Você está na página 1de 23

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN


TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING
Abon
(Euthynnus affinis)


Oleh :

Nama : Anugrah Akhirut Tasyrik
NRP : 113020090
Kelompok : D
Meja : 3 (Tiga)
Tanggal Praktikum : 19 Mei 2014
Asisten : Mugni Srinovia









LABORATORIUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN
JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2014
I PENDAHULUAN



Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Percobaan (2)
Tujuan Percobaan, dan (3) Prinsip Percobaan.
1.1 Latar Belakang Percobaan
Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat selain
sebagai komoditi ekspor. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan
dengan bahan makanan lain. Bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan mati
menyebabkan pembusukan. Mutu olahan ikan sangat tergantung pada mutu bahan
mentahnya (Warintek, 2014).
Abon ikan adalah jenis makanan awetan yang terbuat dari ikan laut yang
diberi bumbu, deiolah dengan cara perebusan dan penggorengan. Produk yang
dihasilkan mempunyai bentuk lembut, rasa enak, bau khas, dan mempunyai daya
awet yang relatif lama (Warintek, 2014).
Abon adalah salah satu produk olahan ternak yang dibuat dari daging yang
disuwir-suwir atau dipisahkan seratnya, kemudian ditambahkan bumbu-bumbu
dan digoreng. Proses pembuatan abon umumnya dilakukan oleh industri skala
rumah tangga dengan prosedur pengolahan yang belum dibakukan, namun
berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perebusan selama 60 menit
dengan lama penggorengan selama 30 menit merupakan perlakuan yang baik
untuk menghasilkan warna dan rasa abon yang paling disukai oleh konsumen.
Untuk menekan biaya produksi, umumnya produsen tidak membuat abon
murni melainkan dengan menambahkan bahan campuran seperti kluwih, jantung
pisang (ontong) atau buah nangka muda. Penambahan bahan campuran antara 20-
30 % umunya masih disukai oleh konsumen. Untuk menghasilkan abon yang
berkualitas, hendaknya perlu diperhatikan hal-hal berikut ini :
Pilihlah daging segar yang tidak berbau, berlendir, berbau amis atau busuk
Lakukan pemisahan daging dari kulit dan lemak dengan bersih agar
dihasilkan abon kering dengan kualitas prima
Jangan memotong daging terlalu pendek agar dihasilkan serat yang panjang
dan memudahkan proses penyuwiran
Gunakan api sedang selama penggorengan agar abon tidak lekas gosong
Pastikan minyak tertiriskan secara sempurna agar produk tidak cepat rusak
Simpan abon dalam keadaan kering dan jauhkan dari sinar matahari langsung
Kerusakan abon sebagian besar ditandai dengan adanya bau tengik.
Keadaan ini sebagai akibat vitamin yang larut dalam lemak mengalami destruksi
dan asam lemak tak jenuh teroksidasi oleh oksigen. Pengurangan kadar oksigen
dalam lemak dapat membantu memperpanjang masa simpan abon. Untuk itu
dibutuhkan bahan kemasan yang mampu mencegah ketengikan, perubahan Aw
dan kadar air abon selama penyimpanan selama 4 bulan adalah polietilen.
Penambahan bahan penyerap oksigen (deoxidizer) juga akan meningkatkan
perlindungan terhadap kecepatan ketengikan, mempertahankan kadar air dan Aw
produk yang sangat penting artinya dalam mempertahankan tekstur dan daya awet
produk (Dodik, 2012).
CCP pada pembuatan abon
1.2 Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan pembuatan abon adalah untuk mengetahui proses
pembuatan abon ikan dan untuk diversifikasi produk olahan ikan, untuk
menambah nilai ekonomis ikan serta untuk mengawetkan ikan.
1.3 Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan pembuatan abon berdasarkan proses pemisahan daging
sehingga pencampuran dengan bahan lain serta berdasarkan pengeringan yang
telah ditambahkan bumbu sehingga meningkatkan cita rasa dan memperpanjang
umur simpan.











II BAHAN, ALAT, DAN METODE PERCOBAAN



Bab ini menguraikan mengenai: (1) Bahan Percobaan yang Digunakan, (2)
Alat Percobaan yang Digunakan dan (3) Metode Percobaan
2.1. Bahan Percobaan yang Digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain ikan tongkol,
santan, bawang merah, bawang putih, lengkuas, kunyit, jahe, ketumbar, merica,
gula, sereh, garam.
2.2. Alat Percobaan yang Digunakan
Alat-alat yang digunkan dalam percobaan ini antara lain wajan, churner,
spatula, timbangan digital, ulekan, sendok, pisau, piring.












2.3. Metode Percobaan






Ikan tongkol Penyangraian
ketumbar
Penghancuran bumbu











Abon ikan Penggorengan Pencampuran
Gambar 1. Alur Proses Pengolahan Abon Ikan













































Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Abon


Dressing
Penimbangan

Ikan tongkol
Pengukusan
T = 100C, t = 10
Tempering
T = 30 C
Penghancuran

b.putih, garam,
ketumbar,
kemiri,gula,
bawang merah
Ikan hancur
Pemasakkan
T= 120C, t = 30
Sisik, sirip,
ekor,
kepala,
jeroan
Pencampuran
Abon ikan
Bumbu
Pemasakkan
T= 110C, t = 7
Pencampuran Santan
Pemasakkan
T= 150C, t = 50
Penghancuran

III HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN



Bab ini menguraikan mengenai (1) Hasil Percobaan dan (2) Pembahasan
3.1. Hasil Pengamatan
Berdasarkan pengamatan terhadap pembuatan abon yang telah dilakukan
maka didapat hasil pengamatan yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Hasil pengamatan abon
No. Analisa Hasil
1. Nama Produk Abon tongkol
2. Basis 250 gram
3. Bahan Utama Daging ikan tongkol
4. Bahan Tambahan Santan, bawang merah, bawang putih, lengkuas,
merica, ketumbar, jahe, kunyit, gula, sereh, garam.
5. Berat Produk 138,2 gram
6. % Produk 5,28 %
7. Organoleptik
6.1. Warna
6.2. Aroma
6.3. Tekstur
6.4. Rasa
6.5. Kenampakkan

Coklat
Khas ikan tongkol
Kasar
Asin gurih
Menarik
8. Gambar Produk

















(Sumber: Kelompok D, Meja 3, 2014)
3.2. Pembahasan
Abon ikan merupakan produk yang memadukan cara pengawetan ikan
dengan perebusan atau pengukusan, penambahan bumbu bumbu tertentu dan
penggorengan. Produk ini mempunyai tekstur yang lembut rasa dan aroma yang
khas (Anonim, 2013).
Abon ikan merupakan makanan kering yang terbuat dari suiran-suiran
daging dan bumbu-bumbu. Bahan direbus atau dikukus, kemudian disuir,
dicampur dengan bumbu dan digoreng sampai matang menjadi abon. Pembuatan
abon dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pemanfaatan limbah hasil
perikanan yang selama ini banyak terbuang sia-sia. Beberapa keuntungan yang
dapat diperoleh dari pembuatan abon ikan adalah proses pembuatannya mudah,
biayanya murah, rasanya enak dan dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan
tambahan (Suhirman, 2012).
Abon ikan yang baik mempunyai rasa yang khas, tidak berbau amis atau
anyir. Dibandingkan dengan ikan segar, abon ikan mempunyai kandungan protein
yang lebih tinggi dan dapat disimpan lebih lama tanpa mengalami perubahan
kualitas. Jenis ikan yang biasa diolah menjadi abon umumnya adalah ikan pelagis,
yaitu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), tengiri (Scomberomorus sp.), tongkol
(Euthynnus sp.) dan lain-lain (Anonim, 2013).
Umumnya abon ikan dibuat dari daging ikan cakalang, tongkol, tuna, lele,
patin dan ikan cucut, akan tetapi di dalam pembahasan ini kita menggunakan
bahan daging ikan tongkol (Anonim, 2013).
Ikan tongkol yang baik dibuat abon ikan patin adalah yang berusia 8 bulan
keatas dengan berat lebih kurang 7 ons. Kondisi ini juga berlaku bila dalam
pembuatan abon ikan ini Anda menggunakan ikan jenis lain (Anonim, 2013).
Proses Pembuatan abon antara lain:
1. Penyiangan
Ikan tuna disiangi, dipotong-potong, lalu dicuci sampai bersih. Ikan disiangi
dengan cara dibuang isi perut dan dipotong-potong melintang untuk memudahkan
pengukusan, kemudian dicuci dengan air bersih (sebaiknya air yang mengalir)
untuk menghilangkan bau amoniak (NH
3
).
2. Pengukusan
Ikan dikukus sampai matang (untuk memudahkan pengambilan daging dan
memisahkan dari tulang dan duri). Sambil menunggu pengukusan, semua bumbu
disiapkan ditimbang sesuai dengan kebutuhan. Ikan yang telah dikukus ditiriskan
atau didinginkan. Setelah dingin ikan dicabik-cabik, diperas hingga kering
kemudian ditumbuk hingga menjadi serpihan-serpihan yang halus.
3. Pemberian bumbu
Bumbu-bumbu dihaluskan lebih dahulu, tumis bumbu sampai mengeluarkan
bau yang harum dan setelah mendidih masukkan ikan yang telah dicabik-cabik
dan aduk hingga kering
4. Penggorengan
Daging ikan yang telah dicampur dengan bumbu kemudian digoreng dengan
minyak atau tanpa minyak, sambil selalu diaduk-aduk supaya tidak hangus.
Apabila menggunakan minyak, daging ikan harus seluruhnya terendam agar
diperoleh abon yang kering dan renyah. Penggorengan dihentikan ketika abon
telah berwarna kuning kecoklatan. Setelah kering angkat dan tiriskan/dinginkan
5. Pengepresan
Setelah diangkat dari wajan, abon dimasukkan ke dalam alat press dan
ditekan-tekan sampai minyaknya habis keluar (tuntas). Kemudian abon
dikeluarkan dengan menggunakan garpu. Untuk menghasilkan aroma (bau) dan
rasa yang lezat, dapat ditambahkan bawang goreng pada abon yang telah matang.
6. Pengemasan
Setelah dingin, abon dikemas di dalam kantung plastik atau kertas minyak.
Peningkatan daya simpan akan diperoleh bila digunakan pembungkus hampa
udara (Suhirman, 2012)
Prinsip pembuatan abon adalah dalam memisahkan daging ayam dari kulit
dan lemaknya hendaknya dilakukan sebersih mungkin sebab jika tidak bersih akan
dapat hasil abon yang basah (tidak kering).untuk memperoleh hasil abon yang
baik perlu diperhatikan beberapa hal antara lain: potongan daging yang diperoleh
dari pemisahan tulang dan kulit adalah tidak terlalu pendek agar tidak
memperoleh serat yang panjang, suwiran hendaknya panjang dan halus. Api untuk
menggoreng hendaknya kecil agar ahsil abonya masak, kering dan tidak gosong
serta dalam penyimpanan hendaknya abon harus benar-benar dalam kondisi
dingin sebelum dikemas dalam tempat tertutup dan kering (Anonim, 2014).
Bawang merah : berfungsi sebagai bahan pengawet makanan dan aromanya kuat.
Karakteristik bau dari bawang merah dipengaruhi oleh kandungan minyak volatil
yang sebagian besar terdiri dari komponen sulfur. Komponen volatil tidak
terdapat dalam sel secara utuh. Ketika sel pecah terjadi reaksi antara enzim liase
dan komponen flavor, seperti metil dan turunan propel (Ade, 2012).
b. Bawang putih : merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam
bahan makanan atau produk sehingga diperoleh aroma yang khas guna
meningkatkan selera makan. Bawang putih memiliki zat kimia berupa allicin,
scordinin, allithanin dan selenium. Allicin ini berperan memberi aroma bawang
putih dan bersifat anti bakteri (Ade, 2012).
c. Kunir atau kunyit, kunyit tergolong dalam kelompok jahe-
jahean, Zingiberaceae. Kunyit mengandung Lemak sebanyak 1 -3%, Karbohidrat
sebanyak 3%, Protein 30%, Pati 8%, Vitamin C 45-55%, dan garam-garam
mineral, yaitu zat besi, fosfor, dan kalsium. Fungsi penambahan kunyit dalam
pembuatan abon ikan yaitu selain sebagai bumbu dan pewarna juga sebagai
antioksidan alami (Ade, 2012).
d. Ketumbar (Coriandrum sativum) : Rempah-rempah yang sering ditambahkan
dalam campuran curing untuk menghasilkan aroma masakan yang diinginkan.
Manfaat ketumbar adalah untuk menghilangkan bau anyir, menimbulkan bau
sedap, menimbulkan rasa pedas yang gurih dan menyedapkan makanan (Ade,
2012).
e. Asem Jawa : Sejenis buah yang masam rasanya, biasa digunakan sebagai
bumbu dalam banyak masakan sebagai perasa atau penambah rasa asam dalam
makanan (Ade, 2012).
f. Garam : Dalam bahan pangan ditambahkan sebagai penegas cita rasa dan
berfungsi sebagai pengawet. Garam sebagai bahan pengawet karena
kemampuannya untuk menarik air keluar dari jaringan (Ade, 2012).
g. Gula pasir : Merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk
melembutkan produk sehingga dapat mengurangi terjadinya pengerasan dan
mengurangi penguapan air serta memberikan cita rasa produk. Adanya gula akan
menimbulkan reaksi maillard yaitu reaksi antara gula pereduksi dengan asam
amino yang akan menyebabkan warna cokelat pada produk (Ade, 2012).
h. Daun serai atau sereh : merupakan salah satu tumbuhan anggota suku rumput-
rumputan yang dimanfaatkan sebagai bumbu dapur untuk mengharumkan
makanan karena aroma yang dihasilkannya. Batang dan daun sereh wangi
mengandung zat-zat seperti geraniol, methilheptenon, terpen, terpen alkohol, asam
organik dan terutama sitronelal (Ade, 2012).
i. Minyak goreng : Minyak yang biasa digunakan untuk menggoreng
adalah minyak yang berasal dari tumbuhan atau minyak nabati. Minyak goreng
berfungsi untuk memperbaiki tekstur fisik bahan pangan dan sebagai penghantar
panas sehingga proses pemanasan menjadi lebih efisien dibanding proses
pemanggangan dan perebusan. Proses penggorengan juga dapat meningkatkan
cita rasa, kandungan gizi dan daya awet serta menambah nilai kalori bahan pangan
(Ade, 2012)
Abon sebagai salah satu produk industri pangan yang memiliki standar mutu
yang telah ditetapkan oleh Departemen Perindustrian. Penetapan standar mutu
merupakan acuan bahwa suatu produk tersebut memiliki kualitas yang baik dan
aman bagi konsumen. Faktor-faktor yang mempengaruhi standar mutu abon
antara lain :
1. Kadar air : Berpengaruh terhadap daya simpan dan keawetan abon.
2. Kadar abu : Menurunkan derajat penerimaan dari konsumen.
3. Kadar protein : Sebagai petunjuk beberapa jumlah daging/ikan yang
digunakan untuk abon.
4. Kadar lemak :Berhubungan dengan bahan baku yang digunakan, ada
tidaknya menggunakan minyak goreng dalam
penggorengan (Ade, 2012).
Abon ikan yang bermutu baik adalah abon ikan yang terbuat dari ikan yang
baik. Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar adalah ikan yang
memiliki sifat sama dengan ikan yang masih hidup baik rupa, bau, aroma, rasa
dan tekstur. Jenis ikan yang dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan abon
belum selektif bahkan dari semua jenis ikan air tawar dan air laut dapat diolah.
Akan tetapi akan lebih baik jika dipilih ikan yang memiliki serat kasar dan tidak
mengandung banyak duri. Kadar protein abon dapat digunakan sebagai petunjuk
berapa jumlah daging yang digunakan. Kadar protein abon rendah di bawah 15%
menunjukkan kemungkinan penggunaan daging yang sedikit atau kurang dari
semestinya atau mengganti bahan lain seperti nagka dan keluwih (Departemen
Perindustrian, 1995).
Selama proses penggorengan terjadi proses pemanasan, pengeringan dan
penyerapan minyak, pemekaran, teksturisasi (pelunakan), perubahan warna,
aroma dan rasa kemudian diiukuti pengerasan permukaan (crusting). Disamping
itu terjadi juga proses oksidasi, perubahan warna minyak dan penyerapan minyak
(Budi, dkk., 2009).
Proses pembuatan abon melalui proses penggorengan. Selama proses
penggorengan terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan
yang digoreng maupun minyak gorengnya. Suhu penggorengan yang lebih tinggi
dari pada suhu normal (168-196
0
C) maka akan menyebabkan degradasi minyak
goreng yang berlangsung dengan cepat (antara lain penurunan titik asap). Proses
penggorengan pada suhu tinggi dapat mempercepat proses oksidasi. Lemak pada
daging dan pada abon sapi dapat menyebabkan terjadinya oksidasi. Hasil
pemecahan ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak bebas
yang merupakan sumber bau tengik. Adanya antioksidan dalam lemak seperti
vitamin E (tokoferol) dapat mengurangi kecepatan proses oksidasi lemak, tetapi
dengan adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt dan
mangan) serta logam porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim
lipoksidasi lemak akan dipercepat (Nazieb, 2009).
Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan
menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Selama proses
penggorengan terjadi perubahan fisik, kimia dan sifat sensori. Ketika makanan
digoreng pada minyak goreng panas pada suhu yang tinggi, banyak reaksi
kompleks yang terjadi di dalam minyak dan pada saat itu minyak akan mengalami
kerusakan. Kerusakan minyak yang berlanjut dan melebihi angka yang ditetapkan
akan menyebabkan menurunnya efisiensi penggorengan dan kualitas produk
akhir. Komposisi bahan pangan yang digoreng akan menentukan jumlah minyak
yang diserap. Bahan pangan dengan kandungan air yang tinggi, akan lebih banyak
menyerap minyak karena semakin banyak ruang kosong yang ditinggalkan oleh
air yang menguap selama penggorengan. Selain itu semakin luas permukaan
bahan pangan yang digoreng maka semakin banyak minyak yang terserap
(Muchtadi, 2008).
Pindah panas yang terjadi selama penggorengan merupakan proses pindah
panas secara konduksi, yang terjadi di bagian dalam bahan pangan dan pindah
panas secara konveksi yang banyak terjadi pada minyak dan dari minyak ke
bahan. Pindah massa dalam proses penggorengan ditandai dengan hilangnya
sejumlah kandungan air bahan yang terjadi karena menguapnya air dari bagian
renyahan (Hallstrom, 1986 di Paramitha, 1999).
Selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam bahan
pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air. Penyerapan
minyak pada ikan pada saat penggorengan adalah sekitar 10%-20%. Penyerapan
minyak ini berfungsi untukmengempukkan kerak dan untuk membasahi bahan
pangan yang digoreng sehingga menambah rasa lezat dan gurih. Timbulnya warna
pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard.
Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu penggorengan dan
juga komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan sedangkan jenis minyak
yang digunakan berpengaruh sangat kecil. Pemanasan minyak selama proses
penggorengan dapat menghasilkan persenyawaan yang dapat menguap.
Komposisi persenyawaan yang dapat menguap terdiri dari alkohol, ester, lakton,
aldehida keton dan senyawa aromatik. Jumlah persenyawaan yang dominan
jumlahnya yakni aldehid termasuk di-enal yang mempengaruhi bau khas hasil
gorengan. Selain itu, sebagian besar minyak tumbuhan memiliki kandungan
pigmen karatenoid sehingga menghasilkan warna yang menarik (kuning
keemasan) (Ketaren, 1986).
Tujuan proses pengukusan tergantung pada perlakuan lanjutan terhadap
bahan pangan. Pengukusan sebelum pembekuan, pengeringan terutama untuk
menginaktifkan enzim yang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna, cita
rasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan. Pada saat proses
pemasakan atau pengukusan sedang berlangsung, kebanyakan daging ikan dapat
mengalami pengurangan kadar air. Bersamaan dengan keluarnya air tersebut ikut
pula terbawa komponen zat gizi lain seperti vitamin C, riboflavin, thiamin,
karoten, niasin, vitamin B6, Co, Mg, Mn, Ca, P, asam amino dan protein. Faktor
yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air selama pengukusan adalah
luas, permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air
(Harris, 1989).
Proses pemanfaatan panas merupakan salah satu tahap penting dalam
pengolahan ikan. Pemanasan yang diupayakan pada proses pengukusan ikan
adalah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, seperti
mempertahankan mutu ikan, perbaikan terhadap cita rasa dan tekstur, nilai gizi
dan daya cerna (Harikedua, 1992).
Secara umum tujuan pengukusan adalah untuk membuat tekstur bahan
menjadi empuk. Kondisi bahan yang empuk mudah dicabik-cabik menjadi serat-
serat yang halus. Ikan memiliki daging yang cukup lunak sehingga lebih tepat
dikukus dari pada direbus. Perebusan dilakukan apabila bahan yang digunakan
cukup keras (liat) seperti daging sapi, jantung pisang dan keluwih. Lama
pengukusan dan tinggi suhu tidak boleh berlebihan tetapi cukup sampai mencapai
titik didih saja. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan penurunan mutu rupa
dan tekstur bahan (Lisdiana Facrudddin, 1997).
Perlakuan dengan cara pemanasan dapat menyebabkan protein ikan
terdenaturasi demikian pula dengan enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh
ikan. Protein merupakan senyawa organik yang besar yang mengandung atom
karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Beberapa 21 diantaranya mengandung
sulfur, posfor, besi atau mineral lain. Pada suhu 100
0
C protein akan terkoagulasi
dan air dalam daging akan keluar. Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa
dan akan terdenaturasi, terjadi peningkatan kandungan senyawa bernitrogen,
amonia dan hidrogen sulfida dalam daging. Proses pemanfatan panas seperti
pemasakan dapat mengakibatkan perubahan pada penampakan secara umum cita
rasa, bau dan tekstur ikan. Faktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan
kadar air selama pengukusan adalah luas permukaan, konsentrasi zat terlarut
dalam air panas dan pengadukan (Harris, 1989).
Syarat mutu abon menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai
berikut: kadar protein minimum 20 %, kadar lemak maksimum 30 %, kadar gula
maksimum 30 %, kadar air maksimum 10 %, kadar abu maksimum 9 %, aroma,
rasa dan warna khas, logam berbahaya (Cu, Pb, Hg, Zn, As) negatif, jumlah
bakteri maksimum 3000/gram, E. coli negatif, dan jamur negatif (Anonimus,
1995).
CCP pada proses pembuatan abon adalah pada saat pengukusan dan
penggorengan. Pada saat pengukusan daging harus benar-benar matang karena
jika tidak matang yang dihasilkan tidak baik, dan pada proses penggorengan
waktu harus diperhatikan dan suhu juga jangan terlalu tinggi karna akan
menyebabkan abon menjadi gosong/ warna coklat yang tidak menarik.







IV KESIMPULAN DAN SARAN



Bab ini menguraikan mengenai: (1) Kesimpulan dan (2) Saran
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan pembuatan abon disimpulkan bahwa dengan
basis seberat 250 gram dan hasil produk yang di dapat seberat 138,2 gram.
Sedangkan sifat organoleptik berupa warna kunig, rasa asin, aroma khas mentega,
tekstur lembut dan kenampakan yang menarik.
4.2. Saran
Berdasarkan percobaan pembuatan abon sebaiknya melakukan
penimbangan bahan baku harus sesuai dengan takarannya






















DAFTAR PUSTAKA




Anonim. (2014). Abon daging. http://bertani.wordpress.com/peternakan/abon-
daging/. Diakses: 21 Mei 2014

Anonim. (2013). Proses Pembuatan Abon Ikan.
http://terapanteknologitepatguna.blogspot.com. Diakses: 21 Mei 2014

Buckle,K.A.,(1987). Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press.Jakarta

Dodik, suprapto. (2012). Cara Pembuatan Abon. http://a289431visidanmisi.
blogspot.com. Diakses: 21 Mei 2014

Ketaren S, (1986), Minyak dan Lemak Pangan, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.

Suhirman. (2012). Proses Pemgolahan Abon Ikan Tuna.
http://suhirmantphpi.wordpress.com Diakses: 21 Mei 2014
Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta

Warintek. (2014). Tentang Pengolahan Pangan Abon Ikan.
http://www.iptek.net.id/ . Diakses: 21 Mei 2014














LAMPIRAN PERHITUNGAN

Perhitungan Formulasi
Abon
Basis awal = 250 gram
Bahan utama : Daging ikan tongkol =


x 250 = 116,25 gram
Bahan tambahan :
a. Bawang merah =


x 250 = 10,5 gram
b. Santan =


x 250 = 35 gram
c. Bawang putih =


x 250 = 3,5 gram
d. Lengkuas =


x 250 = 3,5 gram
e. Kunyit =


x 250 = 1,17 gram
f. Jahe =


x 250 = 1,17 gram
g. Ketumbar =


x 250 = 3,5 gram
h. Merica =


x 250 = 0,22 gram
i. Gula =


x 250 = 52,5 gram
j. Sereh =


x 250 = 3,5 gram
k. Garam =


x 250 = 7 gram
% Produk =


x 100 %
=

x 100 %
= 5,28 %

Você também pode gostar