Você está na página 1de 22

LAPORAN REFERAT KOASS INTERNA

BRONKITIS AKUT











Disusun oleh :

ANANDA INDRAWAN PRABOWO

110 2009 027

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo


Pembimbing :

Dr. Subagyo Sp.P







SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PASAR REBO JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

MEI 2014
BRONKITIS AKUT

Definisi
Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta cabang
cabangnya yang disertai dengan gejala batuk dengan atau tanpa sputum yang dapat berlangsung
sampai 3 minggu. Tidak dijumpai kelainan radiologi pada bronkitis akut. Gejala batuk pada
bronkitis akut harus dipastikan tidak berasal dari penyakit saluran pernapasan lainnya.
3















Gambar 1. Bronkitis akut
(Sumber: ADAM)

Etiologi
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :
Infeksi virus : influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus (RSV),
adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.
Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumonia, Legionella)
Jamur
Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.

Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak 90% sedangkan
infeksi bakteri hanya sekitar < 10%
8


Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi
Bronkitis akut terjadi pada bronkus dan cabang cabangnya, oleh karena itu perlu
diketahui terlebih dahulu anatomi dan fisiologi dari saluran pernapasan. Pada Gambar 2 dapat
dilihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan
bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya
semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak
mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus
tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat
berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar udara karena
fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi.
20

Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paru. Asinus
terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus
atau kadang disebut lobulus primer memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23
percabangan mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari
alveolus di dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang
memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika seluruh
alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas satu lapangan tenis.
20

















(Dikutip dari : propolis.blogspot.com)
















Gambar 2. Anatomi saluran napas. (Sumber : Hasan I, 2006)


Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh kapiler-kapiler
darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu tegangan permukaan yang
cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah
letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan
mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan
surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim
biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi
ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme inflamasi yang
berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis
emphysema, dan penyakit lainnya.
20

Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra dan bronchus
sinistra:
Bronkus dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan letaknya lebih
vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada ujung
caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus
dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra
thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya
berada di sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang
(bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior.
Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan
disebut bronkusepar ter ialis. Cabang bronkus yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior
berada di sebelah caudal a.pulmonalis disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya bronkus
sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo.
9

Bronkus sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih panjang
daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae, menyilang di sebelah ventral
oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah superior
arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum
bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus
hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus
tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus
tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior.
Innervasinya berasal dari N.vagus, n. Recurrens, dan truncus sympathicus.
9


Fisiologi

1. Struktur dan fungsi saluran napas normal

1.1. Sel epitel permukaan
Sel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada dasarnya dibentuk oleh dua
tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori. Sel sekretori dibagi menjadi subtipe berdasarkan
penampakan mikroskopik (misalnya Sel clara, goblet dan serous ). Selain musin, sel
sekretori juga melepaskan beberapa molekul antikmikroba (sebagai contaoh defensin,
lisosim, dan IgA), molekul immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin) dan molekul
pelindung (protein trefoil dan heregulin), semuanya ini tergabung dalam mukus.
9

1.2 Kelenjar submukosa
Pada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar submukosa
berkontribusi pada sekresi musin (Gambar 3). Kelenjar dihubungan dengan lumen
saluran napas oleh duktus silia superfisial yang mendorong sekresi keluar dan duktus
kolektus nonsilia profundus. Kelenjar sumukosa berlokasi diantara otot polos dan
kartilago. Sel mukous membentuk 60% volume kelenjar. Sel serous yang berlokasi
didistal, membentuk 40% volume kelenjar, mensekresi proyeoglikan dan protein
antimikroba. Pada keadaan patologi, volume kenjar submukosa dapat meningkat melebihi
volume normal.
2


1.3 Lapisan mukosa (lapisan lendir)
Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan terbanyaknya adalah
cairan, dengan kerakteristik fisik solid. Kandungan normal mukus adalah 97% air dan 3
% solid (musin, protein nonmusin, garam, lemak dan sel debris).
2























Gambar 3. Mukus klirens pada saluran napas yang normal.
(Sumber :Fahy JV, Dickey BF, 2010)


Mekanisme klirens saluran napas
Pertama, mukus didorong ke proksimal saluran napas oleh gerakan silia, yang akan
membersihkan partikel-partikel inhalasi, patogen dan menghilangkan bahan-bahan kimia yang
mungkin dapat merusak paru. Musin polimerik secara terus-menerus disintesis dan disekresikan
untuk melapisi lapisan mukosa. Kecepatan normal silia 12 sampai 15x/detik, menghasilkan
kecepatan 1mm/menit untuk membersihkan lapisan mukosa. Kecepatan mucociliary clearance
meningkat dalam keadaan hidrasi tinggi. Dan kecepatan gerakan silia meningkat oleh aktivitas
purinergik, adrenergik, kolinergik dan reseptor agonis adenosin, serta bahan iritan kimia.
Mekanisme kedua, adalah dengan mengeluarkan mukus dengan refleks batuk. Ini mungkin dapat
membantu menjelaskan mengapa penyakit paru yang disebabkan oleh kerusakan fungsi silia
tidak terlalu berat dibandingkan dengan yang disebabkan dehidrasi, yang menghalangi kedua
mekanisme klirens saluran napas. Meskipun batuk berkontribusi dalam membersikan mukus
pada penyakit dengan peningkatan produksi mukus atau gangguan fungsi silia, ini dapat
menyulitkan gejala.
2



Patogenesis
Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah virus, namun
organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat diketahui, oleh karena
kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan. Adapun beberapa virus yang telah
diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut adalah virus virus yang banyak terdapat di
saluran pernapasan bawah yakni influenza B, influenza A, parainfluenza dan respiratory
syncytial virus (RSV). Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan
menyebar secara cepat dalam suatu populasi. Gejala yang paling sering akibat infeksi virus
influenza diantaranya adalah lemah, nyeri otot, batuk dan hidung tersumbat. Apabila penyakit
influenza sudah mengenai hampir seluruh populasi di suatu daerah, maka gejala batuk serta
demam dalam 48 jam pertama merupakan prediktor kuat seseorang terinfeksi virus influenza.
RSV biasanya menyerang orang orang tua yang terutama mendiami panti jompo, pada anak
kecil yang mendiami rumah yang sempit bersama keluarganya dan pada tempat penitipan anak.
Gejala batuk biasanya lebih berat pada pasien dengan bronkitis akut akibat infeksi RSV.
22

Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus,
adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala yang dominan timbul akibat infeksi
virus ini adalah hidung tersumbat, keluar sekret encer dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis.
5

Bakteri juga memerankan perannya dalam pada bronkitis akut, antara lain, Bordatella
pertusis, bordatella parapertusis, Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Infeksi
bakteri ini biasanya paling banyak terjadi di lingkungan kampus dan di lingkungan militer.
Namun sampai saat ini, peranan infeksi bakteri dalam terjadinya bronkitis akut tanpa komplikasi
masih belum pasti, karena biasanya ditemukan pula infeksi virus atau terjadi infeksi campuran.
15

Pada kasus eksaserbasi akut dari bronkitis kronik, terdapat bukti klinis bahwa bakteri
bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenzae
mempunyai peranan dalam timbulnya gejala batuk dan produksi sputum. Namun begitu, kasus
eksaserbasi akut bronkitis kronik merupakan suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut,
karena ketiga bakteri tersebut dapat mendiami saluran pernapasan atas dan keberadaan mereka
dalam sputum dapat berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan merupakan tanda infeksi akut.
15

Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi bisa dari berbagai penyebab dan
biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada keadaan normal, paru-paru memiliki
kemampuan yang disebut mucocilliary defence, yaitu sistem penjagaan paru-paru yang
dilakukan oleh mukus dan siliari. Pada pasien dengan bronkhitis akut, sistem mucocilliary
defence paru-paru mengalami kerusakan sehingga lebih mudah terserang infeksi. Ketika infeksi
timbul, akan terjadi pengeluaran mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar mukus
menjadi hipertropi dan hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi
mukus akan meningkat. Infeksi juga menyebabkan dinding bronkhial meradang, menebal (sering
kali sampai dua kali ketebalan normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya mukus kental
dari dinding bronkhial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah banyak akan
menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Mukus yang
kental dan pembesaran bronkhus akan mengobstruksi jalan napas terutama selama ekspirasi
(Gambar 4) .Jalan napas selanjutnya mengalami kolaps dan udara terperangkap pada bagian
distal dari paru-paru.. Pasien mengalami kekurangan 02, iaringan dan ratio ventilasi perfusi
abnormal timbul, di mana terjadi penurunan PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat meningkatkan
nilai PCO,sehingga pasien terlihat sianosis.
12

Pada bronkitis akut akibat infeksi virus, pasien dapat mengalami reduksi nilai volume
ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV
1
) yang reversibel. Sedangkan pada infeksi akibat bakteri M.
pneumoniae atau C. Pneumoniae biasanya mempunyai nilai reduksi FEV
1
yang lebih rendah
serta nilai reversibilitas yang rendah pula.
12






































Gambar 3: Patogenesis Bronkitis Akut

(Dikutip dari : ADAM)
(Dikutip dari : web md corporation)
Gejala klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3 minggu.
Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih, kuning kehijauan, atau
hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala berikut ini :
Demam,
Sesak napas,
Bunyi napas mengi atau ngik
Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada

Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala gejala infeksi saluran respiratori
seperti rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3 4 hari setelah rhinitis. Batuk pada
mulanya keras dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan
dan produktif. Karena anak anak biasanya tidak membuang lendir tapi menelannya,
maka dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk keras dan memuncak. Pada anak yang lebih
besar, keluhan utama dapat berupa produksi sputum dengan batuk serta nyeri dada pada
keadaaan yang lebih berat.
Karena bronchitis akut biasanya merupakan kondisi yang tidak berat dan dapat membaik
sendiri, maka proses patologis yang terjadi masih belum diketahui secara jelasa karena
kurangnya ketersediaanjaringan untuk pemeriksaan. Yang diketahui adalah adanya peningkatan
aktivitas kelenjar mucus dan terjadinya deskuamasi sel sel epitel bersilia. Adanya infiltrasi
leukosit PMN ke dalam dinding serta lumen saluran respiratori menyebabkan sekresi tampak
purulen. Akan tetapi karena migrasi leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik terhadap
kerusakan jalan napas, maka sputum yang purulen tidak harus menunjukkan adanya superinfeksi
bakteri.
Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring
perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam ronki, suara napas yang
berat dan kasar, wheezing ataupun suara kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologist biasanya
normal atau didapatkan corakan bronchial. Pada umumnya gejala akan menghilang dalam 10 -14
hari. Bila tanda tanda klinis menetap hingga 2 3 minggu, perlu dicurigai adanya infeksi
kronis. Selain itu dapat pula terjadi infeksi sekunder
TAMBAHAN: Sebagian besar terapi bronchitis akut viral bersifat suportif. Pada
kenyataannya rhinitis dapat sembuh tanpa pengobatan sama sekali. Istirahat yang cukup,
masukan cairan yang adekuat serta pemberian asetaminofen dalam keadaan demam bila perlu,
sudah mencukupi untuk beberapa kasus. Antibiotik sebaiknya hanya digunakan bila dicurigai
adanya infeksi bakteri atau telah dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemberian
antibiotik berdasarkan terapi empiris biasanya disesuaikan dengan usia, jenis organisme yang
biasa menginfeksi dan sensitivitas di komunitas tersebut. Antibiotik juga telah dibuktikan tidak
mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder, sehingga tidak ada tempatnya diberikan pada
bronchitis akut viral.
Bila ditemukan wheezing pada pemeriksaan fisik, dapat diberikan bronkodilator
2
agonist, tatapi diperlukan evaluasi yang seksama terhadap respon bronkus untuk mencegah
pemberian bronkodilator yang berlebihan.
Jumlah bronchitis akut bakterial lebih sedikit daripada bronchitis akut viral. Invasi bakteri
ke bronkus merupakan infeksi sekunder setelah terjadi kerusakan permukaan mukoasa oleh
infeksi virus sebelumnya. Sebagai contoh., percobaan pada tikus, infeksi virus influenza
menyebabkan deskuamasi luas epitel bersilia di trakea, sehingga bakteri seperi Pseudomonas
aeruginosa yang seharusnya dapat tersapu dapat beradhesi di permukaan epitel.
Hingga saat ini, bakteri penyebab bronchitis akut yang telah diketahui adalah
Staphylococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Mycoplasma pneumoniae juga dapat
menyebabkan bronchitis akut, dengan karakteristik klinis yang tidak khas, dan biasanya terjadi
pada anak berusia di atas 5 tahun atau remaja. Chlamydia sp pada bayi dapat menyebabkan
trakeobronkitis akut dan penumonitis dan terapi pilihan yang dibeikan adalah eritromisin. Pada
anak yang berusia di atas 9 tahun dapat diberikan tertrasiklin. Untuk terapi efektif dapat
diberikan eritromisin atau tertrasiklin untuk anak anak di atas usia 9 tahun
Pada anak anak yang tidak diimunisasi, infeksi Bordatella pertusis dan
Corynebacterium diphteriae dihubungkan dengan kejadian trakeobronkitis. Selama stadium
kataral pertusis, gejala gejala infeksi respiratori lebih dominan, berupa rhinitis, konjungtivitis,
demam sedang dan batuk. Pada stadium paroksismal, frekuensi dan keparahan batuk meningkat.
Gejala khas berupa batuk kuat berturut turut dalam satu ekspirasi, yang diikuti dengan usaha
keras dan mendadak untuk ekspirasi, sehingga menyebabkan timbulnya whoop. Batuk ini
biasanya menghasilkan mukus yang kental dan lengket. Muntah pascabatuk (posttusve emesis)
dapat juga terjadi pada stadium paroksismal.
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi menunjukkan adanya infiltrasi mukosa oleh
limfosit dan leukosit PMN. Diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan klutur dan sekresi
mukus. Pengobatan pertusis sebagian besar bersifat suportif. Pemberian eritromisin dapat
mengusir kuman pertusis dari nasofaring dalam waktu 3 4 hari, sehingga mengurangi
penyebaran penyakit. Pemberian selama 14 hari setelah awitan penyakit selanjutnya dapat
menghentikan penyakit.

Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi saluran pernafasan
lainnya. Oleh karena itu sebelum memikirkan bronkitis akut, perlu dipikirkan kemungkinan
lainnya seperti pneumonia, common cold, asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik dan
PPOK.
15


Diagnosis
Diagnosis dari bronkitis akut dapat ditegakkan bila; pada anamnesa pasien mempunyai
gejala batuk yang timbul tiba tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa adanya bukti pasien
menderita pneumonia, common cold, asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik dan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya tidak khas.
Dapat ditemukan adanya demam, gejala rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring
hiperemis. Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dada dapat
terdengar ronki, wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir
banyak dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah.
15









1. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thorax
Foto thorax biasanya menunjukkan gambaran normal atau tampak corakan
bronkial meningkat.










( Dikutip dari : anneahira.com )
b. Uji faal paru
Pada beberapa penderita menunjukkan adanya penurunan uji fungsi paru.
c. Laboratorium
Pada bronkhitis didapatkan jumlah leukosit meningkat.

Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan kemungkinan pneumonia
pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai menderita bronkitis
akut, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai berikut:
Denyut jantung > 100 kali per menit
Frekuensi napas > 24 kali per menit
Suhu > 38C
Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan peningkatan suara
napas.
Bila keadaan tersebut tidak ditemukan, kemungkinan pneumonia dapat disingkirkan dan
dapat mengurangi kebutuhan untuk foto thorax .
15

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan hasil definitif untuk diagnosis
bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila etiologi bronkitis harus ditemukan untuk
kepentingan terapi. Hal ini biasanya diperlukan pada bronkitis kronis. Pada bronkitis akut
pemeriksaan ini tidak berarti banyak karena sebagian besar penyebabnya adalah
virus.Pemeriksaan radiologis biasanya normal atau tampak corakan bronkial meningkat. Pada
beberapa penderita menunjukkan adanya penurunan ringan uji fungsi paru. Akan tetapi uji ini
tidak perlu dilakukan pada penderita yang sebelumnya sehat.
15



Differensial Diagnosis
Batuk dengan atau tanpa produksi sputum dapat dijumpai pada common cold. Common
cold sendiri merupakan istilah konvensional dari infeksi saluran pernapasan atas yang ringan,
gejalanya terdiri dari adanya sekret dari hidung, bersin, sakit tenggorok dan batuk serta bias juga
dijumpai demam, nyeri otot dan lemas. Seringkali common cold dan bronkitis akut memiliki
gejala yang sama dan sulit dibedakan. Batuk pada common cold merupakan akibat dari infeksi
saluran pernapasan atas yang disertai postnasal drip dan pasien biasanya sering berdeham. Batuk
pada bronkitis akut disebabkan infeksi pada saluran pernapasan bawah yang dapat didahului oleh
infeksi pada saluran pernapasan atas dan oleh sebab itu mempersulit penegakkan diagnosis
penyakit ini.
15

Bronkitis akut juga sulit dibedakan dengan eksaserbasi akut bronkitis kronik dan asma
akut dengan gejala batuk. Dalam suatu penelitian mengenai bronkitis akut, asma akut seringkali
didiagnosa sebagai suatu bronkitis akut pada 1/3 pasien yang datang dengan gejala batuk. Oleh
karena kedua penyakit ini memiliki gejala yang serupa, maka satu satunya alat diagnostik
adalah dengan mengevaluasi bronkitis akut tersebut, apakah merupakan suatu penyakit tersendiri
atau merupakan awal dari penyakit kronik seperti asma.
15

Bronkitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang dapat sembuh sendiri dan
bila batuk lebih dari 3 minggu maka diagnosis diferensial lainnya harus dipikirkan. Pasien
dengan riwayat penyakit paru kronik sebelumnya seperti bronkitis kronik, PPOK dan
bronkiektasis, pasien dengan gagal jantung dan dengan gangguan sistem imun seperti AIDS atau
sedang dalam kemoterapi, merupakan kelompok yang beresiko tinggi terkena bronkitis akut dan
dalam hal ini kelompok tersebut merupakan pengecualian.
15

Tatalaksana
Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan bronkitis akut sering
mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang mereka derita seringkali berasal dari
asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik atau common cold. Beberapa penelitian
menyebutkan terapi untuk bronkitis akut hanya untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak
perlu pemberian antibiotik dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus.
15


1. Pemberian antibiotik
Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65 80 % pasien dengan bronkitis akut
menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui bahwa pemberian antibiotik sendiri
tidak efektif.
15
Pasien dengan usia tua paling sering menerima antibiotik dan sekitar sebagian
dari mereka menerima terapi antibiotik dengan spektrum luas.
19
Tren pemberian antibiotik
spektrum luas juga dapat dijumpai di praktek dokter dokter pada umumnya.
19,5

Pada pasien bronkitis akut yang mempunyai kebiasaan merokok, sekitar 90% menerima
antibiotik, dimana sampai saat ini belum ada bukti klinis yang menunjukkan bahwa pasien
bronkitis akut yang merokok dan tidak mempunyai riwayat PPOK lebih perlu diberikan
antibiotik dibandingkan dengan pasien dengan bronkitis akut yang tidak merokok. Terdapat
beberapa penelitian mengenai kegunaan antibiotik terhadap pengurangan lama batuk dan tingkat
keparahan batuk pada bronkitis akut. Rangkuman penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
15

Kesimpulan dari beberapa penelitian itu adalah pemberian antibiotik sebenarnya tidak
bermanfaat pada bronkitis akut karena penyakit ini disebabkan oleh virus.
4
Dalam praktek dokter
di klinik, banyak pasien dengan bronkitis akut yang minta diberikan antibiotik dan sebaiknya hal
ini ditangani dengan memberikan penjelasan mengenai tidak perlunya penggunaan obat tersebut
dan justru pemberian antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman
(resistensi) terhadap antibiotik.
17

Namun begitu, penggunaan antibiotik diperlukan pada pasien bronkitis akut yang
dicurigai atau telah dipastikan diakibatkan oleh infeksi bakteri pertusis atau seiring masa
perjalanan penyakit terdapat perubahan warna sputum. Pengobatan dengan eritromisin (atau
dengan trimetroprim/sulfametoksazol bila makrolid tidak dapat diberikan) dalam hal ini
diperbolehkan. Pasien juga dianjurkan untuk dirawat dalam ruang isolasi selama 5 hari.
15


2. Bronkodilator
Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan bronkodilator tidak
direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut tanpa komplikasi. Ringkasan statistik dari
penelitian Cochrane tidak menegaskan adanya keuntungan dari penggunaan -agonists oral
maupun dalam mengurangi gejala batuk pada pasien dengan bronkhitis akut.
7

Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien bronkhitis akut dengan gejala
obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing, penggunaan bronkodilator justru mempunyai
nilai kegunaan.Efek samping dari penggunaan -agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan
gemetar.
16
Penggunaan antikolinergik oral untuk meringankan gejala batuk pada bronkitis akut
sampai saat ini belum diteliti dan oleh karena itu tidak dianjurkan.
15



3. Antitusif
Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi frekuensi batuk dan
perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti secara sistematis.
Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat tersebut terbukti efektif untuk
mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis
akut diperkirakan memiliki nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan kedua obat
tersebut untuk mengurangi gejala batuk pada common cold dan penyakit saluran napas akibat
virus, menunjukkan hasil yang beragam dan tidak direkomendasikan untuk sering digunakan
dalam praktek keseharian
10

Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif dalam
menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian, sebanyak 710 orang dewasa
dengan infeksi saluran pernapasan atas dan gejala batuk, secara acak diberikan dosis tunggal 30
mg Dekstromethorpan hydrobromide atau placebo dan gejala batuk kemudian di analisa secara
objektif menggunakan rekaman batuk secara berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuk
berkurang dalam periode 4 jam pengamatan.
13

Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih banyak berasal dari
bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi empiris untuk batuk pada bronkitis akut
dapat digunakan.
15






























Tabel 1. Ringkasan penelitian mengenai efek penggunaan antibiotik untuk gejala batuk pada
pasien dengan bronkitis akut.
1. Braman SS. Chronic cough due to acute bronchitis: ACCP evidence-based clinical practice
guidelines. Chest. 2006;129:95S-103S.
2. Gonzales R, Bartlett JG, Besser RE, et al. Principles of appropriate antibi otic use for
treatment of uncomplicated acute bronchitis: background. Ann Intern Med. 2001;134:521-
529.
3. Dimopoulos G, Siempos II, Korbila IP, et al. Comparison of first-line with second-line
antibiotics for acute exacerbations of chronic bronchitis: a metaanalysis of randomized
controlled trials. Chest. 2007;132:447-455.
Drug Information Handbook. 20th ed. Hudson, OH: Lexi-Comp, 2011

Agen mukokinetik
Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis yang menguntungkan
dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di beberapa penelitian, meskipun terbukti bahwa
efek samping obat minimal.
15


4. Lain lain
Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada penderita, diperlukan
istirahat dan asupan makanan yang cukup, kelembaban udara yang cukup serta masukan cairan
ditingkatkan.

Obat Inhaler (g) Larutan Oral Vial Durasi
Nebulizer injeksi (jam)
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (2-agonis)
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup) 4-6
Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil),
0,24% (sirup)
0,1 ; 0,5 4-6
Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 (pil) 0,2; 0,25 4-6
Formoterol 4,5-12 MDI&DPI 12+
Salmeterol 25-50 MDI&DPI 12+
Antikolinergik
Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8
Oxitropium bromide 100 (MDI) 1,5 7-9
Tiotropium 18(DPI) 24+

Methylxanthines
Aminophylline 200-600mg (pil) 240mg 24
Theophylline 100-600mg (pil) 24
Kombinasi adrenergik & antikolinergik
Fenoterol/Ipatropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8
Salbutamol/Ipatropium 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8
Inhalasi Glukortikosteroid
Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4

Budenosid 100,200,400(DPI) 0,20, 0,25, 0,5

Futicason 50-500(MDI &DPI)

Triamcinolone 100(MDI) 40

40

Kombinasi 2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler

Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)

Salmoterol/Fluticasone
50/100,250,500(DPI)


25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
Prednisone

5-60 mg(Pil)

Methy-Prednisone

4, 8 , 16 mg (Pil)



PERJALANAN DAN PROGNOSIS

Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang tepat atau mengatasi
setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal dari penyakit yang mendasari.
BONAM


SIMPULAN

Bronkitis akut adalah peradangan akut pada bronkus dan cabang-cabangnya, yang
disebabkan sebagian besar oleh virus dan mengakibatkan terjadinya edema dan pembentukan
mukus. Gejala yang paling menonjol adalah batuk dengan atau tanpa sputum, berlangsung tidak
lebih dari 2 minggu. Untuk menegakkan diagnosis dari penyakit ini harus disingkirkan
kemungkinan adanya penyakit pernapasan lainnya seperti pneumonia, common cold, asma akut,
eksaserbasi akut bronkitis kronik dan PPOK.
Pada penatalaksanaan bronkitis akut, antibiotik diperbolehkan bila dicurigai penyebabnya
adalah bakteri. Pemberian bronkodilator diperbolehkan bila gejala batuk berbarengan dengan
asma. Pemberian agen mukolitik tidak direkomendasikan dan pemberian antitusif dengan
Dekstrometorphan Hbr terbukti dapat menekan gejala batuk.



DAFTAR PUSTAKA

1. Boldy D, Skidmore S, Ayeres J. Acute bronchitis in the community: clinical features,
infective factors, changes in pulmonary function and bronchial reactivity to histamine. Respir
Med 1990; 84:377385.
2. Fahy JV,Dickey BF. Review Artikel Airway Mucus Function and Dysfunction. New England
of Jurnal Medicine. Vol 363. No.23. Dec 2, 2010. Diunduh dari www.nejm.org pada tanggal
6 mei 2011.
3. Gonzales R, Sande M. Uncomplicated acute bronchitis. Ann Intern Med 2008; 133: 981991
4. GonzalesR, Brrtlett J, Besser R,et al. Principles of appropriate antibiotic use for treatment of
uncomplicated acute bronchitis: background. Ann Intern Med 2009; 134:521529
5. Gonzales R, Wilson A, Crane L, et al. Whats in a name? Public knowledge, attitude and
experiences with antibiotic use for acute bronchitis. Am J Med 2009; 108:8385
6. Hassan I. Bronchitis. Last update December,8 2006. Diunduh dari www.emedicine.com pada
tanggal 6 mei 2011.
7. Hueston WJ.Albuterol delivered by metered-dose inhaler to treat acute bronchitis. J Fam
Pract. 2008; 39:437440.
8. Jonsson J, Sigurdsson J, Kristonsson K, et al. Acute bronchitis in adults.How close do we
come to its aetiology in generalpractice? Scand J Prim Health Care. 2008; 15:156160
9. Luhulima JW. Trachea dan Bronchus. Diktat Anatomi Systema Respiratorius. Bagian
Anatomi FKUH. Makassar. 2004. hal 13-14.
10. Lee P, Jawad M, Eccles R. Antitussive efficacy of dextromethorphan in cough associated
with acute upper respiratory infection. J Pharm Pharmacol 2008; 52:11391142.
11. Linder J, Sim I. Antibiotic treatment of acute bronchitis in smokers. J Gen Intern Med 2007;
17:230234.
12. Melbye H, Kongerud J, Vorland L. Reversible airflow limitation in adults with respiratory
infection. Eur Respir J 2009 7:12391245
13. Pavesi L, Subburaj S, Porter Shaw K. Application and validation of a computerized cough
acquisition system for objective monitoring of acute cough. Chest 2009; 120: 11211128.
14. Schappert S. Ambulatory care visits to physicians offices, Hospital out patient departments
and emergency departments, United States, 2008. Hyattsville,MD: National Center for
Health Statistics, 2008.
15. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis :ACCP Evidence-Based Clinical
Practice Guidelines. Chest Journal. 2006;129;95S-103S.
16. Smucny J, Flynn C, Becker L, et al. Beta 2- agonists for acute bronchitis. Cochrane Database
Syst Rev (databaseonline). Issue 1, 2007.
17. Snow V, Mottur-Pilson C, Gonzales R. Principles of appropriate antibiotic use for treatment
of acute bronchitis in adults. Ann Intern Med 2009; 134:518520.
18. Steinman M, Landefeld C, Gonzales R. Predictors of broad spectrum antibiotic prescribing
for acute respiratory tract infections in adult primary care. JAMA 2008; 289:719725.
19. Steinman M, Sauaia A, Masseli J, et al.Office evaluation and treatment of elderly patients
with acute bronchitis. J Am Geriatr Soc 2006; 52: 875879.
20. Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor Hartanto Huriawati,
dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740.
21. Armstrong G, Pinner R. Outpatient visits for infectious diseases in the United
States:.ArchIntern Med 2009; 159: 25312536
22. Zambon M, Stockton J, Clewley J, et al. Contribution of influenza and respiratory syncytial
virus to community cases of influenza like illness: an observational study. Lancet 2009;
358:14101416.

Você também pode gostar