Você está na página 1de 11

Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual

Phebe Illenia S.
Woelan Handadari
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Korespondensi: Woelan Handadari, Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031) 5032770, 5014460, Faks (031) 5025910, E-mail:
buwoelan@yahoo.com atau e-mail: phebeillenia@hotmail.com
Abstract.
This research was aimed to discover how the healing process of sexual abuse victim from their
trauma. This research used qualitative approach with intrinsic case study. This research was
conducted by exploring the experience of two sexual abuse victims who have recovered from their
trauma. The researcher carried out depth interview as data collecting technique. Data were
analyzed by thematic analysis technique. The result showed that sexual abuse victims passed
through emotional process such as denial stage, angry stage, and depression stage, before finally
they reached the acceptance stage. On the healing process, sexual abuse victims suffered from
traumatic experiences such as feel profane the name of the family, feel shame, and feel dirty. They
also suffered from sleep disorder, easily suspicious, inadequate emotion, etc. As the healing
effort, they tried to consult their problem to psychologist and psychiatric, did meditation and
yoga exercise, shared story with friend, and joined with the spritual activity. Their supporting
factors were support from environment, religion faith, and personality characteristic.
Key words: self-healing, trauma, sexual abuse.
Abstrak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana proses pemulihan diri korban kekerasan
seksual pulih dari trauma yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode studi kasus intrinsik. Penelitian ini dilakukan pada dua korban kekerasan
seksual yang telah pulih dari trauma mereka. Penggalian data dilakukan dengan teknik
wawancara mendalam. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis tematik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual melewati tahap emosi seperti tahap
penyangkalan, tahap kemarahan, dan tahap depresi sebelum akhirnya mencapai tahap
penerimaan. Dalam proses pemulihan dirinya, korban kekerasan seksual mengalami
pengalaman traumatis seperti perasaan takut mencemarkan nama keluarga, perasaan aib, dan
perasaan kotor. Mereka juga mengalami gangguan tidur, sikap yang mudah curiga, emosi yang
tidak adekuat, dan sebagainya. Sebagai usaha memulihkan diri, mereka mencoba berkonsultasi
ke psikolog, psikiater, latihan meditasi dan yoga, bercerita kepada teman, dan mengikuti
kegiatan spiritual. Faktor yang mendukung mereka adalah dukungan lingkungan, keyakinan
agama, dan karakteristik kepribadian.
Kata kunci: pemulihan diri, trauma, korban kekerasan seksual.
118 INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
Kekerasan i nterpersonal , termasuk korban kekerasan seksual di masa kecil mereka,
kekerasan fisik dan seksual, seperti pemerkosaan, 95% pekerja seks remaja merupakan korban
inses dan pembunuhan, sangat umum terjadi pada kekerasan seksual anak, 40% penyerang seksual
wanita (Stenius & Veysey, 2005). Berdasarkan data dan 76% pemerkosa berantai mengalami
dari Pusat Krisis Terpadu PSCM, terdapat 1.200 kekerasan seksual di masa anak-anaknya.
kasus kekerasan seksual pada anak sejak Juni 2000 Beberapa penelitian menyatakan bahwa 64% dari
hingga 2005 (Zahra, 2007). Hasil studi di Jakarta 140 wanita yang menjadi pasien rawat jalan
memperlihatkan bahwa setiap bulan sekitar 15 psikiatrik memiliki sejarah kekerasan seksual dan
remaja putri menjadi korban perkosaan. Data dari 303 wanita yang mengalami depresi, 63%
Komisi Nasional Perlindungan Anak juga mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya
menunjukkan bahwa korban kekerasan terus naik (Surrey, dkk., 1990; Scholle, dkk., 1998 dalam
hingga mencapai 50 persen dan berdasarkan data Warshaw & Barnes, 2003). Sebagian besar korban
yang diperoleh dari LBH Apik, sepanjang 2005 kekerasan seksual juga menderita stres pasca
yang lalu telah melakukan pendampingan hukum trauma (post-traumatic stress disorder atau
terhadap 22 orang korban kekerasan seksual PTSD).
(Awas, 2009, 28 Januari). PTSD merupakan sindrom kecemasan,
Kekerasan seksual cenderung menimbulkan labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional,
dampak traumatis baik pada anak maupun pada dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih
orang dewasa (Faulkner, 2003 dalam Zahra, 2007). itu setelah stress fisik maupun emosi yang
Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan,
terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa 1998). PTSD sering terjadi pada korban
kekerasan seksual (Zahra, 2007). Secara spesifik, pengalaman traumatis, tidak terkecuali pada
Faulkner (2003, dalam Zahra, 2007) menjelaskan korban kekerasan seksual. Korban membutuhkan
bahwa kendala yang menghambat seseorang proses pemulihan dari PTSD agar kualitas
dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah hidupnya dapat meningkat dan tidak terus
anak-anak korban kekerasan seksual tidak menerus menyesali kejadian traumatis tersebut.
mengerti bahwa dirinya menjadi korban, korban Namun, penyembuhan PTSD sendiri tidak
sul i t mempercayai orang l ai n sehi ngga mudah. Korban yang sembuh dari trauma tersebut
merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. bukan berarti melupakan kejadian tersebut.
Selain itu, korban cenderung takut melaporkan Ada orang-orang yang mampu memulihkan
karena mereka merasa terancam akan mengalami dirinya dari trauma tersebut dan menjadi orang
konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, yang berprestasi, misalnya Caroline Roberts yang
korban merasa malu untuk menceritakan mengalami pelecehan seksual ketika berusia 13
peristiwa kekerasan seksualnya, korban merasa tahun dan mengalami kekerasan seksual pada usia
bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi 17 tahun. Awalnya, dia terjerumus dalam narkoba
karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan dan seks, namun pada akhirnya dia dapat berjuang
seksual membuat korban merasa bahwa dirinya mengatasi traumanya dengan mendekatkan diri
mempermalukan nama keluarga. pada Tuhan dan sebagai terapi, dia menulis buku
Kekerasan seksual yang menimpa para berjudul The Lost Girl yang menceritakan
korban, terutama anak-anak dan wanita, tentang pengalaman traumatisnya (Roberts,
terkadang menjadi stressor yang tidak dapat 2007). Ada pula Somaly Mam (penulis buku The
diatasi dan menimbulkan masalah di kemudian Road of Lost Innocence, penerima Anugerah
hari, seperti menderita gangguan makan Penghargaan Wanita tahun 2006, presiden
(anoreksia atau bulimia), masalah seksual, AFESIP, presiden Yayasan Somaly Mam dan
penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik, penerima Anugerah Penghargaan Anak-Anak
kecemasan, hancurnya penghargaan diri, atau Dunia untuk Hak-Hak Anak tahun 2008 yang
depresi berkepanjangan (Knauer, 2002). Bahkan, pernah mengalami kekerasan seksual pada usia 12
Faul kner ( 2003 , dal am Zahr a, 2007) tahun dan dijual sebagai PSK oleh kakek
mengemukakan sejumlah data bahwa 31% angkatnya) (Mam, 2005).
narapidana perempuan di Amerika merupakan Selain wanita, ada pula contoh korban
119
Phebe Illenia S., Woelan Handadari
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
kekerasan seksual yang terjadi pada pria dan telah Menurut Kubler-Ross (1969) ada lima yaitu
pulih dari trauma kekerasan seksual yang tahap penyangkalan (subyek merasa tidak percaya
dialaminya yaitu Greg LeMond (pemenang Tour tentang apa yang terjadi padanya), tahap
de France tiga kali yang pernah mengalami kemarahan (subyek mengalami perasaan marah
kekerasan seksual pada usia 12 tahun dan penulis karena peristiwa tersebut terjadi pada dirinya),
buku Playing with Fire) dan Theoren Fleury tahap bargaining (subyek melakukan banyak hal
(bintang hoki NHL dan pemenang medali emas di yang kurang rasional agar tidak terjadi hal yang
Olimpiade yang mengalami kekerasan seksual di sama), tahap depresi (subyek kehilangan gairah
usia 13-14 tahun) (Gillis, 2009; Ruibal, 2009). hidup, merasa sedih dan seringkali tidak nafsu
Dari contoh-contoh di atas, maka dapat makan), dan tahap penerimaan (subyek menerima
dilihat bahwa baik wanita maupun pria dapat apa yang terjadi pada dirinya secara intelektual
mengalami kekerasan seksual dan dampaknya pun dan emosional. Perkembangan hidupnya pun
sama yaitu trauma. Namun, keduanya pun sama- lebih positif ). Tahapan pemulihan diri yang
sama dapat memulihkan diri dari trauma dialami setiap korban kekerasan seksual ini
kekerasan seksual yang dialami. Ada banyak faktor berbeda-beda, begitupun dengan waktu yang
yang membantu proses pemul i han di ri dibutuhkan untuk pulih dari trauma kekerasan
diantaranya dukungan dari orang sekitar, konsep seksual yang dialaminya. Contohnya, Caroline
diri sebelumnya, kekuatan personal dan Roberts membutuhkan waktu sekitar 20 tahun
penyembuhan profesional dari sistem hukum dan untuk dapat pulih dari traumanya (Roberts, 2007).
medis (Dunmore, dkk., 1999 dalam Chivers- Berbeda dengan Somaly Mam yang membutuhkan
Wilson, 2006). Ada pula terapi yang biasa waktu sekitar 16 tahun untuk pulih dari trauma
digunakan untuk PTSD yaitu cognitive-behavioral kekerasan seksual yang menimpanya (Mam,
therapy (CBT), exposure techniques, somatic 2005).
experiencing, sensorimotor therapy, craniosacral Di luar negeri, penelitian dengan tema yang
therapy, eye movement desensitization and sama telah banyak dilakukan, namun di Indonesia
reprocessing (EMDR) (Pratt, 2010). sendiri, penulis jarang menemukan penelitian
Menurut penel i ti an Pri gerson dan dengan tema pemulihan diri, terutama pemulihan
Maciejewski (2008), tahapan pemulihan diri diri dari trauma kekerasan seksual. Penulis justru
Kubler-Ross (1969) adalah lima tahap kesedihan menemukan bahwa ada orang yang bunuh diri
yang umum digunakan sebagai teori pemulihan karena diperkosa dan orang yang terjerumus
diri dari segala hal yang berhubungan dengan rasa menjadi PSK karena pernah mengalami kekerasan
kehilangan, misalnya kehilangan seseorang yang s eks ual ( Ai da, 201 0; Hami l , 201 0;
dicintai, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan Setyorakhmadi, 2010). Ada penelitian Ginanjar
pekerjaan. Namun, teori ini juga digunakan dalam (2009) tentang proses pemulihan diri, namun
proses pemulihan diri dari perselingkuhan dan partisipannya adalah istri yang suaminya
kecanduan (Prigerson dalam Kotulak, 2007). berselingkuh, bukan korban kekerasan seksual.
Sanders (2002) juga mengatakan tentang Penelitian ini mengulang tema sebelumnya
penggunaan teori Kubler-Ross (1969) tersebut dengan konteks berbeda yaitu pemulihan diri pada
dalam memulihkan seseorang dari adiksi yang korban kekerasan seksual.
diakibatkan banyak hal, termasuk trauma Penelitian Baumann (2007) mengangkat
kekerasan seksual. Ada pula penelitian Rasmussen pemulihan diri dari kekerasan sebagai tema,
(2007) tentang penggunaan TOPA (trauma namun yang l ebi h di tekankan adal ah
outcome process) sebagai cara menangani remaja perbandingan tiga cara pemulihan diri. Pada
yang pernah mengalami kekerasan seksual. penelitian ini, tema yang akan diangkat adalah apa
Rasmussen (2007) menggunakan teori Kubler- saja yang dilakukan subjek sehingga dapat pulih
Ross (1969) sebagai salah satu dasar model TOPA. dari traumanya.
Karena beberapa alasan di atas, maka penulis Dalam penelitian Moody (1999) yang
memilih menggunakan teori Kubler-Ross (1969) menjadi tema bukanlah proses pemulihan diri,
sebagai model pemulihan diri korban kekerasan melainkan segala hal tentang pria korban
kekerasan seksual, mulai dari efek psikologis, efek seksual.
120
Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
fisik hingga intervensi dari layanan sosial. Begitu dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih
pula dengan penelitian Lisak (1994) yang bertema itu setelah stress fisik maupun emosi yang
efek psikologis kekerasan seksual saja. melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD
Hal ini menyebabkan penulis ingin dapat dialami siapapun yang telah mengalami
mengetahui bagaimana seseorang dapat pulih dari kejadian traumatik, tidak peduli usia dan jenis
trauma kekerasan seksual yang menimpanya, kelamin (Kaplan & Sadock, 1998). Menurut
mengetahui secara lebih mendalam perasaan apa Knauer (2002), ada beberapa jenis gangguan
saja yang mereka rasakan dan usaha apa saja yang akibat PTSD yaitu gangguan disosiatif, gangguan
telah dilakukan sehingga bisa pulih dari trauma akibat penggunaan alkohol dan obat terlarang,
kekerasan seksual yang dialaminya. Hasil ini gangguan makan, dan perilaku kecanduan atau
diharapkan dapat memberi informasi dan manfaat kompulsif. Tentunya hal ini memerlukan
bagi korban yang memiliki masalah sama. pemulihan diri agar korban dapat pulih dari
traumanya dan fungsinya sebagai individu dapat
berlangsung dengan baik.
Kekerasan Seksual, PTSD dan Pemulihan
Kesedihan sebagai dampak traumatis dapat
Diri
dijelaskan melalui model pemulihan diri dari
Kekerasan seksual sangat sering terdengar
Kubler-Ross (1969). Model pemulihan diri ini
dalam kehidupan kita, baik di koran maupun di
memiliki lima tahapan dan setiap korban tidak
televisi. Hal ini sangat umum terjadi pada wanita
selalu melewati setiap tahapan. Lima tahapan
(Salasin & Rich, 1993 dalam Stenius & Veysey,
tersebut adalah:
2005). Pria pun dapat menjadi korban kekerasan
1. Tahap penyangkalan
seksual, tidak hanya wanita saja. Karena
Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak
banyaknya kasus kekerasan seksual, hal ini perlu
percaya bahwa kekerasan seksual tersebut
diperhatikan baik oleh orangtua maupun
menimpa diri korban. Para korban selalu
masyarakat.
berkata, Tidak, bukan saya, itu tidak benar.
Menurut Supardi dan Sadarjoen (2006),
Penyangkalan ini hampir selalu dilakukan
kekerasan seksual adalah setiap bentuk perilaku
ol eh semua korban dan merupakan
yang memiliki muatan seksual yang dilakukan
pertahanan sementara.
seseorang atau sejumlah orang namun tidak
2. Tahap kemarahan
disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang
Ketika masa penyangkalan tidak tertahankan
menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat
lagi, korban akan mengalami perasaan marah,
negatif, seperti rasa malu, tersinggung, terhina,
gusar, cemburu, dan benci. Pertanyaan yang
marah, kehilangan harga diri, dan kehilangan
sering muncul adalah, Mengapa aku? atau
kesucian. Kekerasan seksual mencakup tindakan
Mengapa bukan orang itu saja?.
pemaksaan hubungan seksual hingga kontak
Kemarahan ini dapat terjadi kapanpun dan
nonfisik, misalnya mempertontonkan adegan
diproyeksikan ke lingkungan pada saat yang
seksual atau mempertontonkan alat kelamin
tidak terduga. Mereka biasanya akan memaki-
(Supardi & Sadarjoen, 2006). Kekerasan seksual
maki diri sendiri, orang lain atau Tuhan atas
menimbulkan dampak bagi korbannya. Pada
kejadian traumatis tersebut, sering menangis,
umumnya, dampak pada pria dan wanita tidak
bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap
jauh berbeda. Perasaan buruk akibat pengalaman
diri sendiri atau orang lain.
kekerasan seksual yang mereka alami dan pendam
3. Tahap penawaran
akan menjadi lebih buruk dari hari ke hari, dan
Ketika perasaan marah sudah agak mereda,
menjadikan identitas yang buruk bagi korban
maka korban akan memasuki tahap
(Lisak, 1994). Pengalaman traumatis dan perasaan
penawaran. Tahap ini mampu menolong
buruk akan diri sendiri ini menyebabkan korban
korban meskipun hanya untuk beberapa saat.
tidak dapat melupakan kekerasan seksual yang
Karena menyadari kondisi dirinya yang sedang
dialaminya dan dapat menjadi gangguan stres
dalam masa krisis, maka korban berusaha
yang disebut PTSD.
melakukan berbagai hal bagi dirinya asalkan
PTSD merupakan sindrom kecemasan,
pengalaman tersebut dapat hilang. Tahap ini
labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional,
121
Phebe Illenia S., Woelan Handadari
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
merupakan salah satu mekanisme pertahanan mempunyai kemampuan dan kemauan untuk
diri, dimana korban berharap trauma itu akan memberikan informasi sesuai tema penelitian.
hilang dengan sendirinya. Partisipan utama penelitian ini berjumlah
4. Tahap depresi dua orang, sedangkan untuk memenuhi prinsip
Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus triangulasi data, maka penulis menggunakan dua
me ne r us , da n us a ha - us a ha unt uk orang significant others yang terdiri dari orang
memperbaiki dirinya dapat membuat korban terdekat masing-masing partisipan. Sehingga
masuk ke dalam kondisi depresi. Mereka dapat total partisipan penelitian berjumlah empat orang.
kehilangan gairah hidup, merasa sangat sedih, Penel i t i an i ni menggunakan al at
tidak ingin merawat diri dan kehilangan nafsu pengumpulan data berupa wawancara mendalam
makan. Mood depresif menjadi semakin (depth interview) terhadap partisipan penelitian
buruk bila korban meyakini bahwa dirinyalah yang terpilih. Teknik analisis data yang digunakan
yang salah dan menyebabkan terjadinya pada penelitian ini adalah analisis tematik dengan
pengalaman tersebut. melakukan koding terhadap hasil transkrip
5. Tahap penerimaan wawancara yang telah diverbatim.
Setelah korban mencapai tahap penerimaan,
barulah dapat terjadi perkembangan yang
HASIL DAN BAHASAN
positif. Penerimaan terbagi menjadi dua tipe.
Pertama, penerimaan intelektual yang artinya
Hasil penelitian disajikan dalam tabel sebagai
menerima dan memahami apa yang telah
berikut.
terjadi. Kedua, penerimaan emosional yang
artinya dapat mendiskusikan pengalaman
traumatisnya tanpa reaksi-reaksi berlebihan.
Proses menuju penerimaan tidak sama bagi
semua orang dan rentang waktunya juga
berbeda.
METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
sedangkan pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus. Tipe dari studi
kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah
studi kasus intrinsik.
Karakteristik partisipan penelitian ini adalah
berusia 20-40 tahun, pernah mengalami
kekerasan seksual, memiliki kemampuan dan
kemauan untuk menceri takan kembal i
pengalaman pribadi mereka serta dapat memberi
informasi yang relevan dengan tema penelitian,
dan telah mengalami perubahan positif dalam
kondisi emosi dan penyesuaian diri dalam
kehidupan sehari-hari.
Significant other partisipan adalah keluarga,
teman atau orang terdekat bagi partisipan.
Karakteristik significant other penelitian ini
adalah orang yang merupakan orang terdekat bagi
pasrtisipan dan mengetahui kehidupan sehari-
hari partisipan, bersedia diwawancarai, dan
122
Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
123
Tabel 1
Perbandingan Pemulihan Diri Partisipan
No. Hasil Partisipan 1 dan Significant Other 1 Partisipan 2 dan Significant
Other2
1. Usia ketika
mengalami
kekerasan
seksual

11 tahun


7 tahun

2. Pengalaman
traumatis

1. Takut mencemarkan nama baik orangtua

2. Tabu untuk dibicarakan

3. Aib bagi dirinya


1. Takut mencemarkan nama
baik orangtua

2. Perasaan bersalah karena
melakukan hal tersebut
3. Merasa dirinya tidak perawan
dan kotor

3. Dampak

1. Insomnia

2. Kecanduan rokok

3. Sering sakit

4. Serangan panik

5.

Mati rasa

6. Destruktif

7. Depresif dan tidak mudah percaya

8. Obsesi mempermalukan gurunya

9. Percobaan bunuh diri

10. Trauma mendengar orang mengaji, orang
yang berjalan tanpa sandal dan diseret,
berjalan di lorong dan kata centil
11. Emosi labil.

12.

Sangat tergantung.

13. Emosi tidak adekuat.

14. Ketergantungan obat.
15. Ingin balas dendam.

16. Merasa tidak aman.

1. Takut terhadap tetangganya
2. Sensitif dengan sentuhan

3. Sering terbawa mimpi

4. Menjadi lebih emosional dan
lebih penakut

5. Mudah curiga

6. Selektif dalam berhubungan
dengan pria.

4. Perasaan

1. Tahap penyangkalan

2. Tahap kemarahan

3. Tahap depresi

4. Tahap penerimaan
1. Tahap penyangkalan

2. Tahap kemarahan

3. Tahap penerimaan



5. Usaha

1. Konsultasi ke psikolog

2. Konsultasi ke psikiater

3. Mengikuti pengobatan ilmu tenaga dalam

4. Latihan meditasi dan yoga
1. Sharing dengan teman

2. Menghadapi traumanya

3. Pengembangan diri

4. Mengikuti kegiatan SKI


6. Faktor

1. Dukungan keluarga dan teman

2. Keyakinan diri

3. Karakteristik kepribadian

4. Proses terapi

1. Dukungan dari teman

2. Keyakinan agama

3. Karakteristik kepribadian
7. Waktu yang
dibutuhkan
untuk pulih
15-16 tahun

7-8 tahun

Phebe Illenia S., Woelan Handadari
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
Data tersebut menunjukkan bahwa ada Bahasan
perbedaan dalam cara memulihkan diri pada
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
kedua partisipan. Kedua partisipan sama-sama
penulis, maka didapatkan hasil bahwa kedua
memiliki pengalaman traumatis, dampak akibat
partisipan mengalami kekerasan seksual yang
kekerasan seksual, proses pemulihan diri dalam
menyebabkan pengalaman traumatis. Partisipan
bentuk perasaan, usaha yang dilakukan, faktor
pertama mengalami kekerasan seksual ketika
yang mendukung pemulihan diri mereka.
berusia 11 tahun sedangkan partisipan kedua
124
Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
mengalami kekerasan seksual pada usia 7 tahun. diperhatikan dari perbedaan usia keduanya.
Kekerasan seksual yang dialami keduanya Ketika mengalami kekerasan seksual, partisipan
menimbulkan pengalaman traumatis dan pertama berusia 11 tahun dan partisipan kedua
perasaan buruk seperti anggapan bahwa diri berusia 6 tahun. Perbedaan ini tentunya
mereka tidak perawan, mencemarkan nama baik menimbulkan perbedaan tingkat kognitif dimana
keluarga, dan sebagainya, namun mereka dapat menurut Piaget (dalam Monks, dkk., 2006), tahap
memulihkan dirinya dari trauma kekerasan kognitif partisipan pertama adalah tahap
seksual tersebut. operasional formal sedangkan tahap kognitif
Sebagai akibat dari pengalaman traumatis partisipan kedua adalah tahap pra-operasional.
tersebut, kedua partisipan mengalami dampak- Ketika partisipan pertama telah mencapai
dampak negatif setelah mengalami kekerasan tahap operasional formal, maka dia telah dapat
seksual. Menurut Knauer (2002), dampak negatif berpikir idealistis, logis dan abstrak sehingga saat
akibat PTSD adalah gangguan disosiatif, gangguan kekerasan seksual tersebut terjadi, partisipan
akibat penggunaan alkohol dan obat terlarang, dapat berpikir apa yang terjadi pada dirinya. Secara
gangguan makan, dan gangguan kecanduan. kognitif, dia mungkin telah memahami sedikit apa
Secara umum, kedua partisipan mengungkapkan yang terjadi padanya, namun secara emosi, dia
bahwa mereka mengalami berbagai macam belum dapat mengatasi perasaannya sehingga
dampak negatif seperti trauma terhadap sesuatu dampaknya cukup banyak terutama dari sisi
dan menjadi mudah curiga terhadap orang lain. emosi. Sebaliknya pada partisipan kedua yang
Partisipan pertama mengungkapkan bahwa masih dalam tahap pra-operasional, dia dapat
dirinya mengalami kecanduan rokok, percobaan berpikir konkrit, cara berpikirnya belum dapat
bunuh diri, trauma pada orang yang mengaji dan dibalik, egosentris dan sangat memusat sehingga
suara orang berjalan tanpa sandal yang diseret, saat hal itu terjadi, partisipan belum mampu
depresif, serangan panik, tidak mudah percaya memikirkan apa yang terjadi pada dirinya. Secara
pada orang lain, dan sebagainya. Significant other kognitif, dia mungkin belum memahami yang
partisipan pertama mengungkapkan bahwa terjadi dan secara emosi pun, dia belum mengerti
partisipan mengalami kecanduan rokok, sehingga trauma tersebut muncul namun
ketergantungan obat, percobaan bunuh diri, dampaknya pun lebih sedikit daripada partisipan
emosi labil dan tidak adekuat, serangan panik, dan pertama. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan
sebagainya. Ada beberapa pernyataan yang sama jumlah dampak yang muncul pada kedua
bahwa setelah mengalami kekerasan seksual partisipan.
tersebut, partisipan pertama mengalami berbagai Setelah dampak-dampak negatif tersebut
macam dampak negatif seperti kecanduan rokok, muncul, kedua partisipan berusaha untuk
percobaan bunuh diri, dan serangan panik. memulihkan dirinya. Dalam teori Kubler-Ross
Partisipan kedua mengungkapkan bahwa (1969), dikatakan bahwa selama proses pemulihan
setelah mengalami kekerasan seksual tersebut, diri, mereka akan melewati tahapan emosi seperti
dirinya juga mengalami dampak negatif seperti menyangkal, kemarahan sebelum akhirnya
ketakutan terhadap pelaku, sensitif terhadap mereka dapat pulih dari trauma dan menerima
sentuhan, dan sebagainya. Significant other keadaan mereka apa adanya. Begitu pula yang
partisipan kedua mengungkapkan bahwa terjadi pada kedua partisipan penelitian ini
partisipan menjadi sangat selektif dalam dimana mereka berdua juga melewati beberapa
berhubungan dengan pria dan sensitif terhadap tahap emosi sebelum mereka dapat mencapai
sentuhan. Pernyataan partisipan dan significant tahap penerimaan.
other memiliki kesamaan yaitu bahwa partisipan Memang tidak semua tahap emosi
menjadi sangat selektif terhadap pria dan sensitif tersebut dialami oleh partisipan, namun sebagian
terhadap sentuhan. besar muncul pada kedua partisipan. Partisipan
Dalam hal tersebut, terjadi perbedaan yang pertama mengatakan bahwa proses pemulihan
cukup signifikan dimana partisipan pertama dirinya dilewati dengan tahap menyangkal, tahap
mengalami dampak negatif yang lebih banyak kemarahan, tahap depresi sebelum dia mencapai
daripada partisipan kedua. Hal ini perlu tahap penerimaan tersebut. Partisipan pertama
125
Phebe Illenia S., Woelan Handadari
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
mengatakan bahwa tahap-tahap ini dilewatinya partisipan bertemu dengan teman yang mau
dengan sangat menyakitkan dan membutuhkan menceritakan pengalaman pribadinya. Partisipan
waktu 15 hingga 16 tahun untuk pulih. Partisipan mencapai tahap penerimaan ketika berusia 15
kedua mengatakan bahwa proses pemulihan tahun dimana dia dapat menerima keadaan
dirinya dilewati dengan tahap menyangkal, tahap dirinya, dapat bercerita dengan nyaman, dan dapat
kemarahan, dan pada akhirnya tahap penerimaan. memaafkan pelakunya.
Partisipan kedua mengatakan bahwa tahapan ini Tugas perkembangan dapat menjadi salah
dilaluinya selama 7 hingga 8 tahun. satu indikator pulih dari trauma, artinya bahwa
Partisipan pertama membutuhkan waktu individu dapat mencapai tugas perkembangannya
sekitar 15-16 tahun karena setelah terjadinya dan melaksanakan dalam tindakan nyata. Dilihat
kekerasan seksual di India pada usia 11 tahun, dari tugas perkembangan, partisipan pertama
partisipan tidak menyadari dampak-dampak yang dapat menemukan kelompok sosialnya, bekerja
muncul setelahnya. Partisipan juga melakukan dan menerima tanggung jawab sebagai warga
tahap penyangkalan yang lama karena adanya negara. Dia juga membaktikan diri pada
tuntutan diri sendiri agar tidak mencemarkan kehidupan dengan menjadi aktivis di beberapa
nama baik keluarga, perasaan tabu dan aib pada bidang. Partisipan kedua juga telah menemukan
dirinya. Sewaktu SMA, perasaan marah partisipan kelompok sosial dan dapat menerima tanggung
mulai muncul terutama pada keluarganya. Hal ini jawab sebagai warga negara. Namun perlu
juga ditunjukkan dalam bentuk pemberontakan diperhatikan bahwa hal ini harus dikaji lebih
dan tindakan partisipan. Partisipan baru lanjut dalam penelitian berikutnya karena
mengetahui dirinya mengalami PTSD ketika penelitian ini belum membahas secara mendalam
hamil anak kedua yaitu ketika partisipan berusia tentang tugas perkembangan individu.
sekitar 23 tahun dan mulai berkonsultasi ke Selain mengalami dampak kekerasan seksual
psikolog di Swiss. Perasaan depresi muncul dalam dan tahap emosional tersebut, ada beberapa usaha
diri partisipan sehingga dia tidak dapat mengurus yang dilakukan kedua partisipan sebagai usaha
anak, tidak nafsu makan, hanya tidur saja, dan pemulihan dirinya dari trauma kekerasan seksual.
sebagainya. Pada usia 25 tahun, partisipan kembali Partisipan pertama mengatakan bahwa dia
ke Indonesia tahun dan mengikuti latihan melakukan berbagai usaha seperti berkonsultasi
meditasi dan yoga sampai akhirnya partisipan ke psikolog, psikiater, ilmu tenaga dalam, serta
mencapai tahap penerimaan pada usia 27 tahun meditasi dan yoga. Significant other partisipan
dimana dia dapat menerima dirinya apa adanya pertama juga mengatakan bahwa partisipan
dan kejadian yang dialaminya sebagai bagian berusaha ke psikiater, psikolog, latihan meditasi
hidupnya. Partisipan juga dapat memaafkan dan yoga sehingga ada kesamaan antara partisipan
pelakunya dan menceritakan kejadian tersebut dan significant other.
tanpa reaksi yang berlebihan. Partisipan kedua juga melakukan usaha
Partisipan kedua membutuhkan waktu pemulihan diri dengan cara sharing ke teman-
sekitar 7-8 tahun karena setelah terjadinya teman, mengikuti kegiatan SKI, menghadapi
kekerasan seksual pada usia 7 tahun, partisipan trauma, dan mengembangkan dirinya dimana
belum memahami apa yang terjadi pada dirinya. significant other partisipan kedua mengatakan
Selain itu, partisipan juga tidak berani untuk bahwa partisipan berusaha untuk bercerita
bercerita kepada siapapun. Karena tuntutan diri sebagai usaha menghilangkan beban hidupnya.
untuk tidak mencemarkan nama baik keluarga, Sehingga ada kesamaan bahwa partisipan
perasaan kotor dan tidak perawan, partisipan melakukan sharing sebagai usaha pemulihan
melakukan tahap penyangkalan dan tahap dirinya.
kemarahan yang lama. Dia hanya berusaha untuk Kedua partisipan mengungkapkan bahwa
mengembangkan diri dengan mengalihkan dirinya dapat mencapai tahap penerimaan karena
pikirannya ke sekolah. Ketika berusia 13 tahun, beberapa faktor yang mendukungnya. Menurut
partisipan hampir mengalami kekerasan seksual Ginanjar (2009), faktor yang mempengaruhi
oleh pacarnya sehingga traumanya kembali proses pemulihan diri seseorang adalah
muncul. Ketika partisipan masuk kelas 1 SMA, karakteristik kepribadian, keyakinan dan agama,
126
Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
dukungan emosi dari keluarga dan sahabat, beberapa tahap emosi. Tahap emosi yang
kegiatan aktualisasi diri, dan proses terapi. muncul pada kedua partisipan adalah tahap
Beberapa faktor yang mempengaruhi partisipan penyangkalan, tahap kemarahan, dan tahap
pertama adalah dukungan dari keluarga dan penerimaan. Pada partisipan pertama, tahap
teman, keyakinan diri, karakteristik kepribadian depresi juga muncul. Tahap penyangkalan
partisipan, dan proses terapi yang diikutinya. dimunculkan dengan cara mengatakan bahwa
Significant other partisipan pertama mengatakan diri mereka baik-baik saja, padahal tidak.
pula bahwa faktor yang mempengaruhi proses Tahap kemarahan muncul dengan kemarahan
pemulihan diri partisipan adalah dukungan terhadap orangtua, pelaku dan diri sendiri.
lingkungan, teman, dan proses terapi. Sehingga c) Ada beberapa usaha yang dilakukan oleh
ada kesamaan bahwa faktor yang mendukung partisipan selain mengatasi emosi mereka.
adalah dukungan dari orang lain dan proses terapi. Partisipan pertama mengatakan bahwa
Bagi partisipan kedua, faktor yang dirinya berusaha untuk konsultasi ke psikolog,
mempengaruhi yaitu dukungan dari teman, psikiater, pengobatan ilmu tenaga dalam,
karakteristik kepribadian partisipan, dan hingga meditasi dan yoga. Partisipan kedua
keyakinan agama. Significant other partisipan mengatakan bahwa dirinya melakukan
kedua mengatakan bahwa dia tidak tahu pasti, pengembangan diri, mengikuti SKI, dan
namun karena bercerita pada orang lain, maka sharing.
dukungan dari teman dapat menjadi salah satu d) Ada beberapa faktor yang mendukung
faktor yang mempengaruhi partisipan. dalam proses pemulihan diri mereka yaitu
Kedua partisipan memiliki latar belakang dukungan dari teman dan keluarga,
berbeda dan mengalami pengalaman kekerasan keyakinan, dan kepribadian partisipan
seksual yang berbeda, namun mereka dapat pulih menjadi faktor-faktor yang mendukung. Pada
dari trauma yang mereka alami walaupun waktu partisipan pertama, faktor proses terapi ikut
yang mereka lewati untuk memulihkan diri juga mendukung pemulihan dirinya.
berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa korban
kekerasan seksual dapat memulihkan diri mereka
dari traumanya.
SIMPULAN
Simpulan yang dapat penulis rumuskan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Perbedaan tahap kognitif kedua partisipan
yang disebabkan perbedaan umur partisipan
mempengaruhi banyaknya dampak yang
dialami keduanya. Partisipan pertama
mengalami kekerasan pada usia 11 tahun
(tahap operasional formal) dan partisipan
kedua berusia 7 tahun (tahap pra-operasional)
sehingga cara mereka memandang masalah
secara kognitif juga berbeda. Namun secara
umum, gangguan dan masalah yang dialami
oleh kedua partisipan sebagai dampak dari
pengalaman traumatis yang mereka alami
adalah gangguan tidur, trauma terhadap
sesuatu, lebih emosional dan tidak mudah
percaya pada orang lain.
b) Partisipan dapat memulihkan dirinya lewat
PUSTAKA ACUAN
Aida Saskia lima kali mencoba bunuh diri. (2010, 11 Oktober). Yahoo [on-line]. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2010 dari http://id.omg.yahoo.com/news/aida-saskia-lima-kali-mencoba-bunuh-diri-khjx-
0000344598.html?cmtnav=/mwphucmtgetnojspage/headcontent/helium_article/khjx:0000344598/n
a/date/desc/41.
Awas, kekerasan seksual pada anak!. (2009, 28 Januari). Kompas [on-line]. Diakses pada tanggal 22 Juli 2010
dari http://nasional.kompas.com/read/2009/01/28/19183187/awas.kekerasan.sekSual.terhadap.anak.
Baumann, S.L. (2007). Recovering from abuse: A comparison of three paths. Nursing Science Quarterly, 20, 342-
348.
Chivers-Wilson, K.A. (2006). Sexual assault and posttraumatic stress disorder: A review of the biological,
psychological and sociological factors and treatments. McGill Journal of Medicine, 9, 111-118.
Gillis, C. (2009, Oktober). Harrowing details from his new book and interview with the retired NHL Star.
Ma c l e a n s [ o n - l i n e ] . D i a k s e s p a d a t a n g g a l 2 3 O k t o b e r 2 0 1 0 d a r i
http://www2.macleans.ca/2009/10/09/theoren-fleury-was-abused-an-absolute-nightmare-every-day-
of-my-life/2/.
Ginanjar, A.S. (2009). Proses healing pada istri yang mengalami perselingkuhan suami. Makara, Social
Humaniora, 13, 66-76.
Hamil diperkosa, siswi SMK bunuh diri. (2010, 1 Oktober). Bataviase [on-line]. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2010 dari http://bataviase.co.id/node/402145.
Kaplan, H. & Sadock, B.J. (1998). Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta: Widya Medika.
Knauer, S. (2002). Recovering from sexual abuse, addicting, and compulsive behaviors Numb survivors. New
York: The Haworth Press, Inc.
Kotulak, R. (2007, Februari). Scientists measure 5 stages of grief: Most people's Anguish eases after six months;
Others might need treatment, study finds. Proquest [on-line]. Diakses pada tanggal 10 Maret 2011 dari
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=37&sid=6&srchmode=1&vinst=PROD&fmt=3&s.
Kubler-Ross, E. (1969). On death and dying (ed.terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lisak, D. (1994). The Psychological Impact of Sexual abuse: Content analysis of interviews with male survivors.
Journal of Traumatic Stress, 7, 525-548.
Mam, S. (2005). The road of lost innocence. Jakarta: Hikmah.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P. & Haditono, S. R. (2006). Psikologi perkembangan (16th ed). Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Moody, C.W. (1999). Male child sexual abuse. Journal of Pediatric Health Care, 13, 112-119.
Pratt, A. (2010, Februari). Post traumatic stress disorder: A framework for understanding. LinkedIn [on-line].
D i a k s e s p a d a t a n g g a l 1 8 M a r e t 2 0 1 0 d a r i
http://www.linkedin.com/news?viewArticle=&articleID=115899350&gid=831767&articleURL=http%3A
%2F%2Fwww.articlesbase.com%2Fmental-health-articles%2Fpost-traumatic-stress-disorder-a-
framework-for-understanding-1903514.html&urlhash=BVX3&goback=.hom&trk=NUS_DISC_N-
nd_title.
Prigerson, H.G. & Maciejewski, P.K. (2008). Grief and acceptance as opposite sides of the same coin: setting
a research agenda To study peaceful acceptance of loss. The British Journal of Psychiatry, 193, 435-437.
Rasmussen, L.A. (2007). Challenging traditional paradigms: Applying the trauma outcome process (TOPA)
model in treating sexually abusive youth who have histories of abusive trauma. San Diego State University,
School of Social Work.
Roberts, C. (2007). The lost girl: Perjuangan seorang korban pelecehan seksual melawan trauma masa lalunya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ruibal, S. (2009, Juli). LeMond. Reaching out to victims of sexual abuse. USA Today [on-line]. Diakses pada
tanggal 23 Oktober 2010 dari http://www.usatoday.com/sports/cycling/2009-08-05-
greglemondnonprofitwork_N.htm.
Sanders, M. (2002, November). Blending grief therapy with addiction recovery: What to do when your client
suffers a loss in recovery. Counselor Magazine [on-line]. Diakses pada tanggal 11 Maret 2011 dari
http://www.counselormagazine.com/component/content/article/27-treatment-strategies-or-
127
Phebe Illenia S., Woelan Handadari
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
128
protocols/147-blending-grief-therapy-with-addiction-recovery.
Setyorakhmadi, K. (2010, 21 Oktober). Awalnya terjebak, selanjutnya terima order. Jawa Pos, hal. 29, 43.
Stenius, V.M.K & Veysey, B.M. (2005). It's the little things: Women, trauma, and strategies for healing. Journal
of Interpersonal Violence, 20, 1155-1174.
Supardi, S. & Sadarjoen. (2006, Desember). Dampak psikologis pelecehan seksual pada anak perempuan.
Kompas [ on- l i ne] . Di aks es pada t anggal 23 Okt ober 201 0 dar i ht t p: / / www.
kompas.com/kesehatan/news/0409/12/201621.htm.
Warshaw, C. & Barnes, H. (2003, April). Domestic violence, mental health, & trauma. Chicago: The Domestic
Violence and Mental Health Policy Initiative.
Zahra, R.P. (2007). Kekerasan seksual pada anak. Arkhe, 12, 2, 133-142.
Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Você também pode gostar