Você está na página 1de 23

Tinjauan Pustaka

Morbus Hansen
Agnes Christie 10-2011-396 / C5 22 April 2014 Alamat Korespendensi: Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 Telp 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email: aggnnneeeesssss@yahoo.com

Pendahuluan
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. Penyakit kusta banyak terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Kusta termasuk penyakit tertua, kata kusta berasal dari bahasa India yaitu kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada anggota tubuh terutama bagian kaki. Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae termasuk bakteri gram negatif yang tahan asam. Mycobacterium leprae sudah tidak terlalu banyak penderitanya saat ini, namun di beberapa daerah di Indonesia M leprae masih bisa ditemukan.

Isi
Anamnesis Anamnesis adalah tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien dapat dilakukan baik secara langsung pada pasien (auto-anamnesis), maupun secara tidak langsung melalui keluarga atau relasi terdekat (allo-anamnesis). Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Hal-hal yang bersangkutan dengan anamnesis yaitu : 1. Identitas pasien seperti nama, tempat / tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan terakhir, dan alamat. 2. Pernyataan dalam bahasa pasien tentang keluhan yang dialami: becak putih lengan kiri sejak 1 bulan 3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS): Lamanya keluhan berlangsung, pada keluhan berupa bercak putih yang berlangsung sejak 1 bulan yang lalu. Sifat dan berat serangan (warna bercak, adanya gatal, adanya baal pada bercak/lesi) Lokalisasi dan penyebarannya (menetap, menjalar, berpindah-pindah) Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali. Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor yang memperberat atau meringankan keluhan. Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit tertentu. Perkembangan penyakit ( kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa). Apakah sudah pernah berobat sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) untuk mengetahui riwayat penyakit sebelumnya 5. Riwayat Penyakit Keluarga untuk mengetahui penyakit genetik, herediter ataupun penyakit infeksi

6. Riwayat Sosial: faktor resiko gaya hidup (narkotika, merokok, peminum, dll), masalah yang berhubungan dengan sosial ekonomi seperti keuangan, pekerjaan dan yang lainnya. Pasien yang sering melakukan perjalanan juga harus ditanyakan tujuan perjalanan yang telah ia lakukan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Bila ada indikasi, riwayat perkawinan dan kebiasaan seksual juga harus ditanyakan. Lalu terakhir menanyakan tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.1

Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda vital : Tekanan darah Frekuensi denyut nadi Frekuensi pernapasan Suhu

Pemeriksaan fisik pada penyakit kulit dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan tandatanda vital, inspeksi dan palpasi pada daerah yang sakit.2,3 Inspeksi dengan melihat keadaan pasien (sadar, syok, pucat, berpigmen, atau demam), melihat lokasi gejala, melihat gejala yang timbul (ruam, bengkak, lesi, makula, papula, vesikel, atrofi, skuama, dan lain-lain), warna lesi kulit, susunan lesi, bentuk lesi, ukuran lesi, dan batasnya. Selanjutnya palpasi pada lesi untuk mengetahui tandatanda radang akut, tekstur kulit, kelembaban kulit, suhu kulit, nyeri tekan dan kedalaman lesi. Dapat juga dilakukan pemeriksaan fisik yang sesuai, misalnya jika ada bercak yang baal dilakukan uji tes sensitivitas pada lesi. Dengan loup dilihat adanya achromia, atrofi, dan alopecia. Dengan bulu peraba dan paku tajam tumpul palu reflex dapat dilakukan tes perabaan dan tes rasa nyeri. Kemudian tes rasa suhu pada lesi kulit dibandingkan dengan daerah normal. Jika ada sisik dapat dilakukan fenomena tetesan lilin, tes Auspitz, tes kobner, dan ter anhidrosis.

Pemeriksaan Penunjang Pada penyakit kusta pemeriksaan yang bisa dilakukan umumny adalah inspeksi, selain itu pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan anestesi dengan menggunakan jarum atau kapas seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan pemeriksaan dengan menggunakan tinta. Selain pemeriksaan terserbut ada beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menunjang diagnosa kusta.

1. Pemeriksaan bakterioskopik Dibuatlah suatu sediaa dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung bagian septum lalu diwarnai dengan pewarnaan BTA (Basil Tahan Asam), antara lain Ziehl-Neelsen. Jika hasilnya negatif, maka orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae. Bagian tubuh yang pasti dikerok jaringan kulitnya adalah dibawah cuping telinga berdasarkan pengalaman, tempat tersebut diharapkan mengandung kuman lebih banyak. Cara pengambilannya dengan menggunakan skalpel steril, lalu pada kulit yang terkena lesi didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik. Hal ini disebabkan kerokan skalpel harus sampai di dermis yang diharapkan banyak mengandung kuman M. leprae. Dan dari mukosa hidung diambil dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari dan ditampung pada sehelai plastik. Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.

bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP 5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan.
4

Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan denan jumlah solid dan nonsolid. Rumus :

Syarat perhitungan: Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencapai dalam 1000 sampai 10.000 lapangan pandang Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.

Ada pendapat bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula dihitung IM-nya tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperkecil atau diperbesat.

2. Pemeriksaan histopatologik Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus dan fungsi berbeda-beda dalam menjalankan imunitas tubuh. Kalau ada kuman M. leprae yang masuk, akan bergantung pada sistem imunitas seluler orang tersebut. Jika sistem imunnya bagus, maka akan banyak ditemukan sel datia Langhans tetapi sayanganya jika ada massa epiteloid berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sebaliknya jika sistem imunitas seluler orang tersebut rendah, maka M. leprae akan berkembang biak dalam sel tubuh manusia lalu menjadi sel Virchow sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

3. Pemeriksaan serologik Pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh yang terinfeksi M. leprae. Ternyata ada antibodi spesifik kuman ini yaitu anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah untuk mendiagnosis penyakit kusta yang

meragukan seperti kusta yang subklinis (hampir tidak ada lesi kulit). Uji serologik tersebut terdiri dari Uji MLPA, ELISA, dipstick test, dan flow test.3,4

Differential Diagnosis Menurut anamnesis yang telah dilakukan dan pemeriksaan didapatkan diagnosis pembanding yaitu ptyriasis alba, vitiligo, dan tinea versikolor. Vitiligo Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang dapat bersifat progresif, seringkali familial ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas dan asimtomatis. Makula ini berbentuk seperti bercak putih kapur bergaris tengah beberapa milimeter sampai sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama.5

Tinea versikolor Tinea verikolor merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur. Merupakan penyakit jamur superfisial yang kronik dan asimtomatik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif berupa bercak skuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut.5 Kelainan pada pitiriasis versikolor juga dapat berupa lesi yang bewarnawarni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Lesi pada leprae kadang bisa sangat mirip dengan kelainan pitiriasis versikolor. Tapi pada pitiriasis versikolor akan memberikan flouresensi bila diberikan cahaya dengan woods light yaitu akan bewarna hijau-kebiruan. Tes sensibilitas saraf sensoris juga dapat dilakukan untuk mebedakannya, maupun tes kerokan.

Pitriasis alba Pitiriasi alba merupakan bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi.
6

Terjadinya diduga karena infeksi dari Streptococcus, tetapi belum dapat dibuktikan. Pitiriasis alba memiliki lesi yang berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema hilang lesi dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus.

Working Diagnosis Morbus Hansen atau lepra atau yang paling terkenal dengan kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik karena pada penderita ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Penyakit ini di sebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.3 Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan symptom. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus.3,6 Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis dan histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan paling sederhana. Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan klinik

(pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau cardinal sign. Tanda utama tersebut yaitu : Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi)

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat peradangan saraf (neuritis perifer) , bisa berupa :

1). Gangguan fungsi sensoris (mati rasa)


7

2). Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot, kelumpuhan 3). Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak

Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA positif).

Lepra tipe Indeterminate (I) Tipe ini merupakan tipe pausibasiler yang mengandung hanya sedikit kuman. Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20 sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang menjadi salah satu tipe determinate.3

Gambar 1: Lepromatosa Indeterminate

Lepra tipe Determinate a) Lepra tipe Tuberkuloid (TT) Tipe ini merupakan tipe pausibasiler yang mengandung hanya sedikit kuman. Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit tersebut dapat berupa bercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering, serta
8

hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n. auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.6

b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT) Tipe ini merupakan tipe pausibasiler yang mengandung hanya sedikit kuman. Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif.3

c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB) Tipe ini merupakan tipe multibasiler yang mengandung banyak kuman. Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punchedout). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat tidak stabil.3

d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL) Tipe ini merupakan tipe multibasiler yang mengandung banyak kuman. Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makulaatau bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakat Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif.6

e) Lepra tipe Lepromatosa (LL)

Tipe ini merupakan tipe multibasiler yang mengandung banyak kuman. Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah banyak, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul. Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jari-jari tangan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negative. Epidemiologi Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:7

a) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam. b) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang. Klinis ternyata kontak lama dan berulangulang ini bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyakit terinfeksi lainnya. Menurut Cocrane, terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan M. Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
10

Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

Etiologi Kuman penyebab penyakit leprae ini adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh seorang warga di sebuah negara yaitu norwegia, pada tahun 1874 yang bernama G.A. Hansen. Namun sampai sekarang kuman ini masih belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Kuman Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta bersifat gram positif. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sistem retikulo endothelial. Kuman ini bersifat aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun juga diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol. Terdapat juga golongan yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion.2,8

Patofisiologi M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.3 Penyakit kusta dapar di sebut sebagai penyakit imunologik. Karena di sebut sebagai penyakit imunologik maka perjalanan penyakit ini melibatkan antigen dan antibody. Kuman yang menyebabkan penyakit ini adalah Mycobacterium leprae. Masuknya Mycobacterium leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.7

11

Gejala Klinis Bila kuman M leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, dan bila keadaan SIS nya rendah akan memberikan gambaran lepromatosa.1,3,6,7 Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar yakni tuberkuloid 100% merupakan tipe yang stabil. Jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil dan tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut sebagai tipe borderline, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe cammpurang yang terdiri dari 50% tubekuloid dan 50% lepromatosanya. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya sementara BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat di tabel di bawah ini:

Tabel 1. Klasifikasi Zona Spektrum Kusta


Sumber: buku ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-6 FKUI

Klasifikasi Ridley Jopling Madrid WHO Puskesmas Tuberkuloid Pausibasiler (PB) PB dan TT BT

Zona Spektrum Kusta BB BL LL

Borderline

Lepromatosa

Multibasiler (MB) MB

Dimana multibasiler memiliki arti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini.

12

Tabel 2. Gambaran klinis penyakit lepra tipe Pausibasiler


Sumber: buku ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-6 FKUI

Sifat

Lepromatosa (LL)

Bordeline Lepromatosa (BL)

Mid Borderline (BB)

Lesi: Bentuk Jumlah Tidak praktis Distribusi Permukaan Batas Anestesia Makula Infiltrat difus Papul Nodus terhitung, Sukar tidak Makula Plakat Papul dihitung, Dapat Plakat Dome-shaped (kubah) Punched-out dihitung, kulit

ada masih ada kulit sehat

sehat jelas ada

kulit sehat Simetris Halus berkilat Hampir simetris Halus berkilat Asimetris Agak berkilat Tidak jelas Agak jelas Agak jelas kasar, agak

Tidak

ada

sampai Tak jelas

Lebih jelas

tidak jelas BTA: Lesi kulit Sekret hidung Tes Lepromin Banyak (ada globus) Bannyak globus) Negatif Negatif Biasanya negatif Banyak Agak banyak Negatif

(ada Biasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis penyakit lepra tipe multibasiler


Sumber: buku ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-6 FKUI

Sifat

Tuberkuloid (TT)

Bordeline Tuberculoid (BT)

Indeterminate (I)

Lesi: Bentuk Jumlah Makula saja, makula Makula dibatasi infiltrat Satu, dapat beberapa dibatasi Hanya makula

infiltrat: infiltrat saja Beberapa atau satu Satu atau beberapa


13

dengan satelit Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA: Lesi kulit Hampir negatif Tes lepromin Positif kuat (3+) selalu Negatif atau hanya Biasanya negatif 1+ Positif lemah Dapat positif lemah atau negative Asimetris Kering bersisik Jelas Masih asimetris Kering bersisik Jelas Variasi Halus, agak berkilat Dapat jelas atau

dapat tidak jelas Jelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas

Kusta Indeterminate merupakan kusta yang paling ringan dimana hanya sangat kecil atau terbatas mempengaruhi saraf dan kulit. Hanya ada sedikit bakteri yang ditemukan dan dengan tes lepromin sering kali hanya memberikan positif lemah. Di bawah mikroskop, dapat dilihat peradangan hanya minimal dan tidak tipikal. Kusta Indeteminate sering kali hanya pada satu bagian tubuh, asimptomatik, berupa makula hipopigmentasi dengan diameter beberapa cm. Kusta indeterminate sering kali ditemukan di wajah, punggung, permukaan ekstensor dari ekstremitas. Bila multipel lesi yang terjadi penyebarannya tidak simetris. Sensasi kulit mungkin sedikit berkurang namun fungsi dari kelenjar keringat masih normal. Penebalan saraf biasanya hanya ditemukan pada satu saraf.9 Kusta Lepromatous merupakan kusta yang ditandai dengan adanya infeksi M. leprae yang progresif dimana banyak bakteri yang ditemukan pada lesi kulit. Lesi kulit umumnya asimetris, kecil, bersinar dan umunya konfluen. Plaq infiltrat memiliki batas yang tidak tegas dengan warna merah kecoklatan, dimana sering kali berubah tergantung warna kulit penderita. Tempat yang sering terkena adalah wajah dengan infiltrasi di bagian depan kepala, dagu, hidung, dan telinga yang sering mengakibatkan deformitas pada wajah yang disebut leonine facies (lions face). Tanda lain yang sering terjadi adalah madarosis. Dengan berkembangnya penyakit anestesia dan kekeringan kulit juga akan semakin parah. Daerah tubuh yang hangat akan terhindar seperti bagian axilla, inguinal, perineum, dan scalp. Mukosa hidung merupakan bagian yang hampir selalu terserang. Kelainan kronik dari hidung seperi hemorrhagic sering kali ditemukan pada penderita kusta di daerah endemis.
14

Serangan M. leprae pada hidung akan menganggu proses pernafasan dan merusak septum nasal dan mengakibatkan hidung kehilangan substansinya (clover leaf nose). Mukosa lain seperti bibir, mulut dan laring juga dapat terkena infiltrasi dari M leprae. Infiltrasi juga dapat mengenai mata dibagian konjungtiva, kornea dan badan ciliary.9 Kerusakan saraf perifer umumnya muncul dalam waktu yang lama. Kerusakan saraf tepi mulanya mengenai saraf sensoris dan umumnya simeteris di bagian ekstensor. Kehilangan sensoris kemudian secara perlahan akan menyebar ke bagian tengah tubuh. Rasa sakit jarang terjadi karna infeksi M leprae pada saraf sensoris. Saraf otonom juga terkena dengan ditandai adanya kehilangan fungsi dari kelenjar keringat dan kelainan vasomotor pembuluh darah tepi. Pada lepromatous leprosi, terkenanya saraf motor yang besar lebih sering terjadi dibandingkan lepra tipe tubekuloid. Pada keadaan lepra lepromatosa yang lebih berat bisa mengakibatkan tangan dan kaki mengecil, karena terjadinya osteoporosis dengan fraktur kompresi. Adanya trauma yang tidak disadari penderita dan infeksi sekunder juga bisa mengakibatkan kecacatan. Beberapa pasien memiliki limfeadenopathy. Infiltrat kadangkadang dapat ditemukan pada testis yang bisa mengakibatkan kemandulan dan gynecomastia. Lepra tuberkuloid merupakan lepra yang terjadi dengan jumlah lepra yang tidak terlalu banyak di tubuh dan keadaan sistem imun seluler tubuh penderita yang masih baik. Kerusakan saraf juga terjadi tetapi tidak sistemik. Lesi yang terjadi umumnya asimetris, jumlahnya sedikit, dan menyebar dengan sangat pelan. Mulanya bewarna merah atau merah keunguan, dan berupa makula atau papula. Kemudai secara perlahan membesar, dengan batas yang tegas, dan memperlihatkan bagian tengah yang bersih dengan atrofi yang halus, bersisik dan hipopigmentasi. Predileksi lesinya di bagian gluteus, punggung, wajah dan ekstensor ekstremitas. Hilangnya sensasi, anhidrosis dan hilangnya rambut juga terjadi. Inflamasi granul akan mengakibatkan kerusakan pada saraf tepi yang mengakibatkan hilangnya fungsi saraf tersebut. Gangguan fungsi sensoris merupakan kelainan saraf yang awal, selanjutnya dapat mengakibatkan paralisis dan akhirnya mengakibatkan atrofi otot. Kerusakan pada saraf wajah juga dapat terjadi dan mengakibatkan kelainan ekpresi wajah dimana wajahnya menjadi tidak berekspresi atau Antonine facies. Paralisis pada otot-otot vocal juga dapa terjadi.9 Masalah yang terberat daripada kusta tuberkuloid adalah bila kerusakan saraf mencapai di bagian saraf yang menggerakan ekstremitar. Saraf yang terkenan umumny adalah saraf yang lebih superficialis dan mudah terkena trauma. Kerusakan saraf bisa mengenai N. ulnaris dan N medialis yang mengakibatkan terjadinya perubahan tangan yang
15

berbentuk clawing lateral maupun medial. Pada kaki, bila yang terkena adalah sara peroneal akan mengakibatkan terjadinya foot drop dan bila mengenai saraf tibialis posterior akan mengakibarkan terjadinya anestesia pada telapak kaki. Sebagai hasil kerusakan saraf dapat mengakibatkan kulit yang kering, proses penyembuhan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, paralisis otot, respon terhadap trauma yang kecil. Dalam keadaan ini bila ada trauma kecil seperti menginjak batu, atau bahkan karna trauma panas pada kulit, penderita tidak akan merasakan apa-apa sehingga bisa mengakibatkan terjadi kerusakan yang besar. Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Yang termasuk tipe multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.1 Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai dengan BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif harus diobati dengan rejimen MDT-MB.1 Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun 1995. WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini dapat di lihat di tabel di bawah ini.

Tabel 4. Bagan klinis menurut WHO (1995)


Sumber: buku ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-6 FKUI

Sifat 1. Lesi kulit (makula datar, papul yang

PB 1 5 lesi Hipopigmentasi/erit ema Distribusi simetris Hilangnya yang jelas sensasi tidak

MB Lebih dari 5 lesi Distribusi simetris Hilangnya sensasi kurang jelas lebih

meninggi, nodus)

2. Kerusakan

saraf

Hanya satu cabang

Banyak saraf

cabang

(menyebabkan hilangnya

16

sensasi/kelemahan

otot

yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

Antara diagnosa secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan kepada hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya. Begitu juga dengan dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya di ambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klini, dimulai dengan inspkesi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan alat yang sederhana misalnya jarum, kapas, tabung rekasi masing-masing air panas dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya.1 Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja atau keduaya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, mesikpun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut baruah pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksan dengan menggunakan Voluntary Muscle Test (VMT).1 Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsitensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan. Hanya beberaoa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa
17

kelainan saraf biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1 Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakang menjadi 2 yaitu deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagi reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom. Cacat sekunder dapat berupa kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1

Gejala-gejala kerusakan saraf karena kusta diantaranya: a) N. Ulnaris: Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis Clawing kelingking dan jari manis Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis medial b) N. medianus Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah Tidak mampu aduksi ibu jari Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah Ibu jari kontraktur Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral c) N. Radialis Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk Tangan gantung (wrist drop) Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan d) N. popliteal lateralis Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis Kaku gantung (foot drop) Kelemahan otot peroneus e) N. tibialis posterior Anestesia telapak kaki Claw toes
18

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis f) N. fasialis Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir g) N. trigeminus Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrat granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloa pada tubulus seminiferus testis.1

Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid dan kusta tipe neural: a. Kusta Histoid Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang pertama dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yag berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisiten. b. Kusta tipe neural Kusta tipe neural murni mempunayi tanda sebagai berikut: Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit Ada satu atau lebih pembesara saraf Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang disarafinya Bakterioskopik negatif
19

Tes Mitsuda umumnya positif Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau tipe nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.

Penatalaksanaan a. Obat Utama: 1) DDS Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT. 2) Rifampisin Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin. 3) Klofazimin (lamprene) Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu. Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial. 4) Protionamid. Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.10

b. Obat alternatif: 1) Ofloksasin Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
20

2) Minosiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP. 3) Klaritromisin Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M. leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.10

Pencegahan 1. Pencegahan primer, pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan kesehatan tentang kusta, pemberian imunisasi 2. Pencegahan sekunder, dapat dilakukan dengan pengobatan pada penderita kusta, pengobatan untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan, pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf. 3. Pencegahan tersier dilakukan dengan pencegahan cacat kusta, yaitu upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf. Komplikasi Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksikronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya
21

adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.

Prognosis Prognosis baik apabila mengikuti program terapi obat. Yang paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis,

oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi.

Kesimpulan
Pada kasus ini tanda tanda pada penyakit ini yakni timbulnya bercak putih dan tidak terasa gatal merupakan tanda tanda dari penyakit morbus hansen atau yang dikenal dengan leprae. Pada penyakit ini biasanya timbul tanda tanda 5A. Bila penyakit ini tidak segera ditangani akan banyak menimbulkan komplikasi yang lain sehingga lama kelamaan akan menimbulkan kematian. Jadi perlu penanganan yang tepat baik secara medika mentosa maupun secara non medika mentosa, perlu juga pencegahan agar tidak terkena penyakit ini.

22

Daftar Pustaka 1. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Ed 5. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2008; hal.64-7. 2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005.h.42-3. 3. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2011.h.122-4,133-47. 4. Mulyati, K. Pudji, Susilo, J. Leprosi. Dalam: Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S, editor. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: FK UI; 2008.h.319-25. 5. Partogi D. Pityriasis versikolor dan diagnosis bandingnya. Medan: FK USU; 2008. 6. Legendre DP, Muzny CA, et al. Hansens disease (leprosy). Medscape reference: 2012; hal. 27-37. 7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Edisi VI. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2006; hal. 1580-98. 8. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Buku-1. Jakarta: Salemba Medika; 2005.h.467-8 9. Montoya D, Moddlin RL. Learning from leprosy : insight into the human innate immune response. Vol. 105. Los Angeles: Elsevier: 2010; hal 1-24. 10. Sardjono OS. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2007; hal. 633-37.

23

Você também pode gostar