Você está na página 1de 6

III.

TEORI DASAR

Sistem Saraf Otonom atau system saraf vegetative, system saraf visceral atau system saraf tidak sadar, system yang mengendalikan dan mengatur keseinmbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang erada diluar pengaruh kesadaran dan kemauan. Kemampuan sistem saraf otonom dalam memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan Sistem Saraf Otonom tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, Sistem Saraf Otonom merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006). Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom

mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002). Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi : a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut: Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lainlain. b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin.

Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (Pearce, 2002). Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya mirip

perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis : a. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa dan terhadap kelenjar liur dan keringat b. Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka c. Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi d. Perangsang Sistem saluran pernapasan e. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak f. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan hormon hipofisis g. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitor (Aprilia, 2010). Obat Kolenergik atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi darimakanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SPdirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekananintraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek

memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002). Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni: Reseptor Muskarinik Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula Reseptor Nikotinik Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin (Mycek, 2001).

Pilokarpin merupakan salah satu obat kolinergik yang memicu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsungsekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofatdan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobatiglaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001). Atropine adalah alkaloid belladonna yang mempunyai afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik dan merupakan obat golongan antikolinergik.. Obat ini bekerja kompetitif antagonis dengan Ach (Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan
mencegah aktivasi reseptor) untuk menempati kolinoreseptor. Umumnya masa kerja obat ini

sekitar 4 jam. Terkecuali, pada pemberian sebagai tetets mata, masa kerjanya menjadi lama bahkan sampai beberapa hari. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3) (Regar, 2011). Uretan adalah ester asam karbonat atau turunan asam karbamat. Istilah uretan sering dipakai utnukmenunjukan etil karbamat saja, sedangkan untuk ester-ester asam karbamat lain dinamakan secara sistematik kimia organic, misla propil uretan dinamakan etil propil karbamat. Uretna (etil karbamat) berupa Kristal putih , titik leleh 490 500 C dn titik didih 1820-1840 C mudah menyblim dan higroskopis (Regar, 2011).

IX.

KESIMPULAN

1. Sistem saraf otonom meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Atropin digunakan sebagai obat simpatomimetik (antikolinergik) yang memiliki aktivitas menginhibisi salivasi. Sedangkan pilokarpin digunakan sebagai obat parasimpatomimetik (kolinergik) yang memiliki aktivitas menstimulasi salvias. 2. Praktikan dapat mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik neorofektor parasimpatikus. Didapatkan persen inhibisi atropine secara per oral adalah 36,89% dan persen inhibisi atropine secara subkutan adalah -10,75%

DAFTAR PUSTAKA

Aprilia,

Dwi.

2010.

Tinjauan

Pustaka

Obat

Adrenergik.

Available

online

at

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26908/4/Chapter%20II.pdf pada tanggal 28 Maret 2014]

[Diakses

Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology 11th edition. Elsevier Inc. Philadelphia. Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Regar, E. 2010. Sistem Saraf Otonom. Available online at

http://www.scribd.com/doc/31853749/Sistem-Saraf-Otonom [Diakses pada tanggal 28 Maret 2014] Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Você também pode gostar