Você está na página 1de 20

Obat Lepra

Leoandri Fahlefi
04124705117
Bagian/ Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
RSUP dr. Moh. Hoesin Palembang
2014

Pendahuluan
Lepra (kusta, Morbus Hansen) adalah penyakit infeksi granulomatosa kronik
pada manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae) dan
menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, kulit, mukosa traktus respiratorius
bagian atas, lalu dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
1
Diperkirakan jumlah penderita baru kusta di dunia pada tahun 2005 adalah
sekitar 296. 499 jiwa (WHO). Dari jumlah tersebut, angka tertinggi terdapat di
regional Asia Tenggara (201.635) diikuti dengan regional Afrika (42.814), Amerika
(41.780) dan sisanya berada di regional lain di dunia. Di Indonesia, terjadi penurunan
angka kejadian kasus baru pada penderita kusta dari tahun 1993 sampai tahun 2005.
Pada tahun 1993, tercatat 12.638.740 jiwa menderita kusta. Sedangkan pada tahun
2005, ditemukan kasus baru sebesar 19.695 jiwa. Pada penyakit kronik seperti kusta,
informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit
mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Walaupun kusta bisa
menyerang semua golongan umur, kasus terbanyak pada daerah endemik ditemukan
sebelum umur 35 tahun. Selain itu, pada pria juga lebih sering 1,5 :1 ditemukan
kasusnya daripada wanita.
3,4
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
dr. G.Armuer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Bakteri ini merupakan bakteri
tahan asam (BTA) dan bersifat obligat intraseluler. M. leprae berbentuk basil dengan
ukuran 1- 8 m x 0,5 m. M. leprae biasanya berkelompok dan ada pula yang
tersebar soliter. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan bersuhu dingin seperti
di daerah ekstremitas distal dan pada daun telinga. Masa belah diri kuman kusta ini
memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12- 21
hari. Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 2 5 tahun. Pada
umumnya, pasien yang terinfeksi asimtomatik namun sebagian kecil memperlihatkan
gejala dan mempunyai kecenderungan cacat.
4,5
Tinjauan pustaka ini dibuat dengan tujuan menambah wawasan mengenai
penyakit obat yang digunakan pada penyakit lepra secara umum. Adapun yang akan
dibahas pada tinjauan pustaka ini adalah patogenesis kusta, gambaran klinis
berdasarkan klasifikasi, pemeriksaan pasien, diagnosis banding, dan juga terapi dari
penyakit kusta.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai
penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai
tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini
dan pengobatan penderita
4


Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan untuk mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
4

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun
1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative
yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan
tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan
resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.
1


Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui

Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi
multidrug standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan
Kusta, WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman,
baik untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan.
Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada
laporan efek samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit
ringan dari bayi karena klofazimin. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi
tunggal paucibacillary harus ditunda sampai setelah melahirkan.
6

Hormonal dan imunologi perubahan dalam penumpasan kehamilan
menyebabkan sel-dimediasi kekebalan dan memburuknya gejala. Bayi yang lahir dari
ibu dengan berat lahir rendah memiliki kusta dan peningkatan risiko terserang
penyakit itu.
WHO merekomendasikan MDT karena itu dilanjutkan selama kehamilan .Namun,
obat yang digunakan dalam pengobatan kusta tidak tanpa risiko dan pengobatan harus
di bawah pengawasan spesialis
5


.Rifampisin mengurangi efektivitas kontrasepsi hormonal, saran kontrasepsi
sehingga alternatif harus ditawarkan. Dosis tinggi dari rifampisin mungkin
teratogenik dan tidak dianjurkan untuk digunakan selama trimester pertama.
Dapson dapat menyebabkan hemolisis neonatal dan methaemoglobinamea. Jika perlu
harus diresepkan untuk wanita hamil dalam kombinasi dengan asam folat.
Klofazimin dapat menyebabkan perubahan warna pada kulit bayi yang disusui.
Penggunaan thalidomide tetap ketat kontra-ditunjukkan pada wanita usia subur.
5

DDS:
Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps
resisten. Pada relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat
dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan
bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan
inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang semula dorman, sleeping, atau
persisten bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil dorman sukar
dihancurkan dengan obat atau MDT apapun.

Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas
dapat dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae
resisten terhadap DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak
pada pausibasilar, oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative
singkat.

Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah
dengan obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya
antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia,
neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik, hepatitis,
hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
1


Rifampicin:
Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap
bulan. Rifampicin tidak bileg diberikan sebagai monoterapi karena dapat
memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi.

Efek Samping yang harus di perhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.
1



Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau
3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai
pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun
awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.

Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan
pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang
merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial,
mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis
tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare,
anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan
warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan.
1


Ofloksasin:
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium
leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan
dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar
99,99%.

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya.,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness,
nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan
biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat.

Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati,
karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat
pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru,
jadi lebih efektif.
1


Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian
100 mg. Efek sampingna adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran
cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu
tidak di anjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan
1


Klaritromisin:
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita
kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam
28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus
dan diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000
mg.
1



Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan
tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada
keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From
Control (RFC).
1


MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan
dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan.
Selama pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun
selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru
secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakn RFC.
1


WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus
Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus
Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
1


Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten
pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen
pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg
setiap hari selama 6 bulan, dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg
atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 8 bulan.
1


Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400
mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan
rifampicin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis
tunggal setiap bulan selama 24 bulan.
1

WHO Recommended treatment regimens
6

6 month regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy
Dapson Rifampisin
Dewasa 100 mg 600 mg
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25
mg setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan
12 month regimen for Multibacillary (MB) Leprosy
Dapsone Rifampisin Clofazimin
Dewasa
50-70 kg
100 mg
Setiap Hari
600 mg
Sebulan sekali
di bawah
pengawasan
50 mg
Setiap
hari
DAN 300 mg
Sebulan sekali
di bawah
pengawasan
Anak
10-14 tahun *
50 mg
Setiap hari
450 mg
Sebulan sekali
di bawah
pengawasan
50 mg
Setiap
hari
DAN 150 mg
Sebulan sekali
di bawah
pengawasan
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin,
50 mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali
di bawah pengawasan
Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3 medications
taken together)
50-70 kg Setiap hari Sebulan sekali di bawah
pengawasan
Anak
10-14 tahun *
50 mg
Setiap hari
450 mg
Sebulan sekali di bawah
pengawasan
Rifampisin Ofloxasin Minosiklin
Dewasa
50-70 kg
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
5- 14 tahun *
300 mg 200 mg 50 mg
*
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun

Tipe PB
4

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT
(released from treatment)



Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi
petugas
Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + DDS
1 tab (50mg)
Rifampisin 2caps
(2x300mg) + DDS 1 tab
(100mg)
Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)
*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Tipe MB
4

Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang
diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri
positif.

Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) +
Klofazimin 3caps
(3x50mg) + DDS 1 tab
(50mg)
Rifampisin 2caps
(2x300mg) +
klofazimin 3caps
(3x100) + DDS 1 tab
(100mg)
Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab
(50mg) + DDS 1 tab
(50mg)
Klofasimin 1cap
(100mg) + DDS 1 tab
(100mg)
* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB


















Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:MDTRegimens.jpg

Pengobatan Reaksi Kusta:
Pengobatan E.N.L :
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain
prednison. Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-
30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya,
tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan
perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
1


Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide,
tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh
diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Jika hal ini tidak mungkin, adalah
penting bahwa kehamilan dikeluarkan sebelum perawatan ini dimulai. Kontrasepsi
yang efektif harus digunakan selama 4 minggu sebelum dan setelah pengobatan serta
selama masa pengobatan. Haruskah kehamilan terjadi meskipun tindakan pencegahan
ini, ada risiko tinggi kelainan berat janin.
1


Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi E.N.L, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat dari
kortikosteroid. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas
dari ketergantungan kortikosteroid.
1


Pengobatan reaksi reversal:
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan
berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus
secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya
kerusakan saraf secara mendadak.
1

Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai.
1


Pencegahan Cacat:
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat
dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin.
1

Penatalaksanaan Reaksi Morbus Hansen
Pada prinsipnya pengobatan reaksi Morbus Hansen terutama ditujukan untuk:
7

1. Mengontrol neuritis akut untuk mencegah anesthesia, paralisis, dan kontraktur
2. Melindungi mata dan mencegah kebutaan
3. Mengurangi rasa sakit atau nyeri
4. Membunuh basil sehingga mencegah penularan penyakit
Untuk mencapai tujuan tersebut, prinsip pengobatan reaksi Morbus Hansen
adalah:
7

1. Pemberian obat antireaksi
2. Istirahat atau imobilisasi
3. Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri
4. Meneruskan pemberian MDT (untuk semua reaksi, bila tidak ada
kontraindikasi, maka pemberian MDT harus diteruskan)
Berdasarkan prinsip diatas, maka terdapat empat kelompok penatalaksanaan
pada reaksi Morbus Hansen tipe 1 dan tipe 2 yakni penggunaan anti inflamasi,
analgesik, fisioterapi, dan antibakteri.
7

a. Terapi anti inflamasi
Secara umum dikelompokkan menjadi dua yakni pada reaksi ringan dan
reaksi berat. Pada reaksi ringan yang umum digunakan adalah aspirin 600-
1200mg yang diberikan setiap 4jam, atau 4 hingga 6 kali perhari. Kloroquin
150mg yang diberikan 3 kali perhari. Apabila dikombinasikan, kloroquin dan
aspirin memberikan efek antiinflamasi yang lebih baik, tetapi dosis harus
dikurangi sering dengan perbaikan tanda dan gejala reaksi untuk mencegah
timbulnya efek samping.
6,7

Antimonial efektif untuk mengurang nyeri sendi dan tulang pada reaksi tipe
2. Antimonial trivalen organik kurang toksik dibanding yang inorganik
sehingga lebih disukai. Stibophen mengandung 8,5mg antimony per
mililiternya; 2 hingga 3 ml diberikan intramuskular, akan tetapi tidak boleh
melebihi dosis 30ml. Efek antiinflamasi thalidomide efektif pada neuritis dan
iridosiklitis reaksi tipe 2. Selain itu thalidomide sangat bermanfaat untuk
menggantikan kortikosteroid. Dosis 400mg perhari sampai gejala berkurang
dan dikurangi 50mg perhari. Thalidomide bersifat teratogenik sehingga tidak
boleh diberikan pada pasien usia subur.
7

Reaksi berat ditandai dengan paralysis atau anesthesia; ulserasi kulit yang
kadang disertai iritis, orchitis, artritis, dactylitis, dan demam; dan iridosiklitis
dan orchitis yang timbul sendiri. Apabila gejala tersebut muncul maka pasien
berada dalam tahap gawat dan perlu penanganan segera.
6

Kortikosteroid yang sering diberikan berupa prednison atau prednisolon
yang dimulai dengan 40-80mg tergantung dari berat ringannya gejala. Dosis
yang tinggi harus segera dikurangi hingga 40mg dalam beberapa hari.
Kemudian dosis dikurangi 5-10mg setiap dua hingga empat pekan. Respon
pasien diukur dengan memeriksa fungsi saraf tepi. Pasien morbus hansen tipe
BT biasanya memerlukan 2-6 bulan penggunaan, sementara tipe BL
memerlukan waktu 9 bulan. Kortison atau hidrokortison dapat digunakan
tetapi dosisnya lima kali lebih tinggi. Jika pasien reaksi tipe 1 mendapatkan
dapson dan kortikosteroid, dan kortikosteroid yang diperlukan dalam dosis
tinggi, dapson diganti dengan klofazimin. Kortikosteroid dapat menekan
sistem respon sistem imun dan meningkatkan pertumbuhan basil lepra
sehingga obat morbus hansen tetap harus diteruskan selama pemberian
kortikosteroid atau dapat diberikan klofazimin dan dapson monoterapi jika
pemberian MDT telah selesai.
7


Tabel 2. Penatalaksanaan reaksi Morbus Hansen
2

Pada reaksi tipe 2 karena kerusakan saraf tidak seberat reaksi tipe 1, maka
pilihan utama adalah thalidomide. Jika pasien dikontraindikasikan terhadap
thalidomide, maka digunakan prednisone 20-40 mg perhari dan diturunkan
seiring respon pasien. Respon yang lebih baik didapatkan bila thalidomide
dikombinasikan dengan steroid dosis rendah.
7

Klofazimin digunakan pada pasien yang tidak dapat menggunakan
kortikosteroid dan thalidomide. Untuk mendapatkan efek antiinflamasi maka
thalidomide diberikan dalam dosis tinggi. Biasanya diberikan 300mg perhari
selama dua pekan, dan menjadi 200mg perhari selama satu hingga dua bulan,
dan terakhir menjadi 100mg perhari.
7

b. Terapi analgesik
Pada reaksi ringan digunakan analgesik sekaligus antiinflamasi yaitu aspirin.
Pada reaksi berat aspirin digunakan sebagai analgesik disertai kortikosteroid
sebagai antiinflamasi. Ketika pasien mengeluh ansietas dan insomnia maka
dapat digunakan klorpromazin 25-50 mg pada malam hari atau 3 kali perhari.
Jika nyeri sangat berat dapat digunakan opioid tetapi harus dalam pengawasan
ketat karena efek addiksi. Apabila nyeri muncul dalam waktu lama, maka
kortikosteroid atau klofazimin harus ditingkatkan, atau bahkan pasien perlu
operasi segera.
7

Prednison dan lignokain injeksi intraneural dapat diberikan tetapi sedapat
mungkin dihindari karena menyebabkan kerusakan saraf dan timbulnya
jaringan parut. Jika kortikosteroid tidak mampu mengurangi nyeri dan tidak
ada perbaikan saraf, maka diperlukan tindakan bedah. Apabila terdapat abses
saraf maka dilakukan aspirasi, jika gagal, maka dilakukan bedah terbuka
untuk mengeluarkan abses. Neurolisis adalah tindakan membebaskan saraf
dan epeneurotomi dapat menurunkan tekanan intraneural. Saraf yang tidak
dapat berfungsi lagi dan hanya menyebabkan nyeri dapat dioperasi untuk
menghilangkan nyeri.
7

c. Fisioterapi
Pada reaksi berat imobilisasi dapat mengurangi rasa nyeri, tetapi hal ini
memicu kontraktur terutama jika reaksi tersebut disertai dengan paralisis dan
artritis. Sendi harus diregangkan pada posisi fungsionalnya, dapat digunakan
bidai atau splint yang dipasang sepanjang hari dan dilepaskan jika pasien
melakukan terapi latihan.
7

d. Terapi antibakteri
Terapi antibakteri basil lepra harus dilanjutkan karena jika dihentikan maka
akan timbul efek samping yang lebih buruk terutama bila pasien mendapat
terapi steroid. Pada pasien yang baru pertama mengalami nyeri saraf maka
dapat diberikan klofazimin sebagai pengganti dapson dan rifampisin. Pasien
dengan morbus hansen tipe borderline dapat mengalami reaksi berat setelah
menggunakan dapson dapat diberikan klofazimin. Pada pasien reaksi tipe 2
yang mengalami ulserasi mukosa traktus reaspiratorius dapat diberikan
streptomisin.
7

Fenomena lucio memerlukan penanganan tersendiri yakni penggunaan
kemoterapi yang mengandung rifampisin. Steroid sebaiknya digunakan, tetapi
thalidomide dan klofazimin tidak efektif.
7

















Daftar Pustaka
1. Rea, Thomas H. and Modlin, Robert L. Leprosy. In: Klaus W., Lowell A.G.,
Stephen I.K., Barbara A.G., Amy S.P., David J.L. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine Seventh Edition. United States of America: The McGraw- Hill
Companies, Inc; 2008. p.1786- 1796
2. Hernani. Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta. Dalam: Departemen Kesehatan
RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 1- 3
3. Hernani. Epidemiologi. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman
Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 4-8
4. William DJ, Timothy GB. Hansens Disease. In: William DJ, Timoty GB, Dirk
ME. Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology Tenth Edition. United
States of America: Elsevier, Inc.; 2006 p.342- 352
5. Lockwood D.N.J. Leprosy. In: Tony B., Stephen C., Neil C., Christopher G..
Rooks Textbook of Dermatology Seventh Edition. United States of America:
Blackwell Publishing; 2004, p.29.1- 29.21
6. Hernani. Diagnosis dan Klasifikasi. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku
Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 39-40
7. A.Kosasih, I Made W., Emmy SD., Sri LM. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Indonesia: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009. hal. 73- 88
8. Hernani. Pemeriksaan Klinis dan Charting. Dalam: Departemen Kesehatan RI.
Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 44 - 47
9. Sidharta, Priguna. Pemeriksaan Motorik. Dalam: Sidharta, Priguna. Tata
Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Indonesia: Dian Rakyat; 2008, hal. 391-
398
10. Hernani. Pemeriksan Bakteriologis. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku
Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 59- 70
11. Hernani. Pengobatan. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman
Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 71- 78
12. Hansens disease. In: James W D, Berger T G, Elston D M, editors. Andrews disease
of the skin clinical dermatology. 10
th
ed. Canada: Saunders-Elsevier; 2006. p343-52.
13. Rea T H, Modlin R L.Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S I, Gilchrest B A, Paller A
S, Leffell D, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine (two vol. set).
7
th
ed. New York; McGraw-Hill Professional; 2008.p.1786-96.
14. Lockwood D N J. Leprosy. In; Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffits C, editors. Rooks
textbook of dermatology (four volume set). 7
th
ed. Massachusets; Blackwell science;
2004.p. 29.1-21.
15. Leprosy. In: Weller R, Hunter J, Savin J, Dahl M, editors. Clinical dermatology. 4
th
ed.
Massachusets; Blackwell science; 2008.p. 230-3.
16. Imunological complications: reactions. In; Bryceson A, Pfaltzgraff R E, editors.
Leprosy. 3
th
ed. London; Churchill livingstone; 1990.p 115-26.
17. Reactions in Leprosy. In: Prasad P V S, editor. All about leprosy. 2
nd
ed. New Delhi;
Jaypee Brothers; 2006.p. 62-6.
18. Management of reactions. In: Bryceson A, Pfaltzgraff R E, editors. Leprosy. 3
th
ed.
London; Churchill livingstone; 1990.p 127-32.
19. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam :
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima Cetakan Kelima.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
20. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-
126
21. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall

22. Bonarz. 2011. Kusta dalam http://id.scribd.com/doc/52132089/referat-MH-indah
diunduh tanggal 4 Februari 2011
23. Willacy Hayley. Update Apr 20, 2010. Available at :
http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm
24. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html

Você também pode gostar