Você está na página 1de 2

Artikel tentang banjir

Ahmad Heryawan
BANJIR SEBAGAI PROSES PENYADARAN
Tuesday, 10 February 2009 14:06
Kerugian banjir di Jakarta dan sekitarnya pada bulan februari 2007 diperkirakan oleh Bappenas
mencapai Rp. 8,8 triliun. Departemen Sosial menyatakan, kerugian harta akibat banjir bandang
di Situbondo dan Bondowoso Provinsi Jawa Timur, pada februari 2008 diperkirakan mencapai
sekitar Rp. 350 miliar. Walhi memperkirakan total kerugian langsung akibat banjir yang melanda
Pulau Sumatera sejak bulan Maret hingga November 2008 mencapai Rp. 500 miliar. Berita-
berita terkait banjir dan kerugiannya yang biasanya menghiasi headline surat kabar ketika musim
penghujan melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Kerugian akibat bencana banjir biasanya
juga menyentuh persoalan interaksi sosial, terhentinya roda perekonomian untuk sementara dan
kadang kala bisa berujung pada terenggutnya korban jiwa.
Ada tiga faktor sangat berpengaruh penyebab banjir terjadi. Pertama kerusakan lingkungan, hal
ini ditandai peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi (pemanasan global).
Para pakar dan ilmuwan lingkungan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga
6,4 derajat Celcius atau setara dengan 2,0 hingga 11,5 derajat fahrenheit antara tahun 1990 dan
2100. Kondisi bumi yang memanas menyebabkan perubahan iklim semakin tidak stabil. Dampak
perubahan iklim bagi Indonesia dapat dirasakan dengan semakin keringnya musim kemarau dan
intensitas air hujan yang semakin tinggi di musim penghujan. Naiknya permukaan air laut
disebabkan dataran es di kutub mencair serta merta membuat abrasi pantai semakin cepat.
Kedua fenomena alam tersebut membuat terbenamnya daratan yang biasanya kering dan dapat
ditinggali oleh manusia atau biasa kita kenal dengan istilah banjir.
Faktor kedua adalah sistem pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan semakin
berpengaruh terhadap kehadiran bencana banjir, seiring dengan kecenderungan semakin
meningkatnya wilayah perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk, terutama di wilayah
perkotaan, berdampak pada peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal dan daya dukung
perkotaan. Meluasnya wilayah pemukiman memiliki pengaruh langsung terhadap berkurangnya
daerah resapan air, karena hampir seluruh permukaan tanah berganti dengan aspal atau beton.
Kondisi tersebut diperparah dengan penataan bangunan dan wilayah yang kurang
memperhatikan sistem pembungan air. Kekurang ketersediaan pepohonan yang dapat berfungsi
sebagai peresapan air merupakan kombinasi yang semakin sempurna untuk mendatangkan
bencana banjir. Hampir sebagian besar kota-kota besar di Indonesia belum memiliki sistem
drainase yang terpadu.
Faktor ketiga yang lebih penting dari kedua faktor diatas adalah perilaku manusia. Perbedaan
mencolok antara desa dengan kota selain dilihat dari tingkat kepadatannya adalah pola hidup.
Orang di desa lebih mampu bersahabat dengan alam sekitarnya sedangkan di kota seringkali
tidak menghiraukan aspek lingkungan. Buktinya adalah di kota-kota besar, gedung bertingkat
dan jalanan beton menggusur tanah- tanah resapan air, bahkan situ atau danau ditimbun
kemudian dibangun mall. Keegoisan manusia telah menyebabkan bencana banjir selalu dekat
dengan kehidupan kita.
Industrialisasi juga berawal dari kota, ditandai dengan bangunan pabrik-pabrik penggerak roda
ekonomi , sehingga menjadikan kota juga sebagai penghasil polusi. Karena berbagai alasan
orang dikota lebih senang mempergunakan kendaraan bermotor sehingga menghasilkan polusi
lebih besar lagi. Pada satu titik tertentu, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida
(CO2) ke udara jauh melebihi kecepatan dan kemampuan alam untuk menguranginya. Hal
tersebut telah berkontribusi kepada perubahan iklim yang semakin tidak bersahabat terhadap
manusia.
Tingkah laku manusia yang mengesankan keegoisannya terhadap alam juga dapat dilihat dari
persoalan sampah yang berada pada sungai-sungai. Perilaku manusia dalam sistem
pembuangan sampah juga memiliki andil dalam kehadiran bencana banjir. Setidaknya Walhi
mencatat bahwa pada tahun 2000, kota Jakarta menghasilkan 25.700 m3 sampah per hari.
Sehingga volume sampah selama tahun 2000 dapat mencapai 170 kali besar Candi Borobudur
(volume Candi Borobudur adalah 55.000 m3). Perilaku membuang sampah sembarangan telah
berakibat pada terganggunya sistem pembuangan air dan pada gilirannya ketika musim hujan
tiba akan mengakibatkan tergenangnya area di sekitar saluran air yang terhambat tersebut.
Keegoisan tingkah laku manusia lainnya yang berkontribusi terhadap bencana banjir adalah
pengrusakan alam secara membabi buta. Atas nama keuntungan pribadi seringkali hutan kita
ditebang secara serampangan dan melupakan upaya penanaman kembali. Padahal pohon
tersebut memiliki peran sebagai penyerap dan penahan air yang tidak dapat fungsinya
digantikan oleh apapun. Selain itu pepohonan juga dapat berfungsi sebagai para-paru alam.
Situasi yang cukup mengenaskan adalah adanya fakta tentang penggundulan hutan di sekitar
daerah aliran sungai. Jadi sebenarnya penyebab kerusakan di bumi adalah ulah manusia dan
yang akan merasakan dampaknya adalah manusia juga.
Sebelum kepunahan ras manusia akibat dari perilaku manusia, terutama terkait dengan
persahabatannya dengan alam, maka perlu langkah-langkah sistematis untuk menghadapi
ketiga faktor penyebab utama bencana banjir. Persoalan tersulit sepertinya adalah bagaimana
merubah tingkah laku manusia supaya dapat menciptakan keharmonian dengan alam. Merubah
perilaku manusia secara keseluruhan sebenarnya dapat dimulai dengan mencobanya pada diri
kita sendiri. Setelah itu, kita pun harus mulai bisa berperan memberikan penyadaran kepada
masyarakat di sekitar kita. Sebagai mahluk sosial, tentunya manusia dapat mengupayakan
sesuatu yang lebih besar lagi bagi kehidupan yang lebih baik. Manusia pun mampu untuk
merencanakan sebuah sistem pengendalian banjir yang lebih terpadu dan memperhatikan
keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Kita pun dapat berupaya untuk
menghasilkan generasi yang ramah terhadap alam.
Untuk menciptakan manusia yang bersahabat dengan alam, pastinya harus melibatkan alam
dalam kegiatan belajar mengajar. Ilmu pengetahuan biologi, ekologi, geografi, fisika, kimia dan
lain sebagainya dapat memberikan pemahaman kepada murid tentang banjir yang kerap terjadi
ketika musim penghujan. Akan tetapi kebanyakan proses belajar hanya sebatas penyampaian
informasi seperti di kelas. Padahal menurut penganut behaviourisme, seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Bloom (1956) seperti
memperkuat pendapat kaum behaviour melalui taksonomi tujuan pendidikan yang memandang
belajar itu harus meliputi tiga aspek yaitu kognitif (intelektual), afektif (emosi) serta psikomotor
(perilaku).
Konklusi sederhananya jika manusia belum mampu bersahabat dengan alam lingkungannya
bahkan perilakunya merusak dan menyebabkan bencana, dapat saya katakan bahwa proses
belajar tesebut telah gagal. Mungkin selama ini metode yang dipergunakan hanya sebatas
ceramah dan menghapal rumus semata. Perubahan perilaku hidup yang ramah lingkungan
bukan dibuktikan dengan teori maupun rumus semata tetapi dengan tingkah laku. Pendekatan
metode pembelajaran dengan mengedepankan ranah afektif dan psikomotor harus lebih
diutamakan.
Metode live in adalah cara mengajar dengan memperkenalkan siswa terhadap objek belajar
seperti sungai kemudian mencoba mempraktekkan pola hidup yang ramah terhadap lingkungan.
Siswa berproses membangun makna atau pemahaman terhadap informasi dan pengalaman
dengan dibantu oleh seorang guru (tutor). Pengajaran seperti ini mungkin dapat diterapkan pada
berbagai kampung wisata atau pun sekolah alam. Penyadaran seperti ini yang akan mengubah
perilaku manusia dalam memperlakukan alam dengan bijaksana sehingga bencana banjir dapat
direduksi.
Sumber: http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/1676-banjir-sebagai-proses-
penyadaran.html
Tinggalkan sebuah Komentar
_memang benar sekali kebanyakan bencana alam banjir ini d akibatkan ulah manusia juga yang
lalai dalam menjaga lingkungan sekitar,diantarnya dalam membuang sampah sembarangan,dan
menebang pohon tanpa adanya reboisasi kembali.

Você também pode gostar