Você está na página 1de 12

TINJAUAN PUSTAKA

Stres
Stres merupakan hal yang secara alami menjadi bagian yang tidak mungkin
dipisahkan dan kehidupan suatu individu maupun keluarga. Stres telah banyak
didefinisikan oleh pars ahli dari berbagai sudut pandang keilmuan.
Menurut Goldsmith (1996), stres merupakan proses (throughput) bila dilihat
dari konteks teori sistem karena stres muncul dari berbagai sumber (input) dan
mempunyai beragam akibat (output). Sedangkan McElroy dan Townsend (1985)
menyatakan bahwa sties adalah proses yang terjadi saat individu harus
rnenyesuaikan diri dengan keadaan yang jarang dialami. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa stres adalah suatu upaya menyelaraskan diri dengan sumber stres atau
stresor.
Stres yang dialami oleh segala lapisan umur mempunyai dua dimensi yaitu
eustress dan distress. Eustress adalah stres yang menguntungkan pihak yang
mengalami karena adanya stres justru membuat suatu pihak menjadi lebih baik.
Sedangkan distress adalah stres yang merugikan karena biasanya terjadi saat tubuh
dan pikiran tidak mampu beradaptasi dengan sumber stres. Kondisi ini lambat laun
akan menciptakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan (Turner & Helms, 1986).
Kecenderurigan perilaku seseorang saat menghadapi stres dikelompokkan
oleh Maslim (1998) dalam Kuswarini (1999) menjadi dua kategori, yaitu berorientasi
tugas atau task oriented dan berorientasi pembelaan ego atau ego-defence oriented.
Perilaku berorientasi tugas cenderung terjadi bila individu merasa mampu rnengatasi
stres, sedangkan bila tidak, maka perilaku yang cenderung dilakukan akan
berorientasi pada pembelaan ego. Reaksi individu terhadap stres dipengaruhi oleh
tingkat kedewasaan, kepribadian, pendidikan dan pengalarnan.
Stres merupakan suatu keadaan yang dimanifestasikan oleh sindrom spesifik
yang terdiri dari semua perubahan yang ditimbulkan secara tidak spesifik dalam
suatu sistem biologis. Stres mempunyai bentuk dan komposisi karakteristik sendiri,
tapi tidak sebab tertentu. Stres adalah perasaan tuntutan terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi tiba-tiba (Nielson, 1980).
25
Menurut Parker dan Endler (1996) dalam Rahayu (1998), pada dasarnya
perbedaan antara kedua jenis strategi koping ini masih dipertentangkan. Sebagian
orang berorientasi pada problem focused coping, sementara yang lain berorientasi
pada emotion-problem coping, dan kadang kala keduanya digunakan secara
betsamasama. Rutter (1983) dalarn Smet (1994) menyatakan bahwa tidak ada satu
jenis strategi koping yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Strategi koping
yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi.
Mengenai keefektifan dari kedua jenis perilaku mengatasi stres tersebut,
Aldwin dan Revenson (1987) dalam Rahayu (1998) menyatakan bahwa sampai saat
ini belum ada kesepakatan yang jelas mengenai jenis koping yang dianggap paling
efektif untuk menyelesaikan masalah. Dalam studinya tentang stres, Lazarus dan
Folkman (1984) menemukan bahwa pada masalah yang berkaitan dengan pekerjaan
umumnya membawa individu untuk rnelakukan problem-focused coping, sedangkan
untuk masalah kesehatan, individu lebih mengarah pada emotion-focused coping_
Lazarus dan Folkman (1984) jugs menyatakan bahwa problem-emotion
coping cenderung dilakukan jika individu merasa Makin bahwa sumber daya yang_
dimilikinya dapat mengubah situasi. Sernentara emotion-focused coping cenderung
dilakukan bila individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan
lianya dapat menerima situasi tersebut karena sumber daya yang dimilikinya tidak
cukup untuk menghadapi tuntutan situasi.
Selye 1982 membatasi stres sebagai respon yang non-spesifik pada tubuh
terhadap berbagai tuntutan yang disebut GAS (General Adaptation Syndrome). GAS
terjadi dengan melepaskan hormon adaptif dan kemudian perubahan-perubahan
dalam struktur dan komposisi kimia tubuh. GAS terdiri dari tiga tahap, yaitu :
1. Alarm reaction
Adalah tahap yang terjadi saat tubuh bereaksi melakukan pertahanan terhadap
sumber stres. Tahap ini mencakup face shock dan counter shock
2. Stage of Resistance
Adalah tahap yang terjadi saat days tahan tubuh melakukan perlawanan terhadap
sumber stres. Tahap ini dapat melebihi batas-batas normal.
3. Stage of Exhaustion
Adalah tahap yang terjadi saat tubuh dihadapkan pada surnber stres dan waktu
yang lama. Tahap ini ditunjukkan dengan kembalinya reaksi alarm yang bersifat
irreversibel.
Sumber Stres
lstilah sumber stres atau stressor diperkenalkan oleh Selye (1982) untuk
membedakan penyebab sties dengan efeknya. Atwater (1983) dalam Kuswarini
(1999) menyatakan bahwa stressor dapat berbeda pada tiap individu tergantung dari
penilaian individu tersebut. Sumber stres dapat dibedakan berdasarkan jenis
peristiwa (Feldman, 1995) dan sifat (Lazarus, 1976 dalarn Sussman & Steinmetz,
1988).
Menurut Feldman (1995), berdasarkan jenis peristiwa, sumber stres dapat
dibedakan menjadi
1. Perubahan menyeluruh (cataclysmic events)
Yaitu peristiwa yang menimbulkan stres secara tiba-tiba dan umumnya dirasakan
oleh banyak orang secara bersamaan, misalnya gempa bumi.
2. Sumber stres pribadi (personal stresor)
Yaitu peristiwa yang menimbulkan stres adalah adanya perubahan dalam
kehidupan, meskipun perubahan tersebut merupakan sesuatu yang normal,
misalnya kelahiran anak.
dapat menimbulkan stres bila terjadi terus-menerus dalam jangka waktu lama,
misalnya ketidakpuasan terhadap suatu hal.
Sedangkan berdasarkan. sifat, Lazarus (1976) mengelompokkan surnber
stres menjadi
1. Sumber stres yang bersifat fisik
Stressor fisik berarti stres biologis yang dapat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
dan emosi. Sumbernya antara lain suhu yang terlalu panas atau dingin, dan
infeksi bakteri.
2. Sumber stres yang bersifat psikososial
Stressor ini didasarkan pada kondisi lingkungan sosial tertentu. Stres akibat
stresor psikologis pun dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Stres psikologis
dapat terjadi karena adanya krisis, tekanan, frustasi, dan konflik. Maramis (1995)
rnernperjelas somber stres psikososial sebagai berikut :
a. Crisis yaitu peristiwa yang menggoncangkan keseimbangan di luar Batas
penyesuaian, termasuk hubungan keluarga.
b. Frustasi yaitu kegagalan dalam pemuasan kebutuhan yang menimbulkan
kekecewaan. Hal ini didorong oleh rintangan, bails dalam (lelah, cacat
mental, rasa rendah diri) dan luar (kelaparan, kemarau, kematian).
c. Konflik yaitu pertentangan antara kekuatan dorongan naluri dan kekuatan
yang mengendalikan dorongan naluri tersebut.
d. Tekanan yaitu hal yang berhubungan dengan tanggung jawab besar yang
dapat menimbulkan stres. Contoh tekanan dan dalam : cita-cita, dan tekanan
dari luar istri penuntut.

Teori tentang Sties
Terdapat tip teori tentang stres yang digambarkan dengan model stres yang
dikenal dengan istilah model stres ABC-X. Ketiga teori stres ini telah dikembangkan
8
oleh Hill (1969), McCubbin dan Patterson (1980), dan Boss (1983) dalam Sussman
dan Steinmetz (1988). Rincian model sties ABC- X tersebut adalah :
1. Model Stres Hill (1949)
Adalah model stres yang menggambarkan faktor-faktor yang menghasilkan
atau non-krisis dalarn keluarga. Pada model ini, Hill mengidentifikaSikan satu
set variabel utama dan hubungannya yang menimbulkan
Secara teoritis, determinan-deterrninan tersebut digambarkan sebagai "faktor
A (kejadian atau stressor) berinteraksi dengan B (sumber-sumber koping atau
resources) berinteraksi dengan C (definisi tentang kejadian atau persepsi) yang
pada akhirnya menimbulkan X (krisis atau stres)". Model stres Hill ditunjukkan
oleh Gambar I.
2. Model Stres McCubbin dan Patterson (1980)
Adalah pengembangan dari model stres Hill, dimana McCubbin dan
Patterson menjelaskan perbedaan dalam adaptasi keluarga dalam masa setelah
'crisis. Setiap variabel asli (ABC-) diuji kembali dan definisi-definisinya
dimodifikasi. Tiap variabel dalam model digambarkan secara ringkas sebagai
berikut
a. Faktor aA Sumber stres keluarga bertumpuk, artinya terdapat lebih dari satu
sumber stres utama dalam keluarga.
b. Faktor bB Sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk
mernenuhi tuntutan-tuntutan yang dihadapi, seperti : pendidikan, kesehatan,
kepribadian, ikatan keluarga, dan dukungan social.
c. Faktor cC Definisi atau persepsi terhadap sumber stres, yaitu interpretasi
subyek terhadap sumber stres, balk positif maupun negatif.
d. Faktor xX Adaptasi keluarga. Terdapat tiga tingkat angisa, yaitu individu,
keluarga, dan masyarakat dimana keluarga menjadi bagiannya. Masing-
masing digambarkan memiliki tuntutan dan kernampuan.
Model stres McCubbin dan Patterson ditunjukkan oleh Gambar 1.

Menurut McElroy dan Townsend (1985), tingkat sties dibutuhkan untuk
membentuk stimulasi dan tantangan dan lingkungan. Pada beberapa tingkatan stres
dapat diatasi dengan mudah, tapi ada Pula tingkat stres yang sangat sulit diatasi
sehingga menciptakan situasi krisis. Bahkan adanya stres pada tingkat tertentu
dianggap mampu meningkatkan kemampuan, sehingga seringkali diasumsikan
sebagai "tekanan yang menyeh_atkan" (Turner & Helms, 1986).
Holland (1985) dalam Turner dan Helms (1986) mengelompokkan stres
menjadi dua yaitu tinggi dan rendah. Pengelompokkan ini dibuat berdasarkan tipe
kepribadian seseorang. Miller dan Smith (1983) dalam Turner dan Helms (1986)
mengelompokkan tingkat stres berdasarkan kerentanan seseorang terhadap stres.
Selain itu tingkat stres seseorang dapat diketahui dengan memperhatikan gejala-
gejala stres yang ditunjukkan, baik gejala fisik maupun gejala emosional (Wilkinson,
1989).
Tingkat stres seseorang terhadap suatu peristiwa dipengaruhi oleh sumber
stres, sumberdaya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap
sumber stres. Tingkat sixes akan dikelompokkan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.
Pada keluarga dengan keberadaan anak yang rnengalami retardasi mental, tingkat
stres ibu dipengaruhi oleh kondisi psikososial anak retardasi mental, dukungan
keluarga, dan persepsi ibu terhadap anaknya yang mengalarni retardasi mental.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Stres
Berdasarkan teori-teori stres yang ada, tingkat stres dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang dikelompokkan menjadi sumber stres, sumber koping, dan
persepsi terhadap sumber stres. Di dalam penelitian ini faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat sixes ibu adalah kondisi psikososial anak retardasi
mental, dukungan keluarga, dan persepsi ibu terhadap retardasi mental.
Kondisi Psikososial Anak Retardasi Mental
Meskipun kehadiran anak dalam suatu keluarga menimbulkan stres tersendiri,
namun hal tersebut tetap diharapkan oleh orang tua. Semua orang tua pasti berharap
untuk mempunyai anak yang sehat dan normal, balk dalam pertumbuhan maupun
perkembangannya. Namun adakalanya anak yang dilahirkan tidak normal, misalnya

13
(5) pengaruh prenatal misalnya hydrocephallus, (6) abnormalitas kromosom misalnya
down-syndrome, (7) kelainan gestasi misalnya BBLR atau berat badan lahir rendah.
Cara yang biasa digunakan untuk rnengklasifikasikan retardasi mental adalah
menurut tingkat intelegensi. Menurut Irwanto (1997), tingkat kecerdasan rata-rata
normal seseorang adalah 91-110 dan batas antara normal-tidak normal adalah 66-79.
Retardasi mental dikelompokkan menjadi retardasi mental ringan dengan tingkat
kecerdasan antara 55-70, retardasi mental sedang dengan tingkat kecerdasan antara
40-54, retardasi mental berat dengan tingkat kecerdasan antara 25-39, dan retardasi
mental sangat berat dengan tingkat kecerdasan kurang dari 25 (fiery, 2000).
Seseorang dianggap retardasi mental bila memenuhi kriteria berikut
(1) rnemiliki tingkat kecerdasan (IQ atau I ntellegence Quotient) kurang dari 70,
(2) memiliki dua atau keterbatasan yang nyata dalam kemampuan beradaptasi.
dan (3) telah mengalami keterlambatan perkembangan mental sejak masa kanak-
kanak atau sebelurn berusia 18 tahun. Sebagian besar penderita retardasi mental
dilahirkan dengan berbagai abnormalitas fisik, seperti gangguan Jaya dengar atau
penyakit jantung.
Usia anak. Havighurst dalam Flurlock (1978) mengelompokkan tugas
perkembangan masa kanak-kanak, dari lahir sampai 12 tahun, Beberapa tugas
perkembangan pada usia 7-12 tahun adalah mencapai kemandirian pribadi, belajar
bergaul dengan teman sebaya, dan mengembangkan kecakapan dasar (membaca,
menulis, dan menghitung). Pada usia ini seorang anak diharapkan telah mampu
betjalan, berbicara, dan mengendalikan pembuangan sampah tubuh dengan baik.
Piaget dalam (Santrock, 1997) menyatakan bahwa kelompok usia 7-12 tahun dapat
dikelompokkan ke dalam tahap konkrit operasional (7-10 tahun), dan tahap formal
operasional (11 -12 tahun).
Menurut Berger (1981), usia anak terkait dengan tingkat stres yang dialami
oleh orang tua di Tana semakin besar usia anak, maka tingkat stres orang tua pun
semakin besar. Marion (1981) mengelompokkan situasi stres orang tua berdasarkan
usia anak menjadi enam kelompok, yaitu : (1) saat anak lahir, (2) saat diagnosa dan
perawatan anak kaitannya dengan kecacatan, (3) saat anak mendekati usia sekolah,

Você também pode gostar