Você está na página 1de 5

Awan Hitam Pemerintahan SBY

Oleh: Gun Gun Heryanto*

Penulis adalah Direktur Eksekutif The Political Literacy


Institute
dan Kandidat Doktor Komunikasi UNPAD

Di tengah turbulensi kasus ala mafioso yang diduga melibatkan Anggodo,

oknum kepolisian dan kejaksaan, Presiden SBY telah resmi menjabarkan program

100 hari pemerintahannya, Kamis (5/11). Pengumuman yang seyogianya penting

dan ditunggu ini, bak gelembung air sabun yang hadir lantas menghilang tanpa

impresi apalagi apresiasi publik yang cukup memadai. Nampak ada sikap apatis

yang berkembang di masyarakat, hingga menempatkan prioritas program

pemerintah bukan lagi sebagai prioritas perhatian khalayak. Tentu, hal ini menjadi

sinyal buruk bagi perjalanan pemerintahan SBY jilid II yang baru seumur jagung.

Jika tidak diantisipasi, dapat menjadi noktah hitam yang menempatkan SBY di

titik nadir.

Lima belas program prioritas kinerja 100 hari idealnya berbanding lurus

dengan langkah kongkrit yang bisa menunjukkan bahwa SBY serius membangun

good and clean governance. Masyarakat tentu menyadari bahwa program 100

hari, tidak dalam konteks penuntasan segala masalah negeri ini. Namun, apapun

prioritas yang dicanangkan tidak akan memberi landasan positif bagi performa

pemerintahan SBY, jika tak mampu menghilangkan noktah hitam yang kini mulai

menghiasi pemerintahannya. Kita melihat banyak persoalan krusial yang

berpotensi mengganggu citra dan agenda kerja 100 hari.


Pertama, terjadi paradoks antara prioritas menjadikan pemberantasan mafia

hukum di urutan tertinggi dengan kebijakan yang diambil. Untuk merealisasikan

prioritas pemberantasan hukum, tak cukup hanya dengan menunjukkan langkah-

langkah sloganistik. Misalnya, hanya dengan memperkenalkan kode GM

(ganyang mafia) untuk pengaduan masyarakat mengenai mafia hukum yang akan

dikirim ke PO Box 9949.

Ada banyak momentum yang sesungguhnya bisa digunakan SBY untuk

menunjukkan komitmen kuat upaya pemberantasan mafia hukum, tapi tidak

dioptimalkannya. Satu diantara momentum tersebut adalah kasus rekayasa hukum

dan kriminalisasi pimpinan KPK yang jelas-jelas menggugah perhatian sekaligus

keprihatinan publik. Nampaknya sinyal yang terpancar dari SBY sangat lemah

bahkan nyaris tak terdengar. Sebaliknya opini publik kian mengkristal dan keras

mempertanyakan penyelsaian kasus ini.

Ibarat permainan bola, SBY menerapkan strategi grendel yang

menjemukkan. Pergerakannya konservatif, tak ada terobosan bahkan cenderung

berlindung di belakang tokoh-tokoh yang diterima luas oleh khalayak agar opini

publik tidak langsung menghantamnya. SBY sangat sadar, kasus rekayasa hukum

dan kriminalisasi pimpinan KPK ini merupakan kasus krusial. Hal ini dapat

menjadi kotak pandora bagi terbukanya tindakan korupsi berjamaah lainnya. Kita

tentu masih ingat, saat opini publik keras menghantam SBY soal keluarnya Perpu

Plt Pimpinan Sementara KPK, dengan sangat cerdik SBY membentuk Tim5

sehingga suara keras masyarakat seolah teredam sementara oleh para tokoh yang

tergabung di tim ini.


Begitupun saat publik mulai menuntut langkah kongkret SBY terkait kasus

kriminalisasi pimpinan KPK, strategi yang sama dilakukan SBY dengan

membentuk Tim-8. Tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung di tim tersebut,

harus berjibaku mengurai benang kusut kasus ini. Ujung cerita tim seperti ini pun

sudah bisa diprediksi, yakni sebatas rekomendasi yang sepertinya tak akan banyak

didengar oleh pihak-pihak terkait dengan kasus ini.

Inilah permainan jaga citra ala safety player yang benar-benar menjemukan.

Belum genap 100 hari pemerintahan SBY-Boediono berjalan, pesimisme publik

kian menguat. Protes ketidakpuasan semakin aktual, dimulai dari ruang maya

(virtual) seperti di Facebook, Twitter, Netlog, milist, blog hingga merebak

menjadi gerakan massa di jalanan. Kini, hampir setiap hari kita saksikan

demonstrasi terkait desakan penyelsaian masalah Anggodo dkk, tak hanya di

Jakarta melainkan juga di kota-kota lain.

Kedua, SBY mempraktikkan presidensialisme setengah hati. Berbagai

prioritas program 100 hari tidak hanya bergantung pada bagusnya konsep tapi

juga pada pelaksananya. Ironis memang, presiden yang memiliki sumberdaya

politik meyakinkan gagal membentuk zaken kabinet sebagai prasyarat

optimalisasi program-program prioritas tadi. Seperti kita ketahui, SBY

mengantongi dukungan 60,80 % suara dalam Pilpres, kurang lebih 423 anggota

DPR potensial berada di belakangnya, dukungan kaum teknorat ekonomi hingga

dukungan dari luar negeri terutama Amerika yang memadai. Sumberdaya politik

tersebut bukannya menciptakan akselerasi, justru sebaliknya menjadi kontra

produktif karena kabinet dibangun melalui politik akomodasi.


Kita menghargai pilihan SBY saat memilih para pembantunya sebagai

bentuk hak prerogatif presiden sekaligus konsekuensi presidesialisme. Kita juga

menaruh hormat pada pernyataan SBY beberapa waktu lalu, bahwa harus ada

monoloyalitas para menteri terhadap presiden. Persoalannya, mengapa dalam

praktikknya SBY tak tegas melarang para menterinya untuk merangkap jabatan di

partai politik?

Prioritas Krisis

Dalam manajemen krisis seperti sekarang ini, diperlukan langkah-langkah

terobosan yang harus dilakukan oleh SBY untuk menumbuhkan kembali

kepercayaan publik pada pemerintahannya.

Pertama, ada keberanian SBY untuk menunjukkan kepada publik bahwa

saat nama baik RI-1 dicemarkan SBY harus melakukan upaya hukum, jangan

membiarkan kasus ini. Kedua, SBY harus menjamin bahwa hasil kerja Tim-8 tak

akan sia-sia. Berbagai fakta yang nantinya akan mengerucut pada rekomendasi,

jangan hanya berhenti di meja Presiden. Tim-8 bukan bekerja untuk sebuah

program realityshow yang bisa meninabobokan rakyat, melainkan bertujuan

menemukan kebenaran guna memenuhi rasa keadilan masyarakat. Rekomendasi

harus kuat dan mengikat.

Ketiga, SBY harus berani melakukan reformasi birokrasi. Oknum kepolisian

dan kejaksaan yang terlibat ditindak, bahkan Kapolri dan Jaksa Agung harus

diganti. SBY juga harus tegas bahwa seluruh menteri di kabinet tak boleh lagi

menduakan waktu dan loyalitas mereka dengan tanggungjawab besarnya di partai

politik terlebih jika masih menjabat ketua partai. Performa positif pemerintah
SBY akan muncul dengan sendirinya jika citra dan agenda pemerintah SBY

memberi harapan kuat akan perubahan dan tak melukai rasa keadilan rakyat

Indonesia.

Note: Tulisan ini telah dimuat di KORAN JAKARTA, Rabu 11/11/2009

Você também pode gostar