Você está na página 1de 30

1

KOLPOSKOPI

PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah dan
disembuhkan. Penyakit ini memiliki riwayat tahap lesi pra-kanker yang panjang
yang mudah untuk dideteksi dan diobati.
1
Angka prevalensi untuk neoplasia
intraepitelial serviks (NIS) bervariasi sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi
dan wilayah geografis dari populasi yang diteliti, dari yang terendah 1,05% di
beberapa klinik keluarga berencana sampai tertinggi 13,7%. NIS paling sering
terdeteksi pada wanita berusia 20-an, kejadian puncak karsinoma in situ adalah
pada wanita usia 25-35 tahun, sedangkan kejadian kanker serviks meningkat
paling signifikan setelah usia 40 tahun.
2
Pemeriksaan sitologi serviks tetap
menjadi andalan untuk skrining lesi pra-kanker (neoplasia intraepithelial serviks,
NIS). Seorang perempuan dengan sitologi serviks yang abnormal dan terapi utama
yang sesuai untuknya terutama bergantung pada kesan kolposkopi pada zona
transformasi serviks dan penilaian histologis melalui biopsi.
1
Kolposkopi
merupakan pemeriksaan yang secara luas dilakukan untuk mendeteksi stadium
awal neoplasma serviks.
3
Pemeriksaan ini dapat melihat serviks secara detail,
dilakukan oleh seorang dokter atau kolpokopis yang berkualifikasi. Kolposkopi
dapat mendiagnosis dan membantu mengobati neoplasma intraepitelial serviks.
4

Bersama dengan sitologi, kolposkopi merupakan prasyarat penting untuk
diagnosis lesi prakanker serviks. Ketika dokter Obstetri dan Ginekologi,
menemukan hasil sitologi yang abnormal atau penampakan leher rahim yang
mencurigakan dengan pemeriksaan sitologi yang normal, pemeriksaan dapat
diarahkan ke kolposkopi, yang memfasilitasi penilaian distribusi sel epitel
prakanker pada leher rahim. Kolposkop tidak hanya akan memungkinkan
lokalisasi lesi tetapi juga akan membantu dalam pemilihan lokasi biopsi. Hal ini
membantu dokter untuk memilih pengobatan yang sesuai untuk neoplasia
intraepithelial serviks (NIS), mengevaluasi infeksi umum human papilloma virus
subklinis (SPI), mengelola secara efektif apusan normal pada kehamilan, dan
mengevaluasi lesi prakanker yang memanjang ke dalam vagina.
5
Kolposkopi telah
2

dikenal sebagai sebuah alat yang esensial saat dipakai mengevaluasi pasien
dengan apusan sitologi abnormal. Prinsip dasar penggunaan kolposkopi meliputi
magnifikasi low power dan iluminasi serviks.
1
Prinsip ini pertama kali
digambarkan pada tahun 1920 dan dikembangkan oleh Hinselmann dan mulai
populer hanya pada 2 dekade terakhir di Eropa Barat dan Amerika Selatan.
1,5

Kolposkopi mulai banyak dikenal pada akhir tahun 1960 dan diperkenalkan
sebagai pemeriksaan tambahan untuk sitologi serviks.
6

Kolposkop merupakan sebuah mikroskop binokular, stereoskopik dan low
power dengan sumber cahaya yang besar untuk menerangi dan memperjelas
lapangan pemeriksaan serviks untuk membantu dalam mendiagnosis neoplasia
serviks. Indikasi tersering untuk dilakukannya kolposkopi adalah ditemukannya
hasil tes positif pada tes skrining kanker serviks baik itu Paps smear dan VIA
(Visual Inspeculo with Acetic Acid).
7


KOLPOSKOPI
Kolposkopi merupakan sebuah pemeriksaan menggunakan sebuah alat yang
disebut kolposkop yang dapat melihat serviks dengan pembesaran 6-40 kali
sehingga dapat menolong dokter dalam mengidentifikasi lesi abnormal pada
serviks.
5,7


Kolposkop
Kolposkop sendiri merupakan sebuah mikroskop yang dapat diperbesar
untuk dipakai melihat serviks dengan pembesaran 6-40 kali. Asalnya pertama kali
ditemukan oleh Hinselmann pada tahun 1920, dan mendapat popularitasnya hanya
selama dua dekade terakhir di Eropa Barat dan Amerika Utara dan Selatan.
5

Lensa kolposkop memiliki panjang fokus antara 200-300 mm, diameter ini
membuat dokter nyaman menggunakan alat ini. Kolposkop menggunakan lensa
binokular dengan pembesaran 6-12x. Kebanyakan penggunaan kolposkop dapat
dilakukan dengan menggunakan pembesaran 6-15x. Pembesaran yang kecil dapat
membantu pemeriksa mempunyai lapangan pandang yang lebih luas dan
kedalaman lapangan yang lebih besar untuk menilai serviks. Pembesaran yang
3

lebih besar biasanya untuk memperlihatkan gambaran serviks yang lebih halus
misalnya pembuluh darah.
7,8
Kepala kolposkop juga disebut juga optics carrier,
meliputi lensa objektif (di ujung kepala kolposkop yang diposisikan dekat dari
perempuan yang akan diperiksa), dua lensa okular, sumber cahaya, filter hijau dan
biru yang berada antara sumber cahaya dan lensa objektif, tuas untuk
menempatkan filter dan tuas untuk mengubah pembesaran lensa objektif.
7
Pada
banyak mesin kolposkop menggunakan mekanisme tilting, dengan fokus yang
lembut, lensa binokular, dan lengan di samping yang memungkinkan kamera
video melekat. Benda yang lain yang dapat melekat adalah filter hijau yang
dimasukkan antara sumber cahaya dan lensa objektif kolposkop. Filter ini akan
menyerap cahaya merah dari kolposkop sehingga pembuluh darah kelihatan lebih
gelap dan tampak hitam dan filter ini biasa digunakan saat kolposkopi dilakukan
dengan teknik saline.
5,7,8

Kolposkopi dapat dilengkapi dengan kamera yang biasa disebut
kolpofotografi yakni kamera yang melekat pada kolposkop (gambar 2). Kamera
ini berguna untuk tujuan pengajaran dan juga untuk membandingkan tiap fase
yang berbeda selama perkembangan lesi pada serviks. Pada teknologi yang lebih
maju kolposkop dapat dilengkapi video yang disebut videocolposcopy. Teknologi
ini melekatkan mikrovideo kamera pada kolposkop sehingga gambaran yang
terlihat di kolposkop dapat divisualisasikan ke televisi atau layar komputer. Jadi,
teknologi ini memfasilitasi gambaran dengan resolusi tinggi yang dapat diamati
oleh banyak orang dan dapat dicetak ataupun disimpan dalam bentuk gambar.
8

Menggunakan tuas, kepala kolposkop dapat ditinggikan atau direndahkan
sesuai dengan pemeriksaan. Jarak antara kedua lensa okular (lensa binokular)
dapat disesuaikan dengan jarak pupil pemeriksa sehingga diperoleh penglihatan
yang stereoskopik. Setiap lensa okuler mempunyai ukuran dioptri yang dapat
diubah agar sesuai dengan pemeriksa yang mengalami gangguan penglihatan.
7

Kolposkopi dilakukan selama antara siklus menstruasi dan sebelum
pemeriksaan ginekologi lain dilakukan yang mungkin berpotensi melukai servix.

4


Gambar 1. Kolposkop (dikutip dari kepustakaan 7)


Gambar 2. Kolposkop camera dan tabung untuk teaching side (dikutip dari kepustakaan 7)

Instrumen Kolposkop
5,7
Instrumen yang diperlukan untuk kolposkopi sedikit dan harus ditempatkan pada
troli atau baki di samping meja pemeriksaan. Instrumen yang diperlukan adalah
5


Gambar 3. Alat dan Bahan untuk Kolposkopi (dikutip dari kepustakaan 7)
1. Wadah berbentuk ginjal
2. Botol dengan Normal Saline, Asam
Asetat dan Lugol
3. Larutan Monsel
4. Formalin
5. Spoit untuk lokal anastesi
6. Tabung untuk hasil apusan serviks
yang diisi alkohol
7. Cotton swab
8. Sitobrush cervical
9. Cotton swab yang lebih besar
10. Spekulum cocor bebek
11. Sponge holding forceps
12. Retraktor dinding vagina
13. Spekulum endoserviks
14. Kuret Endoserviks
15. Pinset
16. Forsep Biopsi Punch

Forsep biopsi punch
Tersedia banyak jenis forsep punch dan masing-masing hanya beda sedikit
bentuknya (Tischler, Burke, Kevorkian dan Effendorfer). Forsep biopsi memiliki
gagang dan ujung atau kepala.
7,8

6


Gambar 4. Forsep Biopsi Punch Serviks (dikutip dari Kepustakaan 7)

Kuret endoserviks
Kuret endoserviks berbentuk batang panjang tahan karat terdiri dari tempat
memegang atau ujung dengan sedikit lengkungan tajam.
7

Gambar 5. Kuret Endoserviks (dikutip dari kepustakaan 7)

Spekulum.
Sebaiknya yang tidak memantulkan cahaya.
Pengait serviks (tenakulum)
Spekulum endoserviks
Kadang-kadang perlu melihat kanalis endoservikalis karena lesinya meluas
sampai ke kanalis servikalis. Visualisasi adekuat dapat dicapai dengan
menggunakan spekulum endoserviks.
7,8

7


Gambar 7. Spekulum endoserviks digunakan untuk melihat squamo-columnar junction pada
kanalis endoserviks (dikutip dari kepustakaan 6,7)

Retraktor dinding vagina
Dinding vagina dapat menghalangi visualisasi serviks selama pemeriksaan
kolposkopi. Retraktor ini diperlukan manakala dinding vagina menghalangi.
7


Gambar 8. Retraktor dinding vagina (dikutip dari kepustakaan 7)


PRINSIP PEMERIKSAN KOLPOSKOPI
Teknik Kolposkopi dengan Saline
Teknik ini populer di negara Skandanavian dan ditemukan oleh Koller
dan Kostad dari Norwegia. Cotton swab yang mengandung air saline di usapkan
ke serviks sehingga membasahi epitel serviks dan memudahkan untuk
mengevaluasi struktur angio-arsitektur serviks. Daerah epitel abnormal sering
8

kelihatan lebih gelap dari epitel yang normal. Untuk memeriksa struktur vaskular
diperlukan pembesaran yang lebih tinggi yakni sekitar 16-25x.
6

Filter hijau pada kolposkop berguna untuk membual kapiler pembuluh
darah lebih jelas terlihat. Bentuk yang bermacam-macam dari pembuluh darah
dapat diamati dengan baik dan diukur. Teknik ini, meskipun lebih sulit dipelajari,
dapat menolong pemeriksa dalam menentukan perubahan high grade dari lesi
kecil menjadi kasus yang kompleks.
5,6,7

Gambar 9. a) gambaran yang lebih gelap ari sekitar menunjukkan lesi abnormal serviks pada
teknik saline. b) kolposkopi dangan teknik saline dan filter hijau pada kolposkop yang
menunjukkan epitel abnormal yang kelihatan lebih gelap dengan bentuk pembuluh darah yang
jelas. (dikutip dari kepustakaan 6)
Teknik Kolposkopi dengan Asam Asetat
Teknik ini merupakan teknik yang paling banyak digunakan di seluruh
belahan dunia. Pasien dibaringkan dengan posisi litotomi. Serviks dinampakkan
dengan menggunakan spekulum bivalve dan dilakuakn pemeriksaan dengan
kolposkopi magnifikasi rendah (4-6x). Asam asetat (3% atau 5%) kemudian
diusapkan menggunakan cotton swab atau dengan spray. Sebagai tambahan dalam
mendiagnosis, asam asetat mempunyai efek mukolitik dan mukus residual dari
serviks dapat disingkirkan sebelum melakukan pemeriksaan dengan kolposkop.
6

Asam asetat menyebabkan jaringan, terutama yang kolumnar dan epitel
abnormal, menjadi edematous. Epitel abnormal (atipikal) terlihat putih atau
9

pucat sehingga cukup mudah untuk membedakan dari epitel normal yang terlihat
merah muda. Asam asetat tampaknya menyebabkan pembekuan epitel dan stroma
cytokeratins yang reversibel. Penjelasan untuk fenomena ini bahwa asam asetat
adalah komponen fiksatif jaringan, dan cepat menembus jaringan. Efeknya dalam
inti sel adalah untuk mengendapkan nukleoprotein. Sitoplasma mengalami
vacuolation, sel menjadi bengkak dan desmosom terpisah. Ketika asam asetat
diusapkan ke epitel skuamosa normal, penetrasi melalui permukaan, dan lapisan
tengah menghasilkan sedikit presipitasi. Sel parabasal dan basal epitel
mengandung nukleoprotein lebih banyak, tapi ini tidak cukup untuk mengaburkan
warna dari stroma serviks yang kaya pembuluh darah subepitel, dan epitel tampak
berwarna pink. Ketika asam asetat diusapakan pada daerah CIN (cervix
intraeptelial neoplasia), presipitasi nukleoprotein dalam sel-sel neoplastik
mengaburkan pembuluh darah dibawahnya, cahaya dipantulkan dan epitel tampak
atau epitel acetowhite. Serviks diusap dengan larutan 5% jelas akan merespon
lebih cepat dibandingkan dengan larutan 3%. Efek akan luntur dalam waktu
sekitar 50-60 detik.
5
Selama pemeriksaan, pemakaian ulangan asam asetat diperlukan untuk
mempertahankan efek pemutihan. Dengan menghilangnya efek pemutihan maka
gambaran pembuluh darah akan lebih jelas. Larutan ini bisa membuat tidak
nyaman, terutama bila pasien menderita infeksi vagina. Reaksi alergi jarang tapi
iritasi bisa muncul.
6


Gambar 10. Ektropion yang besar dengan epitel endoserviks yang normal (dikutip dari
kepustakaan 5)
10


Gambar 11. Teknik asam asetat 5% dengan epitel skuamous yang tampak lebih putih dari sekitar
nomor 2 (metaplasia) (dikutip dari kepustakaan 5)

Teknik Kolposkopi dengan Lugol (Schiller Test)
Epitel skuamous normal mengandung glikogen dan berwarna coklat gelap
jika diberikan iodin dan iodin potassium.
6
CIN dan kanker invasif tidak
mengandung glikogen atau hanya sedikit. Epitel kolumnar tidak mengandung
glikogen. Iodin merupakan zat glikofilik sehingga pemberian iodine menyebabkan
terjadinya pengambilan iodin ke dalam epitel yang mengandung glikoprotein.
7

Jadi, jaringan pre-malignan dan malignan yang mengandung sedikit atau bahkan
tidak mengandung glikoprotein tidak akan terwarna oleh iodin dan akan terlihat
berwarna kuning atau seperti warna savlon.
6,7

Daerah yang mengalami erosi, hiperkeratosis (leukoplakia) tidak akan
terwarna dengan iodine.
7
Schiller Test pada gambar 12 menunjukkan daerah yang
tidak terwarna oleh iodine disebut hasil tes positif sedangkan yang terwarna
disebut hasil tes negatif. Teknik ini berguna untuk dokter pemeriksa yang belum
mahir menggunakan kolposkopi sebagai acuan pemeriksaan untuk daerah
abnormal sebelumnya dan untuk menggambarkan batas lesi sebelum melakukan
pengobatan yang tepat.
6

11


Gambar 12. Schiller Test, positif (kuning), negatif (coklat gelap) (dikutip dari kepustakaan 6)


Larutan Tambahan
5
Larutan Monsel
Larutan monsel (ferric subsulfat) digunakan untuk mendapatkan haemostasis
setelah biopsi serviks. Hanya digunakan setelah sampel diambil seluruhnya.
Sebelum spekulum dikeluarkan sisanya sebaiknya dibersihkan
Perak nitrat
Batang perak nitrat dapat digunakan untuk tujuan hemostasis. Bahan ini berguna
bila langsung diletakkan ditempat biopsi. Iritasi lebih berat dibandingkan larutan
monsel. Sama halnya dengan larutan monsel perak nitrat akan mengganggu
interpretasi biopsi sehingga hanya digunakan setelah semua biopsi.

PERSIAPAN
Edukasi adalah bagian integral dari pemeriksaan/rujukan dan hal ini
dimulai saat seorang wanita diberitahu bahwa diperlukan tindakan kolposkopi.
Pasien diberi tahu bahwa pap smearnya abnormal meskipun pengetahuannya
tentang itu sangat sedikit. Mungkin mereka baru menyadari jika digunakan istilah
prekanker dan mungkin menyamakan pap smear abnormal dengan kanker atau
perilaku seksual menyimpang; mereka mungkin bingung dengan hasil yang
menyatakan bahwa maknanya tidak dapat ditentukan atau mungkin cemas bila
pap smear ulangan tidak segera dikerjakan.
7

12

Komunikasi tentang pap tes abnormal atau hasil kolposkopi yang dikirim
lewat surat mungkin membingungkan dan kurang tepat. Sedangkan menggunakan
komputer untuk mengajarkan masyarakat tentang kolposkopi mungkin lebih
efektif, umumnya wanita lebih memilih mendapatkan informasi lewat tatap muka
langsung dengan pemberi layanan kesehatannya. Badan Perpustakaan Kedokteran
Amerika menyediakan tutorial interaktif untuk wanita tentang kolposkopi, yang
dapat digunakan sebagai informasi tambahan. Selain itu, informasi lewat
videotape akan melengkapi informasi tertulis sehingga dapat mengurangi
kecemasan dibandingkan hanya informasi tertulis saja.
5,7
Pasien akan menghadapi sejumlah hambatan bila direkomendasikan
kolposkopi, termasuk kurangnya pengalaman ahli kolposkopi, rendahnya
pemahaman tujuan pemeriksaan, antisipasi ketidaknyamanan tindakan dan biaya
yang dikeluarkan. Wanita yang menjalani pemeriksaan kolposkopi sering
mengalami kecemasan yang sama bahkan lebih besar dari pembedahan mayor.
Indikator kecemasan selama pemeriksaan ginekologis termasuk meletakkan
tangannya pada bahu atau kaki, merapatkan kedua tangannnya, menutup atau
memejamkan mata, memegang meja pemeriksaan atau menutupi pinggulnya. Bila
dokter melihat hal tersebut maka dibutuhkan waktu lebih banyak untuk
mempersiapkan wanita tersebut. Kecemasan bisa timbul sebelum, selama atau
sesudah pemeriksaan kolposkopi. Banyak teknik untuk menghilangkan kecemasan
tersebut di antaranya mendengarkan musik atau menonton video.
7

Konseling sebaiknya mencakup alasan dilakukan tindakan ini, apa yang
diharapkan dari tindakan ini, kontraindikasi relatif kolposkopi (termasuk
pemakaian antikoagulan, servisitis akut, vaginitis berat atau perdarahan hebat) dan
komplikasi potensial. Komplikasi yang muncul relatif ringan dan jarang termasuk
perdarahan, infeksi dan kesalahan diagnosa. Perdarahan dapat sangat berat dan
sulit dikontrol selama hamil, pada wanita dengan servisitis akut dan pada wanita
dengan kanker serviks. Namun, kolposkopi relatif aman dikerjakan pada semua
wanita.
5,7



13


Diagaram 1. Alur Manajemen Sitologi Serviks (dikutip dari kepustakaan 1 dan 9)

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Ada beberapa kelainan vagina dan serviks yang dapat dinilai dalam
pemeriksaan kolposkopi (tabel 1) . Kolposkopi merupakan pemeriksaan yang
aman dengan sejumlah risiko ringan, antara lain perdarahan berat, infeksi dan
nyeri pelvis. Kontrol hemostasis dan nyeri telah menjadi bahasan dalam konteks
pengobatan dysplasia. Pada penelitian terhadap 96 wanita sehubungan dengan
gejala yang timbul setelah biopsi serviks, 84 diantaranya melaporkan pendarahan
14

ringan dan 11 dengan perdarahan sedang. Perdarahan ini berlangsung selama lebih
dari 2 hari pada 66 perempuan. Pada penelitian tersebut semua kolposkopis
memakai larutan monsel setelah biopsi untuk mengontrol perdarahan dan para
penulis berteori bahwa ini mungkin disebabkan larutan Monsel karena larutan
tersebut bersifat iritan.
1,7
Tabel 1. Indikasi Kolposkopi
7



TEKNIK PEMERIKSAAN
5,8
1. Bahan dan alat diperiksa sebelum pemeriksaan dimulai
2. Dokumentasi yang baik
3. Pasien dalam posisi litotomi dan dipasang duk steril
4. Ahli kolposkopi duduk pada alat kolposkopi, jarak binokular di atur dan
kolposkopi dinyalakan
5. Tergantung pada indikasi kolposkopi, vulva dapat dilihat dengan
kolposkopi. Asam aseat 3-5 % dapat digunakan untuk mempermudah
melihat epitel. Bila terlihat daerah abnormal, maka segera dilakukan
biopsi vulva. Beberapa ahli kolposkopi menunda kolposkopi dan biopsi
sampai semua pemeriksaan selesai.
6. Dimasukkan spekulum ukuran paling besar
15

7. Servik harus dapat dilihat sempurna, kadang perlu dilakukan usapan
mukus yang menutupi serviks. Bila posisi serviks kurang pas maka dapat
diselipkan kasa basah di fornik dengan memakai forsep
8. Diambil sampel untuk pemeriksaan sitologi, bila ada perdarahan cukup
ditekan biasanya akan berhenti
9. Serviks disinari dengan cahaya putih dengan perbesaran 4-8 x. dicatat
temuan makroskopis
10. Pola pembuluh darah dinilai dengan filter berwarna hijau dengan
perbesaran rendah dan tinggi. Asam asetat sebaiknya baru digunakan
setelah pembuluh darah dilihat
11. Kemudian digunakan asam asetat 3-5 % secara hati-hati sampai semua
bagian serviks basah, diikuti asam asetat terlarut untuk menjamin
terjadinya reaksi memutih karena asetat (acetowhite reaction)
12. Epitel serviks dinilai dengan perbesaran rendah, sedang dan tinggi.
Acetowhite reaction pelan-pelan akan hilang tergantung pada parahnya
abnormalitas epitel. Dengan menghilangnya reaksi ini maka gambaran
mosaik pembuluh darah akan menjadi lebih jelas karena kontras dengan
jaringan sekitarnya. Bila terlihat pembuluh darah maka harus dilihat
dengan perbesaran tinggi
13. Epitel normal dan abnormal serta pola pembuluh darah di ingat dengan
baik karena akan diperlukan saat mengisi data
14. Bila memungkinkan di ambil sampel endoserviks dengan kuret
endoserviks atau dengan cytobrush. Kuret dipegang seperti memegang
pensil dan di masukkan kedalam os servikalis dan seluruh kanalis dikuret
dengan tarikan definitif. Sampel difiksasi dan ditempatkan dalam botol
sampel serta diberi label
15. Dilakukan biopsi yang dipandu kolposkopi. Tempat biopsi dipilih dan
sampel di ambil dengan tang biopsi. Perdarahan dirawat
16. Vagina dilihat kembali bersamaan dengan dikeluarkannya spekulum
17. Bila diperlukan dapat dilanjutkan dengan biopsi vulva
18. Pasien diberi tahu tentang kesan hasil pemeriksaan awal kolposkopi
16

19. Spesimen diperiksa kelengkapannya, dilakukan dokumentasi serta
kolposkopi dibersihkan dan alat-alat yang digunakan disterilkan kembali.


Gambar 13. Daerah pada portio dan endoserviks (dikutip dari kepustakaan 7)

Gambar 14. Teknik Biopsi (dikutip dari kepustakaan 7)

DOKUMENTASI
Dokumentasi temuan kolposkopi merupakan bagian penting dari prosedur
kolposkopi sistematis. Dianjurkan catatan kolposkopi dibuat terpisah dari kartu
pasien dan mudah didapat kembali. Form catatan sudah dibuat sebelumnya
sehingga semua informasi yang diperlukan sudah tercatat lengkap dan sistematis
pada saat pemeriksaan. Informasi demografi, temuan klinis dan anjuran untuk
kunjungan berikutnya atau rujukan sebaiknya termasuk dalam catatan itu.
Kedalam informasi demografi termasuk nama, alamat, nomer telepon, HPHT,
riwayat menstruasi dan kontrasepsi. Klinikus harus mendapatkan keluhan terbaru,
termasuk riwayat tes pap smear sebelumnya, riwayat PMS diri dan pasangan.
Dalam catatan temuan klinis, lokasi squamokolumnar junction dan orifisium
17

eksternal sebaiknya tertulis pada diagram serviks. Kesan normal atau abnormal
dari serviks, vulva dan vagina harus dicantumkan.
7

KOLPOSKOPI PADA REMAJA, KEHAMILAN DAN WANITA POST
MENOPAUSE

Kolposkopi pada remaja
Umumnya lesi CIN tingkat1 dan 2 mengalami regresi dan penanganan
agresif pada remaja biasanya tidak perlu karena prosedur eksisional meningkatkan
risiko timbulnya stenosis serviks dan partus prematurus. Kolposkopi di anggap
sebagai bagian dalam mengevaluasi penyakit menular seksual, khususnya
kelainan sitologi yang di induksi oleh HPV dan remaja tersebut harus paham
dengan prosedur tersebut. Namun aspek hukum tentang perlunya biopsi
tergantung pada hukum negara dan apakah biopsi merupakan bagian dari evaluasi
dan penanganan dari penyakit menular seksual. Remaja disarankan diperiksa
gonorea atau khlamidia pada saat kolposkopi karena mereka merupakan kelompok
risiko tinggi.
5,7,10

Gambar 15. Gambaran serviks remaja 16 tahun menunjukkan konversi dari immatur ke matur
epitel skuamous(dikutip dari kepustakaan 10)

Kolposkopi selama kehamilan
Kolposkopi selama kehamilan dilakukan untuk mengeksklusi adanya
kanker invasif. Servik wanita hamil mempunyai tampilan yang berbeda pada
pemeriksaan kolposkopi, CIN tampak jelas menonjol, meningkatnya sekresi
18

serviks dapat mengaburkan visualisasi, hiperemia, kelenjar yang prominen dan
eversi dari epitel kolumnar. Oleh karena itu kolposkopi harus di kerjakan oleh
yang berpengalaman melakukan kolposkopi pada wanita hamil. Skuamokolumnar
junction mungkin sulit diperlihatkan pada awal kehamilan, tapi akan menjadi jelas
dengan bertambahnya usia kehamilan. Karena itu bila hasilnya tidak memuaskan
sebaiknya diulang 6-12 minggu kemudian atau setelah 20 minggu. Karena
peningkatan vaskularisasi serviks pada kehamilan dan cenderung berdarah
banyak, biopsi umumnya dihindari kecuali ada kecurigaan klinis displasia tingkat
tinggi atau kanker. Namun biopsi dapat dikerjakan pada semua trimester bila ada
indikasi. Pengambilan sampel endoserviks tidak dianjurkan karena dapat
mencederai janin.
10

Tabel 2. Efek kehamilan pada trakus genital bagian bawah
9


Gambar 16. Gambaran serviks pada wanita hamil dengan magnifikasi tinggi. Endoserviks
nampak gambaran pseudopolypoid. (dikutip dari kepustakaan 10)
19


Kolposkopi pada wanita post menopause
Kolposkopi pada wanita post menopause dilakukan dengan cara yang
sama pada wanita tidak hamil. Pedoman terbaru mengizinkan tes HPV atau
sitologi ulangan pada wanita postmenopause dengan temuan sitologi lesi
skuamous intraepitel derajat rendah, menyadari risiko rendah patologi serviks
pada wanita usia lanjut dengan riwayat skrining negatif kanker serviks. Pada
wanita postmenopause, sambungan skuamokolumnar umumnya terletak pada
endoserviks, karena itu hasil kolposkopi sering tidak memuaskan.
5,10



Gambar 17. Permukaan epitel nampak pucat dan atrofi dengan perdarah supepitelial karena
trauma saat pemeriksaan (dikutip dari kepustakaan 10)

GAMBARAN KOLPOSKOPI
Gambaran kolposkopik dibentuk oleh susunan epitel dan stroma. Dalam
hal ini epitel bertindak sebagai filter dan stroma sebagai obyek yang berwarna
merah. Gambaran yang tampak pada kolposkopi tergantung pada tebalnya epitel,
densitas optik, struktur pembuluh darah stroma dan variasi patologi servik.

Gambaran kolposkopi normal
Epitel skuamous berwarna merah muda sedangkan epitel kolumner
mempunyai permukaan irreguler dengan papil-papil stroma yang panjang
berwarna merah tua karena pembuluh darah stroma di bawahnya. Zona
transformasi ditentukan dengan adanya epitel skuamous dengan muara kelenjar
dan kista nabothi yang berada pada batas luar zona transformasi.
5
20


Gambar 18. Serviks yang menunjukkan SCJ pada endoserviks (1), dengan epitel skuamous yang
menutupi ektoserviks (2)(dikutip dari kepustakaan 5)

Gambar 19. SCJ antara mid distance point endoserviks dan forniks vagina (3), Epitel Kolumnar
pada nomor 1 dengan pulau kecil epitel skuamous yang metaplasia (2). Epitel Skuamous pada
nomor 4 (dikutip dari kepustakaan 5)

Gambaran kolposkopi abnormal
a) Epitel abnormal
b) Pembuluh darah abnormal
Tabel 3. Gambaran Kolposkopi (dikutip dari kepustakaan 5)

21


Morfologi kolposkopi epitel abnormal atipik pada lesi prakanker serviks
tergantung pada sejumlah faktor yaitu :
1) Ketebalan epitel hasil sejumlah sel dan maturasinya
2) Perubahan konfigurasi permukaan dan keratinisasi
3) Variasi pola pembuluh darah
Perubahan acetowhite paling penting pada gambaran kolposkopi karena
berhubungan dengan perubahan spektrum dari epitel normal (metaplasia
skuamosa imatur) sampai dengan kanker.
5,6


Gambar 20. Gambaran Acetowhiteness pada bibir anterior serviks dengan pola permukaan yang
irreguler menunjukkan lesi CIN 3 (dikutip dari kepustakaan 6)

Gambar 21. Gambaran serviks dengan magnifikasi yang berbeda dengan lesi irreguler
menunjukkan lesi CIN 3 yang meluas (dikutip dari kepustakaan 6)
22


Gambar 22. Gambaran serviks dengan epitel yang acetowhite dengan pola pembuluh darah
mosaik(dikutip dari kepustakaan 6)
Kolposkopi memuaskan dan tidak memuaskan
Pemeriksaan kolposkopi yang memuaskan dimana sambungan
skuamokolumner tampak dan seluruh lesi abnormal/atipik terlihat. Pemeriksaan
kolposkopi yang tidak memuaskan adalah dimana sambungan skuamokolumnar
yang baru tidak dapat ditampakkan akibat proses inflamasi berat atau atropi berat
yang mengakibatkan tidak dapat ditampakkan batas atas dari lesi.
7
SISTEM PENILAIAN KOLPOSKOPI
Tujuan dari penilaian kolposkopi sistematis adalah untuk mengarahkan
ahli kolposkopi pada lesi paling abnormal untuk di biopsi dengan tujuan
menyingkirkan adanya kelainan invasif. Tugas mendapatkan tempat yang paling
tepat untuk di biopsi menjadi suatu hal yang menantang bila lesinya sangat
kompleks dan menempati bagian besar dari zona transformasi.
Tabel 4. Index Kolposkopi Klinik- Sahfi dan Nazeer skore maksimum 10 (dikutip dari
kepustakaan 9)

23

Menggunakan Skor Sahfi dan Nazeer di atas akan sangat membantu pasien
untuk mengetahui penenganan yang tepat. Skor ini juga melibatkan prognostik
faktor dengan skor maksimum 10. Skor 0-2 menunjukkan lesi yang tidak
signifikan. Skor 6-10 menunjukkan penyakit yang high-grade. Skor 3-5,
gambaran histologi dengan tendensi lesi ke arah CIN grade 1 dan 2.
9

Metode penilaian klinik menggunakan kolposkopi lain yakni metode Reid.
Indeks kolposkopi Reid menggunakan empat kriteria kolposkopi (reaksi
asetowhite, warna, batas dan pembuluh darah) untuk merumuskan penilaian
kolposkopi dan membantu menentukan tempat paling tepat untuk di biopsi yang
dipandu dengan kolposkopi. Pemakaian perubahan asetowhite dan pembuluh
darah abnormal saja sebagai penunjuk lesi pre invasif dapat mengarah pada
penilaian tidak akurat dari keparahan histologik. Karena daerah-daerah yang
berubah tidak harus mengalami perubahan histologik yang begitu besar. Lesi
derajat ringan luas atau metaplasia skuamous sering ditafsirkan berlebihan
sedangkan lesi derajat tinggi yang kecil kadang terlewati. Pada displasia derajat
ringan, mungkin tidak dijumpai perbedaan pola pembuluh darah, hanya ada
gambaran mosaic dan punctata. Dengan meningkatnya derajat keparahan
penyakit, pembuluh darah menjadi tidak jelas. Adanya neovaskularisasi,
perubahan kaliber, bentuk dan susunan menyebabkan pola pembuluh darah atipik
menjadi kacau. Batas lesi derajat ringan tidak jelas sedangkan lesi derajat tinggi
berbatas tegas dan kadang terpisah dari stromanya. Permukaan epitel mempunyai
rentang dari relatif datar atau terdapat mikropapil pada lesi derajat ringan hingga
jelas terdapat lesi eksofitik pada penyakit atau lesi invasif.
7
Tabel 5. Index Kolposkopi Reid (dikutip dari kepustakaan 7)

24

Meskipun diagnosis akhir sangat ditentukan oleh interpretasi histologik,
penilaian kolposkopi tetap diperlukan untuk jaminan keakuratan. Batas adalah
skore yang didasarkan pada apakah batasnya kurang tegas (berbulu), lurus atau
terpisah dari dasarnya. Warna ditentukan oleh derajat perubahan asetowhite yang
dijumpai setelah pengolesan asam asetat 3-5 %. Dalam prakteknya, banyak lesi
berada dalam kategori menengah berdasarkan perubahan warna ini. Pembuluh
darah diberikan skoring menurut bagaimana menonjolnya pembuluh darah itu
sendiri, makin berat lesinya makin tidak jelas gambarannya.
5,9
Pewarnaan Iodin dikelompokkan menurut uptake lugol dan mempunyai
rentang mulai uptake parsial hingga tidak ada uptake sama sekali. Epitel kolumnar
normal dan perubahan ringan pada epitel seperti vaginitis atau atropi tidak
diberikan skoring dalam kategori ini. Masing-masing dari ke empat kategori
tersebut memberikan skornya. Kalkulasinya kumulatif. Lesi dengan skor 5 atau
lebih biasanya merupakan lesi derajat tinggi sedangkan skor 2 atau lebih kecil
biasanya menunjukkan lesi derajat ringan.
5

KOLPOSKOPI PADA NEOPLASMA INTRAEPITELIAL SERVIKS
Permasalahan kanker serviks di Indonesia masih seperti penyakit kanker
yang lain, yaitu lebih dari 70% kasus ditemukan pada stadium lanjut. Kondisi ini
terjadi pula di beberapa negara berkembang.Untuk memperoleh hasil pengobatan
kanker serviks yang baik, salah satu faktor utama adalah penemuan stadium
secara dini. Jika ditemukan pada tahap lesi prakanker, diharapkan tingkat
penyembuhannya tinggi, hampir 100%, dan kematian akibat kanker serviks dapat
dihindari. Dengan ditemukan pada stadium dini maka pengobatan kanker serviks
akan memberikan hasil yang lebih baik, rata-rata penyembuhan berkisar antara
66,3% sampai 95,1%. Sedangkan pada stadium lanjut memberikan hasil yang
kurang memuaskan, dengan angka harapan hidup yang rendah, berkisar antara 9,4
63,5%, serta biaya yang tinggi.
11
Di Indonesia, kanker serviks merupakan keganasan yang paling banyak
ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan dalam tiga
dasawarsa terakhir dan sekitar 50-80% wanita akan terinfeksi oleh HPV sepanjang
25

masa hidupnya. Data patologi dari 12 pusat patologi menunjukkan bahwa kanker
serviks menduduki urutan pertama dari 10 jenis kanker terbanyak yang ditemukan
di Indonesia.
12
Lesi prakanker serviks yang sangat dini ini dikenal sebagai neoplasia
intraepitelial serviks (NIS), yang ditandai dengan adanya perubahan displastik
epitel serviks. Neoplasia intraepitelial serviks (NIS) adalah lesi premaligna yang
terbentuk dari transformasi sel skuamosa pada permukaan serviks. NIS biasanya
dapat disembuhkan pada sebagian kasus NIS yang stabil atau dieliminasi oleh
sistem kekebalan tubuh.
12
Sebagian kecil kasus NIS, jika tidak diobati, dapat
berkembang menjadi kanker serviks. Infeksi oleh human papillomavirus (HPV),
terutama HPV risiko tinggi (HR-HPV) tipe 16 atau tipe 18, adalah penyebab
utama dari NIS. Menurut standar pementasan penyakit, CIN dapat dibagi menjadi
2 kategori: lesi derajat rendah (NIS 1) dan lesi derajat tinggi (NIS 2 dan NIS 3).
Perlakuan segera NIS 2 dan NIS 3 biasanya diperlukan karena tingkat regresi
spontan pada tahap ini adalah rendah (32-43%) dan jika tidak diobati, risiko
pengembangan menjadi kanker invasif akan meningkat secara substansial sekitar
5-22 %.
11,12

Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya
merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah
E1, E2, E4, E5, E6, dan E7.
13
Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang
menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada
replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel
epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe
lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan
ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari
50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus
dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif.
Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi
onkoprotein E6 dan E7.
14,15
26

Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53
(p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild
type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami
degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-
E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya
bertahan 20-30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses
karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat
dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan
lesi prakanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks. Dengan demikian dapat
diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan
kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker
serviks terinfeksi HPV dan seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler
untuk menentukan prognosis kanker serviks.
14
Gambaran epitel serviks pada kolposkop dengan teknik asam asetat
tampak putih (acetowhite) atau pucat. Berikut ini tabel noplasia serviks dengan
luas daerah acetowhite yang bermacam-macam.
7


Tabel 6. Perluasan permukaan putih (acetowhite) serviks yang dihubungkan neoplasia serviks
(dikutip dari kepustakaan 7)

27


Gambar 23. Gambaran serviks dengan epitel yang acetowhite yang tipis menunjukkan lesi NIS 1
(dikutip dari kepustakaan 7)


Gambar 24. Gambaran serviks dengan epitel yang acetowhite yang tebal dengan batas yang
irreguler dan pembuluh darah yang mosaik menunjukkan lesi NIS 2 (dikutip dari kepustakaan 7)

Gambar 25. Gambaran serviks dengan epitel yang acetowhite yang tebal, sangat putih,
menunjukkan lesi NIS 3 (dikutip dari kepustakaan 7)
28

FOLLOW UP (TINDAK LANJUT)
Pasien sebaiknya diingatkan kemungkinan timbulnya perdarahan kira-kira
2 hari bahkan lebih lama. Bila digunakan pasta Monsel, mungkin akan keluar
cairan coklat kehitaman selama beberapa hari. Koitus sebaiknya dilarang untuk
menghindari perdarahan dari tempat biopsi. Pasien boleh kembali bekerja setelah
tindakan. Analgesik NSAID dapat digunakan untuk kontrol nyeri. Kesan awal
kolposkopi perlu didiskusikan dengan pasien dan bila sampel biopsi sudah
didapat, diberikan petunjuk kepada pasien bagaimana hasil akan disampaikan
kepadanya untuk menjamin pasiennya mengerti.
7













29

DAFTAR PUSTAKA
1. Shafi IM, Welton K. Colposcopy and cervical intraepithelial neoplasia.
Obsterics Gynecology and Reproductive Medicine. [Review article].
2007;17(6):173-80.
2. DeCherney HA, Nathan L, Goodwin M et al. Cervical Intraepithelial
Neoplasma. In: Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology.
10th ed. The McGraw-Hill Companies; 2007.
3. Hegde D, Shetty H, Rai S et al. Diagnostic value of acetic acid comparing
with conventional pap smear in the detection of colposcopic biopsy-
proved CIN. Journal Of Cancer Research and Therapeutics. [Review
article]. 2011;7(4):454-8.
4. Flanagan MS, Wilson S, Luesley D et al. Adverse outcomes after
colposcopy. BMC Women??s Health. [Review article]. 2011;11(2):1-7.
5. Singer A, Monaghan MJ. Examination for Cervical Precancer. In: Lower
Genital Tract Precancer. 2nd ed. Blackwell Science; 1997.
6. Etherington JI. Colposcopic appearances of CIN. Journal Of Gynecologic
Oncology. [Review article]. 2005;10:69-76.
7. Sellors WJ, Sankaranarayanan R. Colposcopy and Treatment of Cervical
Intraepithelial Neoplasia: A Beginners Manual. International Agency for
Research on Cancer.2003.
8. Cararach M, Dexeus S, Sas A.Colposcopy: intrumentation dan technique.
Journal Of Gynecologic Oncology. [Review article]. 2005;10:69-76.
9. Shafi IM. Premalignant and malignant diseaseof the cervix. In: Edmons
KD, editors. Dewhursts Textbook of Obstetrics & Gynaecology. 7th ed.
Blackwell Publishing; 2007.p 614-7.
10. Cruickshank.Colposcopy appearances during pregnancy, the monopause
and the effect of exogenous hormone. Journal Of Gynecologic Oncology.
[Review article]. 2005;10:26-30.
11. Iskandar MT.Pengelolaan Lesi Prakanker Serviks. Indonesian Journal of
Cancer. 2009;6(3):97-102.
30

12. Cheng X, Feng Y, Wang X, et al. The effectiveness of conization
treatment for post-menopausal women with high-grade cervical
intraepithelial neoplasia. EXPERIMENTAL AND THERAPEUTIC
MEDICINE. 2013;5:185-8.
13. Boardman C. Cervical Cancer [cited on 22 January 2013]. 2012. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/253513-
overview#aw2aab6b2b3
14. Gomez DT, Santos JL. Human papillomavirus infection and cervical
cancer: pathogenesis and epidemiology. In: A Mendez-villas, editors.
Communicating Current Research and Educational Topics and Trends in
Applied Macrobiology. 2007:680-688
15. Liverani CA, Ciavattini A, Monti E, et al. High risk HPV DNA subtypes
and E6/E7 mRNA expression in a cohort of colposcopy patients from
Northern Italy with high-grade histologically verified cervical lesions.
2012:452-457

Você também pode gostar