Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Mahasiswa Yogyakarta
Oleh ANTONIUS GALIH PRASETYO
I. Pengantar
Tidak banyak kota di Indonesia yang memiliki sumber daya produktif dengan
disertai suasana kebatinan lingkungan yang kondusif. Di antara yang langka
tersebut, tidak salah bila Kota Yogyakarta dapat disebut sebagai salah satu contoh
yang disebut pertama kali. Betapa tidak, ibukota satu-satunya provinsi yang
memajang embel-embel “Daerah Istimewa” ini telah sejak lampau diasosiasikan
dengan bermacam sebutan: Kota Pendidikan, Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota
Pariwisata, sampai Kota Gudeg. Tagline lama dari kota ini secara jelas
melukiskan realitas dominan yang senantiasa diamini tiap-tiap penduduk yang
tinggal di dalamnya: Yogyakarta Berhati Nyaman.1
1
untuk menimba ilmu?” atau “setelah lulus SMA, akan melanjutkan ke mana?”
Dan citra ini semakin kuat memancar manakali pada tiap-tiap musim penerimaan
mahasiswa baru, pendaftar selalu membludak dari berbagai pelosok Nusantara.
Tak ayal, Yogyakarta pun menjadi taman sari Indonesia sekaligus miniatur
Nusantara karena berbagai entitas budaya menempatkan delegasinya di jeluk-
jeluk kota, terutama untuk menempuh studi mempersiapkan masa depan.
2
tersebut sebagai gambaran awal. Gambaran awal tersebut akan dijadikan pedoman
mengenai pola perilaku dan langgam tindak tanduk macam apa yang perlu
diaplikasikannya untuk menyukseskan proses adaptasi dan aklimatisasi.
Menggunakan pemahaman tersebut, maka terlihat di sini peran vital dari budaya
dan karakteristik masyarakat setempat dalam kaitannya dengan dinamika
sosiokultural masyarakat sebuah kota, terutama mengenai masa depan sebuah kota
sebagai hasil dari persinggungan budaya antara penduduk asli dan pendatang.
Akan kaitannya dengan sifat dan nilai kultural masyarakat asli ini,
beruntunglah para pendatang tersebut karena Kota Yogyakarta adalah wadah
sempurna yang memungkinkan tersemainya corak kehidupan rukun, toleran, dan
saling menghormati antarmasyarakat tanpa memandang latar belakang etnisitas,
agama, dan kulturalnya.
3
kedamaian, dan kerukunan. Kraton dan lingkungan sekitarnya tidak pernah
melakukan dikriminasi dan resistensi terhadap para pendatang, bahkan mereka
diakomodasi dan difasilitasi oleh Kraton.
2
Bunyi prasasti yang menunjukkan keharmonisan hubungan di antara pihak
Kraton dan kaum Tionghoa itu berbunyi berikut: “Prasasti Tionghoa-Jawa ini
dipersembahkan pada Sultan Hamengku Buwono IX….Prasasti ini menandai
hubungan Tionghoa-Jawa yang hangat dan harmonis di Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat.”
3
Kecenderungan untuk mengelompokkan berbagai kelompok masyarakat
dalam wilayah tersendiri ini tidak dimaksudkan sebagai penyekat
antarkelompok, melainkan hanya semacam “norma” umum yang berlaku
sejak dahulu tanpa tendensi untuk membedakan atau bersikap diskriminatif.
Tidak hanya pembedaan berdasarkan etnis, pembedaan kewilayahan pun
seringkali dilakukan berdasarkan jenis profesi seperti misalnya Kampung
Pajeksan (tempat tinggal para jaksa), Gamelan (tempat para pembuat gamel
atau tapal kuda), Mantrigawen (tempat tinggal para mantri); atau didasarkan
kepada status dan pangkat keprajuritan Kraton seperti Kampung
Prawirotaman bagi prajurit Prawirotomo, Wirobrajan (Wirobrojo),
Patangpuluhan (prajurit Patangpuluh), Jogokaryan (prajurit Jogokaryo).
4
akan penghargaan dan keterbukaan Kraton terhadap pendatang. Menurut
sejarahnya, UGM yang berdiri di atas tanah milik Kraton tersebut didirikan
dengan dua landasan pemikiran pokok, yaitu ingin menjadikan pendidikan sebagai
senjata melawan penjajahan dan didirikan dengan misi agar para pemuda dari
berbagai penjuru Tanah Air bisa datang ke Yogyakarta untuk saling mengenal dan
memahami di dalam sebuah wadah yang netral4. Dua cita-cita yang kini telah
tercapai dengan mantap.
Peran dan suri tauladan dari Kraton itulah kiranya yang menjadi genealogi
dari “nilai-nilai Yogyakarta” yang kita kenal selama ini, yang terejawantahkan
dalam profil masyarakat Yogyakarta yang ramah dan terbuka terhadap semua
pendatang untuk “menumpang hidup” di Yogyakarta, yang dengan mudah dapat
ditangkap oleh radar rasa dan hati masyarakat pendatang, termasuk mahasiswa-
mahasiswa baru.
5
kehangatan serupa atau sekurangnya tidak menonjolkan perilaku yang
bertentangan dengan “nilai-nilai Yogyakarta”. Dengan pemahaman dan usaha
bersama untuk menjaga kontinuitas ketenteraman ini Kota Yogyakarta senantiasa
adem ayem dan rukun sampai sekarang, meski penghuninya terdiri dari manusia
dengan latar belakang berbeda.
Meskipun begitu, bukan berarti penghargaan akan sambutan yang hangat dari
warga Yogya ini berarti penggerusan atau pereduksian nilai-nilai asal mereka.
Aktualisasi dan aplikasi dari nilai-nilai asal yang mereka anut dari daerah asal
mereka tetap mendapatkan ruangnya yang lapang di tiap-tiap jengkal wilayah
Yogyakarta. Penghargaan akan keramahtamahan warga Yogya tersebut
semestinya dilihat sebagai respons sosiologis yang manusiawi, bahwa kebaikan
akan bersambut pula dengan kebaikan.
6
Contoh-contoh kecil yang dapat ditemui dalam persinggungan
antarmahasiswa berbeda latar belakang kultural tidak hanya dapat ditemui dalam
kegiatan yang dapat dicerap indera seperti misalnya contoh penggunaan bahasa
dalam bergaul. Pengalaman multikultural juga dapat didapati pada ranah yang
mengandalkan aspek emosional dan kognisi yang tidak dapat dicerap indera
secara langsung.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa asal Solo yang terkenal dengan nilai dan
budaya lemah lembut dan alon-alon waton kelakon, mau tak mau akan belajar
untuk memahami nilai-nilai dari luar daerahnya yang akan ditemuinya ketika
berinteraksi dengan mahasiswa asal Medan yang terkenal dengan sikap tegas
lugas dan blak-blakannya, atau dengan ujaran-ujaran bahasa Jawa yang tergolong
kasar di daerah asalnya manakala berbicara dengan mahasiswa asal Surabaya
yang terkenal dengan bahasa Jawa Timur-annya.
7
akulturasi, asimilasi, sinkretisasi ataupun sekadar memahami satu sama lain.
Namun yang jelas tidak akan ada kooptasi budaya satu terhadap budaya lainnya,
tiada pula tirani mayoritas atas dasar finalitas dan pemutlakkan budayanya secara
eksklusif sebab pola interaksi antarmahasiswa Yogyakarta terjadi secara cair
tanpa adanya tekanan, diskriminasi, dan pengedepanan unsur primordial.
Semuanya murni adalah perjumpaan budaya secara tulus untuk dapat saling
memahami dan belajar agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan stereotipe negatif
yang dapat merusak hubungan sosial.
8
Yogyakarta ketika suku Jawa sebagai etnis mayoritas di kota ini, atau dalam
konteks ini merupakan etnis mayoritas mahasiswa yang menempuh studi di
Yogyakarta, tidak memegang peranan yang dominatif dan merepresi nilai-nilai
dan budaya dari etnis lainnya yang dianut oleh mahasiswa luar Jawa.
Fenomena ini memang tidak bisa dihindari sebab hukum pasar tidak
mengenal pengecualian tempat bahwa di mana ada pasar yang luas maka akan
timbul permintaan dan untuk itu, dibangunlah moda-moda bisnis yang menjawab
9
permintaan tersebut. Namun demikian, harus disadari pula efek destruktif dari
berkembang maraknya tempat-tempat semacam itu.
Betapa tidak, untuk dapat mengakses dan menikmati jasa atau produk yang
ditawarkan oleh tempat-tempat tersebut kita harus mengeluarkan uang secara
terus-menerus. Godaan untuk terus mengeluarkan uang ini nyata terlihat dalam
program diskon mal, pelansiran mode pakaian terbaru setiap minggu, menu
restoran yang mewah yang sesungguhnya tidak proporsional dengan karakteristik
mahasiswa, pemutaran film-film terbaru, dan ajakan untuk menikmati
kegembiraan semu melalui hura-hura semalam suntuk. Bagaimana hal ini dapat
menghancurkan bangunan toleransi mahasiswa terlihat ketika kita merefleksikan
bahwa nilai-nilai macam itu sungguh sukar untuk didialogkan dengan kearifan-
kearifan lokal yang terkandung dalam kegemahripahan budaya Nusantara yang
terwakili dalam sosok-sosok mahasiswa dari berbagai penjuru Tanah Air.
Budaya konsumeris ini pada akhirnya bila dikonsumsi secara gelojoh dan
bulat-bulat akan menghilangkan jejak-jejak nilai lokal yang terkandung dalam diri
manusia. Sistem filsafati Jawa untuk senantiasa menghormati yang lain dalam
kawah bebrayan agung (masyarakat), tepa selira, andhap asor, dan
mengedepankan unggah-ungguh yang membutuhkan penajaman olah rasa dan
batin akan kalah dan terasa usang apabila dihadapkan pada seduksi-seduksi
budaya konsumeris yang menawarkan kesenangan praktis namun dangkal,
10
terlebih dengan karakter psikologis mahasiswa yang mudah untuk tergoda akan
kesenangan duniawi karena watak avonturirnya. Nilai budaya mahasiswa asal
Minang yang senantiasa mengedepankan nilai religiusitas akan hilang tak
berbekas manakala kesehariannya dihabiskan untuk menghabiskan malam
ditemani alhohol dan musik bising bersama teman-temannya.
Eksklusivisme
11
Apabila paham ini lebih condong merasuk ke dalam hatinya dibandingkan
dengan paham egaliter dan demokratis yang diinternalisasikan dalam kehidupan
perkuliahan, maka paradigma untuk menganggap identitas primordialnya sebagai
yang terunggul dan paling benar akan dipakainya pula dalam menghadapi
perbedaan pandangan dan forum dialektis di kampus. Ini tentu merupakan
kecenderungan yang bersifat individual sehingga signifikansinya terhadap
bangunan toleransi dalam multikulturalitas dan pluralitas mahasiswa secara
keseluruhan tidak terlalu kentara, namun apabila dengan menggunakan pengaruh
pribadi dan kharismanya mahasiswa tersebut dapat menggalang mahasiswa
lainnya untuk mengikuti paham yang sama dengannya, maka hal tersebut tentu
akan berbahaya bagi bangunan toleransi antarmahasiswa Yogyakarta.
12
kita bahwa kini semakin sulit menemukan ruang publik yang lapang dan layak di
Kota Yogyakarta. Yang ada adalah pembangunan proyek properti baru yang tak
jarang bersifat eksklusif seperti misalnya pembangunan perumahan yang terlihat
menegaskan secara keras distingsi status dan segregasi dengan penduduk di
sekitar perumahan tersebut. Sedangkan yang paling masif adalah pembangunan
tempat komersial dan hiburan yang merangsang hasrat mahasiswa sebagaimana
telah dijelaskan di atas melalui pembangunan kafe, mal, bioskop, dan restoran.
Pembangunan tempat komersil tersebut di satu sisi dapat pula melanggengkan
pemahaman akan pentingnya perbedaan status sosial ekonomi karena beberapa
tempat sengaja didesain untuk hanya dapat diakses dan dinikmati kalangan
mahasiswa berpunya.
Sebagai akibatnya, kondisi emosi dan psikis pengguna jalan akan menjadi
tidak sabaran, grusa-grusu, dan panas. Ini dikarenakan masing-masing dari
mereka berlomba secepat mungkin untuk dapat keluar dari kemacetan yang
menyengsarakan. Usaha-usaha untuk keluar dari kemacetan tersebut pada
akhirnya berkembang menjadi “perilaku baru” penghuni Yogyakarta yang sering
13
dikeluhkan oleh khalayak: sedikit-sedikit main klakson, ngebut, menyeberang
sembarangan, melanggar aturan lalu-lintas seenaknya, melanggar hak pemakai
jalan yang lain. Kesemuanya merupakan langgam perilaku yang tentu jauh dari
kata toleran. Sungguh, bila problema di jalan-jalan Yogyakarta ini tidak diatasi
secara baik, bangunan toleransi yang relatif terbangun kokoh dapat goyah tidak
hanya antarmahasiswa Yogyakarta, namun mencakup semua individu yang
tinggal di Yogyakarta.
Lebih dalam lagi, keberadaan ruang-ruang publik memadai yang lebih banyak
sungguh perlu untuk direalisasikan karena dapat pula dipandang sebagai medium
untuk menumbuhkembangkan budaya dan bangunan toleransi antarmahasiswa
Yogyakarta. Dengan pendirian ruang publik, mahasiswa dapat berbaur dan
berinteraksi tanpa sekat dan distingsi-distingsi seperti yang diciptakan oleh ruang-
ruang komersial. Fluiditas interaksi antarmahasiswa dalam ruang publik tersebut
menjadi ajang pertukaran, pemahaman, dan pembelajaran antarbudaya di antara
mahasiswa sebagai alternatif dari ruang-ruang yang ada di kampus yang mungkin
dapat menimbulkan suasana kejenuhan.
IV. Penutup
14
Kota Yogyakarta sampai saat ini dipandang masih mampu untuk memberikan
atmosfer yang memadai bagi tumbuhkembangnya toleransi antarmahasiswa yang
tinggal di dalamnya. Proses pertukaran dan pemahaman budaya berlangsung
secara dinamis dan cair dalam forum-forum kampus maupun kehidupan
keseharian di kos-kosan, dengan didukung penerimaan dan perlakuan yang hangat
dari masyarakat setempat.
15