DAN REGIONAL Disusun: MOVIYANTI 1321.021.001 RIFKAH DEWI 1321.021.003 DARNA SETIADI 1321.021.009 DEFIA RISKI AM 1321.021.010 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG 2014 1 10.1 Pendahuluan Kebijakan ekonomi perkotaan dan rcgional merupakan bentuk lain dari kebijakan ekonomi publik, yang mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pertanyaan- pertanyaan yang bersifat geografis, Motivasi dan implementasi kebijakan ini memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang spesifik lata- ruang (Spacial). Tujuan kebijakan ini adalah mencari bentuk campurtangan pemerintah untuk mempengaruhi perkembangan kondisi ekonomi daerah (Local Economy). Persepsi ekonomi lokal akan ditentukan oleh sifat-sifat kebijakan, implementasi, dan evaluasinya. Definisi dan ruang lingkup ekonomi lokal dapat diperluas lebih dari ukuran sebuah ekonomi wilayah suburban secarr individual sampai ekonomi sebuah wilayah perkotaan yang sangat besar (Metropolitan). Sejalan dengan perkembangan definisi dan ruang lingkupnya, dapat berupa sebuah perekonomian wilayah yang lebih luas lagi, yaitu perekonomian sebuah kota ditambah hinterlandnya (Regional Economy). Indikator-indikator perekonomian regional terdiri dari kesempatan kerja rata- rata, tingkat pendapatan, harga rumah, dan sejumlah indikator sosial turunannya. Indikator-indikator tersebut dapat digunakan, atau dihitung untuk melihat kondisi wilayah atau subwilayah spasial yang dikaji, yang akan dijadikan dasar kebijakan perencanaan, implementasi dan evaluasi. Oleh karena itu pendekatan tentang kondisi lingkungan ekonomi juga akan tergantung pada ukuran spasial yang diambil, atau yang didefinisikan sebagai wilayah local, Dengan demikian yang dimaksud dengan kebijakan ekonomi lokal dan regional secara umum dibagi kedalam dua kelompok prakarsa dan kebijakan . Pertama,disana terdapat sejumlah prakarsa yang difokuskan secara spesifik kepada lingkungan ekonomi perkotaan dan dengan target ukuran urban dan sub urban tertentu. Semuanya akan dikaitkan dengan judul sejumlah kebijakan umum, yaitu 2 kebijakan perkotaan (Urban Policy). Kedua disana ada ukuran (Range) prakarsa yang ditargetkan pada sebuah ukuran spasial wilayah, dan segala sesuatunya akan dikaitkan kepada satu judul dari sejumlah kebijakan umum yaitu kebijakan regional (Regional Policy). Perbedaan umum diantara kebijakan ekonomi perkotaan dan ekonomi regional yang pertama yaitu pembatasan dalam luas wilayah spasial (luas ruang) yang menjadi fokus dan imptentasi kebijakan, pada kebijakan ekonomi regional yang ditujukan untuk diaplikasikan pada ukuran spasial yang lebih luas dibandingkan pada kebijakan ekonomi perkotaan. Ukuran ruang kebijakan tersebut sebenarnya tidak hanya berbeda dalam lebih luas atau kurang luasnya, atau dengan kata lain ruang kebijakan perkotaan kurang luas dibandingkan ruang kebijakan regional. Perbedaan kedua ada pada sifat-sifat kebijakan yang akan diimplementasikan. Kebijakan ekonomi perkotaan dan regional dimotivasi oleh pengaruh yang diperlukan untuk meningkatkan kondisi lingkungan ekonomi lokal. Perluasan kebijakan tertentu dapat didasarkan kepada bakal-bakal variabel yang mungkin untuk mengimplementasikan kebijakan, yang juga tergantung pada definisi spasial lingkungan lokal itu sendiri. Sebagai contoh, apakah kebijakan itu untuk pembangunan ekonomi Urban atau Suburban. Dengan demikian jelas, bahwa kebijakan yang dimaksudkan tidak untuk ekonomi skala regional, karena dampak yang diinginkan cenderung" dibatasi untuk wilayah lokal tertentu yang terbatas. Selanjutnya kebijakan ekonomi regional yang lebih luas didasarkan pada sifat-sifat lingkungan dari suatu kegiatan relokasi industri. Sebagai kebijakan ekonomi pada sekala Suburban selalu mencakup wilayah yang lebih luas meliputi sekala urban, karena dampak sebarannya yang akan meluas. Dengan kata lain pembenaran untuk kebijakan ekonomi spasial tertentu juga akan menjadi bagian dari Kebijakan wilayah spasial yang lebih luas, tergantung pada wilayah yang menjadi objek kebijakan. Perbedaan ketiga antara 3 kebijakan ekonomi perkotaan dan regional adalah menyangkut masalah kelembagaan. Perbedaan ini menyangkut kerangka administrasi dan pemerintahan, karenanya perlu dibedakan juga di dalam implementasinya, Ini karena area-area geografis yang menjadi fokus kebijakan spasial dapat melewati batas-batas administrasi pemerintahan daerah (local government) yang berbeda. Ini terutama sekali untuk kasus-kasus kebijakan spasial regional yang biasanya mencakup wilayah-wilayah administrasi yang berbeda Tetapi untuk kebijakan perkotaan umumnya menggunakan sekala lebih-kurang, biasanya diimplementasikan pada tingkat administrasi pemerintahan kotapraja yang tunggal. Perbedaan keempat adalah pada masalah pusat-pusat kegiatan yang dapat dianalisis dan dievaluasi dengan berbagai pendekatan analisis, untuk melihat pengaruh dari kebijakan kebijakan tersebut. Dilihat sifat-sifat kebijakan perkotaan dan regional yang dijadikan sasaran tujuan kebijakan adalah sekala spasial yang umum untuk masing- masing. Banyak model spasial dapat didiskusikan untuk memperdalam pengertian tentang ukuran dan terminilogi spasial yang mungkin berbeda. Model Weber dan Moses utamanya mendiskusikan pada terminologi kerangka antar wilayah (Inter-Regional) fasilitas produksi, dan alokasi produksi yang optimal mencakup sekala spasial yang luas, Yang lainnya, model persaingan spasial dari Hottelling yang dapat dijadikan dasar suatu sekala regional antar wilayah dengan kebijakan bagi pengadaan fasilitas-fasiiitas produksi yang lebih luas, atau pada sekala suburban dan urban jika ingin bertolak dari perusahaan-perusahaan pengecer kecil. Selanjutnya ada model pengelompokan dan aglomerasi industri pada sebuah kota individual. Model tersebut berbeda dengan model tempat sentral (Central Pleace Model) dari Christaller, dan Loch. Terakhir, model dari Krugman (1991), dan Fujita, dll. (1999) untuk sekala antar wilayah. Sementara itu ada pula model lokasi lahari kota (Urban Land Location) dan penentuan harga lahan dimana 4 model ini melihat kota secara individual. Kemudian dikenat pula model multiplier regional, uang diperuntukkan untuk sekala wilayah kota dan antar wilayah, seperti model kesempatan kerja dan migrasi tenaga kerja. Terakhir juga model-model alokasi faktor produksi, pertumbuhan dan neraca pembayaran wilayah. Kenyataan dari semua model tersebut, dibangun pada sekala-sekala spasial yang berbeda-beda dan disarankan untuk memilih model yang sesuai dengan objeknya dalam mengaplikasikannya (sesuai dengan sekala, ciri dan sifat ruang wilayah). Dengan kata lain, ketetapan teknik analisis atau kombinasi-kombinasi teknik analisis yang digunakan tergantung pada objek kebijakan dan sekala spasial Pada sesi berikutnya akan didiskusikan kebijakan perkotaan (Urban Policy) terlebih dahulu. Jadi pertama-tama akan didiskusikan kebijakan ekonomi spasial yang diimplementasikan pada sekala kota secara individual atau pada sekala bagian kota (Suburban). Langkah berikutnya akan didiskusikan kebijakan-kebijakan regional yang diimplementasikan sebagai kebijakan ekonomi spasial pada sekala ekonomi yang lebih luas Dengan membuat perbedaan-perbedaan geografi yang seperti ini, diharapkan dapat membuat pilihan-pilihan dalam penggunaan model-model yang lebih cocok untuk menganalisis dampak dari setiap rencana atau kebijakan yang berbeda yang melampaui wilayah-wilayah spasial yang dijadikan objek kebijakan itu sendiri. 10.2 Kebijakan Perkotaan Kebijakan ekonomi yang diimplentasikan pada tingkat perkotaan (Urban Level), pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wilayah perkotaan atau suatu subwilayah perkotaan (Suburban Level) sebagai lokasi investasi. Bagaimanapun, untuk berhasilnya sebuah kebijakan memerlukan target-target tertentu, memerlukan inisiatif- inisiatif untuk mendapatkan sektor- sektor atau jenis-jenis investasi tertentu yang dapat 5 mempengaruhi ekonomi dan lingkungan pada sekala perkotaan atau subperkotaan yang beraneka ragam sifatnya. Sektor-sektor yang umum dipandang paling peka terhadap wilayah-wilayah spasial sekala kecil (wilayah perkotaan atau subwilayah perkotaan) adalah sektor pengembangan komplek perumahan (Real Estate) dan pertanahan (Property). Oleh karena itu, kebijakan ekonomi perkotaan cenderung memfokuskan diri pada pengembangan komplek perumahan dan pengembangan lahan lokasi, dan lain-lain sektor ekonomi perkotaan local. Kebijakan-kebijakan ekonomi perkotaan biasanya, atau terutama sekali, mencoba meningkatkan daya tarik relatif dari area-area tertentu yang kurang terbangun via pengembangan sektor pertanahan dalam rangka meningkatkan daya tariknya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan ekonomi perkotaan melibatkan semua pihak dalam rangka pembebasan lahan-lahan tidur, melakukan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga atau kerangka hukum yang memungkinkan terjadinya pembangunan ekonomi lokal tersebut Ini diperlukan karena pengembangan sektor pertanahan dan komplek perumahan memerlukan infrastruktur pasar yang mendukung transaksi-transaksi bagi proses pembangunan setempat, yang biasanya memiliki kendala kelembagaan dan hukum yang kompleks, dan yang biasanya juga berbeda diantara daerah yang satu dengan yang lain, dan atau di antara negara yang satu dengan negara yang lain. Dengan adanya perubahan tersebut maka memungkinkan digunakannya kebijakan publik untuk membimbing pengembangan pola tata ruang dan partisipasi investasi sektor swasta agar tercapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (sesuai dengan yang ditetapkan dalam perencanaan kota atau bagian dari kota). Dasar- dasar pemikiran kebijakan perkotaan terutama ditentukan oleh prioritas-prioritas politik, dan fokus dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang seperti itu cenderung ditujukan pada perubahan sifat-sifat lingkungan lokal. 6 Dari sudut pandang analisis ekonomi, setiap kebijakan perkotaan akan berimplikasi berbeda untuk kelompok-kelompok sosial yang berbeda secara individual (Micro), seperti halnya kebijakan perekonomian secara keseluruhan (Macro). Dampok kesejahteraan dari kebijakan yang seperti itu haruslah dievaluasi secara terus menerus apakah berhasil atau tidak kebijakan tersebut paling peka terhadap wilayah-wilayah spasial sekala kecil (wilayah perkotaan atau sub wilayah perkotaan) adalah sektor pengembangan komplek perumahan (Real Estate) dan pertanahan (Property). Oleh karena itu, kebijakan ekonomi perkotaan cenderung memfokuskan diri pada pengembangan komplek perumahan dan pengembangan lahan lokasi, dan lain-lain sektor ekonomi perkotaan lokal Kebijakan-kebijakan ekonomi perkotaan biasanya, atau terutama sekali, mencoba meningkatkan daya tarik relatif dari area-area tertentu yang kurang terbangun via pengembangan sektor pertanahan dalam rangka meningkatkan daya tariknya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan ekonomi perkotaan melibatkan semua pihak dalam rangka pembebasan lahan-lahan tidur, melakukan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga atau kerangka hukum yang memungkinkan terjadinya pembangunan ekonomi lokal tersebut Ini diperlukan karena pengembangan sektor pertanahan dan komplek perumahan memerlukan infrastruktur pasar yang mendukung transaksi-transaksi bagi proses pembangunan setempat, yang biasanya memiliki kendala kelembagaan dan hukum yang kompleks, dan yang biasanya juga berbeda diantara daerah yang satu dengan yang lain, dan atau di antara negara yang satu dengan negara yang lain. Dengan adanya perubahan tersebut maka memungkinkan digunakannya kebijakan publik untuk membimbing pengembangan pola tata ruang dan partisipasi investasi sektor swasta agar tercapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (sesuai dengan yang ditetapkan dalam perencanaan kota atau bagian dari kota). Dasar- dasar pemikiran kebijakan perkotaan terutama ditentukan oleh 7 prioritas-prioritas politik, dan fokus dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang seperti itu cenderung ditujukan pada perubahan sifat-sifat lingkungan lokal. Dari sudut pandang analisis ekonomi, setiap kebijakan perkotaan akan berimplikasi berbeda untuk kelompok-kelompok sosial yang berbeda secara individual (Micro), seperti halnya kebijakan perekonomian secara keseluruhan (Macro). Dampok kesejahteraan dari kebijakan yang seperti itu haruslah dievaluasi secara terus menerus apakah berhasil atau tidak kebijakan tersebut dikaitkan dengan tujuannya Terkait dengan tujuannya. Terkait dengan tujuan untuk dapat menilai hasil dari suatu kebijakan, pada dasarnya dibuat dua jenis kebijakan spasial, yang kedua-duanya unluk mengembangkan lingkungan kota yang semakin baik. 10.2.1 Kebijakan-kebijakan Zoning Perkotaan Salah satu kebijakan yang lazim digunakan para perencana tata-guna lahan kota dan tata ruang regional pada umumya negara adalah aktivitas zonasi (Zoning Activity) secara geografis. Pada jenis kebijakan ini, jenis kegiatan yang berbeda hanya diatur melalui perizinan dalam memilih lokasi yang telah ditentukan oleh sebuah kota sesuai dengan rencananya. Dengan kata lain, sistem perencanaan tata guna lahan kota didukung oleh sistem hukumnya dan lembaga tersebut akan menentukan dalam penataan jenis investasi dan kegiatan pembangunan tertentu yang memungkinkan dipilih di dalam sebuah kota. Biasanya, jenis investasi dan aktivitas tersebut sekaligus ditentukan bersama ukuran luas zona dalam ruang dua dimensi (peta tata guna lahan) sebuah kota, ini juga sekaligus memberi gambaran tentang jumlah penawaran lahan lokasi terhadap suatu jenis kegiatan. Kadang-kadang sistem zoning ini juga bisa tidak berhasil, karena bekerjanya sistem zoning tersebut mendapat pengawasan (Control) dari harga lahan. Harga lahan sendiri ditentukan oleh interaksi permintaan pada harga pasar 8 lahan lokasi tertentu. Sedangkan jumlah penawaran lahan telah ditentukan oleh sistem zoning sendiri untuk masing-masing jenis investasi dan aktivitas. Oleh karena itu, untuk memahami pengaruh harga pada kebijakan adalah penting untuk mempelajari hasil akhir harga lahan yang bertolak dari berbagai sistem harga. Sistem pasar lahan ada yang bersaing, suatu system pasar yang berlawanan dengan sistem intervensi. Sistem zoning menganjurkan sistem pasar lahan yang bersaing. Untuk mendasari pengaruh tata-guna lahan terhadap kebijakan zoning, dapat digunakan model penawaran-sewa (Bid- Rent). Model ini akan memungkinkan kita membandingkan kemiringan (Slope) harga lahan dengan memperhatikan jarak ke pusat kota dan jenis penggunaan lahan dalam kondisi pasar lahan persaingan dengan skema- skema zoning dari lahan kota itu sendiri. Model penawaran-sewa lahan mengasumsikan bahwa sudah tertentu (M), maka harga lahan lokal akan ditentukan oleh aksessibilitasnya, dan didasari pada proporsi-proporsi faktor produksi. Sebagai contoh, untuk kasus sebuah kota yang umumnya terdiri dari tiga jenis aktivitas industri, yaitu: satu sektor pelayanan, satu sektor industri pengolahan, dan satu sektor distribusi dan perdagangan eceran. Dalam terminologi lahan dan fasilitas pembangunan lingkungan ketiga kelompok industri tersebut akan berbentuk kantor-kantor, faktor-faktor produksi, fasilitas perbengkelan, toko-toko dan fasilitas-fasilitas perdagangan secara berurutan. Ini berkaitan dengan masalah trade-off diantara aksessibilitas dan syarat-syarat ruang, dapat diasumsikan bahwa sektor jasa umumnya akan diorientasikan berlokasi di pusat kota, sektor industri pengolahan sesudah sektor jasa tersebut, dan sektor perdagangan eceran berlokasi pada pinggiran kota yang bersangkutan. 9 Berdasarkan kondisi-kondisi dari pengalaman teori tersebut, persaingan dalam mendapatkan lahan akan berimplikasi bahwa kantor-kantor sektor jasa akan berlokasi diantara pusat kota (M) dan jarak do dari pusat kota. Faktor produksi industri pengolahan dan perbengkelan akan dilokasikan di dalam cicin konsentrasi lahan untuk sektor jasa, yaitu pada suatu jarak do dan dm dari pusat kota. Terakhir, sektor distribusi dan perdagangan eceran akan dilokasikan diantara dm dan dr dari pusat kota. Kemiringan kurva penawaran sewa lahan kota yang aktual diberikan oleh kurva yang menyerupai tutup amplop, kemiringan kurva penawaran-sewa lahan ABC yang merupakan tangensial kurva penawaran sewa lahan yang tertinggi pada masing-masing lokasi. Sebagaimana terlihat pada gamhar tersebut, kemiringan kurva penawaran-sewa lahan kota akan merupakan fungsi dari kemiringan kurva yang menurun sccara teratur dan cembung ke arah titik asal (M). Gambar 10.1 Tingkat Kemiringan Sewa Lahan Industri Kota Berdasarkan Kondisi Pasar Lahan Persaingan 9 Berdasarkan kondisi-kondisi dari pengalaman teori tersebut, persaingan dalam mendapatkan lahan akan berimplikasi bahwa kantor-kantor sektor jasa akan berlokasi diantara pusat kota (M) dan jarak do dari pusat kota. Faktor produksi industri pengolahan dan perbengkelan akan dilokasikan di dalam cicin konsentrasi lahan untuk sektor jasa, yaitu pada suatu jarak do dan dm dari pusat kota. Terakhir, sektor distribusi dan perdagangan eceran akan dilokasikan diantara dm dan dr dari pusat kota. Kemiringan kurva penawaran sewa lahan kota yang aktual diberikan oleh kurva yang menyerupai tutup amplop, kemiringan kurva penawaran-sewa lahan ABC yang merupakan tangensial kurva penawaran sewa lahan yang tertinggi pada masing-masing lokasi. Sebagaimana terlihat pada gamhar tersebut, kemiringan kurva penawaran-sewa lahan kota akan merupakan fungsi dari kemiringan kurva yang menurun sccara teratur dan cembung ke arah titik asal (M). Gambar 10.1 Tingkat Kemiringan Sewa Lahan Industri Kota Berdasarkan Kondisi Pasar Lahan Persaingan 9 Berdasarkan kondisi-kondisi dari pengalaman teori tersebut, persaingan dalam mendapatkan lahan akan berimplikasi bahwa kantor-kantor sektor jasa akan berlokasi diantara pusat kota (M) dan jarak do dari pusat kota. Faktor produksi industri pengolahan dan perbengkelan akan dilokasikan di dalam cicin konsentrasi lahan untuk sektor jasa, yaitu pada suatu jarak do dan dm dari pusat kota. Terakhir, sektor distribusi dan perdagangan eceran akan dilokasikan diantara dm dan dr dari pusat kota. Kemiringan kurva penawaran sewa lahan kota yang aktual diberikan oleh kurva yang menyerupai tutup amplop, kemiringan kurva penawaran-sewa lahan ABC yang merupakan tangensial kurva penawaran sewa lahan yang tertinggi pada masing-masing lokasi. Sebagaimana terlihat pada gamhar tersebut, kemiringan kurva penawaran-sewa lahan kota akan merupakan fungsi dari kemiringan kurva yang menurun sccara teratur dan cembung ke arah titik asal (M). Gambar 10.1 Tingkat Kemiringan Sewa Lahan Industri Kota Berdasarkan Kondisi Pasar Lahan Persaingan 10 Lalu, dibandingkan hasil persaingan ini dengan suatu situasi dimana lahan kota yang dizonakan. Sebagai contoh, kita dapat membayangkan suatu situasi sebuah kota metropolitan dimana pemerintahan lokalnya yang melarang kegiatan-kegiatan industri mengambil lokasi di pusat kota sebagaimana mereka akan terdistribusi kepada tiga peruntukan yang bersaing. Sebuah keputusan dapat diambil untuk mempertahankan atau menyempurnakan keindahan pusat kota, atau sebagai altematif untuk menghindari pengaruh negatif, seperti polusi terhadap lingkungan lokal. Dalam keadaan seperti ini, otoritas perencanaan kota lokal dapat menentukan di mana izin hanya dapat diberikan untuk lokasi toko bagi kegiatan perdagangan eceran, pada lokasi yang berdekatan dengan pusat kota dimana aktivitas sektor jasa mengambil tempat Dalam kondisi yang seperti itu, kebijakan zoning di organisasikan sebagai sebuah ketentuan bagi sebuah penyangga diantara pusat kota dan kegiatan industri pengolahan. Gambar 10.2 memperlihatkan dimana zona toko eceran ditentukan sebagai sebuah area diantara jarak d1 dan d2 dari pusat kota (M). Pada waktu yang sama, otoritas pcrencanaan kota lokal dapat pula menentukan arca-arca subwilayah perkotaan lainnya, yang merupakan lokasi perumahan penduduk berpendapatan rendah, dan area-area perumahan untuk kelompok berpendapatan menengah dan tinggi yang tidak akan ditempati oleh aktivitas industri pengolahan. Industri pengolahan hanya akan ditempati di dalam salah satu area yang secara khusus dizonakan untuk kegiatan jenis industri tersebut. Untuk itu, otoritas perencanaan lokal kota dapat mengkhususkan zona industri pengolahan tersebut tidak dapat diperluas lagi dari jarak d3 dari pusat kota. Sementara itu. untuk mengkompensasikan ruang yang dikurangi dari sektor jasa di dalam kota untuk kehadiran zona toko eceran di dalamnya, otoritas perencanaan lokal hanya dapat memberikan izin untuk aktivitas sektor jasa yang mengambil tempat berjarak antara d3 dan d4 dari pusat kota. Sebelum zona ini 11 perencana dapat memberi izin untuk penggunaan campuran antara toko eceran dan kegiatan sektor jasa. Gambar 10.2 Kemiringan Kurva Sewa Lahan Industri Perkotaan Berdasarkan Sebuah Kebijakan Zoning Di dalam situasi yang seperti ini, kemiringan kurva sewa lahan aktual akan bergerigi (Evans, 1985) menyerupai sebuah kurva permintaan yang menurun, seperti diperlihatkan garis tebal pada gambar 10.2. Untuk melihat pengaruh kebijakan perencanaan terhadap kesejahteraan dapat dibandingkan dengan area di bawah kurva rent-gradient kasus dengan kebijakan zoning dan pasar lahan bersaing (gambar 10. 2) dengan kurva Rent-gradient lahan perkotaan aktual, atau rent-gradien yang menyerupai tutup amplop (gambar 10. 1). Perbedaannya diwakili oleh jumlah area abce dan ghjk. Kedua area tersebut mewakili kerugian total dari penerimaan sewa lahan perkotaan pada lokasi-lokasi yang dizonakan untuk kegiatan- kegiatan yang tidak membayar sewa 11 perencana dapat memberi izin untuk penggunaan campuran antara toko eceran dan kegiatan sektor jasa. Gambar 10.2 Kemiringan Kurva Sewa Lahan Industri Perkotaan Berdasarkan Sebuah Kebijakan Zoning Di dalam situasi yang seperti ini, kemiringan kurva sewa lahan aktual akan bergerigi (Evans, 1985) menyerupai sebuah kurva permintaan yang menurun, seperti diperlihatkan garis tebal pada gambar 10.2. Untuk melihat pengaruh kebijakan perencanaan terhadap kesejahteraan dapat dibandingkan dengan area di bawah kurva rent-gradient kasus dengan kebijakan zoning dan pasar lahan bersaing (gambar 10. 2) dengan kurva Rent-gradient lahan perkotaan aktual, atau rent-gradien yang menyerupai tutup amplop (gambar 10. 1). Perbedaannya diwakili oleh jumlah area abce dan ghjk. Kedua area tersebut mewakili kerugian total dari penerimaan sewa lahan perkotaan pada lokasi-lokasi yang dizonakan untuk kegiatan- kegiatan yang tidak membayar sewa 11 perencana dapat memberi izin untuk penggunaan campuran antara toko eceran dan kegiatan sektor jasa. Gambar 10.2 Kemiringan Kurva Sewa Lahan Industri Perkotaan Berdasarkan Sebuah Kebijakan Zoning Di dalam situasi yang seperti ini, kemiringan kurva sewa lahan aktual akan bergerigi (Evans, 1985) menyerupai sebuah kurva permintaan yang menurun, seperti diperlihatkan garis tebal pada gambar 10.2. Untuk melihat pengaruh kebijakan perencanaan terhadap kesejahteraan dapat dibandingkan dengan area di bawah kurva rent-gradient kasus dengan kebijakan zoning dan pasar lahan bersaing (gambar 10. 2) dengan kurva Rent-gradient lahan perkotaan aktual, atau rent-gradien yang menyerupai tutup amplop (gambar 10. 1). Perbedaannya diwakili oleh jumlah area abce dan ghjk. Kedua area tersebut mewakili kerugian total dari penerimaan sewa lahan perkotaan pada lokasi-lokasi yang dizonakan untuk kegiatan- kegiatan yang tidak membayar sewa 12 lahan maksimum (sewa lahan berdasarkan sistem pasar lahan yang bersaing). Total penerimaan yang hilang tersebut mewakili biaya opportunitas kebijakan zoning, dan sebagai refleksi dari kerugian kesejahteraan ekonomi perkotaan dari adanya kebijakan perencanaan. Kata kunci dari argumentasi di atas adalah, bahwa kebijakan perencanaan perkotaan tidak terhindarkan, dan akan memiliki implikasi kesejahteraan. Taksiran implikasi kesejahteraan dari model analisis di atas diperlihatkan gambar 10.1 dan 10.2. dengan asumsi bahwa mekanisme pasar memiliki efisiensi yang terbesar. Suatu taksiran yang benar dari implikasi kebijakan tersebut juga tergantung pada persepsi tentang efisiensi dari mekanisme pasar tentang harga- harga yang terkoreksi dengan baik serta kemudahan-kemudahannya. Situasi tersebut tergambarkan pada gambar 10.1 dan 10.2. yang mengasumsikan bahwa untuk pasar lahan penghargaannya di tiap lingkungan tidak dikoreksi oleh mekanisme pasar. Berdasarkan fakta yang ada, aspek-aspek keindahan dari lingkungan pusat kota diasumsikan haruslah di bawah nilai dengan pertimbangan - pertimbangan biasa dari sektor swasta, sehingga keuntungan akti vitas industri pengolahan dilakukan sepanjang masih memberikan manfaat positif, yang digabungkan dengan kemudahan- kemudahan yang diberikan oleh pemerintah. Jika kemudahan- kemudahan yang diberikan, yang pertama atau yang kedua dari solusi terbaik tidak ada kemungkinan respon-respon terhadap kebijakan-kebijakan, tidak tepat menghindari kegagalan pasar di dalam konteks ini, otoritas pemerintah menyederhanakan responnya kepada sebuah mekanisme quota, dengan cara demikian sejumlah keterbatasan ditentukan pada jumlah lahan yang ada pada lokasi tertentu, dan lahan dialokasikan dengan proses penjatahan. Dengan dipilihnya skema pembangunan tertentu, maka hal itu akan tergantung kepada pengembangan lahan yang berdasarkan izin perencanaan dari otoritas 13 pemerintahan lokal. Dengan menggunakan skema perencanaan tertentu, otoritas- otoritas perencanaan berputar, ke luar, karena dibandingkan langsung dengan bentuk yang dipresentasikan oleh pemerintah, bertolak dari gambar 10. 1 dan 10. 2, karena dia diasumsikan bahwa harga-harga lahan sektor swasta, diberikan gambar 10. 1, tidak persis sama merefleksikan manfaat social marginalnya. Ini adalah pembenaran bagi kebijakan-kebijakan intervensi. 10.2.2 Kebijakan regenerasi kota Kebijakan-kebijakan perencanaan tata guna lahan untuk masa depan diberikan oleh gambaran perubahan-perubahan lingkungan dan kelembagaan yang mempengaruhi bekerjanya pasar lahan kota. Pada umumnya, kebijakan-kebijakan yang seperti itu diimplementasikan dalam kondisi dimana otoritas-otoritas pemerintah percaya bahwa mekanisme pasar itu akan mengarah hasil-hasil yang secar a sosial tidak efisien karena adanya pengaruh eksternalitas. Bagaimanapun, disana juga ada situasi- situasi dimana dengan implementasi kebijakan tertentu yang menghasilkan pengaruh yang tidak dapat mendukung peningkatan kesejahteraan . sebagai contoh, kasus skema- skema regenerasi kota, sebagai inisiatif yang akhir-akhir ini sedang populer di amerika utara. Seperti di kota-kota Philadelvia dan boston, dan juga di eropa seperti london, manchester dan rotterdam. Skema tersebut di disain secara spesifik untuk mendorong pembangunan area-area kota yang sedang mengalami kemunduran, untuk mencegah migrasi ke luar (outmigration) dan pemukiman kembali penduduk dari area-area pusat kota. Pada umumnya wilayah perkotaan memiliki keterkaitan ke luar yang baik, yang mempengaruhi penduduk dan aktifitasnya selama tiga sampai empat dekade, berubah menjadi penduduk dan kegiatan bisnis pusat-pusat perkotaan yang lebih kecil. Inilah yang disebut urban rural shift. Pertama, keterkaitan tersebut terjadi melalui 14 pengenalan produksi, komunikasi, dam teknologi transportasi yang dapat mengurangi pentingnya lokasi pusat perkotaan bagi kegiatan-kegiatan perusahaan. Kedua, pada kondisi meningkatnya pendapatan, terjadi perubahan pada pilihan rumah tangga pada ruang dan mutu lingkungan yang lebih baik mendorong terjadinya outmigration, banyak orang pindah ke lokasi-lokasi yang lebih pinggiran, tetapi dengan kondisi dimana lokasi- lokasi tersebut memiliki akses baik. Ketiga, persediaan modal perkotaan tetap dapat membatasi kemampuan perusahaan-perusahaan untuk membentuk dan memperluas kembali lahan lokasi di pusat-pusat kota yang mendekati jalur-jalur hijau. Secara rata- rata hasil akhir dari beragam pengaruh tersebut cenderung mengurangi daya tarik wilayah pusat kota bagi kebanyakan orang dan aktifitas bisnis. Kombinasi dari kecenderungan tersebut sering mengarah pada penciptaan lokasi pembuangan sampah kota, dengan lahan yang biasanya disesuaikan pada pusat kota yang kurang terbangun dan terlantar. Bagaimanapun pada umumnya otoritas pemerintahan sipin, cenderung seperti itu, lebih dihargai dan juga lebih maju. Untuk skedul meningkatkan keindahan wilayah dan kondisi kehidupan penduduk, pada umumnya pemerintah kota telah mengimplementasikan skema-skema regenerasi perkotaan. Didalam skema-skema tersebut, lingkungan hukum dan kelembagaan yang berkaitan dengan pasar lahan yang diberlakukan, dan diubah untuk wilayah-wilayah yang diperkirakan tidak menghasilkan. Dengan cara yang sama otoritas kota pada umumnya tidak menghendaki kegitan-kegiatan tersebut dilokasikan memusat. Oleh karena itu, skema-skema regenerasi perkotaan harus didiskusikan pada pasar-pasar komplek perumahan dari sektor hunian, dan sektor jasa yang umumnya sangat peka terhadap keragaman lingkungan kota. Dengan kata lain, skema tersebut biasanya memiliki target untuk mendapatkan pembangunan perumahan dan properti lokal. 15 Sehubungan dengan kasus tersebut didiskusikan kebijakan zonasi kota untuk dapat diadopsi model penawaran-sewa (Bid-rent), atau model alokasi lahan kota untuk menganalisis dampak kesejahteraan dari skema pengembangan kota. Untuk dapat melakukan ini kita memisalkan situasi di sebuah wilayah kota yang semula menggantikan sebuah kota yang mengalami kemunduran dimana wilayah menganggur berada di pusat kota. Didalam lahan yang tidak berpenduduk harga real estate nol, karena tidak ada orang yang bersedia pindah kesana dan juga tidak ada kegiatan bisnis yang berlokasi kesana, dan berlaku sistem ekonomi pasar dan kondisi lingkungan. Situasi awal ini dapat diwakili oleh gambar 10.3, dengan asumsi untuk penyederhanaan bahwa disana hanya ada dua kelompok pendapatan, yang satu berpendapatan rendah dan yang satu lagi berpendapatan tinggi. Kelompok berpendapatan rendah tinggal di sekitar pusat kota dengan radius d1 dari pusat kota. Kelompok yang berpendapatan tinggi tinggal pada lokasi dengan jaran d2 dari pusat kota. Kelompok berpendapatan tinggi tidak tinggal di wilayah yang berdekatan dengan wilayah tinggal kelompok berpendapatan rendah, tetapi di suatu wilayah yang terletak diantara d1 dan d2. Di wilayah yang letaknya seperti itu, prospek ekonominya rendah dan biasanya dengan sewa lahan nol, dan kondisi investasi yang tidak menguntungkan. Didalam situasi yang seperti itu, diamana otoritas pemerintah lokas mencoba mengubah situasi yang digambarkan gambar 10.3, dengan memperbaiki keindahan lingkungan secara umum di sekitar pusat kota, mengajak otoritas perencanaan didalam batas-batas kebijakannya untuk mempengaruhi perilaku pasar kompleks perumahan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat membuat pemerintah lokal tidak memilih di lingkungan tersebut, atau langsung dengan pengetatan peraturan zonasi real estate, atau dengan memberi subsidi tidak langsung dimana pemerintah membangun infrastruktur khusus untuk publik yang khusus, atau provisi untuk transportasi umum, 16 atau dalam bentuk kerjasama-kerjasama usaha antara sektor pemerintah dan sektor swasta dalam bentuk-bentuk surat kesepakatan kerjasama yang tercantum didalam skema-skema. Gambar 10.3: Lahan Tempat Tinggal (Lokasi Perumahan) Kota Bagaimanapun, dasar logika semua skema-skema regenerasi kota adalah untuk mencoba melakukan perubahan pada lingkungan investasi, yang dengan itu pasar reas estate lokal akan bekerja, akan terjadinya perubahan-perubahan dalam lingkungan fisik wilayah lokal. Kesimpulannya, dimana perilaku wilayah tersebut cenderung bertentangan dengan perilaku kurva bid-rent curve yang terus meningkat dari wilayah hunian kelompok yang berpendapatan rendah, digabungkan dengan eksternalitas dengan persepsi-persepsi sosial. Karena itu, tujuan kebijakan perkotaan adalah untuk mengubah persepsi kelompok berpendapatan tinggi agar mendorong investasi real estate oleh kelompok tersebut di pusat kota. 16 atau dalam bentuk kerjasama-kerjasama usaha antara sektor pemerintah dan sektor swasta dalam bentuk-bentuk surat kesepakatan kerjasama yang tercantum didalam skema-skema. Gambar 10.3: Lahan Tempat Tinggal (Lokasi Perumahan) Kota Bagaimanapun, dasar logika semua skema-skema regenerasi kota adalah untuk mencoba melakukan perubahan pada lingkungan investasi, yang dengan itu pasar reas estate lokal akan bekerja, akan terjadinya perubahan-perubahan dalam lingkungan fisik wilayah lokal. Kesimpulannya, dimana perilaku wilayah tersebut cenderung bertentangan dengan perilaku kurva bid-rent curve yang terus meningkat dari wilayah hunian kelompok yang berpendapatan rendah, digabungkan dengan eksternalitas dengan persepsi-persepsi sosial. Karena itu, tujuan kebijakan perkotaan adalah untuk mengubah persepsi kelompok berpendapatan tinggi agar mendorong investasi real estate oleh kelompok tersebut di pusat kota. 16 atau dalam bentuk kerjasama-kerjasama usaha antara sektor pemerintah dan sektor swasta dalam bentuk-bentuk surat kesepakatan kerjasama yang tercantum didalam skema-skema. Gambar 10.3: Lahan Tempat Tinggal (Lokasi Perumahan) Kota Bagaimanapun, dasar logika semua skema-skema regenerasi kota adalah untuk mencoba melakukan perubahan pada lingkungan investasi, yang dengan itu pasar reas estate lokal akan bekerja, akan terjadinya perubahan-perubahan dalam lingkungan fisik wilayah lokal. Kesimpulannya, dimana perilaku wilayah tersebut cenderung bertentangan dengan perilaku kurva bid-rent curve yang terus meningkat dari wilayah hunian kelompok yang berpendapatan rendah, digabungkan dengan eksternalitas dengan persepsi-persepsi sosial. Karena itu, tujuan kebijakan perkotaan adalah untuk mengubah persepsi kelompok berpendapatan tinggi agar mendorong investasi real estate oleh kelompok tersebut di pusat kota. 17 Gambar 10.4 Tata-guna Lahan Perumahan Sebagai Akibat Skema Peremajaan Pusat Kota Pengaruh-pengaruh kebijakan tertentu yang seperti itu dapat diperlihatkan seperti dalam gambar 7.4. Jika dilakukan pembangunan kembali wilayah lokal pusat kota diperkenankan berjalan terus, wilayah tersebut menjadi menarik untuk sebagian tertentu kelompok berpendapatan tinggi yang relatif memiliki kepentingan tinggi terhadap aksessibiltas ke pusat kota, yang sebelum pusat kota itu dikembangkan tidak ingin kembali ke lingkungan miskin tersebut. Untuk tujuan penyederhanaan, akan dirinci sifat-sifat dari kelompok berpendapatan tinggi tersebut, khususnya untuk penduduk yang berusia muda, yang sebenernya juga terdiri dari rumah tangga-rumah tangga kedua kelompok pendapatan. Kurva bid-rent dari kelompok ini cenderung sangat landai. Pada sisi lain, penduduk yang lebih tua, keluarga-keluarga yang memiliki bayi akan tetap pada bid-rent-nya masing-masing. Jadi, dengan pembangunan kembali pusat kota tersebut akan ada keluarga-keluarga miskin yang terdesak, yang kehilangan tempat tinggal. Dalam kondisi yang demikian, rumah tangga-rumah tangga yang terdesak itu, 17 Gambar 10.4 Tata-guna Lahan Perumahan Sebagai Akibat Skema Peremajaan Pusat Kota Pengaruh-pengaruh kebijakan tertentu yang seperti itu dapat diperlihatkan seperti dalam gambar 7.4. Jika dilakukan pembangunan kembali wilayah lokal pusat kota diperkenankan berjalan terus, wilayah tersebut menjadi menarik untuk sebagian tertentu kelompok berpendapatan tinggi yang relatif memiliki kepentingan tinggi terhadap aksessibiltas ke pusat kota, yang sebelum pusat kota itu dikembangkan tidak ingin kembali ke lingkungan miskin tersebut. Untuk tujuan penyederhanaan, akan dirinci sifat-sifat dari kelompok berpendapatan tinggi tersebut, khususnya untuk penduduk yang berusia muda, yang sebenernya juga terdiri dari rumah tangga-rumah tangga kedua kelompok pendapatan. Kurva bid-rent dari kelompok ini cenderung sangat landai. Pada sisi lain, penduduk yang lebih tua, keluarga-keluarga yang memiliki bayi akan tetap pada bid-rent-nya masing-masing. Jadi, dengan pembangunan kembali pusat kota tersebut akan ada keluarga-keluarga miskin yang terdesak, yang kehilangan tempat tinggal. Dalam kondisi yang demikian, rumah tangga-rumah tangga yang terdesak itu, 17 Gambar 10.4 Tata-guna Lahan Perumahan Sebagai Akibat Skema Peremajaan Pusat Kota Pengaruh-pengaruh kebijakan tertentu yang seperti itu dapat diperlihatkan seperti dalam gambar 7.4. Jika dilakukan pembangunan kembali wilayah lokal pusat kota diperkenankan berjalan terus, wilayah tersebut menjadi menarik untuk sebagian tertentu kelompok berpendapatan tinggi yang relatif memiliki kepentingan tinggi terhadap aksessibiltas ke pusat kota, yang sebelum pusat kota itu dikembangkan tidak ingin kembali ke lingkungan miskin tersebut. Untuk tujuan penyederhanaan, akan dirinci sifat-sifat dari kelompok berpendapatan tinggi tersebut, khususnya untuk penduduk yang berusia muda, yang sebenernya juga terdiri dari rumah tangga-rumah tangga kedua kelompok pendapatan. Kurva bid-rent dari kelompok ini cenderung sangat landai. Pada sisi lain, penduduk yang lebih tua, keluarga-keluarga yang memiliki bayi akan tetap pada bid-rent-nya masing-masing. Jadi, dengan pembangunan kembali pusat kota tersebut akan ada keluarga-keluarga miskin yang terdesak, yang kehilangan tempat tinggal. Dalam kondisi yang demikian, rumah tangga-rumah tangga yang terdesak itu, 18 akan menjadi rumahtangga-rumahtangga yang berpindah-pindah di daerah hunian pusat. Gambar 10.5: Efek Kesejahteraan dari Skema Peremajaan Kota Sebagai alternatif, penduduk kota yang berpendapatan rendah tetap stabil, karena kemampuannya untuk bermigrasi terbatas, setelah peremajaan pusat kota mereka akan tinggal di dalam wilayah hunian yang lebih jauh sedikit dari pusat kota. Kurva bid-rent individual kelompok berpendapatan rendahmengindikasikan sewa per meter persegi yang berbeda yang harus mereka bayarkan, untuk memelihara tingkat kegunaan lahan , dimana kegunaan adalah fungsi dari total area lokasi yang dipakai. Jika pada masing-masing lokasi area lahan yang dipakai berkurang, pada kurva bid-rent yang curam, maka kegunaan total dari perumahan individu akan berkurang. Dalam pengertian analisis bid-rent menurunnya kegunaan ini diwakili oleh pergeseran yang meningkat di dalam kurva bid-rent untuk kelompok yang berpendapatan rendah. Pergeseran di dalam kurva bid-rent kelompok yang berpenghasilan rendah setelah adanya skema peremajaan kembali ini akan diwakili oleh suatu kenaikan sewa permeter 18 akan menjadi rumahtangga-rumahtangga yang berpindah-pindah di daerah hunian pusat. Gambar 10.5: Efek Kesejahteraan dari Skema Peremajaan Kota Sebagai alternatif, penduduk kota yang berpendapatan rendah tetap stabil, karena kemampuannya untuk bermigrasi terbatas, setelah peremajaan pusat kota mereka akan tinggal di dalam wilayah hunian yang lebih jauh sedikit dari pusat kota. Kurva bid-rent individual kelompok berpendapatan rendahmengindikasikan sewa per meter persegi yang berbeda yang harus mereka bayarkan, untuk memelihara tingkat kegunaan lahan , dimana kegunaan adalah fungsi dari total area lokasi yang dipakai. Jika pada masing-masing lokasi area lahan yang dipakai berkurang, pada kurva bid-rent yang curam, maka kegunaan total dari perumahan individu akan berkurang. Dalam pengertian analisis bid-rent menurunnya kegunaan ini diwakili oleh pergeseran yang meningkat di dalam kurva bid-rent untuk kelompok yang berpendapatan rendah. Pergeseran di dalam kurva bid-rent kelompok yang berpenghasilan rendah setelah adanya skema peremajaan kembali ini akan diwakili oleh suatu kenaikan sewa permeter 18 akan menjadi rumahtangga-rumahtangga yang berpindah-pindah di daerah hunian pusat. Gambar 10.5: Efek Kesejahteraan dari Skema Peremajaan Kota Sebagai alternatif, penduduk kota yang berpendapatan rendah tetap stabil, karena kemampuannya untuk bermigrasi terbatas, setelah peremajaan pusat kota mereka akan tinggal di dalam wilayah hunian yang lebih jauh sedikit dari pusat kota. Kurva bid-rent individual kelompok berpendapatan rendahmengindikasikan sewa per meter persegi yang berbeda yang harus mereka bayarkan, untuk memelihara tingkat kegunaan lahan , dimana kegunaan adalah fungsi dari total area lokasi yang dipakai. Jika pada masing-masing lokasi area lahan yang dipakai berkurang, pada kurva bid-rent yang curam, maka kegunaan total dari perumahan individu akan berkurang. Dalam pengertian analisis bid-rent menurunnya kegunaan ini diwakili oleh pergeseran yang meningkat di dalam kurva bid-rent untuk kelompok yang berpendapatan rendah. Pergeseran di dalam kurva bid-rent kelompok yang berpenghasilan rendah setelah adanya skema peremajaan kembali ini akan diwakili oleh suatu kenaikan sewa permeter 19 persegi, yang dijual oleh kelompok berpenghasilan rendah pada masing-masing lokasi. Persaingan di pasar real estate mengimlikasikan bahwa kelompok berpendapatan rendah menjadi meningkat area hunian mereka, yang mencakup area diantara berjarak dy dan dh ke jarak di dan di dari pusat kota. Dengan demikian, kelompok berpendapatan rendah akan meluaskan wilayah lingkungan hunian mereka dengan mengambil lingkungan wilayah kedua kelompok yang berpendapatan tinggi. Bagaimanapun, meluasnya area lingkungan hunian kelompok berpendapatan rendah yang dijual ini, yang menghasilkan perubahan jarak batas-batasnya, disimpulkan sebagai pergeseran fungsi bid-rent kelompok tersebut. Kelompok berpenghasilan rendah tidak banyak kehilangan kesejahteraan sebagai akibat dari skema peremajaan pusat kota. 10.2.3 Pengelompokan (Centrification) Diskusi tentang skema-skema pembangunan kembali kota disini adalah mencoba dengan sebuah contoh ilustrasi mambagi-bagi seluruh efek-efek kesejahteraan yang kompleks yang ada di dalam setiap gagasan kebijakan perkotaan. Didalam kasus yang istimewa ini, eklompok yang berpenghasilan tinggi akan terdorong bergerak ke belakang, ke area-area pinggiran kota melalui usaha perbaikan lingkungan fisik. Kelompok yang berpendapatan tinggi ini, dalam proses tersebut bergerak ke belakang dari area pusat kota, yang dikenal di dalam istilah pengelompokkan (Gratification). Didalam beberapa kasus proses pengelompokkan ini berlangsung secara alamiah. Biasanya, bagian-bagian kota yang sudah tua, seperti : london, New york, dan paris yang memiliki pertumbuhan kesempatan kerja yang menyenangkan, setelah ada efek aglomerasi, setelah berkembangnya sektor-sektor tertentu seperti sektor keuangan , terbuksi secara signifikan terjadinya pengelompokkan-pengelompokkan. Sungguhpun demikian, diekbanyakan kota-kota dan di dalam kota-kota tertentu ada yang sudah tidak 20 menyenangkan, seperti halnya efek-efek aglomerasi, proses perkembangan pasar sendiri tidak bergerak di pengelompokkan. Didalam situasi yang seperti itu, intervensi kebijakan publik menjadi wajib dilakukan bila diyakini bahwa hasil dari proses tersebut akan baik jika dilihat dari pandangan sosial. Bagaimanapun, sebagaimana yang telah disaksikan disini, seperti halnya skema pembangunan kota mengandung konsekwensi yang tidak diinginkan, dimana yang diuntungkan oleh skema tersebut adalah kelompok yang berpendapatan tinggi, sedangkan kelompok yang berpendapatan rendah (orang- orang miskin) mendapatkan manfaat negatif dari skema tersebut. Sekarang, berbagai alasan dari gagasan-gagasan kebijakan yang seperti itu mencoba menghitung pengaruh- pengaruh danmanfaat-manfaat bagi semua golongan pendapatan, pada waktu terjadinya proses terpolanya wilayah-wilayah hunian masyarakat secara geografis. Para perencana juga tidak mempromosikan skema tersebut sebagai sesuatu yang akan memberikan manfaat hanya pada kelompok yang berpendapatan tinggi. Kebijakan- kebijakan yang diambil secara umum dipercaya, bahwa dari pembangunan tersebut akan memberikan harapan bagi berkembangnya area-area kota yang mengalami kemunduran, melokalisasi manfaat-manfaat aglomerasi yang dapat direalisasikan di dalam jangka panjang berdasarkan pengelompokkan aktivitas tersier (usaha jasa) dan kelompok penduduk yang berpendapatan tinggi di pusat kota. Dengan kata lain, dengan target yang berhati-hati dari skema-skema tertentu, para perencana mengharapkan dengan menggunakan investasu publik secara selektif dapat mendorong pertumbuhan aktifitas ekonomi setempat. Pertumbuhan lokal tersebut diasumsikan akan memberikan manfaat kepada semua kelompok pendapatan secara lokal, seperti penciptaan kesempatan kerja lokal dan peningkatan kondisi lingkungan fisik lokal. Bagaimanapun, pengelompokkan aktivitas dan manusia tidak cukup untuk mengembangkan ekonomisasi aglomerasi lokal. Karena itu, pengaruh aglomerasi yang lebih 21 menguntungkan kelompok yang berpendapatan rendah, sebagai kompensasi hilangnya kesejahteraan, merupakan spekulasi semata. Pada sisi lain, setiap kehilangan pengaruh aglomerasi akan hilang pula kesejahteraan pada kelompok yang berpenghasilan rendah, jika tidak berhati-hati, mengingat kelompok yang berpendapatan tinggi akan menerima lebih banyak manfaat ekonomi selama berlangsungnya pembangunan kota. 10.2.4 Jalur Hijau (Greenbelts) Di beberapa negara yang kepadatan penduduknya secara spasial relatif tinggi, seperti negara Belanda, Korea Selatan, dan Inggris, tata guna dan alokasi lahannya baik pada tingkat nasional maupun lokal di organisasi secara ketat dengan menggunakan sistem jalur hijau. Jalur hijau adalah sebuah zona lahan di sekitar wilayah kota yang tidak akan diizinkan untuk dibangun didalam skema pembangunan kota, dalam kedaan bagaimanapun. Dengan kata lain, jalur hijau dalah suatu area berbentuk sebuah cincin konsentrasi di sekitar pinggiran area kota. Dasar pemikiran sistem jalur hijau adalah untuk membatasi perluasan area kota ke luar, untuk mempertahankan dan melindunginya lahan pedesaan. Motivasi kebijakan yang bersifat membatasi tersebut adalah, bahwa di negeri-negeri atau wilayah-wilayah yang padat penduduk, perlindungan terhadap wilayah pedesaan harus menjadi prioritas nasional, mengingat lahan pedesaan yang relatif terbatas. 22 Gambar 10.6: penggabungan antar kota (Inter Urban Merging) Bertolak dari perspektof ini, nilai area pedesaan ditentukan terlebih dahulu dalam ukuran-ukuran keindahan dan alas an-alasan kepurbakalaan daripada ukuran- ukuran ekonomi yang sederhana. Oleh kareena itu untuk terjaminnya semua orang mendapatkan akses yang relative mudah ke area-area lokal pedesaan, perluasan area kota dibatasi secara tegas. Secara implisits, dengan asumsi-asumsi kebijakan yang demikian, maka mekanisme pasar lahan swasta tidak akan memasukkan nilai lahan perlindungan pedesaan sebgai ukuran biaya dan manfaat social, dan kegiatan pengembangan perkotaan akan dihargai hanya dengan ketertarikan kepada biaya dan manfaat swasta. Dengan demikian rasionalitas jalur hijau adalah suatu permasalahan lingkungan hidup. Pada sisi lain sebagaimana halnya sebuah kebijakan, bersifat memiliki implikasi kesejahteraan. Untuk dapat memahami logika sebuah jalur hijau kita dapat merujuk gambar 10.6, dimana sebuah wilayah diasumsikan terdiri dari dua pusat kota dan dua distrik pusat bisnis yang memiliki daya tarik, yaitu lokasi J dan lokasi K. diasumsikan pula bahwa 22 Gambar 10.6: penggabungan antar kota (Inter Urban Merging) Bertolak dari perspektof ini, nilai area pedesaan ditentukan terlebih dahulu dalam ukuran-ukuran keindahan dan alas an-alasan kepurbakalaan daripada ukuran- ukuran ekonomi yang sederhana. Oleh kareena itu untuk terjaminnya semua orang mendapatkan akses yang relative mudah ke area-area lokal pedesaan, perluasan area kota dibatasi secara tegas. Secara implisits, dengan asumsi-asumsi kebijakan yang demikian, maka mekanisme pasar lahan swasta tidak akan memasukkan nilai lahan perlindungan pedesaan sebgai ukuran biaya dan manfaat social, dan kegiatan pengembangan perkotaan akan dihargai hanya dengan ketertarikan kepada biaya dan manfaat swasta. Dengan demikian rasionalitas jalur hijau adalah suatu permasalahan lingkungan hidup. Pada sisi lain sebagaimana halnya sebuah kebijakan, bersifat memiliki implikasi kesejahteraan. Untuk dapat memahami logika sebuah jalur hijau kita dapat merujuk gambar 10.6, dimana sebuah wilayah diasumsikan terdiri dari dua pusat kota dan dua distrik pusat bisnis yang memiliki daya tarik, yaitu lokasi J dan lokasi K. diasumsikan pula bahwa 22 Gambar 10.6: penggabungan antar kota (Inter Urban Merging) Bertolak dari perspektof ini, nilai area pedesaan ditentukan terlebih dahulu dalam ukuran-ukuran keindahan dan alas an-alasan kepurbakalaan daripada ukuran- ukuran ekonomi yang sederhana. Oleh kareena itu untuk terjaminnya semua orang mendapatkan akses yang relative mudah ke area-area lokal pedesaan, perluasan area kota dibatasi secara tegas. Secara implisits, dengan asumsi-asumsi kebijakan yang demikian, maka mekanisme pasar lahan swasta tidak akan memasukkan nilai lahan perlindungan pedesaan sebgai ukuran biaya dan manfaat social, dan kegiatan pengembangan perkotaan akan dihargai hanya dengan ketertarikan kepada biaya dan manfaat swasta. Dengan demikian rasionalitas jalur hijau adalah suatu permasalahan lingkungan hidup. Pada sisi lain sebagaimana halnya sebuah kebijakan, bersifat memiliki implikasi kesejahteraan. Untuk dapat memahami logika sebuah jalur hijau kita dapat merujuk gambar 10.6, dimana sebuah wilayah diasumsikan terdiri dari dua pusat kota dan dua distrik pusat bisnis yang memiliki daya tarik, yaitu lokasi J dan lokasi K. diasumsikan pula bahwa 23 pendapatan upah yang diterima di lokasi J lebih tinggi dibandingkan dengan di lokasi K. harga sewa lahan per m 2 , dimana berlaku pasar persaingan adalah r j1 dilokasi J, yang lebih tinggi dari dilokasi K yaitu rk 1 . Kurva rent-gradient komveks untuk setiap area kota yang terdiri dari fungsi-fungsi rent-gradient individual yang dibedakan untuk masing- masing kelompok pendapatan yang berlaku pada setiap pusat kota. Sewa lahan pertanian diberikan pada tingkat r A pada semua lokasi, pasar untuk lahan siasumsikan bersaing, area kota yang dipuusatkan pada J lebih luas dibandingkan dengan yang dipusatkan pada K. area kota yang dipusatkan pada J seluas dari d 2 ke d 3 dan yang dipusatkan pada K seluas dari d 4 ke d 5 . Area pertanian berada disebalah kiri d 2 dan disebelah kanan d 5 dan diantara d 3 dan d 4 . Dengan kata lain, pendapatan yang berlaku r j1 dan r k1 diterima pada kegiatan di J dan K. ketertarikan dari kedua area kota dipisahkan oleh aktivitas pertanian. Land Rent-gradient actual diwakili oleh garis tebal pada gambar 10.7. Gambar 10.7 Efek-efek Harga Lahan dari Sebuah kebijakan Jalur Hijau 23 pendapatan upah yang diterima di lokasi J lebih tinggi dibandingkan dengan di lokasi K. harga sewa lahan per m 2 , dimana berlaku pasar persaingan adalah r j1 dilokasi J, yang lebih tinggi dari dilokasi K yaitu rk 1 . Kurva rent-gradient komveks untuk setiap area kota yang terdiri dari fungsi-fungsi rent-gradient individual yang dibedakan untuk masing- masing kelompok pendapatan yang berlaku pada setiap pusat kota. Sewa lahan pertanian diberikan pada tingkat r A pada semua lokasi, pasar untuk lahan siasumsikan bersaing, area kota yang dipuusatkan pada J lebih luas dibandingkan dengan yang dipusatkan pada K. area kota yang dipusatkan pada J seluas dari d 2 ke d 3 dan yang dipusatkan pada K seluas dari d 4 ke d 5 . Area pertanian berada disebalah kiri d 2 dan disebelah kanan d 5 dan diantara d 3 dan d 4 . Dengan kata lain, pendapatan yang berlaku r j1 dan r k1 diterima pada kegiatan di J dan K. ketertarikan dari kedua area kota dipisahkan oleh aktivitas pertanian. Land Rent-gradient actual diwakili oleh garis tebal pada gambar 10.7. Gambar 10.7 Efek-efek Harga Lahan dari Sebuah kebijakan Jalur Hijau 23 pendapatan upah yang diterima di lokasi J lebih tinggi dibandingkan dengan di lokasi K. harga sewa lahan per m 2 , dimana berlaku pasar persaingan adalah r j1 dilokasi J, yang lebih tinggi dari dilokasi K yaitu rk 1 . Kurva rent-gradient komveks untuk setiap area kota yang terdiri dari fungsi-fungsi rent-gradient individual yang dibedakan untuk masing- masing kelompok pendapatan yang berlaku pada setiap pusat kota. Sewa lahan pertanian diberikan pada tingkat r A pada semua lokasi, pasar untuk lahan siasumsikan bersaing, area kota yang dipuusatkan pada J lebih luas dibandingkan dengan yang dipusatkan pada K. area kota yang dipusatkan pada J seluas dari d 2 ke d 3 dan yang dipusatkan pada K seluas dari d 4 ke d 5 . Area pertanian berada disebalah kiri d 2 dan disebelah kanan d 5 dan diantara d 3 dan d 4 . Dengan kata lain, pendapatan yang berlaku r j1 dan r k1 diterima pada kegiatan di J dan K. ketertarikan dari kedua area kota dipisahkan oleh aktivitas pertanian. Land Rent-gradient actual diwakili oleh garis tebal pada gambar 10.7. Gambar 10.7 Efek-efek Harga Lahan dari Sebuah kebijakan Jalur Hijau 24 Sebagai contoh jika untuk ekonomisasi aglomerasi, pendapatan nominal yang dapat dibayarkan pada lokasi J dan lokasi K meningkat dalam jangka waktu tertentu sebesar 50% ke rj 2 dan rk 2 , kedua wilayah kota akan diperluas. Di dalam kasus ini, land rent-gradient yang baru diperlihatkan oleh gambar 10.6, oleh garis-garis tebal. Jika diperhatikan, wilayah kota yang berpusat di K tidak akan diperluas dari lokasi d 6 ke kanan. Area diantara kota J dan kota K sekarang tidak akan diperluas oleh pembangunan kota-kota dari d 1 ke d 6 . Untuk menghindari menggabungnya pusat-pusat kota persamaan dengan perjalanan waktu maka otorita tata-guna lahan dapat menjalankan suatu kebijakan jalur hijau yang ketat untuk memelihara batas-batas kota. Pengaruh kebijakan yang seperti itu diperlihatkan pada gambar 10.6. pada kasus ini, penerapan sistem perencanaan tata guna lahan dengan jalur hijau disekitar wilayah K benar-benar tidak akan diberikan izin membangun pada lokasi sebelah kiri d 2 dan sebelah kanan d 5 untuk kota yang berpusat di K. Didalam situasi yang seperti ini kota-kota tumbuh sepanjang waktu sehubungan dengan ekonomisasi aglomerasi, jumlah lapangan kerja lokal akan meningkat akan dibatasi perpindahan didalam daerah kota yang damai. Ini akan menurunkan luas tempat tinggal rata-rata untuk setiap rumah tangga individual kota akan bergerak naik ke tingkat yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kasus situasi pasar lahan bersaing tanpa kebijakan jalur hijau. Kesimpulannya adalah bahwa land rent gradient amplop akan bergerak ke kanan atas dan harga pasar sewa lahan per meter persegi akan naik pada semua lokasi area kota ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada kasus tanpa kebijakan jalur hijau. Pada gambar 10.7 pada land-rent-gradient aktual berdasarkan pada kondisi pertumbuhan kota dengan pembebanan kerugian kebijakan jalur hijau diperlihatkan oleh garis tebal gambar 10.7 dan land rent-gradient berdasarkan kondisi pertumbuhan kota tanpa kebijakan jalur hijau yang diberikan oleh 25 garis tebal yang digambarkan terputus-putus, pada kesimpulan ini batas-batas desa kota d 2 , d 3 , d 4 , dan d 5 tidak bersambung, sewa lahan yang dapat dibayarkan juga berbeda secara signifikan, selama perbatasan jalur hijau tidak diubah. Dari gambaran kemungkinan biaya hidup masing-masing semua penderitaan penduduk kota sehubungan dengan hilangnya kesejahteraan tertuju pada pembebanan kebijakan jalur hijau. Berdasarkan alasan-alasan tertentu juga dimungkinkan akan adanya pengaruh- pengaruh negatif dari kebijakan jalur hijau yang mungkin lebih diperburuk oleh perkiraan bahwa lingkungan pinggir kota akan dapat di pertahankan untuk jangka waktu yang terbatas. Kalau kemudahan-kemudahan lingkungan secara relatif dilokalisasi dan dilindungi dengan kebijakan pembangunan kota sendiri, kota akan terpelihara dalam jangka waktu yang panjang, akan mengimplikasikan bahwa orang-orang yang tinggal di pinggiran kota akan selalu menikmati kemudahan lingkungan yang lebih luas di bandingkan dengan orang yang tinggal di dalam area kota sampai ke pusat kota. Kalau kelompok orang-orang berpendapatan rendah dibatasi tetap tertutup menuju pusat kota, ini mengimplikasikan bahwa hanya kelompok yang berpendapatan tinggi yang bergerak ke pinggiran kota, dimana Urban Rent-Gradient akan menyerupai tutup amplop. Sekarang menjadi menyerupai huruf U yang landai. Pada kondisi harga-harga lahan diantara kota dan pedesaan yang relative rendah, maka lokasi di sekitar kota akan lebih banyak yang terjual. Sementara itu umumnya manfaat jalur hijau akan mengalir ke rumah tangga-rumah tangga kelompok berpendapatan tinggi, yang dilahirkan di area kota. 26 10.3 Kebijakan Regional Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diimplementasikan pada tingkat regional sering dicoba, termasuk yang bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wilayah-wilayah tertentu sebagai lokasi meningkatkan daya tarik wilayah-wilayah tertentu sebagai lokasi investasi. Didalam kenyataannya kebijakan-kebijakan regional sering digunakan untuk meningkatkan daya tarik relative wilayah-wilayah yang kurang terbangun. Dalam pengertian ini, kebijakan-kebijakan regional hampir sama dengan kebijakan peremajaan perkotaan yang telah didiskusikan diatas. Bagaimanapun, kunci perbedaan diantara kebijakan regional dan kebijakan perkotaan terletak pada target untuk mengembalikan sector-sektor industry dianggap sangat sensitive terhadap biaya social, dalam wilayah yang berskala besar (regional), bukan pembangunan komplek-komplek perumahan dan property seperti yang telah didiskusikan pada kebijakan pembangunan perkotaan. Sector industry dimaksudkan meliputi sector industry pengolahan dan sector distribusi (perdagangan), beberapa sector jasa komersial, sepanjang sector-sektor tersebut cenderung menarik ke luar aktivitas ekonomi, jika tidak dikembangkan di dalam wilayah. Pada kebijakan regional yang target-targetnya meliputi pengembangan institusi-institusi (kelembagaan) yang mengalami kemunduran-kemunduran atau kebijakan yang menyangkut kerangka hukum untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal. Dampak-dampak pembangunan ekonomi lokal dari kebijakan regional dapat berbeda secara signifikan dengan dampak-dampak ekonomi dari kebijakan perkotaan pada perkembangan sektor-sektor dan wilayah-wilayah. 27 Gambar 10.8: Pengaruh-pengaruh lingkungan lokal dari kebijakan jalur hijau (greenbelt policy) Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam memilih ukuran (size) dan pola ruang (special pattern) dari setiaap pengaruh pembangunan yang bersifat lokal yang mungkin terjadi dari kebijakan regional. Pada waktu yang sama pada kebijakan regional meliputi pengadaan infrastruktur yang didanai public (pemerintah) yang terkait dengan biaya social marginal dari kebijakan regional dibandingkan secara relative dengan jika tidak diprakarsai kebijakan yang seperti itu. Oleh karena itu, dalam diskusi-diskusi berikut ini akan menggunakan dasar-dasar pendekatan analisis yang berbeda untuk menganalisis pengaruh-pengaruh kebijakan regional pada tingkat ekonomi mikro, kesejahteraan social, dan ekonomi makro. 10.3.1 Pengaruh Aggregat Mikro Ekonomi dari Kebijakan Regional Jenis-jenis kebijakan regional yang terbanyak dilakukan adalah kebijakan- kebijakan sisi penawaran, yaitu kebijakan-kebijakan yang mencoba meningkatkan 27 Gambar 10.8: Pengaruh-pengaruh lingkungan lokal dari kebijakan jalur hijau (greenbelt policy) Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam memilih ukuran (size) dan pola ruang (special pattern) dari setiaap pengaruh pembangunan yang bersifat lokal yang mungkin terjadi dari kebijakan regional. Pada waktu yang sama pada kebijakan regional meliputi pengadaan infrastruktur yang didanai public (pemerintah) yang terkait dengan biaya social marginal dari kebijakan regional dibandingkan secara relative dengan jika tidak diprakarsai kebijakan yang seperti itu. Oleh karena itu, dalam diskusi-diskusi berikut ini akan menggunakan dasar-dasar pendekatan analisis yang berbeda untuk menganalisis pengaruh-pengaruh kebijakan regional pada tingkat ekonomi mikro, kesejahteraan social, dan ekonomi makro. 10.3.1 Pengaruh Aggregat Mikro Ekonomi dari Kebijakan Regional Jenis-jenis kebijakan regional yang terbanyak dilakukan adalah kebijakan- kebijakan sisi penawaran, yaitu kebijakan-kebijakan yang mencoba meningkatkan 27 Gambar 10.8: Pengaruh-pengaruh lingkungan lokal dari kebijakan jalur hijau (greenbelt policy) Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam memilih ukuran (size) dan pola ruang (special pattern) dari setiaap pengaruh pembangunan yang bersifat lokal yang mungkin terjadi dari kebijakan regional. Pada waktu yang sama pada kebijakan regional meliputi pengadaan infrastruktur yang didanai public (pemerintah) yang terkait dengan biaya social marginal dari kebijakan regional dibandingkan secara relative dengan jika tidak diprakarsai kebijakan yang seperti itu. Oleh karena itu, dalam diskusi-diskusi berikut ini akan menggunakan dasar-dasar pendekatan analisis yang berbeda untuk menganalisis pengaruh-pengaruh kebijakan regional pada tingkat ekonomi mikro, kesejahteraan social, dan ekonomi makro. 10.3.1 Pengaruh Aggregat Mikro Ekonomi dari Kebijakan Regional Jenis-jenis kebijakan regional yang terbanyak dilakukan adalah kebijakan- kebijakan sisi penawaran, yaitu kebijakan-kebijakan yang mencoba meningkatkan 28 kondisi lingkungan untuk investasi lokasi, dengan cara meningkatkan mutu input-input produksi lokal. Berdasarkan fakta-fakta, kebijakan regional sisi penawaran cenderung memfokuskan perhatian pada input-input spesifik, modal dan tenaga kerja merupakan faktor-faktor produksi bergerak, hanya faktor prooduksi bahan baku yang tidak dipengaruhi intervensi kebijakan, kebijakan regional difokuskan untuk meningkatkan mutu input-input dan berbagai macam infrastruktur yang secara tidak langsung akan menurunkan biaya-biaya dari input-input lokal secara nyata. Alternatifnya, yang agak jarang dilakukan adalah kebijakan yang memfokuskan perhatian pada penurunan langsung biaya onput-input lokal seperti input lahan. Di dalam kasus kebijakan-kebijakan regional yang mencoba meningkatkan mutu input-input dan jenis infrastruktur dan jenis infrastruktur lokal, focus utamanya cenderung meningkatkan infrastruktur transportasi lokal (vickerman, 1991). Pengaruh yang diperkirakan diperoleh dari kebijakan tersebut yang utama adalah mengurangi biaya aksessibilitas ke wilayah yang menjadi objek penelitian. Oleh karena itu, peningkatan-peningkatan secara umum dilihat didalam unsure-unsur strategis dari infrastruktur transportasi lokal yang menghubungkan wilayah kajian kepada bagian- bagian lain perekonomian antar wilayah. Ada dua kesimpulan dari pendekatan umum ini yaitu: pertama adalah bahwa input-input transportasi dianggap sebagai input-input penting untuk hampir semua industry dan aktivitas-aktivitas komersial, baik untuk barang maupun manusia yang memerlukan mobilitas. Dari prospektif fungsi produktif tersebut, peningkatan didalam input-input infrastruktur transportasi dapat dipandang sebagai peninkatan terknologi regional. Oleh karena, peningkatan total produktifitas faktor produksi dari hampir semua kegiatan industry lokal, yang memperdagangkan outputnya antar wilayah. Pertama-tama pengaruh yang diharapkan dari kebijakan regional yang seperti ini adalah untuk mendorong kegiatan industry-industri basis lokal 29 yang sedang eksis, dengan peningkatan produktivitas lokal. Yang kedua, untuk industry- industri yang secara relative bergerak, perbedaan-perbedaan biaya transport secara spasial diyakini berpengaruh secara signifikan pada kekuatan tarik menarik antar wilayah yang berbeda, dilihat dari lokasi-lokasi investasi. Jika kebijakan tersebut dapat memperbaiki biaya-biaya transport relatif dan aksesbilitas lokasi-lokasi yang dapat mengurangi keterbelakangan wilayah, maka diperkirakan lebih lanjut wilayah akan mendapatkan migrasi investasi maka diperkirakan lebih lanjut wilayah akan mendapatkan migrasi investasi untuk mendorong perluasan industry-industri basis lokal melalui masuknya modal tambahan tersebut. Kebijakan-kebijakan regional ini diimplementasikan sebagian-sebagian atau keseluruhanwilayah melaui investasi yang dibiayai deengan dana-dana sector public. Pendanaan dijamin untuk area-area yang dipilih sebagai calon-calon penerima pinjaman keuangan regional. Bagaimanapun, apakah dengan atau tanpa kebijakan yang seperti itu tetap akan nada pengaruh lokal, yang terkait dengan ketentuan-ketentuan atau syarat- syarat infrastruktur transportasi di dalam dan antar wilayah, pada biaya tranpor pada harga dan penerimaan marginal dari perubahan-perubahan biaya transport perusahaan- perusahaan domestic dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi antar wilayah. Sebagai contoh program pembangunan yang diprakarsai di sebuah daerah tertentu secara umum akan mengurangi harga-harga dari semua output yang diproduksi di wilayah itu di setiap lokasi. Kebijakan ini mengasumsikan berlakunya pasar persaingan yang luas, akan meningkatkan output-output wilayah secara keseluruhan yang dijual di wilayah tersebut dan wilayah-wilayah lain. Peningkatan output pada sebagian perusahaan lokal yang sedang eksis dipengaruhi oleh: pertama kebijakan regional. Kedua, kebijakan regional yang ditunjuukkan untuk mendorong immigrasi investasi perusahaan ke dalam wilayah. Ketiga, pengaruh yang menyebabkan terjadinya 30 penurunan biaya transport, yang memberikan kemungkinan meluasnya lokasi perumahan ke dalam sebuah wilayah, yang dilatarbelakangi oleh harga lahan. Persaingan di pasar-pasar input akan berimplikasi pada tabungan biaya transport yang segera diimbangi oleh harga-harga faktor produksi lokal, sebagai keuntungan tetap yang tidak dapat dipertahankan oleh kebijakan ini. Apakah peningkatan infrastruktur transportasi akan mendorong perusahaan-perusahaan dari luar melakukan investasi di wilayah tersebut akan tergantung pada apakah perusahaan-perusahaan itu akan mendapatkan kemudahan input-input produksi di wilayah itu. Kita dapat menganalisis pengaruh-pengaruh potensial dari sebuah kebijakan tertentu dengan membandingkan kesimpulan-kesimpulan dari argumentasinya. Seperti diketahui, pengaruh lokasi-lokasi perumahan pada biaya-biaya tranpor di suatu wilayah tertentu yang tergantung pada kemungkinan perubahan lokassi produksi dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kalau perusahaan-perusahaan memiliki kemungkinan substitusi outputnya nol, penurunan biaya tranpor lokal akan diabsorbir oleh keefisienan ke dalam skedul-skedul biaya perusahaan, oleh pergerakan-pergerakan yang lebih lanjut area-area yang mampu menurunkan biaya transport secara relative disatukan dengan lokasi-lokasi yang lain. Kesimpulan ini adalah kesimpulan kebijakan klasik dari weber. Dengan demikian, kebijakan regional akan berpengaruh secara nyata dan bertentangan dengan aoa yang diharapkan. Sebagai alternative, jika perusahaan-perusahaan akan sangat efisien dalam menyerap biaya transport yang dilokalisasi dengan mensubtirusi kemudahan dan tingkat harga yang lebih rendah dari barang-barang yang dihasilkan di wilayah objjek studi. Keadaan ini juga akan mendorong perusahaan bergerak ke area yang memiliki biaya transport yang relative rendah dengan demikian kebijakan tersebut memiliki efek dari pengaruh peningkatan masuknya perusahaan-perusahaan ke dalam 31 wilayah tersebut. Kesimpulan ini adalah kesimpulan kebijakan regional klasik dari moses, kesimpulan yang terus terpelihara dengan kebijakan regional yang objektif. Berdasarkan siskusi di atas, bahwa pengaruh pembangunan regional lokal dari gagasan meningkatkan infrastruktur tranpor regional juga agak sulit dalam membuat prediksi-prediksi. Jika perusahaan-perusahaan dapat melakukan mensubtitusi diantara berbagai input dengan mudah dan adil secara nyata maka penurunan boaya transport akan mendorong persaingan pada semua wilayah sesuai dengan ketentuan model satu sektir. Tetapi jika subtitusi input tidak mudah dilakukan, prediksi hasil kebijakan menjadi sangat kompleks. Selanjuttnya peningkatan infrastruktur transportasi juga dapat menambah pengaruh-pengaruh regional yang dimiliki. Sebagaimana diketahui, biaya transport yang over space pada bagian dari busur kurva permintaan memiliki batas- batas pada tarifnya, akan melindungi perusahaan-perusahaan lokal yang rendah efisiensinya dari persaingan yang datang dari luar (Krugman, 1991). Pada biaya transport yang direduksi oleh kebijakan peeningkatan infrastruktur regional, ini berarti sebagian perusahaan lokal tidak akan bertahan lama. Krugman dan Venables (1990) memperlihatkan bahwa jika ekonomisasi aglomerasi dioperasikan di beberapa lokasi, efek negatif pada wilayah-wilayah tertinggal dapat menjadi target yang signifikan, sehubungan dengan merosotnya upah lokal dari persaingan secara umum. Dengan demikian, dampak spasial dari kebijakan pengembangan infrastruktur wilayah dan antar wilayah perlu dievaluasi dengan hati-hati. 10.3.2 Efek-Efek kesejahteraan dari kebijakan regional Dengan mendasari kebijakan regional pada ketentuan-ketentuan investasi transportasi lokal, kita dapat berangkat dari sebuah perspektif social, apakah sebuah skema pembangunan jalan dapat dipilih pada perekonomian wilayah yangrelatif 32 peripheral. Misalnya sebuah kasus dimana ada sebuah wilayah pedesaan kecil di sekitar sebuah kota yang memiliki penduduk yang rendah dan terpencar-pencar. Diwilayah tersebut dibangun infrastruktur jalan bebas hambatan baru, yang secara signifikan akan mengurangi waktu perjalanan di antara wilayah pedesaan tersebut dengan kotanya. Berkurangnya waktu perjalan tersebut akan menekan biaya Transport, dan dalam hubungannya dengan transportasi bisnis akan menyebabkan menurunnya biaya marginal (MC) untuk semua output yang diproduksi dan di wilayah tersebut. Bagaimanapun, penurunan MC terhadap semua output tersebut dibatasi oleh jumlah transaksi komersial yang terbatas, karena total jumlah penduduk wilayah (Region) tersebut relatif kecil. Pada sisi lain, jika infrastruktur jalan baru tersebut dibangun di sebuah wilayah yang luas dan padat penduduknya, yang insfrastruktur jalannya telah relatif baik, penurunan waktu perjalannya relatif kecil dari rata-rata waktu perjalanan anatara pedesaan tersebut dengan kotanya, hanya akan menurunkan MC sedikit saja dari semua output yang diproduksi dan dikonsumsi di wilayah itu. Akibatnya adalah penurunan yang kecil saja pada MC tetapi pada sisi yang lain jumlah transaksinya besar. Untuk membandingkan dua efek kasus tersebut kita dapat menggunakan gambar 10.9, dengan demikian efisiensi total dari Perolehan kesejhteraan dari total jumlah transaksi wilayah padat penduduk T H dan wilayah jarang penduduk T L dapat dibandingkan. Untuk tujuan penyederhanaan, disumsikan bahwa biaya transport semula yang dikombinasikan dengan jumlah transaksi di kedua wilayah adalah C. Lalu, jika sekarang infrastruktur transportasi jalan baru dibangun di wilayah jarang penduduk akan terjadi penurunan yang besar pada MC, dikombinasikan dengan biaya tranpor sekarang menjadi C L . Penurunan besar biaya trasnpor dan penurunan yang signifikan di dalam MC dari semua transaksi individual yang melampaui ruang wilayah, memiliki konsekuensi 33 (Biaya Transpor) C C H C L T H T L T L T H Q Q L Q H Q L (Jumlah Output) mendorong suatu peningkatan pada transaksi-transaksi bisnis lokal. Perolehan total kesejahteraan sosial ini dikombinasikan dengan kenaikan pada transaksi-transaksi bisnis lokal. Perolehan total kesejahteraan sosial ini dikombinasikan dengan kenaikan pada transaksi-transaksi bisnis diperlihatkan oleh kenaikan jumlah transaksi Q menjadi Q L . Pada sisi lain, apabila infrastruktur transportasi baru tidak dibangun diwilayah padat penduduk, penurunan MC dari transaksi-transaksi bisnis individual diperlihatkan oleh penurunan C ke C H yang relatif kecil. Ini dikarenakan infrastruktur transportasi di wilayah tersebut sudah baik dan bersifat ektensif, karenanya potensi penurunan biaya transpor untuk setiap transaksi individual diperoleh dari suatu jumlah transaksi yang besar. Karena itu, peningkatan didalan total kesejahteraan sosial yang didorong oleh jatuhnya biaya transport begitu luas, dan di dalam gambar 7.9 diperlihatkan oleh meningkatnya jumlah transaksi dari Q ke Q H . Hasil ini merupakan manfaat dari penurunan MC dan pengembangan infrastruktur transportasi di suatu wilayah, yang di dalam kenyataan lebih tinggi di wilayah yang luas dan dengan kepadatan penduduk yang tinggi (wilayah sentral) dibandingkan dengan pada wilayah kecil dengan penduduknya yang jarang. Gambar 10.9 : Efek-efek Efisiensi Kesejahteraan dari Infrastruktur Regional 34 Pola-pola yang melatarbelakangi kesejahteraan sosial, misalnya pembenaran terhadap sejumlah pertanyaan terhadap sebagian kebijakan regional, karena walaupun infrastruktur jalan raya secara signifikan meningktakan kondisi kesejahteraan ekonomi dari perekonomian di daerah peripheral yang jarang penduduknya, jika program- program pembangunan di wilayah peripheral telah dimulai secara nyata, pembenaran terhadap kebijakan yang seperti itu hanya dapat diperoleh (utamanya) pada dasar-dasar politik dan sosial, dan biayanya pada ekonomi lapisan bawah. Pada sisi lain, kita dapat melihat bahwa biaya relatif dari ketentuan-ketentuan infrastruktur jalan jauh lebih rendah pada ekonomisasi wilayah peripheral sehubungan dengan kewajiban-kewajiban yang lebih rendah, sewa lahan, dan upah yang lebih rendah. Dengan cara yang sama, pengaruh-pengaruh kemacetan di wilayah-wilayah padat penduduk dapat mengurangi mefaat potensial biaya sosial di wilayah padat penduduk dalam jangka panjang, dan manfaat-manfaat dari skema yang digunakan dapat mengindikasikan bahwa perolehan- perolehan kesejahteraan sosial lebih besar di peripheral dari pada di pusat wilayah. Sebagai tambahan, efek-efek pertumbuhan yang dilokalisasi diusahan di dorong di wilayah-wilayah peripheral dengan memperhatikan sifat-sifat yang dimiliki infrastruktur publik, dan perolehan-perolehan kesejahteraan dari kebijakan regional yang signifikan. Didalam situasi ini, kurva-kurva biaya kesejahteraan yang dilukiskan di gambar 10.9 akan dikembalikan, dengan kurva-kurva keejahteraan sosial untuk wilayah peripheral menjadi amat terbatas, mengingat bahwa untuk wilayah peripheral relatif landai. Ini adalah evaluasi sosial analisis biaya manfaat dari seluruh potensi ekonomi dan dampak-dampak lingkungan dari kebijakan (Sossone dan Schaffer, 1978, Pearce dan Nash 1981, Layard dan Glaister 1994). Argumentasi yang sama dipegang untuk kebijakan regional yang didasarkan secara langsung atau tidak langsung pada mensubsidi investasi-investasi migrasi ke dalam wilayah melalui penurunan-penurunan harga lahan, atau potongan- 35 potongan pajak lokal (Swales 1997). Geografi memainkan sebuah prosedur di dalam menentukan kedua ukuran absolut dan substitusi spasial dari dampak-dampak ekonomi dari prakarsa-prakarsa kebijakan publik. 10.3.3 Efek-efek Ekonomi Makro dari Kebijakan Regional. Untuk sebuah model analisis ekonomi makro yang tidak begitu terbuka, tingkat bunga pada bagian-bagian wilayah ditentukan oleh tekanan-tekanan permintaan pada wilayah-wilayah yang netral. Di wilayah-wilayah yang memiliki kesempatan kerja penuh, upah dan sewa lahan nominal lokalnya tinggi. Persatuan burh lokal dan kekurangan penawaran tenaga kerja akan membuat kondisi tersebut berkelanjutan, menjadi sumber potensial terbentuknya tekanan inflasi pada perekonomian regional lokal tersebut, dan tidak memungkinkan memperluas produksi sebelum tingkat kesempatan kerja penuh. Karenanya, untuk menghindari inflasi lokal permintaan regional lokal tidak boleh diperluas sebelum kesempatan kerja penuh. Ketentuan ini membatasi perluasan permintaan pada wilayah-wilayah lain yang dapat tumbuh dari aplikasi kebijakan regional, sebagaimana diperlihatkan gambar 10.10. Didalam gambar 10.10. kita membandingkan kasus dua wilayah A dan b, dimana wilayah A adalah wilayah yang relatif tidak bermasalah dengan kesempatan kerja penuh, dan wilayah B merupakan sebuah wilayah tertinggal dengan disertai pengangguran terpaksa. Kita dapat mendasarkan kasus wilayah A yang digambarkan di dalam empat kuadran sisi atas gambar 10.10. Didalam kuadran kanan atas diperlihatkan bahwa tingkat pendapatan wilayah adalah Y AI . Sebagaimana yang diperlihatkan didalam kuadran kiri atas, tingkat permintaan agregat regional memerlukan input-input tenaga kerja, yang menjamin tingkat kesempatan kerja penuh pada L FA. 36 Gambar 10.10 Efek-efek Ekonomi Makro Kebijakan Regional Wilayah A P L AF L A1 AD A AD A AD A AD A Y A2 Y A1 P P* Y A2 Y A1 i* i* LM A IS A1 IS A2 i i Wilayah B L B L BF L B2 L B1 AD A AD B AD B Y B1 Y B2 Y B3 P P* i* i* Y B1 Y B2 Y B3 Y A IS B IS B IS B i i AD B AD B 37 Pada tingkat bunga tertentu i*, yang menjamin harga pada tingkat P*, tingkat permintaan harga tenaga kerja penuh wilayah adalah Y A1, yang ditentukan oleh skedul investasi regional lokal IS A. Dengan kata lain, kesempatan kerja penuh dipertahankan di wilayah yang relative tidak bermasalah , tanpa menimbulkan inflasi lokal. Pada sisi lain, pada tingkat bunga umum i*, di wilayah B, untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja penuh dan pendapatan lokal Y B3 dan hanya mendapatkan tingkat pendapatan regional Y B1 . Tingkat pendapatan regional yang lebih rendah ini hanya memerlukan input input buruh L B1 , seperti halnya tingkat penganguran lokal regional yang diperlihatkan oleh (L BF L B1 ). Pengangguran di wilayah tertinggal B terus berlanjut karena pada tingkat bunga umum i*, tingkat investasi lokal tidak memungkinkan terjadinya arus migrasi investasi , untuk keseimbangan pasar buruh lokal, bila arus migrasi antar wilayah tidak cukup untuk menyeimbangkan pasar buruh regional lokal, dan tingkat bunga tidak dapat diturunkan di bawah i* keadaaan tersebut akan bertahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Sampai dengan kesimpulan ini, kita harus mendasari tingkat bunga ditetapkan dan dipertahankan pada tingkat i*. Ini salah satu kekhasan saling terbuka dan terkaitnya perekonomian antar wilayah, bahwa meningkatnya harga di sebuah wilayah dapat merambat dengan cepat ke wilayah yang lain. Di dalam kasus sebuah perekonomian nasional dimana sebuah wilayah yang relative tidak bermasalah (wilayah yang relatif maju) tidak mungkin terjadi kondisi kekurangan penawaran lokal, otoritas moneter nasional dapat menetapkan tingkat bunga nasional tertentu agar wilayah tersebut segera terhindar dari kelebihan tenaga kerja lokal dan harga lahan di wilayah maju. Kesimpulannya, bahwa otoritas moneter khawatir akan tingkat bunga yang rendah tersebut akan menyebabkan inflasi lokal di wilayah A, yang biasanya akan menjalar ke wilayah-wilayah nasional lainnya. 38 Pada kondisi tingkat kesempatan kerja meningkat akan memberikan manfaat kepada wilayah-wilayah tertinggal, dimana investasi lokal meningkat dan tingkat bunga yang menurun. Selain itu, pada kasus yang tidak memperhitungkan gangguan siklus bisnis, yang kadang-kadang dialami oleh perekonomian nasional, juga akan mengganggu investasi dan kesempatan kerja lokal. Karenanya, wilayah maju secara konsisten bertindak sebagai wilayah bottle neck dan rendahnya tingkat pendapatan di wilayah- wilayah tertinggal. Di dalam sistem ekonomi regional tertentu, pengangguran di wilayah tertnggal akan memelihara stabilitas harga-harga di wilayah A yang tidak terganggu, dan tercapainya stabilitas harga-harga secara nasional . Dengan kata lain, akan tetap ada suatu kondisi yang tidak hanya berbeda dalam permintaan individual lokal regional dan kondisi perbedaan kesempatan kerja itu sebagai bagian dari hasil-hasil kebikjakan ekonomi, tetapi pada waktu yang sama kebijakan ekonomi makro menghasilkan kondisi yang berbeda-beda di antara bagian-bagiannya, di dalam kondisi permintaan dan penawaran nasional. Di dalam kondisi dimana tindakan-tindakan wilayah-wilayah maju merupakan bottle neck regional, kebijakan regional memiliki prosedur yang dapat dimainkan untuk memberikan harapan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di wilayah maju dan tertinggal, tanpa diikuti oleh tekanan inflasi . Untuk memahami alas an-alasan di atas kita harus membandingkan kondisi tenaga kerja lokal di dalam dua wilayah. Seperti yang diperlihatkan pada gambar 10.10, investasi lokal yang umum, dan kondisi- kondisi permintaan tenaga kerja di wilayah-wilayah tertinggal dikendalikan oleh keterbatsan-keterbatasan factor penawaran Dan tekanan inflasi di wilayah maju. Bagaimanapun, kebijakan regional sebagai sesuatu yang dapat memberikan harapan terhadap perubahan permintaan atau pendapatan regional lokal dari Y B1 ke Y B2 , dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan agregat wilayah tersebut dari AD B1 ke AD B2 , 39 dan selanjutnya akan mendorong peningkatan kesempatan kerja lokal dari L B1 ke L B2 . Menurunnya tingkat penganguran lokal jangka pendek tersebut disebabkan oleh penyebaran investasi ke wilayah maju, yang diperlihatkan oleh (L BF L B2 ) dan dalam kenyataannya sama dengan penurunan kesempatan kerja lokal jangka pendek (L FA L A2 ) di wilayah A. Wilayah B lebih banyak menerima dampak dibandingkan dengan wilayah A, dan dari ekspektasi perusahaan-perusahaan yang ada menyangkut fasilitas-fasilitas mereka akan lebih memilih wilayah B (wilayah tertinggal) dibandingkan ke wilayah A (wilayah maju). Manifestasi migrasi ke perusahaan-perusahaan ini, dimana perusahaan- perusahaan baru akan lebih memilih bermigrasi ke wilayah maju A dari pada ke B . Tujuan kebijakan regional tersebut , seperti halnya ketentuan-ketentuan tentang infrasktur dan subsidi-subsidi Real Estate di wilayah tertinggal , yang dalam perluasaannya kadang-kadang dapat diaplikasikan pada kedua-duanya di dalam aspek perencanaan tataguna lahan wilayah maju A, dapat memberikan pengaruh melalui ketentuan arus investasi yang mengalir dari wilayah A. Efek penyebaran investasi ini dapat diperlihatkan melalui 10.10 dengan pengurangan pada arus investasi lokal di wilayah A pada tingkat bunga umum i* dari IS A1 ke IS A2 dan suatu perluasan pada arus investasi lokal di wilayah B pada tingkat bunga umum i* dari IS B1 ke IS B2. Penurunan investasi di wilayah A akan bergerak ke suatu penurunan pada pendapatan lokal regional yaitu Y A1 ke Y A2, dan sebagai akibatnya akan terjadi penurunan selanjutnya pada permintaaan agregat dari AD A1 ke AD A2 akan bergeser ke suatu penurunan kesempatan kerja lokal dari tingkat kesempatan kerja regional penuh L AF ke tingkat kesempatan kerja yang lebih rendah L A1. Kesempatan kerja lokal jangka pendek menurun yang disebabkan oleh penyebaran investasi jalan dari wilayah maju yang diperlihatkan oleh (L AF L A2 ). Bagaimanapun, peningkatan investasi lokal di wilayah B, dikombinasikan dengan kebijakan regional, akan menyebarkan efek 40 peningkatan. Dalam keadaan yang seperti itu, tingkat harga pasar lokal di wilayah A akan mengalami perubahan sehubungan dengan penurunan investasi di wilayah tersebut, atau adanya perluasan investasi di wilayah B. Selain itu peningkatan permintaan agregat di kedua wilayah sekarang diperlukan untuk memperluas output agar tidak timbul inflasi di wilayah A. Permintaan regional agregat di wilayah A mungkin dapat ditingkatkan hingga AD A1 , yang telah tercapainya, sebelum kebijakan regional diterapkan. Pada tingkat permintaan regional agregat ini wilayah A akan berada pada pendapatan full employment lokal L AF , dan tingkat bunga umum i*, serta menjamin stabilitas harga pada P*. Dengan cara yang sama , di wilayah B permintaan regional agregat dimungkinkan terjadinya perluasan dari AD B2 ke AD B3 . Pada tingkat ini permintaan regional agregat wilayah B akan menghasilkan pendapatan pada kesempatan kerja lokal penuh, investasi , dan tingkat permintaan terhadap buruh masing-masing Y B3 , IS B3 , dan I FB , pada tingkat bunga umum i*, yang menjamin stabilitas harga pada P di wilayah A. Peningkatan positif ekonomi makro ini berpengaruh kepada kedua wilayah melalui kompensasi penyebaran efek negatif di wilayah A yang maju, dan mula-mula pada penyebaran efek positif di wilayah tertinggal B. Dengan kata lain, penyebaran investasi yang dikombinasikan dengan kebijakan regional , member kemungkinan bahwa pendapatan regional dan permintaan agregat di kedua wilayah dapat dipertahankan pada tingkat yang menjamin tingkat kesempatan kerja penuh lokal dikedua wilayah tanpa menimbulkan inflasi di wilayah bottle neck ( wilayah maju). Karena itu, prosedur kebijakan kebijkan regional juga dimaksudkan untuk meniadakan bottle neck di banyak wilayah dikombinasikan dengan perbedaan investasi regional dengan keadaan tingkat bunga bersama lintas wilayah (yang prosedurnya ditetapkan oleh otoritas moneter nasional) terutama untuk merespon kondisi permintaan di wilayah maju. Oleh karena itu, kalau maksud kebijakan regional untuk menyebarkan efek-efek sebagaimana yang 41 dikemukan sebelumnya, termasuk efek bagi peningkatan ekonomi makro di masing- masing wilayah, yang memungkinkan peningkatan permintaaan agregat, terjaminnya kesempatan kerja penuh di kedua wilayah tersebut, haruslah dipelihara di bawah suatu regim moneter ekonomi makro yang stabil. 10.4 Kesimpulan Pada bab ini kita telah mendiskusikan berbagai jenis gagasan kebijakan, sesuai dengan luasnya pengertian dari judul kebijakan wilayah dan kota. Kita melihat, adanya perbedaan umum diantara kebijakan kebijakan perkotaan (Urban Policy) dan kebijakan wilayah (Regional Policy), yang terletak pada sekala ruang (Spasial Scale),diamana dengan kebijakan-kebijakan tersebut ingin didapatkan efek-efek tertentu dari masing- masing jenis kebijakan kebijakan yang sesuai dengan tujuan dan sekala ruang objek kebijakan itu sendiri. Dampak-dampak yang diharapkan dari kebijakan perkotaan diperhitungkan untuk mempengaruhi wilayah-wilayah perkotaan, atau sub-sub wilyah perkotaan, yang sekala ruangnya lebih kecil dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan regional. Perbedaaan sekala ruang tersebut juga meliputi jenis dan kriteria kebijakan, dengan demikian pada waktu mengevaluasinya juga berbeda . Untuk kasus kebijakan perkotaan, maka isu dominan yang akan menentukan adalah sesuai tidaknya suatu kebijakan yang diimplementasikan itu dengan sifat-sifat lingkungan lokal pada tingkat sub wilayah kota (suburban). Catatan : yang dimaksud dengan lingkungan disini dihubungkan dengan pembangunan lingkungan fisik dan social lokal serta implementasi kebijakan umum itu sendiri, termasuk pengadaan dan perubahan-perubahan kerangka kerja kelembangaan untuk pasar real-estat lokal yang dioperasikan. Semua kebijakan perkotaan yang seperti itu memiliki dampak kesejahteraan yang dapat diwujudkan dari perubahan-perubahan berbagai dampak kesejahteraan yang dapat meningkat pada 42 berbagai kelompok pendapatan. Oleh karena itu, kebijakan perkotaan memiliki efek yang dapat mendistribusikan kesejahteraan. Sarjana-rajana ekonomi perkotaan dan wilayah dapat mengevaluasi sejauh mana manfaat kebijakan-kebijakan tersebut dapat diambil berdasarkan sebuah penafsiran efek distribusinya. Kebijakan regional, pada sisi lain, secara simultan keduanya difokuskan pada harapan pertumbuhan investasi regional dari dalam dan juga pada daya tarik investasi baru dari luar wilayah. Sejauh ini pendekatan yang terakhir yang banyak menjadi perhatian, kebijakan-kebijakan tersebut cenderung dioperasikan melebihi batas-batas wilayah yang lebih luas, melebihi sekala ruang kebijakan perkotaan. Fokus kebijakan- kebijakan regional cenderung kepada ingin memperoleh manfaat dari pembangunan infrastruktur lokal dan wilayah, serta dalam beberapa kasus juga cenderung mensubsidi input-input real-estate lokal. Sebagaimana halnya dengan kebijakan perkotaan, kebijakan regional juga memiliki dampak kesejahteraaan sosil, sedangkan ukuran dan distribusi spasialnya akan tergantung pada ketertarikan perusahaan-perusahaan migrant terhadap prakarsa kebijakan regional tersebut. Kebanyakan kebijakan regional dapat juga mendorong efisiensi, di dalam situasi dimana inflasi sangat peka terhadap penawaran lokal agregat di setiap wilayah. Kelayakan ekonomi bagi kebijakan tertentu haruslah dipandang sebagai yang utama. Tidak sempurnanya pasar akan dirasakan sebagai ketidakkonsistenan terhadap kebijakan itu sendiri, yang dapat mencegah efesiensi, menghalangi koreksi harga-harga yang berdasarkan mekanisme pasar, dan membatasi moblitas faktor-faktor produksi antar wilayah.
IMPLEMENTASI PENGGUNAAN DANA KRABAT DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (Studi Penggunaan Dana Krabat Di BUMDes Desa Berare Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa)