Você está na página 1de 16

MENGATUR KEMASAKAN BUAH DENGAN MENGGUNAKAN ZAT

PENGATUR TUMBUH













Oleh :
Andriani Diah Irianti : B1J012011
Venthyana Lestari : B1J012133
Agum Gumelar : B1J012134
Kelompok : 2
Rombongan : II
Asisten : Siti Nur Hidayah





LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pisang merupakan produk holtikultura yang mempunyai arti penting bagi
peningkatan gizi masyarakat karena buahnya merupakan sumber vitamin (A, B1,
C), mineral (kalium, natrium, chlor, magnesium, posfor) dan karbohidrat 25%
yang mudah dicerna (Rumahlewang dan Amanunpunyo, 2012). Menurut Hanum
et al., (2012), pisang adalah buah-buahan tropis yang paling banyak di hasilkan
dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Pemanfaatan buah pisang yang
paling besar adalah untuk pembuatan berbagai jenis makanan, contohnya pisang
kepok (Musa paradisiaca formatypica) merupakan jenis pisang yang baik
dikonsumsi setelah diolah. Pisang kepok merupakan jenis pisang yang biasanya
diolah menjadi keripik pisang.
Proses pemasakan buah merupakan proses pengakumulasian gula dengan
merombak pati menjadi senyawa yang lebih sederhana (Julianti, 2011). Menurut
Abidin (1989), etilen merupakan hormon tumbuh yang dalam keadaan normal
berbentuk gas serta mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana, yaitu terdiri
dari 2 atom karbon dan 4 atom hidrogen. Etilen digolongkan sebagai hormon yang
aktif dalam proses pematangan. Menurut Ahmadi et al., (2011) pematangan
merupakan proses kelayuan yang mengakibatkan organisasi antara sel menjadi
terganggu. Gangguan ini merupakan pelopor hidrolisa pati, klorofil, pektin dan
tanin oleh enzim-enzim di dalamnya yang akan menghasilkan bahan-bahan seperi
etilen, pigmen, energi dan polipeptida. Pematangan juga diartikan sebagai suatu
fase akhir dari proses penguraian substrat dan proses yang dibutuhkan oleh bahan
untuk mensintesa enzim-enzim spesifik yang diantaranya akan digunakan dalam
proses kelayuan.
Proses pematangan buah pisang merupakan proses pengakumulasian gula
dengan merombak pati menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tidak seperti buah
pada umumnya yang mengakumulasi gula secara langsung dari pengiriman
asimilat hasil fotosintesis di daun yang umumnya dikirim ke organ lain dalam
bentuk sukrosa (Anderson dan Beardall, 1991). Selama proses pemasakan, buah
pisang akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimiawi, antara lain adalah
perubahan tekstur, aroma, rasa, kadar pati dan gula. Tekstur buah ditentukan oleh
senyawa-senyawa pektin dan selulosa. Selama pemasakan buah menjadi lunak
karena menurunnya jumlah senyawa tersebut. Rasa manis setelah buah masak,
ditentukan oleh adanya gula hasil degradasi pati yang menjadi gula yang lebih
sederhana yaitu sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Timbulnya aroma yang khas pada
buah pisang disebabkan terbentuknya senyawa kompleks dari senyawa yang
mudah menguap dan beberapa minyak esensial yang ada. Di samping timbulnya
aroma, terbentuk juga gula selama pemasakan buah. Bertambahnya senyawa
mudah menguap pada saat pemasakan buah pisang sangat erat hubungannya
dengan pembentukan aroma buah pisang. Metabolisme pati mempunyai peran
yang penting pada proses pemasakan buah. Selama periode pasca panen, pati
dapat diubah menjadi gula sederhana seperti sukrosa, glukosa, dan fruktosa.
Dalam penyimpanan suhu rendah, terjadinya akumulasi gula adalah akibat dari
aktivitas enzim (Pantastico, 1989).


B. Tujuan
Tujuan acara praktikum kali ini adalah untuk mengetahui konsentrasi zat
pengatur tumbuh yang mampu mempercepat kemasakan buah.



















II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah koran, gelas ukur,
batang pengaduk, beaker glass dan timbangan analitik.
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah buah pisang
kapok, dan ethrel (2-chloroetyl phosponic acid 600 ppm).

B. Metode
1. Cara Kerja
Pisang pertama direndam pada larutan 2-chloroetilphosponic acid
dengan konsenterasi 0 ppm selama 5 menit.
Pisang kedua juga direndam pada larutan 2-chloroetilphosponic
acid dengan konsenterasi 300 ppm selama 5 menit.
Kedua pisang dibungkus dengan kertas koran.
Pisang diamati setiap selama 7 hari, amati perubahan aroma,
tekstur, warna dan rasanya.
Data yang didapatkan dicatat.



















III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Data Rasa Pemasakan Buah
Konsentrasi
(ppm)
Rasa
1 2 3 4 5 6 7
0 + + + ++ +++ ++++ ++++
300 + + + ++ +++
600 + + ++++
900 + + ++ ++ +++ +++ ++++

Tabel 2. Data Aroma Pemasakan Buah
Konsentrasi
(ppm)
Aroma
1 2 3 4 5 6 7
0 + + + ++ +++ ++++ ++++
300 + + + ++ +++
600 + + ++++
900 + + ++ ++ +++ +++ +++

Tabel 3. Data Tekstur Pemasakan Buah
Konsentrasi
(ppm)
Tekstur
1 2 3 4 5 6 7
0 + + + +++ +++ ++++ ++++
300 + + + ++ +++
600 + ++ +++
900 + + ++ ++ ++ +++ +++

Tabel 4. Data Warna Pemasakan Buah
Konsentrasi
(ppm)
Warna
1 2 3 4 5 6 7
0 + + + ++ +++ ++++ ++++
300 + + + ++ +++
600 + +++ ++++
900 + + ++ ++ +++ +++ +++




Keterangan :
+ = Perubahan rendah
++ = Perubahan sedang
+++ = Perubahan tinggi
++++ = Perubahan sangat tinggi

Pemasakan Buah Kontrol (0 ppm)








Gambar 1. Konsentrasi 0 ppm
Hari ke-1
Gambar 2. Konsentrasi 0 ppm
Hari ke-2

Gambar 3. Konsentrasi 0 ppm
Hari ke-3

Gambar 4. Konsentrasi 0 ppm
Hari ke-4

Gambar 5. Konsentrasi 0 ppm
Hari ke-5

Gambar 6. Konsentrasi 0 ppm
Hari ke-6






Pemasakan Buah Konsentrasi 600 ppm








Gambar 7. Konsentrasi 0 ppm
Hari ke-7

Gambar 1. Konsentrasi 600 ppm
Hari ke- 0

Gambar 2. Konsentrasi 600 ppm
Hari ke- 1

Gambar 3. Konsentrasi 600 ppm
Hari ke- 2

Gambar 4. Konsentrasi 600 ppm
Hari ke- 3

B. Pembahasan
Berdasarkan praktikum dan pengamatan pemasakan buah dengan ethrel
didapatkan bahwa perubahan aroma dengan konsenterasi 0 ppm adalah rendah
sampai sangat tinggi, konsentrasi 300 ppm perubahan aroma yang terjadi rendah,
sedang dan tinggi. Konsentrasi 600 ppm perubahan aroma yang terjadi rendah
sampai sangat tinggi. Konsenterasi 900 ppm perubahan aroma rendah, sedang
dan tinggi. Hal ini sesuai pustaka bahwa timbulnya aroma yang khas pada buah
pisang disebabkan terbentuknya senyawa kompleks dari senyawa yang mudah
menguap dan beberapa minyak esensial yang ada. Selain timbulnya aroma
terbentuk juga gula selama pemasakan buah. Bertambahnya senyawa mudah
menguap pada saat pemasakan buah pisang sangat erat hubungannya dengan
pembentukan aroma buah pisang. Semakin tinggi konsenterasi ethrel yang
diberikan maka aroma yang dihasilkan juga akan semakin kuat (Mworia et al.,
2011). Menurut Wills, et al (1981), perombakan bahan-bahan organik kompleks
yang terjadi selama proses respirasi akan menghasilkan gula-gula sederhana dan
asam-asam organik yang akan mempengaruhi aroma pada buah.
Perubahan tekstur buah pisang dengan konsenterasi 0 ppm rata-rata adalah
rendah sampai sangat tinggi, konsentrasi 300 ppm rendah, sedang dan tinggi.
Konsenterai 600 ppm perubahan tekstur adalah rendah, sedang dan tinggi.
Konsentrasi 900 ppm perubahan tekstur yang terjadi dari rendah, sedang dan
tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartasapoetra (1994), perubahan tekstur
pada buah disebabkan karena aktifnya enzim-enzim pektinmetilasterase dan
poligaleklturonase selama proses pematangan buah yang telah mengalami
pemecahan menjadi senyawa-senyawa lain, sehingga tekstur yang tadinya keras
akan berubah lunak.
Perubahan warna yang terjadi pada 0 ppm adalah rendah sampai sangat
tinggi. Konsenterasi 300 ppm perubahan warna yang terjadi dari rendah, sedang,
tinggi. Konsenterasi 600 ppm hanya rendah dan sangat tinggi. Konsenterasi 900
ppm perubahan warna yang terjadi pada buah pisang rendah, sedang dan tinggi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Abidin (1989) bahwa berubahnya warna hijau
menjadi kuning dikarenakan klorofil terdegradasi menjadi bagian yang lebih kecil
dan digantikan dengan karotenoid.
Perubahan rasa yang terjadi pada pemberian ethrel 0 ppm adalah rendah
sampai sangat tinggi. Konsentrasi 300 ppm perubahan rasa yang terjadi adalah
rendah, sedang dan tinggi. Konsentrasi 600 ppm perubahan yang terjadi rendah,
tinggi dan sangat tinggi. Konsentrasi 900 ppm perubahan yang terjadi rendah,
sedang dan tinggi. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyatakan bahwa rasa
manis setelah buah masak, ditentukan oleh adanya gula hasil degradasi pati yang
menjadi gula yang lebih sederhana yaitu sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Daging
buah yang masih mentah memiliki rasa sepet yang disebabkan oleh senyawa
tanin. Selama proses pemasakan buah rasa aktif menurun pada buah yang masak
(Mworia et al., 2011).
Buah berdasarkan kandungan amilumnya (pati), dibedakan menjadi buah
klimaterik dan buah non klimaterik. Buah klimaterik adalah buah yang banyak
mengandung amilum, seperti pisang, mangga, apel dan alpokat yang dapat dipacu
kematangannya dengan etilen. Etilen endogen yang dihasilkan oleh buah yang
telah matang dengan sendirinya dapat memacu pematangan pada sekumpulan
buah yang diperam. Buah ini memperlihatkan produksi CO
2
yang mendadak
meningkat tinggi pada saat matang. Buah klimaterik yang setengah matang dapat
diperam. Hasilnya yaitu buah masak dan rasanya enak dan penampilannya bagus.
Walaupun demikian buah klimaterik yang kurang tua dapat menjadi matang bila
diperam, tetapi mutu buahnya kurang baik, rasa asamnya tinggi, hambar, dan
warna kulit buahnya kurang menarik. Buah nonklimaterik adalah buah yang
kandungan amilumnya sedikit, seperti jeruk, anggur, semangka dan nanas.
Pemberian etilen pada jenis buah ini dapat memacu laju respirasi, tetapi tidak
dapat memacu produksi etilen endogen dan pematangan buah. Buah non
klimaterik ini tidak dapat diperam, tingkat kematangannya tidak dapat dipacu.
Pemanenan buah harus dilakukan pada tingkat ketuaan optimal atau saat buah
matang (Satuhu, 1995).
Etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu kamar
berbentuk gas. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian.
Menurut Abidin (1989), etilen adalah hormon tumbuh yang secara umum
berlainan dengan auksin, giberellin dan sitokinin. Keadaan normal, etilen akan
berbentuk gas dan struktur kimianya sangat sederhana sekali. Keberadaan etilen di
alam akan berperan apabila terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu
tanaman. Hormon ini akan berperan dalam proses pematangan buah dalam fase
klimaterik.
Larutan ethrel mampu membantu buah untuk menghasilkan etilen
langsung dari jaringan tanaman itu sendiri. Semakin tinggi konsentrasi ethrel
yang digunakan perubahan warna dan pelunakkan buah semakin cepat, dan
pemacuan tersebut mempercepat penurunan kadar pati diiringi dengan
peningkatan kadar gula dan kadar asamnya. Ethrel dalam larutan air dapat
memicu pemasakan pada buah, semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi tingkat
pematangan. Etilen yang dilepaskan dari ethrel lebih efektif dalam memicu
pematangan buah dalam tiga kultivar mangga daripada mencelupkan buah dalam
larutan berair dari ethrel. Buah yang terpapar oleh etilen tersebut matang dengan
laju yang lebih cepat dibandingkan bila tanpa etilen. Efeknya pada pematangan
buah ditunjukkan oleh peningkatan warna kulit, peningkatan jumlah gula dan
penurunan kepadatan daging. Ethrel memiliki kelemahan yaitu harus diterapkan
untuk buah dalam larutan air, sehingga dapat meningkatkan biaya dan
meningkatkan penyebaran penyakit. Pemasakan buah merupakan perubahan yang
terjadi pada tahap akhir perkembangan buah atau merupakan tahap awal penuaan
(senescence) pada buah (Mohamed dan Abu Bakar, 2010).
Selama perkembangan buah, terjadi perubahan biokimiawi dan fisiologi.
Umumnya buah yang masih muda berwarna hijau karena memiliki kloroplas
sehingga dapat melakukan fotosintesis, tetapi sebagian besar kebutuhan
karbohidrat. Pemasakan buah juga merupakan proses yang kompleks dan
terprogram secara genetik diawali dengan perubahan warna, tekstur, aroma, dan
rasa (flavour) (Sinay, 2008). Kecepatan pemasakan buah terjadi karena zat
tumbuh mendorong pemecahan tepung dan penimbunan gula (Kusumo, 1990).
Proses pemecahan tepung dan penimbunan gula merupakan proses pemasakan
buah yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna, tekstur buah dan bau pada
buah. Tanda kematangan pertama pada kebanyakan buah adalah hilangnya warna
hijau. Kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laut berkurang. Saat
terjadi klimaterik, klorofilase bertanggung jawab atas terjadinya penguraian
klorofil. Penguraian hidrolitik klorofilase yang memecah klorofil menjadi bagian
vital dan inti porfirin yang masih utuh, maka klorofilida yang bersangkutan tidak
akan mengakibatkan perubahan warna. Bagian profirin pada molekul klorofil
dapat mengalami oksidasi atau saturasi, sehingga warna akan hilang. Lunaknya
buah disebabkan oleh adanya perombakan photopektin yang tidak larut.
Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi
rasa manis (Pantastico, 1986).
Menurut Noor (2007), ciri buah pisang yang baik selama proses
pemasakan buah antara lain tekstur lunak, aroma tercium kuat, rasa manis, warna
kuning, kadar pati dan gula. Tekstur buah ditentukan oleh senyawa-senyawa
pektin dan selulosa. Selama pemasakan buah menjadi lunak karena menurunnya
jumlah senyawa dari pektin dan selulosa. Selama itu jumlah protopektin yang
tidak larut berkurang sedang jumlah pektin yang larut menjadi bertambah. Rasa
manis setelah buah masak, ditentukan oleh adanya gula hasil degradasi pati yang
menjadi gula yang lebih sederhana yaitu sukrosa, glukosa dan fruktosa. Daging
buah yang masih mentah memiliki rasa sepet yang disebabkan oleh senyawa
tanin. Aroma yang khas pada buah pisang disebabkan terbentuknya senyawa
kompleks dari senyawa yang mudah menguap dan beberapa minyak esensial yang
ada.
Faktor yang mempengaruhi aktivitas gas etilen. Adapun yang
mempengaruhi aktivitas etilen menurut Abidin (1989) yaitu :
1. Suhu
Aktivitas pematangan buah akan menurun dengan turunnya suhu ruang
penyimpan buah. Contoh pada buah apel yang disimpen pada suhu 3
0
C,
penggunaan etilen dengan konsentrasi tinggi tidak memberikan pengaruh yang
nyata baik pada proses pematangan maupun respirasinya. Suhu tinggi (
>35
o
C) menyebabkan tidak terjadi pembentukan etilen. Suhu optimum
pembentukan etilen (tomat, apel) 32
o
C sedangkan untuk buah-buahan lain
lebih rendah.



2. Luka Mekanis dan Infeksi
Pembentukan etilen dapat dirangsang adanya kerusakan mekanis dan infeksi,
misalnya memarnya buah karena jatuh dan lecet selama pengangkutan buah,
sehingga etilen akan berpusat pada bagian tersebut.
3. Sinar Radioaktif
Penggunaan sinar radioaktif dapat merangsang pembentukan etilen. Contoh
pada buah yang disinari sinar gamma sebesar 600 krad dapat mempercepat
pembentukan etilen, apanila diberikan pada saat pra klimaterik. Akan tetapi
apabila pada saat klimaterik penggunaan sinar radiasi ini dapat menghambat
produksi etilen.
4. Adanya CO
2
dan O
2

Bila O
2
diturunkan dan CO
2
dinaikan maka proses pematangan terhambat.
Apabila keadaan anaerob tidak terjadi pembentukan etilen.
5. Interaksi dengan Hormon Auksin
Apabila konsentrasi auksin meningkat maka etilen pun meningkat.
6. Tingkat Pematangan
Mekanisme pematangan buah oleh etilen diawali dengan sintesis protein pada
tingkat pematangan yang normal. Protein disintesis secepatnya dalam proses
pematangan.
Ethrel atau etilen berperan untuk membantu mempercepat pematangan
buah, apabila konsentrasi yang digunakan terlalu rendah maka efek dari ethrel itu
sendiri akan rendah sehingga tidak begitu berdampak kepada pematangan buah,
karena pematangan buah itu dibantu oleh ethler tersebut. Kerja etilen mampu
memecahkan klorofil pada buah yang masih muda hingga mengakibatkan merah
atau orange karena klorofil telah tereduksi oleh gas etilen. Akibat kelebihan etilen
akan menghalangi pertumbuhan tanaman (menghambat pemanjangan tanaman),
menghambat pertumbuhan dan perkembangan akar, daun, batang dan bunga
(Andre, 2012). Hormon etilen diperlukan dalam pematangan buah. Kelebihan
hormon etilen dapat menyebabkan berakhirnya masa dorman, pembentukan akar
adventif, merangsang absisi buah dan daun, merangsang induksi sel kelamin
betina pada bunga. Sedangkan kekurangan hormon etilen dapat menyebabkan
munculnya pengaruh yang berlawanan dengan auksin dan mendorong atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangan akar, batang, daun dan bunga
(Ting, 1982).























IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat di simpulkan bahwa:
1. Zat pengatur tumbuh jenis ethrel merupakan salah satu hormon etilen sintetis
dalam bentuk cairan yang mampu mempercepat pemasakan buah.
2. Selama proses pematangan terjadi perubahan warna, tekstur, aroma dan rasa.
3. Semakin tinggi konsentrasi etilen maka makin cepat proses pematangan buah
tertentu.


B. Saran
Seharusnya setiap kali acara praktikum, harusnya praktikum dikasih kertas
yang nantinya digunakan untuk mencatat data.


















DAFTAR REFERENSI
Abidin, Z. 1989. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh.
Penerbit Angkasa: Bandung.
Ahmadi., N.R, Mangunwidjaja., D, Suparno., O dan Iswanti., D. 2011. Pengaruh
Tingkat Kematangan Buah Terhadap Aktivitas Larvasida dan Sifat Fisiko-
Kimia Minyak Kamandrah (Croton Tiglium L.). Jurnal Litri, 17(4):163-
168.
Anderson J. W dan Beardall. 1991. Molecular Activities of Plant Cell An
Introduction to Plant Biochemistry, Oxford. Blackwell Scientific
Publication: 384.

Andre, Veliarry. 2012. Kelebihan dan Kekurangan Hormon pada Tanaman.
http://veliarryandre.blogspot.com/2012/09/kelebihan-dan-kekurangan-
hormon-pada-tanaman.html. Diakses pada tanggal 13 Mei 2014.

Hanum, F., M. A. Turigun dan I. M. D. Kaban. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah
Pisang Kepok (Musa paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia USU: 49-53.

Julianti, Eka. 2011. Pengaruh Tingkat Kematangan dan Suhu Penyimpanan
Terhadap Mutu Buah Terong Belanda (Cyphomandra betacea). Jurnal
Hortikultura Indonesia 2(1):14-20.
Kartasapoetra, A. G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta:
Jakarta.
Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna: Bogor.
Mohamed, N. I. A and Abu Bakar, A.A.G. 2010. Effect of ethrel in aqueous
solution and ethylene released from ethrel on guava fruit ripening.
Agriculture And Biology Journal Of North America, 1(3) : 232-237.
Mworia, E. G., Takashi Y., Nadiah S., Chisato O., William O. A., Naoki Y.,
Daigo A., Koichiro U., Ryohei N dan Yasutaka K. 2011. Low-
temperature-modulated Fruit Ripening is Independent of Ethylene in
Sanuki Gold kiwifruit. Agric. Biol. J. N. Am., 1(3): 232-237.
Noor, Z. 2007. Perilaku Selulase Buah Pisang Dalam Penyimpanan Udara
Termodifikasi. Seminar Nasional Teknologi, Yogyakarta.
Pantastico. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta.

Rumahlewang, W. dan H. R. D. Amanupunyo. 2012. Patogenesitas Collectricum
musae Penyebab penyakit Antraknosa Pada Beberapa Varietas Buah
Pisang. Agrologia, 1(1): 76-81.

Sinay, M. 2008. Kontrol Pemasakan Buah Tomat Menggunakan RNA Antisense.
UGM Press: Yogyakarta.
Satuhu. 1995. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. ITB: Bandung.
Wills, R. A. H., T. H. Lee, D. Graham, W. B. McGlasson and G.C. Hall. 1981.
Postharvest An Introduction to the Physiology and Handding of Fruit
Vegetables. New South Wales Univercity Press: Sidney.
Ting, I.P. 1982. Plant Physiology. Addison Wesley Publishing Company Inc:
London.

Você também pode gostar