Você está na página 1de 12

TINJAUAN PUSTAKA

SKIZOFRENIA

A. Pengertian

Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi,
terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto,
2007).
Skizofrenia berasal dari kata mula-mula digunakan oleh Eugene Bleuler,
seorang psikiater berkebangsaaan Swiss. Bleuler mengemukakan manifestasi primer
skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap
bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada
skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder
atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007).
Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan
sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010).
B. Epidemiologi
Di Indonesia angka penderita skizofrenia 25 tahun yang lalu diperkirakan
1/1000 penduduk dan proyeksi 25 tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk.
Di Amerika serikat terutama di kalangan penduduk perkotaan menunjukkan angka
yang lebih tinggi hingga 2 %. Di Indonesia angka yang tercatat di departemen
kesehatan berdasarkan survei di Rumah Sakit (1983) adalah antara 0,05 % sampai
0,15 %.
Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan
perempuan, tetapi laki-laki memiliki onset lebih awal daripada perempuan. Puncak
insidensi antara usia 15-24 tahun pada laki-laki dan pada perempuan lebih terlambat.
Antara 100000-200000 kasus skizofrenia baru diobati di Amerika setiap tahunnya.
Diperkirakan 2 juta orang Amerika didiagnosis skizofrenia dan lebih dari 1 juta
mendapatkan terapi psikiatrik setiap tahunnya. Pada saat ini mulai dikenal skizofrenia
anak (sekitar 8 tahun bahkan ada yang 6 tahun) dan late onset skizofrenia (usia lebih
dari 45 tahun). Berbagai hal lain yang bisa meningkatkan seseorang mengidap
skizofrenia, yaitu memiliki garis keturunan skizofrenia, terajangkit virus dalam
kandungan, kekurangan gizi saat dalam kandungan, stressor lingkungan yang tinggi,
memakai obat-obatan psikoaktif saat remaja dan lain-lain.

C. Etiologi
Penyebab pasti dari skizofrenia sebenarnya belum diketahui. Berikut ini adalah
beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan penyebab skizofrenia. Adapun faktor-
faktor yang berpengaruh antara lain:
1. Faktor Genetik
Dalam studi terhadap keluarga menyebutkan pada orangtua 5.6%; saudara
kandung 10.1 %; anak-anak 12.8 %; dan penduduk secara keseluruhan 0.9 %.
Dalam studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik
(monozygote) 59.2 %, sedangkan kembar non identik atau fraternal (dizygote)
adalah 15.2 %.
Risiko berkembang menjadi skizofrenia pada masyarakat umum1%, pada
orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8% dan pada anak 15%-20% apabila
salah satu orang tua menderita skizofrenia walaupun anak telah dipisahkan dari
orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 30%-40%, pada
kembar monozigot 40%-50%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 5%-10%.
Dari penelitian epidemiologi keluarga terlihat bahwa resiko untuk keponakan
adalah 3%, masih lebih tinggi dari populasi umum yang hanya 1%. Demikian juga
dari penelitian anak yang diadopsi dikatakan, anak penderita skizofrenia yang
diadopsi orang tua normal, tetap mempunyai resiko 16.6%, sebaliknya anak sehat
yang diadopsi penderita skizofrenia resiko 1.6%, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa semakin dekat hubungan keluarga biologis semakin tinggi
resiko terkena skizofrenia
2. Faktor Biokimia
Ada beberapa neurotransmitter yang diduga berpengaruh terhadap
timbulnya skizofrenia. Dua diantaranya yang paling jelas adalah neurotransmitter
dopamin dan serotonin. Berdasarkan penelitian, pada pasien-pasien dengan
skizofrenia ditemukan adanya aktivitas berlebihan dari dopamin atau peningkatan
jumlah hipersensitivitas reseptor dopamin dalam otak. Peningkatan kadar dopamin
ini ternyata mempengaruhi fungsi kognitif (alam fikir), afektif (alam perasaan) dan
psikomotor. (perilaku) yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif maupun
negatif skizofrenia.
Menurut Mesholam gately et.al dalam jurnal neurocognition in first
episode schizophrenia: meta analytic review (2009), gangguan neurokognisi
adalah fitur utama episode pertama penderita skizofrenia. Gangguan tersebut
membuat sistem kognisi tidak dapat bekerja seperti kondisi normal. Penelitian juga
menyebutkan bahwa serotoin, norepinefrin, glutamat dan GABA juga berperan
dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia.
3. Faktor Biologis
Pada pasien skizofrenia ditemukan beberapa perubahan diantaranya
perubahan morfologi, imunologi, enzimatik, dan farmakologi. Adanya pelebaran
ventrikel pada pasien skizofrenia dihubungkan dengan kegagalan kognitif yang
hebat, adanya gejala negatif seperti anhedonia dan apatis, resisten terhadap
pengobatan.
4. Abnormalitas perkembangan otak janin
Faktor-faktor yang dapat mengganggu perkembangan otak janin antara lain
adanya infeksi virus atau infeksi lain selama kehamilan, menurunnya autoimun
yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan, adanya berbagai macam
komplikasi kandungan, dan malnutrisi pada trimester pertama.
Apabila terdapat gangguan pada perkembangan otak janin selama
kehamilan (epigenetic factor), maka interaksi antara gen yang abnormal yang
sudah ada dengan faktor epigenetik tersebut dapat memunculkan gejala
skizofrenia.
5. Abnormalitas struktur dan aktivitas otak
Pada beberapa subkelompok penderita skizofrenia, tekhnik pencitraan otak
(CT, MRI dan PET) telah menunjukkan adanya abnormalitas pada struktur otak
yang meliputi pelebaran ventrikel, penurunan aliran darah ventrikel, terutama di
korteks prefrontal penurunan aktivitas metabolik dibagian-bagian otak tertentu,
atrofi serebri. Para penderita skizofrenia diketahui bahwa sel-sel dalam otak yang
berfungsi sebagai penukar informasi mengenai lingkungan dan bentuk impresi
mental jauh lebih tidak aktif dibanding orang normal.
6. Proses psikososial dan lingkungan
Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang tersebut
terpaksa mengadakan penyesuaian diri (adaptasi) untuk menanggulangi stressor
yang timbul. Namun tidak semua oang mampu melakukan adaptasi sehingga
timbullah keluhan kejiwaan. Stressor psikososial dapat digolongkan sebagai
berikut:
a. Perkawinan
Permasalahan perkawinan menjadi sumber stress bagi seseorang
misalnya pertengkaran, perceraian dan kematian salah satu pasangan.
b. Problem orang tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua misalnya tidak memiliki anak,
kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit dan hubungan yang tidak baik
antara anggota keluarga. Permasalahan tersebut diatas bila tidak dapat diatasi
oleh yang bersangkutan maka seseorang akan jatuh sakit.
c. Hubungan interpersonal
Adanya konflik antarpribadi merupakan sumber stress bagi seseorang
yang bila tidak dapat diperbaiki maka seseorang akan jatuh sakit.
d. Pekerjaan
Stress pekerjaan misalnya seseorang yang kehilangan pekerjaan,
pensiun, pekerjaan yang terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi dan
jabatan.
e. Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan sosial dimana seseorang itu hidup. Stressor
lingkungan hidup antara lain masalah perumahan, pindah tempat tinggal,
penggusuran dan hidup dalam lingkungan yang rawan kriminalitas. Rasa tidak
aman dan tidak terlindungi membuat jiwa seseorang tercekam sehingga
mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup yang lama-kelamaan daya
tahan tubuh seseorang akan turun dan pada akhirnya akan jatuh sakit.



f. Keuangan
Kondisi sosial ekonomi yang tidak sehat mislanya pendapatan jauh
lebih rendah daripada pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha,
warisan dan lain sebagainya merupakan sumber stress.
g. Hukum
Keterlibatan seseorang terhadap hukum menjadi sumber stress bagi
seseorang.
h. Perkembangan
Perkembangan fisik maupun perkembangan mental seseorang. Kondisi
setiap perubahan fase-fase perkembangan tidak selamanya dapat dilampaui
dengan baik, jadi dapat menjadi sumber stress.
i. Penyakit fisik atau cidera
Penyakit dapat menjadi sumber stres yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan seseorang terutama penyakit kronis.1
j. Faktor keluarga
Sumber stres bagi anak remaja yaitu hubungan kedua orangtua yang
kurang baik, orang tua yang jarng dirumah, komunikasi antara anak dan orang
tua tidak baik, perceraian kedua orang tua, salah satu orang tua menderita
gangguan kejiwaan dan orang tua yang pemarah.

7. Sosioekonomi dan faktor kebudayaan
Prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada kelompok dengan sosioekonomi
rendah dan anak dari imigran generasi pertama.

8. Rokok dan Penyalahgunaan NAPZA
Gangguan skizoid dapat dicetuskan atau disebabkan oleh pengguanaan
kanabis (ganja, gelek, marijuana). Hasil penelitian terhadap 152 subjek episode
pertama skizofrenia di West London didapatkan bahwa 60% subjek adalah
perokok, 27% ada riwayat penggunaan alkohol, 35% sedang terlibat NAPZA
(tidak termasuk alkohol), dan 68% adalah pengguna NAPZA selama hidupnya.



D. Tipe-Tipe Skizofrenia
Berdasarkan definisi dan kriteria diagnostik tersebut, Skizofrenia di dalam
DSM IV TR dapat dikelompokkan menjadi beberapa subtipe, yaitu :
1. Schizophrenia Paranoid
Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi dengar yang menonjol
secara berulang-ulang.
b. Tidak ada yang menonjol dari berbagai keadaan berikut ini : pembicaraan yang
tidak terorganisasi, perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik, atau afek
yang datar atau tidak sesuai.
2. Schizophrenia Disorganized
Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Di bawah ini semuanya menonjol :
1) Pembicaraan yang tidak terorganisasi
2) Perilaku yang tidak terorganisasi
3) Afek yang datar atau tidak sesuai
b. Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik
3. Schizophrenia Catatonic
Tipe Skizofrenia dengan gambaran klinis yang didominasi oleh sekurang
kurangnya dua hal berikut ini :
a. Imobilitas motorik, seperti ditunjukkan adanya katalepsi (termasuk fleksibilitas
lilin) atau stupor
b. Aktivitas motorik yang berlebihan (tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh
stimulus eksternal)
c. Negativisme yang berlebihan (sebuah resistensi yang tampak tidak adanya
motivasi terhadap semua bentuk perintah atau mempertahankan postur yang
kaku dan menentang semua usaha untuk menggerakkannya) atau mutism.
d. Gerakan-gerakan sadar yang aneh, seperti yang ditunjukkan oleh posturing
(mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara disengaja), gerakan
stereotipik yang berulang-ulang, manerism yang menonjol, atau bermuka
menyeringai secara menonjol.
e. Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna)


4. Schizophrenia Undifferentiated
Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria
untuk tipe paranoid, terdisorganisasi, dan katatonik.
5. Schizophrenia Residual
Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Tidak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisasi, dan
perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik yang menonjol.
b. Terdapat terus tanda-tanda gangguan, seperti adanya simtom negatif atau dua
atau lebih simtom yang terdapat dalam kriteria A, walaupun ditemukan dalam
bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengelaman persepsi
yang tidak lazim).

E. Gejala
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala positif dan
gejala negatif.
1. Gejala Negatif
Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses mental atau
proses perilaku (Behavior ). Hal ini dapat menganggu bagi pasien dan orang
disekitarnya.
a. Gangguan afek dan emosi
Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek
dan emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh tak acuh
terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga
dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya kemampuan
untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah
belahnya kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat
bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama
atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi).
b. Alogia
Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan dan
pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula pasien
yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti bicara, dan
baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku.

c. Avolisi
Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak,
gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak bicara,
tidak ikut beraktivitas jasmani.
d. Anhedonia
Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari pertemanan
dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai perhatian, minat pada
rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia
tidak memperdulikannya.
e. Gejala Psikomotor
Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering
mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja maka
dapat dilihat adanya gerakan yang kurang luwes atau agak kaku, stupor dimana
pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung
berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya pada pasien
yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan
sangat gelisah.

2. Gejala Positif
Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada yang merangsang
atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul pikiran yang tidak dapat dikontrol
pasien.
a. Delusi(Waham )
Merupakan gejala skizofrenia dimana adanya suatu keyakinan yang
salah pada pasien. Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali tetapi
pasien tidak menginsyafi hal ini dan dianggap merupakan fakta yang tidak
dapat dirubah oleh siapapun.Waham yang sering muncul pada pasien
skizofrenia adalah waham kebesaran,waham kejaran,waham sindiran, waham
dosa dan sebagainya.
b. Halusinasi
Memdengar suara, percakapan, bunyi asing dan aneh atau malah
mendengar musik, merupakan gejala positif yang paling sering dialami
penderita skizofrenia.
F. Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Ada beberapa kriteria diagnostik Skizofrenia di dalam DSM IV TR antara lain :
1. Karakteristik simtom : Terdapat dua (atau lebih) dari kriteria di bawah ini, masing-
masing ditemukan secara signifikan selama periode satu bulan (atau kurang, bila
berhasil ditangani) :
a) Delusi (waham)
b) Halusinasi
c) Pembicaraan yang tidak terorganisasi (misalnya, topiknya sering menyimpang
atau tidak berhubungan)
d) Perilaku yang tidak terorganisasi secara luas atau munculnya perilaku
katatonik yang jelas
e) Simtom negatif; yaitu adanya afek yang datar, alogia atau avolisi (tidak adanya
kemauan).
2. Ketidakberfungsian sosial atau pekerjaan : Untuk kurun waktu yang signifikan
sejak munculnya onset gangguan, ketidakberfungsian ini meliputi satu atau lebih
fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perwatan diri, yang
jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa
anak-anak atau remaja, adanya kegagalan untuk mencapai beberapa tingkatan
hubungan interpersonal, prestasi akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
3. Durasi : Adanya tanda-tanda gangguan yang terus menerus menetap selama
sekurangnya enam bulan. Pada periode enam bulan ini, harus termasuk
sekurangnya satu bulan gejala (atau kurang, bila berhasil ditangani) yang
memenuhi kriteria A (yaitu fase aktif simtom) dan mungkin termasuk pula periode
gejala prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual ini, tanda-
tanda dari gangguan mungkin hanya dimanifestasikan oleh simtom negatif atau
dua atau lebih simtom yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang lemah
(misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).
4. Di luar gangguan Skizoafektif dan gangguan Mood : Gangguan-gangguan lain
dengan ciri psikotik tidak dimasukkan, karena :
a. Selama fase aktif simtom, tidak ada episode depresif mayor, manik atau
episode campuran yang terjadi secara bersamaan.
b. Jika episode mood terjadi selama simtom fase aktif, maka durasi totalnya akan
relatif lebih singkat bila dibandingkan dengan durasi periode aktif atau
residualnya.
5. Di luar kondisi di bawah pengaruh zat atau kondisi medis umum : Gangguan tidak
disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (penyalahgunaan obat,
pengaruh medikasi) atau kondisi medis umum.
6. Hubungan dengan perkembangan pervasive : Jika ada riwayat gangguan autistik
atau gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis tambahan Skizofrenia
dibuat hanya jika muncul delusi atau halusinasi secara menonjol untuk sekurang-
kurangnya selama satu bulan (atau kurang jika berhasil ditangani)

G. Pengobatan
Skizofrenia merupakan penyakit yang cenderung berlanjut (kronis atau
menahun) maka terapi yang diberikan memerlukan waktu relatif lama berbulan
bahkan sampai bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin
kekambuhan (relaps). Terapi yang komperehensif dan holistik telah dikembangkan
sehingga penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi dan lebih manusiawi
dibandingkan dengan pengobatan sebelumnya. Adapun terapi yang dimaksud adalah:
a. Psikofarmaka
Obat psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan ditujukan untuk
menghilangkan gejala skizofrenia. Golongan obat psikofarmaka yang sering
digunakan di Indonesia (2001) terbagi dua: golongan generasi pertama (typical)
dan generasi kedua (atypical). yang termasuk golongan typical antara lain
chlorpromazine HCl , trifluoperazine, dan Haloperidol. Sedangkan golongan
atypical antara lain: risperidone, clozapine, quetiapine, olanzapine, zotetine dan
aripriprazmidol. Menurut Nemeroff (2001) dan Sharma (2001) obat atypical
memiliki kelebihan antara lain: Dapat menghilangkan gejala positif dan negatif,
Efek samping Extra Piramidal Symptoms (EPS) sangat minimal atau boleh
dikatakan tidak ada, dan Memulihkan fungsi kognitif.

b. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) diberikan pada penderita skizofrenia
kronik. Tujuannya adalah memperpendek serangan skizofrenia, mempermudah
kontak dengan penderita, namun tidak dapat mencegah serangan ulang.



c. Psikoterapi
Psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila
penderita dengan terapi psikofarmaka diatas sudah mencapai tahapan dimana
kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik.
Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi
psikofarmaka. Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan
dan latar belakang penderita sebelum sakit. Contohnya adalah: psikoterapi suportif
dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita
tidak merasa putus asa. Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan
pendidikan ulang yang mekasudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu
yang lalu. Psikoterapi rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali
kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian yang utuh
seperti semula sebelum sakit. Psikoterapi kognitif diamksudkan untuk memulihkan
kembali fungsi kognitif rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai
nilai moral etika mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak dan
sebagainya. Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan
perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan diri.
Psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan keluarganya.
d. Psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu
mandiri tidak tergantung pada orang lain. Selama menjalani terapi psikososial
penderita hendaknya masih menkonsumsi obat psikofarmaka. Penderita
diusahakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan
kesibukan, dan banyak bergaul.
e. Psikoreligius
Dari penelitian yang dilakukan, secara umum memang menunjukkan
bahwa komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya di bidang klinik
(religius commitment is assosiated with clinical benefit). Dari hasil penelitian
Larson, dkk (1982) didapatkan bahwa terapi keagamaan mempercepat
penyembuhan. Terapi keagamaan yang dimaksudkan dalam penelitian tersebut
berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-
pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.
f. Rehabilitasi
Program rehabilitasi penting dilakukan sebagai persiapan penempatan
kembali penderita ke keluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di
lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di rumah sakit jiwa. Dalam program
rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain: terapi kelompok, menjalankan
ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik seperti olah raga,
keterampilan khusus/kursus, bercocok tanam, rekreasi dan lain lain. Pada
umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan. Secara berkala
dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu sebelum dan sesudah program
rehabilitasi atau sebelum penderita dikembalikan ke keluarga dan masyarakat.

H. Prognosis
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis, pasien secara berangsur
angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak berfungsi selama bertahun tahun.
Beberapa penelitian telah menemukan lebih dari periode waktu 5 sampai 10 tahun
setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit jiwa, hanya 10%-20%
memiliki hasil yang baik. Lebih dari 50% memiliki hasil buruk dengan perawatan
berulang di rumah sakit, eksaserbasi gejala, gangguan mood berat dan ada usaha
bunuh diri. Rentang angka pemulihan berkisar 10%-60%, kira kira 20%-30% dari
penderita terus mengalami gejala yang sedang dan 40%-60% dari penderita terus
mengalami gangguan secara bermakna seumur hidup.

I. Komplikasi
Orang dengan gangguan jiwa khususnya depresi dan skizofrenia memiliki
risiko tinggi melakukan bunuh diri. Risiko bunuh diri pada penderita skizofrenia yaitu
sebesar 46,3 % sedangkan pada pasien depresi risiko bunuh diri sebesar 26,8 %.

Você também pode gostar