Você está na página 1de 15

PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS, KETERAMPILAN PROSES, DAN PEMAHAMAN KONSEP IPA SISWA

KELAS VIII D SMPN 1 BANYUWANGI Sugeng Lukito Yuwono1 Universitas Negeri Malang E-mail: purbangkara@gmail.com
ABSTRACT: GUIDED INQUIRY LEARNING TO ENHANCE CRITICAL THINKING SKILLS, PROCESS SKILLS, AND SCIENCE CONCEPTS UNDERSTANDING CLASS VIII D STUDENTS SMPN 1 BANYUWANGI. Critical thinking skills and process skills are the two things that are important to science study. Critical thinking is useful to develop reasoning, giving reasons and evaluating reasons related to science materials learning. While the sciences process skills necessary to understand the concept of sciences as a whole. The results of several studies suggest that guided inquiry learning can increase students critical thinking, process skills, and science concept understanding. The approach used in this research is a qualitative approach, the type is classroom action research and it is conducted in two cycles. The data in this study include implemented guided inquiry learning, students' critical thinking skills, students science skills, and students' concept understanding. The research instrument consisted of observation, tests, and interviews. The results showed those are: (1) guided inquiry learning has done very well (2) guided inquiry learning can improve critical thinking skills, process skills, and understanding of students science concepts. From the results of this study suggested that inquiry learning as much as possible to apply for teaching any classes. To avoid students boredom with the monotony of syntax inquiry teachers should use in different techniques. Kata kunci: pembelajaran inkuiri terbimbing, berpikir kritis, keterampilan proses, pemahaman konsep

Hasil belajar IPA yang bermakna dipengaruhi oleh proses belajar mengajar IPA yang terjadi di kelas. Materi pelajaran IPA memiliki ciri khas yang membedakannya dari materi pelajaran lain dalam mengajarkannya. Ciri khas yang dimaksud adalah bahwa materi ajar IPA mengandung dua aspek yang saling terkait yang keduanya harus dapat diwujudkan sebagai indikator keberhasilan belajar, yaitu proses dan konsep (Ibnu, 2009). Pembelajaran IPA di kelas harus mengajarkan kepada siswa tentang keduanya sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Depdiknas (2007) menyatakan bahwa pembelajaran IPA seharusnya mengembangkan proses inkuiri, di mana siswa aktif melakukan observasi, investigasi, dan eksperimentasi. Masalah yang perlu dipecahkan di kelas VIII D SMPN 1 Banyuwangi adalah rendahnya kemampuan berpikir kritis, keterampilan proses, dan pemahaman konsep siswa terhadap materi IPA yang diajarkan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah mencoba menerapkan pembelajaran inkuiri terbimbing. Inkuiri terbimbing adalah pembelajaran yang melibatkan siswa dalam masalah penyelidikan nyata dengan menghadapkan mereka dengan area penyelidikan (investigation), membantu mereka
1

Sugeng Lukito Yuwono adalah guru IPA di SMP Negeri 1 Banyuwangi. Artikel ini diangkat dari Tesis Magister Pendidikan Dasar IPA, Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 2013.

mengidentifikasi masalah konseptual atau metodologis dalam wilayah investigasi, dan meminta mereka untuk merancang cara untuk mengatasi masalah itu (Joyce & Weil, 2000). Dalam pembelajaran inkuiri terbimbing masalah penyelidikan diberikan oleh guru, sedangkan menentukan hipotesis, merancang penyelidikan, melaksanakan penyelidikan, menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan hasil penyelidikan dilakukan oleh siswa secara mandiri di bawah bimbingan guru (Colburn, 2000) (Banchi & Bell, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Daphne (2010) menunjukkan bahwa dalam 42 studi banding yang dilakukan, lebih dari setengahnya menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran inkuiri lebih banyak (terutama keterlibatan hands-on dengan fenomena sains dan penekanan pada tanggung jawab siswa untuk belajar) secara statistik lebih baik dalam memahami materi pembelajaran daripada mereka yang memperoleh pembelajaran inkuiri lebih sedikit. Yuliati dkk. (2011) menyatakan bahwa dari hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan telah terjadi peningkatan nilai rata-rata setiap siklus dikarenakan penerapan pembelajaran berbasis hands-on activities siswa aktif terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Selain itu peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa juga diikuti peningkatan hasil belajar kognitif mereka. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (2011) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang tinggi juga diikuti dengan hasil belajar dan pemahaman konsep yang tinggi pula. Menilik hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti di atas, cukup realistis untuk mencoba memperbaiki pembelajaran di kelas VIII D SMP Negeri 1 Banyuwangi dengan menggunakan pembelajaran inkuiri terbimbing sebab pembelajaran inkuiri mencakup hal-hal yang telah dilakukan oleh para peneliti di atas.

METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan jenis penelitian yang dilaksanakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Kehadiran peneliti dalam penelitian ini mutlak diperlukan dalam setiap tahap penelitian. Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai praktikan (pengajar), sedangkan guru di sekolah sebagai observer (kolaborator). Penelitian ini dilakukan di kelas VIII D SMP Negeri 1 Banyuwangi. Alamat SMPN 1 Banyuwangi adalah di Jl. Achmad Yani no. 74 Banyuwangi, Jawa Timur. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII D SMPN 1 Banyuwangi semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013. Jumlah siswa saat ini 30 orang, 9 siswa laki-laki dan 21 siswa perempuan. Data dalam penelitian ini meliputi data keterlaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing, data kemampuan berpikir kritis siswa, data keterampilan proses siswa, serta data

pemahaman siswa terhadap konsep pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan berbagai cara. Tujuannya adalah agar memperoleh gambaran yang lebih akurat tentang subjek yang diteliti dari berbagai segi. Ada tiga cara yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu: tes, observasi, dan wawancara. Analisis data dilakukan menitikberatkan pada analisis kualitatif berdasarkan hasil tes, observasi, dan wawancara yang dilakukan. Data pelaksanaan pembelajaran inkuiri direkam dengan lembar observasi inkuiri. Lembar observasi memuat butir-butir yang harus tampak dalam pembelajaran inkuiri, masing-masing butir diberikan skor dengan rentang skala 0 sampai dengan 4. Skor 0 untuk menyatakan tidak terlaksana dan 4 untuk menyatakan terlaksana dengan sangat baik. Selain itu lembar observasi juga memuat catatan saran dari observer untuk perbaikan proses pembelajaran. Data yang akan dianalisis untuk berpikir kritis diperoleh dari hasil tes berpikir kritis. Hasil tes berpikir kritis diklasifikasikan menjadi: kemampuan interpretasi, kemampuan analisis, kemampuan evaluasi, kemampuan inferensi, dan kemampuan eksplanasi. Selanjutnya masing-masing dideskripsikan menjadi: sangat kritis, kritis, kurang kritis, sangat kurang kritis, dan tidak kritis. Kriteria tersebut merupakan adaptasi dari kriteria yang disusun oleh Setyowati (2011). Data kuantitatif tersebut diperkuat dengan data hasil observasi dan wawancara sehingga dapat memberikan gambaran komprehensif kemampuan berpikir kritis siswa. Data keterampilan proses IPA siswa berupa skor yang diperoleh dari lembar asesmen kinerja keterampilan proses IPA. Setiap elemen keterampilan proses diberi skor: 1 jika siswa tidak dapat melakukan tugas, 2 jika siswa dapat melakukan beberapa tahap tugas, 3 jika siswa dapat melakukan tugas dengan lengkap tapi butuh waktu lama, dan 4 jika siswa dapat melakukan tugas dengan cepat dan benar (Ibrahim, 2005). Data pemahaman konsep siswa diperoleh dari hasil tes pemahaman konsep di tiap akhir siklus. Ketuntasan belajar siswa ditentukan dengan membandingkan persentase penguasaan konsep siswa dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). KKM untuk IPA kelas 8 di SMPN 1 Banyuwangi adalah 76% untuk setiap siswa, sedangkan untuk ketuntasan kelas adalah 85% siswa dalam kelas harus mencapai skor 76%. Penelitian direncanakan dalam dua siklus, dan jika masih diperlukan dapat ditambahkan dengan siklus berikutnya. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah model skema spiral dari Kemmis dan Mc Taggart (Mc Niff, 2002) menggunakan 4 (empat) fase yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. dengan

HASIL PENELITIAN Ada beberapa data temuan pada setiap siklus yang dilaksanakan. Data yang direkam meliputi data keterlaksanaan pembelajaran inkuiri, data keterampilan proses IPA siswa, data kemampuan berpikir kritis siswa, dan data penguasaan konsep siswa.

Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri Data keterlaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing meliputi data keterlaksanaan pembelajaran inkuiri yang dilakukan oleh guru, dan data keterlaksanaan pembelajaran inkuiri yang dilakukan oleh siswa. Data tersebut memberi gambaran tentang pelaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing yang dilaksanakan di kelas VIII D. Data yang diperoleh dari observasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dan histogram Gambar 1.

Tabel 1. Tabel Persentase Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri (%) dan kategori Guru 1. 2. ke-1 ke-2 96,2 96,2 Kategori Sangat baik Sangat baik Siswa 92,3 95,2 Kategori Sangat baik Sangat baik

No.

Siklus

100
Keterlaksanaan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (%)

96,2

96,2

92,3

95,2

50

0 Guru Siklus 1 Siklus 2 Siswa

Gambar 1. Histogram Perbandingan Keterlaksanaan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing antara Siklus ke-1 dan Siklus ke-2 (Sumber data: Lampiran 24 dan 25)

Data yang telah dikumpulkan dengan lembar observasi pelaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing menunjukkan persentase untuk guru mencapai 96,15% untuk siklus ke-1 dan ke-2. Sedangkan untuk siswa mencapai 92,31% untuk siklus ke-1 dan 95,19% untuk siklus

ke-2. Data perbandingan persentase keterlaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing telah dilaksanakan dengan sangat baik pada siklus ke-1 dan siklus ke-2. Baik pembelajaran inkuiri yang dilaksanakan oleh guru maupun siswa masuk dalam kategori sangat baik sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Kemampuan Berpikir Kritis Data kemampuan berpikir kritis siswa meliputi rekapitulasi nilai berpikir kritis (Tabel 2) dan histogram perbandingan kemampuan berpikir kritis untuk setiap kategori (Gambar 2).
Tabel 2. Rekapitulasi Nilai Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Siklus ke-1 59,3 80,0 40,0 11,3 Siklus ke-2 75,8 100,0 53,3 10,5

Aspek Penilaian Rata-rata Nilai terbesar Nilai terkecil Simpangan baku

Berdasarkan rekapitulasi data pada Tabel. 2 rata-rata nilai untuk siklus ke-1 adalah 59,3 sedangkan pada siklus ke-2 adalah 75,8. Rata-rata nilai naik sebesar 16,5 poin. Nilai terbesar untuk siklus ke-1 adalah 80,0 sedang nilai terkecil adalah 40,0. Rentangan nilai pada siklus ke1 adalah 40. Nilai terbesar untuk siklus ke-2 adalah 100, sedang nilai terkecil adalah 53,3. Rentangan nilai pada siklus 2 adalah 46,7. Simpangan baku pada siklus ke-1 sebesar 11,3 sedangkan pada siklus ke-2 sebesar 10,5. Hal itu menunjukkan meskipun rentangan nilai pada kedua siklus sama, namun nilai pada siklus ke-2 cenderung lebih terpusat pada rata-rata daripada nilai pada siklus ke-1. Kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus ke-1 masuk kategori kurang kritis. Sedangkan pada 2 siklus terjadi peningkatan sehingga masuk kategori kritis. Terpusatnya nilai siswa pada siklus ke-2 menunjukkan kemampuan berpikir kritis siswa kurang lebih setara untuk semua siswa. Tidak ada siswa yang terlalu menonjol ataupun siswa yang terlalu tertinggal. Histogram perbandingan rata-rata nilai tes berpikir kritis pada Gambar 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata nilai untuk setiap jenis keterampilan berpikir kritis juga mengalami kenaikan. Kenaikan rata-rata nilai untuk setiap kategori adalah: interpretasi sebesar 16,8 poin, analisis sebesar 8,9 poin, evaluasi sebesar 17,8 poin, inferensi sebesar 24,4 poin, dan eksplanasi sebesar 14,4 poin. Kenaikan terbesar terjadi pada keterampilan berpikir kritis inferensi, sedangkan kenaikan terkecil pada keterampilan berpikir analisis. Keterampilan berpikir kritis yang paling rendah dikuasai oleh siswa adalah evaluasi, termasuk dalam kategori kurang kritis. Sedangkan keterampilan berpikir kritis yang baik dikuasai oleh siswa adalah

analisis, eksplanasi, inferensi dan interpretasi. Keempat keterampilan tersebut masuk kategori kritis.

100 80
71,1

87,8 78,9 62,2 67,8 57,8 40,0

93,3

Rata-rata nilai

67,8 55,6

60 40 20 0
Interpretasi Analisis

Evaluasi

Inferensi

Eksplanasi

Rata-rata nilai Siklus 1

Rata-rata nilai Siklus 2

Gambar 2 Histogram Perbandingan Rata-rata Nilai Tes Berpikir Kritis Siswa antara Siklus ke-1 dan Siklus ke-2 Untuk Setiap Keterampilan Berpikir Kritis (Sumber data: Lampiran 28)

Keterampilan Proses IPA Data penguasaan keterampilan proses IPA siswa terdiri dari beberapa data yang telah direduksi dan diolah sedemikian rupa dan ditampilkan dalam bentuk grafik dan histogram. Data keterampilan proses IPA siswa meliputi rekapitulasi penguasaan keterampilan proses siswa pada siklus ke-1 dan ke-2 (lihat tabel 3), perbandingan penguasaan keterampilan proses IPA siswa dalam bentuk tabel (lihat Tabel 4), dan histogram perbandingan penguasaan keterampilan proses IPA siswa menurut kategori (lihat Gambar 3).
Tabel 3. Rekapitulasi Penguasaan Keterampilan Proses pada Siklus ke-1 dan Siklus ke-2 Aspek penilaian Rata-rata penguasaan keterampilan proses (%) Persentase penguasaan terbesar (%) Persentase penguasaan terkecil (%) Simpangan baku Siklus ke-1 72,5 89,1 55,8 8,2 Siklus ke-2 78,4 90,9 56,9 9,2

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata kelas penguasaan keterampilan proses siswa adalah 72,5% pada siklus ke-1 dan 78,4% pada siklus ke-2, dengan simpangan baku sebesar 8,2 pada siklus ke-1 dan 9,2 pada siklus ke-2. Nilai tertinggi adalah 89,1 pada siklus ke-1 dan 90,9 pada siklus ke-2, sedang nilai terendah adalah 55,8 pada siklus ke-1 dan 56,9 pada siklus ke-2. Dari rata-rata ada kenaikan penguasaan sebesar 4,1% pada siklus ke-2, namun

penyebaran data pada siklus ke-2 juga bertambah ditunjukkan oleh naiknya angka simpangan baku. Data pada Tabel 4 dan histogram pada Gambar 3 menunjukkan penguasaan keterampilan proses IPA siswa untuk setiap kategori. Secara umum keterampilan proses IPA pada siklus ke-2 lebih besar daripada siklus ke-1. Kemampuan melakukan observasi naik sebesar 7,5%, dari kategori cukup menjadi kategori tinggi. Kemampuan melakukan inferensi naik sebesar 1,2% dengan kategori cukup. Kemampuan membuat hipotesis naik sebesar 7,5% dengan kategori cukup. Untuk keterampilan menentukan variabel hanya diukur pada siklus ke1 saja. Keterampilan merancang percobaan tidak mengalami kenaikan, kategori dari keterampilan ini adalah tinggi. Keterampilan melaksanakan percobaan naik sebesar 3,5% dengan kategori tinggi. Keterampilan interpretasi dan membuat kesimpulan naik sebesar 2,0%, dengan kategori cukup. Sedangkan keterampilan mengkomunikasikan naik sebesar 4,6% dengan kategori tinggi.

Tabel 4. Perbandingan Penguasaan Keterampilan Proses IPA Siswa antara Siklus ke-1 dan Siklus ke-2 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Keterampilan proses IPA Melakukan observasi Melakukan inferensi Membuat hipotesis Identifikasi variabel Merancang percobaan Melaksanakan percobaan Interpretasi dan simpulan Mengkomunikasikan Penguasaan keterampilan proses IPA (%) Siklus ke-2 Siklus ke-1 Kategori Kategori 71,7 cukup 79,2 tinggi 51,9 cukup 53,1 cukup 63,3 cukup 70,8 cukup 57,5 cukup 80,7 tinggi 80,7 tinggi 84,5 tinggi 87,9 tinggi 72,8 cukup 74,8 cukup 81,5 tinggi 86,1 tinggi

Histogram penguasaan keterampilan proses IPA (Gambar 3) menunjukkan kenaikan terbesar terjadi pada keterampilan melakukan observasi. Keterampilan yang paling lemah dikuasai oleh siswa adalah keterampilan melakukan inferensi. Sedangkan keterampilan yang paling baik dikuasai oleh siswa adalah keterampilan melaksanakan percobaan. Kemampuan inferensi siswa lemah karena siswa masih kurang terbiasa untuk melakukan kegiatan inferensi dalam pembelajaran terdahulu. Keterampilan melaksanakan percobaan cukup baik karena siswa sering melakukan kegiatan eksperimen pada pembelajaran terdahulu.

100

Keterampilan proses IPA siswa (%)

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Melakukan observasi Melakukan inferensi Membuat hipotesis
0,0 51,9 53,1 79,2 71,7 63,3 57,5 70,8

84,5 80,7 80,7

87,9 81,5 72,8 74,8

86,1

Identifikasi variabel

Merancang Melaksanakan Interpretasi Mengkomupercobaan percobaan dan simpulan nikasikan

Siklus 1

Siklus 2

Gambar 3. Histogram Perbandingan Penguasaan Keterampilan Proses IPA Siswa untuk Setiap Jenis Keterampilan Proses IPA.

Pemahaman Konsep Data pemahaman konsep meliputi rata-rata nilai pemahaman konsep, nilai tertinggi, nilai terendah, ketuntasan klasikal dan simpangan baku untuk masing-masing siklus. Rekapitulasi data pemahaman konsep dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4.6 Rekapitulasi Nilai Pemahaman Konsep Siswa Aspek penilaian Rata-rata Nilai terbesar Nilai terkecil Ketuntasan klasikal Simpangan baku Siklus ke-1 72,9 91,2 58,8 33% 6,9 Siklus ke-2 76,6 94,7 57, 9 87% 6,7

Rata-rata nilai pemahaman konsep siswa pada siklus ke-1 adalah 72,9 sedang pada siklus ke-2 adalah 76,6. Mengalami kenaikan sebesar 3,7 poin. Nilai tertinggi pada siklus ke-1 adalah 91,2 sedangkan nilai terendah adalah 55,9. Rentang nilai pada siklus ke-1 adalah 35,3. Nilai tertinggi pada siklus ke-2 adalah 94,7 sedangkan nilai terendah adalah 57,9. Rentang nilai pada siklus ke-2 adalah 36,8. Simpangan baku pada siklus ke-1 adalah 6,9 sedang pada siklus ke-2 adalah 6,7. Rentang pada siklus ke-2 lebih kecil daripada siklus ke-1, simpangan baku pada siklus ke-2 juga lebih kecil daripada siklus ke-1. Itu menunjukkan nilai siswa pada siklus ke-2 lebih terpusat pada rata-rata. Ketuntasan klasikal siswa pada siklus ke-1 sebesar 33% atau hanya 10 siswa yang tuntas dari jumlah seluruhnya 30 siswa di kelas VIII D. Pada siklus ke-2

meningkat menjadi 87% atau 26 siswa yang tuntas dari 30 siswa di kelas VIII D. Ketuntasan klasikal mengalami kenaikan sebesar 54% pada siklus ke-2. Hasil tersebut melampaui ketuntasan kelas sebesar 85% siswa di kelas di atas KKM (nilai KKM adalah 76). Kemampuan Berpikir Kritis, Keterampilan Proses IPA, dan Pemahaman Konsep Histogram pada Gambar 4.5 menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan lebih besar (17,8%) daripada keterampilan proses (5,9%) maupun pemahaman konsep siswa (3,7%). Sebenarnya nilai ketiga variabel tersebut hampir sama pada siklus ke-2, namun kemampuan berpikir kritis yang paling rendah pada siklus ke-1 menyebabkan peningkatannya menjadi lebih besar daripada dua variabel yang lain.

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

Rata-rata pencapaian (%)

72,9

76,6 59,3

77,1

72,5

78,4

Pemahaman Konsep

Berpikir Kritis Siklus 1 Siklus 2

Ketrampilan Proses

Gambar 4. Histogram Perbandingan Rata-rata Nilai Pemahaman Konsep, Nilai Berpikir Kritis, dan Penguasaan Keterampilan Proses Siswa antara Siklus ke-1 dan Siklus ke-2

Analisis sebelumnya telah diungkapkan bahwa pelaksanaan pembelajaran inkuiri yang telah dilaksanakan berjalan sangat baik pada siklus ke-1 maupun ke-2. Secara deskriptif pembelajaran inkuiri terbimbing terbukti dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan proses, dan pemahaman konsep IPA siswa.

PEMBAHASAN Inkuiri ilmiah merupakan gabungan dari proses ilmiah dan pengetahuan ilmiah yang digunakan siswa dalam penalaran ilmiah dan berpikir kritis (Ebenezer dkk., 2011:97). Artinya di dalam pembelajaran inkuiri mencakup proses ilmiah meliputi keterampilan proses ilmiah dan penalaran ilmiah yang di dalamnya mencakup kemampuan berpikir kritis. Karena inkuiri memiliki hubungan erat dengan keterampilan proses IPA dan kemampuan berpikir kritis, maka

pembelajaran inkuiri yang benar akan mempengaruhi keterampilan proses IPA dan kemampuan berpikir kritis siswa. Observer mencatat bahwa pembelajaran inkuiri pada awalnya terlihat cukup sulit untuk dilaksanakan di kelas. Siswa terlihat belum nyaman dengan pembelajaran. Hal tersebut wajar karena siswa masih belum terbiasa untuk diajak berpikir memecahkan suatu masalah. Kondisi serupa dialami oleh Agustini (2012) pada siswa yang ditelitinya. Siswa belum memiliki kepercayaan diri, masih ada rasa kuatir salah. Siswa juga belum memiliki keberanian untuk bertanya apabila mengalami kesulitan. Colburn (2000) menyatakan bahwa dalam melakukan pembelajaran inkuiri di kelas yang belum pernah menggunakan pembelajaran inkuiri harus dilakukan dengan pelan. Jangan melanjutkan memberikan sesuatu yang baru sampai siswa dan guru sama-sama nyaman untuk melakukannya. Butuh dua kali tatap muka dan beberapa kali bimbingan di luar jam pelajaran untuk membiasakan siswa dengan pembelajaran inkuiri. Secara umum semua ciri-ciri inkuiri yang telah ditetapkan oleh NRC (Daphne dkk., 2010:476) terlihat dalam pembelajaran yang telah dilaksanakan di kelas VIII D SMPN 1 Banyuwangi. Pembelajaran juga telah mengikuti sintaks inkuiri yang disampaikan oleh Joyce & Weil (2000:138-139) dan Lee dkk. (2006:613). Dalam pembelajaran buku teks digunakan sebagai sumber daya saat siswa memecahkan permasalahannya yang diberikan kepadanya bukan sebagai bahan yang hanya dibahas, sesuai dengan yang bayangkan oleh Dewey (Stringer dkk. 2010). Dengan demikian berdasarkan hasil observasi dengan lembar observasi terbimbing bagi guru dan siswa serta catatan observer selama pembelajaran berlangsung, disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri di kelas VIII D telah terlaksana dengan sangat baik. Kemampuan berpikir kritis siswa diukur dengan menggunakan tes berpikir kritis. Soalsoal tersebut disusun berdasarkan klasifikasi keterampilan kognitif menurut Facione (2011) yaitu: kemampuan interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, dan eksplanasi. Sedangkan kemampuan self-regulation tidak dimasukkan karena pertimbangan usia siswa. Rubrik soal berpikir kritis menggunakan rubrik yang dimodifikasi dari Arnyana (2004) dan Hart (1994). Hasil pengukuran kemampuan berpikir kritis menunjukkan pada siklus ke-1 kemampuan berpikir kritis siswa menurut kriteria yang diadaptasi dari Setyowati (2011) masuk dalam kategori kurang kritis, sedangkan pada siklus ke-2 kemampuan berpikir kritis siswa masuk dalam kategori kritis. Hal itu menunjukkan bahwa tindakan pembelajaran inkuiri yang telah dilaksanakan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Hal yang sama seperti yang dilaporkan oleh Tindangen (2007) bahwa kerja ilmiah dan laporan ilmiah yang dikerjakan sesuai dengan lingkungan kehidupan, dapat menunjang kemampuan berpikir tingkat tinggi (berpikir kritis) siswa.

10

Secara umum seperti disampaikan pada awal pembahasan kemampuan berpikir kritis siswa setelah tindakan mengalami peningkatan dengan nilai peningkatan berbeda untuk setiap keterampilan berpikir. Pembelajaran inkuiri yang dilaksanakan dengan sangat baik terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Tindangen (2007) dan Yuliati dkk. (2011) yang telah membuktikan bahwa penerapan strategi inkuiri dalam pembelajaran terbukti mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dan pada akhirnya satu hal yang perlu diingat bahwa pengalaman penelitian ini disarankan pembelajaran inkuiri sebaiknya dilaksanakan dengan berbagai teknik. Ini sejalan degan pendapat Blue dkk. (2008) bahwa penggunaan satu teknik saja tidak menjamin akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Data penguasaan keterampilan proses IPA dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi keterampilan proses IPA yang diadaptasi dari Ibrahim (2005:57). Dalam penelitian tidak semua keterampilan diukur dalam setiap pengamatan, karena tidak semua keterampilan IPA muncul pada setiap pembelajaran. Data yang terkumpul setelah diolah menunjukkan adanya kenaikan penguasaan keterampilan proses. Hasil pengolahan data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri erat hubungannya dengan keterampilan proses IPA. Hal itu disebabkan dalam setiap langkah dalam pembelajaran inkuiri menuntut siswa menguasai keterampilan proses IPA yang sesuai. Misalnya untuk tahap observasi siswa harus menguasai keterampilan observasi, identifikasi, dan inferensi. Pada tahap mengajukan masalah siswa dituntut untuk menguasai kemampuan inferensi. Pada tahap menyusun hipotesis siswa harus menguasai keterampilan memprediksi dan menyusun hipotesis. Tahap merancang percobaan/penyelidikan siswa harus menguasai keterampilan merancang percobaan/penyelidikan yang di dalamnya meliputi keterampilan mengidentifikasi variabel, dan mengklasifikasi. Tahap melaksanakan percobaan/penyelidikan siswa harus menguasai keterampilan mengukur, menggunakan alat, merekam, mengumpulkan, dan menginterpretasi data. Pada tahap menyimpulkan siswa harus menguasai keterampilan inferensi dan menyimpulkan. Dan pada tahap mengkomunikasikan siswa harus mengusai hampir semua keterampilan proses IPA yang ada. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah dengan pembelajaran inkuiri terbukti mampu meningkatkan keterampilan proses IPA siswa. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rapi (2008) yang menyebutkan bahwa pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk beraktivitas seperti ilmuwan dapat meningkatkan sikap ilmiah dan keterampilan proses IPA mereka. Madawati & Sunarti (2012) serta Muslim (2011) juga menyampaikan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran

11

inkuiri dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Selain itu pembelajaran inkuiri juga memberikan kepercayaan diri pada siswa untuk menggunakan keterampilan ilmiah mereka (Brickman dkk., 2009:13). Dari hasil ulangan harian yang pertama diperoleh data bahwa dari 30 siswa yang mengikuti ulangan harian ternyata baru 10 siswa yang tuntas (33%). Ini disebabkan oleh karena siswa belum terbiasa untuk mencari informasi secara mandiri. Mereka masih sangat tergantung dari penjelasan yang diberikan oleh guru, walaupun pembelajaran sudah diubah. Hal seperti itu wajar terjadi, seperti yang diungkapkan oleh Colburn (2000) baik guru maupun siswa memerlukan waktu untuk berpindah dari pembelajaran ceramah secara klasikal ke pembelajaran yang bersifat open-ended yang menjadi ciri dari pembelajaran inkuiri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri yang telah dilaksanakan mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Colburn (2000) bahwa dari hasil penelitian kebanyakan siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri memperoleh nilai tes lebih tinggi daripada pembelajaran yang lain. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Agustanti (2012), Yuliati dkk. (2011), menyebutkan bahwa penerapan

pembelajaran inkuiri dengan hands on activities terbukti mampu meningkatkan pemahaman konsep IPA siswa yang diteliti. Penelitian tesis dari Asminah (2010) juga menyimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing terbukti mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa. Sedangkan Wahyudi dan Treagust (2004) menegaskan bahwa penguasaan konsep IPA siswa SMP meningkat dengan menerapkan model belajar praktik dan inkuiri. Selain itu menurut penelitian Subagyo dkk. (2009) hasil belajar siswa (termasuk pemahaman konsep) dapat ditingkatkan dengan pendekatan keterampilan proses. Pada saat penelitian dilakukan, diketahui bahwa tingkat kesulitan kegiatan mempengaruhi perhatian siswa terhadap pembelajaran. Oleh karena itu guru perlu memperhatikan tingkat kesulitan kegiatan pembelajaran inkuiri yang akan dilaksanakan. Kegiatan dengan kesulitan yang terlalu tinggi menyebabkan siswa tidak memahami konsep yang dipelajari. Sedangkan tingkat kesulitan yang terlalu rendah menyebabkan kemampuan berpikir kritis siswa tidak terasah. Brickman dkk. (2009) menyatakan inkuiri mengajak siswa untuk mempelajari IPA secara otentik, tapi sekaligus menyebabkan mereka tertekan (frustrasi). Itulah yang menyebabkan terjadinya penolakan beberapa siswa untuk berinkuiri. Colburn (2000) menyarankan untuk memberikan kegiatan inkuiri yang menantang tapi masih dapat dilakukan oleh siswa, sehingga ada kemampuan berpikir kritis siswa berkembang dan konsep materi juga dapat mereka kuasai. Pengalaman guru dalam pembelajaran inkuiri diperlukan untuk merancang kegiatan inkuiri yang tepat untuk siswa.

12

Dari seluruh pembahasan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing di kelas VIII D SMPN 1 Banyuwangi telah terlaksana dengan sangat baik. Pembelajaran tersebut telah memenuhi seluruh langkah-langkah dalam sintaks pembelajaran inkuiri. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri yang telah terlaksana dengan sangat baik diikuti oleh meningkatkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan proses, dan pemahaman konsep siswa. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Pada akhirnya, hasil dari penelitian ini perlu untuk diimplementasikan dengan cara lebih baik dalam pembelajaran nyata di kelas. Kemampuan berpikir kritis siswa dan keterampilan proses hendaknya menjadi bagian dari tujuan pembelajaran selain pemahaman konsep. Dalam kehidupan nyata kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses menjadi bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan dari pengetahuan. Mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata dapat dilakukan dalam mata pelajaran IPA dengan mengembangkan kedua kemampuan tersebut dalam setiap pembelajaran. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan di kelas VIII D SMPN 1 Banyuwangi dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing di kelas VIII D Tahun Pelajaran 2012/2013 SMPN 1 Banyuwangi telah terlaksana dengan sangat baik mencakup semua aspek inkuiri yaitu observasi, menentukan masalah, mengajukan hipotesis, merancang penyelidikan, melaksanakan penyelidikan, membuat kesimpulan dan mengkomunikasikan hasil penyelidikan. Kesimpulan kedua adalah pembelajaran inkuiri terbimbing di kelas VIII D Tahun Pelajaran 2012/2013 SMPN 1 Banyuwangi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan proses, dan pemahaman konsep IPA siswa adalah pembelajaran inkuiri yang memuat aspek kemampuan berpikir kritis, keterampilan proses, serta penanaman konsep pada siswa. Ada beberapa hal yang disarankan dari pelaksanaan dan hasil penelitian ini, yaitu sebaiknya pembelajaran IPA dapat dilaksanakan dengan menggunakan pembelajaran inkuiri. Karena inti dari pembelajaran IPA adalah inkuiri, dan siswa menjadi lebih memahami IPA dengan berinkuiri. Agar pembelajaran inkuiri dapat terlaksana dengan baik guru harus mengetahui kemampuan dasar dan karakteristik siswa dengan baik, sehingga dapat menentukan macam inkuiri yang dilakukan. Perlu diingat bahwa pembelajaran inkuiri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, oleh karena itu sebaiknya guru mengkreasikan pembelajaran inkuiri yang dilakukan dengan berbagai teknik. Hal itu dilakukan

13

untuk menghilangkan kebosanan saat siswa harus menggunakan pola pembelajaran yang sama pada setiap pertemuan. Teknik yang dipilih dapat diintegrasikan pada salah satu langkah pembelajaran inkuiri. DAFTAR RUJUKAN Agustanti, T.H. 2012. Implementasi Metode Inquiry untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. Vol. 1, No. 1, Hal 16-20 (April 2012). Arnyana, I. B. P. 2004. Pengembangan Perangkat Model Belajar Berdasarkan Masalah dipandu Strategi Kooperatif Serta Pengaruh Implementasinya terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas pada Pelajaran Ekosistem. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Asminah, D. R. 2010. Pembelajaran Fisika dengan Metode Inkuiri Terbimbing dan Inkuiri Training Ditinjau dari Kemampuan Awal dan Aktivitas Siswa. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Surakarta: PPs Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banchi, H & Bell, R. October 2008. The Many Levels of Inquiry. Science and Children, hlm. 26-29. Blue, J., Taylor, B., & Yarison-Rise, J. 2008. Full-Cycle Assessment of Critical Thinking in an Ethics and Science Course. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning. Vol. 2, No. 1 Hal. 123 (2008). Brickman, P., Gormally, C., Armstrong, N. & Hallar, B. 2009. Effects of Inquiry-based Learning on Students Science Literacy Skills and Confidence. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning. Vol. 3, No. 2, Hal 1-22 (July 2009) Colburn, A. March 2000. An Inquiry Primer. Science Scope, hlm. 42-44. Daphne D. M., Abigail J. L., & Jeanne C. 2010. Inquiry-Based Science InstructionWhat Is It and Does It Matter? Results from a Research Synthesis Years 1984 to 2002. Journal of Research in Science Education. Vol. 47, No. 4, Hal. 474496 (2010) Depdiknas. 2007. Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran IPA SMP-SBI. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP. Ebenezer, J., Kaya, O.N., & Ebenezer, D.L. 2010. Engaging Students in Environmental Research Project: Perception of Fluency With Innovative Technology and Levels of Scientific Inquiry Abilities. Journal of Research in Science Teaching. Vol. 48, No. 1, Hal 94 116 (2011). Facione, P. A. 2011. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. California: Measured Reasons and The California Academic Press. Hart, D. 1994. Authentic Assesment: A Handbook for Educators. California: Addison-Wesley Publishing Company.

14

Ibnu, S. 2009. Kaidah Pembelajaran Sains. Diktat matakuliah tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Ibrahim, M. 2005. Asesmen Bekelanjutan, Konsep Dasar, Tahapan Pengembangan, dan Contoh. Surabaya: Unesa University Press. Joyce, B. & Weil, M. 2000. Models of Teaching. New Jersey: Prentince-Hall Inc. Lee, O., Buxton, C., Lewis, S., & LeRoy, K. 2006. Science Inquiry and Student Diversity: Enhanced Abilities and Continuing Difficulties After an Instructional Intervention. Journal of Research in Science Teaching. Vol. 43, No. 7, Hal 607636 (2006). Madawati, T.R. & Sunarti, T. 2012. Penerapan Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Hasil Belajar Siswa pada Materi Cahaya Kelas VIII-C di SMP Negeri 4 Kediri. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika. Vol. 1, No. 1, Hal. 278-284 (2012). Mc Niff, J. & Whitehead, J. 2002. Action Research: Principles and Practice. New York: Routledge Falmer. Muslim. 2011. Effort to Improve Science Process Skill Students Learning in Physics through Inquiry Based Model. PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education. Bandung: Physics Education Department Faculty of Mathematics and Science Education Indonesia University of Education. 2011. Rapi, N. K. 2008. Implementasi Siklus Belajar Hipotesis-Deduktif untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Keterampilan Proses IPA di SMAN 4 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Undiksha. Vol. 41, No. 3, Hal 701-720 (Juli 2008) Setyowati, A. 2011. Implementasi Pendekatan Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Fisika untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP Kelas VIII. Jurnal Pendidikan Fisika. Vol. 7, No. 1, Hal 89-96 (2011) Stringer, E.T., Christensen, L.M., & Baldwin, S.C. 2010. Integrating Teaching, Learning, and Action Research. California: SAGE Publications, Inc. Subagyo, Y., Wiyanto, & Marwoto, P. 2008. Pembelajaran dengan Pendekatan Keterampilan Proses Sains untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Suhu dan Pemuaian. Jurnal Pendidikan Fisika. Vol. 5, Hal 42-46 (Januari 2009). Tindangen, M. 2007. Implementasi Strategi Inkuiri Biologi SMP serta Pengaruhnya terhadap Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi. Didaktika. Vol. 8, No. 2, Hal 147-155 (Mei 2007). Wahyudi & Treagust, D.F. 2004. An Investigation of Science Teaching Practices in Indonesian Rural Secondary Schools. Research in Science Education. Vol. 34, Hal: 455-474 (2004) Yuliati, D.I., Yulianti, D., & Khanafiyah, S. 2011. Pembelajaran Fisika Berbasis Hands On Activities untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika. Vol. 7, No. 1, Hal 23-27 (2011).

15

Você também pode gostar