Você está na página 1de 35

4/28/2014

Bagikan

Asap Cair
0

Lainnya

Blog Berikut

bempoltekkeskemenkesriau@gmail.com

Dasbor

Keluar

Asap Cair
Minggu, 08 Juli 2012

Mengenai Saya
Rio Lharvinosa
Ikuti

Pengaruh Perbedaan Kosentrasi Asap Cair dari Beberapa Jenis Limbah Pertanian yang Berbeda terhadap Mutu Ikan Nila (Oreochormis niloticus) Asap
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochormis niloticus) merupakan sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini berasal dari Afrika dan mulai diperkenalkan kepada masyarakat pada tahun 1969, dan kini menjadi ikan peliharaan yang populer di kolam-kolam air tawar dan di beberapa waduk di Indonesia. Ikan nila ini disukai dan dikonsumsi oleh banyak orang karena rasa dagingnya yang gurih dan kandungan proteinnya yang tinggi (Suyanto, 2008). Ikan nila memiliki banyak keunggulan diantaranya reproduksi dan pertumbuhannya lebih cepat daripada ikan lainnya, dagingnya cukup tebal dan rasanya gurih, serta tidak memiliki tulang-tulang halus pada dagingnya sehingga mudah untuk dikonsumsi, kandungan proteinnya tinggi dan harganya pun terjangkau. Kelebihan di atas membuat ikan nila banyak dipilih sebagai salah satu makanan sumber protein. Selain kelebihan tersebut, ikan nila juga memiliki kekurangan seperti ikan-ikan lainnya yaitu cepat mengalami kerusakan bahkan kebusukan setelah dipanen. Kerusakan ini disebabkan antara lain karena tubuh ikan memiliki kadar air yang tinggi yaitu 80%, pH tubuh mendekati netral, kandungan gizi yang tinggi sehingga ikan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lainnya. Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh ikan tersebut dapat menghambat usaha pemasaran hasil perikanan sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi pedagang. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan daya simpan dan daya awet produk perikanan pada pascapanen melalui proses pengolahan maupun pengawetan. Adapun tujuan utama pengawetan dan pengolahan ikan adalah untuk mencegah pembusukan pada ikan, meningkatkan jangkauan pemasaran ikan, melaksanakan diversifikasi pengolahan produk-produk perikanan, dan meningkatkan pendapatan nelayan. Banyak cara yang telah dilakukan untuk memperpanjang umur simpan ikan, salah satunya adalah melalui metode pengasapan ikan. Metode pengasapan yang sering dilakukan oleh masyarakat adalah pengasapan panas yaitu pengasapan dengan menggunakan suhu tinggi mencapai 100o C bahkan 120o C dengan cara meletakkan ikan yang akan diasapi langsung di atas sumber panas, sehingga kontak langsung antara partikel asap dan ikan sangat besar. Asap selain mengandung komponenkomponen yang berfungsi sebagai bahan pengawet juga mengandung senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) jenis benzopyrene yang merupakan senyawa karsinogenik penyebab kanker (Pszczola, 1995 cit Darmadji dan Triyudiana, 2006) Dengan dilakukannya pengasapan secara langsung maka kandungan benzopyrene pada ikan juga besar. Oleh karena itu perlu dilakukan teknik pengasapan yang lebih baik sehingga ikan asap yang dihasilkan lebih aman untuk dikonsumsi. Salah satu caranya yaitu dengan teknik pengasapan cair, yaitu pengasapan ikan dengan menggunakan asap cair. Menurut Girard (1992) cit Pranata (2007) Asap cair merupakan cairan kondensat uap asap hasil pirolisis kayu. Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya oksigen sehingga terjadi penguraian komponen-komponen penyusun kayu keras. Menurut Darmadji dan Trijuana (2006) Asap cair (bahasa Inggris: wood vinegar, liquid smoke) merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak
http://riolharvinosa.blogspot.com/

Lihat profil lengkapku

Arsip Blog
2012 (1) Juli (1) Pengaruh Perbedaan Kosentrasi Asap Cair dari Beber...

1/35

4/28/2014

Asap Cair

mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya. Bahan baku yang dapat digunakan untuk memperoleh asap cair antara lain berbagai macam jenis kayu, bambu, cangkang kelapa sawit, kulit batang sagu, kayu manis, tempurung kelapa, tongkol jagung, jerami padi, sekam padi, ampas atau serbuk gergaji kayu dan lain sebagainya. Selama pembakaran, komponen tersebut akan mengalami pirolisis yang menghasilkan berbagai macam senyawa antara lain fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, lakton, hidrokarbon, polisiklik aromatik dan lain sebagainya (Girard, 1992 cit Setiawan, 1997). Bahan baku seperti batang bambu, kulit batang sagu, kayu manis, tempurung kelapa, tongkol jagung, dan lain sebagainya memiliki komponen kimia yang berbeda-beda. Komponen-komponen tersebut ditemukan dalam jumlah yang bervariasi tergantung jenis bahan baku, umur tanaman sumber bahan baku, dan kondisi pertumbuhan seperti iklim dan tanah. Komponen-komponen tersebut juga akan menghasilkan komponen-komponen kimia yang berbeda sebagai hasil dari proses pirolisis. Bambu mengandung komponen-komponen kimia seperti ; holoselulosa 72-79%, lignin 19-25%, abu 1% dan zat ekstraktif 2-8%. Kulit batang sagu mengandung selulosa 56,86% dan lignin 37,70% (Kiat, 2006). Kayu manis mengandung komponen-komponen kimia, seperti : holoselulosa 62,64%, kadar air 8,10%, selulosa 49,39%, lignin 26,39%, pentosan 15,44%, abu 0,95%, dan silika 0,18%. Menurut Suherdi (1999), kayu kulit manis mengandung senyawa sinamaldehid dan eugenol yang merupakan turunan dari senyawa fenol. Fenol dapat berfungsi sebagai pengawet, flavor, antioksidan, herbisida, dan bio oil (Raharjda et al, 2009). Tempurung kelapa mengandung komponen-komponen kimia, seperti : selulosa 26,6%, hemiselulosa 27,7%, lignin 29,4%, abu 0,6%, komponen ekstraktif 4,2%, uronat anhidrat 3,5%, nitrogen 0,1%, dan air 8,0% (Pranata, 2007). Tongkol jagung mengandung komponen-komponen kimia, seperti : abu 6,04%, lignin 15,70%, selulosa 36,81% dan hemiselulosa 27,01% (Sutoro et al, 1998). Berdasarkan penelitian Mayasari (2011), perbedaan kosentrasi asap cair yang digunakan pada perendaman ikan nila yaitu konsentrasi 0,5-2,5 % memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, angka lempeng total dan uji organoleptik terhadap ikan nila asap, namun memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar fenol total. Hasil penelitian tersebut menghasilkan kadar fenol total 0,09%-0,29%, kadar air 7,89%-10,91%, kadar abu 15,90%-18,48%, kadar protein 42,87%-43,97%, kadar lemak 17,00%-23,57%, angka lempeng total 1,8 x 104 koloni/gram bahan sampai 5,7 x 105 koloni/gram bahan. Nilai kesukaan terhadap rasa 3,36-3,80 (biasa sampai suka), aroma 3,203,36 (biasa), warna 3,20-3,60 (biasa sampai suka), dan tekstur 3,40-3,92 (biasa sampai suka). Dari rata-rata penilaian panelis terhadap uji organoleptik ikan nila asap, maka kosentrasi asap cair 1,0 % memberikan hasil terbaik terhadap mutu ikan asap. Menurut Girard (1992) cit Setiawan (1997), syarat ikan asap yang memenuhi kriteria memiliki kadar fenol maksimal 0,5%, sedangkan syarat ikan asap menurut SNI 01.2725.200 memiliki kadar air maksimal 60% dan angka lempeng total maksimal 1,0 x 105 koloni/gram bahan. Berdasarkan uraian diatas maka telah dilakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Perbedaan Kosentrasi Asap Cair yang Berasal dari Beberapa Limbah Pertanian yang Berbeda terhadap Mutu Ikan Nila (Oreochormis niloticus) Asap 1.2 Tujuan Penelitian Menentukan jenis bahan baku pembuatan asap cair yang paling disukai dan kosentrasi asap cair yang tepat dalam pengasapan ikan nila (Oreochormis niloticus) asap untuk menghasilkan produk ikan nila asap yang paling disukai penelis. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain adalah : 1. Mengembangkan penggunaan asap cair sebagai bahan pengawet alami. 2. Meningkatkan nilai ekonomis dan daya guna limbah batang bambu, kulit batang sagu, kayu manis, tempurung kelapa, dan tongkol jagung. 3. Diversifikasi produk olahan ikan nila. 4. Memperkenalkan teknologi proses pembuatan asap cair yang sangat sederhana dan murah, serta memperkenalkan cara penggunaan asap cair kepada masyarakat.
2/35

http://riolharvinosa.blogspot.com/

4/28/2014

Asap Cair

Ho

1.4 Hipotesa : Jenis bahan baku asap cair dan perbedaan kosentrasi asap cair berpengaruh terhadap karakteristik, kesukaan panelis dan keawetan ikan terhadap ikan nila yang diasapi.

Hi

: Jenis bahan baku asap cair dan perbedaan kosentrasi asap cair tidak berpengaruh terhadap karakteristik, kesukaan panelis dan keawetan ikan terhadap ikan nila yang diasapi.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Ikan Nila (Oreochormis niloticus) Ikan nila (Oreochormis niloticus) merupakan jenis ikan yang berasal dari luar negeri. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktur Jendral Perikanan. Sesuai dengan nama latinnya O. niloticus berasal dari sungai Nil dan danau-danau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Suyanto, 2008). Ikan nila kini banyak dibudidayakan di berbagai daerah, karena kemampuan adaptasinya bagus di dalam berbagai jenis air. Nila dapat hidup di air tawar, air payau, dan di laut. Ikan ini juga tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivora, dan mampu mencerna makanan secara efisien. Pertumbuhannya cepat dan tahan terhadap serangan penyakit (Suyanto, 2008). Spesifikasi lengkap ikan nila yang dirumuskan oleh Dr. Treavas : Filum Sub-filum Kelas Sub-kelas Ordo Sub-ordo Famili Genus : Chordata : Vertebrata : Osteichthyes : Acanthoptherigii : Percomorphi : Percoidea : Cichlidae : Oreochormis

Jenis (spesies) : Oreochormis niloticus Ikan nila memiliki banyak keunggulan diantaranya reproduksi dan pertumbuhannya lebih cepat daripada ikan lainnya, dagingnya cukup tebal dan rasanya gurih, serta tidak memiliki tulang-tulang halus pada dagingnya sehingga mudah untuk dikonsumsi, kandungan proteinnya tinggi dan harganya pun terjangkau. Kelebihan di atas membuat ikan nila banyak dipilih sebagai alternatif makanan sumber protein. Namun demikian, ikan nila merupakan produk yang cepat turun kualitasnya. Menurut Suyanto (2008), kerusakan daging ikan setelah ikan dipanen disebabkan oleh tiga penyebab pokok sebagai berikut :
1. Adanya enzim dari tubuh ikan yang menyebabkan daging ikan menjadi busuk. Kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan enzim ini disebut autolisis.

2. Adanya bakteri pembusuk dari luar tubuh ikan yang masuk ke dalam jaringan tubuh ikan mati dan menghancurkannya. 3. Adanya proses kimia di dalam jaringan tubuh ikan yang mulai busuk karena proses autolysis. Ketiga penyebab proses pembusukan tersebut dapat berjalan bersama-sama, tumpang tindih, atau saling memperkuat. Proses pembusukan akan semakin cepat bila suhu semakin tinggi. Proses pembusukan ikan dapat dihambat bila suhu didinginkan sampai 0o C atau lebih rendah (Suyanto, 2008). 2.2 Kerusakan pada Ikan Sejak beberapa abad yang lalu, manusia telah memanfaatkan ikan sebagai salah satu bahan pangan yang banyak mengandung protein 18-30%. Protein ikan sangat diperlukan karena mengandung asam amino esensial, nilai biologisnya tinggi yaitu 90%, lebih murah dibandingkan dengan sumber protein yang lain dan mudah dicerna (Adawyah, 2008). Kelebihan produk perikanan dibandingkan dengan produk hewani lainnya adalah kandungan proteinnya yang cukup tinggi 20%, dagingnya mudah dicerna karena mengandung sedikit tenunan pengikat (tendon), mengandung asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol yang sangat rendah, dan mengandung sejumlah mineral seperti K, Cl, P, S, Mg, Ca,
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 3/35

4/28/2014

Asap Cair

Fe, Zn, F, Ar, Cu dan Y serta vitamin A dan D dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia (Adawyah, 2008). Di samping keuntungan-keuntungan di atas, ternyata ikan juga memiliki beberapa kelemahan seperti kadar air yang tinggi (80%) dan pH tubuh yang mendekati netral sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain, mengandung sedikit sekali tenunan pengikat (tendon), sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis, daging ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sifatnya sangat mudah mengalami oksidasi (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Menurut Adawyah (2008), proses pembusukan pada ikan disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme, dan oksidasi dalam tubuh ikan itu sendiri dengan perubahan seperti timbul bau busuk, daging menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun tubuh bagian luar. Sedangkan menurut Buckle et al (1985), perbedaan ikan segar dan ikan busuk atau rusak dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri ciri ikan segar dan ikan busuk No Ikan segar Ikan busuk atau rusak 1 Kulit dan warna cerah 1. Warna buram dan pucat 2 Sisik melekat dan kuat 2. Sisik lepas 3 Sedikit lendir pada kulit 3. Kulitnya berlendir Mata jernih, tidak terbenam atau 4. Mata buram, berkerut, masuk 4 berkerut 5. Dagingnya kendur dan lunak, tekanan Daging keras, lentur, tekanan oleh jari 5 tidak tinggal oleh jari tinggal Bau segar pada bagian luar dan 6. Bau busuk atau asam terutama insang 6 insang 7 Tubuh kaku atau diam 7. Tubuh lunak dan mudah melengkung 8 Ikan tenggelam dalam air
8. Ikan terapung jika sudah busuk sekali Sumber : Buckle et al (1985)

2.2.1 Proses Perubahan atau Kerusakan Ikan karena Aktifitas Enzim (Autolisis) Autolisis adalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh enzim-enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan itu sendiri. Proses ini biasanya terjadi setelah ikan yang mati melewati fase rigor mortis yaitu keadaan dimana pH tubuh ikan menurun dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan fleksibelitasnya (kekenyalannya) (Afrianto dan Liviawati, 1989). Selama ikan hidup, enzim-enzim yang terdapat di dalam tubuh berasal dari daging (chatepsin), enzim pencernaan (trypsin, chemotrypsin dan pepsin) atau enzim dari mikroorganisme yang terdapat pada saluran pencernaan, akan membantu proses metabolisme makanan. Dengan demikian aktifitas enzim selalu menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri (Afrianto dan Liviawati, 1989). Ketika ikan mati, ternyata enzim-enzim ini masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif, tetapi karena jaringan otak sebagai organ pengontrol sudah tidak dapat berfungsi lagi, maka sistem kerja enzim tersebut menjadi tidak terkontrol dan dapat merusak organ tubuh lainnya, seperti dinding usus, otot daging, serta menguraikan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana. Peristiwa inilah yang disebut autolisis. Biasanya proses autolisis selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri, sebab semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lainnya (Afrianto dan Liviawati, 1989). 2.2.2 Proses Perubahan karena Aktivitas Mikroorganisme Fase pembusukan berikutnya adalah perubahan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri. Dalam keadaan hidup, ikan dapat dianggap tidak mengandung bakteri yang sifatnya merusak (steril), meskipun sebenarnya pada tubuh ikan banyak sekali dijumpai mikroorganisme. Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme sehingga tidak terlihat selama ikan masih hidup (Afrianto dan Liviawati, 1989). Bakteri merupakan anggota mikroorganisme terbanyak pada tubuh ikan. Adapun jenis bakteri yang umum ditemukan pada tubuh ikan adalah Achromobacter, Pseudomonas, Flavobacter, Micrococcus dan Bacillus. Bakteri-bakteri ini terdapat di seluruh permukaan tubuh ikan, terutama pada bagian insang, kulit dan usus. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka-luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam, dari saluran pencernaan menuju jaringan daging dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam (Afrianto dan Liviawati, 1989).
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 4/35

4/28/2014

Asap Cair

2.2.3 Proses Perubahan karena Oksidasi Proses perubahan pada ikan juga dapat terjadi karena proses oksidasi lemak, sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan. Meskipun bau tengik tidak berpengaruh terhadap kesehatan, bau ini sangat merugikan proses pengolahan maupun pengawetan karena dapat menurunkan mutu dan daya jualnya (Afrianto dan Liviawati, 1989). Cara mencegah proses oksidasi adalah dengan mengusahakan sekecil mungkin terjadinya kontak antara ikan dengan udara bebas di sekelilingnya, yakni dengan menggunakan ruang hampa udara, menggunakan antioksidan atau menghilangkan unsur-unsur penyebab proses oksidasi (Afrianto dan Liviawati, 1989). 2.3 Pengasapan Ikan Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Tujuan pengasapan ikan, pertama untuk mendapatkan daya awet yang dihasilkan asap. Tujuan kedua, untuk memberikan aroma yang khas pada produk ikan asap. Melalui pembakaran akan terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan panas. Senyawa asap tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air yang ada di permukaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi keemasan atau kecoklatan (Adawyah, 2008). Ada banyak faktor yang mempengaruhi proses pengasapan, diantaranya suhu pengasapan, kelembaban udara, jenis kayu yang digunakan, jumlah asap, dan kecepatan aliran asap. Jenis kayu yang baik untuk pengasapan adalah kayu yang lambat terbakar, banyak mengandung senyawa-senyawa mudah terbakar selulosa, hemiselulosa, lignin dan menghasilkan asam (Wibowo, 2002). Pada dasarnya ada dua pengasapan, yaitu pengasapan panas dan pengasapan dingin, tergantung jumlah panas yang digunakan. Selain itu berkembang pula cara pengasapan yang tergolong baru, yaitu pengasapan elektrik dan pengasapan likuid (Wibowo, 2002). Pengasapan likuid dilakukan dengan cara mencelupkan ikan ke dalam larutan asap. Asap cair ini pada dasarnya merupakan asam cukanya (vinegar) kayu yang diperoleh dari hasil destilasi kering kayu tersebut, vinegar kayu dipisahkan dari tar dan hasilnya diencerkan dengan air lalu ditambahkan garam dapur secukupnya. Kemudian ikan direndam di dalam larutan asap tersebut selama beberapa jam. Faktor penting yang perlu diperhatikan pada pengasapan likuid adalah konsentrasi dan suhu larutan asap serta waktu perendaman (Wibowo, 2002). Menurut Adawyah (2008), kelebihan penggunaan asap cair dalam pengasapan adalah aroma dari produk yang dihasilkan seragam, lebih intensif dalam pemberian aroma, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan, dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial, lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai sumber asap, polusi lingkungan dapat diperkecil, serta dapat diaplikasikan ke dalam berbagai kehidupan seperti penyemprotan, pencelupan atau dicampur langsung ke dalam makanan. Teknik-teknik pengasapan ikan : 1. Pencucian dan Penyiangan Sebelum diasap, ikan dicuci dulu untuk menghilangkan kotoran, sisik-sisik yang lepas, dan juga lendir. Kemudian ikan disiangi dengan cara membelah bagian perut sampai dekat anus. Bilamana diperlukan, kepala ikan dipotong. Kalau ukuran ikan cukup besar dan berdaging tebal, sebaiknya ikan dibelah membentuk kupu-kupu, diambil dagingnya saja, atau dibentuk sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan untuk mencirikan produk (Wibowo, 2002). 2. Pengasapan Pengasapan yang dilakukan adalah pengasapan cair dengan cara merendam ikan dalam larutan asap selama beberapa jam, setelah itu ikan dikeringkan (Adawyah, 2008). Pengasapan ikan dapat dilakukan dengan cara pengasapan dingin atau pengasapan panas. Pengasapan dingin merupakan cara pengasapan yang dilakukan pada suhu rendah, yaitu pada suhu ruangan dan tidak lebih tinggi dari suhu 33o C (sekitar 15-33o C). Waktu pengasapannya sangat lama, dapat mencapai 4-6 minggu. Penggunaan suhu rendah ini memang dimaksudkan agar daging ikan tidak menjadi masak atau protein di dalamnya tidak terkoagulasi. Akibatnya, ikan asap yang dihasilkan masih tergolong setengah masak (Wibowo, 2002). Sedangkan pengasapan panas yaitu pengasapan yang dilakukan pada suhu tinggi yaitu
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 5/35

4/28/2014

Asap Cair

80-90o C, bahkan ada yang suhunya mencapai 120o C. Karena suhunya tinggi, waktu pengasapan pun lebih pendek, yaitu 3-8 jam dan bahkan ada yang hanya 2 jam. Pengasapan panas ini pada dasarnya terdiri dari 3 tahapan. Tahap pertama merupakan tahapan pengeringan awal yang berlangsung sedikit di atas suhu ruang yaitu pada suhu 30-35o C selama 30-60 menit. Pada tahap kedua merupakan tahap pematangan pertama, dimana suhu perlahan-lahan dinaikkan menjadi 50o C selama 30-45 menit. Tadap ketiga adalah tahap pematangan akhir, dimana suhu dinaikkan sampai sekitar 80o C. Untuk ikan yang berukuran besar biasanya memerlukan waktu 30-60 menit lebih lama dari ikan berukuran kecil (Wibowo, 2002). 3. Pengemasan Setelah pengasapan selesai, ikan dibiarkan dingin hingga sama dengan suhu ruangan. Sebaiknya tidak mengemas produk selagi masih panas atau hangat karena akan mengembun dan ikan cepat rusak ditumbuhi jamur. Ikan asap harus dibiarkan dingin, dengan cara misalnya ditempatkan pada ruangan terbuka dan bersih. Kipas angin dapat digunakan untuk membantu mendinginkan ikan asap, asalkan terjadinya kontaminasi oleh kotoran dapat dicegah. Melalui cara itu, ikan asap sudah cukup dingin dalam waktu 1-2 jam (Adawyah, 2008). 4. Penyimpanan Penyimpanan ikan asap akan sangat berperan penting dalam distribusi dan pemasarannya. Jika penyimpanan juga pengemasan tidak baik maka ikan asap akan cepat rusak sehingga daya jangkau pasarnya rendah. Untuk jangkauan distribusi yang luas, penggunaan suhu rendah selama penyimpanan tampaknya sudah saatnya diterapkan dan tidak dapat dihindari lagi (Adawyah, 2008). 2.4 Batang Bambu Bambu merupakan tanaman yang tumbuh didaerah tropis atau subtropis dan berkembang dengan baik didaerah beriklim lembab dan panas (Rao, 1966). Tumbuhan ini termasuk dalam genus Bambusa, family Poaceae, ordo Poales, kelas Monocotyledoneae, subdivisio Angiospermae dan diviso Spermathophyta (Lessart dan Chouinard, 1980). Ciri-ciri morfologinya, antara lain berdaun tunggal berbentuk pita tersusun berselang-seling pada ranting, batang bernodia, berakar serabut dan mempunyai rimpang (Maradjo dan Soenarko, 1977).
ws_Bamboo_1024x768(1).jpg

Gambar 1. Batang bambu (Anonim, 2011) Ditinjau dari struktur kimia, elemen penyusun bambu (Gambar 1) terdiri dari komponen dinding sel dan merupakan komponen luar dinding sel yang dikenal sebagai zat ekstraktif (Soenardi, 1976). Komponen dinding sel utama bambu terdiri atas senyawa yang mempunyai sifat-sifat organik dan mineral. Senyawa organic ini tersiri atas dua golongan, yaitu holoselulosa dan lignin. Holoselulosa meliputi selulosa dan hemiselulosa. Kadar holoselulosa dalam bambu berkisar antara 72-79%, sedangkan kadar lignin pada bamboo berkisar antara 19-25%. Persentase kadar masing-masing itu dihitung terhadap berat zat dinding sel kayu dalam kondisi kering tanur yang telah bebas dari zat ekstraktif. Mineral yang terdapat pada dinding sel ini dapat ditunjukkan oleh adanya abu yang tersisa pada pembakaran bambu. Dengan demikian, kadar abu dapat digunakan untuk memantau jumlah mineral yang ada di dalam bambu. Kadar abu ini biasanya kurang dari 1% dari berat bambu yang telah bebas dari zat ekstraktif dalam kondisi kering tanur (Soenardi, 1976 ; Youdi et al, 1985). Zat ekstraktif larut dalam pelarut netral, antara lain air, alcohol, benzene dan ether. Zat ekstraktif ini meliputi minyak-minyak dan asam yang mudah menguap, lemak dan asam-asam lemak, zat warna, tannin, polisakarida dan glikosida, alkaloid dan senyawa N organic yang lainnya. Komponen-komponen tersebut ada di dalam bambu dalam jumlah kecil. Kadarnya berkisar antara 2-8% dari berat bambu yang telah bebas dari zat ekstraktif dalam kondisi kering tanur (Soenardi, 1976).

http://riolharvinosa.blogspot.com/

6/35

4/28/2014

Asap Cair

2.5 Kulit Batang Sagu Sagu berasal dari Maluku dan Irian, karena itu sagu mempunyai arti khusus sebagai bahan pangan tradisional bagi penduduk setempat. Hingga saat ini belum ada data yang pasti yang mengungkapkan kapan mula sagu dikenal. Diduga budi daya sagu dikawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat sama kunonya dengan pemanfaatan kurma dimesopotamia (Singhal et al, 2008). Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu (Gambar 2), dan air buangan. Jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasar bobot total balak sagu (Singhal et al, 2008).

Gambar 2. Kulit batang sagu (Anonim, 2011) Limbah sagu dari hasil samping industri pengolahan pati berupa kulit batang dan ampas sagu mengandung pati, serat kasar, protein kasar, lemak, dan abu. Namun, pati terdapat dalam jumlah terbesar. Ampas mengandung 65,7% pati yang terdiri atas residu lignin sebesar 20,67%, sedangkan kandungan selulosa di dalamnya sebesar 19,55% dan sisanya merupakan zat ekstraktif dan abu. Di sisi lain, kulit batang sagu mengandung selulosa 56,86% dan lignin 37,70% (Kiat, 2006). Kandungan pati dan selulosa pada limbah sagu adalah salah satu alasan yang menjadikannya sebagai sumber karbon. Kiat (2006) meyatakan, bahwa limbah sagu berupa kulit batang biasanya dikeringkan dan digunakan untuk kayu bakar dan pembuatan papan partikel. Lignin dan selulosa yang terkandung dalam limbah sagu membentuk ikatan lignoselulosa bersama dengan hemiselulosa. Oleh karena itu, potensi biomassa lignoselulosa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai gula fermentasi dalam bahan baku produksi bioetanol sehingga meningkatkan nilai ekonomi limbah sagu. Namun, belum banyak pemanfaatan limbah tersebut sebagai bioetanol dan untuk memanfaatkan komponen yang terkandung di dalamnya dibutuhkan metode hidrolisis agar menghasilkan rendemen gula yang tinggi (Akmar dan Kennedy, 2001). 2.6 Kayu Manis Pohon kayu manis merupakan tumbuhan asli Asia Selatan, Asia Tenggara dan daratan Cina, Indonesia termasuk didalamnya. Tumbuhan ini termasuk family Lauraceae yang memiliki nilai ekonomi dan merupakan tanaman tahunan yang memerlukan waktu lama untuk diambil hasilnya. Hasil utama kayu manis adalah kulit batang dan dahan, sedang hasil ikutannya adalah ranting dan daun. Komoditas ini selain digunakan sebagai rempah, hasil olahannya seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak dimanfaatkan dalam industri-industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman, rokok dan sebagainya (Smith, 1986). Selama ini kayu manis hanya diambil kulit batang, sedangkan batang dari kayu manis hanya digunakan sebagai kayu bakar. Dengan potensi yang cukup besar, alangkah baiknya dipikirkan penggunaan batang dari kayu manis tersebut sehingga dapat lebih bernilai ekonomis. Selama ini telah banyak penelitian tentang kayu manis, namun masih terbatas dalam hasil penelitian. Pemanfaatan batang kayu manis secara efektif dan efisien salah satunya adalah dengan menjadikan batang kayu manis menjadi asap cair, karena sebagaimana diketahui batang kayu manis relatif kecil sehingga sangat sulit digunakan sebagai bahan pengganti kayu konvensional. Namun diharapkan dengan dijadikan asap cair dapat digunakan nantinya sebagai bahan pengawet.

http://riolharvinosa.blogspot.com/ pohon-km.jpg

7/35

4/28/2014
pohon-km.jpg

Asap Cair

Gambar 3. Kayu Manis (Anonim, 2011) Selain hal di atas dalam proses pembentukan asap cair juga dipengaruhi oleh komposisi kimia kayu, seperti zat ekstraktif yang dikandungnya. Sebagaimana Sjostrom (1995) cit Zaman (2007), mengatakan bahwa zat ekstraktif akan mempengaruhi proses pengolahan kayu. Kayu manis (Gambar 3) merupakan beberapa spesies dari genus Cinnamomum. Genus ini merupakan anggota dari family Lauraceae yang meliputi tumbuhan berkayu dengan bentuk daun tunggal, ordo Polycarpicae dan kelas Dicotyledoneae. Dari banyaknya jenis kayu manis, hanya empat jenis yang terkenal dalam perdagangan ekspor maupun local, yaitu Cinnamomum zeylanicum, C burmanni, C cassia dan C cullilawan. Daunnya kecil dan kaku dengan pucuk berwarna merah. Umumnya tanaman tersebut tumbuh di dataran tinggi, warna pucuknya lebih merah dibanding di dataran rendah. Kulitnya abu-abu dengan aroma khas dan rasanya manis. Panen terbaik dilakukan setelah tanaman berumur 10 tahun dan lingkar batangnya mencapai satu meter (Rismunandar, 2001). Menurut Kasim (2001) batang kayu manis tergolong kayu kelas kuat II, hal ini ditinjau dari nilai keteguhan patah dan keteguhan tekan. Mengenai ciri umum kayu manis menurut Kasim dan Zulmardi (2002) kayu manis mempunyai kayu teras yang berwarna kuning muda, sedikit berbeda dan tidak begitu jelas dengan kayu gubal. Corak polos, tekstur halus dan rata, arah serat luas, kilap permukaan agak mengkilap, kesan raba licin, dan kekerasan agak keras. Menurut Kasim dan Zulmardi (2002) pembuluh/pori batang kayu manis baur, sebagian besar berganda radial yang terdiri dari 2-3 pori kadang sampai 8 pori, diameter kecil, jumlah banyak, bidang perforasi sederhana. Parenkim bertipe paratrakea selubung, jari-jari agak sempit, jumlah banyak dan ukuran agak pendek. Gusmailina dan Setiawan (1996) cit Hamdi (2006) menyatakan bahwa kandungan holoselulosa batang kayu manis adalah 62,64%, kadar air 8,10%, selulosa 49,39%, lignin 26,39%, pentosan 15,44%, abu 0,95%, dan silika 0,18%. Menurut Suherdi (1999), kayu manis mengandung senyawa sinamaldehid dan eugenol yang merupakan turunan dari senyawa fenol. 2.7 Tempurung Kelapa Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara biologis adalah pelindung inti buah dan terletak di bagian sebelah dalam sabut dengan ketebalan berkisar antara 2-6 mm. Tempurung kelapa dikategorikan sebagai kayu keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah dengan kadar air sekitar 6-9% (dihitung berdasarkan berat kering) dan terutama tersusun dari lignin, selulosa dan hemiselulosa (Pranata, 2007). Menurut Suhardiyono (1988) cit Tahir (1992), komposisi kimia tempurung kelapa dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia tempurung kelapa Komponen Persentase Selulosa 26,5% Hemiselulosa 27,7% Lignin 29,4% Abu 0,6% Komponen ekstraktif 4,2% Uronat anhidrat 3,5% Nitrogen 0,1% Air 8,0%
Sumber : Suhardiyono (1988) cit Tahir (1992)

http://riolharvinosa.blogspot.com/ tempurung kelapa.jpg

8/35

4/28/2014
tempurung kelapa.jpg

Asap Cair

Gambar 4. Tempurung kelapa (Anonim, 2011) Apabila tempurung kelapa (Gambar 4) dibakar pada temperatur tinggi dalam ruangan yang tidak berhubungan dengan udara maka akan terjadi rangkaian proses penguraian penyusun tempurung kelapa tersebut dan akan menghasilkan arang selain destilat, tar dan gas (Anonim, 1983 cit Pranata, 2007). Destilat ini merupakan komponen yang sering disebut dengan asap cair. Menurut Tranggono et al (1996) cit Gumanti (2006) asap cair tempurung kelapa memiliki 7 macam komponen dominan, yaitu phenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2mektosiphenol, 2-mektosi-4-metilphenol, 4-etil-2-metoksiphenol, 2,6-dimektosiphenol, dan 2,5-dimektosi benzil alkohol yang semuanya larut dalam eter. Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan antimikroba pada asap cair. Selain itu, Fhenol juga dapat memberikan efek antioksidan kepada bahan makanan yang akan diawetkan. Identisifikasi fenol terhadap kualitas asap cair yang dihasilkan diharapkan dapat mewakili kriteria dari mutu asap cair tersebut, sehingga hasilnya dapat diaplikasikan kepada semua produk pengasapan. Yulistiani (1997) cit Gumanti (2006) melaporkan kandungan phenol dalam distilat asap tempurung kelapa sebesar 1,28%. 2.8 Tongkol Jagung Jagung termasuk ke dalam famili rumput-rumputan. Tanaman jagung tumbuh tegak dengan tinggi bervariasi. Pada varietas tertentu tinggi tanaman jagung saat dewasa kurang dari 60 cm dan tipe yang lain dapat mencapai 2 m atau lebih. Produk pertanian yang satu ini memiliki peranan tersendiri dalam negeri. Permintaan terhadap komoditas ini semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah luasan area pertanian jagung yang semakin meningkat (Capricorn Indo Consult, 1998). Dalam kegiatan industri jagung, limbah yang dihasilkan adalah tongkol jagung (Gambar 5). Tongkol jagung merupakan limbah lainnya. Setelah masa produktif jagung habis, limbah tongkol jagung yang dihasilkan cukup besar. Hampir dari setengah tanaman jagung terdiri dari tongkol tersebut. Selama ini pemanfaatan limbah tongkol jagung hanya terbatas sebagai pakan ternak. Kandungan serat yang tinggi dalam tongkol jagung sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku asap cair (Sutoro et al, 1988).
Tongkol-jagung-bantaeng.jpg

Gambar 5. Tongkol jagung (Anonim, 2011) Kandungan yang terdapat pada cairan hasil pirolisis tongkol jagung terdiri dari golongan fenol, aldehid, hidrokarbon, asam, dan ester. Cairan hasil pirolisis tongkol jagung tanpa katalis mengandung lebih banyak komponen dari golongan fenol. Fungsi komponen yang terkandung dalam cairan hasil pirolisis tongkol ini diklasifikasikan menjadi beberapa, yaitu sebagai pengawet, flavor dan antioksidan (Raharjda et al, 2009). Menurut Sutoro et al (1998), komponen kimia tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia tongkol jagung Komponen Kandungan (%) Abu Lignin Selulosa Hemiselulosa
Sumber : Sutoro et al (1988)

6,04 15,70 36,81 27,01

2.9 Asap Cair Asap diartikan sebagai suatu suspensi partikel-partikel padat dan cair dalam medium
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 9/35

4/28/2014

Asap Cair

gas. Asap cair merupakan cairan kondensat uap asap hasil pirolisis kayu yang mengandung senyawa penyusun utama asam, fenol dan karbonil sebagai hasil degradasi termal komponen selulosa, hemiselulosa dan lignin. Senyawa asam, fenol dan karbonil dalam asap cair tersebut memiliki kontribusi dalam memberikan sifat karakteristik aroma, warna dan flavor dan juga sebagai antioksidan dan antimikroba (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007). Sedangkan asap cair menurut Darmadji dan Triyudiana (2006) merupakan campuran larutan dari disperse asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pirolisis kayu. Cara yang paling umum digunakan untuk menghasilkan asap pada pengasapan makanan adalah dengan membakar serbuk gergaji kayu keras dalam suatu tempat yang disebut alat pembangkit asap, kemudian asap tersebut dialirkan ke rumah asap dalam sirkulasi udara dan temperatur terkontrol. Produksi asap cair merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi karena pengaruh panas, polimerisasi, dan kondensasi (Pranata, 2007). Asap memiliki kemampuan untuk megawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Seperti yang dilaporkan Darmadji dan Triyudiana (2006) yang menyatakan bahwa pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13%, karbonil 11,3 % dan asam 10,2%. 2.9.1 Komposisi Asap Cair Asap cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk karena terjadinya pirolisis tiga komponen kayu yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap telah berhasil diidentifikasi. Komponen-komponen tersebut meliputi asam yang dapat mempengaruhi citarasa, pH dan umur simpan produk asapan, karbonil yang bereaksi dengan protein dan membentuk pewarnaan coklat dan fenol yang merupakan pembentuk aroma dan menunjukkan aktivitas antioksidan (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007). Selain itu Fatimah (1998) cit Pranata (2007) menyatakan golongan-golongan senyawa penyusun asap cair adalah air (11-92%), fenol (0,2-2,9%), asam (2,8-9,5%), karbonil (2,64,0%) dan tar (1-7%). Kandungan senyawa-senyawa penyusun asap cair sangat menentukan sifat organoleptik asap cair serta menentukan kualitas produk pengasapan. Diketahui pula bahwa temperatur pembuatan asap merupakan faktor yang paling menentukan kualitas asap yang dihasilkan. Darmadji dan Triyudiana (2006) menyatakan bahwa kandungan maksimum senyawa-senyawa fenol, karbonil, dan asam dicapai pada temperatur pirolisis 600o C. Tetapi produk yang diberikan asap cair yang dihasilkan pada suhu 400o C dinilai mempunyai kualitas organoleptik yang terbaik dibandingkan dengan asap cair yang dihasilkan pada temperatur pirolisis yang lebih tinggi. Adapun komponen-komponen penyusun asap cair meliputi :
1. Senyawa-senyawa fenol

Senyawa fenol diduga berperan sebagai antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk asapan. Dimana senyawa fenolat ini dapat berperan sebagai donor hidrogen dan efektif dalam jumlah sangat kecil untuk menghambat autooksidasi lemak. Kandungan senyawa fenol dalam asap sangat tergantung pada temperatur pirolisis kayu. Kualitas fenol pada kayu sangat bervariasi yaitu antara 10-200 mg/kg. Beberapa jenis fenol yang biasanya terdapat dalam produk asapan adalah guaiakol dan siringol. Senyawa-senyawa fenol yang terdapat dalam asap kayu umumnya hidrokarbon aromatik yang tersusun dari cincin benzena dengan sejumlah gugus hidroksil yang terikat. Senyawa-senyawa fenol ini juga dapat mengikat gugus-gugus lain seperti aldehid, keton, asam dan ester (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007).
2. Senyawa-senyawa karbonil

Senyawa-senyawa karbonil dalam asap memiliki peranan pada pewarnaan dan citarasa produk asapan. Golongan senyawa ini mempunyai aroma seperti aroma caramel yang unik. Jenis senyawa karbonil yang terdapat dalam asap cair antara lain adalah vanillin dan siringaldehida (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007).
3. Senyawa-senyawa asam

Senyawa-senyawa asam mempunyai peranan sebagai antibakteri dan membentuk cita rasa produk asapan. Senyawa asam ini antara lain adalah asam asetat, propionat, butirat dan valerat. Kombinasi antara komponen fungsional fenol dan asam-asam organik yang bekerja secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikroba (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007).
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 10/35

4/28/2014

Asap Cair

.
4. Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis

Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) dapat terbentuk pada proses pirolisis kayu. Senyawa hidrokarbon seperti benzopyrene merupakan senyawa yang memiliki pengaruh buruk karena bersifat karsinogen. Benzopyrene mempunyai titik didih 310o C dan dapat menyebabkan kanker kulit jika dioleskan langsung pada permukaan kulit. Akan tetapi proses yang terjadi memerlukan waktu yang lama (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007). 2.9.2 Pembuatan Asap cair Asap cair dibuat melalui proses pirolisis. Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya oksigen sehingga terjadi penguraian komponen-komponen penyusun kayu keras. Istilah lain dari pirolisis adalah penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa apabila bahan dipanaskan tanpa berhubungan dengan udara dan diberi suhu yang cukup tinggi, maka akan terjadi reaksi penguraian dari senyawa-senyawa kompleks yang menyusun bahan tersebut dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu padatan, cairan dan gas (Pranata, 2007). Menurut Tahir (1992) cit Pranata (2007), pada proses pirolisis dihasilkan tiga macam penggolongan produk yaitu :
1. Gas-gas yang dikeluarkan pada proses karbonisasi sebagian besar berupa gas CO2 dan sebagian lagi berupa gas-gas yang mudah terbakar seperti CO, CH4, H2 dan hidrokarbon tingkat rendah lain.

2.

Destilat berupa asap cair dan tar. Komposisi utama dari asap cair adalah methanol dan asam asetat. Bagian lainnya merupakan komponen minor yaitu fenol, metal asetat, asam format, asam butirat dll. 3. Residu (karbon) Kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam bahan berbeda-beda tergantung jenis bahan yang digunakan. 2.9.3 Pirolisis Komponen Bahan Asap Cair
1. Pirolisis selulosa

Selulosa adalah makromolekul yang dihasilkan dari kondensasi linier struktur heterosiklis molekul glukosa. Selulosa terdiri dari 100-1000 unit glukosa. Selulosa terdekomposisi pada temperatur 280o C dan berakhir pada 300-350o C. Girrard (1992) cit Pranata (2007), menyatakan bahwa pirolisis selulosa berlangsung dalam dua tahap, yaitu :
a. Tahap pertama adalah reaksi hidrolisis menghasilkan glukosa. b. Tahap kedua merupakan reaksi yang menghasilkan asam asetat dan homolognya,

bersama-sama air dan sejumlah kecil furan dan fenol.


2. Pirolisis Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan polimer dari beberapa monosakarida seperti pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5). Pirolisis pentosan menghasilkan furfural, furan dan turunannya beserta satu seri panjang asam-asam karboksilat. Pirolisis heksosan terutama menghasilkan asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa akan terdekomposisi pada temperatur 200-250o C (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007).
3. Pirolisis Lignin

Lignin merupakan sebuah polimer kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi dan tersusun atas unit-unit fenil propana. Senyawa-senyawa yang diperoleh dari pirolisis struktur lignin berperan penting dalam memberikan aroma asap produk asapan. Senyawa ini adalah fenol, eter fenol seperti guaiokol, siringol dan homolog beserta turunannya (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007). Lignin mulai mengalami dekomposisi pada temperatur 300-350o C dan berakhir pada 400-450o C. 2.10. Penggunaan Asap Cair Pada Pengolahan Ikan Asap Cara pengawetan dengan pengasapan sudah lama dikenal orang. Tujuan dari proses pengasapan tersebut adalah untuk memperpanjang umur simpan produk. Namun dalam pengembangannya terutama dewasa ini, tujuannya tidak hanya itu saja melainkan pengasapan juga ditujukan untuk memperoleh kenampakan tertentu dan cita rasa pada bahan makanan tersebut (Girrard, 1992 cit Pranata, 2007). Meski tujuan pengasapan semula adalah baik, tetap pengasapan dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak aman bagi kesehatan. Beberapa senyawa besifat karsiogenik
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 11/35

4/28/2014

Asap Cair

seperti benzopiren dan nitrosamin terdapat dalam produk asap. Kedua senyawa tersebut dapat timbul selama pengasapan bahan makanan (Maga, 1987). Senyawa fenol juga diketahui memegang peranan pada pengasapan karena akan memberikan kenampakan pada ikan yang diasap menjadi lebih menarik yang disebabkan terjadinya reaksi pewarnaan, tetapi keberadaan fenol juga menyebabkan ikan asap tidak aman karena dapat membahayakan kesehatan bagi orang yang mengkonsumsinya. Kandungan senyawa-senyawa tersebut pada ikan asap dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain adalah metoda pengasapan yang digunakan dan kondisi bahan dasar penghasil asap serta jenis ikan yang diasap. Kadar air rendah pada bahan pengasap ternyata dapat menyebabkan terdapatnya fenol dalam jumlah yang lebih besar dari pada bahan dengan kadar air tinggi (Maga, 1987). Hollenbeck (1977) mengemukakan bahwa penggunaan asap cair lebih menguntungkan dari pada menggunakan metoda pengasapan lainnya oleh karena warna dan cita rasa produk dapat dikendalikan, kemungkinan menghasilkan produk karsiogenik lebih kecil dan proses pengasapan dapat dilakukan dengan cepat. Eklund et al (1982), mengemukakan bahwa asap cair lebih mudah diaplikasikan karena konsetrasinya dapat dikontrol agar memberikan flavor dan warna yang seragam. Asap cair dengan konsentrasi yang optimal mempunyai kegunaan yang sangat besar sebagai pemberi rasa dan aroma yang spesifik juga sebagai pengawet karena sifat antimikrobia dan antioksidannya (Himawati, 2010). Menurut penelitian Mayasari (2011), perbedaan konsentrasi asap cair yang digunakan pada perendaman ikan nila yaitu konsentrasi 0,5-2,5 % memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, angka lempeng total dan uji organoleptik terhadap ikan nila asap, namun memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar fenol total. Hasil penelitian tersebut menghasilkan kadar fenol total 0,09%-0,29%, kadar air 7,89%-10,91%, kadar abu 15,90%-18,48%, kadar protein 42,87%-43,97%, kadar lemak 17,00%-23,57%, angka lempeng total 1,8 x 104 koloni/gram bahan sampai 5,7 x 105 koloni/gram bahan. Nilai kesukaan terhadap rasa 3,36-3,80 (biasa sampai suka), aroma 3,20-3,36 (biasa), warna 3,20-3,60 (biasa sampai suka), dan tekstur 3,40-3,92 (biasa sampai suka). Dari rata-rata penilaian panelis terhadap uji organoleptik ikan nila asap, maka konsentrasi asap cair 1,0 % memberikan hasil terbaik terhadap mutu ikan asap. Sedangkan menurut Poernomo et al (2006), perendaman dengan asap cair konsentrasi 2,0% selama 10 menit dan 15 menit merupakan perlakuan terbaik untuk pengawetan ikan karena memiliki kadar fenol sebesar 0,96% dan memiliki rata-rata uji hedonik yang baik. Menurut Girard (1992) cit Setiawan (1997), syarat ikan asap yang memenuhi kriteria memiliki kadar fenol maksimal 0,5%, sedangkan syarat ikan asap menurut SNI 01.2725.200 memiliki kadar air maksimal 60% dan angka lempeng total maksimal 1,0 x 105 koloni/gram bahan.

III. BAHAN DAN METODE


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai April 2012 di Laboratorium Teknologi dan Rekayasa Proses Hasil Pertanian; Laboratorium Kimia, Biokimia Hasil Pertanian dan Gizi Pangan; Laboratorium Total Quality Control (TQC) Hasil Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas. 3.2 Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan asap cair adalah batang bambu, kulit
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 12/35

4/28/2014

Asap Cair

batang sagu, kayu manis, tempurung kelapa, dan tongkol jagung yang diperoleh dari area perkebunan dan pertanian rakyat di Kota Padang. Ikan yang akan diawetkan adalah ikan nila yang diperoleh dari salah satu kolam masyarakat di kota Padang dengan panjang rata-rata 15 cm dan berat rata-rata 200 gram. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah selenium mix, H2SO4 pekat, NaOH 30%, indikator MM-MB, asam boraks 3%, hexan, thio sulfat 0,1 N, Aquadest, KBrO3 0,1 N, KBr, HCl 0,02 N, HCl 3N, KI, Na 2S2O 3 0,1 N, indikator amilum, Media Plate Count Agar (PCA), kertas saring Hulls, aluminium foil, kapas, dan tissue. Peralatan yang digunakan adalah satu set alat pirolisis, satu set alat destilasi, timbangan analitik, pisau, batang pengaduk, Erlenmeyer, pipet takar, tabung reaksi, rak tabung reaksi, lampu spritus, cawan Petri, oven, autoclave, incubator, coloni counter, vortex mixer, kotak/wadah, cawan porselen, cawan aluminium, gegep, oven, tannur, desikator, labu kjehdahl, pemanas berjaket, labu ukur 100 ml, pipet 10 ml, gelas ukur 50 ml, buret 50 ml, pipet tetes, klem, standar, labu lemak, soxlet, pipet 25 ml, Erlenmeyer bertutup asah, buret 25 ml, pipet tetes dll.

3.3 Metode Penelitian Penelitian diawali dengan pembuatan asap cair, pemurnian dengan suhu 1300C dan dilanjutkan dengan pembuatan ikan nila asap. Setelah itu dilakukan pengujian tingkat kesukaan panelis secara organolepik terhadap ikan nila asap yang dihasilkan, pengukuran nilai-nilai gizi ikan nila asap, dan dilakukan penyimpanan selama 15 hari untuk menghitung angka lempeng total. Perlakuan yang dilakukan diantaranya adalah perbedaan bahan baku pembuatan asap cair yaitu : A1 = asap cair batang bambu A2 = asap cair kulit batang sagu A3 = asap cair kayu manis A4 = asap cair tempurung kelapa A5 = asap cair tongkol jagung dan perbedaan kosentrasi asap cair yaitu : B1 = kosentrasi asap cair 1% B2 = kosentrasi asap cair 1,5% B3 = kosentrasi asap cair 2% B4 = kosentrasi asap cair 2,5% Sehingga, dari uraian diatas diperoleh kombinasi perlakuan sebagai berikut :
1. 2. 3. 4. A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 5. A2B1 6. A2B2 7. A2B3 8. A2B4 9. A3B1 10. A3B2 11. A3B3 12. A3B4 13. A4B1 14. A4B2 15. A4B3 16. A4B4 17. A5B1 18. A5B2 19. A5B3 20. A5B4

3.4 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan, yaitu :
1. Pembuatan asap cair dari beberapa bahan baku, seperti ; batang bambu, kulit batang sagu, kayu manis, tempurung kelapa, dan tongkol jagung. 2. Pengawetan ikan dengan pengasapan cair, seperti ; persiapan bahan baku, pengasapan, pengeringan dan pengemasan. 3. Pengamatan terhadap komponen yang terbentuk pada proses pirolisis, seperti rendemen asap cair mentah, persentase tar, persentase arang dan komponen yang hilang, serta pengamatan terhadap komponen yang terbentuk pada proses pemurnian asap cair berupa persentase asap cair murni. 4. Analisis terhadap produk ikan nila asap, seperti pengujian organoleptik, kadar fenol total, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan uji mikroorganisme angka lempeng total.

http://riolharvinosa.blogspot.com/

13/35

4/28/2014

Asap Cair

3.4.1 Pembuatan Asap Cair (Pranata, 2007) yang Dimodifikasi Bahan yang telah diperkecil ukurannya 4-9 cm2 dengan kadar air berkisar antara 47% ditimbang dan dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis sampai mendekati penuh, pirolisis dilakukan pada suhu 400o C selama 12 jam, diperoleh 3 fraksi : fraksi padat berupa arang tempurung kelapa, fraksi berat berupa tar dan fraksi ringan berupa asap dan gas methan. Dari fraksi ringan dialirkan ke pipa kondensasi sehingga diperoleh asap cair sedangkan gas methan tetap menjadi gas tidak terkondensasi. Asap cair yang dihasilkan belum bisa digunakan untuk pengawet makanan karena masih mengadung bahan berbahaya sehingga perlu dimurnikan terlebih dahulu. Proses pemurnian asap cair dilakukan dengan cara mengendapkan asap cair yang telah dihasilkan selama satu minggu kemudian cairan yang terdapat pada bagian atas diambil dan dimasukkan ke dalam alat destilasi. Dilakukan destilasi pada suhu 130o C, hasil destilasi kemudian ditampung. Diperolehlah asap cair yang telah aman digunakan sebagai pengawet makanan.

3.4.2 Pengawetan Ikan dengan Pengasapan Cair (Wibowo, 2002) yang Dimodifikasi 3.4.2.1 Persiapan Bahan Baku Ikan nila yang digunakan adalah ikan nila dengan ukuran panjang rata-rata 15 cm dan berat rata-rata 200 gram. Setelah ikan nila dipanen langsung disiangi dengan cara membuang sisiknya, membelah ikan menjadi bentuk kupu-kupu, kemudian dibuang insang, isi perut, kotoran dan lapisan dinding perut yang berwarna hitam. Kemudian dilakukan pencucian sampai bersih untuk menghilangkan sisa kotoran, darah, sisik yang lepas dan juga lendir.
3.4.2.2 Pengasapan

Proses pangasapan diawali dengan pembuatan larutan asap cair sesuai dengan kosentrasi yang telah ditentukan yaitu 1,0%; 1,5 %; 2,0%; dan 2,5%. Cara pembuatan larutan asap cair dengan kosentrasi 1,0 % adalah dengan mengambil 5 ml asap cair kemudian ditambahkan air bersih sampai volume 500 ml. Begitu seterusnya untuk semua kosentrasi larutan asap cair yang digunakan. Ikan yang telah ditiriskan kemudian direndam di dalam asap cair dengan konsentrasi yang telah ditentukan selama 30 menit dengan perbandingan 2 ekor ikan dalam 500 ml larutan asap cair. Kemudian ikan ditiriskan sampai permukaannya mengering.
3.4.2.3 Pengeringan

Setelah ditiriskan sampai permukaan kulit ikan mengering, tahapan berikutnya adalah proses pengeringan ikan di dalam oven. Pengeringan yang digunakan adalah jenis pengeringan panas yaitu menggunakan suhu 40-80o C. Proses pengeringan ini berlangsung dalam 3 tahapan. Tahapan pertama adalah tahap pengeringan awal menggunakan suhu 40o C selama 30 menit. Tahap kedua yaitu tahap pematangan pertama dengan menggunakan suhu 60o C selama 30 menit. Tahapan ketiga yaitu tahap pematangan akhir dengan menggunakan suhu 80o C selama 20 jam. Setelah itu ikan asap yang diperoleh dibiarkan dingin pada udara terbuka dan selanjutnya dilakukan pengemasan.
3.4.2.4 Pengemasan

Ikan nila asap yang telah dingin, dilakukan pengemasan dengan menggunakan plastik polietilen.
3.4.2.5 Penyimpanan

Ikan nila yang telah dikemas dengan plastik polietilen disimpan didalam ruangan penyimpanan selama 15 hari. 3.5 Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini antara lain adalah: 1. Pengamatan terhadap komponen yang terbentuk pada proses pirolisis berupa rendemen asap cair mentah, persentase tar setelah proses pirolisis, persentase arang dan persentase komponen yang hilang. 2. Pengamatan terhadap komponen yang terbentuk pada proses pemurnian asap cair berupa persentase asap cair murni dan persentase tar setelah proses destilasi. 3. Pengujian organoleptik terhadap aroma, rasa dan warna ikan asap.

http://riolharvinosa.blogspot.com/

14/35

4/28/2014

Asap Cair
4. Pengamatan terhadap ikan asap berupa kadar fenol total, 5. Pengamatan terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, uji mikroorganisme angka lempeng total dilakukan pada satu produk yang paling disukai secara organoleptik. 3.5.1 Persentase Komponen yang Terbentuk pada Proses Pirolisis 3.5.1.1 Persentase Rendemen Asap Cair Mentah Persentase nilai rendemen yang dihasilkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Rendemen asap cair mentah (%) =

3.5.1.2 Persentase Tar Persentase jumlah tar yang dihasilkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Tar (%) = 3.5.1.3 Persentase Arang Persentase jumlah arang yang dihasilkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Arang (%) = 3.5.1.4 Persentase Komponen yang hilang Persentase jumlah komponen yang hilang dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Komponen yang hilang (%) = 100% - (%asap cair mentah termasuk tar + %arang) 3.5.2 Persentase Komponen yang terbentuk pada Proses Pemurnian Asap Cair 5.5.2.1 Persentase Asap Cair Murni Persentase jumlah asap cair murni yang dihasilkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Asap cair murni (%) = 3.5.3 Analisis Ikan Nila Asap

3.5.3.1 Persiapan Ikan Asap untuk Analisis Ikan asap yang telah dibuat dihancurkan seluruh bagian tubuhnya termasuk kepala, tulang, ekor dll sampai halus dengan menggunakan blender. Selanjutnya diambil sesuai dengan kebutuhan masing-masing analisis. 3.5.3.2 Analisis Kadar Air Metoda Oven (SNI-01-2354.2-2006) 1. Kondisikan oven pada suhu yang akan digunakan hingga mencapai kondisi stabil. 2. Masukkan cawan kosong ke dalam oven minimal 2 jam. 3. Pindahkan cawan kosong ke dalam desikator sekitar 30 menit sampai mencapai suhu ruang dan timbang bobot kosong (Ag). 4. Timbang contoh yang telah dihaluskan sebanyak 2 gram ke dalam cawan (Bg). 5. Masukkan cawan yang telah diisi dengan contoh ke dalam oven 105o C selama 3 jam. 6. Pindahkan cawan dengan menggunakan alat penjepit ke dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang (Cg). 7. Lakukan pengujian minimal duplo (dua kali). Perhitungan :

Kadar air (%) = Dengan : A = berat cawan kosong dinyatakan dalam gram B = berat cawan + contoh awal dinyatakan dalam gram
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 15/35

4/28/2014

Asap Cair

C = berat cawan + contoh kering dinyatakan dalam gram 3.5.3.3 Analisis Kadar Abu (Sudarmadji, 1997) 1. Masukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya sebanyak 2 gram contoh dan arangkan di atas nyala pembakar. 2. Abukan cawan porselen di dalam tanur listrik pada suhu maksimal 550o C sampai pengabuan sempurna.

3. Setelah itu cawan porselen tadi didinginkan dalam desikator. 4. Timbang berat cawan porselen tadi dan hitung kadar abu dengan menggunakan rumus :

Kadar abu (%) =

Dimana : a = berat contoh sebelum diabukan (gram) b = berat contoh ditambah cawan setelah diabukan (gram) c = berat cawan kosong (gram) 3.5.3.4 Penetapan Kadar Fenol Total (Walter Poethke, 1980) 1. Ditimbang sebanyak 1 gram bahan. 2. Diencerkan dengan aquades sampai 100 ml di dalam labu ukur. 3. Diambil 25 ml larutan di atas, ditambahkan dengan 25 ml KBrO3 0,1 N, 1 gram KBr,dan 15 ml HCl 3 N. 4. Campuran tersebut diaduk dan dibiarkan 30 menit dalam ruang gelap. 5. Ditambahkan 1 gram KI yang telah dilarutkan dalam 5 ml air. 6. Iod yang dilepaskan dititrasi dengan larutan thio sulfat 0,1 N menggunakan indikator amilum sampai warna biru hilang. Perhitungan :

Kadar fenol total = 3.5.3.5 Analisis Kadar Protein (Metode Semi Mikro Kjehdahl) (Sudarmadji, 1997) Bahan ditimbang sebanyak 1 gram. Kemudian ditambahkan selenium mix sebanyak 1 gram. Tambahkan asam sulfat pekat sebanyak 15 ml. Dekstruksi selama 2 jam dalam ruang asam sampai menjadi hijau dan jernih. Encerkan hasil dekstruksi dengan labu ukur 100 ml sampai tanda batas. Pipet larutan sebanyak 10 ml dan tambahkan NaOH 30% sebanyak 20 ml, masukkan dalam tabung destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan asam borat 3% sebanyak 10 ml dan indikator MM-MB. Tampung hasil destilasi sampai volume 100 ml (warna hijau muda). Hasil destilasi dititer dengan HCl 0,02 N sampai warna biru. Blanko dikerjakan seperti di atas tanpa contoh. Hasil analisa dapat dicari dengan rumus berikut :

N (%) = Protein (%) = % N x faktor konversi Faktor konversi = 6,25 3.5.3.6 Analisis Kadar Lemak (Metode Soxhlet) (Sudarmadji, 1997) 1. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. 2. Sebanyak 5 gram bahan dalam bentuk tepung dibungkus dengan kertas saring yang sesuai ukurannya, kemudian tutup dengan kapas wol yang bebas lemak. Sebagai alternatif sampel dapat dibungkus dengan kertas saring Hulls. 3. Letakkan timbel atau kertas yang berisi sampel tersebut dalam ekstraksi soxlet yang digunakan. 4. Lakukan refluks selama 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. 5. Destilasi pelarut yang ada di dalam lemak, tampung pelarutnya. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105o C. 6. Setelah dikeringkan sampai berat konstan dan didinginkan dalam desikator, timbang labu lemak tersebut. Berat lemak dihitung :
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 16/35

4/28/2014

Asap Cair

Kadar Lemak (%)

3.5.3.7 Uji Mikrobiologi (Angka Lempeng Total) (SNI-01-2332.3-2006) 1. Timbang contoh sebanyak 5 gram kemudian masukkan dalam wadah steril. 2. Tambahkan 45 ml larutan garam fisiologis dan homogenkan selama 2 menit. Homogenat ini merupakan pengenceran 10-1. 3. Dengan menggunakan pipet steril, ambil 1 ml homogenate di atas dan masukkan ke dalam 9 ml garam fisiologis untuk mendapatkan pengenceran 10-2. 4. Siapkan pengenceran selanjutnya (10-3) dengan mengambil 1 ml contoh pengenceran 10-2 ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan sebanyak minimal 25 kali. 5. 6. Selanjutnya lakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-4, 10-5, sesuai dengan kondisi contoh.

Pipet 1 ml dari setiap pengenceran 10-1, 10-2 dst dan masukkan ke dalam cawan Petri steril. 7. Tambahkan 12 ml-15 ml media PCA yang sudah didinginkan dalam waterbath hingga mencapai suhu 45o C 1o C ke dalam masing-masing cawan yang telah berisi contoh. 8. Supaya media dan contoh tercampur sempurna lakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang serta ke kiri dan ke kanan. 9. Setelah agar menjadi padat, inkubasi cawan tersebut pada posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam 2 jam pada suhu 35o C. 10. Setelah diinkubasi selanjutnya dihitung jumlah koloni yang tumbuh dengan daerah pengamatan 30-300 koloni setiap Petri dengan menggunakan alat digital coloni counter. 11. Jumlah total mikroba adalah banyaknya koloni mikroba yang dihitung dengan coloni counter dikalikan dengan factor pengenceran. Perhitungan : Factor pengenceran (fp) = ml bahan x pengenceran

Jumlah koloni/g bahan

= jumlah koloni pada petri x

3.5.3.8 Uji Organoleptik Uji organoleptik (sensory evaluation) didasarkan atas indera penglihatan, indera peraba, indera penciuman, indera perasa. Uji organoleptik pada ikan nila asap dilakukan dengan menggunakan preference test (uji kesukaan/uji hedonic). Pada uji kesukaan ini panelis diminta tanggapan pribadinya terhadap tingkat kesukaannya terhadap produk. Disamping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonic seperti sangat suka, suka, biasa, kurang suka, dan tidak suka. Skala hedonic dapat juga diubah menjadi skala numeric dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan data numeric ini dapat dilakukan analisis secara statistik. Uji mutu hedonic dilakukan terhadap aroma, rasa dan warna ikan nila asap. Parameter uji diberi skor 1 sampai 5 dan dilakukan dengan 20 orang panelis agak terlatih (terdiri dari golongan mahasiswa THP). Berikut prosedur dari uji organoleptik: 1. Masing-masing sampel diletakkan pada wadah atau piring berwarna putih agar dapat dilihat perbedaan warnanya dengan jelas. Tiap sampel diberi kode dengan bilangan tiga angka yang disusun secara acak. 2. Air minum disediakan untuk mencuci mulut sebelum dan sesudah mencicipi sampel uji. 3. Pengujian ini dilakukan dalam suatu ruangan dimana antara satu panelis dengan panelis lain dibatasi oleh sekat sehingga antar panelis tidak dapat berkomunikasi. 4. Panelis diharapkan tidak dalam keadaan lapar maupun kenyang karena dapat mempengaruhi hasil uji organoleptik terhadap sampel. 5. Kepada panelis diberikan formulir penilaian tingkat kesukaan panelis terhadap sifat organoleptik (contoh formulir pada lampiran 3) 6. Panelis diminta menyatakan tingkat kesukaanya terhadap sampel yang disajikan dengan memberi nilai berupa angka yang terdiri dari angka 1, 2, 3, 4 dan 5 pada setiap kolom sampel yang dianggap sesuai dengan tingkat kesukaan panelis.
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 17/35

4/28/2014

Asap Cair

Pengolahan data uji organoleptik dilakukan dengan cara mentabulasikan semua data yang telah diperoleh dan menentukan nilai mutunya dengan mempersentasekan tingkat kesukaan panelis dari masing-masing kombinasi perlakuan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Komponen yang Terbentuk Setelah Proses Pirolisis Pengamatan terhadap komponen yang terbentuk setelah proses pirolisis dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase komponen yang diperoleh setelah proses pirolisis Komponen Asap cair Tar setelah Komponen yang Arang Bahan Dasar mentah pirolisis hilang (%) (%) (%) (%) 13,90 2,43 75,93 10,17 Batang bambu Kulit batang sagu 11,72 2,60 75,92 12,36 Kayu kulit manis 11,77 2,10 76,07 12,16 Tempurung kelapa 11,63 0,23 79,88 8,49 Tongkol jagung 12,97 3,64 73,21 13,82 Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui rendemen asap cair mentah yang diperoleh dari hasil pirolisis berkisar antara 11,63%-13,90%, tar setelah pirolisis 0,23%-3,64%, arang 73,21%-79,88% dan komponen yang hilang 8,49%-13,82%. Jumlah asap cair yang dihasilkan dari proses pirolisis dari beberapa jenis bahan baku belum maksimal, karena menurut penelitian Darmadji dan Triyudiana (2006), rendemen asap cair yang dihasilkan dari pirolisis tempurung kelapa adalah sebanyak 45,3%. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis bahan baku, kelembaban udara, waktu, suhu pirolisis dan tempat, serta proses pirolisis yang masih belum sempurna, karena setelah proses pirolisis selesai masih terdapat beberapa bagian bahan yang belum mengalami pirolisis sempurna. Selama proses pirolisis bagian yang lebih banyak mendapatkan panas pembakaran adalah bagian bawah dari pirolisator, sehingga bahan yang terdapat pada bagian bawah pirolisator lebih cepat mengalami proses pirolisis atau dapat dikatakan pirolisis berlangsung dengan sempurna. Sedangkan bahan yang terdapat pada bagian atas pirolisator lebih sedikit mendapatkan panas, sehingga bahan yang terdapat pada bagian atas pirolisator lebih lambat mengalami pirolisis atau dapat dikatakan pirolisis belum berlangsung dengan sempurna. Alat pirolisis yang digunakan pada penelitian ini berskala industri yang menampung lebih banyak bahan dasar yang menyebabkan proses pirolisis belum sempurna dan suhu pirolisis belum merata di dalam pirolisator sehingga setelah proses pirolisis selesai masih terdapat beberapa bagian bahan dasar yang belum mengalami pirolisis sempurna. Sedangkan Darmadji dan Triyudiana (2006) menggunakan pirolisator dengan kapasitas laboratorium sehingga rendemen asap cair yang didapat cukup tinggi. Menurut Girrard (1992) cit Pranata (2007), asap cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk karena terjadinya pirolisis tiga komponen kayu yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap telah berhasil diidentifikasi. Komponen yang hilang merupakan komponen yang tersusun dari senyawa yang mudah menguap dan tidak dapat dikondensasikan dengan air pendingin, sehingga tidak dapat tertampung pada penampung destilat pada proses pemurnian (destilasi) (Fatimah, 1998 cit Firmansyah, 2004). Komponen yang hilang tersebut adalah gas CO2 dan sebagian gas-gas yang mudah terbakar, seperti CO, CH4, H2 dan hidrokarbon tingkat rendah lainnya (Tahir, 1992 cit Pranata, 2007). 4.2 Komponen Hasil Proses Pemurnian (Destilasi) Asap Cair Hasil pengamatan terhadap komponen hasil proses pemurnian (destilasi) asap cair pada Suhu 130C dapat dilihat pada Tabel 5.
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 18/35

4/28/2014

Asap Cair

Tabel 5. Persentase komponen hasil proses pemurnian (destilasi) asap cair pada suhu 130C Komponen Bahan dasar Asap cair murni (%) Tar (%) 92,00 5,33 Batang bambu Kulit batang sagu 90,80 3,60 Kayu kulit manis 88,67 6,00 Tempurung kelapa 92,20 2,84 Tongkol jagung 94,27 2,00 Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui rendemen asap cair yang diperoleh setelah proses pemurnian (destilasi) berkisar antara 88,67%-94,27% dan tar 2,00%-6,00%. Bervariasinya rendemen dan tar setelah proses destilasi tergantung dari jenis kayu yang digunakan. Menurut Girrard (1992) cit Pranata (2007), bahwa kandungan senyawa kimia, seperti hemiselulosa, lignin dan selulosa dalam asap cair sangat tergantung pada jenis kayu, temperatur pirolisis dan destilasi. Pirolisis hemiselulosa akan mengalami dekomposisi menjadi furfural dan furan beserta turunannya, lignin menjadi fenol beserta turunannya serta selulosa menjadi tar, air, furan dan fenol serta asam asetat dan turunannya selama proses pirolisis. Menurut Darmaji dan Triyudiana (2006), pemurnian asap cair bertujuan untuk meminimalisir jumlah tar pada asap cair. Pemurnian tersebut dapat dilakukan dengan proses destilasi. Destilasi merupakan proses pemisahan suatu larutan dengan larutan lainnya berdasarkan perbedaan titik didihnya. 4.3 Pengamatan Ikan Nila Asap 4.3.1 Kadar Fenol Ikan Nila Asap Pengamatan terhadap kadar fenol total ikan nila asap dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase kadar fenol total ikan nila asap Konsentrasi Asap Cair Bahan Dasar 1% 1,5% 2% 2,5% 0,02 0,02 0,03 0,02 Batang bambu Kulit batang sagu 0,02 0,01 0,02 0,02 Kayu kulit manis 0,03 0,01 0,06 0,02 Tempurung kelapa 0,02 0,01 0,01 0,02 Tongkol jagung 0,02 0,02 0,02 0,02 Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui kadar fenol total ikan nila asap berkisar antara 0,01%-0,06%. Kandungan fenol pada ikan asap ini berasal dari larutan asap cair yang digunakan pada saat perendaman. Kandungan fenol yang dihasilkan mengalami penurunan dan peningkatan, hal ini disebabkan karena kandungan fenol pada ikan nila asap mengalami penguapan karena proses pengeringan. Menurut Sundari (2008), fenol mempunyai sifat asam, mudah dioksidasi, mudah menguap, sensitif terhadap cahaya dan oksigen, serta bersifat antiseptik. Kadar fenol tersebut akan menurun antara lain dengan perlakuan pencucian, perebusan, dan proses pengolahan lebih lanjut untuk dijadikan produk yang siap dikonsumsi (Sundari, 2008). Girrard (1992) cit Pranata (2007), menyatakan bahwa jumlah batas aman kadar fenol dalam produk pengasapan berkisar dari 0,06 mg/kg sampai 5000 mg/kg atau 0,0006-0,5%. Dilihat dari batas maksimum kadar fenol pada ikan nila asap, maka ikan nila asap yang dihasilkan dari penelitian ini layak untuk dikonsumsi dan sudah memenuhi syarat mutu ikan nila asap. Menurut Tranggono (1996), jenis bahan yang berbeda yang digunakan dalam pembuatan asap cair seperti kayu jati, tempurung kelapa mahoni, kamper dan pohon kelapa mempunyai kadar fenol yang bervariasi yang berkisar antara 2,0%-5,13%. Jenis kayu keras memiliki kandungan fenol yang lebih tinggi dibandingkan jenis kayu lunak (Daun, 1979).

http://riolharvinosa.blogspot.com/

19/35

4/28/2014

Asap Cair

Menurut Girrard (1992) cit Pranata (2007) menjelaskan, bahwa pirolisis hemiselulosa akan mengalami dekomposisi menjadi furfural dan furan beserta turunannya, lignin menjadi fenol beserta turunannya serta selulosa menjadi tar, air, furan dan fenol serta asam asetat dan turunannya selama proses pirolisis. Untuk lebih memperjelas hubungan interaksi antara jenis asap cair yang berbeda dengan perbedaan konsentrasi asap cair yang digunakan terhadap kadar fenol total ikan nila asap dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Histogram uji kadar fenol total ikan nila asap 4.3.2 Uji Organoleptik 4.3.2.1 Aroma Produk ikan nila asap yang dihasilkan telah dilakukan uji organoleptik dengan cara hedonic (uji kesukaan) oleh 20 orang panelis. Nilai kesukaan yang diperoleh melalui uji organoleptik terhadap aroma ikan nila asap dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Persentase nilai aroma ikan nila asap Perlakuan A1B1 (batang bambu, kosentrasi 1%) A1B2 (batang bambu, kosentrasi 1,5%) A1B3 (batang bambu, kosentrasi 2%) A1B4 (batang bambu, kosentrasi 2,5%) A2B1 (kulit batang sagu, kosentrasi 1%) A2B2 (kulit batang sagu, kosentrasi 1,5%) A2B3 (kulit batang sagu, kosentrasi 2%) A2B4 (kulit batang sagu, kosentrasi 2,5%) A3B1 (kayu kulit manis, kosentrasi 1%) A3B2 (kayu kulit manis, kosentrasi 1,5%) A3B3 (kayu kulit manis, kosentrasi 2%) A3B4 (kayu kulit manis, kosentrasi 2,5%) A4B1 (tempurung kelapa, kosentrasi 1%) A4B2 (tempurung kelapa, kosentrasi 1,5%) A4B3 (tempurung kelapa, kosentrasi 2%) A4B4 (tempurung kelapa, kosentrasi 2,5%) A5B1 (tongkol jagung, kosentrasi 1%) A5B2 (tongkol jagung, kosentrasi 1,5%) A5B3 (tongkol jagung, kosentrasi 2%) A5B4 (tongkol jagung, kosentrasi 2,5%)
Ket: S = suka, dan SS = sangat suka

Persentase Nilai Kesukaan S SS Jumlah 35 0 35 50 0 50 20 10 30 20 10 30 70 0 70 55 0 55 35 0 35 55 5 60 60 0 60 55 5 60 45 0 45 60 0 60 65 5 70 55 10 65 60 5 65 60 0 60 25 15 40 35 45 40 5 0 0 40 45 40

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa persentase nilai kesukaan penelis berkisar antara 30-70%. Persentase tertinggi terdapat pada perlakuan A2B1 dan A4B1, yaitu 70%. Persentase nilai tertinggi terhadap produk yang diterima dan yang paling disukai terdapat pada perlakuan A4B1. Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis bahan baku, sehingga komposisi kimia seperti senyawa fenol, karbonil dan asam pada asap cair memberikan aroma yang berbeda satu sama lainnya. Aroma dan rasa pada ikan perlakuan asap cair disebabkan oleh adanya senyawa fenol, karbonil dan asam (Wibowo, 2000). Menurut Girrard (1992) cit Pranata (2007), senyawa fenol, karbonil dan asam berperan dalam memberikan aroma dan rasa asap. Ikan yang baru mengalami proses pengasapan memiliki aroma asap yang lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau apek dan asam (Adawyah 2008). Ikan yang telah diasapi selain lebih awet juga memiliki rasa dan aroma yang sedap. Aroma dan rasa tersebut berasal dari asap yang diberikan. Semakin tinggi konsentrasi asap yang diberikan maka aroma dan rasa asap pada ikan pun akan semakin meningkat (Afrianto dan Liviawaty, 1989).
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 20/35

4/28/2014

Asap Cair

4.3.2.2 Rasa Produk ikan nila asap yang dihasilkan telah dilakukan uji organoleptik dengan cara hedonic (uji kesukaan) oleh 20 orang panelis. Nilai kesukaan yang diperoleh melalui uji organoleptik terhadap rasa ikan nila asap dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase nilai rasa ikan nila asap Persentase Nilai Kesukaan Perlakuan S SS Jumlah 30 5 35 A1B1 (batang bambu, kosentrasi 1%) A1B2 (batang bambu, kosentrasi 1,5%) 25 0 25 A1B3 (batang bambu, kosentrasi 2%) 40 0 40 A1B4 (batang bambu, kosentrasi 2,5%) 35 5 40 A2B1 (kulit batang sagu, kosentrasi 1%) 55 5 60 A2B2 (kulit batang sagu, kosentrasi 1,5%) 45 15 60 A2B3 (kulit batang sagu, kosentrasi 2%) 25 0 25 A2B4 (kulit batang sagu, kosentrasi 2,5%) 50 5 55 A3B1 (kayu kulit manis, kosentrasi 1%) 45 0 45 A3B2 (kayu kulit manis, kosentrasi 1,5%) 50 10 60 A3B3 (kayu kulit manis, kosentrasi 2%) 45 0 45 A3B4 (kayu kulit manis, kosentrasi 2,5%) 60 0 60 A4B1 (tempurung kelapa, kosentrasi 1%) 65 15 80 A4B2 (tempurung kelapa, kosentrasi 1,5%) 50 5 55 A4B3 (tempurung kelapa, kosentrasi 2%) 50 5 55 A4B4 (tempurung kelapa, kosentrasi 2,5%) 75 0 75 A5B1 (tongkol jagung, kosentrasi 1%) 45 15 60 A5B2 (tongkol jagung, kosentrasi 1,5%) 35 10 45 A5B3 (tongkol jagung, kosentrasi 2%) 50 5 55 A5B4 (tongkol jagung, kosentrasi 2,5%) 45 5 50
Ket: S = suka, dan SS = sangat suka

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa persentase nilai kesukaan panelis berkisar antara 25-80%. Persentase tertinggi terdapat pada perlakuan A4B1, yaitu 80%. Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis bahan baku, sehingga komposisi kimia seperti senyawa fenol, karbonil dan asam pada asap cair memberikan rasa yang berbeda satu sama lainnya. Komponen citarasa ikan asap dipengaruhi oleh komponen yang dihasilkan melalui pengasapan. Hal itu berarti pula bahwa rasa dan aroma pada ikan asap tergantung pada jenis kayu yang digunakan. Ikan asap yang bermutu bagus memiliki rasa yang lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai tajam, tanpa rasa getir atau pahit, dan tidak berasa tengik (Adawyah 2008). Maga (1987) menyatakan, bahwa karakteristik flavour pada produk asapan disebabkan oleh adanya komponen fenol, karbonil dan asam yang terabsorbsi pada permukaan produk. 4.3.2.3 Warna Produk ikan nila asap yang dihasilkan telah dilakukan uji organoleptik dengan cara hedonic (uji kesukaan) oleh 20 orang panelis. Nilai kesukaan yang diperoleh melalui uji organoleptik terhadap warna ikan nila asap dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Persentase nilai warna ikan nila asap Persentase Nilai Kesukaan Perlakuan S SS Jumlah 75 5 80 A1B1 (batang bambu, kosentrasi 1%) A1B2 (batang bambu, kosentrasi 1,5%) 35 5 40 A1B3 (batang bambu, kosentrasi 2%) 40 10 50 A1B4 (batang bambu, kosentrasi 2,5%) 40 15 55 A2B1 (kulit batang sagu, kosentrasi 1%) 55 0 55 A2B2 (kulit batang sagu, kosentrasi 1,5%) 60 0 60 A2B3 (kulit batang sagu, kosentrasi 2%) 35 0 35 A2B4 (kulit batang sagu, kosentrasi 2,5%) 30 20 50 A3B1 (kayu kulit manis, kosentrasi 1%) 40 0 40 A3B2 (kayu kulit manis, kosentrasi 1,5%) 75 0 75 A3B3 (kayu kulit manis, kosentrasi 2%) 55 0 55 A3B4 (kayu kulit manis, kosentrasi 2,5%) 65 5 70 A4B1 (tempurung kelapa, kosentrasi 1%) 50 10 60 A4B2 (tempurung kelapa, kosentrasi 1,5%) 35 15 50 A4B3 (tempurung kelapa, kosentrasi 2%) 75 5 80 A4B4 (tempurung kelapa, kosentrasi 2,5%) 45 10 55
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 21/35

4/28/2014

Asap Cair

A5B1 (tongkol jagung, kosentrasi 1%) A5B2 (tongkol jagung, kosentrasi 1,5%) A5B3 (tongkol jagung, kosentrasi 2%) A5B4 (tongkol jagung, kosentrasi 2,5%)
Ket: S = suka, dan SS = sangat suka

35 35 60 70

15 10 0 5

50 45 60 75

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa persentase nilai kesukaan panelis berkisar antara 35-80%. Persentase tertinggi terdapat pada perlakuan A1B1 dan A4B3, yaitu sebesar 80%. Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis bahan baku, sehingga komposisi kimia seperti senyawa fenol dan karbonil pada asap cair memberikan warna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Salah satu efek yang diperoleh dari hasil pengasapan adalah terjadinya pewarnaan (pencoklatan). Perubahan warna tersebut terjadi akibat berlangsungnya reaksi antara komponen fenol dalam asap dengan komponen protein dan gula dalam daging ikan. Selain itu, juga terjadi reaksi maillard antara gugus amino dengan gula dalam daging ikan akibat proses pemanasan selama pengasapan (Winarno 1992). Menurut Ruiter (1979) cit Pranata (2005), karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan warna coklat pada produk asapan. Fenol juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat pada produk yang diasap meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), asap dapat berperan sebagai pemberi warna pada tubuh ikan sehingga ikan yang diawetkan dengan proses pengasapan berwarna kuning keemasan dan dapat membangkitkan selera konsumen untuk menikmatinya. Semakin tinggi konsentrasi asap yang diberikan maka warna ikan pun akan semakin gelap atau kecokelatan. Jadi, dari semua data pengujian organoleptik dapat disimpulkan bahwa persentase nilai kesukaan tertinggi adalah pada perlakuan A4B1, A4B3, A3B2 dan A3B4. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Persentase nilai kesukaan tertinggi uji organoleptik yang paling disukai Persentase Nilai Kesukaan Perlakuan Aroma Rasa Warna (tempurung kelapa, kosentrasi 70 80 60 A4B1 1%) (tempurung kelapa, kosentrasi A4B3 65 55 80 2%) (kayu kulit manis, kosentrasi A3B2 60 40 50 1,5%) (kayu kulit manis, kosentrasi A3B4 60 40 55 2,5%)

Luas (cm2 ) 6,80 6,40 5,87 5,64

Gambar 7. Radar uji organoleptik ikan nila asap yang paling disukai Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui luas uji organoleptik ikan nila asap yang paling disukai berdasarkan aroma, rasa dan warna berkisar antara 5,64-6,80. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan A4B1 (tempurung kelapa, kosentrasi 1%) dengan persentase aroma 70%, rasa 80%, warna 60% dan luas radar 6,80 cm2. Hal ini disebabkan karena perbedaan komposisi kimia dari beberapa jenis bahan dan perbedaan kosentrasi asap cair
http://riolharvinosa.blogspot.com/

yang
22/35

4/28/2014

Asap Cair

digunakan pada waktu perendaman ikan nila, sehingga luas uji organoleptik berbeda satu sama lainnya. Menurut Daun (1979), pengaruh asap cair yang utama adalah perubahan warna, aroma, sifat bakteriosidal, dan sifat antioksidan. Girrard (1992) cit Pranata (2007) juga menambahkan bahwa hemiselulosa akan mengalami dekomposisi menjadi furfural dan furan beserta turunannya, lignin menjadi fenol beserta turunannya serta selulosa menjadi tar, air, furan, fenol serta asam asetat dan turunannya selama proses pirolisis. Senyawa-senyawa yang diperoleh dari pirolisis selulosa, lignin dan hemiselulosa tersebut berperan penting dalam memberikan aroma, rasa dan warna pada produk asapan.

4.3.3 Karakteristik Ikan Nila Asap Dari hasil pengujian organoleptik terhadap ikan nila asap diperoleh produk yang paling disukai, yaitu tempurung kelapa dengan kosentrasi 1% (A4B1). Berikut tabel hasil pengamatan terhadap produk yang paling disukai yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan angka lempeng total. Tabel 11. Data karakterisitik ikan nila asap yang paling disukai Pengamatan Satuan SNI 01.2725.200 Kadar air 14,08 % Maks 60% Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Angka lempeng total sebelum penyimpanan Angka lempeng total setelah penyimpanan 15 hari 7,13 % 51,50 % 34,61 % 9,5 x 104 koloni/gr bahan 1,4 x 106 koloni/gr bahan Maks 1,0 x 105 -

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui hasil analisis kadar air yang diperoleh adalah sebesar 14,08% dan sudah sesuai dengan syarat mutu ikan asap menurut SNI 2725.1.2009 yaitu kadar air ikan hasil pengasapan adalah maksimal 60%. Pada penelitian ini kadar air ikan asap yang dihasilkan lebih rendah karena diharapkan ikan asap yang dihasilkan dalam bentuk kering sehingga daya tahannya dapat lebih lama. Nilai kadar air ini dipengaruhi oleh faktorfaktor selama proses pengasapan, seperti suhu pengasapan, kelembaban udara, jenis dan kondisi bahan bakar, jumlah asap, ketebalan asap serta kecepatan aliran asap di dalam alat pengasapan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi banyaknya asap yang kontak dengan ikan sehingga berpengaruh pula terhadap panas yang diberikan dan banyaknya air yang hilang dari produk. Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Hasil analisis kadar abu yang diperoleh adalah sebesar 7,13% tidak terlalu tinggi, karena semua bagian dari ikan asap digunakan sebagai sampel. Hal ini diduga karena mineral pada bahan pangan umumnya tidak terpengaruh oleh adanya proses pengolahan dan penyimpanan. Hasil analisis kadar protein yang diperoleh adalah sebesar 51,50%. Hasil kadar protein yang diperoleh cukup tinggi. Menurut Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Departemen Kelautan dan Perikanan kandungan protein pada ikan bandeng asap adalah 25,46 %, lele asap adalah 24,18 %. Persentase protein ikan nila asap lebih besar dari persentase protein ikan bendeng asap dan lele asap. Hal ini disebabkan karena ikan nila asap mempunyai kandungan air yang sangat rendah sedangkan kandungan air ikan bandeng asap asap adalah 68,57 % dan lele asap adalah 54,78 % sehingga kandungan nilai gizi ikan yang lainnya menjadi meningkat. Menurut Desrosier (1988) ikan segar sangat mudah mengalami kerusakan atau pembusukan karena ikan mengandung protein yang tinggi yang membuat mikroorganisme
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 23/35

4/28/2014

Asap Cair

dapat berkembang biak dengan baik. Mikrooganisme ini dapat merombak protein pada ikan sehingga ikan menjadi rusak. Darmadji (1996) juga menjelaskan, bahwa asap cair memiliki kandungan senyawa desinfektan yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme penyebab pembusukan yang terdapat dalam tubuh ikan. Sehingga dengan penambahan asap cair diharapkan dapat mempertahankan nilai gizi pada ikan. Hasil analisis kadar lemak yang diperoleh adalah sebesar 34,61%. Hasil kadar protein yang diperoleh cukup tinggi. Menurut Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Departemen Kelautan dan Perikanan kandungan lemak pada ikan bandeng asap adalah 1,72 %, lele asap adalah 8,85 %. Persentase lemak ikan nila asap lebih besar dari persentase protein ikan bendeng asap dan lele asap. Menurut Shahidi (1994), komponen fenol mudah larut dalam lemak maka semakin banyak kadar lemak bahan pangan makin sedap pula aroma asap yang didapat. Ikan mengandung lemak yang tinggi sehingga sangat mudah terokasidasi dan menyebabkan ketengikan pada ikan. Asap cair mengandung senyawa antioksidan yaitu senyawa fenol yang dapat menghambat terjadinya oksidasi lemak pada ikan (Desrosier, 1988). Hasil analisis angka lempeng total sebelum penyimpanan diperoleh sebesar 9,5 x 104 koloni/gr bahan. Hasil analisis ini sesuai dengan standar SNI 2725.1.2009 yaitu jumlah angka lempeng total dari ikan asap maksimal 1,0 x 105 koloni/gr bahan. Sedangkan hasil analisis angka lempeng total setelah penyimpanan 15 hari diperoleh sebesar 1,4 x 106 koloni/gr bahan. Hal ini menunjukkan bahwa selama penyimpanan, jumlah koloni mikroba mengalami peningkatan, karena ikan nila asap memiliki kadar air, kadar protein dan kadar lemak yang cukup tinggi, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dengan baik. Menurur Ridwansyah (2002) cit Himawati (2010), selama penyimpanan, mutu ikan nila asap dapat menurun. Hal ini disebabkan adanya proses oksidasi lemak dan denaturasi protein ikan yang mengandung asam lemak tidak jenuh dan asam amino. Kandungan mineral pada garam seperti zat besi dan magnesium juga ikut berperan dalam mempercepat proses oksidasi lemak. Secara mikrobiologis keberadaan mikroba dalam produk ikan nila asap digunakan sebagai parameter kebusukan untuk melihat tingkat kemundurun mutu produk dan tingkat kelayakannya untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan kerusakan mikrobiologis ini merupakan bentuk kerusakan yang banyak merugikan serta kadang-kadang berbahaya terhadap kesehatan manusia, karena racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang cepat (Muchtadi 2008). Kondisi penyimpanan produk bahan pangan akan mempengaruhi jenis bakteri yang mungkin berkembang dan menyebabkan kerusakan. Penyimpanan suhu ruang dapat mempercepat proses pembusukan. Hal ini disebabkan bakteri yang terdapat pada ikan dapat melakukan metabolisme secara sempurna. Karena aktivitas antimikrobanya, senyawa fenol dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan ragi (Sagoo et al. 2002).

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perbedaan bahan baku pembuatan asap cair dan kosentrasi asap cair dapat diterima panelis secara organoleptik, namun produk yang paling disukai adalah ikan yang telah direndam dalam larutan asap cair dari tempurung kelapa dengan kosentrasi 1% (A4B1) dengan persentase tingkat kesukaan panelis terhadap aroma 70%, rasa 80% dan warna 60%. Hasil pengujian terhadap kadar fenol total terhadap ikan nila asap berkisar 0,010,06% dan layak untuk dikonsumsi karena berada dibawah batas maksimum kadar fenol yang layak konsumsi. Hasil analisa dan pengamatan terhadap produk yang paling disukai, diperoleh kadar fenol 0,02 kadar air 14,08%, kadar abu 7,13%, kadar protein 51,50%, kadar lemak 34,61%, angka lempeng total sebelum penyimpanan 9,5 x 104 koloni/gr bahan dan angka lempeng total setelah 15 hari penyimpanan 1,4 x 105 koloni/gr bahan.

2.

3.

http://riolharvinosa.blogspot.com/

24/35

4/28/2014
5.2.Saran

Asap Cair

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian :
1. Kombinasi pengawetan ikan nila selama waktu perendaman dan waktu penyimpanan seperti pendinginan, pengemasan. 2. Pengaruh perbedaan cara pelapisan asap cair terhadap mutu ikan nila asap. 3. Selain itu, disarankan pula untuk membandingkan antara penggunaan kemasan vakum dan non vakum serta diversifikasi produk pengasapan dengan jenis ikan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : Bumi Aksara. Afrianto, Eddy., dan Evy Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta. Kanisius. 125 hal. Akmar PF dan Kennedy JF. 2001. The potential of oil and sago palm trunk wastes as carbohydrate resource. Wood Sciens and Technology. 35: 467-473. Anonim. 2011. Gambar Batang Bambu. http://google.com. Diakses tanggal 15 November 2011. Anonim. 2011. Gambar Kayu Kulil Manis. http://google.com. Diakses tanggal 15 November 2011. Anonim. 2011. Gambar Kulit Batang Sagu. http://google.com. Diakses tanggal 15 November 2011. Anonim. 2011. Gambar Tempurung Kelapa. http://google.com. Diakses tanggal 15 November 2011. Anonim. 2011. Gambar Tongkol Jagung. http://google.com. Diakses tanggal 15 November 2011. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Departemen Kelautan dan Perikanan. 2010. Database Nilai Gizi Ikan. http://www.bbrp2b.kkp.go.id [8 Maret 2011]. Buckle, K.A.; Edward, R.A.; Fleet, G.H.; Wooton, M. 1987. Ilmu Pangan. UIPress, Jakarta. Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono. Capricorn Indo Consult. (1998). Studi Tentang Agroindustri & Pemasaran Jagung & Kedelai di Indonesia. Darmadji, Purnomo. 1996. Antibakteri Asap Cair Dari Limbah Pertanian. Agritech 16(4) 1922. Yogyakarta Darmadji, Purnomo dan Triyudiana. 2006. Proses Pemurnian Asap Cair dan Simulasi Akumulasi Kadar Benzopyren pada Proses Perendaman Ikan. Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian. Vol.XXVI, No.2 Th. 2006. Daun, H. 1979. Interaction of Wood Smoke Compound and Food. Food Technlogy. 34 (5) : 66 71. Desrosier , Norman. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press. Jakarta. Eklund. M. W., G. A. Pelroy, R. Paranspy, M. E. Peterson and F. M. Teeny. 1982. Inhibition of Clostridium Botulinum Types A and E. Toxin Production by Liquid Smoke and NaCl in Hot Process Smoke Flavoured Fish. J. Food Protect. 45 (10):935 941. Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Firmansyah. 2004. Penggunaan Kombinasi Serbuk Kayu Jati dan Cangkang Telur Ayam pada Produksi Asap Cair. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian Institut pertanian Bogor. Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis Horwood. New York. Gumanti, F. M. 2006. Kajian Sistem Produksi Distilat Asap Tempurung Kelapa dan Pemanfaatannya sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hamdi. 2006. Penelitian Sifat Pengeringan Kayu Kulit Manis (Cinnamomum burmanii BI).
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 25/35

4/28/2014

Asap Cair

Skripsi Fakultas Kehutanan UMSB. Padang. Haras, A. 2004. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman terhadap Mutu Fillet Cakalang (Katsuwonus pelamis L) Asap yang disimpan pada Suhu Kamar . [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Hasbullah. 2001. Ikan Asap (Ikan Sale) Cara Pengasapan Cair. Jakarta. Dewan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Industri Sumatera Barat. Himawati, E. 2010. Pengaruh Penambahan Asap Cair Tempurung Kelapa Destilasi dan Redestilasi terhadap Sifat Kimia, Mikrobiologi, dan Sensoris Ikan Pindang Layang (Decapterus spp) Selama Penyimpanan. [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hollenbeck, C. M. 1997. Novel Concepts in Technology and Design of Machinery for Production and Application of Smoke in the Food Industry. In Advances in Smoking of Foods (A. Rustkowski. Ed.). Oxford. Pergamon Press. Kasim, A. 2001. Sifat fisis dan Mekanis Kayu Kulit Manis sebagai Limbah yang Terbarui dan Peluang Pemanfaatannya. Proseding Seminar Nasional Pertanian Berkelanjutan. 26-27 Januari. Bandar Lampung. Kasim, A. dan Zulmardi. 2002. Ciri Umum dan Struktur Anatomi Kayu Kulit Manis sebagai Limbah Terbarui dari Pengolahan Casiavera. Jurnal STIGMA VOL X No.I. JanuariMaret 2002. Padang. Kiat LJ. 2006. Preparation and characterization of carboxymethyl sago waste and its hydrogel [Tesis]. Malaysia: Universiti Putra Malaysia. Lessart, G dan Chouinard, A. 1980. Bamboo Research in Asia. Proceeding Workshop Singapore. Ottawa Ont. I. D. R. C. Canada. Maga, J.A. 1987. Smoke in Food Processing. CRC Press, Inc. Boca Raton,Florida. Maradjo, M dan Sunarko, S. 1980. Tanaman Bambu. Flora Ind. 7. Mayasari, D. 2011. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Mutu Ikan Nila (Oreochormis niloticus) Asap. [Skripsi]. Universitas Andalas. Padang. Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor : IPB Press. Poernomo, D., Erungan, A.C., dan Haras, A. 2006. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman terhadap Mutu Fillet Cakalang (Katsuwonus pelainis L) Asap yang Disimpan pada Suhu Kamar. Seminar Perikanan Indonesia. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. Poethke, W. 1980. Praktikum der Massanalyse. Thun und Frankfurt (Main). Verlag Harri Deutsch Pranata, J. 2007. Pemanfaatan Sabut dan Tempurung Kelapa serta Cangkang Sawit untuk Pembuatan Asap Cair sebagai Pengawet Makanan Alami. [Skripsi]. Teknik Kimia Universitas Malikussaleh. Lhoksumawe. Rao, S.T.V. 1966. Bamboo and Utilization. The Foer Vol. 92. Ms. Ball Kishen an Co. P. O. New Forest Nehra Dun. Raharjda, S., Suryadarma, P., dan Suluhingtyas, L.S. 2009. Rekayasa Optimasi Teknik Pirolisis Biomassa Jagung untuk Produksi Bahan Tambahan Makanan dan Energi. [Prosidding Seminar Hasil Penelitian]. IPB. Bogor. Rismunandar. 2001. Kayu Kulit Manis, Budi Daya dan Pengolahan. Penebar Swadaya. Depok. Sagoo S, Board R, Roller S. 2002. Chitosan inhibits growth of spoilage microorganisms in chilled pork products. Journal of Food Microbiology, 19 (2-3): 175-182. Setiawan Iwan, Purnomo Darmaji, dan Budi Raharjo. 1997. Pengawetan Ikan Dengan Pencelupan dalam Asap Cair. Skripsi SII. UGM. Yokyakarta. Shahidi F. 1994. Flavor of Meat and Meat Products. New York : Autumn Press. Sudarshan NR, Hoover DG, Knorr D. 1992. Antimicrobial action of chitosan. Singhal RS, Kennedy JF, Gopalakrishnan SM, Kaczmarek Agnieszka, Knill CJ, dan Akmar PF. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palm-derived
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 26/35

4/28/2014

Asap Cair

products. Carbohydr Polym 72: 1-20. SNI (Standar Nasional Indonesia) No. 01-2725. 2009. Ikan Asap. Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) No. 2725.3. 2009. Ikan Asap - Bagian 3 : Penanganan dan Pengolahan. Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) No. 01.2332. 2006. Cara Uji Mikrobiologi- Bagian 3 : Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan. Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) No. 01-2354. 2006. Cara Uji Kimia-Bagian 2 : Penentuan Kadar Air pada Produk Perikanan. Badan Standarisasi Nasional. Smith, A.E. (1986). International Trade in Cloves, Nutmeg, Mace, Cinnamon, Cassia and their Derivatives. TDRI Report G193. 161 pp. London: Tropical Development and Research Institute [now Chatham: Natural Resources Institute]. Soenardi. 1976. Sifat Sifat Kimia Kayu. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sudarmadji, S. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta. Liberty. 160 hal. Suherdi. 1999. Kajian Produksi Kulit Kayu Manis Dari Berbagai Tinggi Tempat di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Sub Balitto Solok Sundari, Tri. 2008. Potensi Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Alternatif Pengganti Hidrogen Peroksida (H2O2) Dalam Pengawetan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis).UNS. Surakarta. Sutoro, Y., Sulaeman, dan Iskandar. (1988). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suyanto, R. 2008. Nila. Jakarta. Penebar Swadaya. 105 hal. Tahir, I. 1992. Pengambilan Asap Cair Secara destilasi Kering Pada Proses Pembuatan Karbon Aktif dari tempurung Kelapa. Skripsi FMIPA UGM. Yogyakarta. Tamaela, P. 2003. Efek Antioksidan Asap Cair Tempurung Kelapa untuk Menghambat Oksidasi Lipida pada Stiek Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap selama Penyimpanan. [Skripsi]. Ambon. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura. Tranggono, Suhardi dan Setiadji, B. 1996. Produksi Asap Cair dan Penggunaanya pada Pengolahan Beberapa Bahan Makanan Khas Indonesia. Laporan Penelitian. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Puspitek. Wibowo, S. 2002. Industri Pengasapan Ikan. Penebar Swadaya. Yogyakarta. Winarno F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Youdi, C., Winlog, Q., Xiuling, L., Jianping, G., and Nimanna. 1985. The Chemicals Compositions of Ten Bamboo Species, dalam Rao, A.N., Dhanarajan, G., C/B. Sastry. October 1985. Recent Recert on Bamboos. Proceedings of the International Bamboo Workshop, The Chinese Academy of Forestyr, Peoples Republic of China. IDRC. China. Zaman, M. 2007. Penanggulangan dan Pemanfaatan Limbah Serbuk Kayu Gergajian melalui Proses Pirolisa. Karya Ilmiah. Politeknik Negeri Sriwijaya.Palembang.

http://riolharvinosa.blogspot.com/

27/35

4/28/2014

Asap Cair

LAMPIRAN

Lampiran 1. Proses pembuatan asap cair (Pranata, 2007)

http://riolharvinosa.blogspot.com/

28/35

4/28/2014

Asap Cair

Lampiran 2. Proses pembuatan ikan nila (Oreochormis niloticus) asap Lampiran 3. Contoh formulir uji organoleptik hedonik Nama Tanggal : :

No panelis : Beri nilai berdasarkan angka yang tertera pada keterangan dari contoh produk yang disajikan Konsentrasi Bahan Warna Rasa Aroma Dasar B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 A0 A1 A2 A3 A4 A5
http://riolharvinosa.blogspot.com/

B4

29/35

4/28/2014

Asap Cair

Produk yang paling disukai Keterangan : 5 = Sangat suka 4 = Suka 3 = Biasa 2 = Kurang suka 1 = Tidak Suka

Lampiran 4. Syarat mutu ikan asap menurut SNI 2725.1.2009 yang dimodifikasi Jenis Uji Satuan Persyaratan 1. Organoleptik Angka (1-5) Minimal 4
2. Cemaran Mikroba *) a. ALT b. Escherichia coli c. Salmonella d. Vibrio cholerae *) e. Staphylococcus aureus*) 3. Kimia *) a. Kadar Air b. Kadar Histamin c. Kadar Garam

Koloni/gram AMP/gram Per 25 gram Per 25 gram Koloni per gram

Maksimal 1,0 x 105 Maksimal < 3 Negative Negative Maksimal 1,0 x 103

% fraksi massa mg/kg % fraksi massa

Maksimal 60 Maksimal 100 Maksimal 4

Catatan *) Bila Diperlukan Lampiran 5. Kriteria mutu sensoris ikan asap (Adawyah, 2008) Parameter Deskripsi Mutu Ikan Asap Penampakan Permukaan mutu ikan asap cerah, cemerlang dan mengkilap. Apabila kusam dan suram menunjukkan bahwa ikan yang diasap sudah kurang bagus mutunya atau karena perlakuan dan proses pengasapan tidak dilakukan dengan baik dan benar. Tidak tampak adanya kotoran berupa darah yang mengering, sisa isi perut, abu dan kotoran lainnya. Adanya kotoran semacam itu menjadi indikasi kalau pengolahan dan pengasapan ikan tidak baik. Apabila pada permukaan ikan terdapat deposit kristal garam maka hal itu menunjukkan bahwa penggaraman terlalu berat dan tentu rasanya sangat asin.Pada ikan asap tidak tampak tanda-tanda adanya jamur atau lendir. Warna Ikan asap berwarna coklat keemasan, coklat kekuningan, atau coklat agak gelap. Warna ikan asap tersebar merata. Adanya warna kemerahan di sekitar tulang atau berwarna gelap di bagian perut menunjukkan bahwa ikan yang diasap sudah bermutu rendah Bau Bau asap lembut sampai cukup tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam, dan tanpa bau apek Rasa Rasa lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai tajam, tanpa rasa getir atau pahit, dan tidak berasa tengik Tekstur Tekstur kompak, cukup elastis, tidak terlalu keras (kecuali produk tertentu seperti ikan kayu), tidak lembek, tidak rapuh, dan tidak lengket. Hendaknya kulit ikan tidak mudah dikelupas dari dagingnya Lampiran 6. Dokumentasi penenlitian

Gambar alat pirolisator

http://riolharvinosa.blogspot.com/ f_f 2310113129.jpg

30/35

4/28/2014
f_f 2310113129.jpg

Asap Cair

Gambar alat destilasi

IMG2341A

Gambar bahan dasar pembuatan asap cair Dari kiri ke kanan : tempurung kelapa, tongkol jagung, batang bambu, kayu kulit manis, dan kulit batang sagu

Gambar asap cair mentah Dari kiri ke kanan : tempurung kelapa, tongkol jagung, batang bambu, kayu kulit manis, dan kulit batang sagu

http://riolharvinosa.blogspot.com/

31/35

4/28/2014

Asap Cair

Gambar asap Dari kiri ke kanan : tempurung kelapa, tongkol jagung, batang bambu, kayu kulit manis, dan kulit batang sagu

cair setelah destilasi pada suhu 130 o C

08032012126

Gambar tar segar

Gambar ikan nila

http://riolharvinosa.blogspot.com/

32/35

4/28/2014

Asap Cair

Gambar perendaman ikan dalam larutan asap cair

Gambar ikan sebelum dikeringkan

http://riolharvinosa.blogspot.com/

33/35

4/28/2014

Asap Cair

Gambar ikan setelah dikeringkan

Gambar Ikan nila asap Lampiran 7. Syarat Perhitungan Koloni Menurut SPC (Fardiaz, 1993) 1. Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 30 dan 300. 2. 3. Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan satu kumpulan koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan, dapat dihitung sebagai satu koloni. Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung sebagai satu koloni.

Data yang dilaporkan sebagai SPC (Standar Plate Count) harus mengikuti peraturanperaturan sebagai berikut : 1. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama di depan koma dan angka kedua di belakang koma. Jika angka yang ketiga sama dengan atau lebih besar

dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua. 2. Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan angka kurang dari 30 koloni pada cawan Petri, hanya jumlah koloni pada pengenceran terendah yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan dalam tanda kurung. 3. Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni pada cawan perti, hanya jumlah koloni pada pengenceran yang tertinggi yang dihitung, misalnya dengan cara menghitung jumlahnya pada bagian cawan Petri, kemudian hasilnya dikalikan empat. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan dalam tanda kurung. 4. Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30 dan 300 dan perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil atau sama dengan 2, tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah
http://riolharvinosa.blogspot.com/ 34/35

4/28/2014

Asap Cair

5.

lebih besar dari 2, yang dilaporkan hanya hasil yang terkecil. Jika digunakan 2 cawan Petri (duplo) perpengenceran , data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu, meskipun salah satu dari cawan duplo tersebut tidak memenuhi syarat diantara 30 dan 300. Perhitungan : Faktor Pengenceran = Pengenceran x Jumlah yang dibutuhkan

Jumlah Koloni (koloni/gram bahan) = Jumlah Koloni Percawan x 1/FP

Diposkan oleh Rio Lharvinosa di 08.39

4 komentar:

Rekomendasikan ini di Google

Lokasi: Padang, Indonesia

Beranda
Langganan: Entri (Atom)

Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.

http://riolharvinosa.blogspot.com/

35/35

Você também pode gostar