Você está na página 1de 1

Sejarah Samarinda

Samarinda yang dikenal sebagai kota seperti saat ini dulunya adalah salah satu w
ilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Di wilayah tersebut belum a
da sebuah desa pun berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah
Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan p
ersawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang
Mumus dan sungai Karang Asam.
Pada tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng
Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kuta
i. Mereka hijrah ke luar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena mereka tidak ma
u tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah aki
bat diserang oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Keraja
an Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lo
kasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha
pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-oran
g Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam men
ghadapi musuh. Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumu
s (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pela
yaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. S
elain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado b
ersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah
. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan da
ri serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbaga
i daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dike
nal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang
mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan ter
sebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal se
but. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, be
rderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku la
innya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu
dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan a
tau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara su
ngai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan d
ari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-
kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lah
an atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur
.

Você também pode gostar