Você está na página 1de 7

Adab-Adab Berfatwa dan Berijtihad

Posted by admin
2554 clicks
03/04/2002

Memberikan fatwa adalah tugas yang sangat berat, yang tidak mungkin
dilakukan oleh sembarang orang, tapi disayangkan, adanya fenomena yang tidak
sedap dipandang, yaitu kecerobohan atau ketergesa-gesaan sebagian pemula
dalam menuntut ilmu untuk memberikan fatwa dalam masalah agama, dan
mulai mengeluarkan pendapatnya sendiri, sedangkan para salafussholah saling
menghindar dan mendahulukan ulama lain untuk memberikan fatwa karena
waraknya, agar terlepas dari dosa dan kesalahan.

oleh : Syeikh Bin Baz, Syeikh Ibnu Utsaimin -rahimahullah- dll.

1. Hukum tergesa-gesa dalam memberikan fatwa dari kalangan masyarakat umum

Pertanyaan : Tatkala persoalan agama dikemukakan, masyarakat umum saling berlomba


-jika mereka berada dalam satu majlis- untuk berfatwa dan mengemukakan pendapatnya
dalam masalah tersebut pada umumnya tidak dengan ilmu. Apa komentarmu hai Syeikh
yang mulia terhadap fonomena ini ? Apa ini termasuk dalam perbuatan mendahului Allah
dan Rasul-Nya ?

Jawaban : Sebagaimana yang diketahui, bahwa seseorang tidak boleh berbicara pada
agama Allah tanpa dengan ilmu, karena Allah Taala berfirman :

Artinya : katakanlah : Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S.7;33).

Dan wajib bagi seseorang untuk wara dan takut terhadap perbuatan berbicara tentang
Allah tanpa dengan ilmu. Permasalahan ini bukan termasuk urusan dunia, yang mana akal
memiliki posisi didalamnya, kalau seandainya urursan itu merupakan permasalahan dunia,
yang mana akal memiliki posisi di dalamnya, sepatutnya manusia itu berhati-hati, dan
tidak terburu-buru. Mungkin saja, jawaban yang ada pada dirinya, dijawab oleh orang
lain. Maka dia bagaikan hakim di antara dua jawaban. Dan perkatannya menjadi kata
pemutus (penutup). Betapa banyak manusia berbicara dengan pendapatnya, yakni selain
dalam masalah–masalah agama, jika dia tidak terburu-buru dan mundur sedikit, tampak
baginya kebenaran yang belum pernah terlintas di pikirannya – karena banyaknya
pendapat yang didengarkan–. Oleh karena ini, maka saya menasehati setiap orang, agar
dia mampu menjadi orang yang paling terakhir berbicara, supaya dia bisa menjadi
penengah di antara pendapat yang banyak. Dan supaya dia mendapatkan dari pendapat-
pendapat yang berbeda itu, pandangan yang belum jelas, sebelum mendengarkan
pendapat-pendapat tadi. Ini hal-hal yang berhubungan dengan urusan dunia. Adapun yang
berhubungan dengan urusan agama, seseorang sama sekali tidak boleh berbicara, kecuali
dengan ilmu yang ia ketahui dari Kitab Allah dan sunnah Rasul-nya atau dari perkataan
ahli ilmu (para ulama).

Dijawab oleh : Syeikh Ibnu Utsaimin di kitab : Alfaazh wa mafaahim fi mizaanis Syariah
hal : 44-46.

2 . Kapan perbedaan pendapat itu bisa diakui.

Pertanyaan : Kapan perbedaan dalam perkara agama baru diakui ? Apakah perbedaan itu
terdapat pada setiap masalah atau pada tempat-tempat tertentu ? Kami mengharapkan
penjelasannya.

Jawaban : Sebelumnya, ketahuilah sesungguhnya persilisihan ulama ummat Islam ini,


apabila timbul dari hasil ijtihad, maka hal itu tidak membahayakan orang yang belum
menemukan kebenaran. Karena Nabi bersabda :

Artinya : Apabila seorang hakim memutuskan, lalu dia berijtihad dan dia benar (dalam
ijtihadnya) maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia salah (dalam ijtihadnya)
maka dia mendapatkan satu pahala. (H.R. Bukhari di kitab Itishom, no : 7352).

Akan tetapi barang siapa yang jelas baginya kebenaran, maka dia wajib untuk mengikuti
kebenaran itu, bagaimanapun keadaannya. Perselisihan yang terjadi di kalangan ulama
ummat Islam ini, tidak boleh dijadikan sebagai penyebab persilisihan hati, karena
perselisihan hati itu menimbulkan kerusakkan-kerusakkan yang besar sekali, sebagaimana
firman Allah :

Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi


gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah . Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar. (Q.S.8;46).

Perbedaan yang diakui kalangan ulama – yang selalu dinukil dan sebut-sebut – adalah
perbedaan yang mempunyai kedudukan dalam pandangan. Oleh karena ini, masyarakat
umum wajib merujuk kepada ahli ilmu (ulama) seperti yang difirmankan Allah :

Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.(Q.S.16;43).

Adapun pernyataan penanya : Apakah perbedaan itu terdapat pada setiap masalah ?
Kenyataannya bukan seperti itu, perbedaan kadang-kadang terdapat pada sebahagian
masalah, dan sebahagian yang lain telah disepakati, tidak ada perbedaan - Alhamdulillah
–. Akan tetapi pada sebahagian masalah yang di dalamnya terdapat perbedaan ijtihad, atau
sebahagian orang lebih mengetahui daripada yang lain dalam meneliti nas-nas Al Kitab
dan Sunnah, dalam hal seperti inilah terdapat perbedaan. Adapun masalah –masalah
pokok (pokok-pokok agama), maka perbedaan di dalamnya sedikit.

Fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.

3. Sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar.

Pertanyaan : Bagaimana sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar
di kalangan kelompok kelompok dan golongan-golongan ?

Jawaban : Seorang muslim wajib untuk berpegang teguh kepada kebenaran yang
ditunjukkan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasul , dan dia harus mencintai dan memusuhi
karena kebenaran itu. Setiap kelompok atau mazhab yang menyalahi kebenaran,
seseorang harus berlepas diri dari kelompok atau mazhab itu, serta tidak menyetujuinya.
Agama Allah ini satu, agama yang jalan yang lurus, agama yang mengibadati Allah
semata, dan mengikuti Rasul-Nya .

Maka setiap orang muslim wajib berpegang teguh dan konsisten kepada kebenaran ini.
Yaitu taat kepada Allah dan mengikuti ajaran-Nya yang telah dibawa oleh nabi-Nya
Muhammad , serta mengikhlaskannya hanya untuk Allah. Dan tidak memalingkan
sedikitpun dari bentuk ibadah kepada selain daripada Allah . Setiap mazhab yang
menyelisihi hal itu, dan setiap kelompok yang tidak berpegang dengan keyakinan ini,
harus dijauhi, dan berlepas diri darinya serta mengajak pengikutnya kepada kebenaran
dengan argumen-argumen yang syari dan dengan lemah lembut serta memilih cara yang
bermanfaat, dan memahamkan mereka akan kebenaran.

Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab Majmu fatawa wa maqolat mutanawiah (5/157-158).

4. Hukum berijtihat di dalam Islam serta syarat-syarat orang yang berijtihad

Pertanyaan : Apa hukum berijtihad dalam Islam dan Apa syarat syarat orang yang
berijtihad ?

Jawaban : Berijtihad dalam Islam adalah mengeluarkan kemampuan untuk mengetahui


suatu hukum syara berdasarkan dalil-dalil yang syari. Berijtihad ini wajib hukumnya atas
orang yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Karena Allah I berfirman :

Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.(Q.S.16;43).

Orang yang mampu untuk berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui kebenaran


dengan dirinya sendiri. Akan tetapi dia itu harus orang yang luas ilmunya, yang luas
penelitiannya terhadap nas-nas syariyah, yang luas penelitiannya terhadap pokok pokok
dasar yang perlu diperhatikan (usul fiqih), terhadap pendapat-pendapat ulama; supaya dia
itu tidak jatuh ke sesuatu yang menyalahi hal yang di atas.

Karena sebagian dari manusia – penuntut-penuntut ilmu- yang belum mendapatkan ilmu
kecuali sedikit sekali, sudah memposisikan dirinya sebagai orang yang berijtihad
(mujtahid). Anda menemukannya beramal dengan hadits-hadits yang umum, sedangkan
hadits hadits tersebut ada yang mentakhsisnya. Atau beramal dengan hadits-hadits yang
mansukh (hukumnya terhapus) sedangkan dia tidak tahu yang menasikhnya (yang
menghapusnya). Atau beramal dengan hadits-hadits di mana ulama telah sepakat bahwa
hadits-hadits itu bukan atas zhohirnya. Dia tidak mengetahui kesepakatan ulama. Orang
yang seperti ini berada dalam bahaya yang besar.

Seorang yang berijtihad harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dali syariyah. Dia harus
memiliki pengetahuan tentang usul fiqih (pokok dasar fiqh) apabila dia mengetahuinya,
dia mampu mengambil hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Dan dia harus memiliki
pengetahuan tentang kesepakatan ulama, agar dia tidak menyalahi kesepakatan mereka
sedangkan dia tidak menyadarinya.

Apa bila syarat-syarat ini sudah lengkap pada dirinya, maka dia adalah mujtahid (orang
yang boleh berijtihad).

Ijtihad itu bisa dirincikan; jika seseorang berijtihad dalam satu masalah dari beberapa
masalah ilmiah, lalu dia mengkaji dan menelitinya dengan seksama. Maka dia menjadi
mujtahid dalam masalah tersebut.

Atau dalam sub bahasan tertentu seperti sub bahasan thoharah (bersuci), kemudian dia
mengkaji dan menelitinya dengan seksama, maka dia itu mujtahid dalam sub bahasan
tersebut.

Fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.

5. Adap-adap dalam berbeda pendapat

Pertanyaan : Syeikh yang mulia, kebanyakan persilisihan yang terjadi di antara dua orang
dai yang berkecimpung di ladang dakwah yang mengakibatkan kepada kegagalan dan
hilangnya kekuatan, kebanyakannya disebabkan oleh kebodohan tentang adap-adap
persilisihan. Apakah anda bisa memberikan sepatah kata dalam masalah ini.?

Jawaban : Ya. Saya sarankan kepada seluruh saudaraku dari kalangan orang yang
memiliki ilmu dan para dai, untuk memilih cara yang baik, dan lemah lembut dalam
berdakwah dan dalam masalah-masalah yang diperselisihkan di waktu berdiskusi dan
belajar. Dan hendaklah ghairah dan sikap keras tidak membawanya untuk berkata
perkataan yang tidak pantas dikatakan, yang bisa menyebabkan perpecahan, persilisihan,
saling berbencian serta saling berjauhan. Akan tetapi seorang dai, seorang guru dan
seorang pembimbing harus memilih metode–metode yang bermanfaat, harus berlemah-
lembut dalam ucapannya, supaya ucapannya itu diterima, dan supaya hati-hati tidak
berjauhan, sebagaimana Allah firman :

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Alah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka . Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. (Q.S. 3;159)

Dan Allah berfirman kepada Musa dan Harun tatkala Allah mengutus mereka berdua ke
Firaun :
Artinya : Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Q.S 20;44).

Dan Allah berfirman :


Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Q.S.16:125).

Dan berfirman :
Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang
baik, kecuali dengan orang-orang zolim di antara mereka. (Q.S.29;46).

Dan Rasulullah bersabda :


Artinya : Sesungguhnya lemah lembut itu tidak ada pada sesutau kecuali menghiasinya,
dan tidaklah (lemah lembut itu) dicabut dari sesuatu kecuali menjelekkannya
(H.R.Muslim, no:2594).

Dan bersabda :
Artinya : Barang siapa terhalang dari lemah lembut maka dia terhalang dari seluruh
kebaikan. (H.R. Muslim, no: 2592).

Maka seorang dai dan guru harus memilih cara-cara yang baik dan bermanfaat, dan harus
menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras dan kasar itu, kadang-kadang
mengakibatkan kepada tertolaknya kebenaran, dan mengakibatkan kepada persilisihan
yang keras serta perpecahan di antara teman. Tujuan dakwah adalah menjelaskan
kebenaran dan berambisi supaya dia menerimanya dan mendapatkan faidah dari dakwah
itu. Bukan tujuan dakwah itu, menampakkan (memamerkan) keilmuan anda dan
menampakkan bahwa anda-lah orang yang berdakwah kepada jalan Allah dan anda yang
berghairah (cemburu) kepada agama Allah ini, hanya Allah–lah yang mengetahui isi hati
yang tersembunyi. Hanyasaja tujuan dari dakwah itu adalah anda menyampaikan seruan
Allah dan supaya orang-orang mendapatkan manfaat dari ucapanmu, maka anda harus
mencari faktor-faktor diterimanya dakwah. Dan anda harus menjauhi faktor-faktor
tertolak dan tidak diterimanya dakwah itu.

Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab Majmu fatawa wa maqolat mutanawiah (5/155-156).

6. Hukum berfatwa dan syarat-syarat menjadi mufti


Pertanyaan : Sudah banyak fatwa tersebar, sampai-sampai anak kecil (umurnya yang
muda) berfatwa, maka kami mengharapkan penjelasan tentang syarat-syarat fatwa dan
orang yang memberikan fatwa?

Jawaban : Para salaf –rahimahumullah- selalu saling tolak menolak untuk berfatwa,
karena besarnya permasalahan dan tanggungjawab fatwa itu, serta karena takut kepada
perbuatan berkata tentang Allah tanpa dengan ilmu (pengetahuan). Karena seorang yang
memberikan fatwa itu adalah sebagai penyambung berita (hukum) dari Allah dan
menerangkan tentang syariat Allah. Apabila dia berbicara tentang Allah tanpa ilmu
(pengetahuan), maka dia telah terjerumus dalam suatu perbuatan, yang mana perbuatan itu
adalah saudara kandung syirik. Dengarlah firman Allah :

Artinya : katakanlah : Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S.7;33).

Maka Allah menggandengkan perbuatan berkata tentang Allah (mengada-ada terhadap


Allah) tanpa dengan ilmu, dengan perbuatan syirik. Dan Allah berfirman :

Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yagn kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabanya . (Q.S.17;36).

Maka seseorang itu tidak pantas untuk terburu-buru dalam berfatwa, akan tetapi dia
menunggu, berfikir dan merevisi (pendangannya). Apabila waktu sempit, maka
lontarkanlah masalah itu kepada orang yang lebih berilmu darimu agar kamu selamat dari
perbuatan berkata tentang Allah tanpa dengan ilmu.

Apabila Allah mengetahui dari niatmu, keikhlasan dan keinginan yang baik, maka kamu
akan sampai juga ke tingkat yang kamu inginkan dengan fatwamu itu. Barang siapa
bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan mengangkatnya.
Orang yang berfatwa tanpa dengan ilmu, dia lebih sesat daripada orang yang bodoh.
Karena orang bodoh berkata : Saya tidak tahu. Orang bodoh itu mengetahui kemampuan
(ukuran) dirinya. Konsisten terhadap kejujuran. Adapun orang yang membandingkan
dirinya dengan ulama-ulama ternama, bahkan mungkin dia mendahulukan dirinya
daripada para ulama tersebut, maka dia sesat dan menyesatkan serta salah pada masalah-
masalah yang diketahui oleh penuntut ilmu yang masih kecil, maka perbuatan ini
kerusakannya berat dan bahayanya besar.

Dijawab oleh Syeikh Ibnu Utsaimin di kitab Majmuatu durus wa fatawal haram makki
(3/354-355).

7. Fatwa dan ijtihad.


Pertanyaan : Kapan seorang pemuda berhak untuk berijtihad dan berfatwa?

Jawaban : Sesungguhnya berijtihad dalam masalah-masalah ilmiyah mempunyai syarat-


syarat tertentu. Tidak setiap orang berhak untuk berfatwa dan berbicara dalam masalah –
masalah ilmiyah itu kecuali dengan ilmu dan keahlian serta kemampuan untuk
mengetahui dalil-dalil, kemampuan untuk mengetahui mana yang menjadi nas atau
menjadi zhohir dari dalil dalil tersebut. Dan (mengetahui) shohih dan dhoif; (mengetahui)
nasikh (yang menghapus hukum sebelumnya) dan mansukh (yang terhapus); (mengetahui)
manthuq dan mafhum; (mengetahui) khas dan aam; (mengetahui) muthlaq dan muqayat;
(mengetahui) mujmal dan mubayin, dan harus mempunyai pengalaman yang panjang, dan
mengetahui pembagian-pembagian fiqih dan tempat tempat pembahasan; mengetahui
pendapat-pendapat ulama dan ahli fiqih serta hafal nas-nas atau memahaminya.

Tidak diragukan, sikap berani untuk berfatwa yang bukan dari ahlinya adalah dosa besar
dan berbicara tanpa dengan ilmu, sungguh Allah telah mengancam perbuatan tersebut
(berbicara tanpa dengan ilmu), dengan firman-Nya :

Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan tetrhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara dusta ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung . (Q.S.16;116).

Dan dalam satu hadits :


Artinya : Barang siapa yang berfatwa tidak dengan selektif (berhati-hati) maka dosanya
ditanggung oleh orang memberi fatwa (H.R. Ahmad (2/321), Abu Dawud (3657) dan Ibnu
Majah (53)).

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru untuk berfatwa, dan janganlah dia
berbicara dalam satu masalah kecuali setelah mengetahui sumbernya, dalilnya dan siapa
orang yang telah pernah mengatakan itu sebelumnya. Maka apabila dia bukan ahlinya
(orang yang berhak) untuk itu, semestinya dia memberikan busur panah kepada perautnya
(serahkan pekarjaan itu kepada ahlinya). Dan hendaklah dia itu membatasi dirinya sesuai
yang dia ketahui, dan melakukan apa yang dia dapatkan serta melanjutkan pendidikan dan
mempelajari ilmu fiqih sampai mendapatkan kondisi, yang mana dia sudah berhak untuk
berijtihad. Hanya Allah –lah yang menujukkan kepada kebenaran.

Sumber fatwa : Allukluk almakkin min fatawa syeikh Ibnu Jibrin hal : 72-73.

Alih bahasa : Muhammad Elvi Syam.

[Kontributor : Muhammad Elvi bin Syam, 03 April 2002 ]

Você também pode gostar