43 persen mengaku sebagai Kristen yang terlahir kembali (born-again Christians). Tapi, justru di tengah masyarakat yang mengaku religius seperti itu, kasus-kasus kehancuran moral terjadi amat dahsyat. Bisa dilihat, bagaimana perilaku masyarakat saat menyaksikan Madonna dan Britney Spears serta Christina Aguilera melakukan aksi ciuman lesbian di atas panggung, saat acara penganugerahan MTV Video Music Awards di Radio City Music Hall New York, 28 Agustus 2003. Menyaksikan tontonan tersebut, para penonton malah melakukan standing applause, memberikan tepuk tangan meriah sambil berdiri, memberi penghormatan tulus ikhlas kepada ketiga artis tersebut. Sutradara film Guy Ritchie, suami Madonna, bahkan ikut bertepuk tangan dengan wajah riang gembira. Ia sama sekali tidak keberatan dengan tingkah polah istrinya. Kita bisa tanyakan kepada kelompok Ekspresi, yang mendukung peredaran film BCG diteruskan, apakah mereka juga akan setuju dengan penyiaran adegan-adegan jorok yang dilakukan oleh Madonna dan penyanyi Amerika lainnya? Apakah atas nama kebebasan berekspresi, maka semua hal harus diumbar. Mereka akan menyatakan, biarlah publik yang menilai; serahkan baik dan buruk kepada suara publik, jangan ada satu institusi apa pun yang campur tangan, untuk memberangus kebebasan berkarya dan kebebasan berekspresi. Apakah publik bisa menentukan baik dan buruk? Sementara publik sendiri sudah begitu bias dan memiliki keinginan, kepentingan, dan pola pikir yang bermacam-macam. Penyair terkenal Mohammad Iqbal, dalam satu puisinya menyatakan, bahwa bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 keledai. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-eMasyriq: Do you seek the wealth of meaning from low natured men? From ants cannot proceed the brilliance of a Solomon. Flee from the methods of democracy because human thinking can not issue out of the brains of two hundred asses.

Kita bisa katakan, tidak ada yang menghalangi kebebasan berkarya dan berekspresi. Tentu saja, selama karya itu tidak merusak moral dan agama. Sebab, kerusakan moral bangsa, adalah salah satu aspek jalan tol menuju kehancuran masyarakat dan peradaban. Peradaban itu boleh maju secara fisik, tetapi agama hancur. Dr. Syamsuddin Arif, alumni ISTAC yang sedang mengambil doktor keduanya di Frankfurt Jerman, menceritakan, sikap masyarakat Barat dan Jerman khususnya terhadap agama, bahwa sikap mereka terhadap agama cenderung apatis, masabodoh dan tidak peduli. Semakin banyak yang bersikap skeptis dan agnostis terhadap doktrin-doktrin agama. Efeknya makin sedikit yang betul-betul mengamalkan ajaran agamanya. Sebaliknya makin banyak yang memilih keluar atau bahkan menjadi ateis. Namun kemudian mereka merasakan ada sesuatu yang hilang. Mereka yang putus asa, merasa life is meaningless, memilih jalan pintas bunuh diri. Mereka yang bertahan, berusaha mengisi kekosongan jiwanya dengan cara masuk agama lain, seperti Islam, ikut pseudo-agama dan aliran-aliran sempalan, seperti theosophy, anthroposophy, Bahai, ataupun praktek-praktek meditasi spiritual seperti Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaya Yoga, dan lain sebagainya. Sebagaimana kata seorang ahli sosiologi agama, Peter L. Berger, trendnya sekarang ini adalah setiap orang akan memilih sendiri apa yang ia inginkan, sesuai dengan kebutuhan dan kesukaannya. Istilah sosiologinya patchwork religion, agama bikinan sendiri, hasil comot sana-sini. Fenomena semacam ini juga terjadi di Jerman. Menurut data REMID (Religionswissenschaftlicher Medien- und Informationsdienst e.V .), dua pertiga penduduk Jerman adalah penganut Kristen, dengan komposisi Katolik kurang lebih 26,6 juta dan Protestan 26,3 juta orang. Tetapi dari jumlah ini, hanya 12% saja yang mempercayai doktrin trinitas, dan Cuma sekitar 10% yang aktif dan rutin ke gereja. Pada tahun 1988, hampir separuh pejabat pemerintah Jerman menolak bersumpah dengan nama Tuhan. Mereka enggan mengucapkan so wahr mir Gott helfe. Menurut jajak pendapat yang dilakukan McKinsey baru-baru ini, kredibilitas gereja di Jerman merosot drastis. Setiap tahun, gereja kehilangan rata-rata 300.000 anggotanya. Juga semakin banyak yang menolak bayar sumbangan wajib untuk gereja melalui potongan gaji perbulan 8% hingga 10%. Seorang karyawan, yang tidak ingin disebutkan namanya, misalnya bilang, dia bayar ke gereja setiap bulan tidak kurang dari 100 Euro. Jika dikalikan dengan 53 juta orang, berarti dana yang masuk ke gereja bisa mencapai 5,3 Milyar Euro (kurang lebih sama dengan 53 Trilyun Rupiah). Kalau ditanya, mengapa meninggalkan gereja? Jawaban yang dilontarkan orang Jerman adalah: Viele sind von Christentum enttaeuscht (Banyak yang kecewa dengan Kristen), Religion und Kirche sind zwei verschiedene Dinge (Agama dan gereja adalah dua hal yang berbeda, maksudnya harus dipisahkan), Das Problem der Kirchen ist, dass sie schon lange keines mehr sind (Masalahnya adalah, gereja sudah lama tidak berarti apa-apa lagi). Situasi konkritnya digambarkan oleh Heiner Koch, salah seorang pengurus gereja di Koeln: Banyak orang di Jerman sekarang ini menyamakan gereja dengan toko atau supermarket. Mereka beli produk-produknya, semisal TK, SD, dan upacara-upacaranya. Sementara pendeta dan aturan

hukumnya dicuekin. Mereka bayar iuran gereja dikasir, lalu menunggu jasa pelayanan segera. Besoknya, pergi ke toko sebelah, lihat produk apa yang dijual astrologi, psikoterapi atau buddhisme. Lalu minggu depan belanja lain di toko lain. Begitulah cerita Dr. Syamsuddin Arif. Disamping faktor realitas ajaran Kristen sendiri, sebagaimana beberapa kali kita tekankan, salah satu masalah yang menyumbang perkembangan sikap emoh agama atau anti-pati agama adalah perilaku para pemuka agama sendiri. Ada satu buku menarik yang ditulis oleh A.W. Richard Sipe, seorang pendeta Katolik Roma, berjudul Sex, Priestw, and Power (1995). Buku ini menceritakan perilaku seksual di kalangan para pendeta dan pastor. Sebagai gambaran, pada 17 November 1992, TV Belanda menayangkan program 17 menit tentang pelecehan seksual oleh pemuka agama Kristen di AS. Esoknya, hanya dalam satu hari, 300 orang menelepon stasiun TV , dan menyatakan, bahwa mereka juga mengalami pelecehan seksual oleh para pendeta di Belanda. Maka, sekali lagi, disamping memberikan kritik terhadap wabah penyakit budaya sekular-liberal, kaum Muslimin perlu menyadari bahwa salah satu sumber kehancuran masyarakat adalah kerusakan ulama, yang dikenal istilah ulama su atau ulama jahat. Jika ulama rusak, maka umat pun akan kehilangan panutan. Mudah-mudahan, kasus BCG ini membawa hikmah yang mendalam bagi para ulama dan juga bagi sebagian kalangan Muslim yang terlena dan terbuai dengan syahwat dunia, dan pikiran-pikiran sekular-liberal, yang terbukti berpotensi besar menghancurkan peradaban manusia. Dalam bahasa Persia, manusia-manusia yang punya adab disebut manusia yang ba-adab, sedangkan yang tidak punya adab, disebut dengan istilah "bi-adab. (KL, 3 September 2004). Sihir Idol Senin, 30 Agustus 2004 Imperealisme budaya merebak luas dan digandrungi masyarakat Muslim. Idolisasi dan mitosisasi Barat yang telah melibas nurani dan akal sehat baca CAP Adian Husaini, MA ke-67 Sihir program-program Idol di televisi sungguh luar biasa. Ribuan orang bernafsu menjadi peserta. Jutaan orang terlibat dalam acara itu melalui penghantaran SMS. Di AS, para peserta rela menginap dua hari di lapangan terbuka, hanya untuk menunggu giliran audisi. Di Malaysia, acaraacara sejenis, seperti Malaysian Idol, Akademi Fantasia, dan Audition, mampu meraup jumlah SMS puluhan juta, melebihi jumlah penduduk Malaysia. Di Indonesia, demam acara sejenis melanda sampai ke desa-desa. T-Shirt AFI ada juga yang dipakai pekerja Indonesia di Malaysia. Ujung dari berbagai program tersebut adalah upaya penciptaan idola, bintang pujaan, khususnya dalam dunia bisnis hiburan (showbiz). Tentu, acara-acara ini merupakan lahan basah untuk meraup keuntungan para pemilik industri televisi. Iklan membanjiri acara-acara itu. Di Malaysia, acara Malaysian Idol meraup iklan dari perusahaan-perusahaan besar, seperti Telekom, Coca Cola, Revlon, dan sebagainya. Idol sudah menjadi kosa kata bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani eidolon yang berarti image atau form. The American Heritage Dictionary mengartikan kata idol sebagai An image used as an object of worship, atau one who is adored. Dari kata Idol

berkembang kata idolatry kemudian dimaknai sebagai The worship of idol, yakni penyembahan satu idola atau blind devotion, yakni, ketaatan yang membuta. Kekaguman, pemujaan, biasanya memang berujung pada ketaatan yang membabi-buta. Itu tampak dari perilaku banyak remaja yang menggilai idola pujaannya di kalangan selebritis, mulai drai perilaku mengoleksi album, foto, tanda tangan, lalu meniru-niru perilaku dan model pakaiannya. Sebagian pak turut buta ini sampai rela menyerahkan dirinya untuk diapakan saja oleh idolanya. Berbagai acara TV yang mempertemukan antara idola dan pemujanya sudah ditayangkan. Biasanya digambarkan, bagaimana histerisnya, ketika sang pemuja berjumpa dengan sang idola. Satu bentuk kegetaran hati, kebahagiaan, keterharuan, yang menurut al-Quran, harusnya dialami oleh seorang mukmin, saat berjumpa dengan Allah, ketika sang mukmin melaksanakan ibadah salat. Jadi, kata idol memang berkaitan dengan aspek pemujaan, penghormatan, dan penyembahan. Para juara dalam program-program ini akan ditampilkan sebagai idol, idola, yang dipuja, dihormati, dan mendapatkan berbagai fasilitas hidup duniawi yang menggiurkan. Pesatnya perkembangan industri showbiz membutuhkan banyak idol. Sebagaimana layaknya, dunia showbiz, sosok-sosok pujaan dibangun di atas realitas kamera atau realitas semu, yang sifatnya temporer, sesuai dengan kebutuhan dunia bisnis hiburan. Di atas realitas inilah dibangun mitos-mitos. Mitos tentang idol, mitos tentang sang pujaan, mitos tentang sang bintang, yang cantik/tampan, berbakat menyanyi, berakting, dan beruntung. Demam acara Idol di berbagai negara merupakan gambaran yang tepat dari sebuah proses globalisasi di bidang fun atau hiburan. Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk imperialisme budaya (cultural imperialism) Barat terhadap budaya-budaya lain. Prof. Amer al-Roubaie, pakar Globalisasi di International Institute of Islamic Thought and CivilizationInternational Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), mencatat: It has been widely acknowledged that the present waves of global culture trends are mainly of Western products, spreads across the world by the advancement in electronic technologies and various form of media and communication systems. Terms such as cultural imperialism, media imperialism, cultural cleansing, cultural dependency and electronic colonialism are used to describe the new global culture as well as its implications on non-Western societies. Hegemoni Amerika dalam dunia hiburan dan pembentukan budaya global, dapat dikatakan sebagai satu bentuk American Cultural Imperialism. Industri film Amerika dan berbagai stasiun TV-nya mendominasi pembentukan budaya global. Dan dibalik itu semua adalah mempromosikan kepentingan-kepentingan Amerika dengan mengekspor modernitas dan mempropagandakan konsumerisme. Globalisasi adalah satu masyarakat post-kapitalis yang mendorong kapitalisme dengan mempromosikan sejumlah karakteristik dari kapitalisme. Sebagaimana dikatakan Holton: Americanization thesis is that it is capitalism rather than Americanization that is becoming globalized. Itulah yang sebenarnya sedang menimpa umat manusia di seluruh pelosok dunia, Sebuah proses

imperialisme budaya yang dilakukan budaya Barat, yang akhirnya juga tidak lepas dari kepentingan (interests) dari negara-negara kuat. Dalam bukunya, Ideologies of Globalization: Contending visions of a New World Order, Mark Rupert menulis satu bab berjudul The Hegemonic Project of Liberal Globalization. Ia mencatat, bahwa globalisasi adalah proyek politik dari kekuatan sosial dominan dan akan selalu problematis dan mendapat tentangan: There is no reason to believe that liberal globalization is ineluctable it has been the political project of an identifiable constellation of dominant social forces and it has been, and continues to be, politically problematic and contestable. Berbagai kajian tentang fenomena globalisasi telah banyak diungkapkan. Namun, kuatnya arus konsumerisme, hedonisme, dan narkotikisme yang dijejalkan kepada masyarakat dunia melalui berbagai acara-acara hiburan, memang sulit dibendung. Sihir-sihir dunia showbiz begitu menawan dan menyapu akal sehat. Manusia terus dijejali cara berpikir pragmatis dan hedonis, untuk melahap apa saja, menikmati hidup, tanpa peduli apakah cara yang dilakukannya menghancurkan nilai-nilai akhlak dan agama. Jika liberalisasi di bidang moral sudah berlangsung, maka sebagian kalangan akan mencoba-coba mencari legitimasi dari agama, sebagaimana dalam kasus homoseksual di Barat. Homoseksualitas yang berabad-abad dicap sebagai praktik kotor dan maksiat, oleh agama-agama, justru kemudian diakui sebagai praktik yang manusiawi dan harus dihormati sebagai bagian dari penghormatan Hak Asasi Manusia. Perkembangan kasus homoseksualitas di Barat sungguh sangat mengerikan. Pemimpin-pemimpin Gereja semakin terdesak opininya, karena sebagian pemuka Kristen dan cendekiawanannya pun sudah mendukung dan menjadi pelaku homoseksual atau lesbianisme. Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen juga berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan oleh Gereja. Tetapi, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual kemudian membuat tafsiran lain yang melegitimasi praktik homoseksual, juga dengan dalil-dalil Bible. Logika kaum sekular di Barat yang enggan berpegang kepada agamanya ini sebenarnya sederhana. Karena homoseksual sudah menjadi kenyataan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Barat, maka untuk memberikan legitimasinya, tidak jarang mereka harus merekayasa ajaran agama mereka agar sesuai dengan tuntutan zaman, agar Kristen tetap relevan untuk kaum homoseksual; agar Kristen tidak dicap kuno, dan dapat diterima oleh masyarakat modern, sebab homoseksual sudah dipersepsikan oleh para pendukungnya sebagai gaya hidup modern. Maka, dunia Kristen semakin terpukul ketika media massa membongkar ribuan kasus pedopilia (pelecehan seksual terhadap anakanak) yang dilakukan oleh para tokoh Gereja. Seolah-olah kemunafikan itu terbongkar, dimana tokohtokoh agama yang tidak kawin dan punya hak memberikan pengampunan dosa, ternyata melakukan tindakan keji dengan menzinahi anak-anak. Pada 27 Februari 2004, The Associated Press wire menyiarkan satu tulisan berjudul Two Studies Cite Child Sex Abuse by 4 Percent of Priests, oleh Laurie Goodstein, yang menyebutkan, bahwa pelecehan seksual terhadap anak-anak dilakukan oleh 4 persen pastur Gereja Katolik. Setelah tahun 1970, 1 dari 10 pastur akhirnya tertuduh melakukan pelecehan seksual itu. Dari tahun 1950 sampai 2002, sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh 4392 pastur. Studi ini dilakukan oleh The American Catholic bishops tahun 2002 sebagai

respon terhadap tuduhan adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para tokoh Gereja. Fenomena Idolisasi yang merebak luas dan digandrungi oleh masyarakat Muslim, seharusnya menjadi refleksi serius dari para ulama. Berkaca pada fenomena dalam masyarakat Barat, maka sumber masalah ini sebenarnya terletak pada diri kaum Muslimin sendiri, yaitu rusaknya ilmu dan ulama. Ulama sudah meninggalkan tugasnya, yaitu menjaga aqidah umat, dan tidak lagi peduli dengan pengembangan ilmu. Banyak ulama yang terjun ke politik, dan melupakan tugasnya, bahkan ada yang perilakunya dalam dunia politik, sama saja dengan kaum juhala. Atau, banyak juga orang yang berperilaku tidak baik, dan berilmu dangkal dalam agama, tetapi sudah dijuluki ulama. Padahal, kata ulama, artinya adalah orang yang sangat tinggi ilmunya. Harusnya, orang dijuluki ulama, karena ilmunya, bukan karena gelar KH yang kadang kala dipasang sendiri pada kartu namanya. Seharusnya masyarakat tidak terburu-buru mengakui seseorang sebagai Kyai Haji sebelum terbukti, orang itu ilmunya mumpuni dan akhlaknya terpuji. Rasulullah saw sangat mengkhawatirkan dampak dari perilaku ulama jahat (as-su) terhadap amsyarakat. Ulama yang keliru dan salah lalu menyebarkan ilmunya yang salah, jauh besar pengaruh negatifnya ketimbang pastor yang salah. Karena para remaja tidak menemukan lagi panutan dan tidak mendapatkan tuntunan dari para ulama, maka mereka mencari tuntunan pada dunia tontonan. Mereka lebih menghormati selebritis yang hobi mengumbar aurat, ketimbang ulama. Dalam masyarakat yang sakit, masyarakat, pers, pengusaha, dan pemerintah, jauh lebih menghormati dan memuliakan Artika Sari Devi, putri Indonesia 2004, dan Taufik Hidayat, ketimbang Septinus George Saa, pemenang medali emas dalam ajang First Step to Nobel Prize in Physics, 30 Maret 2004. Fenomena ini menjadi tugas para ulama sejati untuk menelaah, memahami, dan mencarikan solusinya. Bangsa Indonesia terutama calon presidennya seyogyanya sadar bahwa mereka sedang berada dalam arus imperialisme budaya global yang dahsyat dan melenakan serta membuai kemiskinan dan kenistaan bangsa dengan narkobaisme dalam dunia hiburan. Imperialisme budaya membutuhkan idol dan sekaligus menciptakan mitos-mitos yang memang tumbuh subur dan berurat berakar dalam tradisi Barat, sejak zaman Yunani kuno. Pembukaan acara Olimpiade di Athena baru-baru ini menunjukkan bagaimana kuatnya pengaruh mitos dalam kehidupan masyarakat Yunani ketika itu, yang kemudian juga diwarisi oleh masyarakat Barat. Berbagai mitos jauh lebih menarik dan berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Barat ketimbang fakta-fakta. Jan Bremmer, dalam buku Interpretations of Greek Mythology, mencatat, bahwa meskipun masyarakat Barat sudah tersekulerkan dan membuang hal-hal yang supranatural, namun mereka tetap memelihara cerita-cerita tertentu sebagai model perilaku dan ekspresi ideal negara mereka. Meskipun berbeda, masyarakat Barat memiliki banyak kesamaan dengan masyarakat Yunani. Sebagaimana masyarakat Yunani, mitos-mitos juga banyak menarik bagi masyarakat Barat. Kata mitos (myth) berasal dari kata Yunani kuno muthos yang asalnya berarti ucapan, dan kemudian berarti cerita oral atau tertulis. Pengaruh mitos-mitos Yunani terhadap masyarakat Barat

dapat dilihat dari banyaknya istilah atau nama-nama yang diambil dari nama-nama dewa dalam mitologi Yunani, seperti Titans, Eros, Aether, Uranus, Electra, Hera, Apollo, Mars, Hermes, dan sebagainya. Apollo, yang dijadikan nama pesawat pertama Amerika Serikat ke bulan, dipuja sebagai dewa rasional, dan diasosiasikan dengan budaya dan musik. Ia digambarkan sebagai pria tampan yang memiliki banyak affair dengan laki-laki maupun wanita. Hermes, anak Zeus bos para Dewa yang bermarkas di Gunung Olympus -- juga digambarkan memiliki banyak affair, seperti Apollo. Ia pun dikenal sebagai Dewa para pencuri. Ketika ia tumbuh besar, Zeus menjadikannya sebagai utusan para dewa. Dari nama Hermes kemudian diambil istilah hermeneutika. Cerita-cerita dalam mitologi Yunani memang dipenuhi dengan unsur seksual dan perselingkuhan, baik diantara para dewa maupun antara dewa dengan manusia. Karena itu, gambaran tentang dewa oleh Iwan Fals, dalam lagunya, Manusia Setengah Dewa tidaklah terlalu tepat. Mitos-mitos itu hidup di tengah masyarakat Yunani, meskipun sebagian mereka juga mengembangkan pemikiran tentang filsafat dan ilmu pengetahuan alam. Bahkan, seringkali rasional dan mitos disatukan dalam satu figur. Seperti sosok Horace (Quintus Horatius Flaccus). Selain belajar filsafat di Academia di Athena, ia juga percaya kepada mitos-mitos. Sebelum bergabung dengan tentara Brutus melawan Antonius, ia berkunjung ke kuil Dewa Apollo di Delphi (yang gambarnya berulangkali muncul dalam acara seputar Olympiade 2004). Di masa modern, Barat pun mengembangkan mitos-mitos yang mirip dengan mitologi Yunani. Wonderwomen yang diperkenalkan oleh Charles Moulton, identik dengan cerita Diana dalam mitologi Yunani. Superman, yang tidak dapat dilemahkan kecuali dengan Kryptonite Hijau, mirip dengan kehebatan Achilles yang tidak dapat dilukai kecuali pada tumitnya. Dalam tradisi masyarakat Barat, misalnya, juga sangat terkenal legenda dan mitos tentang Santa Claus dan Suartepit, dalam kaitan dengan Perayaan Natal. Cerita ini sama sekali tidak ada kaitan dengan agama Kristen. Tetapi, toh, tetap mendominasi suasana Natal di Barat dan berbagai penjuru dunia lainnya. Sosok Santa Claus jauh lebih popular ketimbang Jesus dalam perayaan Natal. Di era globalisasi, idolisasi dan mitosisasi terus dibangun untuk berbagai tujuan dan kepentingan. Arus besar Idolisasi dan mitosisasi Barat yang mengandung unsur-unsur narkotikisme, telah melibas nurani dan akal sehat, membuai banyak manusia dengan hiburan. Jika mau bertahan dan survive, Indonesia, dalam kondisi seperti ini, membutuhkan al-Ghazali, dan Shalahuddin al-Ayyubi yang mengembangkan peradaban berbasis ilmu dan keyakinan; bukan lagi kelas Ken Arok dan Ken Dedes yang mengembangkan peradaban berbasis keris, batu dan pesona badan. Wallahu alam. (KL, 28 Agustus 2004). Harga Nyawa Manusia dalam Tradisi Kolonialisme Sabtu, 11 September 2004

Huntington meminta Barat melakukan "serangan dini" dan "intervensi defensif" menghadapi "Islam". Sebutan teroris adalah doktrin ofensif Barat menghadapi Islam. Baca CAP Adian Husaini, MA ke-69 Bartolome de Las Casas (1474-1567), seorang pastor Ordo Dominican, menceritakan perilaku penjajah Kristen Spanyol terhadap penduduk asli Amerika, saat mereka menjajah wilayah itu. Kata de Las Casas, mereka membantai dengan sangat sadis siapa saja yang ditemui, tanpa peduli apakah penduduk itu wanita hamil, anak-anak atau orang tua. Para penjajah itu juga membuat aturan, jika ada seorang penjajah Kristen terbunuh, maka sebagai balasannya, 100 orang Indian juga harus dibunuh. (The Christians, with their horses and swords and lances, began to slaughter and practice strange cruelties among them. They penetrated into the country and spared neither children nor the aged, nor pregnant women, nor those in childbirth, all of whom they ran through the body and lacerated, as though they were assaulting so many lambs herded into the sheepfold and because sometimes, though rarely, the Indians killed a few Christians for just cause, they made a law among themselves that for one Christian whom the Indians might kill, the Christians should kill a hundred Indians). (Lihat, Philip J. Adler, World Civilization, hal 311). Betapa mahalnya, harga nyawa seorang Kristen dibandingkan dengan harga nyawa orang Indian. Satu nyawa orang Kristen, harus dibalas dengan 100 nyawa orang Indian. Tetapi, hal itu bukan hanya terjadi pada nyawa orang Indian. Nyawa orang-orang Aborigin, penduduk asli Australia, dan juga orang-orang Afrika juga diperlakukan sama. Murah harganya dimata para penjajah. Sejarah perdagangan budak-budak Afrika sangat mengenaskan. Dalam lintasan sejarah Afrika, tidak ada yang lebih kontroversial selain kasus perdagangan budak trans-atlantik dari Afrika ke Barat. J.D. Fage, dalam bukunya, A History of Africa (1988), menyebutkan, bahwa dalam tempo 220 tahun (1650-1870), sekitar 10 juta manusia, diekspor sebagai budak dari Afrika ke Dunia Baru. Bagaimana sekarang? Apakah logika kaum kolonial Kristen Spanyol itu masih diterapkan di muka bumi? Pada 8 September 2004, Kantor Berita Associated Press (AP) mengumumkan bahwa jumlah tentara AS yang mati di Iraq sudah mencapai 1.003 orang, sejak Perang itu dilancarkan Maret tahun 2003. Jumlah itu sudah termasuk 3 warga sipil AS yang bekerja untuk tentara AS. Segera setelah itu, Menteri Pertahanan AS, Donald H. Rumsfeld mengingatkan, agar musuh-musuh AS tidak underestimate terhadap kemauan bangsa AS dan sekutu-sekutunya untuk menimbulkan penderitaan di Iraq atau di mana saja. Ia memperingatkan, bahwa musuh-musuh AS terlalu memandang rendah bangsa AS dan sekutu-sekutunya. Kata Rumsfeld: "The progress has prompted a backlash, in effect, from those who hope that at some point we might conclude that the pain and the cost of this fight isn't worth it. Well, our enemies have underestimated our country, our coalition. They have failed to understand the character of our people. Pemerintahan Bush, menurut AP, telah lama mengkaitkan konflik di Iraq dengan peperangan melawan terorisme. Padahal, Komisi penyelidik peristiwa 11 September 2001, telah menyimpulkan, bahwa antara Iraq dan al-Qaeda tidak mempunyai hubungan kolaboratif sebelum 11 September 2001.

Apapun, setelah itu, tentara-tentara AS di Iraq terus melakukan serbuan-serbuan dan pembunuhanpembunuhan terhadap rakyat Iraq. Dan pada 9 September 2004, AP melaporkan, bahwa jumlah penduduk Iraq yang mati diperkirakan antara 10.000-30.000 orang, sejak invasi AS ke Iraq tahun lalu. Inilah yang barangkali dikatakan Rumsfeld, musuh-musuh AS gagal memahami bangsa AS, bahwa jika satu nyawa orang AS mati, maka harus dibalas dengan tebusan berpuluh kali lipat. Tidak berbeda filosofinya dengan apa yang dilakukan penjajah Kristen Spanyol terhadap kaum Indian dulu. Pesan Rumsfeld sangat jelas, jangan coba-coba melawan kehendak dan titah negara adikuasa itu. Cara berpikir serupa bisa disimak dalam kasus pembunuhan terhadap rakyat Palestina, dimana AS masih terus memperlakukan Israel anak emasnya. Sejak meletusnya intifadah ke-2, pada 28 September 2000, jumlah warga Palestina yang terkorban sudah mencapai 3250 orang. Sementara jumlah kaum Yahudi yang mati sekitar 800 orang. Jika berlaku aksi serangan terhadap warga Yahudi, maka Israel akan melakukan serangan balasan yang membunuh berkali-kali lipat jumlah warga Yahudi yang terbunuh. Sebuah pola pikir yang juga sama dengan yang digunakan penjajah Kristen Spanyol terhadap kaum Indian. Kasus Iraq, yang diawali invasi AS pada Maret 2003 sudah berlangsung hampir dua tahun. Pada 11 September 2004 ini, peristiwa WTC juga sudah memasuki tahun ketiga. Pada kasus WTC, logika kolonial juga diberlakukan. Untuk nyawa sekitar 2.700 orang AS, maka harus ditebus dengan puluhan ribu nyawa orang Afghanistan dan Iraq. Koran Tempo (12 November 2001), menurunkan berita berjudul Noam Chomsky: Lebih Jahat dari Serangan Teroris. Profesor linguistik di MIT itu menyimpukan: Pengeboman Afghanistan adalah kejahatan yang lebih besar dari pada teror 11 September. Dalam Perang Vietnam, logika kolonial Kristen Spanyol juga diterapkan. Jeremy Isaacs dan Taylor Downing, dalam buku Cold War menceritakan, menyusul terbunuhnya beberapa tentara AS di Vietnam pada 7 Februari 1965, Presiden AS segera memerintahkan aksi serangan balasan yang sangat dahsyat. Senjata kimia dan pemusnah massal yang luar biasa ganasnya terhadap manusia dan alam digunakan untuk mengalahkan musuh. Dalam upaya untuk memaksa Vietnam Utara duduk di meja perundingan, AS menggunakan bahan peledak berkekuatan tinggi, bom napalm, dan cluster bombs. AS juga menjatuhkan 18 juta gallon herbisida yang menghancurkan hutan tropis dan area persawahan. Tak hanya itu, senjata kimia yang sangat beracun, bernama Agent Orange, pun digunakan. Tanpa peduli, kota-kota dan hutan dihancurkan untuk meraih kemenangan. Tentang hal ini, seorang pejabat AS menyatakan: We had to destroy the town in order to save it. (Kita harus menghancurkan kota ini untuk menyelamatkannya). Masalah Perang Vietnam juga menyaksikan satu tragedi dalam sejarah AS, yaitu terbunuhnya Presiden John F. Kennedy pada 22 November 1963. Robert Mc Namara dalam memoarnya percaya bahwa jika Kennedy tidak dibunuh, maka AS tidak akan terlibat dalam Perang Vietnam. Fim JFK garapan Oliver Stone juga menggambarkan kaitan antara pembunuhan Kennedy dengan penolakannya terhadap keterlibatan AS dalam Perang Vietnam.

Murahnya harga nyawa penduduk jajahan bisa disimak dalam berbagai kasus. Di Afghanistan, pada Juli 2002, 48 warga sipil mati dan 117 luka-luka, akibat serangan bom pesawat tempur AS. Ketika itu, warga sipil Afghan tersebut sedang mengadakan pesta perkawinan. Pada Mei 2004, peristiwa serupa terjadi lagi di Iraq. Lebih dari 40 warga sipil yang sedang mengadakan pesta perkawinan dihujani bom oleh pesawat AS. Tidak ada pertanggungjawaban apa-apa atas peristiwa itu. Dan AS dengan entengnya menyatakan, bahwa tindakan pembunuhan itu dilakukan sebagai serangan balasan, karena pesawat AS dihujani tembakan. Namun, dalam dunia mafia, tindakan balas dendam yang lebih dahsyat itu sebenarnya bukan hal aneh. Tindakan itu dilakukan untuk membuat kapok, agar lawan tidak coba-coba untuk melawan lagi. Dalam bukunya, Rouge State: A Guide to the Worlds Only Superpower, Mantan Pejabat Deplu AS, William Blum mengungkap studi internal US Strategic Command tentang Essentials of Post-Cold War Deterrence. Dikatakan, bahwa tindakan AS yang kadang kelihatan out of control, irasional, dan pendendam, bisa jadi menguntungkan untuk menciptakan rasa takut dan keraguan pada musuhmusuhnya. (That the US may become irrational and vindictive if its vital interests are attacked should be a part of national persona we project to all adversaries). Seperti diketahui, kasus Iraq yang terus berlarut-larut merupakan salah satu peristiwa yang begitu banyak memunculkan protes di seluruh penjuru dunia. Jutaan manusia di negara-negara Barat sendiri bangkit menentang penyerbuan dan pendudukan AS terhadap Iraq. Tanpa menafikan, bahwa Saddam Hussein juga telah melakukan kekejaman yang luar biasa terhadap rakyatnya, maka serbuan dan pendudukan AS terhadap Iraq merupakan akhir dari era Pax Americana. Tatanan dunia yang diatur oleh negara-negara Barat itu sendiri melalui PBB dan hukum internasional telah dihancurkan sendiri oleh AS. Skenario Huntington Jika kita merenungkan kembali apa yang terjadi sekarang ini di berbagai belahan dunia - di Palestina, Chechnya, Rusia, Filipina Selatan, Iraq, Arab Saudi, Indonesia, dan sebagainya - ternyata mirip sekali dengan apa yang berulangkali dinyatakan oleh Samuel P. Huntington dalam berbagai tulisannya. Juga, sebuah analisis yang dibuat oleh Michele Steinberg, pada 26 Oktober 2001, berjudul Wolfowitz Cabal is an Enemy Within U.S. di Executive Intelligence Review, yang menganalisis, Perang Iraq adalah batu skenario menuju Perang Global yang menghadapkan Islam dengan Barat. (But Iraq is just another stepping stone to turning the anti-terrorist war into a full-blown clash of civilizations, where the Islamic religion would become the enemy image in a New Cold War). Apa yang terjadi sekarang adalah sebuah skenario yang menyeret dunia pada dua kutub yang berhadapan: Barat dengan Islam. Kaum Muslim perlu memahami dan menyadari situasi dan pola baru dalam hubungan internasional. Kaum Muslim sangat perlu berhati-hati untuk tidak terjebak dalam skenario ini. Kita perlu memahami, bagaimana dampak Tragedi WTC dan Bom Bali terhadap kaum Muslim di Palestina, Kashmir, Chechnya, Moro, Indonesia, Malaysia, dan sebagainya. Aksi-aksi pengeboman yang memakan korban rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa - jika benar dilakukan sebagian elemen Muslim - terbukti justru menyulitkan posisi kaum Muslim dalam perjuangan melawan pemurtadan dan kezaliman global. Memang, dalam soal pandangan hidup, secara konsepsual, terjadi

perbedaan fundamental antara peradaban Islam dengan peradaban Barat, tetapi hal ini bukan berarti lalu kaum Muslim boleh malakukan aksi fisik kapan saja terhadap Barat. Dunia Islam, misalnya, hingga kini menolak tekanan Barat untuk memasukkan para pejuang Palestina ke dalam daftar teroris. Sebab, faktanya, mereka merupakan korban terorisme Zionis Israel. Ketika penjajah Belanda menduduki Indonesia, para ulama bersepakat mengeluarkan Resolusi Jihad dan Soekarno membentuk kamp kaum radikal. Kaum Muslim Indonesia, misalnya, saat ini menghadapi imperialisme budaya, ekonomi, politik, dan pemikiran yang sangat dahsyat. Maka, jalan perjuangan yang terbaik untuk memerdekakan negeri Muslim terbesar ini adalah melalui perjuangan ilmu, budaya, ekonomi, dan politik. Kecuali, jika kaum Muslim diserang secara fisik seperti di Maluku dan Poso. Memahami kondisi dan situasi memerlukan pengorbanan yang besar. Itulah perjuangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Itulah yang dilakukan oleh Barat dalam menyusun skenario tata dunia baru pasca Perang Dingin. Mereka berjuang dengan ilmu. Mereka kerahkan ilmuwan-ilmuwan untuk memasuki babak baru dalam situasi baru pasca Perang Dingin. Huntington, misalnya, disamping seorang guru besar ilmu politik di Harvard University, Huntington juga merupakan penasehat kawakan dalam politik luar negeri AS. Dalam tahun 1977-1978 ia menjabat sebagai koordinator Perencanaan Keamanan untuk Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) di Gedung Putih. Diantara buku-bukunya adalah The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (1957), The Common Defense: Strategic Programs in National Politics (1961), Political Order in Changing Societies (1968), American Politics: The Promise of Disharmony (1981), The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996), dan Who Are We? The Challenges to America's National Identity (2004). Bukunya yang sangat terkenal dan kontroversial adalah The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Buku ini sudah mengarah untuk menempatkan Islam sebagai tantangan terpenting bagi peradaban Barat, pasca runtuhnya komunisme. Hal itu ditekankan lagi saat berdialog dengan Anthony Giddden, pada akhir musim semi tahun 2003, bahwa militan Islam adalah ancaman terhadap Barat. (We must distinguish between militant Islam and Islam in general, but militant Islam is clearly a threat to the West-through terrorists and rogue states that are trying to develop nuclear weapons, and through a variety of other ways). Dalam menghadapi apa yang disebut sebagai militan Islam itu, Huntington mendukung langkah dilakukannya tindakan preemptive strike oleh AS dan Barat. Ia menekankan lagi, bahwa musuh utama Barat adalah Islam militant. (I would add that a strategy which allows for preemptive war against urgent, immediate and serious threats is absolutely essential for the US and other Western powers in this period. Our enemies-primarily the militant Islam, but also other groups-cannot be deterred, that much is obvious, so it is essential-if they are preparing an attack against us-that we attack first). Nasehat Huntington itu terbukti efektif, dan telah diaplikasikan oleh pemerintah AS. Pada awal

Juni 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola peperangan melawan musuh. Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh baru yang diberi nama teroris - AS menggunakan pola preemptive strike dan defensive intervention. Jadi, dalam menghadapi militan Islam, atau negara-negara musuh, yang memiliki senjata kimia, biologis, dan nuklir, AS akan merasa leluasa menyerang mereka. Dari kasus doktrin preemptive strike ini tampak bagaimana pola pikir bahaya Islam yang dikembangkan ilmuwan - dan sekaligus penasehat politik Barat - seperti Huntington, berjalan cukup efektif. Dengan doktrin itu, AS dapat melakukan berbagai serangan ke sasaran langsung, yang dikehendaki, meskipun tanpa melalui persetujuan atau mandat PBB. Pola pikir Huntington, bahwa Islam lebih berbahaya dari komunis juga tampak mewarnai kebijakan politik dan militer AS tersebut. Padahal, jika dipikirkan dengan serius, manakah yang lebih hebat kekuatannya, apakah Usamah bin Ladin atau Uni Soviet? Mengapa untuk menghadapi negara adikuasa yang memiliki kekuatan persenjataan hebat setanding dengan AS, hanya digunakan kebijakan containtment dan deterrence, sedangkan untuk menghadapi militan Islam harus digunakan strategi preemptive strike? Di Majalah Newsweek, Special Davos Edition, December 2001-February 2002, Francis Fukuyama juga mencatat: Radical Islamist, intolerant of all diversity and dissent, have become the fascists of our day. That is what we are fighting against. Jika militan Islam, fundamentalis Islam dan radikal Islam ditempatkan sebagai musuh Barat yang paling utama saat ini, sehingga dikatakan Fukuyama, mereka harus diperangi, maka tentunya perlu didefinisikan terlebih dahulu, siapakah yang disebut sebagai militan, fundamentalis atau radikal itu? Dan apakah dunia bisa secara fair dan adil menerapkan definisi itu untuk semua jenis manusia, bangsa, agama, dan negara? Bahwa, semua yang radikal, baik Kristen, Yahudi, Hindu, atau Islam, harus ditumpas. Apakah begitu keadaannya? Mengapa sekarang hanya Islam yang diperangi? Mengapa kaum fundamentalis Kristen yang merajalela di AS tidak ditumpas? Bernard Lewis dalam bukunya The Crisis of Islam menyatakan, bahwa fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya: Islam as such is not enemy of the West But a significant sumber of Muslims notably but not exclusively those whom we call fundamentalists are hostile and dangerous, not because we need enemy but because they do. Lalu ia, bahwa fundamentalis Islam adalah mereka yang anti-Barat dan memandang Barat sebagai sumber kejahatan yang merusak masyarakat Muslim. Fundamentalists are anti-Western in the sense that they regard the West as the source of the evil that is corroding Muslim society. Definisi Lewis ini tentu saja sangat bias dan fleksibel untuk diterapkan bagi siapa saja yang mengkritik Barat. Padahal, faktanya, Barat memang banyak terlibat dalam berbagai aksi kekerasan dan teror serta memberikan dukungan terhadap rezim-rezim represif dan otoriter di berbagai negara. Begitu banyak cendekiawan yang mengkritik sejarah peradaban dan politik Barat. Mengapa hingga kini, Barat tidak mau menyelesaikan masalah Palestina? Bukankah secara jelas, Israel berulangkali

melanggar hukum internasional? Bukankah sumber dari masalah di Iraq saat ini adalah serangan dan pendudukan AS? Karena itu, William Blum, memberi nasehat kepada pemerintah AS, jika ingin menghentikan kemelut di dunia internasional. Kata Blum, jika ia menjadi Presiden AS, ia sanggup menghentikan aksi terorisme terhadap AS hanya dalam beberapa hari. Dan itu bersifat permanen. Caranya, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS telah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Lalu, Blum - andai jadi Presiden AS - akan memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 milyar USD per tahun. Itulah yang akan dikerjakan Blum pada tiga hari pertamanya di Gedung Putih. Tapi, katanya, pada hari keempat, ia akan dibunuh. On the fourth day, Id be assassinated. Wallahu alam. (KL, 9 September 2004) Ramalan Fukuyama dan Perzinahan di Turki Jumat, 17 September 2004 Barat khawatir Turki memutuskan zinah sebagai kejahatan. Jika mereka yakin ideologi sekulerliberal dan kebebasan, mengapa umat Islam tidak boleh yakin akan hukum agamanya? Baca CAP Adian Husaini ke-69 Harian New Straits Times edisi 15 September 2004, memuat berita berjudul Turkish women denounce plans to criminalise adultary. Wanita-wanita Turki mengecam rencana untuk mengkriminalkan perbuatan zina. Diceritakan, bahwa parlemen Turki sedang mendiskusikan satu Rancangan Undang-undang yang diajukan pemerintah yang isinya menetapkan perzinahan sebagai satu bentuk kejahatan kriminal. Menurut PM Turki, Recep Tayyip Erdogan, Undang-undang itu dimaksudkan untuk melindungi keluarga dan istri-istri dari perselingkuhan/perzinahan suaminya. RUU itu kemudian menimbulkan kontroversi hebat. Yang menarik, bukan kalangan dalam Turki saja yang ribut, tetapi juga pejabat-pejabat Uni Eropa. Pejabat perluasan Uni Eropa, Guenter Verheugen, menyatakan, bahwa sikap anti perzinahan dapat menciptakan imej bahwa UU di Turki mulai mendekati hukum Islam. Bahkan, Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw menyatakan, bahwa jika proposal itu disahkan sebagai Undang-undang, maka akan menciptakan kesulitan bagi Turki. If this proposal, which I gather is only a proposal in respect of adultary, were to become firmly fixed into law, than that would create difficulties for Turkey). Setelah mengalami perdebatan dan tekanan dari berbagai pihak, pemerintahan Turki akhirnya membatalkan RUU tersebut.

Kasus di Turki ini menarik untuk disimak, bagaimana masalah moral yang menjadi urusan internal dalam negeri satu negeri muslim ternyata mendapat perhatian besar dari tokoh-tokoh Barat. Bahkan, dapat berdampak pada masalah politik yang serius. Mengapa orang-orang Barat (Eropa) itu begitu khawatir jika rakyat Turki, melalui parlemen mereka, memutuskan bahwa perzinahan adalah salah satu bentuk kejahatan? Ada apa dibalik semua ini? Apakah karena mereka merupakan pelanggan tetap pelacur-pelacur Turki, sehingga dengan diundangkannya larangan perzinahan, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk melampiaskan syahwat mereka? Mengapa mereka tidak membiarkan saja, sesuai jargon demokrasi liberal mereka, rakyat Turki untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk mereka? Mengapa langsung saja mereka mengingatkan, bahwa undang-undang itu akan mendekatkan Turki kepada Islam? Mengapa? Banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan. Tetapi, menarik untuk mencermati masalah ini dari sudut konflik peradaban dan menelaah kembali ramalan-ramalan ilmuwan terkenal Francis Fukuyama yang ditulis dalam bukunya The End of History and The Last Man. Kasus Turki ini menunjukkan, bahwa ramalan-ramalan Fukuyama, yang kadang dipopulerkan sebagai teori, tentang akhir sejarah umat manusia adalah tidak tidak benar. Sebagaimana diketahui, Fukuyama merupakan ilmuwan yang sangat terkenal setelah Era Perang Dingin, bersamaan dengan nama Samuel P. Huntington. Sebagaimana Huntington yang menulis bukunya setelah perdebatan panjang tentang artikelnya The Clash of Civilizations? di Jurnal Foreign Affairs (summer 1993), buku Fukuyama itu juga merupakan pengembangan dari artikelnya The End of History? di jurnal The National Interest (summer 1989). Dalam makalahnya tersebut, Fukuyama, mencatat, bahwa setelah Barat menaklukkan rival ideologisnya -- monarkhi herediter, fasisme, dan komunisme dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi, bahwa demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi ideologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan. Dan ini sekaligus sebuah akhir sejarah (the end of history). (A remarkable consensus concerning the legitimacy of liberal democracy as a system of government had emerged throughout the world over the past few years, as it conquered rival ideologies like hereditary monarchy, fascism, and most recently communism. More than that, however, I argued that liberal democracy may constitute the end point of mankinds ideological evolution and the final form of human government, and as such constituted the end of history.) Dalam bukunya, Fukuyama memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem demokrasi-liberal, sehingga ini seolah-olah menjadi indikasi, bahwa - sesuai Ramalan Hegel - maka akhir sejarah umat manusia adalah kesepakatan mereka untuk menerima Demokrasi Liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara, AS, Swiss, dan Perancis, yang memilih demokrasi liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13 negara; tahun 1919, 25 negara, 1940, 13 negara; 1960, 36 negara; 1975, 30 negara; dan 1990, 61 negara. Pada akhir sejarah, kata Fukuyama, tidak ada lagi tantangan ideologis yang serius terhadap Demokrasi Liberal. Di masa lalu, manusia menolak Demokrasi Liberal sebab mereka percaya bahwa Demokrasi Liberal adalah inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem lainnya. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan Demokrasi

Liberal. Ia menulis: At the end of history, there are no serious ideological competitors left to Liberal Democracy. In the past, people rejected Liberal Democracy because they believed that it was inferior to monarchy, aristocracy, theocracy, fascism, communist totalitarianism, or whatever ideology they happenned to believed in, But now, outside the Islamic world, there appears to be a general consensus that accpets liberal democracys claims to be the most rational form of government, that is, the state that realizes most fully either rational desire or rational recognition. Pendapat Fukuyama bahwa pada masa akhir sejarah tidak ada tantangan serius terhadap Demokrasi Liberal dan umat manusia - di luar dunia Islam - telah terjadi konsensus untuk menerapkan Demokrasi Liberal adalah merupakan statemen yang sangat debatable. Dalam memandang demokrasi, Fukuyama mengadopsi pendapat Huntington, tentang perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi. Karena itu, ketika Islam dipandang tidak compatible dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal. Dalam kajiannya tentang Gelombang ketiga demokratisasi, Huntington menyebutkan: Tampaknya masuk akal menghipotesakan bahwa meluasnya agama Kristen mendorong perkembangan demokrasi. Fukuyama menyorot dua kelompok agama yang menurutnya sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi Ortodoks dan Islam fundamentalis. Keduanya dia sebut sebagai totalistic religious yang ingin mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun privat, termasuk wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa menerima demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalisme, khususnya tentang kebebasan beragama. Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak mengherankan, jika satu-satunya negara Demokrasi Liberal di dunia Islam adalah Turki, yang secara tegas menolak warisan tradisi Islam dan memilih bentuk negara sekular di awal abad ke-20. (Orthodox Judaism and fundamentalist Islam, by contrast, are totalistic religious which seek to regulate every aspect of human life, both public and private, including the realm of politics. These religions may be compatible with democracy - Islam in particular, establishes no less than Christianity the principle of universal human equality - but they are very hard to reconcile with liberalism and the recognition of universal rights, particularly freedom of conscience or religion. It is perhaps not surprisingly that the only liberal democracy in the contemporary Muslim World is Turkry, which was the only contry to have stuck with an explicit rejection of its Islamic heritage in favor of a secular society early in the twentieth century). Klaim-klaim Fukuyama tentang konsensus umat manusia terhadap demokrasi liberal dan tidak adanya tantangan ideologis yang serius terhadap demokrasi liberal saat ini sebenarnya sangatlah lemah dan paradoks dengan sikap negara-negara Barat sendiri. Itulah yang terlihat dalam kasus RUU anti-perzinahan di Turki. Tindakan Barat yang mengancam Turki soal RUU anti-perzinahan itu, membuktikan bahwa Barat memandang Islam secara paranoid, sebagai tantangan serius secara ideologis terhadap Demokrasi Liberal. Mereka masih terbukti sangat khawatir terhadap munculnya negara yang menerapkan ideologi Islam. Kita bisa mengingat kembali, bagaimana kuatnya dukungan Barat terhadap pembatalan Pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh FIS, padahal sikap itu justru bertentangan dengan demokrasi yang mereka kampanyekan.

Menurut Christoper Ogden (dalam artikel "View from Washington", Times, 3 Februari 1992), tindakan AS yang mendukung permainan kekuasaan antidemokrasi merupakan suatu tindakan yang sangat keliru. Sikap AS dan Perancis yang menyatakan bahwa kudeta Aljazair "konstitusional", tidak lain merupakan gejala penyakit gila paranoid (ketakutan tanpa dasar) terhadap Muslim Fundamentalis. Ogden menulis bahwa nonsense menyatakan AS tidak dapat mempengaruhi perubahan di Aljazair. Seperti disebutkan terdahulu, pasca runtuhnya Komunisme, justru Barat menerapkan pandangan yang paranoid dan berlebihan terhadap Islam. Itu bisa disimak dari berbagai perlakuan yang diterima kaum Muslim yang memasuki negara-negara Barat setelah peristiwa 11 September 2001. Hanya karena namanya berbau Islam, atau wajahnya bercorak Arab, maka seseorang yang memasuki negara-negara Barat dapat menerima perlakuan yang tidak manusiawi. Koran Utusan Malaysia, edisi 15 September 2004, juga menurunkan tulisan Kamaruzaman Mohamad, seorang wartawan senior Malaysia yang baru-baru mengikuti pertemuan wartawan di AS. Ia menulis artikel berjudul 11 Sept. Ubah polisi AS. (dalam bahasa Indonesia, artinya: 11 September Ubah Kebijakan AS). Diceritakan, bahwa kebijakan anti-terorisme memang pada kenyataannya, ditujukan kepada semua orang Islam. Itu dialami oleh semua orang Islam yang memasuki AS, yang secara dicurigai sebagai teroris atau mendukung teroris, sehingga harus diperlakukan khusus saat memasuki negara itu. Hanya karena namanya Islam, Ia diperiksa ketat, tasnya dibuka tanpa pengetahuannya, dan prosedur ketat lainnya. Ia bertanya, mengapa hanya orang Islam saja yang diperlakukan seperti itu? Mengapa orang bukan Islam mudah-mudah saja memasuki AS? Apakah yang melakukan tindakan terorisme hanya orang Islam? Mungkin, tindakan ketat semacam itu, sebagaimana diceritakan oleh Kamaruzaman, tidak berlaku atas orang-orang dari kalangan Muslim yang jelas-jelas sudah dikenal sebagai The Darling of Washington yang mengabdikan hidup dan matinya demi menyebarkan nilai-nilai dan pandangan hidup yang diridhoi oleh AS. Sebuah buku berjudul Painting Islam as the New Enemy (2003), karya Abdulhay Y. Zalloum, cukup memberikan gambaran, bagaimana rekayasa kelompok-kelompok garis keras di AS, termasuk Wolfowitz, Rumsfeld, dan Huntington, untuk membuat skenario politik internasional pasca Perang Dingin. Kelompok inilah yang menskenario tampilnya Presiden George W. Bush, dan kemudian mempengaruhi jalannya politik internasional hingga saat ini. Pada akhirnya, pasca Perang Dingin, mereka menskenario, untuk menempatkan Islam sebagai musuh utama. Aksi terorisme yang dilakukan umat Islam akan dicap sebagai terorisme, sementara aksi teror terhadap penduduk Muslim akan dikspose sebagai tindakan mulia untuk memberantas teroris. Tajuk Koran Utusan Malaysia juga mengupas tentang isu terorisme (keganasan), yang berjudul Melihat keganasan dari dua sudut. Tajuk ini mempertanyakan, Apakah bezanya serangan bom yang dilancarkan oleh kumpulan Jemaah Islamiyah (JI) dengan serangan bom yang dilakukan oleh AS? Kasus respon Barat terhadap RUU anti-perzinahan di Turki juga menunjukkan, begitu takutnya Barat terhadap kembalinya Islam ke dalam kehidupan masyarakat dan politik di Turki. Barat tidak ribut dengan dominannya cengkeraman kristen fundamentalis dalam politik di AS, tetapi khawatir sekali dengan Islam. Sebab, masa lalu Turki adalah masa lalu yang penuh kegemilangan, ketika

mereka masih di bawah kekuasaan Utsmani. Setelah kalah dari Barat, Turki diwajibkan sekular, dan tidak secara sukarela untuk menjadi sekular. Adalah salah besar klaim Fukuyama, bahwa telah terjadi konsensus umat manusia terhadap demokrasi liberal. Jika ia memuji Turki sebagai satu-satunya negara yang menerapkan demokrasi liberal di dunia Islam, maka Fukuyama mestinya mengungkap fakta, bahwa demokrasi liberal dan sekularisme di Turki ditegakkan dengan tangan besi dan kekuasaan yang kejam. Kasus yang menimpa PM Erbakan, yang hanya berkuasa selama 18 bulan, bisa disimak. Karena dianggap mengancam prinsip negara sekular, Rbakan dijatuhkan. Penggantinya, Mesut Yilmaz dari Partai Ibu Pertiwi, menyatakan: Negara ini butuh pemerintahan yang kuat yang mampu mempertahankan sistem sekular." Babak-babak berikutnya adalah kehidupan yang penuh represif terhadap kaum muslim Turki. Di bawah jargon mempertahankan sistem sekular, pemerintahan sekuler Yilmaz yang disokong penuh oleh militer dan Barat bertindak tidak demokratis (otoriter). Setelah Erbakan diturunkan, Partai Refah dilarang. Sekularisasi diberlakukan dengan ketat. Wanitawanita muslimah dilarang mengenakan jilbab di kantor-kantor pemerintah dan di kampus. Sekolahsekolah agama ditutup. Jam siaran agama di TV dipangkas. Turunnya Erbakan dapat dikatakan sebagai jalan terbaik untuk menghindari terjadinya kudeta militer, sebagaimana terjadi pada tahun 1960. Kasus tahun 1960 itu hampir sama dengan kasus yang menimpa Erbakan. Pada pemilihan umum tahun 1950, Partai Demokrasi pimpinan Adnan Mandaris unggul atas Partai Republik bentukan Musthafa Kemal Attaturk, Bapak Sekularis Turki. Selama 10 tahun berkuasa, Adnan Mandaris berusaha menempatkan Islam kembali dalam masyarakat Turki, dengan cara yang sangat halus. Di masa Mandaris, azan kembali dikumandangkan dalam bahasa Arab (sebelumnya dilakukan dalam bahasa Turki; Lafazh Allahu Akbar diganti dengan Allahul Buyuk), masjid-masjid yang telah dihancurkan direnovasi, fakultas teologi dibuka kembali, dan sejumlah lembaga tahfidzul Quran muncul kembali. Meskipun yang dilakukan oleh Mandaris adalah sangat manusiawi dan jauh dari sikap radikal, akan tetapi kebijakan-kebijakan Mandaris itu dianggap sebagai kejahatan oleh kaum Sekular Turki, terutama kelompok militer yang bertindak sebagai penjaga gawang sekulerisme. Di Turki, salah satu fungsi militer adalah sebagai National Security Guard (NSC). Mandaris dituduh menciptakan pemerintahan yang primitif, statis, berkhianat terhadap ajaran Kemal Attaturk, mengancam demokrasi, merusak struktur hukum, dan lain sebagainya. Sebagai hukuman terhadap Mandaris, pada tahun 1960, terjadi kudeta militer dan Mandaris bersama Ketua Parlemen Bulatuqan dan Menteri Luar Negeri Fatin Zaurli dihukum mati. Attaturk sendiri menjalankan pemerintahan sekularnya secara diktator. Ia tak segan-segan menghukum mati orang-orang yang enggan kepada pemerintahan Kemalis. Pada tanggal 13 Juli 1926, 15 orang digantung dimuka umum. Tahun 1930, 800 orang anti-Kemalis ditangkap dan dihukum mati. Tahun 1931, keluar peraturan yang melarang media massa mengeluarkan propaganda yang dianggap membahayakan pemerintahan sekular Kemalis. Selama 80 tahun lebih, Turki telah berkhidmat kepada Barat, mengikuti prinsip sekularisme, tetapi nasib mereka masih belum berubah. Uni Eropa masih tetap menolak permohonan Turki untuk

bergabung. Turki diwajibkan menjadi negara sekular. Dia dipuji Fukuyama sebagai satu-satunya negara demokrasi liberal di dunia Islam. Tetapi pada saat yang sama dia tidak boleh menjalankan prinsip dan mekanisme demokrasi ketika demokrasi itu digunakan untuk menyepakati hal-hal yang sesuai dengan Islam, seperti kriminalisasi perzinahan. Itulah prinsip Barat dalam berdemokrasi liberal: wajib sekular, wajib anti-Islam! Di kalangan Muslim, kadangkala ada yang tidak peduli akan hal ini. Mereka berteriak-teriak menuding orang Islam yang mereka katakan menghegemoni kebenaran, tetapi pada saat yang sama, mereka menutup mata terhadap perilaku tuannya yang juga melakukan hegemoni kebenaran, dengan memaksakan sekularisme kepada umat manusia, dan menghalang-halangi umat Islam untuk menerapkan keyakinannya. Jika Barat dan pengikutnya yang sekular-liberal yakin dengan ideologinya, yakin dengan sekular dan liberalnya, yakin dengan kebebasan zina dan homoseksualnya, yakin dengan kemaslahatan pelacuran dan kebebasan ekspresi pornografinya, lalu mengapa umat Islam tidak boleh yakin akan keagungan Tuhan dan hukum-hukum-Nya? Wallahu alam. (KL, 16 September 2004). Promosi Zina dan Kebebasan Berekspresi Sabtu, 04 September 2004 Eksponen Pendukung Kebebasan Berekspresi menyesalkan pelarangan film BCG. Katanya, pelarangan tidak mencerdaskan warga. Berkepresi, seolah dibolehkan promosi zina. Baca CAP Adian Husaini ke 68 Koran Utusan Melayu, yang terbit di Kuala Lumpur, edisi Ahad, 29 Agustus 2004, menurunkan satu artikel tentang kontroversi film Buruan Cium Gue (BCG). Diceritakan, kontroversi film BCG meruyak sejak dai kondang AA Gym mempersoalkan film tersebut pada 8 Agustus lalu. Bersama MUI, dan berbagai eksponen masyarakat, AA Gym secara aktif melakukan kampanye agar film itu ditarik dari peredaran. Dengan tegas, pemimpin Pesantren Darut Tauhid itu menyatakan, bahwa ajakan berciuman di luar nikah adalah sama dengan ajakan untuk berbuat zina. Argumentasi keagamaan AA Gym sangat mudah dipahami, lugas, dan bernas. Hasilnya, pada tanggal 20 Agustus 2004, film BCG ditarik. Tentu banyak yang bersyukur dengan ditariknya BCG. Namun, tampaknya ada diantara kelangan masyarakat Indonesia yang marah dan protes dengan penarikan BCG. Menyusul pelarangan tersebut, pada 25 Agustus 2004, kelompok yang menamakan diri Eksponen Pendukung Kebebasan Berekspresi (EKSPRESI), menentang dan menyesalkan pelarangan tersebut. Kelompok ini berpendapat, bahwa pelarangan tidak mencerdaskan kehidupan warga Indonesia. Mereka menyatakan: Maka kami menentang langkah sejumlah pihak, antara lain Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Majelis Ulama Indonesia, dan KH Abdullah Gymnastiar, yang menyatakan sikap mereka terhadap film Buruan Cium Gue! Melalui tekanan, bahkan ancaman, dan penghakiman sepihak, dengan

mengatasnamakan "moral bangsa." EKSPRESI khawatir, pemberangusan terhadap BCG akan membuka jalan bagi kembalinya represi dan kesewenangan terhadap dunia kreativitas seperti yang sering terjadap pada zaman Orde Baru. Juga, mereka dikatakan, tak ada satu pihak pun yang boleh mengambil alih dan memonopoli kewenangan dalam melakukan penghukuman dan pemberangusan, atas nama apapun. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat. Kami cemas, sekali alasan itu dipakai, ia bisa dimanipulasi dan disalahgunakan setiap waktu untuk memberangus kebebasan berkarya. Ini bukan saja membahayakan kebebasan berekspresi, namun pada gilirannya, juga akan membahayakan demokrasi negeri ini, begitu logika EKSPRESI. Kasus BCG mengulang kembali berbagai kasus pro-kontra sejenis dalam dunia hiburan dan soal kebebasan berekspresi di Indonesia. Sebelumnya, kasus Inul telah menyita begitu banyak pikiran warga masyarakat. Pro-kontra berlangsung hebat. Di era globalisasi, dimana proses lebaralisasi berlangsung di berbagai bidang, pro-kontra tentang batas-batas moral akan selalu terjadi. Kaum sekular-liberal dengan mudahnya berpikir, bahwa kebebasan bereskpresi adalah standar moral yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat. Jadi, kata mereka, tidak boleh ada satu pihak pun yang boleh mengambil alih dan memonopoli kewenangan dalam melakukan penghukuman dan pemberangusan, atas nama apapun. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat. Logika kaum liberal ini berasal dari prinsip humanisme sekular, yang menempatkan manusia sebagai Tuhan. Manusialah yang menentukan, dengan kebebasan individunya - asal tidak merugikan orang lain. Mereka tidak mau ada campur tangan agama dalam masalah moral. Mereka ingin mengatur diri mereka sendiri. Menurut mereka, Tuhan tidak berhak campur tangan dalam urusan kehidupan, karena manusia lebih hebat dari Tuhan. Meskipun agama jelas-jelas melarang, negara, ulama, atau kelompok apa pun, tidak boleh ikutikutan melarang. Kelompok semacam ini tidak mau belajar dari sejarah dan juga pengalaman-pengalaman negara lain. Standar moral mereka juga kacau. Pada kasus film BCG, persoalan intinya, -- bagi kaum Muslim - adalah soal zina, dimana al-Quran sudah menegaskan, agar jangan sekali-kali mendekati zina. Allah berfirman: Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan tindakan yang buruk. (QS Al-Isra:32). Rasulullah SAW bersabda: "Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim). Beliau SAW juga bersabda: "Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah SWT, semoga kalian tidak menemui zaman itu. Lima perkara itu ialah: (1) Tidak merajalela praktik perzinaan pada suatu

kaum, sampai mereka berani berterus-terang melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umatumat yang lalu. (HR Ibnu Majah). Jadi, dalam pandangan Islam, zina adalah perbuatan kriminal kelas berat, dan kejahatan yang sangat serius, sehingga segala hal yang menjurus ke arah zina, yang mendekati zina, wajib ditutup. Film BCG dengan jelas sekali mengajak masyarakat untuk mendekati zina, yang dalam bahasa AA Gym dikatakan, judul film itu artinya sama dengan buruhan zinahi gue. Kaum sekular-liberal memandang bahwa zina bukanlah kejahatan, karena tidak merugikan orang lain. Karena itu, KUHP kita warisan Belanda, juga tidak melihat zina sebagai kejahatan. Hanya mereka yang telah terikat dengan perkawinan dan kemudian melakukan hubungan sex di luar pernikahan, dapat dikatakan sebagai perzinahan. Itu pun harus ada unsur paksaan atau di bawah umur. Artinya harus ada tuntutan daripihak suami/istri (pasal 284 KUHP). Ini berbeda dengan Malaysia, yang secara juridis, masih memandang tindakan yang menjurus perzinahan, seperti khalwat, sebagai kejahatan. Sebagai misal, Enakmen Jenayah Syariah (1995) Selangor, perkara 29 (berhubung khalwat), menyatakan: (1) Mana-mana (a) orang lelaki yang didapati berada bersama dengan seorang atau lebih daripada seorang perempuan yang bukan istrinya atau mahramnya; (b) orang perempuan yang didadapi berada bersama dengan seorang atau lebih daripada seorang lelaki yang bukan suami atau mahramnya, dimana-mana tempat yang terselindung atau di dalam rumah atau bilik dalam keadaan yang boleh menimbulkan syak bahawa mereka sedang melakukan perbuatan yang tidak bermoral adalah melakukan suatu kesalahan dan apabila disabitkan boleh didenda tidak melebihi tiga ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi dua tahun atau kedua-duanya. Karena di mata Islam zina dipandang sebagai kejahatan serius, maka segala hal yang menjurus kepada zina, sudah semestinya tidak diizinkan. Termasuk kebebasan berekspresi yang mempromosikan perbuatan zina. Islam memandang bahwa zina adalah sumber kehancuran masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh al-Quran dan hadits Rasulullah saw. Di masyarakat Indonesia, wabah zina dan pembudayaan perilaku kebebasan seksual di luar nikah sebenarnya sudah sangat mengkhawatirkan. Angka aborsi (pengguguran kandungan), misalnya, tampak fantastis. Tahun 1997, WHO memperkirakan, sekitar 4,2 juta bayi digugurkan di Asia Tenggara. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan, ketika itu, Khafifah Indar Parawansa, mengutip data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dalam dua tahun terakhir (1999-2000), diperkirakan wanita yang melakukan aborsi sebanyak dua juta orang, diantaranya 750.000 remaja yang belum menikah. Dr. Biran Affandi SpOG, Ketua Umum Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI), menunjuk angka 2,3 juta, untuk aborsi di Indonesia per tahun. Meruyaknya praktik perzinaan juga sejalan dengan meruyaknya peredaran Narkoba (dadah) di Indonesia dan berbagai bisnis kemaksiatan lainnya. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari, pemerintah sendiri punya kepentingan, sehingga tidak serius memberantas kejahatan jenis ini. Bisnis narkotik per hari mencapai Rp 200 milyar, bisnis judi Rp 50 milyar, bisnis minuman beralkohol Rp 4 milyar.

Omset bisnis pelacuran sekitar Rp 11 trilyun per tahun. Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat memperkirakan, perputaran uang dalam bisnis narkoba di Indonesia mencapai Rp 24 trilyun per bulan, atau Rp 800 milyar perhari. Dr. Boyke Dian Nugraha mengakui, budaya free sex ada hubungannya dengan penyebaran nilainilai Barat yang serba permissive. Film-film Barat seperti Dawson's Creek, Beverly Hills, Melrose Place, dan sejenisnya, sangat digemari penonton TV di Indonesia. Film-film itu memberi teladan kebebasan sex di kalangan remaja. Di salah satu channel TV Malaysia, belum lama ini disiarkan program The Bachelor yang mempertontonkan, cara memilih istri bagi seorang profesional kaya. Untuk sampai ke jenjang perkawinan, dia adakan iklan bagi para wanita yang berminat menikah dengan dia. Lalu, dia seleksi satu persatu. Setelah tinggal beberapa orang calon, masing-masing diajaknya kencan (zina) secara bergantian, sampai tinggal dua orang. Terakhir, dua calon terseleksi, dan keduanya diperkenalkan kepada keluarga si laki-laki, untuk menilai, mana dari kedua wanita itu yang layak dikawini. Beberapa kali kita menelaah kasus gay di negara-negara Barat, terutama yang terjadi di AS. Kasus gay atau homoseksual memang kasus yang sangat nyata, bagaimana pergeseran moral terjadi begitu dahsyat di kalangan masyarakat sekular yang mengaku religius. Majalah The Economist edisi 28 Februari-5 Maret 2004, menyebutkan, bahwa AS adalah The most religious countries in the industrialized world. Lebih dari 80 persen lebih rakyat AS mengaku percaya kepada Tuhan. Sementara hanya 62 persen rakyat Perancis dan 52 rakyat Swedia yang percaya kepada Tuhan. Sekitar dua pertiga penduduk AS mengaku sebagai anggota Gereja, 40 persen pergi ke gereja tiap minggu, dan 43 persen mengaku sebagai Kristen yang terlahir kembali (born-again Christians). Tapi, justru di tengah masyarakat yang mengaku religius seperti itu, kasus-kasus kehancuran moral terjadi amat dahsyat. Bisa dilihat, bagaimana perilaku masyarakat saat menyaksikan Madonna dan Britney Spears serta Christina Aguilera melakukan aksi ciuman lesbian di atas panggung, saat acara penganugerahan MTV Video Music Awards di Radio City Music Hall New York, 28 Agustus 2003. Menyaksikan tontonan tersebut, para penonton malah melakukan standing applause, memberikan tepuk tangan meriah sambil berdiri, memberi penghormatan tulus ikhlas kepada ketiga artis tersebut. Sutradara film Guy Ritchie, suami Madonna, bahkan ikut bertepuk tangan dengan wajah riang gembira. Ia sama sekali tidak keberatan dengan tingkah polah istrinya. Kita bisa tanyakan kepada kelompok Ekspresi, yang mendukung peredaran film BCG diteruskan, apakah mereka juga akan setuju dengan penyiaran adegan-adegan jorok yang dilakukan oleh Madonna dan penyanyi Amerika lainnya? Apakah atas nama kebebasan berekspresi, maka semua hal harus diumbar. Mereka akan menyatakan, biarlah publik yang menilai; serahkan baik dan buruk kepada suara publik, jangan ada satu institusi apa pun yang campur tangan, untuk memberangus kebebasan berkarya dan kebebasan berekspresi. Apakah publik bisa menentukan baik dan buruk? Sementara publik sendiri sudah begitu bias dan

memiliki keinginan, kepentingan, dan pola pikir yang bermacam-macam. Penyair terkenal Mohammad Iqbal, dalam satu puisinya menyatakan, bahwa bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 keledai. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-eMasyriq: Do you seek the wealth of meaning from low natured men? From ants cannot proceed the brilliance of a Solomon. Flee from the methods of democracy because human thinking can not issue out of the brains of two hundred asses. Kita bisa katakan, tidak ada yang menghalangi kebebasan berkarya dan berekspresi. Tentu saja, selama karya itu tidak merusak moral dan agama. Sebab, kerusakan moral bangsa, adalah salah satu aspek jalan tol menuju kehancuran masyarakat dan peradaban. Peradaban itu boleh maju secara fisik, tetapi agama hancur. Dr. Syamsuddin Arif, alumni ISTAC yang sedang mengambil doktor keduanya di Frankfurt Jerman, menceritakan, sikap masyarakat Barat dan Jerman khususnya terhadap agama, bahwa sikap mereka terhadap agama cenderung apatis, masabodoh dan tidak peduli. Semakin banyak yang bersikap skeptis dan agnostis terhadap doktrin-doktrin agama. Efeknya makin sedikit yang betul-betul mengamalkan ajaran agamanya. Sebaliknya makin banyak yang memilih keluar atau bahkan menjadi ateis. Namun kemudian mereka merasakan ada sesuatu yang hilang. Mereka yang putus asa, merasa life is meaningless, memilih jalan pintas bunuh diri. Mereka yang bertahan, berusaha mengisi kekosongan jiwanya dengan cara masuk agama lain, seperti Islam, ikut pseudo-agama dan aliran-aliran sempalan, seperti theosophy, anthroposophy, Bahai, ataupun praktek-praktek meditasi spiritual seperti Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaya Yoga, dan lain sebagainya. Sebagaimana kata seorang ahli sosiologi agama, Peter L. Berger, trendnya sekarang ini adalah setiap orang akan memilih sendiri apa yang ia inginkan, sesuai dengan kebutuhan dan kesukaannya. Istilah sosiologinya patchwork religion, agama bikinan sendiri, hasil comot sana-sini. Fenomena semacam ini juga terjadi di Jerman. Menurut data REMID (Religionswissenschaftlicher Medien- und Informationsdienst e.V .), dua pertiga penduduk Jerman adalah penganut Kristen, dengan komposisi Katolik kurang lebih 26,6 juta dan Protestan 26,3 juta orang. Tetapi dari jumlah ini, hanya 12% saja yang mempercayai doktrin trinitas, dan Cuma sekitar 10% yang aktif dan rutin ke gereja. Pada tahun 1988, hampir separuh pejabat pemerintah Jerman menolak bersumpah dengan nama Tuhan. Mereka enggan mengucapkan so wahr mir Gott helfe. Menurut jajak pendapat yang dilakukan McKinsey baru-baru ini, kredibilitas gereja di Jerman merosot drastis. Setiap tahun, gereja kehilangan rata-rata 300.000 anggotanya. Juga semakin banyak yang menolak bayar sumbangan wajib untuk gereja melalui potongan gaji perbulan 8% hingga 10%. Seorang karyawan, yang tidak ingin disebutkan namanya, misalnya bilang, dia bayar ke gereja setiap bulan tidak kurang dari 100 Euro. Jika dikalikan dengan 53 juta orang, berarti dana yang masuk ke gereja bisa mencapai 5,3 Milyar

Euro (kurang lebih sama dengan 53 Trilyun Rupiah). Kalau ditanya, mengapa meninggalkan gereja? Jawaban yang dilontarkan orang Jerman adalah: Viele sind von Christentum enttaeuscht (Banyak yang kecewa dengan Kristen), Religion und Kirche sind zwei verschiedene Dinge (Agama dan gereja adalah dua hal yang berbeda, maksudnya harus dipisahkan), Das Problem der Kirchen ist, dass sie schon lange keines mehr sind (Masalahnya adalah, gereja sudah lama tidak berarti apa-apa lagi). Situasi konkritnya digambarkan oleh Heiner Koch, salah seorang pengurus gereja di Koeln: Banyak orang di Jerman sekarang ini menyamakan gereja dengan toko atau supermarket. Mereka beli produk-produknya, semisal TK, SD, dan upacara-upacaranya. Sementara pendeta dan aturan hukumnya dicuekin. Mereka bayar iuran gereja dikasir, lalu menunggu jasa pelayanan segera. Besoknya, pergi ke toko sebelah, lihat produk apa yang dijual astrologi, psikoterapi atau buddhisme. Lalu minggu depan belanja lain di toko lain. Begitulah cerita Dr. Syamsuddin Arif. Disamping faktor realitas ajaran Kristen sendiri, sebagaimana beberapa kali kita tekankan, salah satu masalah yang menyumbang perkembangan sikap emoh agama atau anti-pati agama adalah perilaku para pemuka agama sendiri. Ada satu buku menarik yang ditulis oleh A.W. Richard Sipe, seorang pendeta Katolik Roma, berjudul Sex, Priestw, and Power (1995). Buku ini menceritakan perilaku seksual di kalangan para pendeta dan pastor. Sebagai gambaran, pada 17 November 1992, TV Belanda menayangkan program 17 menit tentang pelecehan seksual oleh pemuka agama Kristen di AS. Esoknya, hanya dalam satu hari, 300 orang menelepon stasiun TV , dan menyatakan, bahwa mereka juga mengalami pelecehan seksual oleh para pendeta di Belanda. Maka, sekali lagi, disamping memberikan kritik terhadap wabah penyakit budaya sekular-liberal, kaum Muslimin perlu menyadari bahwa salah satu sumber kehancuran masyarakat adalah kerusakan ulama, yang dikenal istilah ulama su atau ulama jahat. Jika ulama rusak, maka umat pun akan kehilangan panutan. Mudah-mudahan, kasus BCG ini membawa hikmah yang mendalam bagi para ulama dan juga bagi sebagian kalangan Muslim yang terlena dan terbuai dengan syahwat dunia, dan pikiran-pikiran sekular-liberal, yang terbukti berpotensi besar menghancurkan peradaban manusia. Dalam bahasa Persia, manusia-manusia yang punya adab disebut manusia yang ba-adab, sedangkan yang tidak punya adab, disebut dengan istilah "bi-adab. (KL, 3 September 2004). Presiden SBY dan tantangan Hegemoni Amerika (1) Sabtu, 25 September 2004 RI dengan Muslim 190 juta akan terus dalam pengawalan AS. Seperti negeri muslim lain, RI akan dipaksa menerapkan 'viktimisasi Islam'. Bagaimana SBY menghadapi hal ini? Baca CAP ke-71 Adian Husaini, MA Menyusul kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan Presiden Indonesia secara langsung pada 20 September 2004, banyak kalangan di Barat yang menyambut gembira. Koran Berita Harian yang terbit di Kuala Lumpur, 23 September 2004, menulis satu judul berita: Australia raikan kemenangan ?rakan Barat?

Ditulis dalam berita ini, bahwa koran-koran yang terbit di Australia menyambut gembira kemenangan SBY atas Megawati dan menyebut SBY sebagai ?rakan Barat?. Harian The Australian edisi 22 September 2004, menyebutkan, bahwa SBY adalah rakan (kawan) Barat, musuh terorisme, dan seorang demokrat yang konsisten. Kemenangan SBY, tulis koran ini, merupakan kekalahan kaum ekstrimis agama, yang melihat demokrasi sebagai bertentangan dengan Islam. Bagaimanakah menyikapi berita-berita semacam ini di media massa Barat? Sejak bergulirnya proses pemilihan Presiden secara langsung, cerita-cerita dan isu tentang hubungan SBY dengan Barat dan kalangan Kristen sudah bertiup kencang. Sampai-sampai istrinya, yang bernama Kristiani, juga sempat diisukan sebagai seorang pemeluk Kristen. Ketua Partai Demokrat kebetulan juga seorang pemeluk Kristen. Banyak SMS beredar yang menyebutkan, bahwa SBY pernah menyatakan, ?AS adalah tanah air saya yang kedua?. Juga beredar SMS tentang sejumlah dana yang diterima SBY dari AS. Banyak lagi berita-berita lainnya seputar masalah itu, yang intinya memberikan gambaran seolaholah SBY adalah antek AS, yang kalau menjadi Presiden Indonesia, maka ia akan menjalankan agenda-agenda AS, terutama dalam masalah ekonomi, politik, dan terorisme internasional. Kebenaran cerita-cerita seputar hubungan dan sikap SBY terhadap Barat dan AS masih perlu dibuktikan dan diklarifikasi. Kaum Muslim Indonesia tidak perlu tergesa-gesa menvonis. Masih ada waktu untuk menilai dan menunggu, bagaimana sikap dan kebijakan SBY dalam melakukan hubungan dengan Barat, khususnya AS. Satu hal yang patut dihargai adalah keberanian SBY yang secara tegas menyatakan tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Lebih penting dari itu, para ulama dan cendekiawan, seyogyanya menjalankan fungsinya sebagai ulama dan cendekiawan, untuk terus memberikan nasehat, saran, amar ma?ruf dan nahi munkar kepada pemerintah baru. Dialog dan komunikasi juga perlu dibangun dengan baik. Para ulama dan cendekiawan juga perlu senantiasa bersikap kritis dan hati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi, sehingga dapat dengan tepat menyampaikan al-haq kepada pemerintah. Bukankah menyampaikan kalimah yang haq kepada penguasa merupakan jihad yang sangat mulia? Dalam konteks politik global saat ini, di bawah cengkeraman super power tunggal, yang memiliki kekuatan besar untuk menjungkir-balikkan situasi politik dan ekonomi suatu negara, maka tidaklah mudah bagi satu pemerintahan untuk menerapkan kebijakan dan sikap politik yang mandiri, tanpa mengindahkan kebijakan politik AS dan sekutu-sekutunya. Disamping masalah perekonomian, politik dalam negeri, sosial, kebudayaan, dan pendidikan, salah satu masalah pelik yang dihadapi pemerintah Indonesia di bawah SBY adalah masalah ?terorisme? yang telah menjadi isu politik utama dalam politik internasional, menggantikan isu HAM, demokrasi, dan lingkungan hidup. Dalam satu audiensi dengan Komisi Hankam DPA, beberapa waktu lalu, sebelum meletusnya bom Bali, saya menulis satu paper yang diantaranya berisi usulan agar Indonesia merumuskan definisi ? terorisme? sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia sendiri. Maka, definisi terorisme yang tepat bagi Indonesia, adalah ?setiap tindakan yang berpotensi menghancurkan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia?. Maka, terorisme, dapat mencakup aktivitas di bidang politik, ekonomi, sosial,

keamanan, dan sebagainya. Pengedar uang palsu, koruptor kelas kakap, bandar narkotika dan obatobatan terlarang, produsen VCD porno, penjual rahasia negara kepada pihak asing, perusak lingkungan kelas berat, gerakan separatis bersenjata, dan sejenisnya dapat dijerat dengan pidana terorisme, sebagaimana aksi-aksi pengeboman dan pembunuhan terhadap warga masyarakat. Dalam kamus terorisme internasional yang berlaku saat ini, tidak ada definisi yang objektif, fair, dan adil terhadap tindakan terorisme di dunia internasional. Sebab, kamus terorisme memang ditentukan oleh AS. Siapa yang teroris dan siapa yang bukan teroris, diukur berdasarkan kepentingan AS. Pejuang Palestina, seperti Hamas, harus dicap sebagai teroris, tetapi aksi-aksi pembunuhan rakyat Palestina oleh Ariel Sharon dan kawan-kawan, dan juga pembunuhan terhadap sekitar 500.000 anak-anak Iraq dengan embargo ekonomi pasca Perang Teluk I, bukanlah dinilai sebagai tindakan terorisme. Para pembantai ratusan ribu kaum Muslim di Bosnia, dan pemerkosa ribuan muslimah Bosnia pun tidak masuk dalam daftar teroris internasinal yang berbahaya. Sekali lagi, mereka (Sloban Milosevic, Rodovan Karadzik, dan kawan-kawan), tidak dimasukkan dalam daftar teroris internasional, karena korbannya adalah Muslim atau bukan warga AS! Tetapi, mantan bintang pop, Cat Steven (Yusuf Islam) -- yang Muslim -- pada 22 September 2004, dilarang masuk AS, karena dicurigai ada hubungan dengan teroris Kasus Yusuf Islam kembali menunjukkan betapa sensitif dan paranoid-nya penguasa AS saat ini dalam menghadapi kaum Muslim, sampai-sampai Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw, melakukan protes terhadap tindakan AS tersebut. Mengapa AS begitu sensitif dan paranoid terhadap Islam? Untuk memahami hal ini, bisa disimak sebuah buku berjudul The High Priests of War (Washington DC: American Free Press, 2004), karya Michel Colin Piper. Buku ini memaparkan dengan sangat lugas dan jelas profil-profil tokoh neokonservatif yang berpengaruh besar dalam penyusunan kebijakan politik luar negeri AS, pasca Perang Dingin. Secara mencolok pengaruh kelompok ini dipertontonkan pada kebijakan penyerangan terhadap Irak, tahun 2003. Pada 24 Oktober 2002 -- beberapa bulan sebelum serbuan AS ke- Iraq -- Michel Kinsley, seorang penulis Yahudi Liberal, menulis bahwa peran sentral Israel dalam perdebatan tentang kemungkinan Perang atas Irak, adalah ibarat ?gajah dalam ruangan?. ?Setiap orang melihatnya, tetapi tidak seorang pun menyebutkannya.? Kini, sosok lobi Israel itu diperjelas lagi oleh Michel Colin Piper, dalam bukunya ini. Piper menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh ?tokoh-tokoh pro-Israel? seperti dimasa Presiden George W. Bush. Kelompok garis keras itu dikenal sebagai kelompok ?neo-konservatif? (neo-kon). Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Iraq, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya. Piper menulis: ?That the war against Iraq was deliberately orchestrated by a small but powerful network of hard-line ?right wing? Zionist elements-the self-styled ?neoconservatives? - at the high levels of the Bush administration, skillfully aided and abetted by like-minded persons in public policy

organizations, think tanks, publications and other institutions, all of which are closely interconnected and, in turn, linked to hardline ?likudnik? forces in Israel.? Piper membahas peran kelompok garis keras Zionis Yahudi di AS dengan menguraikan satu persatu latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konspirasi neokonservatif ini, seperti Richard Perle, William Kristol, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch, juga ilmuwan dan kolomnis terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan tokoh-tokoh Kristen fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Tim LaHaye. Philip Golub, seorang wartawan dan dosen di University of Paris VIII, menulis tentang strategi kelompok neo-kon. Menurutnya, kelompok ini telah berhasil menjadikan Presiden Bush sebagai kendaraan untuk menjalankan satu kebijakan berbasis pada ?unilateralism?, ?permanent mobilisation?, dan ? preventive war?. Apa yang ditulis oleh Piper kemudian seperti menjadi kenyataan. Itu bisa dilihat dengan apa yang kemudian dilakukan oleh AS terhadap Iraq, Syria, dan belakangan ini terhadap Iran dalam kasus nuklirnya. Sebelumnya, tahun 1994, Piper sudah menggegerkan AS dengan bukunya, ?Final Judgement?, yang membongkar peran agen rahasia Israel, Mossad, dalam pembunuhan John F. Kennedy. Piper berkeliling ke berbagai negara untuk menjelaskan isi buku yang di AS tak dapat dijual di toko-toko buku utama. Pada Maret 2003, Piper diundang berceramah di Zayed Center for Coordination and Follow-Up, Abu Dhabi. Ceramahnya mendapat liputan luas di media-media Arab. Ketika itu, menjelang serangan AS atas Iraq, Piper sudah mengingatkan, bahwa serangan atas Iraq dilakukan atas pengaruh lobi Israel, dalam kerangka mewujudkan impian kaum Zionis untuk membentuk ?Israel Raya? (Greater Israel/Eretz Yisrael). ?President Bush seems to be driven by Christian fundamentalism and strong influence of the Jewish lobby,? kata Piper. Serangan AS atas Iraq merupakan tahap awal dari sebuah Perang Besar yang sudah jauh dirancang oleh kelompok neo-kon ini. Ari Shavit, seorang penulis Yahudi, menulis di koran Ha?aretz (9 April 2003), bahwa perang atas Iraq disusun oleh 25 intelektual --sebagian besar Yahudi-- yang mendorong Presiden Bush untuk mengubah wacana sejarah. Tulisan Shavit menyiratkan satu fenomena ironis dalam tradisi politik AS. Betapa mayoritas rakyat di negara adikuasa yang begitu hebat kekuatan militernya, ternyata tidak berdaya menghadapi cengkeraman kelompok minoritas neo-kon yang didominasi Yahudi. Michel Lind, seorang penulis AS, mengungkapkan, bahwa impian kelompok neo-kon untuk menciptakan sebuah ?imperium Amerika? sebenarnya ditentang oleh sebagian besar elite perumus kebijakan luar negeri AS dan mayoritas rakyat AS. Lind juga menyebut, bahwa koalisi Bush-Sharon juga berkaitan dengan keyakinan, bukan karena faktor kebijakan. Itu bisa dilihat dari latar belakang Bush yang berasal dari keluarga Kristen fundamentalis. Kata Lind: ?There is little doubt that the bonding between George W. Bush and Ariel Sharon was based on conviction, not expedience. Like the Christian Zionist base of the Republican Party, George W. Bush was a devout Southern fundamentalist.?

Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu skenario besar ?Perang Global?, dengan menempatkan Islam sebagai musuh utama peradaban dunia. Dalam bukunya, nting Islam as The New EnemyKuala Lumpur: Crescent News: 2003), Abdulhay Y. Zalloum, juga memberikan gambaran tentang peran dan skenario kelompok neo-kon dalam membentuk ?Tata Dunia Baru? pasca Perang Dingin. ?The New World Order?, simpulnya, adalah rekayasa hegemoni sebuah ?American Empire?. Itu dibuktikan dengan berbagai dokumen yang disusun oleh tokoh-tokoh kelompok ini, seperti Rancangan Pertahanan yang disusun oleh Paul Wolfowitz berkaitan dengan Tata Dunia Baru, bahwa tujuan utama AS dalam politik internasional Tata Dunia Baru adalah mencegah munculnya rival baru bagi AS. (Our first objective is to prevent the reemergence of new rival). Para intelektual neo-kon, seperti Samuel P. Huntington dan Bernard Lewis, kemudian merumuskan rancangan tata politik internasional berbasis pada teori ?clash of civilizations?. Lewis, yang anaknya aktif dalam kelompok lobi Yahudi di AS (AIPAC) ?adalah orang pertama yang mempopulerkan wacana clash of civilizations, melalui artikelnya berjudul ?The Roots of Muslim Rage? (Akar-akar kemarahan Muslim) di jurnal Atlantic Monthly, September 1990. Artikel ini merupakan persiapan untuk menentukan siapa ?musuh baru? Barat pasca Perang Dingin. Dari sinilah kemudian skenario untuk menunjuk ?Islam? sebagai musuh atau rival utama Barat ditentukan. Sebelumnya, banyak buku tentang Islam dan Barat yang ditulis Lewis, seperti buku ?The Arabs in History? (1950), ?The Emergence of Modern Turkey? (1961), ?Semites and Anti-Semites? (1986), ?The Jews of Islam? (1984), ?Islam and The West? (1993). Buku Lewis ?What Went Wrong? (2003), dikritik oleh Michel Colin Piper sebagai buku yang secara keji menyerang sejarah Arab dan kaum Muslim. Bukunya ?The Crisis of Islam? (2004) juga merupakan buku yang memberikan begitu banyak justifikasi terhadap kebijakan Barat dan Israel terhadap dunia dan kaum Muslim. Gagasan Lewis ini kemudian dipopulerkan oleh Huntington melalui bukunya ?The Clash of Civilization and the Remaking of World Order? (1996). Sejak awal 1990-an, kelompok neo-kon sebenarnya telah merancang satu wacana global dengan ? ancaman Islam? sebagai agenda utama Barat. Wacana tentang bahaya fundamentalis Islam digulirkan dengan kencang melalui berbagai penerbitan, baik buku-buku kajian ilmiah maupun media massa. Tahun 1995, Sekjen NATO menyatakan, bahwa ?political Islam was at least as dangerous as communism had been to the West.? Namun, sekanario ?viktimisasi Islam? itu kurang berjalan lancar. Lalu, terjadilah sebuah peristiwa besar pada 11 September 2001, yang kemudian mengubah peta politik dunia, dan berhasil memunculkan ?Perang Melawan Terorisme? sebagai isu utama dalam arena politik internasional. Wacana ?Perang Melawan Terorisme? sebenarnya merupakan wacana yang tidak masuk akal. Sebab, kata Noam Chosmsky, dalam buku, ?9-11?, (New York: Seven Stories Press, 2001), ?We should not forget that the US itself is a leading terrorist state.? (Kita jangan sampai lupa, bahwa AS adalah negara teroris terkemuka). Melalui bukunya ini, Piper berhasil memperjelas apa dan siapa yang sebenarnya berada di balik isu-isu dan peristiwa penting dalam panggung politik internasional saat ini. Lebih menarik, ditampilkan juga dalam buku ini foto-foto para tokoh neo-kon. Dunia Islam perlu menyadari, bahwa sebuah skenario ?Perang Global? (Global War) dengan menjadikan kelompok Islam sebagai musuh

utama, telah dijalankan oleh kelompok neo-kon, dengan menjadikan Presiden George W. Bush dan politik AS, sebagai kendaraan mereka. Politik ?viktimisasi Islam? (menjadikan Islam sebagai kambing hitam) merupakan upaya pengalihan dari masalah sebenarnya yang dihadapi pemerintah AS. Politik ini tidak memberi kesempatan masyarakat AS untuk secara kritis menilai kegagalan atau kesuksesan pemerintahnya, sebab mereka senantiasa dijejali dengan berbagai informasi media-media jaringan neo-kon yang mengisukan akan datangnya serangan teroris Islam. Proyek ?viktimisasi Islam? ini dijalankan terus sebagai isu politik dengan mengusung bendera ? war against terrorism?. Siapa yang tidak mau ikut, akan dihukum oleh AS. Sebab, kata Bush, pada 20 September 2001: ?Every nation in every region now has a decision to make: Either you are with us, or you are with the terrorist. From this day forward, any nation that continues to harbor or support terrorism will be regarded by the United States as a hostile regime.? Indonesia, yang merupakan negeri Muslim terbesar di dunia, dengan jumlah umat Muslim sekitar 190 juta jiwa, sedang dalam ?teropong dan pengawalan ketat? AS dan sekutu-sekutunya, tentu akan dipaksa untuk menerapkan kebijakan viktimisasi Islam itu. Bagaimana seyogyanya kiat Presiden SBY menghadapi hal ini? Insyaallah, kita bahas pekan depan. (bersambung). (KL, 23 September 2004 Sabtu, 02 Oktober 2004 AS akan terus berusaha melemahkan kelompok-kelompok Islam. Meski SBY seorang Muslim dan memiliki intelektualitas tinggi, tapi bisakah dia bebas dari hegemoni AS? Baca CAP ke 72 Adian Husaini Jika direnungkan secara jujur, setelah hampir 60 tahun merdeka, banyak tujuan kemerdekaan Indonesia yang masih belum tercapai. Bahkan, beberapa diantaranya, lebih buruk kondisinya dibandingkan dengan kondisi sebelum kemerdekaan. Kekayaan alam berangsur habis. Lingkungan hidup semakin terkikis. Kualitas pendidikan rakyat kebanyakan menurun drastis. Belum lagi jika disimak semangat berkorban dan perasaudaraan yang menipis. Kekerasan dalam berbagai bentuknya merajalela. Penindasan dan kezaliman ada di mana-mana. Mulai dari atas sampai bawah. Padahal, tujuan kemerdekaan Indonesia telah cukup jelas dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, seperti melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Bangsa ini dulu ingin merdeka dengan harapan mereka menjadi semakin taqwa kepada Allah Yang Maha Kuasa dan semakin sejahtera hidupnya. Lima Presiden sudah berlalu: Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Tetapi, harapan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia masih menjadi impian gratis bagi kebanyakan orang. Dalam kondisi keterpurukan seperti ini, wajarkah kita berharap besar pada Presiden SBY? Mampukan ia setidaknya memberi harapan, bahwa Indonesia mampu keluar dari kemelut yang sangat pelik dan rumit itu? Secara intelektual SBY bisa dikatakan oke. Ia lulus doktor dari salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, Institut Pertanian Bogor. Kemampuan berkomunikasinya sangat tinggi.

Di kalangan tentara, ia termasuk perwira yang dikenal bersih dari skandal soal perempuan. Ayahnya sempat mengenyam pendidikan Pondok Pesantren Gontor. Mertuanya, Sarwo Edhi Wibowo, dikenal sebagai tokoh penting dalam penumpasan Gerakan pemberontakan PKI. Artinya, SBY ada potensi dan peluang untuk melakukan perubahan yang mendasar dan penting bagi masa depan Indonesia, bukan sekedar perubahan superfisial untuk komoditi politik. Diharapkan, SBY memiliki jiwa patriot yang tinggi yang sangat mencintai bangsa dan negaranya, dan tentunya sangat prihatin dengan kondisi yang menimpa bangsa dan negaranya saat ini. Lalu, ia berazam dan bertekad mempertaruhkan hidupnya untuk memajukan bangsa dan negaranya. Namun, kita memahami, tantangan yang dihadapi SBY bukan main besarnya. Baik dari dalam, maupun dari luar. Dalam seminar tentang masa depan politik Indonesia di Universiti Malaya, 15 Mei 2004, saya menyampaikan satu makalah berjudul PEMILU 2004: TITIK CRUCIAL POLITIK INDONESIA. Di dalam makalah itu saya mencatat, bahwa Presiden terpilih 2004-2009 mendatang memiliki posisi yang sangat crucial (sangat penting, sulit; Latin: crux=cross). Jika dia mampu meletakkan pondasi politik yang kokoh dan memberikan harapan kepada rakyat akan perbaikan di masa mendatang, maka besar kemungkinan, demokrasi liberal di Indonesia masih bisa dipertahankan, mungkin dengan beberapa modifikasi dan proses sentralisasi kekuasaan. Jika Presiden dan legislatif tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik, dan kondisi Indonesia sama saja atau lebih buruk dari sebelumnya, maka bukan tidak mungkin, skenario munculnya rezim militer akan benar-benar terjadi di Indonesia. (Analisis tentang masalah ini bisa disimak dalam buku William Oltman, berjudul Dibalik Keterlibatan CIA, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001). Bagaimana pun, resultante politik di Indonesia bukan hanya ditentukan oleh seorang Presiden, tetapi juga oleh sejumlah aktor penting, seperti lembaga legislatif, faktor internasional (terutama AS/Barat) dan kekuatan Cina Perantauan (overseas chinese). Amerika memang bukan satu-satunya faktor signifikan yang akan mempengaruhi corak dan resultante politik Indonesia di bawah Presiden SBY. Tetapi, peran dan pengaruh AS di Indonesia sangatlah besar, di berbagai bidang: politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan bidang pemikiran Islam. Dalam bidang ekonomi, Indonesia sulit keluar dari jeratan tiga lembaga yang berada di bawah kendali AS, yaitu IMF, Bank Dunia, dan WTO. Padahal, tiga lembaga ini mendapat begitu banyak protes dari para aktivis anti-globalisasi. Pada April 2000, sekitar 10.000 demonstran berusaha menggagalkan Pertemuan Musim Semi IMF dan Bank Dunia di Washington DC. Sebagian besar mereka adalah kelompok aktivis LSM yang membentuk satu gerakan dengan nama Mobilization for Global Justice. Berbagai kelompok dan organisasi bersepakat menentang globalisasi dan kapitalisme, dan global violance. Mereka juga secara khusus melakukan penentangan terhadap tiga lembaga yang mereka katakan sebagai unholy trinity of undemocratic institutions, yaitu IMF, World Bank, dan World Trade Organization, yang berjasa memelihara kemiskinan, degradasi lingkungan hidup, dan sebagainya. Para demonstran itu dihadapi dengan kekerasan oleh polisi, dengan pepper spray, gas air mata, dan semprotan air. Berkaitan dengan politik global untuk mempertahankan hegemoni AS, yang saat ini menjadi agenda baru bagi pemerintah Indonesia adalah kebijakan AS terhadap Islam. Hingga 11 September 2001, meskipun sudah 10 tahun konsep New World Order diluncurkan oleh kalangan neokonservatif di AS, tetapi tidaklah terlalu mudah menampatkan Islam sebagai musuh global menggantikan posisi komunisme. Namun, peristiwa 11 September 2001, telah mengubah peta dunia.

Dalam buku terbarunya, Who Are We? (New York: Simon&Schuster, 2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul The Search for an Enemy. Ia mencatat, bahwa pasca Perang Dingin, AS memang melakukan pencarian musuh baru, yang kemudian menemukan musuh baru bernama Islam militan. Huntington menulis: Some Americans came to see Islamic fundamentalist groups, or more broadly political Islam, as the enemy, epitomized in Iraq, Iran, Sudan, Libya, Afghanistan under Taliban, and to lesser degree other Muslim states, as well as in Islamic terrorist groups such as Hamas, Hezbollah, Islamic Jihad, and the al-Qaeda network The cultural gap between Islam and Americas Christianity and Anglo-Protestanism reinforces Islams enemy qualifications. And on September 11, 2001, Osama bin Laden ended Americas search. The attacks on New York and Washington followed by the wars with Afghanistan and Iraq and more diffuse war on terrorism maka militant Islam Americas first enemy of the twenty-first century. Tentu, sangatlah sulit bagi dunia Islam menerima standar AS dalam soal Islam militan. Dunia Islam, misalnya, tetap menolak menyamakan antara al-Qaeda dengan Hamas atau Jihad Islam di Palestina, sebab mereka melakukan perjuangan membebaskan negeri mereka dari penjajahan Israel. Politik Islam AS ini tidaklah jauh berbeda dengan zaman kolonial klasik yang menempatkan kaum pribumi yang melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai musuh penjajah dan memberi mereka cap sebagai kaum ekstrimis, pemberontak, dan sebagainya. Memang, bisa dipahami, untuk memberikan legitimasi kehadiran dan eksistensi tentara dan industri senjatanya, AS melakukan personifikasi musuh baru, dalam simbol Osama bin Laden dan al-Qaeda. Berikutnya dibuat peta jaringan al-Qaeda yang merambah ke mana-mana, bahkan dikaitkan dengan semua gerakan atau kelompok Islam yang ingin mengamalkan ajaran agamanya, yang berbeda dengan pandangan hidup dan sistem hidup Amerika. Inilah satu skenario, yang sebenarnya sulit dikualifikasikan secara ilmiah. Jika tujuan dari politik global pada masa New World Order adalah terjaminnya status superpower tunggal tanpa rival baru maka bisa dipahami jika AS kemudian menempatkan Islam sebagai ancaman terbesar yang mereka anggap berpotensi menggoyahkan hegemoni adikuasa itu. Di sinilah, lagi-lagi, rumusan yang diberikan oleh ilmuwan seperti Huntington, menjadi pedoman pembuat kebijakan politik di AS. Dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of New World Order, Huntington juga sudah mengingatkan Barat agar mereka waspada terhadap perkembangan Islam. Sebab, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menggoyahkan dan mengancam peradaban Barat. (Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice). Ia menegaskan, bahwa konflik antara Demokrasi Liberal dengan komunisme hanyalah bersifat sesaat dan superfisial, dibandingkan dengan konflik yang mendalam antara Islam dan Kristen. (The twentieth-century conflict between liberal democracy and MarxistLeninism is only a fleeting and superficial historical phenomenon compared to the continuing and deeply conflictual relation between Islam and Christianity). Karena itulah, Huntington memperingatkan, pertumbuhan penduduk Muslim merupakan satu faktor destabilitas terhadap masyarakat Muslim dan lingkungannya. Jumlah besar kaum muda Muslim dengan pendidikan menengah akan terus memperkuat kebangkitan Islam dan militansi Islam, militerisme, dan imigrasi. Hasilnya, pada awal-awal abad ke-21, Barat akan menyaksikan kebangkitan kekuatan dan kebudayaan non-Barat dan sekaligus benturan antar-masyarakat non-Barat atau dengan Barat. (

Meanwhile Muslim population growth will be a destabilizing force for both Muslim societies and their neighbours. The large number of young people with secondary educations will continue to power Islamic Resurgence and promote Muslim militancy, militarism, and imigration. As a result, the early years of the twenty-first century are likely to see an ongoing resurgence of non-Western power and culture and the clash of the peoples of non-Western civilizations with the West and with each other). Lalu, dalam buku Who Are We?, Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul Militant Islam vs. America, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. (This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War). Jadi, Huntington memang menggunakan istilah perang (war) antara AS dengan Islam militan. Tetapi, definisi dan identifikasi Huntington tentang siapa yang disebut sebagai Islam militan melebar ke mana-mana, bukan hanya kelompok yang secara fisik menyerang AS seperti Osama bin Laden atau al-Qaeda group, melainkan semua kelompok Islam yang bersifat negatif terhadap AS. Kata Huntington, sebagaimana dilakukan oleh Komunis Internasional dulu, kelompok-kelompok Islam militan melakukan protes dan demonstrasi damai, dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Mereka juga melakukan kerja-kerja amal sosial. Tanpa menampilkan sebab-sebab dan fakta yang memadai, Huntington menulis, bahwa selama beberapa dekade terakhir, kaum Muslim memerangi kaum Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, Hindu, Yahudi, Budha atau Cina. (In recent decades, Muslims have fought Protestan, Catholic, and Orthodox Christians, Hindus, Jews, Buddhists, and Han Chinese). Ia menyinggung kasus Bosnia tetapi tidak memaparkan bagaimana kaum Muslim menjadi korban kebiadaban yang tiada tara di Bosnia. Samantha Power, dalam bukunya A Problem from Hell: America and The Age of Genocide (London: Flamingo, 2003), membongkar habishabisan sikap tidak peduli AS terhadap praktik pembasmian umat manusia di berbagai tempat, termasuk di Bosnia. Buku ini memenangkan hadiah Pulitzer tahun 2003. Dalam kasus Bosnia, tulis Samantha, AS bukan hanya tidak berusaha menghentikan pembasmian etnis Muslim, tetapi malah memberi jalan kepada Serbia untuk melaksanakan kebiadaban mereka. (Along with its European allies, it maintained an arms embargo against the Bosnian Muslims from defending themselves). Sebagaimana Bernard Lewis, Huntington juga tidak mau melakukan kritik internal terhadap kebijakan AS yang imperialistik sebagaimana banyak dikritik oleh ilmuwan-ilmuwan seperti Noam Chomsky, Paul Findley, dan Edward Said. Ia hanya mau menunjukkan bahwa Islam adalah musuh besar dan bahaya bagi Barat dan AS khususnya. Ia menampilkan polling-polling di sejumlah negeri Islam yang menunjukkan, sebagian besar kaum Muslim sangat tidak menyukai kebijakan AS. Misal, sebuah polling di sembilan negara Islam, antara Desember 2001-Januari 2002, menampilkan realitas opini di kalangan Muslim, bahwa AS adalah kejam, agresif, sombong, arogan, mudah terprovokasi dan bias dalam politik luar negerinya. Tetapi, Huntington tidak mau menampilkan fakta bahwa kebencian masyarakat Barat (Eropa dan rakyat AS sendiri) terhadap kebijakan-kebijakan politik AS juga sangat besar. Bahkan, jauh lebih besar dari apa yang terjadi di kalangan Muslim. Di dunia Islam, tidak ada demonstrasi besar-besaran menentang AS seperti yang terjadi di berbagai negara Eropa dan di dalam AS sendiri. Karena itu,

sangatlah naif, bahwa ilmuwan seperti Huntington ini justru mencoba menampilkan fakta yang tidak fair dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS. Bahkan ia menyatakan, The rhetoric of Americas ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam. Cara berpikir dan program kelompok neo-kon dan ilmuwan-ilmuwan neo-konservatif di AS itu tentu berpengaruh besar terhadap corak dan arah politik Indonesia, yang merupakan satu negeri Muslim terbesar di dunia. Karena itu, sangatlah wajar, jika ia mendapat perhatian khusus, sekaligus dengan dana dan sanksi, sesuai politik carrot and stick policy. Siapa yang menurut akan diberi ganjaran berupa hadiah duniawi yang melimpah. Siapa yang membangkang akan dihukum. Apa dampak politik Islam AS terhadap Indonesia? Pertama, Indonesia akan dicegah untuk tampil sebagai kekuatan besar yang mengarah untuk menjadi rival baru bagi sang superpower tunggal. Karena itu, bisa dipahami, jika proyek globalisasi neo-liberal yang berdampak pada ketergantungan dan kelemahan Indonesia, akan terus dipertahankan. Jeratan utang terhadap Indonesia terus dipertahankan. Sistem moneter dan pasar bebas terus dijalankan. Belakangan, posisi Indonesia semakin melemah, menyusul banyaknya perusahaanperusahaan strategis milik negara yang dijual kepada asing. Kedua, AS memantau, mencegah, dan berusaha melemahkan kelompok-kelompok Islam yang mereka kategorikan sebagai militant dan pada saat yang sama bekerjasama dan menyokong proses liberalisasi dan sekularisasi Islam di Indonesia. Sebab itu bisa dipahami, mengapa tokoh-tokoh liberal Islam diperlakukan sebagai The darling of America, mendapatkan kucuran dana yang melimpah dan promosi intelektual besar-besaran. Pada saat yang sama, menyusul peristiwa 11 September 2001, keran dana dari negeri-negeri Islam tersumbat, atau minimal mengalami hambatan besar, karena dana-dana dari Timur Tengah tidak jarang dikait-kaitkan dengan isu terorisme Islam. Sebenarnya, politik Islam AS yang dirumuskan oleh kaum neo-kon ini menjadi beban berat bagi negara dan bangsa AS. Sebab, mereka telah menyeret AS ke dalam perang yang semu dan tanpa batas. Ini akan menjebak AS masuk ke dalam situasi imperial overstrecth yang menjadi sebab utama hancurnya imperium-imperium terdahulu. AS bukan hanya mengurusi politik, militer, dan ekonomi dunia, tetapi juga mamaksakan diri menentukan keimanan atau kesekuleran penduduk bumi. Siapa pun dan bagaimana pun latar belakangnya, Presiden SBY adalah seorang Muslim dan memiliki kadar intelektualitas cukup tinggi untuk memahami politik global AS saat ini. Saya menduga, tidak mudah bagi AS untuk mendiktekan kemauan dan politiknya yang tidak masuk akal kepada Presiden SBY, termasuk dalam soal Islam. Efeknya, bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan kekuasaan Presiden SBY, yang tidak memiliki basis kekuatan dominan di lembaga legislatif. Terlepas dari tekanan kepentingan mana pun, tugas berat Presiden SBY adalah melakukan rekonsiliasi nasional yang mampu menghimpun kesatuan visi dan kekuatan bangsa untuk menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. Ini hanya mungkin dilakukan jika SBY melakukan terobosan dan perubahan fundamental dalam kebijakan yang dirumuskannya. Satu langkah penting adalah dengan melakukan penghematan besar-besaran anggaran negara, memotong semua pengeluaran yang tidak perlu, kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat: pangan, sandang, papan, kesehatan, dan

pendidikan. Karena itu, tidak bisa tidak, SBY mesti memulai dari dirinya sendiri, lalu keluarganya, lingkungan istana, kabinetnya, dan terus ke bawah. Indonesia hanya mungkin bersikap mandiri dan terbebas dari tekanan mana pun, jika pemimpin dan rakyatnya mau bersikap mandiri. Kita tunggu, apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu memikul beban yang amat berat ini. Allah SWT yang memberikan kekuasaan kepada Presiden SBY, bukan rakyat, bukan Partai Demokrat. Kapan saja, kekuasaan itu bisa dicabut. Dan Allah menjadi saksi di dunia dan akan meminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Wallahu alam. (KL, 1 Oktober 2004).

Kampanye Mengkritik al-Quran Minggu, 10 Oktober 2004 Di Indonesia, belakangan banyak orang keranjingan Abu Zayd. Mereka seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu "si tukang sihir". CAP ke-73 Adian Husaini, MA Entah nasib apa yang menimpa Dunia Islam dan umat Islam Indonesia khususnya pada hari-hari ini. Serangan dan kritikan bertubi-tubi terhadap Islam, Kitab Sucinya, dan umatnya bukan saja datang dari mereka yang secara logika sepatutnya membenci dan memusuhi Islam. Tetapi, kadangkala, serangan dan kritik itu justru dari kalangan kaum Muslim sendiri. Bahkan, dari mereka yang mengaku sebagai intelektual Muslim dari satu organisasi Islam tertentu. Senin, 04 Oktober 2004, seorang yang menyebut dirinya dari Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah menulis artikel di Harian Republika, dengan judul Islam dan Pertarungan Rezim Intelektual. Pada umumnya, tulisan itu mendukung gagasan Nasr Hamid Abu Zayd tentang penggunaan hermeneutika untuk al-Quran. Berikut ini kutipan sebagian artikel tersebut: Di mata kalangan Islam ortodoks, al-Quran adalah sabda Tuhan yang abadi. Dia selalu ada sebagai sifat Tuhan, dan tidak pernah diciptakan, karena sifat Tuhan adalah sesuatu yang melekat dalam diri Tuhan dan Tuhan tidak menciptakan sifat-sifat itu. Bahwa teks abadi ini telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad pada abad ke-7 masyarakat Arab sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menampakkan makna al-Quran, yang merupakan sebuah kitab yang harus dibaca secara literal dan selalu benar di sepanjang masa. Akibatnya, tidak ada tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran yang sama dengan Bibel Hebrew dan Perjanjian Baru (New Testament). Jika dicermati, tulisan itu rancu, secara intelektual. Solah-olah, orang Islam yang tidak mengikuti tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran adalah Islam ortodoks, karena tidak mau mengikuti jejak Yahudi dan Kristen. Jadi, yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen bukan Muslim ortodoks. Lalu, orang Islam yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen itu disebut apa? Muslim yang maju? Muslim yang modern? Muslim yang terbuka? Muslim yang progresif? Atau apa? Kata ortodoks, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani orthodoxos, yang artinya having the right opinion atau mempunyai

pendapat yang benar. (orthos: straight, correct). Tapi, kata ini sekarang dipersepsikan sebagai kolot, anti-kemajuan, dan sejenisnya. Diskusi tentang al-Quran, kalam Allah, dan sifat Allah telah menjadi perdebatan sengit antara Mutazilah dan Ahlu Sunnah. Mutazilah berpendapat, bahwa al-Quran adalah makhluk, sebagai bagian dari konsep mereka tentang penyucian Allah dari sifat tasybih, yaitu menyerupakan Dzat dan sifat Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian pemikiran khalq al-Quran Mutazilah sebenarnya untuk memperkuat konsep tanzih yang menyangkal keberbilangan Yang Qadim. Konsep Mu'tazilah sebenarnya merupakan respon yang menyangkal ekstrimitas madhhab tasybih. Namun, pada akhirnya mereka juga terjebak dalam bentuk ekstrimitas yang lain. Sebab, konsep ini telah menafikan keberadaan sifat, ketika mereka menyatukannya dengan dzat (al-sifat ainu al-dzat). (Lihat artikel Studi Komparatif: Konsep al-Quran Nasr Hamid dan Mutazilah, Majalah Islamia No 2). Konsep al-Quran Mutazilah itu sama sekali berbeda dengan konsep al-Quran sebagai produk budaya Abu Zayd. Sebab, konsep Abu Zayd, adalah konsep yang jauh lebih ekstrim dari Mutazilah dan mendekati konsep kaum Kristen terhadap Bible mereka. Dari konsep Kitab Suci sesuai Bible ini, maka akan berkembang pula konsep penafsiran metode hermeneutika yang juga berkembang dalam tradisi Kristen. Fenomena ini tidak kita jumpai dalam perjalanan tradisi intelektual Mutazilah. Mutazilah tidak mengembangkan tradisi kritik teks al-Quran (naqd al-khithab), sebagaimana dilakukan kaum Yahudi dan Kristen terhadap Kitab Suci mereka. Masalah ini perlu ditekankan, agar kita tidak terjebak dengan anggapan sepintas, seolah-olah pemikiran Abu Zayd tentang textual criticism terhadap al-Quran adalah kelanjutan dari tradisi pemikiran di kalangan Muslim. Dulu, di zaman Khalifah al-Mamun, Imam Ahmad bin Hanbal menjadi tokoh Ahlu Sunnah yang rela dipenjara dan disiksa karena menentang konsep Mutazilah yang dipaksakan penguasa. Saat ini, seluruh umat manusia juga dipaksa oleh penguasa dunia (negara adidaya) untuk menerapkan sekularisme - ideologi Nasr Hamid Abu Zayd. Sekedar menyegarkan ingatan kita, salah satu gagasan sentral Abu Zayd yang kontroversial adalah konsepnya tentang al-Quran, yang ia tekankan sebagai produk budaya, teks historis, teks linguistik, atau teks manusiawi. Meskipun tidak menafikan unsur ilahiah (divinity) al-Quran, Abu Zayd memandang teks al-Quran sudah memanusiawi dan masuk dalam kerangka teks historis dan budaya Arab. Abu Zayd masuk dalam diskursus teks, sebab sebagai hermeneut (pengaplikasi hermeneutik) dalam interpretasi alQuran, ia harus melakukan dekonstruksi dan deabsolutisasi konsep al-Quran sebagai the word of God (dei verbum), yang menjadi mainstream pemikiran Muslim (ahlu sunnah). Ia tulis buku-buku yang mengupas persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti Mafhum al-Nash al-Dirasah fi Ulum al-Quran dan Naqd al-Khithab al-Dini. Di sinilah Abu Zayd kemudian menempatkan Nabi Muhammad saw -- penerima wahyu -- pada posisi semacam pengarang al-Quran. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia, dan merupakan bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya. Dalam tradisi hermeneutika Bible, analisis terhadap kondisi psiko-sosial penulis Bible memang memungkinkan. Sebab, masing-masing Bible memang ada penulisnya. Tetapi, siapakah pengarang al-

Quran? Dalam konsep Islam, Nabi Muhammad saw, sebagai seorang ummiy, adalah penerima pasif wahyu. Konsep bahwa teks al-Quran adalah spirit wahyu dari Tuhan identik dengan konsep teks Bible, bahwa The whole Bible is given by inspiration of God. Pendapat Abu Zayd, menurut Dr. Gerard R. Wiegers, dosen Universitas Leiden, memang melewati batas pemahaman al-Quran yang mapan. Konsep Abu Zayd tentang al-Quran berdampak pada metode penafsiran al-Quran yang dia ajukan, yang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Ia berupaya menjebol konsep dan metode tafsir alQuran Ahlu-Sunnah. Ia mencatat: Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha mereka mengaitkan makna teks dan dalalah-nya dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja kesalahan pemahaman, tetapi juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas -- suatu sikap yang bersandar pada keterbelakangan, antikemajuan dan anti- progresivitas. Oleh karena itu kaum Ahlu Sunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran al-Quran pada empat hal: penjelasan Rasulullah saw, sahabat, tabiin, dan terakhir yaitu tafsir bahasa. Benarkah Ahlu Sunnah mendukung keterbelakangan dan antikemajuan, seperti klaim Abu Zayd? Pendapat Abu Zayd seperti itu tentu saja bukan pendapat ilmiah yang didukung oleh data-data yang kuat. Selama ratusan tahun, kaum Muslim mengalami zaman keemasan dan mencapai kemajuan di berbagai bidang justru ketika mereka menganut pola pemahaman Ahlu Sunnah. Upaya untuk meruntuhkan konsep Ahlu Sunnah dilakukan Abu Zayd dengan menyerang sejumlah tokoh utamanya, seperti Imam al-Shafii, al-Ashari, dan al-Ghazali. Imam al-Syafii dituduhnya mengubah teks primer (al-Quran) menjadi teks sekunder (al-hadits), dan sebaliknya. Abu Zayd, yang mengaku seorang sekular, bukan orang baru dalam membongkar konsep al-Quran. Arkoen dan Fazlur Rahman, sudah melakukan itu. Rahman menyatakan, dalam bukunya, Islam, bahwa the Quran is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad. Arkoun, dalam bukunya Rethinking Islam Today, menyayangkan sarjana Muslim yang tidak mau mengikuti jejak kaum Kristen dalam melakukan kritik folosofis terhadap teks suci al-Quran. Pada 1927, pendeta Kristen Prof. Alphonse Mingana, menyatakan, Sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kuran to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures). Memang, studi kritik teks al-Quran tidak berkembang di kalangan Muslim. Bahkan, setelah Abu Zayd menulis buku Kritik terhadap Teks Keagamaan (Naqd al-Khithab al-Dini). Ini berbeda dengan pesatnya studi kritis teks Bible. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bible. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972). Ini bisa dipahami, sebab Bible menyimpan problematika tekstualitas yang rulit. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote

the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab (The Old Testament) ini masih misterius. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Fenomena dalam tradisi Kristen itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks alQuran-- termasuk Mutazailah. Karena itulah, secara prinsip, teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: The Quran has no parallel outside Islam. Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih percaya Bible sebagai dei verbum. Sebab itu, sangatlah aneh, jika ada sebagian kalangan Muslim yang membawa nama Muhammadiyah kemudian dengan bangganya mengecam kaum Muslim yang tidak mau mengkritisi alQuran, sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen mengkritisi Bible mereka. Untuk memperjelas siapa dan bagaimana hubungan konsep Abu Zayd dengan konsep-konsep dalam tardisi Kristen-Barat, berikut ini beberapa kutipan dari buku Meretas Kesarjanaan Kritis alQuran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd (2003), yang ditulis oleh seorang murid Abu Zayd di Universitas Leiden: Dia telah mengkritik para Muslim konservatif seperti Al-Imam al-Syafii, Al-Imam al-Asyari, Abu Hamid al-Ghazali (dari periode klasik), dan Sayyid Quthub, Hasan al-Banna, Muhammad alGhazali, Fahmi Huwaydi, Muhammad al-Baltaji, dan Ab al-Shabur Syahin (dari periode modern), dan juga para Muslim rasionalis klasik seperti Mutazilah dan Ibnu Rusyd (Averoisme), serta para Muslim liberal modern seperti Hasan Hanafi dan Muhammad Shahrour. Abu Zayd berupaya untuk memformulasikan sebuah perangkat metodologis yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, pendapat Abu Zayd yang berkaitan dengan pembacaan ideologis mengingatkan kita kepada hermeneutic of innocent nya E.D. Hirsch, Jr, walaupun tak persis sama, yang sesungguhnya, menurut saya, tidak dapat lagi dipertahankan pada era pascaGadamer-- tokoh yang dianggap justru banyak mempengaruhinya. Abu Zayd secara berulan-ulang mengatakan bahwa sebuah pembacaan ideologis dan subjektif atas al-Quran tidak lebih daripada manipulasi makna, yang bertentangan dengan objektivitas ilmiah. Bahkan, ideologi itu sendiri, menurutnya, adalah sebuah penyakit yang harus diberantas. Pada titik ini, pengaruh konsep Marxis tentang ideologi, sebagaimana disinyalir oleh para penentangnya, bagaimana pun terbukti adanya. Para Marxis melihat ideologi sebagai sebuah distorsi realitas, dan mereka juga mengkontraskannya dengan kesadaran sejati (true consciousness) Kesadaran akan subjektivitas dan kecenderungan ideologis ini, menurut hemat saya, haruslah dimasukkan dalam asumsi-asumsi epistemologis. Subjektivisme dan kecenderungan ideologis bukanlah hal yang harus disingkirkan, namun malah harus dimasukkan sebagai faktor penting dalam membangun sebuah teori hermeneutika. Pada tingkat ini, kesadaran itu telah bekerja dalam level yang lebih riil, yakni level epistemologis. Upaya semacam ini tampaknya absen di dalam karya-karyanya. Meskipun Abu Zayd sangat kritis terhadap pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks

keagamaan, sebagian besar tulisannya, pada kenyataannya, bersifat ideologis pula. Ada dua ideologi penting yang mendasari karya-karyanya, yaitu sekularisme dan akademisme, dengan tanpa mengatakan bahwa kedua ideologi ini, dan pengaruh dari keduanya, berdampak negatif. Saya hanya bermaksud menunjukkan bahwa, secara sadar atau tidak ideologi dan subjektivitas Abu Zayd hadir dalam tulisantulisannya. Artinya, klaim ideologis itu dapat dikenakan kepada siapa saja, karena klaim itu sendiri merefleksikan ideologi tertentu. Sebagaimana tertulis dalam bab pertama, Abu Zayd memosisikan dirinya sebagai seorang intelektual Muslim sekularis. Meskipun dia mendefinisikan sekularisme sebagai sebuah interpretasi sejati dan ilmiah atas Agama, tidaklah berarti bahwa sekularisme bukan sebuah ideologi Kepercayaan Abu Zayd akan otoritas nalar, objektivitas, dan akademisme membimbingnya untuk menjadi wakil sah dari pengikut rasionalis pencerahan modern. Namun, fakta bahwa dia terkadang mengadopsi konsep-konsep posmodernisme tidaklah terbantahkan. Fouad Ajami, misalnya, mengatakan, bahwa Abu Zayd sangat at home dengan metode dan bahasa Michel Foucault dan Antonio Gramsci, dan Edward Said mengatakan, bahwa utang terhadap Foucoult adalah jelas ketika Abu Zayd menggunakan konsep wacana dalam (buku) Naqd al-Khithab al-Dini (Kritik atas Wacana Keagamaan). Namun, tidak dapat dikatakan bahwa Abu Zayd bekerja dalam kerangka posmodernisme, yang justru menolak sentralitas nalar, objektivitas, dan akademisme, hal yang justru paling dibela Abu Zayd. Lagi pula, dia tidak pernah menyatakan dukungannya terhadap posmodernisme, dan tidak pernah mengutip karya-karya posmodernis, meskipun, sebagaimana yang diakuinya, dia membaca beberapa karya itu. (hal.158-161). Salah satu produk hasil penggunaan metode hermeneutika ala Abu Zayd, misalnya, adalah pendapatnya, bahwa jin dan setan tidak ada dalam realitas dan hanya ada dalam mitos. Karena melihat wahyu sebagai proses evolusioner transformasi dari sebuah pandangan dunia mitologis kepada pandangan dunia rationalistik, maka di akhir analisisnya tentang jin, setan, sihir, dan hasad, Abu Zayd berkesimpulan, bahwa semua itu pada hekikatnya bersifat mitologis, hidup dalam konsep mental saja, dan tidak ada dalam realitas. (hal. 119). Pengaruh Ferdinad de Saussure jelas dalam interpretasi tentang kekuatan-kekuatan jahat di atas, khususnya yang terkait dengan tanda-tanda linguistik. De Saussure berpendapat bahwa tanda-tanda linguistik bukanlah hubungan (link) antara sebuab benda dengan sebuah nama, namun antara sebuah konsep dengan sebuah pola suara. (hal. 126). Membaca kesimpulan dan analisis murid Abu Zayd di Leiden tersebut, maka tidaklah berlebihan jika Dr. Syamsuddin Arif dalam artikelnya di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd menulis: Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya - adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat. Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang

dijajakan oleh si tukang sihir. Wallahu alam. (KL, 7 Oktober 2004). Mengapa Minder terhadap Barat? (2) Selasa, 09 November 2004 Kebanyakan hujatan terhadap Islam belakangan ini terjadi akibat kebodohan, kesilauan rasa minder terhadap peradaban Barat. Baca CAP Adian Husaini, MA ke 76 (bagian kedua) Mengapa Minder terhadap Barat? (2) (Eksposisi Tesis Islam-Barat Prof. Naquib al-Attas) Menurut Prof. Naquib al-Attas, bukan hanya dari segi ajaran, Islam membongkar dasar-dasar kepercayaan agama Kristen, tetapi kemuncuan Islam pada awal abad ke-7 M, juga memberikan tantangan hebat terhadap eksistensi politik, ekonomi, dan geografi Kristen. Fajar Islam kemudian mengubah peta sejarah, khususnya di kawasan Timur Tengah. Islam menggantikan posisi Kristen sebagai agama dominan saat itu. Secara panjang lebar hal ini dikatakan oleh al-Attas dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin sebagai berikut: Pada waktu fajar Islam mulai menyingsing maka agama Kristian itu sudahpun menguasai kawasan yang luasnya melingkungi Eropah Barat hingga ke Timur, termasuk Asia Barat dan Afrika Utara akan tetapi impian agung dan idam-idaman yang tentu giat membujuk hasrat dan ghairah penganjur serta penganut-penganut agama Kristian Barat itu tiba-tiba getar gugur hancur akibat terbitnya Islam. Islamlah agama yang mula-mula mendawahkan peranannya sebagai agama yang bersifat menyeluruh bagi anutan segenap masyarakat insani; agama yang merupakan fitrah atau mengandung bawaan asal sifat insani; yang mula-mula mendawa bagi membetul dan melengkapkan agama-agama lampau, khususnya agama Yahudi dan Kristian; yang mula-mula menggugat dan melaberak dasar-dasar akidah agama Kristian Kemudian gugatan serta laberakan batin terhadap agama Kristian itu disusuli segera dengan cabaran (tantangan.pen.) zahir yang merupakan perkobaran Islam, dalam masa sejarah yang sesingkat lebih kurang lima puluh tahun sahaja, laksana api yang merebak menjalar keluar dari tanah Arab ke Mesir; ke Afrika Utara (al-Maghrib); ke Spanyol; ke Iraq; ke Syria; ke Farsi; ke India dan China sehingga sampai juga ke Kepulauan Melayu-Indonesia ini! Dalam masa hampir dua ratus tahun sesudah Hijratul-Nabiy (shallallaahu alaihi wa sallam), maka jajahan dan kawasan Islam itu luasnya lebih jauh besar dari jajahan dan kawasan agama dan imperaturia manapun dalam dunia, dan melingkungi kawasan-kawasan Eropah Barat dan Timur termasuk negeri Turki. Orang-orang Islamlah yang pertama menalukkan orang Barat; yang pertama memainkan peranan besar dalam menyanjung tinggi pelita ilmu pengetahuan ke Eropah dan dengan demikian menerangi suasana gelap gulita yang menyelubungi dunia Barat dewasa itu; yang pertama melangsungkan pembicaraan akliah menerusi ilmu kalam dengan para failasuf dan ahli teologi agama Kristian Barat Pukulan zahir batin yang

mahahebat yang telah dikenakan oleh Islam kepada agama Kristian dan Kebudayaan Barat itu tentulah terasa oleh hati sanubarinya bagai sebatan cemeti yang terlalu amat pedih menggeleparkan, hingga lalu memaksa meragut keluar dari dalam kunhi jiwanya satu laungan mahadahshat yang ngilunya masih dirasai olehnya kini! Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristaan Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi. Dan kita pun tahu bahawa tiadalah dapat Islam itu bertolak-ansur dalam menghadapi serangan Kebudayaan Barat, justru sehingga Kebudayaan Barat itu tentulah menganggap Islam sebagai seterunya yang mutlak; dan kesejahteraannya hanya akan dapat terjamin dengan kemenangannya dalam pertandingan mati-matian dengan Islam, sebab selagi Islam belum dapat ditewaskan olehnya maka akan terus ada tanding dan seteru yang tiada akan berganjak daripada mencabar dan menggugat kedaulatan serta faham dasar-dasar hidup yang didayahkan olehnya itu. Al-Attas mengimbau agar kaum Muslimin tidak alpa dan lena dalam mengemban tugasnya sebagai umat Islam. Umat Islam tidak seharusnya secara bulat-bulat menerima dan mengharapkan harapan yang sia-sia bantuan dan kerjasama serta persahabatan yang ikhlas dari yang lain. Ia mengajak umat Islam merenungkan makna firman Allah dalam surat al-Baqarah 120: Tiada akan orang Yahudi dan Kristian itu rela menerimamu melainkan kau jua yang dikehendaki mereka mengikut cara agamanya. Katakanlah (olehmu): Sesungguhnya Petunjuk Allah itulah satusatunya Petunjuk. Andai kata kau mengikut hawa nafsu mereka, sesudah sampai kepadamu Ilmu yang Sebenarnya, maka tiada akan kau dapati bagimu Pelindung mahupun Penolong yang akan dapat mencegah tindak balasan Allah. Diingatkan oleh al-Attas dengan bahasa yang lugas: Bukankah di zaman kita ini pun jelas bahawa orang-orang Yahudi dan Kristian yang keduanya menjelmakan sifat asasi Kebudayaan Barat memang tiada rela menerima baik seruan Islam dan kaum Muslimin, melainkan kita jua yang dikehendaki mereka mengikut cara agamanya? menganuti sikap hidup yang berdasarkan semata-mata keutamaan kebendaan, kenegaraan dan keduniaan belaka. Dan agama dijadikannya hanya sebagai alat bagi melayani hawa nafsu. Bukankah Ilmu yang sebenarnya sudah sampai kepada kita?. Maka mengapa pula kita membiarkan sahaja nasib Umat kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan dan juga para ulama yang lemah dan palsu yang sebenarnya tiada sedar bahawa mereka sedang mengekori hawa nafsu Kebudayaan Barat! Mereka membayangi Kebudayaan Barat dalam cara berfikir, dalam sikap beragama, dalam memahami nilai-nilai kebudayaan dan mengelirukan faham serta tujuan ilmu. Kepada Kebudayaan Baratkah akan kita berlindung, akan kita memohon pertolongan, yang akan dapat mencegah tindak balasan Allah kelak? Waspadalah saudaraku Muslimin sekalian! Berbeda dengan Samuel P. Huntington yang sejak tahun 1960-an sudah menjadi penasehat politik Amerika Serikat (AS), dan menulis bukunya, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, untuk bahan merumuskan kebijakan politik negaranya, sosok al-Attas adalah sosok seorang

ilmuwan dan akademisi yang sangat peduli dan berkecimpung dalam hampir seluruh hidupnya dalam dunia pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Attas sama sekali bukan sosok politisi. Ia tipe ilmuwan murni, ulama, yang meyakini bahwa problema mendasar yang dihadapi umat Islam dan dunia internasional adalah masalah keilmuan (knowledge). Ia seperti mengikut jejak ulama-ulama Islam terdahulu, seperti al-Shafii, al-Ghazali, Imam Ahmad, dan sebagainya, yang bergiat dalam ilmu dan menjaga kemandirian dan sikap kritis terhadap penguasa. Sebagai ulama yang memiliki tanggung jawab keilmuan dan penjagaan aqidah dan eksistensi umat Islam, Naquib al-Attas menyerukan agar kaum Muslim disamping memahami Islam dengan baik juga memahami secara mendalam realita peradaban Barat. Ia mencatat bahwa, Kebanyakan orang Islam belum lagi mengetahui dan mengenali apa dia sebenarnya Kebudayaan Barat itu. Sebelum dapat kita mengukuhkan diri terhadap serangan yang ditujukan kepada kita oleh Kebudayaan Barat maka perlulah bagi kita mengenali sifat-sifat asasi kebudayaan itu. Teori al-Attas tentang sifat-sifat asasi peradaban Barat dan Islam telah menarik banyak perhatian dunia internasional. Buku-bukunya diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ia memiliki pendirian yang kokoh dan tajam, meskipun harus memberikan kritik langsung terhadap peradaban Barat di depan para cendekiawan Barat itu sendiri. Sebagai contoh, perhatian terhadap teori al-Attas adalah apa yang dilakukan oleh sebuah Foundation di Australia The Cranlana Program yang menerbitkan dua volume buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002). Buku ini menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah umat manusia. Gagasan al-Attas yang diambil adalah pemikirannya yang tertuang dalam sebuah tulisan berjudul Dewesternization of Knowledge. Secara lebih sederhana, hakikat peradaban Barat dijelaskan al-Attas dalam buku Risalah untuk Kaum Muslimin: Biasanya yang disebutkan orang sebagai Kebudayaan Barat itu adalah hasil warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropah dari Kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian diadun pula dengan campuran Kebudayaan Rumawi dan unsure-unsur lain dari hasil cita-rasa dan gerak-daya bangsa-bangsa Eropah sendiri, khususnya dari suku-suku bangsa Jerman, Inggris dna Perancis. Dari Kebudayaan Yunani Kuno mereka telah meletakkan dasar-dasar falsafah kenegaraan serta pendidikan dan ilmu pengatahuan dan kesenian; dari Kebudayaan Rumawi Purbakala mereka telah merumuskan dasar-dasar undang-undang dan hokum serta ketatanegaraan. Agama Kristian, sungguhpun berjaya memasuki benua Eropah, namun tiada juga meresap ke dalam kalbu Eropah. Justru sesungguhnya agama yang berasal dari Asia Barat dan merupakan, pada tafsiran aslinya, bukan agama baharu tetapi suatu terusan dari agama Yahudi itu, telah diambil- alih dan dirobah-ganti oleh Kebudayaan Barat demi melayani ajaran-ajaran dan kepercayaan yang telah lama dianutnya sebelum kedatangan agama Kristian. Mereka telah mencampuradukkan ajaran-ajaran yang kemudian menjelma sebagai agama Kristian dengan kepercayaan-kepercayaan kuno Yunani dan Rumawi, dan Mesir dan Farsi dan juga anutan-anutan golongan Kaum Biadab. Dengan sifat dan posisi agama Kristen, sebagai agama mayoritas bangsa Barat, semacam itu, maka Kebudayaan Barat sejatinya bukanlah berdasarkan pada agama, tetapi pada falsafah. Dalam hal ini, pandangan al-Attas sejalan dengan pandangan Iqbal, Sayyid Qutb, Ali an-Nadwi, Muhammad Asad,

dan banyak cendekiawan Muslim lainnya. Namun, pandangan al-Attas tentang peradaban Barat ini tampak lebih mendalam dan sistematis, ketika ia berhasil meramu unsur-unsur pembentuk peradaban Barat itu dengan proporsional, terutama ketika mendudukkan posisi warisan Yunani Kuno, Romawi, dan Kristen dalam peradaban Barat. Dengan mengesampingkan agama dan menjadikan falsafah sebagai asas berpikirnya, maka tiada tempat dalam jiwa pengalaman mereka itu beragama sesuatu ketetapan mengenai keyakinan. Mereka hanya menegaskan dasar teori, yaitu ilmu pengetahuan atau hasil akal-nazari yang berlandaskan dugaan dan sangkaan-sangkaan dan pencapaian akal jasmani yang mungkin benar dan mungkin tidak benar. Maka dari itu, dasar ilmu yang demikian dan sikap hidup yang menjadi akibatnya, tiadalah akan dapat membawa kepada keyakinan. Sifat agama Kristen itu sendiri, yang problematis dalam asas-asas kepercayaannya, menurut al-Attas, juga turut membentuk sikap peradaban Barat. Secara singkat, al-Attas menyimpulkan sifat-sifat asasi Kebudayaan Barat, yaitu (1) berdasarkan falsafah dan bukan agama, (2) falsafah yang menjelmakan sifatnya sebagai humanisme, mengikrarkan faham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta, dan (3) Kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang tragic. Yakni, mereka menerima pengalaman kesengsaraan hidup sebagai suatu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia. Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam itu, Al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Al-Attas memulai tulisannya dalam Dewesternization of Knowledge dengan ungkapan, bahwa sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. Kritik-kritik al-Attas terhadap karakteristik keilmuan Barat modern, misalnya, juga disampaikan saat Konferensi Internasional para Filosof pada Januari 2000, di University of Hawai. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara dan berlangsung selama dua minggu. Tema yang dibahas ialah Technology and Cultural Values on the Edge of the Third Millennium. Dalam editorialnya terhadap buku kompilasi hasil konferensi itu, tiga ilmuwan terkenal, yaitu Pater D. Hershock, Marietta Stepaniants, dan Roger T. Ames, mencatat bahwa paparan al-Attas yang menyorot kesesuain dan ketidaksesuaian antara tradisi Barat dalam sains dan teknologi dengan sistem epistemologi dan metafisika Islam, merupakan paparan yang artikulatif, cermat, dan sistematis, tentang basis revisi Islami terhadap tujuan dan premis-premis moral dalam sains dan teknologi. Dalam uraiannya ini, al-Attas banyak menjelaskan berbagai perbedaan fundamental antara konsep sekular Barat dan Islam dalam berbagai persoalan. Dalam soal konsep kebahagiaan (happiness), misalnya, al-Attas menjelaskan sikap Muslim yang menolak konsep Aristotelian tentang kebahagiaan yang hanya menyentuh aspek duniawi, dan hingga kini diikuti oleh konsep modern. Ia menegaskan tentang sikap pandangan hidup (worldview) Islam yang tidak memisahkan aspek duniawi dengan akhirat. Konsepsi modern tentang kebahagiaan, (saadah) menurut al-Attas, esensinya sama dengan konsepsi manusia di masa lalu, di era paganisme. Sedangkan konsep kebahagiaan dalam Islam, akan dialami dan disadari oleh orang-orang yang benar-benar tunduk dan patuh kepada Allah dan mengikuti bimbingan-Nya. Puncak kebaikan dalam hidup adalah Cinta kepada Allah.

Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, al-Attas tampak berusaha keras memberikan keyakinan kepada kaum Muslimin, terutama para cendekiawannya, tentang keagungan konsep peradaban Islam, dibandingkan konsep peradaban lainnya. Ia sangat menekankan perlunya kaum Muslimin mengkaji dan memahami khazanah keilmuan yang telah dicapai para ulama Muslim yang agung di masa lalu. Ia menanamkan jiwa optimisme, meskipun Islam menghadapi serangan hebat dari berbagai penjuru. Tahun 1959, jauh sebelum menempuh jenjang pendidikan tinggi di Barat, al-Attas sudah mengamati kondisi kaum Muslimin yang memilukan. Ketika itu, ia menulis sebuah puisi: Muslim tergenggam belenggu kafir, Akhirat luput, dunia tercicir, Budaya jahil luas membanjir, Banyak yang karam tiada tertaksir. Sebab utama yang melilit kondisi kaum Muslimin, kata al-Attas, adalah kejahilan masyarakat Islam terhadap Islam, sebagai agama yang sebenarnya dan peradaban yang luhur dan agung yang telah menghasilkan ilmu-ilmu Islamiyah yang mampu mewujudkan pandangan hidup (worldview) tersendiri yang unik. Paparan al-Attas tentang peradaban Barat perlu dikaji secara cermat. Sebab, apa yang disampaikannya berpuluh tahun lalu kini banyak menjadi kenyataan. Kaum Muslim khususnya di Indonesia kini disuguhi satu tragedi intelektual yang memilukan. Begitu banyak sarjana Muslim yang terpesona dan mengagungkan pandangan hidup Barat dan teori-teori para ilmuwan Barat, meskipun harus mengorbankan keyakinan Islam. Al-Attas mengajak kaum Muslimin untuk memahami Barat secara mendalam, bukan bersikap anti-Barat. Banyak hal yang dapat diambil dan dipelajari dari Barat, tetapi bukan menjiplak pandangan hidup Barat yang mengebiri dan membunuh agama sendiri, semisal paham sekularisme dan pluralisme agama. Jika Barat maju secara fisik dengan membuang dan mengebiri agamanya, kaum Muslimin tidak perlu mencontoh mereka. Sebab, Islam memang berbeda dengan Kristen. Dengan mengkaji Barat dengan baik, dan juga Islam dengan baik, menurut al-Attas, maka kaum Muslim tidak akan mengalami sikap rendah diri. Sebab mereka memiliki ajaran agama dan Kitab Suci yang agung. Wallahu alam. (KL, 4 November 2004). Minggu, 14 November 2004 Selain Yahudi, kelompok penting di balik Bush adalah neo-konservatif yang 'berbahaya'. Merekalah yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS di dunia Islam. Baca CAP Adian Husaini, MA ke 77 Belum lama ini cendekiawan terkenal Inggris Ziauddin Sardar dan seorang wartawati dan

seorang antropologist bernama Merryl Wyn Davies menerbitkan buku berjudul American Dream, Global Nightmare (2004), (Mimpi Amerika, Mimpi Buruk Dunia). Buku ini merupakan kelanjutan dari buku terkenal mereka: Why Do People Hate America? (Mengapa Orang Benci Amerika?). Dalam buku ini mereka mengungkapkan AS begitu dibenci oleh banyak manusia, karena invasi dan infeksi berbagai produk dan budayanya ke berbagai budaya asli dari jutaan penduduk dunia. AS adalah hyperpower pertama di dunia yang menjalankan politik luar negerinya dengan ditopang kekuatan militer yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah dunia. AS pun mengekspor sistem nilai mereka, menentukan negara mana yang beradab, rasional, dan demokratis. Bahkan, mana yang manusiawi dan tidak. Kini, dalam buku barunya, American Dream, Global Nightmare, Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, lebih jauh memaparkan, bagaimana impian AS akan menjadi mimpi buruk bagi umat manusia. Buku ini ditulis sebelum Presiden George W. Bush menenangkan pemilihan Presiden untuk periode kedua, melawan John Kerry. Dan tentu saja, kemenangan Bush, akan semakin mengkhawatirkan banyak umat manusia di muka bumi. Masa depan perdamaian dunia akan semakin pudar, jauh dari harapan umat manusia. Perang atas terorisme bisa diperkirakan akan semakin panjang, sebab sejatinya ada agenda utama lain dibalik slogan War againts terrorism. Mengapa dikatakan ada agenda lain? Karena definisi tentang terrorism itu sendiri tidak pernah jelas. Pada 11 September 2003, Harian terkemuka di Timur Tengah, Al--Syarqul Ausat, menulis, bahwa setelah dua tahun peristiwa 11 September 2001 berlalu, AS masih belum mampu mengatasi aksi terorisme. Bahkan perluasan konsep terorisme yang dipegangnya menciptakan banyak masalah baru. "Dua tahun setelah peristiwa 11 September seharusnya AS sadar bahwa konsep terorisme yang dipegangnya tidak relevan dan harus mendengar usul dunia Arab sebab terbukti AS makin kepayahan menghadapi aksi tersebut," demikian Al-Sharqul Awsat. Diingatkan, agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. "Usul Arab agar terlebih dahulu menentukan definisi terorisme yang disetujui dunia adalah salah satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang dan melelahkan. Kita berharap agar kejadian di Irak menyadarakan kelompok konservatif di Washington," demikian laporan harian terbesar Arab itu. Seruan logis semacam itu sebenarnya terlalu banyak telah diluncurkan berbagai kalangan di dunia internasional. Namun, tidak dipedulikan oleh sang penguasa super. Berbagai paradoks terus dibiarkan berjalan. Logika-logika yang saling bertabrakan dipaksakan karena memang AS dan sekutu-sekutunya memegang hegemoni politik, ekonomi, militer, dan informasi. Banyak pemimpin negara berpikir serius jika sampai tidak mendapat restu dari AS. Maka, demi mempertahankan kekuasaan atau kemaslahatan tertentu, berbagai paradoks dalam soal terorisme itu terpaksa harus dibiarkan terjadi. Maka, bagi masyarakat AS yang memahami masalah sebenarnya, dan bukan hanya terpukau oleh opini media massa, bisa dipahami, jika kemenangan Presiden Goerge W. Bush atas saingannya John Kerry memunculkan keresahan dan protes keras dari berbagai kalangan rakyatnya. Berbagai aksi protes digelar di AS, dengan membentangkan poster-poster anti-Bush dan anti-perang. Sejumlah poster terang-terangan menyebut Bush sebagai teroris. Bahkan, karena kecewa dengan kemenangan Bush, Andrew Veal (25), datang ke Ground Zero bekas lokasi Gedung WTC dan melakukan aksi bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. Di Malaysia, mantan Perdana Menteri Mahathir

Mohammad menyatakan rasa duka cita atas kemenangan Bush. Saya sungguh duka cita dengan perkara ini dan sudah tentu Bush akan membawa malapetaka kepada Islam dalam tempoh empat tahun akan datang, kata Mahathir, seperti dikutip koran Berita Harian (8/11/2004). Bagi yang mencermati perkembangan politik AS, kemenangan Bush sebenarnya tidak sulit diperkirakan. Hegemoni kelompok neo-konservatif dalam dunia publikasi, keuangan, dan pemerintahan AS sudah sangat dominan dan sulit ditembus. Majalah Time, edisi 6 September 2004, memuat cover story berjudul The World According to George Bush. Majalah ini membuat polling yang menunjukkan Bush meraih dukungan 46 persen suara dibandingkan Kerry yang meraih dukungan 44 persen. Kepada majalah ini, Bush mengungkapkan visinya tentang politik luar negeri AS yang tegas dan tidak mengenal kompromi, politik yang mengandalkan kekuatan militer, dan bukan politik yang rendah hati (humble). Tim Bush tidak ingin mengikuti garis politik yang humble agar dihormati dunia. Sebab, menurut mereka, tantangan utama memecahkan ancaman besar yang dihadapi negara itu. Maka, dalam soal Irak, tim Bush berpendapat, bahwa dukungan internasional akan diraih AS, jika tentara AS menang perang. The way to win international acceptance is to win, kata seorang pembantu senior Bush. Untuk melegitimasi pembangunan kekuatan militer, harus ada ancaman yang dianggap riil oleh publik AS. Karena itulah, mitos-mitos tentang ancaman terorisme yang dibangkitkan oleh Bush dalam kampanye untuk menarik dukungan rakyat ternyata cukup ampuh untuk meraup suara. Dalam American Dream, Global Nightmare Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, mencatat adanya 10 hukum dalam mitologi Amerika (the ten laws of American mythology). Ke-10 hukum dalam mitologi Amerika itu ialah: (1) Fear is essential, (2) Escape is the reason for being, (3) Ignorance is bliss, (4) America is the idea of nation (5) Democratisation of everything is the essence of America, (6) American democracy has the right to be imperial and express itself throuh empire, (7) Cinema is the engine of the empire (8) Celebrity is the common currency of empire, (9) War is necessity, (10) American tradition and history are universal narratives applicable across all time and space. Ketakutan, tulis Sardar dan Davies, adalah esensial bagi AS. Tanpa ketakutan tidak ada AS. Ketakutan adalah energi yang memotivasi kekuatan dan menentukan aksi dan reaksi. Dalam kasus kemenangan Bush, formula menjual ketakutan ini tampak meraih sukses. Ketakutan dapat menghilangkan logika sehat. Isu keamanan menjadi sentral, bahwa rakyat AS memang selalu berada dalam ancaman teroris Islam, terutama dari jaringan al-Qaeda. Entah mengapa, menjelang pemilihan Presiden AS, video Osama yang mengancam AS, lagi-lagi muncul dan disiarkan luas oleh jaringan televisi internasional. Ini mirip dengan kemenangan John Howard yang mengiringi peledakan bom di Keduataan Australia di Jakarta. Apa yang ditulis oleh Huntington dalam bukunya, Who Are We? bahwa peristiwa 11 September 2001 mengakhiri pencarian AS terhadap musuh baru pasca berakhirnya Perang Dingin, juga menyiratkan adanya rancangan yang matang tentang mimpi global sebuah imperium bernama Imperium Americanum. Sebuah imperium yang merupakan superpower tunggal di muka bumi, tanpa saingan. Rancangan ini dibuat oleh kelompok yang populer dengan sebutan neo-konservatif (neo-

kon). Kemenangan Bush tidak dapat dilepaskan dari kerja kelompok neo-kon. Adalah sulit membayangkan John Kerry memenangkan pemilihan Presiden AS. Sebab salah satu programnya adalah menarik tentara AS dari Irak sebuah kondisi yang mirip dengan kasus Perang Vietnam dan sikap John F. Kennedy. Sejak berakhirnya Perang Dingin, kelompok neo-kon sudah merancang agenda global dalam politik internasional. Isu-isu global dirancang dengan matang. Salah satu isu utama adalah doktrin the clash of civilizations yang secara resmi diterima sebagai kebijakan politik pada Konvensi Platform Partai Republik George W. Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Banyak agenda penting disepakati dalam konvensi tersebut. Diantaranya, unilateralisme AS dan statusnya sebagai the only super power harus tetap dipertahankan; ditetapkannya the rogue states (negara-negara jahat) sebagai musuh baru tanpa memberikan definisi apa yang dimaksudkan dengan rogue state. Definisinya diserahkan kepada imajinasi dan ketentuan The Shadow Power; juga diputuskan bahwa rezim Saddam Hussein harus diganti. Tidak semua agenda kelompok neo-kon ini telah tercapai. Misalnya, rencana mereka untuk memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. (Abdulhay Y. Zalloum, Painting Islam as The New Enemy, (Kuala Lumpur: Crescent News: 2003). Dalam bukunya, Sardar dan Davies juga menyebut peran kelompok neo-konservatif dalam penentuan kebijakan luar negeri AS. Kelompok pemikir (think-tank) neo-kon dikenal sebagai Project for the New American Century (PNAC), yang didirikan oleh Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Folfowitz, Richard Perle, dan tokoh-tokoh neo-kon lainnya. Proyek ini dirancang sejak awal 1990-an. Namun, terhenti dengan kemenangan Clinton. Proyek neo-kon berlanjut lagi dengan kemenangan Bush yunior dan semakin menemukan momentumnya pasca 11 September 2001. Salah satu proyek terkenal diluncurkan pada September 2000 berjudul Rebuilding Americas Defenses: Strategy, Forces, and Resources for a New Century. Dikatakan, bahwa saat ini AS tidak menghadapi rival global. Strategi besar AS harus diarahkan untuk mengambil keuntungan dari posisi ini semaksimal mungkin. Rancangan Pertahanan yang disusun oleh Paul Wolfowitz berkaitan dengan Tata Dunia Baru menyebutkan: Our first objective is to prevent the reemergence of new rival. Michel Colin Piper, melalui bukunya The High Priests of War (2004) menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh tokohtokoh pro-Israel seperti dimasa Presiden George W. Bush. Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Irak, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya. Jaringan neo-kon bisa dikatakan semacam kolaborasi the unholy trinity (Zionis Israel-Kristen Fundamentalis-imperialisme AS), yang telah berhasil menjadikan Presiden Bush sebagai kendaraan untuk menjalankan satu kebijakan berbasis pada unilateralism, permanent mobilisation, dan preventive war. Kata Piper, President Bush seems to be driven by Christian fundamentalism and strong influence of the Jewish lobby. Dalam wawancara dengan Time, 6 September 2004, Bush juga menegaskan tekadnya untuk mewujudkan sebuah negara Palestina merdeka. Kata Bush, As you know, Im the fisrt President ever to have articulated a position that there ought to be a Palestinian state. I believe that a Palestinian state will emerge. Bush ingin menunjukkan bahwa kasus Iraq dapat dijadikan contoh untuk menumbangkan

sistem pemerintahan dimana satu orang dapat menentukan nasib seluruh rakyatnya. Ia menunjuk pada figur Yasser Arafat, yang ia sebut sebagai a failed leader (pemimpin yang gagal). Ia bangga, dan merasa dialah pemimpin pertama yang menyatakan hal itu tentang figur Arafat. Kini, Arafat sudah pergi. Apakah impian Bush untuk terbentuknya sebuah negara Palestina merdeka akan terwujud? Mungkin saja, jika para pemimpin Palestina selepas Arafat mau berkompromi soal pembagian wilayah Tepi Barat, khususnya soal Jerusalem. Namun, ini juga tidak mudah, dilihat dari dua sisi, baik sisi Israel maupun sisi Palestina. Yang mungkin terjadi adalah menjadikan Jerusalem di bawah pengawasan internasional, atau satu Tim beranggotakan berbagai negara termasuk sejumlah negara Arab. Kita tunggu saja, bagaimana skenario Bush akan berjalan. Yang pasti, masalahnya, Bush dan AS, juga Israel, memang tidak lagi melihat negara Palestina sebagai ancaman. Sebab, ancaman utama bagi mereka adalah para pejuang Palestina yang mereka cap sebagai fundamentalis, militan, atau teroris, seperti Jihad Islam, dan Hamas. Khalil Shikaki, profesor ilmu politik di Universitas Nasional an-Najah Nablus, dalam artikelnya berjudul "Peace Now or Hamas Later" mencatat ada tiga kekuatan politik utama di Palestina saat perjanjian Oslo ditandatangani, yaitu (1) Kekuatan utama, yaitu kelompok nasionalis. Secara ideologis, kelompok yang dipimpin oleh Arafat dan Fatah -- faksi terbesar di PLO -- adalah "semisekular pragmatis". Kelompok utama ini menolak Islam politik dan mengadopsi sejumlah pemikiran demokrasi; (2) Kelompok oposisi nasionalis kiri, yang memiliki dua kekuatan utama yaitu Front Palestina untuk Kemerdekaan Palestina (Popular Front for Liberatuon of Palestine/PFLP) dan Front Demokrasi untuk Kemerdekaan Palestina (Democratic Front for Liration of Palestine/DFLP), yang lebih kiri, sekular, dan menolak demokrasi Barat atau kapitalisme. Kelompok ini menolak Kesepakatan Oslo dan tidak terlibat dalam perundingan Oslo, sehingga memboikot pemilu 1996 di Tepi Barat dan Jalur Gaza; (3) kelompok Hammas dan Jihad Islam. Kedua kelompok ini sangat menekankan pada perilaku individual, mengadopsi nilai-nilai politik Islam, dan berusaha mendirikan negara Islam. Mereka juga menolak perdamaian dengan Israel -- termasuk kesepakatan Oslo -- dan bahkan menolak legitimasi negara Israel. (Jurnal Foreign Affairs, Agustus 1998.) Edward N. Luttwak dalam tulisannya berjudul "Strategic Aspecs of U.S.--Israeli Relations", menyebutkan, saat ini, para pembuat kebijakan di AS dan Israel cenderung merasa bahwa Islam fundamentalis adalah ancaman terhadap elite-elite Barat di negara-negara Islam, kepentingankepentingan keduanya (dan negara-negara Barat lainnya) di negara-negara Islam, bahkan kepentingan keduanya di negara masing-masing. Jadi, bisa dianalisis, karena adanya persepsi yang sama antara AS dan Israel tentang ancaman bersama, maka dibutuhkan juga satu negara Palestina yang mempunyai sikap yang sama dengan AS dan Israel. Dimana tugas utamanya adalah memberangus gerakan-gerakan Islam di Palestina. Namun, rencana Bush ini juga tidak mudah, Neo-kon telah berhasil mementahkan Pembicaraan Camp David II antara Arafat dengan Ehud Barak, yang ketika itu sudah menyepakati pengembalian 99 persen Jalur Gaza. Lalu, dengan menjual isu keamanan dan hak Yahudi atas Jerusalem, Ariel Sharon memenangkan pemilu Israel, mengalahkan Barak tahun 2001. Pembentukan negara Palestina akan membentur tembok tebal yang sulit dijebol, yakni soal Jerusalem. Apalagi, kelompok neo-kon lebih mengikuti garis Likud yang memegang kepercayaan hak historis bangsa Yahudi atas Jerusalem.

Karena itu, dominasi kelompok neo-kon memang mengkhawatirkan banyak warga AS. Colin Piper sampai menyerukan melalui bukunya, Its time to declare war on The High Priest of War. Sebab, agenda kelompok ini memang menyeret dunia ke jancah perang global. Dan serangan atas Irak adalah tahap pertamanya. Kelompok ini lebih bekerja dengan ideologi, dengan keyakinan, bukan dengan mengandalkan kepentingan dan logika. Michel Lind, seorang penulis AS, mengungkapkan, bahwa impian kelompok neo-kon untuk menciptakan sebuah imperium Amerika sebenarnya ditentang oleh sebagian besar elite perumus kebijakan luar negeri AS dan mayoritas rakyat AS. Lind juga menyebut, bahwa koalisi Bush-Sharon juga berkaitan dengan keyakinan, bukan karena faktor kebijakan. Itu bisa dilihat dari latar belakang Bush yang berasal dari keluarga Kristen fundamentalis. Kata Lind: There is little doubt that the bonding between George W. Bush and Ariel Sharon was based on conviction, not expedience. Like the Christian Zionist base of the Republican Party, George W. Bush was a devout Southern fundamentalist. Melihat kuatnya cengekeraman kelompok neo-kon dalam politik AS, wajar jika dunia pantas khawatir dengan kemenangan Bush yang kedua kali. Benarkah kekhawatiran Mahathir akan terbukti? Benarkah dunia akan berhasil diseret menuju Perang Global dengan kendali Zionis Yahudi? Mari kita lihat bersama-sama. Wa makaruu wa makarallah. (KL, 12 November 2004). Saran Simpatik Pdt. Dr. Jan S. Aritonang Selasa, 23 November 2004 Pendeta Jan S. Aritonang menerbitkan buku tebal berjudul Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Isinya berupa Saran-saran untuk umat Kristen dan Islam. Baca CAP ke-78, Adian Husaini. MA Pada tahun 2004 ini, seorang pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia dan dosen Sejarah Gereja di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, bernama Dr. Jan S. Aritonang menerbitkan sebuah buku tebal berjudul Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). Buku ini menarik karena disamping dilengkapi dengan data-data sejarah yang melimpah juga disertai dengan saran dan harapan untuk mengatasi konflik Islam-Kristen di Indonesia. Saran-saran itu ditujukan kepada pihak Kristen dan Islam. Berikut ini diantara sejumlah saran yang ditujukan kepada pihak Kristen dan catatan yang kita berikan terhadapnya. (1) Orang Kristen tidak perlu ragu bahwa keselamatan ada di dalam dan oleh Yesus Kristus. Sekali orang Kristen meragukan, merelatifkan, atau melepaskan keyakinan yang sangat mendasar ini, patutlah dipertanyakan apakah ia masih dapat dan layak disebut atau menyebut diri sebagai orang Kristen. Tetapi, keyakinan itu tidak boleh membuat orang Kristen merasa lebih selamat atau lebih unggul dari umat beragama lain. Sebab, Yesus Kristus tidak datang untuk mendirikan sebuah agama dan tidak dapat dikuasai atau dipenjarakan oleh sebuah agama yang namanya Kristen. Umat Kristen bukanlah pemilik tunggal keselamatan. Tidak zamannya lagi mempertahankan semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). . Syndrom anak tunggal, yaitu

kebanggaan semu sebagai satu-satunya umat yang selamat, patutlah ditinggalkan. Tugas gereja dan orang Kristen adalah memberitakan Injil keselamatan itu, bukan mengkristenkan orang lain. Dengan saran seperti itu, Pdt Jan S. Aritonang telah memasuki wilayab teologi yang sensitif, terutama bagi kaum Kristen sendiri. Ia tetap menyarankan kaum Kristen memegang teguh keyakinannya terhadap Yesus Kristus, tetapi pada saat yang sama, ia menyatakan, bahwa bukan hanya orang Kristen yang selamat. Paham ini lebih dekat ke gagasan teologi inklusif yang mewarnai Konsili Vatikan II. Dimana dinyatakan, bahwa kebenaran ada di dalam Kristen tetapi juga ada pada agama lain. Ia mengajak kaum Kristen melepaskan klaim Teologi Eksklusif, extra ecclesiam nulla salus. Tetapi, masalahnya, bukan hanya antara agama Kristen dan non-Kristen. Di antara sesama kaum Kristen sendiri, doktrin extra ecclesiam nulla salus itu menjadi perdebatan panas. Gereja manakah yang selamat? Apakah hanya Gereja Katolik atau ada Gereja lain yang selamat? Gereja Protestan lahir belakangan setelah para reformis Kristen melancarkan pemberontakan terhadap Gereja Katolik. Pada 31 Oktober 1517, Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik penjualan pengampunan dosa (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 thesesnya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus. Luther bahkan menyebut Paus sebagai Anti-Kristus (anti-Christ). Ia menyatakan, bahwa kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki secara bersamaan. Kekuatan jahat tentunya memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki. (Antichrist is the Pope and the Turk together. A beast full of life must have a body and soul. The spirit or soul of Antichrist is the Pope, his flesh and body the Turk). Seperti kita tahu, pertentangan Protestan dan Katolik telah melahirkan lembaran hitam dalam sejarah keagamaan di Eropa. Pihak Katolik sendiri setelah ratusan tahun bertahan dengan klaim kebenaran seksklusifnya, akhirnya melemah. Reverend Michael Parise menulis buku kecil berjudul Apakah Kita Satu-satunya Gereja yang Benar? (Jakarta: Penerbit Obor, 1996). Ditulis dalam buku ini, bahwa Gereja adalah Katolik. Bagaimana orang Katolik memandang jutaan orang Kristen nonKatolik, dirumuskan dalam buku ini: Mereka tentu dapat masuk surga dan memperoleh keselamatan, meskipun itu menjadi lebih sulit tanpa bimbingan dan sakramen-sakramen Gereja. Jadi, kaum Protestan yang non-Katolik bisa masuk surga tetapi lebih sulit. Selanjutnya dikatakan, bahwa Gereja Katolik mau mengakui Protestan, sejauh persekutuan-persekutuan Protestan memelihara dan menyebarluaskan unsur Gereja Katolik Roma, dan menjadi sesama rasul di jalan menuju keselamatan. Tetapi, tanpa persatuan iman yang nyata dalam semua unsur penting dari Gereja Kristus, persatuan belum mungkin terjadi antara Gereja Katolik dan Protestan. Soal klaim kebenaran antara Protestan dan Katolik ini sesungguhnya lebih rumit dibandingkan klaim Islam dan Kristen. Jika Pdt Jan S. Aritonang meminta kaum Kristen tidak ragu-ragu terhadap keyakinannya bahwa keselamatan ada di dalam dan oleh Yesus Kristus, maka bisa ditanyakan, keselamatan itu melalui Gereja yang mana? Melalui Gereja Katolik atau Protestan?

Bagi kaum Muslim, saran Pendeta Aritonang itu tentu tidak mudah dilaksanakan. Kaum Muslim yang meyakini kebenaran konsepsi Tauhid Islam, pasti pada saat yang sama menolak kepercayaan lain yang bertentangan dengan konsep Tauhid. Jika kaum Muslim meyakini bahwa Allah adalah Satu, Tidak Beranak dan tidak diperanakkan, bahwa Isa a.s. adalah seorang Nabi, bukan Tuhan atau anak Tuhan, maka tentu akan sangat sulit bagi kaum Muslim untuk tidak menyatakan, bahwa konsepsi yang menyatakan Tuhan punya anak adalah konsep yang salah. Problemnya, sangat berbeda dengan yang ada di dalam Kristen. Al-Quran memuat begitu banyak ayat yang memberikan kritik terhadap konsepsi ketuhanan Kristen. Bahkan, sejak awal, al-Quran telah mengkritik keras konsepsi teologis kaum Kristen tersebut. Penyebutan Isa a.s. sebagai Anak Allah disebut al-Quran sebagai kesalahan serius. (QS Maryam:89-92, al-Maidah 72-75). Apakah konsepsi dan keyakinan itu harus diubah? Tentunya sangat sulit dan tidak mungkin. AlQuran akan tetap seperti itu, sampai akhir zaman. Al-Quran memang satu-satunya Kitab Suci yang isinya banyak memberikan kritik terhadap agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani. Namun, dalam sejarah Islam sudah terbukti, konsepsi Tauhid dan eksklusif kaum Muslim, tidak melahirkan sejarah kekejaman terhadap agama lain, sebagaimana sejarah Gereja melahirkan sebuah institusi yang sangat kejam bernama INQUISISI. Sebagian kalangan Muslim karena terpengaruh cara pandang dan fenomena sejarah Kristen percaya bahwa klaim kebenaran mutlak terhadap kebenaran satu agama, akan melahirkan kejahatan, dan menjadikan agama sebagai hal yang jahat. Dalam pengantarnya terhadap Buku Pendeta Aritonang ini, Prof. Azyumardi Azra mengutip pendapat Charles Kimball melalui bukunya, When Religious Become Evil (2003) Saat Agama Menjadi Jahat. Menurut Kimball ada lima tanda saat agama menjadi jahat. Yang pertama, adalah adanya klaim-klaim kebenaran mutlak (absolute truth claims). Dikatakan oleh Azyumardi: Setiap agama khususnya Kristen dan Islam mengandung klaim-klaim kebenaran yang merupakan landasan keimanan, di mana seluruh struktur dan institusi agama berdiri. Ketika penafsiran-penafsiran tertentu terhadap klaimklaim kebenaran itu dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan sebagai satu-satunya kebenaran yang menuntut keseragaman, maka inilah awal dari bahaya yang merusak agama, membuat agama menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan manusia. Pendapat Azyumardi yang mengutip Kimball itu sebenarnya rancu dan keliru. Di dalam Islam, ada hal-hal yang memang satu dan seragam, disamping ada hal-hal yang berbeda. Jika ditelaah, misi Rasulullah Muhammad saw adalah menyeru kepada umat manusia, agar mengakui kebenaran Islam, dan mengakui kenabian beliau sebagai Utusan Allah SWT. Karena itulah, beliau dan kaum Muslimin sesudahnya bersemangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Jika bukan karena semangat itu, Islam tidak akan sampai ke Indonesia, sampai ke Minangkabau, dimana nenek moyang Prof Azyumardi Azra berasal. Apakah karena semangat kebenaran eksklusif itu lalu Islam menjadi jahat? Kristen juga dulu memiliki semangat yang sama. Tapi, bisa dilihat dan dibandingkan, bagaimana cara dan dampak yang dilakukan para dai Muslim dan misionaris Kristen di Indonesia. Jadi, masalahnya bukan pada semangat dan keyakinan eksklusif akan kebenaran agama, tetapi pada aspek modus. Pengalaman sejarah Kristen tidak dapat digeneralisasi menjadi pengalaman semua agama. Seorang psikolog Barat, Scott Peck, menyatakan: Sekali kata religion disebutkan di dunia Barat, ini

akan membuat orang berpikir tentang: inquisisi, tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, dan kegilaan. Apakah semua ini yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap Tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya kepada Tuhan sering menjadi dogma yang menghancurkan. (Scott Peck, The Road Less Travelled, (London: Arrow Books Ltd, 1990), hal. 237-238. Pendapat Peck dikutip dari tulisan Dr. Fatimah Abdullah berjudul Konsep Islam sebagai Din, Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN alAttas, di Majalah Islamia, edisi ke-3, tahun 2004). Kembali ke saran Pdt. Aritonang, ia tampaknya ingin mengerem laju semangat menggebu-gebu sebagian kalangan misionaris Kristen yang berambisi mengkristenkan seluruh bangsa Indonesia. Menurut Aritonang, diantara kalangan Protestan, memang ada kelompok yang sangat agresif dan triumfalistik, terutama beberapa yang baru muncul sebagai tiruan dari induknya di Barat, terutama di Amerika Serikat. Kalangan Kristen pun sering terganggu oleh penampilan dan cara-cara mereka berkiprah. Saran lain Pdt Aritonang terhadap umat Kristen adalah, agar: (2) Umat Kristen tidak lagi mencemooh ajaran, kitab Suci, atau tokoh-tokoh Islam, dan tidak membiasakan diri merujuk atau menafsir al-Quran dengan tujuan mencari pembenaran atas Kitab Suci atau ajaran Kristen. (3) Umat Kristen perlu mempertimbangkan perasaan umat Islam ketika hendak mendirikan rumah ibadah. (4) Umat Kristen juga perlu mempertimbangkan perasaan umat Islam ketika hendak mengadakan acaraacara ibadah atau perayaan keagamaan, baik di gedung gereja, gedung pertemuan umum, atau melalui media massa. (5) Tidak perlu bersikap alergik dan traumatik terhadap kaum Muslim yang berbicara tentang penerapan Syariat Islam. Pdt. Jan S. Aritonang juga mengimbau agar kaum Kristen bersikap lebih simpatik dan bersahabat terhadap kaum Muslim: Memandang mereka sebagai seteru, pihak yang mengancam, atau pun yang harus ditaklukkan demi Injil atau demi apa pun, adalah tindakan bodoh dan tidak terpuji. Saran-saran Pdt. Jan S. Aritonang itu tampak cukup simpatik. Beberapa diantaranya pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan. Sayangnya, Pdt. Aritonang kurang menampilkan karya-karya kaum Kristen yang menyudutkan Islam. Padahal, buku-buku tentang itu sangat banyak dan melimpah. Sebagai contoh, sejumlah buku dan brosur misonaris Kristen yang menggunakan judul-judul Islam, untuk mengelabui umat Islam. Misalnya, buku-buku karangan Pendeta R. Mohammad Nurdin yang berjudul: Kebenaran Yang Benar (Asshodiqul Mashduq), Keselamatan Didalam Islam, Selamat Natal Menurut Al-Quran, Rahasia Allah Yang Paling Besar, Ya Allah Ya Ruhul Qudus, Aku Selamat Dunia dan Akhirat. Juga buku Upacara Ibadah Haji karya H. Amos, dan buku-buku karya Pendeta A. Poernama Winangun yang berjudul seperti Riwayat Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad, Ayat-ayat Al-Quran Yang Menyelamatkan. Misi Kristen juga menggunakan brosurbrosur yang menggunakan nama-nama Islam, seperti Brosur: Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, Yang dikeluarkan oleh Dakwah Ukhuwah (P.O. BOX 1272/JAT Jakarta 13012). Menindaklanjuti saran-saran Pdt Aritonang, seyogyanya, kaum Kristen sendiri aktif menangani masalah yang disarankan oleh Pdt Aritonang, agar kaum Muslim tidak memahami kaum Kristen secara gebyah uyah. Kita paham, bahwa pendapat dan saran Pdt Aritonang belum tentu diapresiasi oleh

kalangan Kristen sendiri, apalagi oleh kalangan New Christian Right yang berafiliasi dengan kalangan Gereja Kristen fundamentalis di AS. Kalangan ini sangat bersemangat dengan dana yang melimpah ruah mengkristenkan Indonesia, seperti ambisi mereka membangun sebuah Menara Doa di Jakarta. Meskipun secara umum, saran-saran Pdt Aritonang patut diapresiasi dan ditelaah oleh kaum Muslim lebih lanjut, namun banyak juga hal bisa dicatat dan dikritik dari buku Pdt Aritonang ini. Misalnya penggunaannya terhadap istilah Islam garis keras terhadap beberapa kelompok Islam. Penggunaan istilah itu sesungguhnya bermasalah. Siapa yang keras dan siapa yang lunak? Apanya yang keras dan apanya yang lunak? Juga, sarannya kepada kaum Kristen dan Islam, agar di dalam kedua umat ini terbangun kesediaan untuk mengakui keterbatasan masing-masing dalam hal agama, bahkan dalam memahami wahyu, firman, dan kehendak Tuhan Allah. Dengan demikian bisa membebaskan diri dari sikap memutlakkan. Untuk memperkuat pendapatnya, Aritonang mengutip pendapat Djohan Effendi, tokoh Islam Liberal: Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian dan pengatahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Saran Pdt. Aritonang ini bertentangan dengan sarannya agar kaum Kristen jangan meragukan bahwa keselamatan ada di dalam dan oleh Yesus Kristus. Tampak di sini, Pdt Aritonang tidak begitu yakin dengan pendapatnya sendiri. Saran ini pun tidak patut disampaikan kepada kaum Muslim, sebab, kaum Muslim diperintahkan meyakini kebenaran dari Allah dari sekali-kali tidak boleh meragukan kebenaran itu. Pendapat Djohan Effendi adalah pendapat kaum Skeptik dengan tokohnya Sextus Empiricus yang tidak pernah meyakini sesuatu hal, yang selalu delaying judgement. Pendapat kaum skeptic ini selalu kontradiktif. Jika manusia nisbi dan tidak mampu memahami kebenaran secara menyeluruh, maka artinya, dia sendiri juga harus ragu terhadap statemen yang dibuatnya sendiri. Dalam pandangan Muslim, pendapat kaum Skeptik ini sebenarnya menghina Allah. Sebab, itu berarti Allah menurunkan wahyu yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Ketika menurunkan alQuran, Allah paham, bahwa al-Quran diturunkan kepada manusia, dan manusia pasti mampu memahami sebagai manusia, bukan sebagai Tuhan. Namun, Allah juga memerintahkan agar kaum Muslim meyakini kebenaran al-Quran, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Akal manusia mampu memahami kebenaran secara menyeluruh, dalam batas manusia. Karena itu, ada haq dan ada bathil. Jika orang tidak pernah yakin mana yang haq dan mana yang bathil, maka dia sendiri masuk dalam golongan bingung (golbin). Justru al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk, untuk menjadi furqan, yang membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Kaum Muslim diperintahkan meyakini bahwa Nabi Isa bukan Tuhan atau anak Tuhan. Beliau a.s. adalah manusia, Utusan Allah. Perintah itu begitu jelas dan gamblang. Kaum Muslim diharamkan memakan daging babi dan meminum khamr. Larangan itu juga jelas dan tidak perlu diragukan. Zina adalah haram. Keputusan Allah ini sangat jelas. Yang haq dan bathil itu jelas. Yang haram itu jelas, yang halal juga jelas. Diantara keduanya ada perkara syubhat. Agama Islam adalah agama yang jelas dan kebenarannya dapat dipahami oleh umat manusia. Dari dulu sampai sekarang milyaran umat manusia yang memeluk Islam tidak bingung. Jika Djohan Effendi dan sejenisnya bingung dan tidak paham kebenaran, itu adalah urusannya sendiri. Biarlah di akhirat nanti dia melaporkan kepada Tuhannya, bahwa selama hidup di dunia, dia tidak dapat menjangkau kebenaran. Padahal, Allah sudah berfirman:

Al-Haqqu min Rabbika falaa takuunanna minal mumtarin. Al Haq itu datang dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk dari golongan yang ragu. (QS 2:147). Wallahu Alam. (KL, 20 November 2005). Gebrakan Ilmiah NU Pasuruan Bongkar Kebohongan Aktivis Gender Jumat, 26 November 2004 RMI Pasuruan, Jawa Timur membongkar kebohongan 'Forum Kajian Kitab Kuning', atas penyelewengan buku berjudul Uqud al-Lujayn, karya Imam Nawawi al-Bantani. Baca CAP, Adian Husaini ke 79 Belum lama ini, (September 2004), Rabithatul Maahid Islamiyah (RMI), Cabang Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menerbitkan sebuah buku berjudul Menguak Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3. RMI adalah organisasi ikatan Pondok Pesantren di bawah Naungan Organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Buku ini merupakan hasil kajian ilmiah Forum Kajian Islam Tradisional Pasuruan (FKIT), yang beranggotakan kyai-kyai muda dari berbagai pesantren, seperti Abdulhalim Mutamakkin, Muhibbul Aman Ali, HA Baihaqi Juri, M. Idrus Ramli, dan sebagainya. Para kyai itu merasa resah dengan terbitnya sebuah buku berjudul Wajah Baru Relasi SuamiIstri, Telaah Kitab Uqud al-Lujayn, karya Imam Nawawi al-Bantani, seorang ulama terkenal yang dijuluki Sayyid Ulama Hijaz. Maka mereka melakukan diskusi ilmiah intensif lebih dari 20 kali, dan hasilnya keluarlah sebuah buku ilmiah yang menarik ini. Tentu saja, aktivitas ilmiah ini sangat membanggakan, mengingat begitu besarnya perhatian para elite NU terhadap masalah-masalah politik, seputar pemilihan Presiden tahun 2004. Sebagai ulama pewaris para Nabi, para kyai itu tampaknya tidak melupakan tugasnya untuk menjaga aqidah umat, di tengah situasi dan kondisi yang tidak terlalu mendukung perjuangan ilmiah mereka. Menyimak isi buku ini, bisa dikatakan, para kyai muda itu memiliki daya intelektual dan penguasaan literatur-literatur Islam yang cukup mendalam. Ratusan kitab-kitab klasik dikaji dan disajikan dengan baik dalam buku ini. KH Abdulhalim Mutamakkin, Ketua RMI Kabupaten Pasuruan, dalam pengantarnya menyatakan, bahwa mengkritisi sebuah karya memang perbuatan yang terpuji dalam rangka mencari suatu kebenaran. Akan tetapi apabila dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak benar atau oleh orang yang tidak memiliki cukup ilmu untuk memahami karya yang bersangkutan, maka harus diluruskan. KH Ahmad Subadar, Rais Syuriah PCNU Kabupaten Pasuruan, menulis dalam pengantarnya, Saya telah melihat dan membaca risalah ini, dan saya mengambil kesimpulan, bahwa risalah ini adalah benarbenar menegakkan ajaran Rasululah saw, dan meluruskan paham orang yang salah, melenceng dari tuntunan ulamauna al-salaf. Telaah kritis para ulama Jawa Timur ini sungguh menyejukkan. Di tengah kegersangan situasi intelektual, mereka mau dan berani berbicara yang benar, mereka berani melawan arus besar, Gerakan yang mengatasnamakan kesetaraan gender, yang justru disebarkan oleh para elite NU sendiri. Apa yang mereka sebut sebagai Sekte FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning), yang melakukan tindakan kebatilan dan kebohongan, adalah orang-orang yang cukup terkenal di kalangan NU sendiri. Di situ ada nama Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Masdar F. Masudi, Husen Muhammad, Lies Marcus,

dan sebagainya. Namun, para kyai dari kota kecil di Jawa Timur itu tidak gentar dan mampu membuktikan, bahwa buku yang diterbitkan oleh FK3, yang mengkritik kitab Uqud al-Lujayn, adalah buku yang bertaburan dengan kebatilan dan kebohongan. Bagi kaum Muslimin yang tidak mempunyai kemampuan dan keakraban dalam membaca karya-karya klasik ulama Islam, memang bisa terpengaruh. Apalagi yang memang menginginkan masuknya paham kesetaraan gender ala Barat dalam masyarakat Islam. Orang-orang yang membawa ideologi kesetaraan gender ke dalam pondok-pondok pesantren adalah juga orang-orang yang mempelajari kitab-kitab klasik dan mencantumkan rujukan mereka pada karya-karya klasik ulama Islam. Namun, melalui buku terbitan RMI Pasuruan ini, kebohongan dan kebatilan kelompok FK3 itu dibongkar satu persatu. Misalnya, penilaian FK3 terhadap hadits Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka. Terhadap hadits ini, FK3 menulis: jalur hadits ini dhaif sebagaimana ditetapkan oleh al-Sakhawi dalam Kitab al-Maqashid al-Hasanah. Pendapat itu dijernihkan oleh FKIT, dengan menyebutkan, bahwa al-Albani dalam Irwa al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar alSabil (hadits no 1269), menyatakan hadits itu sahih. Kata-kata Sakhawi juga dipotong. Aslinya merupakan ungkapan dari al-Munawi dalam Faidh al-Qadir, yang berbunyi: Al-Sakhawi berkata, sanad hadits Ibnu Umar dhaif akan tetapi memiliki beberapa syahid. Ibnu Taimiyah berkata, sanadnya jayyid, dan Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari, sanadnya hasan. FK3 memilih komentar alSakhawi karena menilai sanadnya dhaif, dan tidak ingin menggunakan hadits itu. Contoh lain, adalah sebuah hadith tentang larangan berkhalwat (berudua-duaan) antara laki-laki dan wanita, yang dikatakan FK3 sebagai hadits dhaif. Padahal, ada hadits lain dengan makna yang sama yang sahih. Tetapi hal ini tidak disebutkan oleh FK3. Contoh lain adalah soal kepemimpinan laki-laki terhadap wanita, sesuai ayat 34 surat an-Nisa: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. FK3 menulis komentar tentang ayat ini bahwa : Mayoritas ulama fiqih dan tafsir berpendapat bahwa qiwamah (kepemimpinan) hanyalah terbatas pada laki-laki dan bukan pada perempuan, karena laki-laki memiliki keunggulan dalam mengatur, berfikir, kekuatan fisik dan mental. Kata-kata FK3 itu dikritik FKIT, dengan disebutkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan diantara ulama fiqih dan tafsir tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga termasuk dalam kepemimpinan negara (imamah). Masalah kepemimpinan laki-laki ini dibahas dengan panjang lebar dan tampak bahwa argumentasi FK3 atau aktivis kesetaraan gender, memang tidak kuat dan hanya dicocok-cocokkan dengan kemauan dan tujuan ideologi kesetaraan gender, yang belum tentu cocok dengan Islam. Soal kepemimpinan laki-laki ini dihujat oleh FK3, dengan menyatakan, bahwa di masa sekarang dalam bidang ekonomi atau sosial, banyak perempuan yang lebih unggul daripada laki-laki. Argumentasi FK3 ini sangatlah lemah, sebab sejak dulu, ada saja wanita yang lebih unggul dari laki-laki. Khadijah r.a. adalah seorang wanita bangsawan dan kaya raya dan banyak mempekerjakan laki-laki, termasuk Rasulullah saw, di masa mudanya. Siti Aisyah r.a., juga seorang wanita yang

unggul dalam kepemimpinan dan intelektual, melebihi banyak kaum laki-laki di zaman itu. Belum lama ini terbit sebuah kitab fiqih hasil ijtihad ulama perempuan terkemuka, yaitu Aisyah r.a. berjudul Mausuah Fiqh Aisyah Ummu al-Muminin Hayatuha wa Fiqhuha, setebal 733 halaman. Hasil ijtihad beliau sebagai seorang perempuan, tidak berbeda dengan hasil ijtihad para mujtahid laki-laki. Namum, seringkali tuduhan kepada para mujtahid dan fuqaha ditimpakan, bahwa fiqih didominasi oleh laki-laki, dan ajaran agama ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki. Demikianlah kajian FKIT Pasuruan yang perlu ditelaah dna didiskusikan lebih jauh, khususnya bagi kalangan NU, dan kaum Muslim pada umumnya. Sebab, saat ini begitu gencar serangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang dinilai para aktivis gender ala sekular-Barat tidak cocok dengan zaman. Tuduhan-tuduhan bahwa ajaran Islam banyak didominasi oleh kaum laki-laki, seperti datang bertubitubi, sehingga bantak yang kemudian meragukan ketulusan dan kecanggihan ijtihad para ulama terdahulu. Padahal, sepanjang sejarah Islam, begitu juga banyak diantara ulama-ulama Islam adalah wanita. Tetapi, mereka tidak pernah menggugat masalah kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, atau berbagai masalah yang dipersoalkan oleh aktivis kesetaraan gender, seperti sekarang ini. Kepemimpinan bukan hanya soal hak, tetapi juga tanggung jawab. Artinya, bagi laki-laki, tanggung jawab itu belaku di dunia dan akhirat. Dalam soal kepemimpinan negara pun, banyak rakyat yang lebih pintar dan mahir dalam kepemimpinan dari kepala negaranya. Oleh karena itu, seyogyanya, wanita memilih calon suaminya yang sekufu atau laki-laki yang memang mampu menjadi pemimpin. Bisa saja istri lebih pintar dari suaminya, tetapi hak kepemimpinan memang ada pada suaminya, termasuk hak talak. Pemimpin yang baik, pasti akan memanfaatkan kepintaran istrinya. Ini bukan masalah baru, sudah banyak rumah tangga yang sukses, meskipun istri lebih pandai dari suaminya, dan tetap ia menghormati kepemimpinan suaminya. Ini bukan soal tinggi atau rendah martabat sebagai manusia, tetapi adalah soal tanggung jawab dan pembagian tugas. Masalah kesetaraan gender memang saat ini begitu menggejala dan menjadi proyek yang banyak menyediakan dana. Beberapa waktu lalu, Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama telah memproduksi legal draft Kompilasi Hukum Islam yang sangat kontroversial dan ajaib, yang tidak berpijak pada metodologi Islam, tetapi pada prinsip-prinsip kesetaraan gender, pluralisme, nasionalisme, dan sebagainya. Tanggal 25 Oktober 2004 lalu, Harian Kompas menurunkan tulisan seorang wanita aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, berjudul Khatib Perempuan. Tulisan itu menggugat, mengapa tidak ada khatib jumat atau salat tarawih yang perempuan. Tak adakah kesempatan bagi dai perempuan untuk berkhotbah?" Dari sekian ribu masjid di Tanah Air, tulisnya, tak satu pun perempuan menjadi khatib. Satu-satunya perempuan yang ia dengar berani berkhotbah Jumat di hadapan pria adalah Prof Amina Wadud, sarjana Muslim terkemuka. Ia naik mimbar Masjid Claremont Main Road di Cape Town di Afrika Selatan. Menurut dia, secara umum, khatib adalah orang yang menyampaikan ajaran agama atau khotbah sebelum shalat Jumat atau kegiatan keagamaan lain. Untuk itu, seorang khatib harus memiliki kecakapan dan pengetahuan agama yang baik. Dan kini yang memiliki kecakapan dan pengetahuan agama yang cukup tak hanya laki-laki. Terbukti, kini mubalig perempuan telah bermunculan. Sayangnya, mereka tetap tidak bisa menjadi khatib maupun iman shalat di masjid. Mereka hanya bisa menjadi khatib atau imam di rumah atau pelbagai majelis taklim di kalangan perempuan sendiri.

Jelaslah, kata wanita ini, perempuan tidak boleh berkhotbah di masjid bukanlah karena ketidakmampuan mereka. Dalil-dalil yang menolak perempuan untuk berkhotbah harus dipahami secara kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi budaya saat dalil itu dikemukakan, sebab prinsip utama dalam Islam adalah musawah, hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, tidak mengenal pembatasan dan diskriminasi dalam pelaksanaan ibadah. Kata dia: Kala situasi sekarang berbeda dengan dulu, keamanan telah sepenuhnya dijamin, daidai perempuan pun bermunculan, masihkah kita tidak mau memberi kesempatan bagi perempuan untuk berkhotbah atau memimpin shalat di masjid? Barangkali di antara kita belum ada yang berani tampil seperti Prof Amina Wadud. Namun, setidaknya kita berani bertanya dalam diri kita: apa yang sebenarnya kita takutkan dan apa yang kita pertahanankan jika perempuan bicara di masjid? Apakah ada yang akan merasa bakal kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin agama dalam masyarakat? Ataukah rasa maskulinitas kita sedang terancam? Wanita ini sedang menampilkan dirinya sebagai mujtahid yang merasa lebih hebat dari ribuan ulama, termasuk ulama-ulama wanita, seperti Sayyidah Aisyah r.a. Sepanjang 1500 tahun, dan di belahan dunia mana pun, ulama Islam tidak pernah berpikir semacam ini. Jika fiqih dipengaruhi oleh waktu dan tempat atau budaya, di mana-mana kaum Muslim selama ribuan tahun punya pendapat yang sama tentang banyak masalah fiqih. Tentu ada perbedaan, tetapi bukan karena perbedaan budaya. Lalu, apakah yang dimaksud dengan musawat? Apakah itu berarti persamaan dalam segala hal antara laki-laki dan wanita? Jika si wanita ini merasa mampu dan berhak menjadi khatib Jumat, apakah dia mau hukum salat Jumat juga wajib baginya? Apakah si wanita ini lalu merasa menjadi terhormat jika dapat berkhotbah Jumat? Tanpa dia sadari, atau mungkin dia sadari, si wanita yang mengaku dari aktivis organisasi intelektual Islam ini, sebenarnya sedang membongkar agamanya sendiri. Dengan dalil musawat dia bisa membongkar apa aja yang dikehendaki, yang penting sama dengan laki-laki. Dia bisa menuntut hak talak, karena perempuan juga bisa mentalak suaminya. Wanita juga bisa menuntut untuk masuk masjid, meskipu sedang haid, karena sekarang sudah ada pembalut wanita yang mampu menahan ceceran darah. Di masa turunnya ayat, pembalut wanita belum ada. Wanita juga bisa mencari nafkah dan menjadi kepala keluarga. Wanita juga tidak harus melahirkan dan menyusui anaknya, karena dia bisa menyewa orang lain untuk melahirkan dan menyusui anaknya. Kelebihan seperti dalam surat anNisa ayat 34, menurut mereka, bukan kelebihan berdasarkan jenis kelamin. Inilah pemahaman yang keliru. Secara umum, hingga kini, dalam soal fisik saja, laki-laki memang lebih unggul dari perempuan. Meskipun secara perseorangan, banyak wanita lebih unggul dan lebih kuat secara fisik. Bisa dipastikan, juara tinju dunia kelas berat wanita, Lamya Ali, misalnya, lebih kuat pukulannya dan akan menang bertinju melawan Komar, pelawak yang kini menjadi anggota DPR. Banyak wanita jago angkat besi atau bela diri yang mungkin saja lebih kuat fisiknya ketimbang suaminya. Tetapi, secara umum, tetap saja laki-laki lebih kuat. Para aktivis kesetaraan gender sebenarnya mengakui hal ini. Maka mereka tidak memprotes, bahwa dalam bidang olah raga, kaum wanita sebenarnya telah didiskriminasi dan diperhinakan dengan sadis, dengan dibeda-bedakan kelompok pertandingannya dengan laki-laki. Jika para aktivis kesetaraan gender ini konsisten, maka mereka harusnya memprotes hal itu, dan menuntut, agar tidak ada lagi pembedaan pertandingan tinju

laki-laki dan tinju wanita, angkat besi laki-laki dan angkat besi wanita, sepakbola laki-laki dan perempuan, gulat laki-laki dan gulat wanita, bulu tangkis laki-laki dan wanita, dan sebagainya. Para aktivis kesetaraan gender ini tidak menuding, bahwa olimpiade, Sea-games, dan sebagianya, adalah rekayasa kaum laki-laki, yang mendiskriminasi wanita, karena memperlakukan wanita sebagai makhluk lemah. Nyatanya, aktivis kesetaraan gender hanya berani menuduh-nuduh para ulama, para fuqaha, bahwa mereka merakayasa hukum agama untuk kepentingan laki-laki. Tuduhan yang sebenarnya sangat jahat, karena dilakukan serampangan. Pada 21 November 2004, seorang yang mengaku aktivis liberal, menulis di Harian Jawa Pos, bahwa ada seorang wanita, bernama Maryam Mirza, yang melakukan khotbah shalat Id, di Amerika Serikat. Penulis ini sangat bangga bahwa ada wanita bisa khotbah Id, sehingga ia puji habis-habisan, dengan kata-katanya berikut: Penampilan Maryam Mirza memang bahkan bisa dikatakan "revolusioner" - bukan hanya buat Muslim Amerika, tapi untuk seluruh dunia Islam. Kesetaraan gender dalam Islam memang terlalu banyak dikatakan dan terlalu sedikit dilaksanakan... Mudah-mudahan pada Idul Fitri tahun depan, kita di Indonesia - kalaupun mustahil diharap di Arab Saudi -- pun bisa menikmati tampilnya khatib perempuan dalam salat Id. Jika Maryam Mirza bisa, seperti kata jamaah salat Id di Washington itu, tentu para perempuan Muslim lain di mana pun bisa. Memang, banyak wanita yang mampu menjadi khatib. Tetapi, ironis sekali cara berpikir seperti ini, bahwa wanita menjadi khatib Id dibanggakan, hanya karena WTS (Waton Suloyo/asal beda dengan yang lain). Jangankan menjadi khatib, sekarang pun banyak wanita Muslimah yang bisa membuat pesawat terbang dan menjadi cendekiawan-cendekiawan unggul, tanpa perlu menjadi khatib Id. Apa yang perlu dibanggakan dengan hal semacam ini? Sepanjang sejarah Islam, banyak wanita menjadi pejuang unggul, tanpa perlu menuntut menjadi khatib. Cut Nya Din, tetap dihormati dan dipuji sebagai pahlawan. Cut Mutiah, namanya tetap harum. Mereka tidak berbuat hal yang aneh-aneh untuk menjadi terkenal. Kalau si penulis artikel itu ingin ada wanita jadi khatib shalat Id di Indonesia, biarlah istrinya sendiri, yang jadi imam salat baginya, dan jadi khatib untuk keluarganya sendiri. Biarlah dia memberi contoh, untuk dirinya sendiri, dan mempertanggung jawabkannya kepada Allah SWT di Hari Akhirat nanti. Ibnu al-Mundzir, dalam Kitab al-Ijma, (hal. 44) menjelaskan, bahwa soal imam dan khatib ini sudah merupakan ijma di kalangan sahabat. Para Ulama Islam pun tidak pernah berbeda dalam soal ini. Wallahu alam. (KL, 25 November 2004).

Kebangkitan Islam atau Kebangkrutan Islam Jumat, 03 Desember 2004 Menurut Azyumardi Azra, Kebangkitan Islam'' ditandai dengan toleransi dan gagasan pluralisme. Islam gaya Timur Tengah justru 'ancaman Islam'. Sikap cari muka terhadap Barat?. Baca CAP

Adian Husaini ke 80 Pada tanggal 2 Desember 2004, Prof. Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, menulis satu di kolom Resonansi, di Harian Republika, berjudul Memahami Kebangkitan Islam. Kolom ini perlu kita cermati karena memuat banyak hal yang perlu diklarifikasi. Sejumlah istilah yang digunakan Azyumardi memiliki makna yang rancu dan menunjukkan kuatnya hegemoni Barat dalam kajian tentang Islam, umat Islam, dan dunia Islam. Sehingga, ilmuwan sekaliber Prof. Azyumardi Azra (AA) harus menelan mentah-mentah istilah dan sekaligus wacana yang dijejalkan oleh Barat ke dunia Islam. Karena itu, muncul paradoks, bahwa sesuatu yang mestinya diprihatinkan, justru dibangga-banggakan. Tulisan AA diawali dengan cerita, bahwa pada Hari Selasa (30/11/2004) ia didatangi setidaknya oleh tiga kalangan pejabat tinggi dari negara-negara Barat. Seperti banyak tamu lainnya, mereka mengajak AA berdiskusi sejak dari perkembangan dan dinamika Islam, politik Indonesia pascapilpres dan terbentuknya pemerintah baru, sampai pada kemungkinan keterlibatan NGO dalam persidangan CGI yang akan datang di Jakarta. Berikut ini kutipan tulisan AA lebih lengkapnya: Seperti biasa juga, pertanyaan-pertanyaan paling rinci dari mereka adalah tentang dinamika Islam, baik dalam bidang politik maupun sosial-keagamaan. Misalnya saja, apakah pemerintahan Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla mampu bersikap lebih tegas terhadap kelompok-kelompok radikal; atau, pada segi lain, bisa mendapat tekanan-tekanan tertentu dari kekuatan-kekuatan politik Islam mainstream yang, pada gilirannya, dapat mengubah lanskap politik di negeri ini. Tentu saja sangat sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang sering didasari kerangka hipotetis belaka daripada gejala aktual yang terjadi. Pada segi sosial keagamaan, pertanyaan yang mereka ajukan, juga masih seperti dulu; apakah gejala ''kebangkitan Islam'' yang berlangsung dalam satu atau dua dasawarsa terakhir ini akan mengubah lanskap sosial-keagamaan dan politik di Indonesia. Apa yang mereka sebut sebagai ''kebangkitan Islam'' adalah meningkatnya pemakaian jilbab di kalangan wanita, adanya suara-suara dan aspirasi di kalangan Muslim untuk penegakan ''syariah'', dan bertahannya lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah dan pesantren. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini juga tidak mudah. Tetapi, biasanya saya menjawab, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan semua gejala yang disebut sebagai ''Islamic revival'' tersebut. Memang, semakin banyak Muslim yang kian rajin beribadah, dan juga semakin banyak wanita yang menggunakan jilbab. Tetapi, parpol-parpol Islam tetap gagal meraih suara terbanyak dalam pemilu. Jadi, peningkatan kesalehan keagamaan tidak merupakan garis lurus. Karena itulah pendapat Giora Eliraz, guru besar Hebrew University Yerusalem dan dosen tamu pada Australian National University, dalam buku yang baru saja beredar dan selesai saya baca, Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension (Brighton: Sussex Academic Press, 2004) menjadi sangat menarik. Menurut Eliraz, watak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, terutama jika dibandingkan dengan Islam di Timur Tengah. Jika di Timur Tengah umumnya ''kebangkitan Islam'' itu ditandai dengan peningkatan kesalehan dan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis dan bahkan militansi dan radikalisme-- maka ''kebangkitan Islam'' di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan.

Demikian kutipan tulisan AA dalam Harian Republika tersebut. Dari tulisan itu, kita bisa menangkap cerita faktual, bahwa mitos tentang ancaman Islam (Islamic Threat) di kalangan pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Kristen-Yahudi masih hidup subur. Meskipun negara-negara Barat saat ini memiliki kekuatan yang dahsyat dalam berbagai bidang kehidupan politik, ekonomi, militer, informasi, pemikiran, pendidikan, dan sebagainya ternyata mental ketakutan itu masih saja hidup subur. Akar-akar ketakutan terhadap Islam memang sangat mendalam di Barat. Edward Gibbon, misalnya, dalam buku terkenalnya, The Decline and Fall of The Roman Empire, (New York: The Modern Library, 1974, III:56) membuat mitos populer tentang ancaman Islam, bahwa Nabi Muhammad dengan masing-masing tangannya memegang al-Quran dan pedang mendirikan kekuasaannya di atas reruntuhan Kristen. (Mohammed, with the sword in one hand and the Koran in the other, erected his throne on the ruins of Christianity and of Rome). Buku John L. Esposito, The Islamic Threat, Myth or Reality, (New York: Oxford University Press, 1993), menggambarkan fenomena ketakutan itu di kalangan masyarakat Barat. Dalam sejarahnya yang panjang, mitos tentang ancaman Islam di kalangan masyarakat Kristen juga sudah digambarkan dengan baik oleh Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, (Oxford:Oneworld Publications, 1997). David R. Blank, dalam sebuah tulisannya berjudul Western Views of Islam in the Premodern Period mencatat bahwa meskipun secara keseluruhan tidak ada bukti kuat antara sikap prejudis terhadap Islam antara zaman pra-modern dengan zaman modern, namun ada garis-garis pemikiran tertentu yang terus berlanjut, yang mencitrakan Islam sebagai kafir raksasa (gigantic heresy), seperti garis pemikiran Peter the Vunerable Raymund Lull-Martin Luther Samuel Zwemmer. Zwemmer adalah misionaris Kristen terkenal. Martin Luther, sebagaimana banyak pendeta Kristen di zaman itu, percaya bahwa kaum Muslim (yang disebut dengan istilah Turks) adalah masyarakat yang dikutuk oleh Tuhan (The Turks are the people of the wrath of God). Kita masih ingat, bahwa Paus Urbanus II, ketika memprovokasi Perang Salib juga menyatakan, bahwa kaum Muslim adalah monster jahat yang tidak bertuhan. Membunuh makhluk semacam itu merupakan tindakan suci dan kewajiban kaum Kristen. (Killing these godless monsters was a holy act). Di masa lalu, ketakutan terhadap kekuatan Islam memang beralasan, sebab memang hanya peradaban Islam yang mampu menaklukkan Kristen Eropa selama ratusan tahun. Tetapi, sekarang? Jelas-jelas kaum Muslim terpecah belah, dan terus-menerus dalam kondisi dilemahkan. Namun, toh, orang-orang Barat, seperti yang datang ke AA itu, tetap saja melihat Islam sebagai momok. Bagaimana menghadapi kaum yang hidup dalam mitos atau paranoid semacam ini? Pada satu sisi, ketakutan Barat itu menunjukkan, bahwa memang Islam bagaimana pun kondisinya tidak dipandang sebelah mata. Kaum Muslim tetap diperhitungkan. Seyogyanya, kaum Muslim melakukan instrospeksi atas kondisinya dan tidak terlalu menunjukkan sikap cari muka terhadap Barat.

Dalam beberapa aspek, nuansa cari muka itu tampak pada tulisan AA. Misalnya, karena begitu takutnya Barat pada Islam politik, maka banyak cendekiawan yang ikut-ikutan membenci Islam politik. Menurut mereka, Islam harus dijauhkan dari kekuasaan. Penguasa kolonial Belanda dulu -atas nasehat Snouck Hurgronje membagi masalah Islam ke dalam tiga ketegori: (1) bidang agama murni dan ibadah, (2) bidang sosial kemasyarakatan, (3) bidang politik. Masing-masing bidang mendapat perlakuan yang berbeda. Resep Snouck Hurgronje inilah yang dikenal sebagai Islam Politiek, atau kebijakan pemerintah kolonial untuk menangani masalah Islam di Indonesia. Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu rakyat menempuh jalan tersebut. Dan dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islam. Jawaban AA terhadap orang-orang Barat, Tetapi, biasanya saya menjawab, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan semua gejala yang disebut sebagai ''Islamic revival'' tersebut. Memang, semakin banyak Muslim yang kian rajin beribadah, dan juga semakin banyak wanita yang menggunakan jilbab. Tetapi, parpol-parpol Islam tetap gagal meraih suara terbanyak dalam pemilu. Jadi, peningkatan kesalehan keagamaan tidak merupakan garis lurus. Cara pandang seperti itu sebenarnya aneh, untuk seorang ilmuwan yang sering berbicara tentang demokrasi seperti AA. Seolah-olah kekalahan parpol Islam atas Golkar dan PDIP patut disyukuri demi untuk menghibur dan menyenangkan hati (cari muka) terhadap Barat. Lebih aneh lagi, jika kita telaah pandangan AA terhadap sebuah buku yang ditulis Giora Eliraz, guru besar Hebrew University Yerusalem dan dosen tamu pada Australian National University. Buku itu berjudul Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension (Brighton: Sussex Academic Press, 2004). Menurut Eliraz, watak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, terutama jika dibandingkan dengan Islam di Timur Tengah. Jika di Timur Tengah umumnya ''kebangkitan Islam'' itu ditandai dengan peningkatan kesalehan dan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis dan bahkan militansi dan radikalisme-- maka ''kebangkitan Islam'' di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan. Jika dicermati, pendapat ilmuwan dari Hebrew University yang dipuji oleh AA itu mengandung sejumlah kerancuan ilmiah dan racun pembunuh pemikiran. Dengan bahasa yang halus, umat Islam di Indonesia dipuji-puji, lebih hebat, lebih bagus, dan lebih menyenangkan Barat, karena tidak radikal, tidak militan, tidak fundamentalis. Tanpa sadar, dengan ungkapan semacam itu, sebenarnya kita telah dipecah belah, masuk dalam politik belah bambu, satu diinjak, satu diangkat. Dengan bahasa yang sederhana, menurut ilmuwan dari Israel itu, kebangkitan Islam di Timur Tengah jelek dan jahat, berbeda dengan kebangkitan Islam di Indonesia. Dengan memberikan stigma negatif terhadap wajah Islam Timur Tengah semacam itu, dampak berikutnya adalah munculnya sikap

negatif terhadap saudara-saudara kita Muslim di Timur Tengah, sehingga memudahkan untuk memindahkan kiblat pemikiran Islam ke Barat. Deskripsi ilmuwan dari Israel itu juga memberi gambaran yang mengerikan tentang Islam politik, seperti Snouck Hurgronje dulu. Ironisnya, ketakutan semacam ini disebarluaskan oleh sebagian ilmuwan di kalangan Muslim. Hal lain yang ditelan mentah-mentah oleh AA adalah istilah dan wacana tentang fundamentalisme dan radikalisme yang juga tidak lepas dari agenda Barat dalam mencitrakan Islam sebagai momok dan musuh baru pasca Perang Dingin. Buku-buku tentang masalah ini sangat melimpah ruah, bagaimana wacana ini terus digulirkan untuk mengacaukan persepsi kaum Muslim dan dunia internasional. Apalagi ketika wacana fundamentalisme, radikalisme, militan, dikaitkan dengan terorisme. Kita patut mencermati ungkapan ilmuwan dari Israel tentang kebangkitan Islam di Indonesia yang juga dipuji oleh AA. Bahwa ''kebangkitan Islam'' di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan. Pendapat inilah yang sebenarnya merupakan racun pembunuh. Sebab, kebangkitan Islam dikaitkan dengan penyebaran paham pluralisme agama yang memang merupakan mesin pembunuh agama-agama, sebagaimana kita bahas beberapa kali dalam catatan ini. AA tidak membedakan antara pluralitas, yang mengakui keragaman, dengan pluralisme agama, yang merupakan paham tentang realitas. Paham pluralisme agama berupaya membentuk satu teologi baru yang berbeda dengan teologi agama-agama yang ada. Biasanya mereka sebut semacam universal theology of religion. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan, pluralisme agama sebenarnya merupakan jenis agama baru, yang menciptakan kitab suci dan nabi-nya sendiri. Tokoh paham ini adalah pendiri Islamic Studies di McGill University, Wilfred Cantwell Smith. Ia mengaku dirinya merupakan pendukung gagasan a universal theology of religion. Satu lagi, tokoh paham ini adalah John Hick. Jika ditelaah, perjalanan intelektual John Hick, akan tampak ia sampai pada paham ini setelah melakukan penghancuran secara mendasar terhadap teologi Kristen. John Hick, seorang profesor teologi Kristen, melakukan pembongkaran terhadap konsep dasar teologi Kristen melalui bukunya The Myth of God Incarnate (1977). Buku ini memuat tiga tema utama: (1) Yesus tidak pernah mengajarkan bahwa dia adalah inkarnasi Tuhan. (2) Adalah mustahil melacak perkembangan doktrin inkarnasi dalam Bible yang yang sebenarnya dirumuskan dalam Konsili Nicea dan Chalcedon. (3) Bahasa yang digunakan Bible dalam soal inkarnasi ketuhanan adalah bersifat metaforis, bukan literal. Buku Hick memunculkan kehebohan besar di kalangan kaum Kristen Berminggu-minggu media massa keagamaan mendikusikan masalah ini. Hick memang melakukan kritik tajam terhadap doktrin trinitas. Ia menyatakan, bahwa doktrin Trinitas bukanlah bagian dari ajaran Yesus tentang Tuhan. Yesus sendiri, katanya, mengajarkan Tuhan dalam persepsi monoteistik Yahudi ketika itu. (Lihat, Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr, (Richmond Surrey: Curzon Press, 1998). Paham Pluralisme Agama adalah produk sejarah perjalanan peradaban Barat yang traumatik terhadap teologi eksklusif Gereja, problema teologis Kristen, dan realitas teks Bible. Seyogyanya adopsi paham ini ke dalam Islam perlu dikaji dengan mendalam dan dibandingkan dengan cermat

dengan sejarah, tradisi, konsep teologis Islam, dan realitas teks al-Quran. Masing-masing peradaban memiliki pandangan hidup (worldview) yang khas. Disamping WC Smith dan John Hick, sejarah perjalanan Kristen Barat juga telah melahirkan seorang filosof terkenal bernama Bertrand Russell yang menulis sebuah buku Why I am not A Christian (Mengapa Saya bukan Seorang kristen?) Ia menjelaskan dua hal: mengapa dia tidak percaya kepada Tuhan dan kepada keabadian (immortality). Kedua, mengapa dia tidak memandang bahwa Christ (Kristus) adalah manusia terbaik dan paling bijaksana. Bahkan Russell juga menjelaskan mengapa ia keluar dari Kristen, dengan menyatakan, bahwa agama Kristen, sebagaimana yang diatur dalam Gereja-gerejanya, merupakan musuh mendasar dari kemajuan moral di dunia. (I say quite deliberately that the Christian Religion, as organized in its Churches, has been and still is the principal enemy of moral progress in the world). Karena itu, adalah sangat memprihatinkan, jika penyebaran paham pluralisme agama dikatakan sebagai kebangkitan Islam, sebagaimana dikatakan Prof. Giora Eliraz, ilmuwan dari Israel tersebut. Lebih ajaib lagi, ada ilmuwan Muslim yang menelan begitu saja pendapat itu. Penyebaran paham pluralisme agama di kalangan kaum Muslim sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai satu kebangkitan Islam, tetapi justru kebangkrutan Islam. Wallahu alam. (KL, 2 Desember 2004) SKB 1/1969 dan Kepekaan Kaum Muslim Jumat, 10 Desember 2004 Ketua PGI Pendeta Nathan Setiabudi yang meminta SKB dicabut agar memudahkan kalangan Kristen mendirikan rumah ibadah. Tapi umat Islam masih belum peka. Baca CAP Adian Husaini, MA ke 81 Akhir-akhir ini, masalah SKB No 1/1969 mencuat kembali dan menjadi perdebatan ramai di berbagai media massa, menyusul pernyataan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Nathan Setiabudi setelah diterima Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, beberapa hari lalu. Kita pernah mengangkat masalah ini dalam CAP ke-58. Ketika itu, ketika akan bergabung dengan kubu MegawatiHasyim Muzadi, Partai Damai Sejahtera (PDS) mengajukan sejumlah syarat, antara lain pencabutan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 dan UU Sisdiknas. SKB 1/1969 ini berisi antara lain: setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Rupanya, meskipun Mega-Hasyim gagal meraih kursi kepresidenan RI, suara kalangan Kristen untuk menuntut pencabutan SKB 1/1969 tetap berjalan. Mereka biasanya beralasan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, itu adalah "bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Tap MPRS No XX/MPRS/1966, Hak Asasi Manusia untuk beribadah, menafikan kebebasan beribadah umat Kristen dan Katolik di Indonesia, serta menumbuhkan fanatisme sempit pada umat beragama lain."

Sejak lahirnya, SKB No 1 tahun 1969 sudah menjadi bulan-bulanan pihak Kristen, seperti halnya SK Menteri Agama No 70 tahun 1978 yang mengatur tentang Pedoman Penyiaran Agama. SK Menteri Agama No 70 itu misalnya menetapkan, bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan untuk (1) ditujukan terhadap orang-orang yang telah memeluk agama lain, (2) dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik memeluk sesuatu agama, (3) dilakukan dengan cara-cara penyebaran panflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah/ di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain, (4) dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apa pun. SKB No 01/BER/MDN-MAG/1969 itu adalah SKB tentang "Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya". SKB No 1/1969 ditetapkan tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh Menteri Agama KH Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Soal yang berkaitan dengan pembangunan gereja diatur dalam pasal 4 SKB tersebut. (1) Setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepala daerah atau Pejabat Pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. (2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan (a) pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi (c) kondisi dan keadaaan setempat. (3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat. Gugatan keras terhadap SKB 1/1969 misalnya pernah datang dari JE Sahetapy, seorang tokoh PDIP. Tokoh Kristen yang juga pakar hukum dari Unair Surabaya ini mengaitkan maraknya aksi pembakaran dan perusakan gereja dengan keberadaan SKB No 1/1969. JE Sahetapy menulis soal ini, " sejak tahun 1969 umat Kristiani telah diviktimisasi, antara lain, melalui SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, dan yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai surat instruksi dan surat radiogram, yang pada intinya, bagaimana mendiskreditkan dan memojokkan kehidupan beragama/bergereja umat Kristiani." SKB 1/1969 dikatakan Sahetapy telah memasung kebebasan HAM. Berdasarkan pasal 29 UUD 1945 dan penjelasannya, Sahetapy menyimpulkan, secara legalistik positivistik, maka tidak mungkin kebebasan beragama secara diskriminatif dipasung dengan suatu produk hukum yang tidak dikenal dan tidak berjiwa Pancasila dan serta tidak sesuai dengan Tap MPRS No XX Tahun 1966. SKB Nomor 1 tahun 1969 juga disebut Sahetapy sebagai bentuk "penjajahan terselubung" yang bertentangan dengan makna "kemerdekaan" sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Dari uraian Sahetapy dapat disimpulkan betapa jengkelnya kaum Kristen dengan keberadaan SKB No 1 tahun 1969 tersebut. Bahkan, Sahetapy dengan tegas menyatakan, SKB itu dengan sendirinya batal hukum. Artinya, sesuai pandangan Sahetapy dan berbagai kelompok Kristen lainnya, SKB yang sudah berumur 30 tahun itu dianggap tidak ada oleh kaum Kristen di Indonesia. Apa artinya? Tidak lain, kecuali, kaum Kristen enggan menerima aturan-aturan yang "mengatur" soal pembangunan gereja. Mereka mau jalan sendiri, tanpa aturan, dengan alasan kebebasan dan HAM. Mungkin, karena menganggap sepi SKB Nomor 1 tahun 1969 itulah, maka persoalan gereja di Indonesia tidak pernah tuntas. Sebab, pihak Kristen menganggap, untuk membangun gereja tidak perlu melalui prosedur izin sesuai SKB Nomor 1 tahun 1969. Sementara pemerintah dan kaum Muslim Indonesia menilai SKB itu adalah peraturan yang sah dan berlaku di negara hukum Indonesia. Jika logika dan pendapat Sahetapy soal SKB Nomor 1 tahun 1969 tetap dipegang teguh oleh kaum Kristen Indonesia, sementara pihak Muslim dan pemerintah RI tetap berpegang teguh pada SKB Nomor 1 tahun 1969 itu, maka "sudah sewajarnya" jika konflik antara kaum Muslim dan kaum Kristen dalam soal gereja akan terus berlangsung dan tidak pernah berakhir. Tuntutan pihak Kristen untuk mencabut SKB No 1/1969 dengan alasan HAM sangatlah tidak masuk akal. Di belahan mana pun di dunia ini, masalah pembangunan rumah ibadah pasti mendapat perhatian dan aturan serius. Kaum Muslim juga harus berjuang keras melalui berbagai persyaratan administrasi yang berat, ketika hendak mendirikan masjid di negara-negara Kristen Eropa. Tidak mungkin, dengan alasan HAM dan kebebasan, maka kaum Muslim bebas begitu saja mendirikan masjid. Kaum Muslim di Roma, misalnya, harus berjuang puluhan tahun untuk dapat mendirikan sebuah masjid. Pada dekade 1930, kaum Muslim pernah meminta ijin kepada Mussolini untuk mendirikan Masjid, tetapi dijawab Mussolini: No! When we can build a Roman Catholic church in Mecca, you can build a mosque in Roma. Permintaan Mussolini tentu mustahil dipenuhi kaum Muslim, sebab Kota Suci Mekkah memang hanya dikhususkan untuk dihuni oleh kaum Muslim. Kini, jika SKB 1/1969 itu dicabut, kita bertanya kepada pihak Kristen, apakah mereka akan dengan seenaknya sendiri mendirikan gereja di mana-mana? Bukankah hal ini akan semakin memperkeruh situasi hubungan antar agama di Indonesia? Inikah yang diinginkan PDS, PGI, dan kelompok-kelompok Kristen lain di Indonesia? Kaum Muslim Indonesia telah terbukti memberikan sikap toleransi yang tinggi terhadap kehidupan keagamaan kaum Kristen. Ratusan, bahkan ribuan Gereja berdiri di mana-mana, dengan atau tanpa ijin. Kadangkala, Gereja itu sengaja didirikan dengan sangat mencolok di tengah komunitas Muslim. Tengoklah, misalnya, sebuah Gereja yang amat sangat megah dan mewah yang dibangun di depan Komplek Kopassus AD, Cijantung. Di depan Markas Brimob kelapa Dua, sebuah Gereja Megah didirikan. Di tengah penderitaan bangsa Indonesia, kelompok Kristen justru mau membangun sebuah Menara Doa Jakarta senilai Rp 2,5 trilyun. Itu semua didirikan ketika SKB 1/1969 masih berlaku. SKB No 1/1969 sebenarnya masih ideal. Seperti usul mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, masalah ini sebaiknya dibicarakan secara terbatas. SKB itu bukan hanya berlaku untuk kaum Kristen, tetapi juga untuk kaum Muslim yang tinggal di daerah mayoritas Kristen seperti NTT, Papua, dan

sebagainya. Aturan semacam ini sangat diperlukan untuk mencegah semakin memburuknya hubungan antar-agama, karena sikap agresif sebagian kaum Kristen dalam menyebarkan agamanya terhadap kaum Muslim di Indonesia. Kaum Kristen tidak dilarang membangun Gereja, tetapi perlu dicermati, apakah Gereja itu dibangun untuk keperluan ibadah mereka atau berfungsi sebagai pusat dan alat misi Kristen untuk memurtadkan kaum Muslim. Sebab, harus diakui, di kalangan kaum Kristen, semangat untuk mengkristenkan orang Islam masih sangat besar. Kita ingat, wawancara pendeta Suradi dengan Majalah GATRA, (20 Maret 2001) yang bersemangat mengatakan, bahwa yang dilakukan kaum Kristen bukanlah Kristenisasi, tetapi ''selametisasi'', yaitu membawa berita keselamatan. Maksudnya, supaya orang mendapat berita keselamatan. Manusia itu mau selamat atau tidak?, kata Suradi. Yang sangat bersemangat dalam mengupayakan pencabutan SKB 1/1969 ini tampaknya dari kalangan Protestan. Jika ditelusuri sejarahnya, tokoh Kristen Protestan seperti Martin Luther, memang memiliki pandangan yang sangat buruk terhadap Islam, dan agama lain. Luther misalnya, menyatakan, bahwa Kristus akan datang di Hari Akhir dan menghancurkan semua musuhnya, yaitu kaum Muslim (dia sebut dengan istilah the Turks), Yahudi, Paus, dan sebagainya. Kata Luther: We know that Christ will come on the Last Day and will destroy all His enemies: the Turk, the Jews, the pope, the cardinals, the bishops, and whatever ungodly men they are (Lihat, Jaroslav Pelikan (ed), Luthers Works, V ol. 2, Lectures on Genesis Chapters 6-14, (Missouri: Concordia Publishing House, 1960), hal. 256. Luther, juga menggambarkan Nabi Muhammad saw sebagai laki-laki hina dan cabul yang melakukan studi dari tempat tidur perempuan pelacur, serta bangga karena diberi kekuatan fisik oleh Tuhan sehingga mampu tidur dengan 40 wanita sehari. (V ol. 15, hal. 342). Senada dengan Luther, Pdt Suradi juga menyatakan, bahwa orang Islam menyembah hajar aswad (batu hitam), dan suara yang didengar Nabi Muhammad saw di Goa Hira adalah suara setan. Menyebarnya buku Robert A. Morey The Islamic Invasion di kalangan Gereja juga menunjukkan bahwa serangan terhadap Islam, baik ajaran maupun pemeluknya, masih hidup subur di kalangan Kristen. Albert Hourani, dalam bukunya, Europe and the Middle East (London: The Macmillan Press Ltd, 1980), mengakui bahwa pandangan dasar Luther terhadap Islam memang mengerikan. Meksipun, Luther juga memuji kesederhanaan peribadahan dan tradisi Muslim dibandingkan Katolik. Hal-hal seperti inilah yang mestinya diselesaikan oleh PGI terlebih dahulu sebelum membicarakan soal SKB 1/1969. Konon, banyak pendeta yang tidak sejalan dengan Suradi dan sejenisnya, namun, belum tampak ada keseriusan PGI dalam mengatasi kelompok-kelompok agresif Kristen yang melakukan serangan terhadap Islam. Jika masalah-masalah ini bisa diatasi, masalah SKB 1/1969 adalah masalah yang lebih kecil, dan masalah hubungan antar-agama dapat didiskusikan dalam situasi dan kondisi yang lebih baik. Pada sisi lain, dari sudut kaum Muslim, kita patut bersyukur, bahwa kaum Muslim masih cukup peka melihat permasalahan SKB 1/1969. Banyak yang meributkan dan memberikan respon. Sayangnya, kepekaan ini masih sebatas hal-hal yang bersifat superfisial dan tampak di permukaan. Di masa sekarang, kepekaan pada batas ini masih belum mencukupi, khususnya bagi para cendekiawan dan ulamanya. Kaum Muslim ribut ketika PDS muncul, begitu juga ketika SKB 1/1969

diusik. Tetapi tidak ribut ketika sejumlah lembaga dan tokoh Islam justru mengadopsi metode Kristen dalam studi al-Quran. Para cendekiawan Muslim terkemuka tidak ribut ketika Paramadina menerbitkan buku Fiqih Lintas Agama. Tokoh Paramadina, Nurcholish Madjid tetap diagungkan sebagai cendekiawan Muslim terkemuka. Padahal, serangan-serangan dari dalam seperti ini justru lebih serius dampaknya terhadap kaum Muslim. Pada 29 November lalu, ada sebuah artikel di Republika berjudul Pengaruh Metodologi Bible Terhadap Studi Al-Qur'an yang ditulis oleh Adnin Armas dari ISTAC. Artikel ini menunjukkan, bagaimana sesungguhnya para Orientalis Yahudi dan Kristen -- seperti Ignaz Goldziher (m. 1921), Theodor Nldeke (m. 1930), Friedrich Schwally (m. 1919), Edward Sell (m. 1932), Gotthelf Bergstrsser (m.1933), Leone Caentani (m. 1935), Alphonse Mingana (m. 1937), Otto Pretzl (m. 1941), Arthur Jeffery (m. 1959), John Wansbrough (m. 2002) dan muridnya Prof. Andrew Rippin, serta Christoph Luxenberg (nama samaran) dan masih banyak lagi yang lain, membawa pandangan hidup (worldview) mereka ketika mengkaji Islam. Mereka mengadopsi metodologi Bible ketika mengkaji al-Qur'an. Ironisnya, metode Bible itu justru kini dipeluk dan diajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam. Para intelektual dari kalangan Muslim itu tidak segan-segan dan malu-malu untuk mengadopsi dan menjiplak metode Bible untuk melakukan studi al-Quran. Mohammed Arkoun, misalnya, menegaskan bahwa studi al-Qur'an sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bible (Quranic studies lag considerably behind biblical studies to which they must be compared). (Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, London: Saqi Books, 2002). Menurut Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin Ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, intervensi ilmiah Wansbrough cocok dengan framework yang Ia usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang bagi kaum fundamentalis saat ini tidak terbayangkan. (Mohammed Arkoun, "Contemporay Critical Practices and the Qur'an", di dalam Encyclopaedia of the Qur'an, Editor Jane Dammen McAuliffe, Leiden: Brill, 2001). Padahal John Wansbrough, yang menerapkan analisa Bible, yaitu form Criticism dan redaction criticism kepada al-Qur'an, menyimpulkan bahwa teks al-Qur'an yang tetap ada baru ada setelah 200 tahun wafatnya Rasulullah saw. Menurut John Wansbrough lagi, riwayat-riwayat mengenai al-Qur'an versi `Uthman adalah sebuah fiksi yang datang kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim supaya asal-muasal al-Qur'an dapat di lacak ke Hijaz (Issa J. Boullata, "Book Reviews: Qur'anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation", The Muslim World 67: 1977). Contoh lain adalah apa yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur'an. Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Qur'an adalah teks liguisitk-historis-manusiawi. AlQuran adalah hasil budaya Arab. Popularitas Nasr Hamid di Indonesia saat ini sangat tinggi, dan

banyak yang menyebarkan pandangannya. Bahkan, sejumlah professor dan tokoh organisasi Islam secara terang-terangan menyebarkan pandangan Nasr Hamid. Padahal, menurut Adnin Armas, adopsi metodologi Bible yang dilakukan sarjana Muslim terhadap al-Qur'an sangat disayangkan. Jika adopsi ini diamini, maka hasilnya fatal sekali. Otentisitas alQur'an sebagai kalam Allah akan tergugat. Al-Qur'an akan diperlakukan sama dengan teks-teks yang lain. Ia akan menjadi teks historis, padahal sebenarnya ia adalah Tanzil (trans-historis). Ia jelas berbeda dengan sejarah Bible. Sumbernya juga berbeda. Setting sosial dan budaya juga berbeda. Bahkan Bahasa asli Bible sudah tidak banyak lagi digunakan oleh penganut Kristen. Sangat berbeda dengan kaum Muslimin, yang dari dulu telah, sekarang masih, dan akan datang terus membaca dan menghafal al-Qur'an dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, mengadopsi metodologi Bible terhadap alQur'an adalah adopsi dan metodologi yang salah kaprah. Tantangan dan dampak yang ditimbulkan dari adopsi metode Bible dalam studi Islam, apalagi dilakukan oleh para cendekiawan dan perguruan Islam, jauh lebih besar dibandingkan dengan masalah SKB 1/1969. Tetapi, hingga kini, kita patut bertanya, seberapa besar perhatian kaum Muslim terhadap tantangan serius yang sudah menghunjam jauh ke jantung umat Islam Indonesia ini? Seberapa besar perhatian organisasi Islam, partai Islam, pengusaha Muslim, dan para aktivis Islam terhadap masalah ini? Wallahu alam. (KL, 9 Desember 2004). Mengapa Pemerintah Nambah Utang Lagi? Sabtu, 18 Desember 2004 Pemerintah akan mengajukan hutang 1,2 milyar USD. Mengapa rakyat harus kembali mendapat kezaliman untuk membayar 'utang najis' (odious debt)? Baca CAP Adian Husaini, MA ke 81 Penguasa boleh datang silih berganti, namun tradisi nambah utang dan jual aset negara tampaknya tidak berubah. Trilyunan rupiah sudah dikeluarkan untuk menyelenggarakan proses demokrasi untuk memilih wakil rakyat dan presiden. Pemerintah baru yang begitu diharapkan membawa perubahan untuk rakyat, tampaknya belum menunjukkan harapan yang menggembirakan. Kebijakan soal utang luar negeri bisa disimak sebagai salah satu indikatornya. Pada 15 Desember 2004, seperti ditulis Tempointeraktif.com, Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie mengungkapkan, bahwa pemerintah ada kemungkinan akan mengajukan pinjaman baru sekitar 1,2 milyar USD (sekitar Rp 10 trilyun) ke kreditor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI). Jumlah pinjaman itu merupakan setengah dari target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2005. Kalau produk domestik bruto (PDB) sekitar Rp 2.000 triliun, target defisit 1 persen dari PDB adalah sekitar Rp 20 triliun. Maka, setengah dari jumlah itu, sekitar Rp 10 triliun atau 1,2 milyar USD, akan dipenuhi dari utang ke CGI.

Menurut Aburizal, jumlah komitmen yang akan diminta ini lebih rendah dari utang yang disepakati dari CGI tahun lalu yang mencapai sekitar 3,4 miliar USD. Ini memang merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk mengurangi utang luar negeri Indonesia. Pemerintah berharap, jangka panjang rasio utang luar negeri Indonesia akan terus turun. Tahun ini, rasio utang pemerintah terhadap PDB diperkirakan sekitar 60,1 persen, yang berarti turun dibanding tahun 2002 yang mencapai 77 persen. Tahun depan, pemerintah mentargetkan, rasio utang terhadap PDB mencapai 54,9 persen. Dalam rangka kebijakan fiskal yang berkelanjutan, rasio utang terhadap PDB memang diupayakan agar tidak melebihi 60 persen. Menurut Ketua Bappenas, Sri Mulyani, pemerintah menghendaki pengurangan jumlah utang luar negeri dengan mengurangi pinjaman baru. Masalahnya, kebutuhan pemerintah terhadap utang luar negeri lebih besar dibandingkan dengan tahun kemarin, karena defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membengkak dari semula 0,8 persen menjadi 1 persen. Menurut dia, adanya konflik antara kebutuhan terhadap utang luar negeri dan keinginan untuk mengurangi rasio utang ini memaksa pemerintah untuk mencari sumber penerimaan yang lain, tanpa harus menambah jumlah utang. Karena itu, katanya, tahun depan pemerintah akan menggenjot penerimaan dari privatisasi. Dari penjelasan pejabat pemerintah itu, dapat dilihat, bahwa pola kebijakan rezim baru tidak banyak berbeda dengan rezim sebelumnya. Pertama, defisit anggaran tetap dipertahankan. Kedua, untuk menutupi defisit, maka pemerintah menambah utang -- luar negeri atau dalam negeri dengan menjual obligasi. Cara lain, jual aset yang istilah keren-nya disebut ?privatisasi. Biasanya, cara lain adalah dengan menggenjot penerimaan pajak dan mencabut subsidi, yang ujungnya adalah membebani hidup rakyat. Kita belum mendengar harapan cerah, bahwa pendapatan pemerintah akan meningkat dan mampu menutupi defisit anggarannya, misalnya, dari penjualan hasil laut, hutan, minyak, emas, tembaga, dan sebagainya. Konon, negara kita sangat kaya sumber alam, dan selalu dibangga-banggakan. Kemana hasil semua itu? Juga, misalnya, kita belum mendengar harapan, bahwa dua tahun lagi, ada sekian trilyun utang negara yang dikorup insyaallah akan berhasil dikembalikan ke kas negara. Dari kondisi keuangan negara yang terus menambah utang dan masih mengalami defisit, menunjukkan, bahwa negara kita dalam keadaan darurat. Bukan hanya miskin, tetapi menuju kebangkrutan. Dalam kondisi seperti ini, seyogyanya, penampilan dan cara penyelenggaraan pemerintahan harus menunjukkan penampilan seperti itu. Wajah pejabat kita harusnya wajah yang miskin dan tidak sembarangan menggunakan fasilitas negara yang melebihi kepantasan rakyat. Para pejabat, termasuk yang di DPR/DPRD, adalah pengemban amanah untuk mengelola keuangan negara. Mereka harus paham benar, bahwa mereka tidak boleh melakukan kezaliman kepada rakyat dalam mendistribusikan uang negara. Sebagai contoh, jika jumlah uang negara yang ada hanya Rp 100 trilyun, maka jumlah itu harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, seperti pangan, papan, pendidikan, kesehatan, sandang. Anggaran untuk bidang kesenian, pembuatan taman, jalan-jalan ke luar negeri, dan sebagainya, seharusnya tidak diprioritaskan. Juni lalu , Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda

(PLSP) Depdiknas Dr Fadli Jalal mengatakan, angka putus sekolah di Indonesia masih sekitar 600 hingga 700 ribu anak Sekolah Dasar (SD) putus sekolah setiap tahun. Kita belum tahu, berapa ribu rakyat yang meninggal karena tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Maka, adalah satu kezaliman, jika pejabat negara membiarkan semua itu terjadi, sementara pada saat yang sama, mereka menggunakan dan menikmati fasilitas-fasilitas mewah dari negara, yang tidak masuk skala prioritas untuk penyelenggaraan negara. Perspektif penyelenggaraan pemerintahan yang Islami seperti inilah yang seyogyanya dimiliki oleh pemimpin Muslim. Sabda Rasulullah saw: ?Kebaikan yang paling cepat mendapat balasan ialah kebajikan dan menyambung tali silaturahmi. Dan kejahatan yang paling cepat mendapat hukuman ialah kezaliman dan pemutusan tali silaturahmi. (HR Ibnu Majah). Kita tak bosan-bosannya mengingatkan, bahwa tugas pemerintah yang utama adalah memenuhi kebutuhan pokok rakyat dan menghilangkan kezaliman yang menimpa rakyat. Para pemimpin, terutama Kepala Negara, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, tentang segala macam kepemimpinannya. Karena itu, seorang kepala negara bukan hanya dituntut bersih, tetapi juga memiliki keberanian dan ilmu yang mencukupi. Bukan hanya ilmu politik dan seni meraih serta mempertahankan kekuasaan, tetapi juga ilmu keagamaan. Ada anggapan, seolah-olah kalau sudah menjadi pejabat atau profesor, maka tidak wajib lagi menuntut ilmu agama. Banyak yang salah beranggapan, bahwa ilmuilmu yang fardhu ain sudah selesai, jika seseorang sudah menjadi pejabat atau tokoh masyarakat. Mereka tidak lagi mendalami ilmu aqidah, syariat, akhlak. Seorang kepala negara misalnya, wajib memahami, bagaimana seharusnya, menjadi kepala negara menurut ketentuan Islam. Niat baik saja tidak cukup. Yang lebih berbahaya adalah jika seorang tidak memahami masalahmasalah agama, tetapi merasa tahu. Kebijakan penambahan utang luar negeri, sejak lama telah dipersoalkan, karena efektivitasnya diragukan. Budaya korup yang masih berurat berakar dalam birokrasi pemerintahan adalah ibarat ? ember bocor. Berapa pun air dikucurkan, akan terus ?bablas. Dari sekitar Rp 700 trilyun utang pemerintah, Orde Baru diperkirakan, hanya 50-70 persen yang dinikmati oleh rakyat. Selebihnya, salah sasaran atau dikorup. Padahal, akhirnya, yang menanggung beban utang itu dalah seluruh rakyat, melalui pemotongan hak budget mereka di APBN. Rezim pasca Orde Baru ketika itu, tidak segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan utang Orde Baru. Tahun 2002 lalu, Forum Sosial Dunia di Porto Allegre, menyerukan, bahwa: ?Utang luar negeri negara-negara Selatan telah dibayarkan kembali/dilunasi berulang kali. Utang luar negeri telah dijadikan instrumen dominasi, yang mencampakan hak-hak asasi fundamental demi kepentingan tunggal riba internasional. Kami menuntut penghapusan (pembatalan) utang dan sebaliknya memulihkan utang sejarah, sosial dan ekologi. Negara-negara yang menuntut pembayaran utang, secara tidak langsung telah mengeksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan tradisional di Selatan. Utang luar negeri memang merupakan instrumen hegemoni terhadap negara-negara miskin. Namun, itu tidak bisa disalahkan pada negara-negara donor saja, yang lebih penting adalah sikap negaranegara pengutang sendiri. Kasus utang luar negeri adalah sebuah bentuk kezaliman yang sangat nyata. Sebab, rakyat dipaksa untuk membayar ?utang najis (odious debt). Logika sederhana dari konsep

utang najis adalah bahwasanya rakyat -- yang tidak tahu apa-apa dan tidak turut mengambil kebijakan dalam pengembilan utang luar negeri --seharusnya tidak dibebani utang yang dibuat oleh rezim yang justru telah menyengsarakannya. Sebagai contoh, RAPBN tahun 2002/2003 yang diajukan oleh pemerintahan Megawati kepada DPR pada 14 September 2001 berjumlah Rp 332,4 trilyun. Tetapi, sekitar Rp 120 trilyun, digunakan untuk membayar utang, separohnya untuk membayar utang luar negeri. Negara-negara donor, juga lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, sama sekali tidak mau memberikan pemotongan utang atau moratorium (penundaan) pembayaran utang sampai ekonomi Indonesia tumbuh dengan memadai. Padahal, Indonesia selama ini sangat rajin membayar cicilin dan bunga utang. Sebagai contoh kasus, dalam kurun waktu 1980-1999, Indonesia sudah membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri sebesar 124,916 milyar USD -- terdiri atas cicilan utang pokok sebesar 76,560 milyar USD dan 48,356 milyar USD. Jadi, jumlah bunga yang telah dibayar adalah sebesar 38,71 persen. ?Jadi tidak benar utang adalah bantuan berdimensi kemanusiaan, sebagaimana yang selama ini didengungkan, kata Prof. Didik J. Rachbini, saat acara pelantikan guru besarnya. Yang lebih ironis, sejak tahun anggaran 1986/1987, Indonesia sudah memasuki era ?transfer negatif. Saat itu, Indonesia menerima utang sebesar 3,795 milyar USD. Tapi, di tahun itu pula, Indonesia harus membayar cicilan pokok dan bunga utang sebesar 5,058 milyar USD. Jadi, seluruh utang baru yang diterima malah tidak cukup untuk membayar cicilan pokok dan bunga utangnya. Karena itu, seyogyanya, rezim SBY yang mendapat dukungan mayoritas rakyat, berani melakukan perubahan kebijakan yang mendasar dalam masalah utang luar negeri, dan mengurangi kezaliman terhadap rakyat. Penambahan utang baru hanya ibarat obat penenang sementara yang akibatnya akan menambah beban rakyat pada generasi berikutnya. Yang harus dilakukan adalah negosiasi utang dengan negara-negara atau lembaga kreditor, agar Indonesia mendapatkan pemotongan utang (debt reduction) atau penundaan pembayaran cicilan utang luar negeri, yang setiap tahun mencapai sekitar Rp 60 trilyun. (sebagai contoh, menurut data Bank Indonesia, untuk total utang 33,2 milyar USD yang jatuh tempo selama tahun 2001, perinciannya adalah utang pemerintah 7,3 milyar USD, utang BUMN 1,1 milyar USD, utang swasta 23,1 milyar USD, utang surat berharga 1,8 milyar USD). Pemerintah RI yang baru --yang untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat-- seyogyanya lebih berani menegakkan muka terhadap IMF dan lembaga-lembaga atau negara-negara donor. Jika tidak mampu membayar cicilan pokok dan bunga utang, katakan, bahwa kita tidak mampu membayar tahun ini, semuanya, karena banyak rakyat yang miskin, terkena bencana alam, dan sebagainya. Atau, setidaknya pemerintah berani meminta penundaan cicilan utang dan bunganya. Apalagi, lembagalembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, terbukti juga ikut memiliki andil kesalahan dalam penumpukan utang rezim-rezim masa lalu yang kini menjadi beban pemerintah dan rakyat. Menyambut ulang tahun ke-60 Bank Dunia, pada 22 Juli 2004 lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meluncurkan tulisan berjudul: "60 tahun Utang yang Menyingkirkan Kepentingan Rakyat dan Lingkungan." Disebutkan, bahwa tanggal 22 Juli 2004 menandai 60 tahun kebijakan yang gagal dari Bank Dunia,

60 tahun pinjaman yang menjerumuskan, 60 tahun meningkatnya utang di negara berkembang, dan 60 tahun proyek utang yang menghancurkan lingkungan dan sosial." Tapi, apakah pemerintah SBY berani mengambil tindakan yang berbeda dengan rezim sebelumnya? Kita lihat saja. Menjadi pejabat pemerintah, apalagi kepala negara, memang berat. Kekuasaan membawa konsekuensi tanggung jawab, di dunia dan akhirat. Karena itu, Imam Abu Hanifah, lebih suka masuk penjara dan dihukum dicambuk ketimbang menjadi pejabat hakim negara. Jika banyak orang berebut menjadi pemimpin di negeri yang sedang bangkrut dan tertimpa berbagai krisis, maka orang-orang ini perlu memahami benar, apa yang seharusnya mereka lakukan dan apa tanggung jawabnya. Wallahu a'lam. (KL, 16 Desember 2004). Mitos-mitos tentang Perayaan Natal Bersama Jumat, 24 Desember 2004 Sekelompok Muslim menggugat fatwa MUI tentang haramnya seorang Muslim hadir dalam Perayaan Natal Bersama. Sikap kebelet agar bisa disebut toleran?. Baca CAP Adian Husaini, MA ke-83 Menjelang perayaan Hari Natal, 25 Desember, ada sebagian kalangan kaum Muslim yang kembali menggugat fatwa MUI tentang haramnya seorang Muslim hadir dalam Perayaan Natal Bersama. Ada yang menyatakan, bahwa yang melarang Perayaan Natal Bersama (PNB) atau yang tidak mau menghadiri PNB adalah tidak toleran, eksklusif, tidak menyadari pluralisme, tidak mau bertaaruf, dan sebagainya. Padahal orang Islam disuruh melakukan taaruf (QS 49:13). Banyak yang kemudian berdebat boleh dan tidaknya menghadiri PNB, tanpa menyadari, bahwa sebenarnya telah banyak diciptakan mitos-mitos seputar apa yang disebut PNB itu sendiri. Pertama, mitos bahwa PNB adalah keharusan. Mitos ini seperti sudah begitu berurat-berakar, bahwa PNB adalah enak dan perlu. Padahal, bisa dipertanyakan, apa memang perlu diadakan PNB? Untuk apa? Jika PNB perlu, bahkan dilakukan pada skala nasional dan dijadikan acara resmi kenegaraan, maka perlukah juga diadakan WB (Waisak Bersama), NB (Nyepi Bersama), IFB (Iedul Fitri Bersama), IAB (Idul Adha Bersama), MNB (Maulid Nabi Bersama), IMB (Isra Miraj Bersama), IB (Imlek Bersama). Jika semua itu dilakukan, mungkin demi alasan efisiensi dan pluralisme beragama, akan ada yang usul, sebaiknya semua umat beragama merayakan HRB (Hari Raya Bersama), yang menggabungkan hari raya semua agama menjadi satu. Di situ diperingati bersama kelahiran Tuhan Yesus, peringatan Nabi Muhammad SAW, dan kelahiran dewa-dewa tertentu, dan sebagainya. Keharusan PNB sebenarnya adalah sebuah mitos. Jika kaum Kristen merayakan Natal, mengapa mesti melibatkan kaum agama lain? Ketika itu mereka memperingati kelahiran Tuhan Yesus, maka mengapa mesti memaksakan umat agama lain untuk mendengarkan cerita tentang Yesus dalam versi

Kristen? Mengapa doktrin tentang Yesus sebagai juru selamat umat manusia itu tidak diyakini diantara pemeluk Kristen sendiri? Di sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, seperti Indonesia, wacana tentang perlunya PNB adalah sebuah keanehan. Kita tidak pernah mendengar bahwa kaum Kristen di AS, Inggris, Kanada, Australia, misalnya, mendiskusikan tentang perlunya dilaksanakan IFB (Idul Fitri Bersama), agar mereka disebut toleran. Bahkan, mereka tidak merasa perlu menetapkan Idul Fitri sebagai hari libur nasional. Padahal, di Inggris, Kanada, dan Australia, mereka menjadikan 26 Desember sebagai Boxing Day dan hari libur nasional. Selain Natal, hari Paskah diberikan libur sampai dua hari (Easter Sunday dan Esater Monday). Di Kanada dan Perancis, Hari Natal juga libur dua hari. Hari libur nasional di AS meliputi, New Years Day (1 Januari), Martin Luther King Jr Birthday (17 Januari), Washingotns Birthday (21 Februari), Memorial Day (30 Mei), Flag Day (14 Juni), Independence Day (4 Juli), Labour Day (5 September), Columbus Day (10 Oktober), Veterans Day (11 November), Thanksgivings Day (24 November), Christmas Day (25 Desember). Kedua, mitos bahwa PNB membina kerukunan umat beragama. Mitos ini begitu kuat dikampanyekan, bahwa salah satu cara membina kerukunan antar umat beragama adalah dengan PNB. Dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara yang menegaskan keyakinan umat Kristen terhadap Yesus, bahwa Yesus adalah anak Allah yang tunggal, juru selamat umat manusia, yang wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Kalau mau selamat, manusia diharuskan percaya kepada doktrin itu. (Yohanes, 14:16). Satu kepercayaan yang dikritik keras oleh al-Quran. (QS 5:72-73, 157; 19:89-91, dsb). Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu Kejahatan besar (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran: Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasannya mereka mengklaim bahwa alRahman itu mempunyai anak. (QS 19:90-91). Prof. Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fitri bersama, karena waktunya berdekatan: Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah saru ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka.

Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme. Ketiga, mitos bahwa dalam PNB orang Muslim hanya menghadiri acara non-ritual dan bukan acara ritual. Untuk menjernihkan mitos ini, maka yang perlu dikaji adalah sejarah peringatan Natal itu sendiri, dan bagaimana bisa dipisahkan antara yang ritual dan yang non-ritual. Sebab, tradisi ini tidak muncul di zaman Yesus dan tidak pernah diperintahkan oleh Yesus. Maka, bagaimana bisa ditentukan, mana yang ritual dan mana yang tidak ritual? Yang jelas-jelas tidak ritual adalah menghadirkan tokoh Santa Claus, karena ini adalah tokoh fiktif yang kehadirannya dalam peringatan Natal banyak dikritik oleh kalangan Kristen. Sebuah situs Kristen (www.sabda.org), menulis satu artikel berjudul: Merayakan Natal dengan Sinterklas: Boleh atau Tidak? Dikatakan, dalam artikelnya yang berjudul The Origin of Santa Claus and the Christian Response to Him (Asal-usul Sinterklas dan Tanggapan Orang Kristen Terhadapnya), Pastor Richard P. Bucher menjelaskan bahwa tokoh Sinterklas lebih merupakan hasil polesan cerita legenda dan mitos yang kemudian diperkuat serta dimanfaatkan pula oleh para pelaku bisnis. Sinterklas yang kita kenal saat ini diduga berasal dari cerita kehidupan seorang pastor dari Myra yang bernama Nicholas (350M). Cerita yang beredar (tidak ditunjang oleh catatan sejarah yang bisa dipercaya) mengatakan bahwa Nicholas dikenal sebagai pastor yang melakukan banyak perbuatan baik dengan menolong orang-orang yang membutuhkan. Setelah kematiannya, dia dinobatkan sebagai "orang suci" oleh gereja Katolik, dengan nama Santo Nicholas. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Sinterklas sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran iman Kristen Akhirnya, sebagai guru Sekolah Minggu kita harus menyadari bahwa hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah menjadikan Kristus sebagai berita utama dalam merayakan Natal -- Natal adalah Yesus. Mitos tentang Santa Claus ini begitu hebat pengaruhnya, sampai-sampai banyak kalangan Muslim yang bangga berpakaian ala Santa Claus. Keempat, mitos bahwa tidak ada unsur misi Kristen dalam PNB. Melihat PNB hanya dari sisi kerukunan dan toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB unsur misi Kristen juga perlu dijelaskan secara jujur. PNB adalah salah satu media yang baik untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia akan selamat. Sebab, misi Kristen adalah tugas penting dari setiap individu dan Gereja Kristen. Konsili Vatikan II (1962-1965), yang sering dikatakan membawa angin segar dalam hubungan antar umat beragama, juga mengeluarkan satu dokumen khusus tentang misi Kristen (The Decree on the Missionary Activity)

yang disebut ad gentes (kepada bangsa-bangsa). Dalam dokumen nostra aetate, memang dikatakan, bahwa mereka menghargai kaum Muslim, yang menyembah satu Tuhan dan mengajak kaum Muslim untuk melupakan masa lalu serta melakukan kerjasama untuk memperjuangkan keadilan sosial, nilainilai moral, perdamaian, dan kebebasan. (Upon the Moslems, too, the Church looks with esteem. They adore one God, living and enduring, merciful and all-powerful, Maker of heaven and earth Although in the cause of the centuries many quarrels and hostilities have arisen between Christians and Moslems, this most sacred Synod urges alls to forget the past and to strive sincerely for mutual understanding On behalf of all mankind, let them make common cause of safeguarding and fostering social justice, moral values, peace, and freedom.). Tetapi, dalam ad gentes juga ditegaskan, misi Kristen harus tetap dijalankan dan semua manusia harus dibaptis. Disebutkan, bahwa Gereja telah mendapatkan tugas suci untuk menjadi sakramen universal penyelamatan umat manusia (the universal sacrament of salvation), dan untuk memaklumkan Injil kepada seluruh manusia (to proclaim the gospel to all men). Juga ditegaskan, semuya manusia harus dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus melalui misi Kristen, dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus dengan pembaptisan. (Therefore, all must be converted to Him, made known by the Church's preaching, and all must be incorporated into Him by baptism and into the Church which is His body). Tentu adalah hal yang normal, bahwa kaum Kristen ingin menyebarkan agamanya, dan memandang penyebaran misi Kristen sebagai tugas suci mereka. Namun, alangkah baiknya, jika hal itu dikatakan secara terus-terang, bahwa acara-acara seperti PNB memang merupakan bagian dari penyebaran misi Kristen. Dengan memahami hakekat Natal dan PNB, seyogyanya kaum non-Muslim menghormati fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang umat Islam untuk menghadiri PNB. MUI tidak melarang kaum Kristen merayakan Natal. Fatwa itu adalah untuk internal umat Islam, dan sama sekali tidak merugikan pemeluk Kristen. Fatwa itu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian aqidah Islam dan menghormati pemeluk Kristen dalam merayakan Hari Natal. Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, yang isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatankegiatan Natal. Kalangan Kristen ketika itu, melalui DGI dan MAWI, banyak mengkritik fatwa tersebut. Mereka menilai fatwa itu berlebihan dan tidak sejalan dengan semangat kerukunan umat beragama. Kalangan Kristen dari luar negeri juga banyak yang berkomentar senada. Padahal, sebenarnya aneh, jika kalangan Kristen yang meributkan fatwa ini. Lebih ajaib lagi, jika ada yang mengaku Muslim meributkan fatwa ini, karena mungkin kebelet merayakan Hari Natal dan ingin disebut toleran. Kalau terpaksa harus merayakan Natal, tidaklah bijak jika harus menggugat soal hukumnya. Apalagi, kemudian, melegitimasi dengan satu atau dua ayat al-Quran yang ditafsirkan sekehendak hatinya. Untuk memahami masalah salat, tidaklah cukup hanya mengutip ayat al-Quran dalam surat al-

Maun: Celakalah orang-orang yang salat. Masalah peringatan Hari Besar Agama, sudah diberi contoh dan penjelasan yang jelas oleh Rasulullah SAW, dan dicontohkan oleh para sahabat Rasul yang mulia. Sebaiknya hal ini dikaji secara ilmiah dari sudut ketentuan-ketentuan Islam. Untuk berijtihad, memutuskan mana yang halal dan mana yang haram, memerlukan kehati-hatian, dan menghindari kesembronoan. Sebab, tanggung jawab di hadapan Allah, sangatlah berat. Tidaklah cukup membaca satu ayat, lalu dikatakan, bahwa masalah ini halal atau haram. Lain halnya, jika seseorang yang memposisikan sebagai mujtahid, tidak peduli dengan semua itu. Untuk masalah hukum-hukum seputar Hari Raya, misalnya, bisa dibaca Kitab Iqtidha as-Shirat alMustaqim Mukhalifata Ashhabil Jahim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Sejak awal mula, Islam sadar akan makna pluralitas. Islam hadir dengan mengakui hak hidup dan beragama bagi umat beragama lain, disaat kaum Kristen Eropa menyerukan membunuh kaum heresy karena berbeda agama. Karen Armstrong memuji tindakan Umar bin Khatab dalam memberikan perlindungan dan kebebasan beragama kepada kaum Kristen di Jerusalem, Beliau adalah penguasa pertama yang menaklukkan Jerusalem tanpa pengrusakan dan pembantaian manusia. Namun, Umar r.a. tidak mengajurkan kaum Muslim untuk berbondong-bondong merayakan Natal Bersama. Peringatan Hari Raya Keagamaan, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai hal yang eksklusif milik masing-masing umat beragama. Biar masing-masing pemeluk agama meyakini keyakinan agamanya, tanpa dipaksa untuk menjadi munafik. Masih banyak cara dan jalan untuk membangun sikap untuk saling mengenal dan bekerjasama antar umat beragama, seperti bersama-sama melawan kezaliman global yang menindas umat manusia. Dan untuk itu tidak perlu menciptakan mitos tentang seorang tokoh fiktif bernama Santa Claus untuk menjadi juru selamat manusia, khususnya anak-anak. Wallahu alam. (KL, 24 Desember 2004) Mengapa Harus Menunggu Musibah Aceh? Jumat, 31 Desember 2004 Musibah Aceh bisa menggagalkan kegiatan pesta-pora menyambut tahun baru. Dananya dialihkan untuk Aceh. Mengapa amal shalih harus menunggu musibah Aceh dulu? Baca CAP Adian Husaini, MA ke-84 Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami di wilayah Aceh (Ahad, 26 Desember 2004), sungguh luar biasa dahsyatnya. Bencana ini sangat mengerikan, diluar bayangan manusia dan para keluarga korban. Ada yang memperkirakan jumlah korban di Aceh dapat mencapai 80.000 orang. Hingga beberapa hari setelah bencana berlangsung, masih ribuan mayat manusia yang belum dapat dikuburkan, karena kesulitan pelaksana dan prasarana. Tidak terhitung lagi jumlah kerugian harta benda. Bencana itu datang begitu tiba-tiba. Ahad, pagi hari, tiba-tiba saja, bumi bergoyang. Sekitar setengah jam kemudian, datang serangan ombak yang sangat dahsyat. Ada yang menyebut

ketinggiannya sekitar 10-20 meter dengan kecepatan ratusan kilometer perjam. Berbagai cerita pilu terdengar. Banyak yang kehilangan, bukan hanya keluarga, tapi juga seluruh sanak famili. Bahkan, tidak sedikit yang seluruh kampong halamannya musnah. Dalam sejarah Aceh, inilah bencana alam terbesar yang pernah mereka alami. Maka, saat ini, kewajiban kita adalah membantu meringankan beban penderitaan saudara-saudara kita yang menjadi korban musibah dahsyat itu, sesuai dengan kemampuan kita. Mengapa Aceh yang ditimpa musibah begitu dahsyat? Mengapa bukan daerah-daerah tempat maksiat, seperti Macao, Las Vegas, atau pusat-pusat palacuran dan perjudian lainnya? Memang, sejumlah wilayah wisata di Tailand yang dikenal pusat maksiat juga terkena, tetapi jumlah korbannya tidak sehebat di Aceh. Hanya Allah yang tahu rahasia alam ini. Musibah dapat bermakna banyak bagi manusia. Musibah bisa berarti hukuman, ujian, atau peringatan dari Allah SWT kepada manusia. Bencana tidak pilih-pilih bulu. Manusia yang baik dan buruk juga bisa terkena. Allah SWT sudah mengingatkan, Dan takutlah kepada fitnah (bencana, penderitaan, ujian) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya. (QS 8:25). Kita tidak tahu pasti apa hikmah dibalik musibah besar yang ditimpakan Allah kepada saudarasaudara kita di Aceh. Yang telah wafat, mereka telah selesai tugas dan masa hidupnya di muka bumi. Mereka kembali kepada al-Khaliq. Mereka akan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Anakanak yang meninggal dunia tentu saja bebas dari segala pertanggungjawaban. Yang penting bagi kita saat ini adalah melakukan introspeksi. Musibah ini justru harusnya menjadi pelajaran bagi yang masih hidup. Bahwa, ternyata, nyawa manusia, dapat dicabut Malaikat Sang Pencabut Nyawa, kapan dan dimana saja. Siapa menyangka, mereka yang pagi itu sedang bercengkrama dengan keluarga, tiba-tiba, hanya dalam hitungan menit, harus berpisah untuk selamanya. Bagi kaum muslim, musibah ini bisa dijadikan pelajaran dan segera melakukan perenungan kembali. Mengapa Allah menjatuhkan musibah. Merenungkan kembali, makna dan tujuan hakiki dari kehidupan. Manusia diciptakan Allah hanyalah untuk melakukan ibadah (QS 51:56) kepada Allah. Jadi, manusia bukan diciptakan untuk berhura-hura, bersenang-senang, dengan melupakan al-Khaliq. Mengingat umur manusia yang begitu terbatas dan singkat, semasa hidup di dunia, maka tidak seyogyanya mereka menghabiskan umurnya untuk berpesta pora, melakukan pekerjaan yang tidak ada gunanya. Selain itu, kaum Muslim juga mendapatkan tugas khusus, yaitu melanjutkan amanah Risalah Rasulullah saw. (QS. 22:78). Tidak semua manusia ditakdirkan Allah SWT lahir dari keluarga dan lingkungan Muslim. Ada yang dilahirkan di tengah keluarga Kristen, Yahudi, atau atheis, dan dibesarkan di tengah keluarga yang bukan Islam. Maka, sudah semestinya, kaum Muslim menjalankan tugasnya, menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. Kaum Muslim juga mendapatkan tugas melakukan amar maruf nahi munkar, memerintahkan yang baik dan mencegah kemungkaran. Umat Islam tidak boleh berdiam diri terhadap berbagai kemungkaran yang terjadi di sekitarnya. Karena itu mereka harus berilmu. Mereka tidak boleh bodoh dan bersifat egois. Mereka harus paham, mana yang haq dan

mana yang bathil, mana yang benar dan mana yang salah. Setelah tahu, mereka harus berbuat sesuatu untuk memperjuangkan yang haq dan memusnahkan kebatilan. Itulah hakikat hidup bagi seorang Muslim, yaitu memperjuangkan tegaknya kebenaran dan melawan kebatilan, yang dalam bahasa seorang pujangga Mesir, dikatakan: Innal hayaata aqiidatan wa jihaadan. Rasulullah saw menggambarkan satu masyarakat bagaikan penumpang sebuah kapal. Jika mereka tidak peduli dan membiarkan sebagian penumpang yang melobangi tempat duduknya, maka semua penumpang akan tenggelam. Begitulah masyarakat. Jika mereka membiarkan kemungkaran berlaku di sekitarnya, maka semua akan ditimpa bencana, baik manusia yang berdosa atau yang tidak berdosa. Ada baiknya kita melakukan introspeksi, sejauh manakah kita semua, kaum Muslim di Aceh, Jakarta, dan ditempat-tempat lain, telah menjalankan kewajiban mereka? Untuk shalat lima waktu saja, berapa persen yang menjalankan? Aceh, merupakan satu-satunya propinsi di Indonesia yang diberi kesempatan menjalankan syariat Islam. Apa yang terjadi di Andalusia, Bosnia, Palestina, Aceh, dan sebagainya, bisa terjadi di tempat lain, jika Allah menghendaki. Kita patut bertanya, apakah bencana Aceh ini merupakan peringatan Allah SWT untuk menyadarkan bangsa Indonesia, dan umat Islam khususnya, agar mereka kembali mengingat Allah. Bencana Aceh, terbukti telah menghentakkan banyak umat manusia. Syukur dengan bencana tsunami banyak kaum Muslim tersadarkan. Mereka kemudian enggan melaksanakan pesta pora di malam tahun baru 2005. Perdana Menteri Malaysia secara tegas meminta acara-acara malam tahun baru dibatalkan, dan digantikan dengan acara doa. Maka, banyak acara pesta pora dibatalkan. Di Indonesia, anehnya, ada saja yang masih mau menggelar acara hura-hura tahun baru. Republika (30/12) melaporkan, Pemda Jakarta Selatan, misalnya, masih sibuk mempersiapkan penyambutan pergantian tahun, dengan melakukan acara karnaval, panggung hiburan, pertunjukan lenong, pembakaran kembang api, dan beragam lomba. Di Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), pesta tahun baru dengan gemerlap kembang api tetap berjalan. Memang, Gubernur Jakarta, Sutiyoso, telah membatalkan pesta kembang api di Monas. Tapi, pesta itu dipindahkan ke Ancol. Hotel Grand Melia Jakarta tetap meneruskan konser penyanyi Krisdayanti yang malam itu dibayar sekitar Rp 750 juta. Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, mengimbau kepada masyarakat untuk membatalkan acara-acara Tahun Baru yang bersifat hura-hura. Hal ini disampaikan dalam acara muhasabah yang digelar MUI di Masjid Al-Azhar Jakarta, Selasa (28/12). ''Khususnya umat Islam, agar membatalkan acara hura-hura dan suka cita. Terutama acara yang membutuhkan dana yang besar. Sementara dananya lebih baik dikumpulkan dan disumbangkan,'' tuturnya. Hal senada diungkapkan KH Abdullah Gymnastiar. Bagi masyarakat yang hendak merayakan Tahun Baru, kata Aa Gym, hendaknya menghindari acara yang penuh dengan hura-hura dan glamour. Aa Gym mengingatkan bahwa musibah di Aceh merupakan peringatan bagi bangsa Indonesia untuk berintrospeksi diri, betapa lemahnya manusia.

Tetapi, dalam hal kasus musibah Aceh dan perayaan tahun baru ini kita justru melihat hal yang lucu pada manusia Indonesia. Mengapa untuk menghentikan pesta pora tahun baru harus menunggu dijatuhkannya musibah sedahsyat Aceh? Bukankah secara fiansial, Indonesia sedang dalam kesulitan?. Betapa banyaknya masyarakat Indonesia yang kelaparan dan tidak mampu melanjutkan pendidikan. Tidak mampu mendapatkan pengobatan yang layak, dan sebagainya. Betapa banyaknya saat ini, istriistri yang harus bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga, meninggalkan suami dan anakanaknya, karena mereka kesulitan ekonomi? Betapa banyak anak-anak terlantar dan putus sekolah yang berkeliaran di jalan-jalan di berbagai pelosok kota Jakarta? Semua itu ada di depan hidung para pejabat yang mendukung acara pesta pora tahun baru. Mengapa untuk menghentikan semua pemborosan dan pemubaziran uang itu harus menunggu musibah Aceh yang menelan korban puluhan ribu nyawa manusia? Apakah, seandainya tidak ada musibah Aceh, maka acara-acara hura-hura di malam tahun baru itu merupakan amal shalih, sehingga wajib dijalankan oleh bangsa Indonesia? Peringatan besar-besaran setiap acara pergantian tahun, yang biasanya ditandai dengan berbagai acara hura-hura, sebenarnya merupakan tindakan manusia yang bercirikan tidak mau berfikir. Setiap bergulirnya waktu, seharusnya manusia sadar, bahwa dirinya semakin dekat dengan liang kubur. Setiap hari kelahirannya dilewati, ia harusnya sadar, bahwa jatah hidupnya di dunia ini justru semakin berkurang. Artinya, waktu untuk menghadap kepada Allah, semakin dekat. Jika mereka mengaku sebagai manusia beriman, seharusnya, ketika itulah, mereka memperbanyak amal ibadah, berzikir kepada Allah, mengingat dan merenungkan kembali apa-apa yang telah mereka lakukan. Maka, tahun baru, seyogyanya tidak perlu diperingati dengan berjingkrak-jingkrak, berteriakteriak, meniup-niup terompet, atau bernyanyi-nyanyi. Apalagi dilakukan dengan mencampur adukkan hal yang haq dan bathil. Beberapa tahun lalu, sebagian masyarakat, katanya untuk menciptakan kerukunan umat beragama, melakukan doa bersama antar agama. Padahal, bagi kaum Muslim, doa adalah ibadah khusus yang diatur tata caranya dengan jelas, dan tidak bisa begitu saja dibuat-buat ritualitas doa model baru. Dengan musibah Aceh, banyak tokoh dan pejabat yang mengimbau, hentikan peringatan tahun baru dan perbanyak amal untuk membantu korban musibah Aceh. Imbauan begini, tentu saja sangat bagus. Tetapi, imbauan yang bagus itu seharusnya terus digelorakan, tanpa ada musibah Aceh sekalipun. Karena setiap hari, saat ini, bangsa Indonesia sedang ditimpa musibah besar. Kemiskinan dan kefakiran yang melilit sebagian besar warga bangsa adalah bencana, dan mendekatkan kepada kekufuran. Kehancuran moral dan iman yang terus dipupuk oleh berbagai informasi dan hiburan destruktif adalah bencana. Kemusyrikan yang dibiarkan merajalela dengan menyebarkan paham-paham materialisme, liberalisme, sekularisme, hedonisme, dan sejenisnya, adalah musibah besar. Jika kita merinding dan menitikkan air mata, karena merasa ngeri melihat mayat-mayat yang membusuk di

jalan-jalan di berbagai pelosok Aceh, maka seharusnya kita juga perlu menjerit dan menangis menyaksikan kehancuran iman dan akhlak yang menimpa umat Islam. Jadi, seharusnya, untuk menghentikan acara-acara mungkar, tidaklah perlu menunggu datangnya satu musibah besar seperti gempa dan tsunami di Aceh. Tetapi, adalah hal yang sangat keterlaluan, jika sudah diberi musibah besar, seperti di Aceh, masih banyak juga yang melakukan kemungkaran kepada Allah SWT. Berloma-lomba menciptakan berbagai acara hura-hura yang melupakan manusia untuk berpikir dan berzikir kepada Allah. Jika berbagai musibah sudah dijatuhkan, tetapi manusia tetap saja melupakan Allah SWT, dan lebih mencintai kehidupan dunia yang fana, maka mungkin saja, Allah akan memberikan peringatan yang lebih dahsyat lagi. Semoga hal itu tidak terjadi. Ayat-ayat al-Quran penuh dengan peringatan, agar manusia mengingat kematian dan Hari kiamat nanti, dimana mereka akan menghadap Sang Pencipta dan mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya. Setiap amal perbuatan, baik dan buruk, akan diperthitungkan., Tidak ada yang terlewat. Banyak manusia akan menyesal, mengapa semasa hidup di dunia, mereka tidak memanfaatkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ketika mereka mempunyai fisik yang sehat, gagah, dan cantik, anugerah itu bukannya untuk beribadah kepada Allah, tetapi untuk dipamerkan dan bahkan diumbar auratnya kepada manusia. Ketika mempunyai akal yang cerdas, kecerdasannya bukan digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah dan membimbing umat manusia lainnya untuk menuju jalan Allah. Tetapi, kecerdasannya justru digunakan untuk menyebarkan paham-paham yang keliru dan menjauhkan manusia dari ibadah dan taat kepada Allah. Ketika mereka dikaruniai harta benda, harta bendanya bukan untuk berjuang di jalan Allah, membiayai aktivitas dakwah dan keilmuan, misalnya, tetapi justru digunakan untuk berfoya-foya, seolah-olah dia akan hidup selamanya di dunia. Padahal, di dunia pun, harta benda bukan jalan meraih kebahagiaan sejati, sebab kebahagiaan sejati, adalah terletak dalam hati yang beriman dan ridha kepada Allah SWT. Marifattullah adalah jalan untuk meraih kebahagiaan hakiki. Bencana Aceh semoga menjadi penghantak kita yang masih hidup untuk memahami makna kehidupan yang hakiki. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua agar berada di jalan-Nya yang lurus, sehingga kita senantisa siap sedia menyongsong kematian, kapan pun, kematian itu datang. Allah SWT sudah mengingatkan, Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya, ia akan menjemputmu. (QS 62:8). Kematian pasti datang, dengan cara apa saja. Bisa melalui bencana alam, melalui penyakit, melalui peperangan, melalui kecelakaan, atau tanpa sebab yang jelas. Kematian juga pasti datang kepada setiap manusia, dalam keadaan apa pun; apakah seseorang sedang salat, sedang tidur, sedang bekerja, sedang mengendarai mobil, sedang bermain-main, sedang melampiaskan nafsunya di rumah pelacuran, sedang berjoged di malam tahun baru, atau sedang menonton konser Krisdayanti. Wallahu alam.

(KL, 31 Desember 2004). CAP 2 tamat

Você também pode gostar