Você está na página 1de 14

107

TEKNOLOGI KONSERVASI AIR PENDUKUNG


PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
1

Oleh :
Tyas Mutiara Basuki
2


Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
J l. A. Yani PO Box 295 Pabelan.
Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959
Email: bpt.kpdas@forda-mof.org
Email:
2
tyasmb@yahoo.com

ABSTRAK

Permasalahan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi karakter
alami dari DAS dan juga sistem pengelolaannya. Karakter alami DAS
yang bersifat permanen seperti curah hujan, bentuk DAS, geomorfologi,
geologi, kelerengan lahan secara makro, maupun jenis tanah sulit diubah.
Pada DAS yang mempunyai karakter alami yang kurang baik, maka peran
manajemen akan sangat penting untuk mengurangi dampak negatif dan
mengurangi resiko kerusakan yang diakibatkannya. Untuk dapat
mendukung pengelolaan DAS yang tepat sesuai dengan karakter
alaminya, maka diperlukan beberapa teknologi pendukungnya. Dalam
paper ini diuraikan beberapa masalah yang dihadapi dalam tata air DAS
dan upaya-upaya yang diperlukan untuk memperbaiki tata air serta
penelitian pendukung yang diperlukan.


Kata Kunci: DAS, konservasi, tata air, karakter alami









1
Makalah ini disampaikan pada Workshop Penelitian dan Pengembangan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta, 21 Oktober 2011. Balai Penelitian
Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
108

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau dan terjadinya
banjir pada musim penghujan merupakan salah satu masalah
dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kurangnya air di
musim kemarau tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan industri
dan pertumbuhan tanaman, namun juga untuk memenuhi
kebutuhan air bersih rumah tangga. Timbulnya permasalahan
seperti yang disampaikan di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor
atau karakter alami dari DAS dan metode pengelolaannya. Faktor-
faktor yang tidak dapat diubah seperti curah hujan, bentuk DAS,
geomorfologi, geologi, kelerengan lahan secara makro, dan jenis
tanah merupakan bentukan alam. J ika faktor-faktor yang relatif
permanen tersebut mempunyai karakter negatif seperti lereng
yang curam, tidak dibarengi dengan pengelolaan DAS yang tepat
maka akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan,
termasuk kerusakan tata air DAS dan penurunan produktivitas
lahan. Karakter alami biofisik tidak secara individual
mempengaruhi kondisi DAS, namun faktor-faktor tersebut saling
berinteraksi satu dengan yang lainnya dan besarnya dampak
negatif yang ditimbulkannya terhadap lingkungan ditentukan oleh
aspek manajemennya.

Ditinjau dari sisi manajemen, kerusakan tata air suatu DAS sangat
ditentukan oleh kemampuan penggunaan lahannya atau secara
lebih luas tata ruang wilayahnya. Selain tata guna lahan, pemilihan
kesesuaian jenis tanaman yang diusahakan juga berpengaruh
terhadap kondisi neraca air DAS. Perubahan tutupan lahan hutan
menjadi areal pertambangan, pemukiman, pertanian, perkebunan
ataupun konversi suatu jenis ke jenis lain akan merubah fungsi
hidroorologis hutan. Perubahan jenis daun lebar ke daun jarum
kemungkinan juga akan dapat merubah hasil air (Komatsuet al.,
2008). Konversi hutan menjadi perkebunan karet juga akan
mengurangi hasil air melalui tingginya evapotransiprasi tanaman
karet (Guardiola-Claramonte et al., 2010) dan juga mengurangi
sumber air bawah permukaan tanah (Guardiola-Claramonte et al.,
2008). Tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, walaupun
merupakan tanaman tahunan namun karena penanamannya
109

secara monokultur maka diperkirakan akan mengubah kondisi tata
air maupun mengubah biodiversitas areal sekitarnya. Oleh karena
konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang beberapa
tahun terakhir marak dilakukan maka sudah saatnya dilakukan
penelitian yang berkaitan dengan kebutuhan air tanaman sawit
maupun jenis-jenis yang diusahakan untuk hutan tanaman.

Kerusakan tata air DAS juga disebabkan oleh terjadinya erosi
sebagai akibat interaksi antara curah hujan, sifat-sifat tanah,
lereng, vegetasi, dan pengelolaan tanah (Rahayuet al., 2009).
Terjadinya erosi yang terus menerus akan menyebabkan
hilangnya lapisan atas tanah yang banyak mengandung bahan
organik. Hilangnya bahan organik ini akan menyebabkan
kemampuan tanah dalam menahan dan menginfiltrasikan air ke
lapisan tanah yang lebih dalam terganggu. Erosi dan juga
pemakaian alat-alat berat akan memadatkan tanah yang
selanjutnya jika terjadi hujan maka air akan menjadi limpasan
permukaan.

Dalam upaya mewujudkan pengelolaan DAS yang tepat terutama
untuk pemenuhan kebutuhan air, maka harus didukung teknologi
konservasi air yang sesuai dengan kondisi biofisik wilayahnya.
Untuk itu diperlukan hasil-hasil penelitian teknologi konservasi air
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memutuskan kebijakan
yang akan diterapkan. Pada prinsipnya konservasi air adalah
upaya efisiensi penggunaan air yang jatuh ke tanah dan
pengaturan waktu yang tepat sehingga tidak menimbulkan banjir di
musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau (Subagyono
et al., 2004).

B. Permasalahan

Selain karakter alami DAS yang sulit diubah, permasalahan yang
dihadapi dalam tata air DAS adalah:

a. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya
Lahan yang penggunaaanya tidak sesuai dengan daya
dukungnya akan mengakibatkan kerusakan linngkungan.
Sebagai contoh pada lahan-lahan dengan kemiringan curam
110

yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan, namun
digunakan untuk budidaya tanaman semusim dengan
pengolahan tanah yang intensif akan menyebabkan
kerusakan lingkungan. Kerusakan yang terjadi tidak hanya
menyebabkan erosi, limpasan permukaan, penurunan
kemampuan tanah dalam menyimpan air, namun juga
penurunan produktivitas lahan. Pemukiman pada areal yang
berlereng juga akan menyebabkan lahan tidak mempunyai
kesempatan untuk meresapkan air hujan ke lapisan tanah
yang lebih dalam yang nantinya akan dapat dialirkan pada
musim kemarau sebagai aliran dasar (base flow).

b. Pemilihan jenis tanaman yang kurang sesuai dengan kondisi
biofisik
Penanaman dalam upaya reboisasi, rehabilitasi dan
konservasi lahan juga harus memperhatikan kesesuaian jenis.
Ketepatan pemilihan jenis yang berkaitan kondisi iklim
maupun dengan sifat-sifat fisik tanah penting diperhatikan
untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal. Penanaman
jenis-jenis yang banyak mengkonsumsi air pada daerah
dengan curah hujan rendah justru akan menimbulkan
bencana kekeringan.

c. Kurangnya tindakan konservasi bahan organik/seresah
sebagai spon penyimpan air
Seresah terutama yang sudah melapuk merupakan sumber
carbon (C) organik tanah yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan tanaman dan memperbaiki sifat-sifat tanah.
Seresah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air
hujan yang jatuh yang mempunyai energi untuk memecah
agregasi tanah sehingga memudahkan terjadinya erosi dan
limpasan permukaan. Fungsi lain yang tidak kalah penting
dari seresah yang sudah lapuk adalah sebagai spon yang
dapat menahan dan menyimpan air hujan yang jatuh di atas
permukaan tanah. Pada lahan-lahan walaupun ditanami
tanaman kayu-kayuan atau hutan tanaman, namun jika
permukaan tanah di bawahnya bersih tanpa seresah maka air
hujan yang jatuh melalui tajuk pohon masih mempunyai
energi yang besar yang dapat memecah agregasi struktur
111

tanah dan menimbulkan erosi. Air hujan yang jatuh juga tidak
dapat ditahan dan akan menjadi limpasan permukaan. Oleh
karena itu penanaman tanaman tahunan saja tanpa
memperhatikan tutupan permukaan tanahnya juga tidak
menjamin lahan terbebas dari erosi dan menjamin
ketersediaan air DAS pada musim kemarau.

C. Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan arah dalam perencanaan
kegiatan penelitian Teknologi Konservasi Air Pendukung
Pengelolaan DAS pada Balai Penelitian Teknologi Kehutanaan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

II. KONSERVASI AIR DAN DASAR HUKUM TERKAIT

Dasar hukum baik yang berupa undang-undang maupun peraturan
harus dipertimbangkan dalam menyusun perencanaan penelitian.
Hal ini diperlukan agar kegiatan penelitian yang akan dilaksanakan
sesuai dengan rencana pembangunan dan hasilnya dapat
digunakan sebagai tumpuan dalam pengambilan kebijakan dan
pelaksanaan pembangunan.

Payung hukum yang berkaitan dengan pengertian dan tujuan
konservasi air dimuat dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sumberdaya Air. Dalam UU RI tersebut dinyatakan
bahwa salah satu cara untuk melindungi atau konservasi
sumberdaya air adalah dengan penerapan teknik konservasi air.
Dalam PP-RI Nomor 42 Tahun 2008 dinyatakan bahwa
Konservasi atau pengawetan air adalah upaya pemeliharaan
keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air agar tersedia
sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. Tujuan konservasi tanah
adalah untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau
kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya (Pasal 22,
Ayat 1, UU No.7 Tahun 2004).

112

Dalam upaya konservasi air, peranan hutan sangat penting, hal ini
juga dituangkan dalam Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Dalam UU RI ini pada BAB II tentang status dan fungsi
hutan Pasal 9 disebutkan bahwa hutan mempunyai fungsi untuk
kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah RI No.76 Tahun 2008,
Pasal 36, Ayat 3 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan
disebutkan bahwa dalam rehabilitasi kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung dilaksanakan dengan ketentuan bahwa
jenis yang ditanam harus sesuai dengan fungsi hidroorologis dan
sejauh mungkin menghindari penanaman jenis-jenis eksotis.
Kegiatan rehabilitasi, konservasi lahan serta konservasi air seperti
yang dimaksud dalam undang-undang ataupun peraturan-
peraturan tersebut di atas pada dasarnya merupakan upaya untuk
mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia
secara berkelanjutan.yang merupakan tujuan dalam pengelolaan
DAS seperti yang dituangkan dalam PP RI No. 37 Tahun 2012.

III. BEBERAPA PENELITIAN YANG TELAH DAN SEDANG
DILAKUKAN

Dalam upaya mendukung pengembangan jenis-jenis yang sesuai
dengan kondisi iklim terutama curah hujan, peneliti pada Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah dan sedang
melaksanakan kegiatan penelitian yang berkaitan dengan
evapotransirasi ataupun kebutuhan air suatu jenis yang meliputi:
1. Konsumsi air pada tegakan sengon, kayu putih,
nyamplung, mahoni, kayu putih, dan eukaliptus.
2. Evapotranpirasi pada berbagai jenis dengan hasil seperti
yang tercantum dalam Tabel 1.
3. Hasil air dari DAS dengan berbagai persentase luas
penutupan hutan jati dan pinus.






113

Tabel 1. Nilai evapotranspirasi pada berbagai jenis tegakan
Sumber

J enis pohon

Lama
penelitian
(tahun)
Curah
hujan
(mm)
Nilai ET
(% dari
hujan)
Pudjiharta
(1986)
Pinus merkusii
Eucalyptus urophylla
Shcima walichii
1 8
1 8
1 - 8
3056
3056
3056
36,9
22,9
57,7
Pudjiharta dan
Pramono (1988)
dalam RLPS
(2009)
Calliandra calothyrsus
Acacia decuren
Acacia excelsa
1 3
1 3
1 - 3
3402
3402
3402
44,0
46,0
42,0
Pudjiharta
(1991)
Acacia mangium
Shorea pinanga
Dalbergia latifolia
1 4
1 4
1 - 4
3465
3465
3465
68,8
33,3
41,7
Pudjiharta
dalam
RLPS (2009)
Eucalyptus deglupta
Eucalyptus alba
Eucalyptus trianta
1 3
1 3
1 3
3136
3136
3136
52,9
52,4
53,4
Pudjiharta
(1994)
1. Penraria javanica
2. Calopogonium
mucunoides
3. Flemingia congesta
4. Campuran (1+2)
5. Campuran (2+3)
1
1
1
1
1
3092
3092
3092
3092
3092

49,3
55,8
53,7
64,0
68,0
Pudjiharta
(1995)
1. Lantana camara
2. Sacharum
spontaneum
3. Andropogon
muricatus
4. Themeda gigantea
5. Campuran
(1+2+3+4)
1
1
1
1
1
2755
2755
2755
2755
2755
58,0
60,5
62,4
66,5
61,5
Sumber: Ditjen RLPS (2009)
IV. STRATEGI KONSERVASI AIR DAN KEGIATAN
PENELITIAN YANG DIPERLUKAN
A. Strategi konservasi air

Strategi konservasi air ditujukan untuk peningkatan masuknya air
hujan ke dalam tanah dan pengurangan kehilangan air melalui
limpasan permukaan serta melalui evaporasi. Namun demikian,
penting untuk diingat bahwa penerapan teknologi konservasi tidak
bisa digeneralisasi. Penerapan metode konservasi air harus
114

disesuaikan dengan karakter alami lahan/DASnya. Menurut
Subagyono et al. (2004), faktor pembatas yang harus
dipertimbangkan dalam teknik konservasi air yang akan diterapkan
meliputi iklim terutama curah hujan, lereng, kedalaman efektif
tanah dan tekstur tanah. Konservasi air pada daerah bercurah
hujan tinggi dimaksudkan untuk menampung air hujan agar tidak
hilang menjadi limpasan permukaan dan menyebabkan banjir
serta untuk penyediaan air pada musim kemarau. Untuk daerah
yang beriklim kering atau curah hujan rendah, konservasi air
ditujukan terutama untuk mengurangi evaporasi dan memanen air
hujan yang nantinya akan digunakan pada musim kemarau.
Oleh karena itu untuk meminimalkan dampak negatif dari faktor-
faktor permanen terhadap ketersediaan air, diperlukan sistem
pengelolaan yang sesuai dengan kondisi biofisik DAS dengan
mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu
upaya konservasi air harus ditekankan kepada:
a. Peningkatan kemampuan tanah dalam menyimpan air dimusim
penghujan dan mengalirkannya sesuai ruang dan waktu
b. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya
c. Pemilihan jenis untuk rehabilitasi lahan-lahan kritis ataupun
penghijaun harus disesuaikan dengan kondisi biofisik,
terutama pemenuhan kebutuhan air
d. Pengendalian evaporasi dan pemeliharaan kelembaban tanah,
baik dengan seresah/mulsa ataupun tumbuhan penutup tanah.
e. Pemanenan air (water harvesting), baik dengan rorak,
embung, mulsa vertikal maupun saluran peresapan.
Pemanenan air dengan menggunakan embung banyak
diterapkan di daerah-daerah dengan curah hujan rendah
(Previati et al., 2010; Widiyono, 2008)
f. Peningkatan efisiensi penggunaan air

B. Kegiatan penelitian konservasi air pendukung
pengelolaan DAS

Konservasi air sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah dan juga masyarakat. Dengan semakin
bertambahnya penduduk, cepatnya perubahan penggunaan lahan
dan kemungkinan terjadi pergeseran iklim jika tidak dibarengi
115

upaya konservasi air maka akan mengacaukan distribusi air sesuai
dengan ruang dan waktu. Perubahan tutupan lahan hutan menjadi
pertambangan sudah sangat jelas menghilangkan fungsi tanah
dalam meresapkan, menyimpan dan mengalirkan air secara alami.
Oleh karena areal pertambangan sudah mengubah kondisi ekologi
hutan, lahan menjadi benar-benar terbuka, panas dan gersang,
dan ketiadaan lapisan tanah atas maka diperlukan jenis-jenis yang
tahan kekeringan dan tingkat konsumsi air yang rendah.
Perubahan hutan menjadi areal perkebunan seperti kelapa sawit,
kemungkinan besar juga akan mengubah tata air. Sistem
monokultur dalam penanaman kelapa sawit amat berbeda dengan
ekologi hutan sebelum dikonversi. Stratifikasi tajuk dalam
ekosistem hutan memungkinkan air hujan yang jatuh akan
menyebabkan energinya berkurang setelah sampai di permukaan
tanah. Selain itu, akar vegetasi dan seresah pada lantai hutan
mempunyai peranan besar dalam menahan dan meresapkan air
hujan ke lapisan yang lebih dalam. Iklim mikro terutama suhu
udara juga akan berubah sebagai akibat penanaman sistem
monokultur. Oleh karena itu penelitian kebutuhan air untuk
pertumbuhan kelapa sawit berikut kharakteristik biofisik
lingkungannya (temperatur udara, ketersediaan air tanah, neraca
air ) sangat diperlukan.
Mengingat perubahan tutupan lahan mempunyai sifat temporal dan
spatial, maka penggunaan data dan teknologi penginderaan jauh
(remote sensing) dan Gographic Information System (GIS) sangat
diperlukan. Penelitian on site seperti dengan plot atau lisimeter
memang diperlukan untuk mendapatkan data awal kebutuhan air
suatu jenis tanaman. Namun penelitian yang berskala lebih luas
dalam suatu mikro DAS/sub-DAS ataupun DAS juga diperlukan,
karena kebutuhan air suatu jenis secara individu dalam suatu
lisimeter kemungkinan berbeda dengan kebutuhan air dan
simpanan air dalam tanah pada skala yang lebih luas.
Pertumbuhan dan kebutuhan air suatu jenis tanaman dalam skala
luas yang akan ditanam secara monokultur maupun campuran
diduga berbeda, mengingat terjadi persaingan di dalam jenis
ataupun antar jenisnya.
116

Penggunaan penginderaan jauh tidak hanya untuk memonitor dan
memetakan perubahan penggunaan lahan. Namun penelitian
harus lebih ditekankan kepada penemuan-penemuan metode
untuk mengakses data hidrologi dari citra satelit ataupun pesawat
udara yang lebih mendekati pengukuran secara langsung di
lapangan. J ika akurasi parameter hidrologi dari data citra cukup
tinggi, maka metode yang diperoleh bisa digunakan untuk
mengakses parameter-parameter hidrologi pada lokasi-lokasi yang
sulit dijangkau secara langsung di lapangan. Beberapa parameter
biofisik yang berkaitan dengan aspek hidrologi-iklim yang dapat
diakses dari citra adalah data suhu permukaan lahan yang dapat
diakses dari termal infra-red band (French, et al., 2008; Schugge,
et al., 2002), kelembaban tanah untuk daerah yang vegetasinya
jarang yang dapat diakses dari daerah microwave spectrum
(Mohanty and Skaggs, 2001; Schugge, et al., 2002), hujan dari
reflektivitas radar (Krajewski and Smith, 2002; Marx, et al., 2006),
dan evapotranspirasi (French,and Inamdar, 2010; Yang, et al.,
2010). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
suatu metode untuk mengakses data melalui remote sensing
adalah tingkat ketelitian dan hal ini perlu dilakukan validasi dengan
data independen sebelum metode tersebut diaplikasikan secara
luas.
Berdasarkan permasalahan dalam pengaturan tata air DAS
maupun penelitian-penelitian yang telah dilakukan serta peluang
pemanfaatan teknologi penginderaan jarak jauh dan GIS seperti
yang telah disampaikan sebelumnya maka perlu dilakukan
beberapa kegiatan penelitian konservasi air. Beberapa kegiatan
penelitian yang diusulkan beserta tata waktunya disajikan dalam
Tabel 2.





117

Tabel 2. Tata waktu kegiatan penelitian yang berkaitan dengan
konservasi air
Tahun 2013-2014 Tahun 2015-2019 2019-2024
Konsumsi air jenis-
jenis tanaman
kehutanan selain
yang tersebut di
atas (Bab III) dan
tanaman
perkebunan (kelapa
sawit, karet)
dengan pendekatan
plot/lisimeter
ataupun mikro DAS.
a. Konsumsi dan
hasil air dari hutan
tanaman dan
perkebunan dengan
sistem tanam
monokultur atau
sistem agroforestri
dengan pendekatan
mikro DAS.

a.Estimasi
evapotranspirasi
ataupun pemodelan
kebutuhan air tanaman
dengan menggunakan
data dari penginderaan
jauh
b.Metode efisiensi
penggunaan air
(misalnya pruning)
dan pola
pemanfaatan aliran
permukaan dalam
sistem agroforestri
b. Neraca air hutan
tanaman pada
berbagai panjang rotasi


c. Metode
pemanenan air
untuk memenuhi
kebutuhan
pertumbuhan
tanaman di daerah
dengan curah hujan
redah.


d. Metode
penyiapan lahan
untuk memelihara
kelembaban tanah
guna mendukung
pertumbuhan
tanaman.




118

V. PENUTUP

Agar pengelolaan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan
air berhasil, maka diperlukan hasil-hasil penelitian konservasi air
yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam pengambilan
kebijakan. Agar kebutuhan air terpenuhi, penerapan teknik
konservasi air harus sesuai dengan karakter spesifik DAS seperti
curah hujan, geomorfologi, geologi, lereng, sifat tanah serta
kebutuhan air tanaman. Penggunaan metode remote sensing
dalam mengakses beberapa parameter biofisik harus
memperhatikan tingkat akurasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen. Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS)., 2009.
Pedoman monitoring dan evaluasi daerah aliran sungai.

French, A.N., Schmugge, T.J ., Ritchie, J .C., Hsu, A., J acob, F. and
Ogawa, K. 2008. Detecting land cover change at the J ornada
Experimental Range, New Mexico with ASTER emissivities.
Remote Sensing of Environment, 112: 1730 1748.

French, A. N., Inamdar, A.. 2010. Land cover characterization for
hydrological modelling using thermal infrared emissivities.
International J ournal of Remote Sensing 31(14): 3867 3883.

Guardiola-Claramonte, M., Troch, P.A., Ziegler, A.D., Giambelluca,
T.W., Vogler, J .B., Nullet, M.A. 2008. Local hydrologic effects
of introducing non-native vegetation in a tropical catchment.
Ecohydrology 1: 13 22.

Guardiola-Claramonte, M., Troch, P.A., Ziegler, A.D., Giambelluca,
T.W., Durcik, M., Vogler, J . B., Nullet, M. A.. 2010. Hydrologic
effects of the expansion of rubber (Hevea brasiliensis) in a
tropical catchment Ecohydrology 3: 306 314.

Komatsu, H., Kume,T., Otsuki, K.. 2008. The effect of converting
a native broad-leaved forest to a coniferous plantation forest
on annual water yield: A paired-catchment study in northern
J apan Forest Ecology and Management 255: 880 886.
119


Krajewski, W.F., Smith, J .A. 2002. Radar hydrology: rainfall
estimation. Advances in Water Resources 25: 1387 1394.

Marx, A., Kunstmann, H., Bardossy, A., Seltmann. 2006. Radar
rainfall estimates in an alpine environment using inverse
hydrological modelling. Adv. Geoscience 9: 25 29.

Mohanty, B.P., Skaggs, T.H. 2001. Spatio-temporal evolution and
time stable characteristics of soil moisture within remote
sensing footprints with varying soil, slope, and vegetation.
Advances in Water Resources 24: 1051 1067.

Pemerintah Republik Indonesia,. 1999. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Pemerintah Republik Indonesia., 2004. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air.

Pemerintah Republik Indonesia., 2008. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2008 tentang sumber
daya air.

Pemerintah Republik Indonesia., 2008. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 76 tahun 2008 tentang rehabilitasi
dan reklamasi hutan.

Pemerintah Republik Indonesia., 2008. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2012 tentang pengelolaan
Daerah Aliran Sungai.

Previati, M., Bevilacqua, I., Canone, D., Ferraris, S., Haverkamp,
R. 2010. Evaluation of soil water storage efficiency for rainfall
harvesting on hillslope micro-basins built using time domain
reflectometry measurements. Agricultural Water Management
97: 449 456.Pudjiharta, A., 1986. Peranan beberapa jenis
pohon hutan dalam mentransfer air hujan. Buletin Penelitian
Hutan 478: 21 29.

120

Pudjiharta, A., 1991. Aspek hidrologis jenis pohon Dalbergia
latifolia, Shorea pinanga dan Acacia mangium. Buletin
Penelitian Hutan 542: 1 8.

Pudjiharta, A., 1994. Evapotranspirasi dari beberapa jenis tanaman
bawah. Buletin Penelitian Hutan 541: 1 15.

Pudjiharta, A., 1995. Respon beberapa jenis tumbuhan bawah
terhadap evapotranspirasi di Waspada Garut. Buletin
Penelitian Hutan 582: 1 16.

Rahayu, S., Widodo, R. H., van Noordwijk, M., Suryadi, I., Verbist,
B. 2009. Monitoring air di Daerah Aliran Sungai. World
Agroforestry Centre, ICRAF Asia Tenggara, Bogor, Indonesia.

Schumugge, T., Kustas, W.P., Ritchie, J .C., J ackson, T.J ., Rango,
A. 2002. Remote sensing in hydrology. Advances in
Water Resources 25:1367 1385.

Subagyono, K., Haryati, U., Talaoohu, S.H., 2004. Teknologi
konservasi air pada pertanian lahan kering. Hlm. 145-181.
Dalam Konservasi tanah pada lahan kering berlereng. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Widiyono, W. 2008. Konservasi flora, tanah dan sumberdaya air
embung-embung di Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara
Timur. J urnal Teknologi Lingkungan 9 (2): 197 204.

Yang, D., Chen, H., Lei, H. 2010. Estimation of evapotranspiration
using a remote sensing model over agricultural land in the
North China Plain. International J ournal of Remote Sensing 31
(14) : 3783 3798.

Você também pode gostar