Você está na página 1de 2

Pada tanggal 27 Agustus 2012 silam, UNESCO telah resmi menganugerahkan Award

of Excellence 2012 yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang pelestarian warisan
budaya pada rumah adat Mbaru Niang di Desa Wae Rabo, Manggarai, Flores, Nusa
Tenggara Timur sebagai salah satu warisan dunia dalam kategori pelestarian arsitektur
warisan budaya. Penghargaan ini diberikan kepada proyek-proyek konservasi dalam sepuluh
tahun terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun
Mbaru Niang sendiri telah berhasil mengalahkan 42 pesaing lainnya dari 11 negara di
Asia Pasifik, seperti konservasi Masjid Khilingrong di Pakistan, pengairan atau sistem irigasi
tua di India dan kompleks Zhizhusi di Cina. Wae rebo adalah sebuah kampung tradisional di
dusun terpencil. Warga sekecamatan saja masih banyak yang belum mengenal kampung itu
padahal pengunjung asing sudah banyak menghabiskan waktu liburannya di kampung terudik
ini. Wae rebo boleh dibilang dusun internasional yang semakin banyak digemari oleh
wisatawan asing. Namun, disisi lain terdapat sebuah kerhasilan yang patut untuk dibanggakan
dan di apresiasi dari desa tersebut, yaitu hasil pertaniannya. Hasil kerajinan tangan warga,
hasil kopi, vanili dan kulit kayu manis laris sebagai barang cendera mata yang dibawa pulang
oleh wisatawan denga harga yang memuaskan. Hasil buah buahan kebun warga pun tidak
ketinggalan dibeli oleh sang tamu. Warga Wae Rebo sangat berterima kasih kepada pelaku
wisata yang memasarkan Wae Rebo, baik di dalam maupun di luar negeri.
Wae rebo terletak di desa satar lenda, kecamatan satarmese barat, kabupaten
manggarai, propinsi nusa tenggara timur. Hawanya cukup dingin, berada di ketinggian 1100
m di atas permukaan air laut. Kampung wae rebo diapit oleh gunung, hutan lebat dan berada
jauh dari kampung kampung tetangga. Kampung wae rebo dikukuhkan oleh enklave sejak
masa penjajahan belanda. Tampak dari kejauhan berdiri tujuh buah kecurut yang berwana
kehitaman. Desa ini diperkirakan telah berusia lebih dari 1.000 tahun. Selama ini, Mbaru
Niang sangat terisolir dari dunia luar. Kenyataanya, masyarakat masih sulit untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Medan ke perkampungan tersebut pun terbilang sangat
sulit dan akses jalan yang masih minim. Butuh waktu perjalanan empat jam lebih dengan
berjalan kaki untuk bisa tiba di kampung Mbaru Niang dari akses jalan raya terdekat. Banyak
hal yang kurang terpenuhi dalam desa itu, seperti bahan makanan yaitu, beras harus diimpor
dari kampung tetangga. Untuk mendapat pelayanan kesehatan dan kebutuhan pendidikan bagi
anak anak, harus keluar dari Wae Rebo. Untuk menjual hasil kebun harus berjalan kaki ke
pasar sejauh 15 km. Warga tidak pernah berjalan lenggang. Keluar dan masuk Wae Rebo
selalu ada beban di pundak 15 kg, baik bagi pria maupun wanita.
Keberhasilan ini adalah lompatan yang mengejutkan, mengingat Wae Rebo belum
banyak dibicarakan hingga empat tahun yang lalu. Wae Rebo bisa dibilang sebagai spesies
langka. Tidak banyak tersisa rumah kerucut di Flores, yang adalah rumah adat suku
Manggarai. Tetapi ia juga bukan sekedar bentuk. Penduduk setempat masih mempertahankan
keutuhan tradisi setempat, yang kemudian membuat bentuk menjadi berarti.
Pada awal mulanya Maro, secara turun temurun nenek moyang orang Wae Rebo
menuturkan bahwa, Maro adalah orang pertama yang tinggal dan menetap di Wae Rebo.
Kampung Wae Rebo saat ini sudah memasuki generasi ke 18. Satu generasi mencapai usia
60 tahun, sehingga usia kampung Wae Rebo saat ini 108 tahun. Jumlah kepala keluarga
hingga tahun 2009 mencapai 88 kepala keluarga atau 1. 200 jiwa.
Masyarakat Desa Wae Rebo cukup sensitif terhadap panen. Mereka memandang
tanah dan alam sekitar sama seperti manusia, sama-sama mahluk hidup, sama-sama harus
dihormati. Sebelum bercocok tanam, masyarakat Desa Wae Rebo melakukan ritual khusus
untuk menghormati kekayaan alam di sekitar mereka. Kekayaan budaya di Desa Wae Rebo
menjadi magnet bagi para turis di Flores.
Selain merasakan kehidupan sederhana masyarakat setempat, wisatawan juga bisa
membeli oleh-oleh khas berupa sarung tenun. Harganya sekitar Rp 300.000-400.000. Tidak
terlalu mahal, mengingat kain ini dibuat dengan bahan dan alat-alat tradisional.
Salah satu hal yang menarik dari Desa Wae Rebo adalah rumah adatnya yang
berbentuk kerucut dan atapnya terbuat dari daun lontar. Rumah adat yang disebut mbaru
niang ini sepintas mirip dengan honai yang ada di Papua. Namun, yang membedakan adalah
bentuk atap rumah Wae Rebo lebih kerucut dengan atap yang memanjang sampai menyentuh
tanah.
Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan proyek
pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya mengayomi isu-isu
konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal.

Kontruksi Rumah Adat Mbaru Niang
Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, melingkar, dan berpusat di tengah diyakini
melambangkan persaudaraan yang yang pernah putus di Wae Rebo dengan leluhur mereka
sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya, memang warga Wae Rebo tidak melupakan
leluhurnya seperti yang tertuang dalam ungkapan neka hemong kuni agu kalo, yang
bermakna jangan lupakan tanah kelahiran.
Proses pembangunan rumah ini adalah tanpa menggunakan paku, melainkan dengan
konsep pasak dan pen, dan diikat dengan rotan sebagai penguat setiap tulang fondasinya.
Menurut cerita dari masyarakat ini, banyak sekali arsitek Indonesia dan luar negeri yang
datang dan menginap untuk mempelajari konsep rumah adat Wae Rebo ini. Rumah adat
Mbaru Niang ini merupakan bangunan terdiri dari 5 lantai dengan bentuk mengerucut keatas.
Urutan dan fungsi dari tiap susunan lantai rumah adat Mabru Niang:
1. Lutur atau tenda lantai dasar, yaitu tingkat satu yang digunakan sebagai tempat
tinggal sang penghuni.
2. Lobo yaitu tingkat dua yang berfungsi sebagai gudang tempat menyimpan bahan
makanan dan barang.
3. Lentar yaitu tingkat tiga berfungsi untuk menyimpan benih tanaman untuk bercocok
tanam.
4. Lempa Rae yaitu tingkat empat berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan stok
cadangan makanan yang berguna disaat paceklik atau gagal panen.
5. Hekang Kodeyaitu tingkat lima berfungsi sebagai tempat sesajen untuk para leluhur
mereka.

Yang perlu kita ketahui dari desa Wae Rebo Flores NTT:
Rumah Adat Flores Mbaru Niang Mendapatkan Penghargaan dari UNESCO sebagai
salah satu cagar budaya dunia yang selalu terjaga dengan baik.
Desa sangat terpencil hampir tidak semua perkampungan tetangga mengetahui
keberadaannya karena lokasi yang sangat berjahuan.
Banyak tourist atau wisatawan asing lebih dulu mengetahui dan lebih sering
menyinggahinya dari pada wisatawan Indonesia.

Você também pode gostar