Você está na página 1de 4

EKSISTENSIALISME

Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri berasal
dari bahasa ex: keluar, dan sister: berdiri. Jadi, eksistensi berdiri dengan keluar dari diri sendiri.

Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik etika eksistensialis adalah
pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi, penglihatannya
tentang masa depan. Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai,
yang harus diterima seperti adanya dan tak perlu diubah, etika eksistensialis berpendapat bahwa
hidup ini belum selesai, tidak harus diterima sebagai adanya dan dapat diubah, bahkan harus
diubah. Ini berlaku untuk hidup manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa dan dunia
seanteronya. Namun, bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap
situasi membawa akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu
dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi kemajuan hidup.
Akhirnya, bagi orang yang menerima hidup sudah sampai titik dan puncak kesempurnaannya,
masa depan tidak amat berperan karena masa depan pun keadaannya akan sama saja dengan
masa yang ada sekarang. Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang
ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor yang penting.
Karena hanya dengan adanya masa depan itulah perbaikan hidup dimungkinkan dan pada masa
depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum eksistensialis menjadi
serius, dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah:
Immanuel Kant, Jean Paul Sartre, S. Kierkegaard (1813-1855 M), Friedrich Nietzsche (1844-
1900 M), Karl Jaspers (1883-1969 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gabriel Marcel (1889-
1973 M), Ren LeSenne dan M. Merleau Ponty (1908-1961 M).

Filsafat Umum Eksistensialisme
1. Metafisika
Para filsuf Eksistensialisme mengakui adanya realitas yang bersifat fisik (material) seperti yang
dikemukakan oleh para filsuf :
1. Martin Heidegger realitas (material) itu sebagai yang berada (seiende), artinya bahwa
realitas yang bersifat fisik itu, atau benda-benda itu terletak begitu saja (voorhanden) di depan
manusia.
Realitas fisik atau benda-benda itu tidak memiliki kesadaran dan penyadaran diri, tetapi hanya
berarti jika dihubungkan dengan manusia.
2. Jean Paul Sartre Realitas fisik (material) sebagai yang berada dalam diri, dan tidak
mempunyai hubungan dengan keberadaannya.
Artinya, segala yang berada dalam diri suatu benda akan memiliki makna sesuai makna yang
diberikan oleh manusia.

Realitas fisik (material) dipandang sebagai yang berada dalam diri, maksudnya bahwa
manusia bertanggung jawab atas eksistensinya. Oleh karena itu, Martin Heidegger menyatakan
bahwa manusia tidak termasuk yang berada atau yang berada dalam diri, melainkan ia berada.
Cara manusia berada disebut dengan istilah Dasein (berada di sana, di tempat)
menempati atau mengambil tempat.

Awal keberadaan dan hidup manusia adalah absurd (tidak masuk akal) manusia menyadari
pentingnya eksistensi manusia bersifat terbuka, artinya bahwa dalam eksistensinya manusia
adalah mahluk yang belum selesai.

Dalam bereksistensi, manusia dapat merasakan suatu kecemasan (Angst).
1. Jean Paul Sartre Kecemasan itu diakibatkan karena manusia terhukum dengan
kebebasannya.
2. Kierkegaard Kecemasan itu muncul karena perjalanan mencari makna eksistensi manusia
selalu menyibukan manusia dan setiap usaha itu berakhir di tepi jurang yang dalam.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia ber-ada di dunia bukan atas pilihannya. Namun, menjadi
apa pribadi manusia dapat ditentukan oleh keputusan dan persetujuan (komitmen). Manusia
harus bertanggung jawab berjuang terus mencari makna hidup dengan jalan mewujudkan diri
sebagai manusia (eksistensi).

2. Epistemologi
Makna istilah pengalaman dalam pandangan filsuf Eksistensialisme berbeda dengan makna
pengalaman dalam pandangan filsuf Empirisme atau realisme. Pengalaman bagi filsuf
Eksistensialisme adalah pengalaman yang terhayati oleh individu sebagai subjek atau pribadi.
Filsuf Eksistensialisme cenderung bersikap skeptis mengenai pengetahuan yang objektif, tetapi
mereka mengakui kemungkinan manusia untuk dapat mencapai kebenaran.

3. Aksiologi
Para filsuf Eksistensialisme berpendapat bahwa tidak ada nilai-nilai yang bersifat absolut, tidak
ditentukan oleh kriteria dari luar. Eksistensi manusia adalah nilai dasar bagi setiap pribadi.
Nilai adalah sesuatu yang sangat bersifat personal, persoalan individual. Dengan demikian
Standar moral yang bersifat majemuk, setiap orang bebas memilih standar moralnya.


Eksistensialisme dan Filsafat Hukum

Eksistensialisme berangkat dari manusia sebagai subjek yang independen. Oleh karena itulah,
kaum eksistensialis memandang hukum sebagai produk yang tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan manusia.

Eksistensialisme sendiri muncul dari kritik terhadap pemikiran absolutisme Hegelian. Pandangan
Hegel yang begitu idealistik menyebabkan manusia sebagai individu tidak diberikan tempat di
dunia ini. Pandangan Hegel yang seperti itu cukup erat kaitannya dengan filsafat hukum.

Menurut Huijbers, pertama-tama manusia dimengerti secara objektif-abstrak, yakni dalam
definisi yang terkenal: animal rationale. Kemudian, manusia dimengerti dalam konsep subjektif-
abstrak dalam: cogito ergo sum, tekanan terletak dalam kehidupan batin. Dalam filsafat
eksistensi, manusia dimengerti secara subjek-konkret: manusia adalah subjek di dunia.

Salah seorang ahli hukum yang menganut faham eksistensialis adalah Hans Maihofer.
Pandangan tentang eksistensialisnya dipengaruhi oleh filsuf Jerman, Martin Heideger. Menurut
Heideger manusia dilukiskan sebagai suatu subjek individual yang harus mengembangkan diri
secara objektif. Filsafat hukum memang bersifat memengaruhi, jika ada satu pemikiran yang
dianggap cocok, maka biasanya pemikiran atau paham tersebut akan banyak mengilhami para
pemikir lainnya.

Oleh karena itu, hukum ditanggapi sebagai penghambat kebebasan individual dalam
mengembangkan dirinya. Namun, jika manusia dibiarkan untuk menjalankan kehidupannya
seperti yang ia inginkan, akan terjadi kekacauan. Tiap individu akan melaksanakan
kebebasannya dan akan terjadi benturan antar kebebasan.

Oleh karena itu, menurut Maihofer harus dicari unsur lain dalam kehidupan manusia yang
membuka jalan bagi suatu pandangan positif terhadap hukum. Ia juga mengatakan bahwa
perkembangan hidup bersama itu merupakan syarat mutlak bagi perkembangan eksistensi tiap-
tiap pribadi. Pemikiran untuk mencari jalan lain agar hukum dipandang sebagai satu hal yang
positif juga menjadi pemikiran yang dipelajari dalam filsafat hukum.

Tesis utama yang disampaikan Maihofer berkenaan dengan hukum antara lain: pertama, hukum
mengatur hak milik individu yang dalam hukum positif disebut hak benda zakenrecht, kedua,
hukum mengatur hubungan satu individu dengan individu lain. Hal-hal tersebut secara langsung
juga ikut membahasa filsafat hukum didalamnya. Yang pertama bersumber dari asumsi bahwa
manusia ada sebagai sesuatu yang unggul karena kebebasan individualnya, dan yang kedua
karena kodratnya sebagai mahkluk sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia.

Pandangan Maihofer mengenai manusia sebagai eksistensi individu jauh-jauh hari sudah dipakai
oleh para filsuf dalam membangun konsep hukum dan negara. Individu dijadikan sebagai titik
tolak berpikir tentang hukum dan negara sehingga keberadaan negara tidak lain untuk individu
yang ada di dalam masyarakat, atau lebih tepatnya "negara ada untuk masyarakat, bukan
masyarakat untuk negara".

John Locke misalnya, menjadikan eksistensi manusia sebagai dasar bagi pemikiran tentang
negara alamiah. Menurut Locke, pada dasarnya manusia sudah dibimbing nalar dan bersifat baik.
Manusia hidup bersama sesuai pertimbangan nalar mereka, tanpa adanya pihak-pihak yang
beroposisi di antara mereka di dunia, dan masing-masing berwenang untuk saling menilai
sesamannya -itulah gambaran negara alami-.

Walaupun sama bermula dari pandangan tentang eksistensi manusia, menurut Hobbes, pada
dasarnya manusia adalah jahat sehingga perlu adanya suatu aturan atau negara yang bisa
mengendalikannya. Pada akhirnya, Hobbes menghendaki negara yang keras dan totaliter atau
yang lebih dikenal negara Leviathan. Bagaimanapun keadaannya, filsafat hukum nyatanya tetap
"eksis" mendampingi berkembangnya ilmu hukum. Meskipun ilmu hukum lebih memelajari hal-
hal yang konkret, dasar-dasar pemikiran tentang hukum tetap saja hanya akan diperoleh ketika
kita memelajari filsafat hukum.

Você também pode gostar