Você está na página 1de 13

PROSES PASCA PANEN ATAU PENGERINGAN RUMPUT LAUT

Nama : Annisa Dwinda Fatimah


NIM : B1J011082
Kelompok : 8
Rombongan : II
Asisten : Dwi Utami






LAPORAN PRAKTIKUM FIKOLOGI






KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumput laut tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh
melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun
sejati; tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut
tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu,
dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada
tumbuhan lain secara epifitik. Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat
tergantung dari faktor-faktor oseanografi (fisika, kimia, dan pergerakan atau
dinamika air laut) serta jenis substrat dasarnya. Rumput laut mengambil nutrisi
dari sekitarnya secara difusi melalui dinding thallus-nya. Perkembangbiakan
dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kawin antara gamet jantan dan gamet
betina (generatif) serta tidak kawin dengan melalui vegetatif dan konjugatif
(Anggadiredja et al., 2006).
Rumput laut merupakan salah satu potensi sumber daya alam perairan laut
Indonesia. Rumput laut banyak dimanfaatkan dan dipergunakan sebagai bahan
baku karaginan dan agar-agar. Secara ekologi, rumput laut dapat memberikan
banyak manfaat terhadap lingkungan sekitarnya (Indriani dan Sumiarsih, 1991).
Secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8 %), protein (5,4%), karbohidrat
(33,3%), lemak (8,6%), serat (3%) dan abu (22,25%). Rumput laut juga
mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A,B,C,D, E dan K),
makro mineral, seperti: kalsium dan selenium serta mikro mineral, seperti: zat
besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam amino, vitamin dan mineral
rumput laut mencapai 10-20 kali lipat dibandingkan dengan tumbuhan darat
(Rukmi et al., 2012).
Luas perairan laut Indonesia serta keragaman jenis rumput laut merupakan
cerminan dari potensi rumput laut Indonesia. Dari 782 jenis rumput laut di
Indonesia, hanya 18 jenis dari 5 genus (marga) yang telah diperdagangkan. Dari
kelima genus tersebut, hanya genus-genus Eucheuma dan Gracilaria yang telah
dibudidayakan. Produksi rata-rata selama 5 tahun (1995-1999) sebesar 38.000
ton per tahun dipanen dari lahan seluas kurang lebih 2.500 ha (tambak dan laut).
Dengan demikian, baru termanfaatkan sebesar 9,7% saja dari luas potensi lahan
yang ada (Anggadiredja et al., 2006).

B. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui tahapan proses pasca
panen rumput laut serta langkah-langkah pengeringan dan pemutihan.

C. Tinjauan Pustaka
Rumput laut telah banyak dibudidayakan oleh petani rumput laut di
perairan laut di kawasan pesisir. Salah satu dari jenis rumput laut yang dapat
dibudidayakan dan dimanfaatkan sebagai bahan baku industri adalah Gracilaria
sp.. Jenis rumput laut ini sangat mudah untuk dibudidayakan dengan kondisi
lingkungan yang berbeda dengan kondisi perairan di laut, seperti tambak. Kondisi
perairan habitat asli rumput laut memiliki kualitas air yang cukup baik dalam
mendukung kehidupannya. Sementara kondisi tambak memiliki kualitas air yang
fluktuatif dan beragam tingkat kesuburannya. Akan tetapi, Gracilaria sp. dapat
mentolerir kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kondisi aslinya. Rumput
laut dari genus ini dapat mentolerir salinitas terendah 15 g/L dan tertinggi 50 g/L
(Aslan, 1995).
Spesies Gracilaria dimanfaatkan sebagai makanan manusia, kebanyakan
untuk salad dan sup, oleh hewan seperti kerang laut dimanfaatkan sebagai
kandidat potensial, untuk penghilangan nutrisi pada air limbah dan sebagai
biomassa untuk pembangkit energi. Gracilaria juga digunakan sebagai makanan
untuk kerang laut (Sahu and Sahoo, 2013). Gracilaria verrucosa merupakan salah
satu jenis yang sangat popular di masyarakat petani tambak Indonesia.Rumput
laut ini sering dibudidayakan di daerah tambak dengan kondisi air payau.
Pemanfaatan Gracilaria verrucosa sebagai bahan baku agar telah mengarah ke
industri (Sugiyatno, 2010). Usaha budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa
umumnya dilakukan dengan sistem polikultur. Potensi pengembangan budidaya
pola polikultur masih sangat besar karena banyak lahan kosong bekas tambak
udang yang terbengkalai dan tidak termanfaatkan.
Manajemen budidaya Gracilaria verrucosa perlu memperhatikan beberapa
pertimbangan diantaranya faktor biotik dan abiotik serta pengelolaan pasca
panen. Menurut Alamsjah (2012), Kualitas rumput laut sangat ditentukan oleh
kandungan agar. Parameter lain yang juga penting adalah serat, protein dan
lemak. Produksi rumput laut G. verrucosa dari tambak dapat mencapai minimal 1
ton kering ha/periode tanam (4 - 6 minggu). Pada musim hujan pertumbuhan
rumput laut G. verrucosa lambat, sehingga tidak dapat berproduksi dan hanya
dipelihara untuk persediaan bibit. Hal ini disebabkan karena perubahan suhu dan
salinitas air laut yang mengalami penurunan sehingga tidak dapat memenuhi
kriteria suhu dan salinitas yang diharapkan untuk pertumbuhan rumput laut
(Alamsjah et al., 2012).

II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah nampan plastik, plastik,
gunting dan selotip.
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah rumput laut
Gracilaria verrucosa dan air tawar.

B. Metode
1. Rumput laut dicuci bersih
2. Rumput laut yang telah dicuci kemudian diletakkan ke dalam nampan plastik
3. Nampan yang berisi rumput laut ditutup rapat menggunakan plastik dan
direndam dalam air tawar selama 2-3 hari
4. Rumput laut yang sudah menjadi putih dijemur di bawah sinar matahari
sampai terjadi perubahan warna thallus menjadi berwarna lebih cerah
(putih)


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Kelompok 5: Penjemuran Langsung Dikeringkan

Gambar 3.1. Rumput Laut Sebelum Gambar 3.2. Rumput Laut Setelah
Dijemur Dijemur
Kelompok 6: Penjemuran dengan Pencucian Air Tawar

Gambar 3.3. Rumput Laut Sebelum Gambar 3.4. Rumput Laut Setelah
Dijemur Dijemur
Kelompok 7: Penjemuran dengan Direndam dengan Kapur Tohor

Gambar 3.5. Rumput Laut Sebelum Gambar 3.6. Rumput Laut Setelah
Dijemur Dijemur
Kelompok 8: Penjemuran dengan Difermentasi atau Didepigmentasi

Gambar 3.7. Rumput Laut Sebelum Gambar 3.8. Rumput Laut Setelah
Dijemur Dijemur

B. Pembahasan
Gracilaria verrucosa merupakan salah satu jenis yang sangat popular di
masyarakat petani tambak Indonesia. Rumput laut ini sering dibudidayakan di
daerah tambak dengan kondisi air payau. Pemanfaatan Gracilaria verrucosa
sebagai bahan baku agar telah mengarah ke industri (Sugiyatno, 2010). Usaha
budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa umumnya dilakukan dengan sistem
polikultur. Akhir dari suatu kegiatan budidaya adalah panen dan pascapanen.
Kualitas dan kuantitas produksi akan baik apabila telah dipersiapkan lokasi yang
benar, pemilihan bibit yang baik, penanaman, dan pemeliharaan dengan cara
yang benar (Anggadiredja et al., 2006).
Ada beberapa metode untuk melakukan proses pengeringan rumput laut
dalam praktikum ini, diantaranya penjemuran langsung dikeringkan, penjemuran
dengan pencucian air tawar, penjemuran dengan direndam dengan kapur tohor,
dan penjemuran dengan difermentasi/didepigmentasi. Kelompok kami
melakukan proses pengeringan dengan cara penjemuran dengan difermentasi.
Menurut Insan dan Widyartini (2001), proses fermentasi merupakan salah satu
proses penanganan pasca panen yang diharapkan dapat menghasilkan
perubahan pada rumput laut yang lebih baik. Perubahan tersebut dapat berupa
perubahan warna, tekstur atau tingkat kelembutan dan struktur atau kandungan
agarnya. Fermentasi bermanfaat untuk memberikan cita rasa terhadap produk
pangan tertentu, mengawetkan produk pangan dan memberikan tekstur
tertentu pada produk pangan. Cara pengeringan dengan difermentasi yaitu
pertama-tama rumput laut dibersihkan, kemudian dibungkus dalam plastik putih
dan direndam dalam air tawar selama 2-3 hari. Setelah rumput laut menjadi
putih, kemudian dijemur selama 2-3 hari. Menurut Anggadiredja (2006), pada
kondisi panas matahari baik, rumput laut akan kering dalam waktu 2-3 hari.
Kadar air pada rumput laut yang harus dicapai dalam pengeringan berkisar 14-
18% untuk jenis Gracilaria sp.
Kualitas rumput laut dipengaruhi oleh tiga hal penting, yaitu teknik
budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen. Sedangkan, Menurut
Alamsjah (2012), Kualitas rumput laut sangat ditentukan oleh kandungan agar.
Parameter lain yang juga penting adalah serat, protein dan lemak. Menurut Salmi
et al (2012), Rumput laut merupakan sumber pangan yang memiliki kandungan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, asam amino dan mineral tinggi. Kandungan
serat dan mineral rumput laut juga lebih tiggi daripada sebagian besar buah dan
sayuran (Sugiyatno et al., 2013). Secara tradisional untuk menyimpan rumput
laut sebanyak 5-10 ton rumput laut dikeringkan di sinar matahari langsung jika
terjadi musim hujan proses pengeringan akan terhambat hingga musim panas
datang lagi (Kaladharan & Kaliaperumal, 1999). Faktor yang mempengaruhi
pascapanen rumput laut antara lain pemilihan lokasi budidaya yang tepat,
penggunaan jenis yang bermutu baik, serta teknik atau metode budidaya yang
tepat. Salah satu faktor yang sangat penting adalah kedalaman penanaman yang
tepat pada saat rumput laut ditanam. Kedalaman penanaman rumput laut perlu
diperhatikan karena kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.
Penanaman rumput laut yang terlalu dalam akan menyebabkan kesulitan dalam
pemeliharaannya sedangkan apabila terlalu dangkal akan menyebabkan rumput
laut terkena sinar matahari langsung. Kedalaman penanaman berhubungan
dengan besarnya penetrasi cahaya matahari yang sangat berperan dalam proses
fotosintesis (Serdiati dan Widiastuti, 2012).
Rumput laut tumbuh hampir di seluruh bagian hidrosfir sampai batas
kedalaman 200 meter. Di kedalaman ini syarat hidup untuk tanaman air masih
memungkinkan. Jenis rumput laut ada yang hidup diperairan tropis, subtropis,
dan diperairan dingin. Di samping itu, ada beberapa jenis yang hidup kosmopolit
seperti Ulva lactuca, Hypnea musciformis, Colpomenia sinuosa, dan Gracilaria
verrucosa (Puncomulyo, 2006). Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut
seperti halnya biota perairan lainnya, sangat dipengaruhi oleh toleransi fisiologi
dari biota tersebut untuk beradaptasi terhadap faktor-faktor lingkungan, seperti
substrat, salinitas, temperature, intensitas cahaya, tekanan, dan nutrisi. Secara
umum, rumput laut dijumpai tumbuh di perairan yang dangkal (intertidal dan
sublitoral) dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur, atau
campuran keduanya. Rumput laut memiliki sifat benthic (melekat) dan disebut
juga benthic algae. Di samping itu, rumput laut juga hidup sebagai fitobentos
dengan cara melekatkan thallus pada substrat pasir, lumpur berpasir, karang,
fragmen karang mati, kulit kerang, batu, atau kayu (Anggadiredja et al., 2006).
Gracilaria verrucosa merupakan anggota kelompok alga merah
(Rhodophyta) dan salah satu komoditas unggulan pada kegiatan revitalisasi
perikanan yang mempunyai pasar prospektif. Permintaan dunia yang cukup
tinggi menyebabkan hasil produksi yang berasal dari alam tidak mencukupi,
sehingga harus dilakukan budidaya rumput laut di Indonesia sekitar 1,2 juta ha,
namun baru termanfaatkan sebanyak 26.700 ha (2,2%) (Amin, 2005). Nama
daerah untuk Gracilaria verrucosa yaitu bulung rambut (Bali) dan sango-sango
(Sulawesi). Ciri-ciri yang dimiliki oleh Gracilaria verrucosa yaitu thallus silindris,
licin, dan berwarna kuning-coklat atau kuning-hijau. Percabangan berseling tidak
beraturan, memusat ke arah pangkal. Cabang lateral memanjang menyerupai
rambut, ukuran panjang sekitar 25 cm dengan diameter thallus 0,5-1,5 mm.
Gracilaria verrucosa tumbuh melekat pada substrat karang di terumbu karang
berarus sedang, di samping juga dapat tumbuh di sekitar muara sungai. Jenis ini
sudah dapat dibudidayakan di tambak, dengan salinitas ideal 20-28 per mil
(Anggadiredja et al., 2006). Gracilaria verrucosa mengandung agar-agar. Rumput
laut tidak hanya mengandung agar-agar dan karaginan, tetapi juga mengandung
pigmen fikobilin, terdiri dari fikoeretrin dan fikosianin, merupakan cadangan
makanan yang berupa karbohidrat (Floridean starch) (Indriani dan Sumiarsih,
1991).
Rumput laut akan bernilai ekonomis setelah mendapat penanganan lebih
lanjut. Penganganan pasca panen rumput laut pada umumnya hanya sampai
pengeringan. Rumput laut kering masih merupakan bahan baku dan harus diolah
kembali. Pengolahan rumput laut kering dapat menghasilkan agar-agar,
karaginan, atau algin tergantung kandungan yang terdapat di dalam rumput laut
(Indriani dan Sumiarsih, 1991). Penanganan pasca panen merupakan kegiatan
atau proses yang dimulai sejak setelah tanaman dipanen, yaitu meliputi
pencucian, pengeringan pembersihan kotoran atau garam (sortasi), pengepakan,
pengangkutan dan penyimpanan. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1991),
langkah-langkah proses pasca panen rumput laut adalah sebagai berikut:
1. Rumput laut dibersihkan dari kotoran, seperti pasir, batu-batuan, kemudian
dipisahkan dari jenis yang satu dengan yang lain.
2. Setelah bersih, rumput dijemur sampai kering. Jika cuaca cukup baik,
penjemuran hanya membutuhkan 3 hari. Agar hasilnya berkualitas tinggi,
rumput laut dijemur di atas para-para dan tidak boleh ditumpuk. Rumput
laut yang telah kering ditandai dengan keluarnya garam.
3. Pencucian dilakukan setelah rumput laut kering. Sebagai bahan baku agar-
agar, rumput laut kering dicuci dengan air tawar, sedangkan untuk diambil
karaginannya dicuci dengan air laut. Setelah bersih, rumput laut dikeringkan
lagi kira-kira satu hari. Kadar air yang diharapkan setelah pengeringan sekitar
28%. Apabila dalam proses pengeringan turun hujan, maka rumput laut
dapat disimpan pada rak-rak. Rumput laut yang diambil karaginannya tidak
boleh terkena air tawar karena air tawar dapat melarutkan karaginan.
4. Rumput laut yang telah kering setelah pengeringan kedua, kemudian diayak
untuk menghilangkan kotoran yang masih tertinggal.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan yaitu:
1. Tahapan proses pascapanen rumput laut terdiri dari pencucian, pengeringan
atau penjemuran, pembersihan kotoran/garam (sortasi), dan penyimpanan.
2. Langkah-langkah proses pejemuran dengan difermentasi terdiri dari
pencucian rumput laut, perendaman dengan air tawar, penjemuran, dan
peyimpanan.

B. Saran
Diperlukan metode pengeringan yang tepat bagi rumput laut Gracilaria
verrucosa agar mendapat hasil yang baik.

DAFTAR REFERENSI
Alamsjah, M. A. 2012. Pengaruh Lama Penyinaran Terhadap Pertumbuhan dan
Klorofil a Gracilaria verrucosa pada Sistem Budidaya Indoor. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan, 1(1): 21-30.
Amin, T, P., Rumayar, Femmi N, F., D. Kemur dan IK Suwitra. 2005. Kajian
Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonni) dengan sistem dan Musim
Tanam yang Berbeda di Kabupaten Bangkep Sulawesi Tengah. Balai
Pengajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah.
Anggadireja, J.T., A. Zatnika, H. Purwoto, dan S. Istini. 2006. Rumput Laut.
Penerbit Swadaya, Jakarta.
Aslan, L. M. 1995. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta.
Indriani, H dan E. Sumiarsih. 1991. Budidaya, Pengelolaan, dan Pemasaran
Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.
Insan, A. I. dan D. S. Widyartini. 2001. Makroalga: Bahan ajar Algologi. Fakultas
Biologi Unsoed, Porwokerto.
Kaladharan, P and N. Kaliaperumal. 1999. Seaweed Industry in India. The Central
Marine Fisheries Research Institute, Kochi-682 a 14, India.
Poncomulyo, T., H. Maryani., L. Kristiani. 2006. Budidaya dan Pengolahan
Rumput Laut. Agromedia, Jakarta.
Rukmi, A.S., Sunaryo, dan A. Djunaedi. 2012. Sistem Budidaya Rumput Laut
Gracilaria verrucosa di Pertambakan dengan Perbedaan Waktu
Perendaman di Dalam Larutan NPK. Journal of Marine Research 1(1): 90-94.
Sahu, N., & Sahoo, D. 2013. Study of Morphology and Agar Contents in Some
Important Gracilaria Species of Indian Coasts. American Journal of Plant
Sciences, 4, 52.
Salmi, A. N., M. Shamsul, Ibrahim., C.O, A. Hasmah. 2012. Proximate
Compositions of Red Seaweed, Gracilaria manilaensis. International Annual
Symposium Sustainability Science and Management. Terengganu:
Malaysia.
Serdiati, N., & Widiastuti, I. M. 2012. Pertumbuhan dan produksi rumput laut
Eucheuma cottonii pada kedalaman penanaman yang berbeda. Media
Litbang Sulteng, 3(1).
Sugiyatno, S., Izzati, M., & Prihastanti, E. 2013. Manajemen Budidaya dan
Pengolahan Pasca Panen Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Study
Kasus: Tambak Desa Mororejo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal.
Jurnal Anatomi FisiologI, 21(2): 42-50.
Sugiyatno. 2010. Interaksi Antara Sistem Budidaya dan Metode Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan Kandungan agar Gracilaria verrucosa (Hudson)
Papenfus. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Você também pode gostar