Você está na página 1de 4

Agama dalam Ruang Publik

Menimbang kembali sekularisme



Berhentilah dengan nafsumu dan engkau akan menjadi beriman Blaise Pascal

Tantangan terberat masyarakat pascasekular adalah menerjemahkan isi epistesmis
keyakinan keyakinan religius yang spesifik ke dalam perbincangan rasional yang
penuh pengertian. Kita yang sudah selalu akan hidup dalam masyarakat majemuk
tak bisa lain kecuali bekerja keras menjawab tantangan itu.

leh ! Budi "ardiman

Kira kira dua setengah abad silam, masyarakat Eropa menghasilkan suatu cara
mengakhiri absolutisme agama dan konflik konflik agama. Mereka memisahkan
agama dan politik dengan mengurung agama di dalam kebungkaman ruang privat.
Pemisahan itu merupakan sebuah prestasi peradaban yang penting yang
memungkinkan sebuah masyarakat memiliki kebebasan mereka menggunakan rasio
di dalam ruang publik tanpa sensor dari keyakinan keyakinan agama. Dewasa ini,
pada awal abad ke !, pemisahan antara agama dan politik itu mulai diguncang dan
dipersoalkan kembali. Penghancuran menara kembar di "ew #ork pada !!
$eptember %%! dapat dilihat sebagai permulaan era baru yang menyudahi era
masyarakat sekular itu. Menurut filsuf &erman kontemporer, &uergen 'abermas, kita
sedang memasuki era (masyarakat pascasekular) yang di dalamnya sekularisasi
harus diinterpretasikan secara baru sebagai proses saling bela*ar antara pemikiran
sekular dan pemikiran religius.

+da masalah serius di balik pemakluman era itu. Pemisahan antara agama dan
politik dalam modernitas selama ini ternyata hanya menghasilkan pseudo#toleransi.
,aik komunitas komunitas sekular maupun agama tidak sungguh sungguh saling
bela*ar. -oleransi dimengerti secara keliru dalam bentuk sikap ignorant dan laisse$#
faire. +kibatnya yang berlangsung hanyalah sekadar (gencatan sen*ata) antara
agama dan politik. .aung alasan alasan religius tidak diinginkan didengarkan di
ruang publik dan keadaan ini *ustru bergulir pada konsekuensi yang amat
berbahaya, yakni merebaknya kekerasan atas nama agama akhir akhir ini dalam
lanskap politik global. Dalam konteks ini marilah kita menimbang kembali
sekularisasi menemukan cara yang bi*ak dan baik untuk hidup dalam masyarakat
ma*emuk seperti /ndonesia.

Emansipasi dari absolutisme agama

+pa itu sekularisasi0 Kata ini berasal dari kata 1atin saeculum yang berarti 23aman4,
atau saecularis yang berarti 2duniawi4. Di ,arat kata ini secara luas diartikan sebagai
pemisahan antara gere*a dan negara. Mengingat klaim agama atas kemutlakan dan
totalitasnya yang terwu*ud dalam masyarakat ,arat tradisional, sekularisasi dapat
diartikan sebagai proses emansipasi tatanan politis dari dominasi dan determinasi
agama. Proses ini harus dimengerti sebagai suatu percapaian peradaban barat yang
mencakup berbagai aspek kehidupan.

$ecara intelektual sekularisasi berlangsung melalui filsafat dan sains modern.
Konsepkonsep seperti jiwa, dosa, dan surga yang dalam agama masih bersentuhan
dengan dunia transendental oleh psikologi di*elaskan sebagai ge*ala ge*ala emosi
dan ima*inasi. $ubstansi Kitab $uci pun diselidik secara historis dan eksegetis unuk
menemukan asal5usul profannya dalam persilangan kepentingan politis, sosial dan
kultural, dan ekonomis 3aman teks teks itu ditulis.

&ika diartikan secara sangat longgar, sekularisasi sudah ter*adi pada abad ke56 $M,
yakni dalam filsafat #unani, ketika pemikiran argumentatif melepaskan diri dari
narasi mitis. $ekularisasi adalah demitologisasi. "amun, proses itu *uga suatu
pemisahan antara dunia5sini dan dunia5sana sebab bila dirunut *auh sekali, proses ini
seperti diinterpretasi oleh 'arvey 7o8 dalam -he $ecular 7ity, bahkan sudah ter*adi
dengan penciptaan dunia bahwa +llah menciptakan dunia berarti bahwa dunia ini
bukan +llah 9seperti dalam panteisme:, dan dunia itu otonom sebagai ciptaan, yakni
+llah memberikan asas perkembangan internalnya sendiri, maka tak ada yang magis
di sana. /ni mengingatkan kita pada konsep Ma8 ;eber (disenchantment of the
world) yang merangkum apa yang ter*adi dalam sekularisasi, yakni pemisahan
antara dunia5sini dan dunia5sana. Pemisahan antara gere*a dan negara, agama dan
politik yang men*adi fokus diskusi kita di sini dapat dilihat sebagai institusionalisasi
legal5politis atas segala proses mental yang mendasarinya.

Mengapa ,arat mengambil *alan sekularisasi untuk peradabannya0 $ekularisasi
adalah respons terhadap sebuah problem yang berabad abad mencengkeram
manusia< absolutisme agama. $ebagai sistem dunia total agama dan simbol5
simbolnya melekat pada kekuasaan politis dan memegang monopoli interpretasi atas
apa yang wa*ib dilakukan dan dipikirkan oleh individu untuk keselamatannya di dunia
dan di akhirat. +gama itu politis, dan politik itu religius, maka tak satu milimeter pun
gerak5gerik individu dapat luput dalam kontrol kekuasaan. &ika negara melebur
dengan agama, norma5norma hukumnya disakralisasi, dan negara pun men*adi
aparatus yang mengurusi kebenaran dan *alan keselamatan yang dipilih rakyatnya.
+tas nama +llah, suatu otoritas politis dianggap sah untuk mengawasi pikiran,
keinginan, perasaan, dan iman individu. $ecara amat gan*il, kekhawatiran akan
keselamatan *iwa*iwa pun men*elma men*adi teror atas masyarakat sebab negara
merasa berhak meluruskan pikiran dan keyakinan moral5religius warganya.
Kebebasan individu dipasung= pemakaian rasio pun dicurigai sebagai racun bagi
iman.

Persoalan sesungguhnya tidak terletak pada klaim kemutlakan kebenaran iman itu
sendiri 9yang memang wa*ar dimiliki setiap orang beriman sebagai orientasi
nilainya:, melainkan penggunaan klaim iman itu dalam ruang publik. &ika kebenaran
iman dipakai sebagai norma publik, iman yang diselewengkan secara ideologis ini
pun memberangus pikiran. +pa yang disebut fideisme ini mengandung paradoks
dalam dirinya< ia mencurigai pikiran, tetapi ia sendiri ternyata sebentuk pikiran,
yakni pikiran yang membunuh pikiran.

,uah yang dapat dituai dalam ruang publik adalah benturan ideologis antara (iman
kita) dan (iman mereka) yang memicu konflik massa. Penuainya tentu sa*a bukan
agama, melainkan penguasa politis yang secara licik menggunakan agama sebagai
bahan bakar untuk memobilisasi massa. +gama, keyakinan tulus akan keselamatan,
berubah men*adi alat kuasa untuk mengalihkan motivasi berkorban kepada +llah ke
dalam kesediaan menumpahkan darah demi kepentingan ideologis5politis yang picik.
1ewat sekularisasi, masyarakat ,arat menemukan *alan keluar dari patologi ini
dengan menarik agama dari posisi publiknya ke dalam ruang privat. $ikap sikap
sekular dalam negara liberal dewasa ini dapat dikembalikan ke (*alan khas) yang
diambil barat dalam peradabannya itu.


Dua macam jebakan

+bsolutisme agama bukanlah satu5satunya patologi. &ika mau menimbang kembali
pemisahan agama dan politik itu, kita harus berhadapan dengan pengalaman negatif
lain< patologi sekularisasi. Di sini ter*adi semacam (dialektika sekularisasi)<
pemisahan agama dan negara yang membawa pada sukses emansipasi dari
absolutisme agama itu mengambil konsukuensi radikalnya dalam bentuk
sekularisme% yaitu doktrin yang sama sekali menolak dan dengan sengit
menyingkirkan segala iman religius dan alasan religius dalam kehidupan bersama
secara politis. +gama dianggap irrasional, maka tidak berhak bersuara dalam ruang
publik.

Di sini sekularisasi yang ingin membangun ruang publik yang pro5pluralisme dalam
sekularisme malah berbalik men*adi intoleransi terhadap alasan alasan religius.
"egara liberal sekular ingin mempertahankan netralitasnya di hadapan berbagai
orientasi nilai yang ma*emuk dalam masyarakat tetapi ini dilakukan sering dengan
ongkos memblokade alasan alasan religius sebagai privat dan mengancam
kepentingan keseluruhan. Dalam kondisi eksesif, negara hukum liberal ingin men*adi
semacam mesin legal5politis yang bergerak sendiri lepas dari sumber5sumber
religius, tetapi ia lupa bahwa warga negara memiliki motivasinya mematuhi hukum
lewat orientasi5orientasi nilai yang antara lain *uga bersumber dari nilai5nilai religius.
,ahkan, asas netralitas dan fairness yang mendasari praktik birokrasi modern pun
memperoleh tenaganya dari agama.

$ekularisme berciri patologis tak hanya karena ia tak mampu menerima alasan5
alasan religius sebagai bagian yang wa*ar dalam demokrasi, melainkan *uga ia ingin
menyingkirkan religiositas itu sendiri. Pada abad ke5!>, dalam deisme +llah dianggap
menganggur setelah penciptaan. Pada abad ke5%, Dia dianggap tak perlu lagi ada.
"amun, bila +llah dianggap mati, manusia pun bermain sebagai +llah dalam sains
dan teknologinya untuk merakit manusia atau menghancurkannya lewat mesin
perang. Manusia yang bermain sebagai +llah ini pun segera menghancurkan
kema*emukan dan kemanusiaan itu sendiri. &ika perasaan5perasaan terdalam
terhadap #ang Kudus terkikis habis, manusia itu sendiri mati sebagai manusia.
Manusia yang didesakralisasi seluruhnya men*adi seonggok daging yang siap
dimangsa entah oleh modal entah oleh kuasa.

"egara hukum modern, *uga ?epublik /ndonesia, menghadapi dua macam *ebakan
yang dihasilkan lewat sekularisasi. "egara masuk ke dalam *ebakan sekularisme *ika
menyingkirkan setiap alasan religius yang diyakini oleh para warga negaranya yang
beriman. "amun, di u*ung lain menganga *ebakan fundamentalisme agama *ika
negara menerima begitu sa*a alasan religius dan men*adikann regulasi publik.
"egara hukum demokratis harus piawai berseluncur di dalam tegangan kedua sisi itu
tanpa ter*erembab ke dalamnya karena sebuah masyarakat ma*emuk diancam
kedua sisi gulita itu.

Masyarakat pascasekular

$uatu masyarakat memasuki kondisi (pascasekular) *ika waspada terhadap kedua
macam *ebakan di atas dalam proses legislasi hukumnya. Masyarakat seperti ini
melihat sekularisasi sebagai proses bela*ar antara pemikiran sekular dan pemikiran
religius. -anpa prasangka, keduanya dipandang komplementer. "egara liberal tak
sanggup mengatasi krisis motivasi di dalamnya hanya dari asas5asas sekularnya
sendiri. Dibutuhkan kesediaan mendengarkan suara nilai5nilai yang lebih mendalam
yang disumbangkan agama. Komitmen, keutamaan, ke*u*uran, bahkan ci&il courage
sebagaimana dipraktekkan Martin 1uther King &r berasal dari perigi5perigi yang lebih
primordial daripada konstitusi negara modern.

Dalam kondisi pascasekular itu, para warga negara sekular harus bersedia
mendengarkan kontribusi5kontribusi rekan5rekannya yang religius karena kerap kali
di dalam kepompong alasan5alasan mereka yang partikular terkandung kebenaran5
kebenaran yang lebih umum. $ebaliknya, para warga negara yang beriman harus
bela*ar dari para warga negara sekular atau yang beriman lain untuk mengarahkan
segala alasan mereka yang absolut tetapi partikular itu kepada rasionalitas publik.
&uga sekiranya hanya tersedia bahasa agama dalam masyarakat, para warga negara
dari iman yang sama itu pun hanya dapat mengerti sebagai warga negara sebuah
res publica 9hal umum: yang inklusif. +tas dasar ini, peraturan5peraturan publik
yang bertumpu pada agama tertentu sudah pasti melanggar asas kepublikan itu.
"orma5norma macam begitu memakai (bahasa rumah) yang tetap asing bahkan di
telinga penganut agama itu sendiri karena di dalam res publica mereka itu bukan
umat atau *emaat, melainkan warga negara.

Dengan memberi peluang dialog publik bagi aspirasi aspirasi religius, masyarakat
pasca sekular tak sedang membangunkan singa yang tertidur, melainkan ingin
bersikap fair terhadap kelompok5kelompok agama dalam demokrasi. +lasan5alasan
religius dalam masyarakat ma*emuk tetap harus dipandang sebagai gambaran dunia
yang diyakini absolut dan universal, tetapi ternyata men*adi relatif dan partikular di
hadapan fakta pluralitas.

Dalam proses diskursif dalam ruang publik politis, alasan5alasan religius dapat
men*adi kontribusi5kontribusi dalam diskusi bebas. &uga se*ak di sini, para warga
negara beriman harus mener*emahkan (bahasa rumah) mereka dari agama mereka
ke dalam (bahasa publik) yang tanpa paksaan meyakinkan para pendengar mereka
yang sekular atau dari agama5agama lain. +spirasi religius dalam ruang publik tak
boleh dibentengi dari kritik rasional, seolah5olah keyakinan itu dimargasatwakan
sebagai spesies5spesies langka yang harus dilindungi. $ebaliknya, warga negara
beriman harus berusaha meninggalkan perspektif etnosentris mereka tanpa
kehilangan identitas religius mereka.

Di tengah5tengah globalisasi yang membuka peluang5peluang kontak yang baru di
antara pemikiran sekular dan pemikiran religius, agama pun harus membuka diri
terhadap perubahan dengan meraih wawasan yang lebih pluralis5kosmopolitan.
-antangan terberat masyarakat pascasekular adalah mener*emahkan (isi epistemis)
keyakinan5keyakinan religius yang spesifik itu ke dalam perbincangan rasional yang
penuh pengertian. Dan kita yang sudah selalu akan hidup dalam masyarakat
ma*emuk tak bisa lain kecuali beker*a keras men*awab tantangan itu.

@ ,udi 'ardiman
'engajar di (T! )riyakarya% *akarta

)imuat di harian Kompas% Kamis + ,pril -../% rubrik Bentara

Você também pode gostar