Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TUJUAN PEMBELAJARAN :
B.
TINJAUAN PUSTAKA
Glasgow Coma Scale adalah parameter untuk pemeriksaan kesadaran kuantitatif pada orang
dewasa,sedangkan paediatric coma scale adalah parameter untuk pemeriksaan kesadaran secara
kuantitatif pada anak-anak.
Kesadaran adalah keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen (output) dan
aferen (input) di susunan saraf pusat. Dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk berespon
terhadap rangsangan dari luar.Kesadaran dapat diditentukan baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Derajat kesadaran (kuantitatif) ditentukan dari jumlah input susunan saraf pusat,sedangkan cara
pengolahan input tersebut sehingga menghasilkan pola-pola output susunan saraf pusat menentukan
kualitas kesadaran.Input susunan saraf pusat dapat dibedakan jadi 2 yaitu :
a. Spesifik : berasal dari semua lintasan aferen impuls protopatik,propioseptif,dan perasaan panca
indera.Lintasan ini menghubungkan satu titik pada tubuh dengan suatu titik pada kortek perseptif
primer.
b. Non spesifik : merupakan sebagian dari impuls aferen spesifik yang disalurkan melalui aferen non
spesifik,menghantarkan setiap impuls dari titik manapun dalam tubuh ke titik-titik pada seluruh
kedua kortek serebri.
Tingkat kesadaran sangat penting pada pasien cedera kepala.Glasgow coma Scale sudah
digunakan secara luas untuk menentukan tingkat kesadaran penderita.Glasgow Coma Scale meliputi :
1. Eye / Mata
Spontan membuka mata
4
Membuka mata dengan perintah(suara)
3
Membuka mata dengan rangsang nyeri
2
Tidak membuka mata dengan rangsang apapun
1
2. Verbal
Berorientasi baik
Bingung (bisa membentuk kalimat tapi arti keseluruhan
kacau)
Bisa membentuk kata tapi tidak bisa membentuk
kalimat
Bisa mengeluarkan suara yang tidak memiliki arti
Tidak bersuara
3. Motorik
Menurut perintah
6
Dapat melokalisir rangsang nyeri
5
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak
4
(withdrawal)
Reaksi fleksi (dekortifikasi)
3
(berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan
objek keras, seperti ballpoint, pada jari kuku. Bila
sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri (fleksi pada
pergelagan tangan mungki ada atau tidak ada))
Reaksi ekstensi (deserebrasi)
2
(dengan rangsang nyeri tsb di atas terjadi ekstensi
pada siku
Ini selalu disertai fleksi spastik pada pergelangan
tangan)
Tidak ada reaksi/tidak ada tonus
1
(sebelum memutuskan bahwa tidak ada reaksi, harus
diyakinkan bahwa rangsang nyeri memang cukup
adekuat diberikan)
Kriteria :
kesadaran baik/normal : GCS 15
Koma : GCS < 7
Sedangkan Paediatric coma Scale merupakan modifikasi dari Glasgow Coma Scale karena pada anakanak yang belum bisa berbicara akan menyulitkan pemeriksa dalam menentukan skor verbal-nya.
Paediatric Coma Scale meliputi :
1. Eyes opening / Respon membuka mata
Spontaneously
to verbal stimuli
to pain
Never
2.
4
3
2
1
Non verbal children & Best verbal response / respon verbal terbaik
Non Verbal Children
Best Verbal
Score
Response
smiles oriented to soundoriented
and
5
follows objects interacts
converses
consolable when crying anddisoriented
and
4
interacts inappropriately
converses
inconsistently consolable andinappropriate words
3
moans; makes vocal sounds
inconsolable
irritable
andincomprehensible
2
restless; cries
sounds
no response
no response
1
6
5
4
3
2
1
9
11
12
13
14
D. PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN :
a.
b.
c.
d.
E.
1.
2.
3.
Daftar Pustaka
Childrens Coma Scale (Modified Glasgow coma Scale, Adelaide Coma Scale). Algorithm. Available at
:
www.child-neuro.org.uk/content/publish/algorithms/article_211.shtml-51k.
Accessed
22nd
March,2005.
Mackreth B. Glasgow coma scale training exercise. Matanuska-Susitna Borough Dept of Public Safety.
Available from : URL :
www.chems.alaska.gov/EMS/documents/GCS_Activity_2003.
Accessed 22nd March,2005.
Mardjono M,Sidharta P. Neurologi klinis dasar. 6th ed. Jakarta : Dian Rakyat. 1997; 183-5.
:
:
Aspek yang dinilai
0
I
A.
1.
2.
3.
4.
B.
5.
6.
7.
8.
9.
C.
10.
11.
Pemeriksaan GCS :
Pemeriksaan Eye/mata :
Pemeriksa mendekati pasien dan pasien spontan membuka
mata dan memandang pemeriksa : skor 4
Pemeriksa memanggil nama pasien/memerintahkan pasien
untuk membuka mata : skor 3
Pemeriksa memberi rangsang nyeri berupa cubitan,pasien
akan membuka mata : skor 2
Pemeriksa memberi rangsang apapun (suara keras/cubitan)
pasien tidak membuka mata : skor 1
Pemeriksaan Verbal :
Pemeriksa menanyakan orientasi pasien
(tempat,orang,waktu),pasien menjawab dengan
jelas,benar,dan cepat : skor 5
Pemeriksa menanyakan orientasi pada pasien,pasien dapat
menjawab tapi bingung,tidak tahu apa yang terjadi pada
dirinya : skor 4
Pemeriksa memberi pertanyaan tapi pasien tidak dapat
menjawab seluruh pertanyaan dan tidak dapat
menyelesaikan seluruh kalimat : skor 3
Pemeriksa memberi pertanyaan dan pasien hanya bisa
bergumam : skor 2
Pemeriksa memberikan rangsang tapi pasien tidak
mengeluarkan suara /tidak ada respon : skor 1
Pemeriksaan motorik
Pemeriksa memberi perintah dan pasien dapat
melaksanakannya : skor 6
Pemeriksa memberi perintah,tapi pasien
mangabaikannya,diberi rangsang nyeri pasien dapat
melokalisir nyeri : skor 5
Nilai
1
12.
13.
14.
15.
II
A.
16.
17.
18
19.
B.
20.
21.
22.
23.
24.
C.
25.
26.
27.
28.
29.
D.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
LEARNING OUTCOME
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan saraf kranialis.
TINJAUAN PUSTAKA
Saraf kranialis dibagi menjadi 12 jenis, yaitu :
1.
Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang terbuka
dan penderita diminta menarik nafas panjang, kemudian diminta mengidentifikasi bahan tersebut.
Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan adalah :
Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau atropik (ozaena) akan
menimbulkan positif palsu.
Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi (unilateral) tanpa kelainan
intranasal dan kurang disadari penderita (kronik), perlu dipikirkan suatu glioma lobus frontalis,
meningioma pada crista sphenoidalis dan tumor parasellar. Fungsi pembauan juga bisa hilang pada
trauma kapitis (mengenai lamina cribosa yang tipis) dan meningitis basalis (sifilis, tuberkulosa).
2.3.Melihat warna
Persepsi warna dengan gambar stilling Ishihara. Untuk mengetahui adanya polineuropati pada N II.
2.4.Pemeriksaan Fundus Occuli
Pemeriksaan ini menggunakan alat oftalmoskop. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah
pada papilla N II terdapat :
1. Stuwing papil atau protusio N II
Kalau ada stuwing papil yang dilihat adalah papilla tersebut mencembung atau menonjol oleh
karena adanya tekanan intra cranial yang meninggi dan disekitarnya tampak pembuluh darah
yang berkelok-kelok dan adanya bendungan.
2. Neuritis N II
Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya udema tetapi papilla tidak menyembung
dan bial neuritis tidak acut lagi akan terlihat pucat.
Dengan oftalmoskop yang perlu diperhatikan adalah :
Warnanya
Pembuluh darah
Keadaan Retina
3.
Saraf III (N. Oculo-Motorius)
Pemeriksaan meliputi :
1.
Retraksi kelopak mata atas, dilakukan dengan inspeksi
pada kelopak mata atas
Bisa didapatkan pada keadaan :
Hipertiroidisme
Cara pemeriksaan :
2.
Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas kelopak mata atas akan
memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Bila salah satu kelopak mata atas memotong
iris lebih rendah daripada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala ke belakang/ ke
atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai
sebagai ptosis.
Penyebab Ptosis adalah:
Kelumpuhan N. III
Melihat apakah kelopak mata atas memotong iris pada titik yang sama secara bilateral atau
tidak.
Melihat apakah pasien mendongakkan kepala ke atas untuk melihat objek yang berada di
depan pasien
Melihat apakah pasien cenderung mengangkat alis untuk melihat objek yang berada di
depan
Palpasi (untuk menilai ptosis karena kelumpuhan M.levator palpebrae akibat kelumpuhan N III):
Saat pasien membuka mata, lakukan fiksasi dengan cara memegang palpebra superior serta
dengan menekan alis mata dengan tangan yang lain
3.
Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggal normal. Bila antara pupil kanan
dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor. Bila tidak sama besar disebut anisokor. Pada
penderita tidak sadar maka harus dibedakanapakah anisokor akibat lesi non neurologis(kelainan
iris, penurunan visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf perifer N. III, herniasi
tentorium.
Refleks pupil
Terdiri atas :
Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan penderita disuruh melihat
jauh supaya tidak ada akomodasi dan supaya otot sphincter relaksasi. Kemudian diberi cahaya
dari samping mata. Pemeriksa tidak boleh berada ditempat yang cahayanya langsung mengenai
mata. Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak maka ada kerusakan pada
arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---N. Oculomotorius)
- Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan disuruh mengikuti gerak benda
tersebut dimana benda tersebut digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah dari kedua mata
penderita. Maka reflektoris pupil akan kontriksi.
Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil Argyl Robetson dimana reflek
cahayanya negatif namun reflek akomodasi positif.
Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga akan terjadi pada mata yang lain.
Mata tidak boleh langsung terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan selembar kertas.
Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang lain akan kontriksi juga.
4.
4.
Saraf V (N. Trigeminus)
Pemeriksaan meliputi :
1.
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu :
Sensibilitas
Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa ditruh kira-kira didaerah otot
maseter. Jika kedua otot masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan pemeriksa. Kalau ada
parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras
3.
Reflek
Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, posisi penderita dalam keadaan tidur terlentang,
posisi pemeriksa dari atas pasien. Kemudian dari arah lain limbus (tepi) kornea disentuhkan dengan
kapas agak basah. Bila reflek kornea mata positif, maka mata akan menutup.
5.
A.
B.
C.
6.
Saraf VIII (N. Acusticus)
Pemeriksaan pendengaran
1.
Detik arloji
Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit, sampai tak mendengar lagi,
dibandingkan kanan dan kiri.
2.
3.
4.
Gesekan jari
Tes Weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi. Dibandingkan mana yang lebih keras,
kanan/ kiri.
Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus. Sesudah tak mendengar lagi
dipindahkan ke telinga maka terdengar lagi. Ini karena penghantaran udara lebih baik daripada
tulang.
Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam menentukan nervus deafness atau tranmission
deafness. Pemeriksaan pendengaran lebih baik kalau penderita ditutup matanya untuk
menghindari kebohongan.
7.
Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang rongga mulut atau 1/3 belakang
lidah dan faring, otot-otot faring dan pita suara serta reflek muntah/menelan/batuk.
a.
Gerakan Palatum
Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan panjang, sementara itu pemeriksa
melihat gerakan uvula dan arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi kearah yang normal
(berlawanan dengan gerakan menjulurkan lidah pada waktu pemeriksaan N XII).
b.
Reflek Muntah dan pemeriksaan sensorik
Pemeriksa meraba dinding belakang pharynx dan bandingkan refleks muntah kanan dengan kiri.
Refleks ini mungkin menghilang pada pasien lanjut usia.
c. Kecepatan menelan dan kekuatan batuk
8.
Saraf XI (N. Accesssorius)
Hanya mempunyai komponen motorik.
Pemeriksaan :
a.
Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan gerakan
fleksi lateral dari kepala/leher penderita atau sebaliknya (pemeriksa yang melawan/ mendorong
sedangkan penderita yang menahan pada posisi lateral fleksi)
b.
Kekuatan m. Trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu
penderita kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi kedua bahu
terangkat (sebaliknya posisi penderita duduk dan pemeriksa berada dibelakang penderita)
9.
Saraf XII (N. Hypoglossus)
Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini berupa perubahan pada
pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah)
Pemeriksaan :
a.
Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi. Pada Bell,s palsy (kelumpuhan saraf VII) bisa
menimbulkan positif palsu.
b.
Menggerakkan lidah kelateral
Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerkkan kearah samping kanan dan kiri.
c.
Tremor lidah
Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi perifer maka tremor dan atropi papil
positip
d.
Articulasi
Diperhatikan bicara dari penderita. Penderita disuruh mengikuti kalimat yang diucapkan oleh
pemeriksa, yaitu: ular melingkar-lingkar di atas pagar. Bila terdapat parese maka didapatkan
dysarthria.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
http://endeavor.med.nyu.edu/neurosurgery/cranials.html
Lumbantobing, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental,
Jakarta, FKUI, 2008
4.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Nilai
1 2 3
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
B. Tinjauan Pustaka
Reflek adalah jawaban terhadap suatu rangsang. Sedangkan reflek fisiologis adalah mucle stretch
reflexes sebagai jawaban atas perangsangan tendo, periosteum, tulang, sendi, fasia, aponeurosis, kulit,
semua impuls perseptif termasuk panca indera dimana respon tersebut muncul pada orang normal.
Semua gerakan yang bersifat reflektorik merupakan suatu usaha tubuh untuk menyesuaikan diri bahkan
membela diri. Gerakan reflektorik dapat dilakukan oleh semua otot seran lintang.
Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan satu kesatuan dengan pemeriksaan neurologi lainnya,
dan terutama dilakukan pada kasus-kasus mudah lelah, sulit berjalan, kelemahan/kelumpuhan,
kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung/pinggang
gangguan fungsi otonom.
Interpretasi pemeriksaan reflek fisiologis tidak hanya menentukan ada/tidaknya tapi juga
tingkatannya. Adapun kriteria penilaian hasil pemeriksaan reflek fisiologis adalah sebagai berikut :
1. Positif Normal
2. Positif Meningkat
3. Positif Menurun
Suatu reflek dikatakan meningkat bila daerah perangsangan meluas, dan respon gerak reflektorik
meningkat dari keadaan normal.
Rangsangan yang diberikan harus cepat dan langsung, kerasnya rangsangan tidak boleh melebihi
batas sehinggajustru melukai pasien. Sifat reaksi setelah perangsangan tergantung tonus otot sehingga
otot yang diperiksa sebaiknya dalam keadaan sedikit kontraksi, dan bila hendak dibandingkan dengan
sisi kontralateralnya maka posisi keduanya harus simetris.
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan sedikit di pronasikan
b. Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis
c. Respon : fleksi lengan bawah dan supinasi lengan
5. Reflek periosteum ulnaris :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan antara supinasi dan pronasi
b. Ketukan pada periosteum os. Ulnaris.
c. Respon : pronasi tangan.
REFLEK FISIOLOGIS DINDING PERUT
Reflek dinding perut:
a.
Kulit dinding perut digores dengan bagian tumpul palu reflek dengan arah dari samping ke garis
tengah
b.
Respon : kontraksi dinding perut
REFLEK FISIOLOGIS EKSTREMITAS BAWAH :
1.
Reflek patella :
a.
Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b.
Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang tepat
c.
Tangan pemeriksa memegang paha pasien
d.
Ketuk tendo patela dengan palu reflek menggunakan tangan yang lain.
e.
Respon : pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep, ekstensi tungkai bawah.
2. Reflek Achilles
a.
Penderita berbaring terlentang
b.
Kaki yang akan diperiksa ditumpangkan pada os. Tibia kaki lainnya
c.
1 tangan pemeriksa memegang jari-jari kaki yang akan diperiksa, sedangkan tangan yang lain
mengetuk tendo achilles
d.
Respon : plantarfleksi kaki
3. Reflek Plantar :
a. Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul palu reflek.
b. Respon : plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki.
E. Daftar Pustaka :
1.
2.
3.
Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalan Neurologi. 4th ed. Jakarta : Dian Rakyat. 1999; 429-40.
Laboratorium Ketrampilan Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. Skills Lab pendidikan ketrampilan keperawatan program B semester I.
Yogyakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2002;
28-38.
Neurologie examination Available at :
http://medinfo.ufl.edu/year1/bes/clist/neuro.html.Accessed 19th May, 2005.
12
ke garis tengah
b. Respon : kontraksi dinding perut *
Pemeriksaan Reflek Plantar :
a.
Telapak kaki pasien digores dengan ujung
tumpul palu reflek
b.
Respon : plantar fleksi kaki dan fleksi
semua jari kaki. *
Total Nilai
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum reflek adalah respon motorik spesifik akibat rangsang sensorik spesifik. Ada 3 unsur yang
berperan yaitu jaras aferen, bussur sentral, dan jaras eferen.
Perubahan ketiga komponen tersebut akan mengakibatkan perubahan dalam kualitas maupun
kuantitas dari reflek. Intergritas dari arcus reflek akan terganggu jika trdapat malfungsi dari organ
reseptor,nercus sensorik, ganglion radiks posteior, gray matter medula spinal, radik anterior, motor end
plate, atau organ efektor.
Pengetahuan tentang reflek dapat dugunakan untuk menentukan jenis kerusakan yang terjadi
pada sistem persyarafan. Ada beberapa pembagian tentang reflek :
1. Brainstem reflek
2. Deep reflek / reflek tendon
3. Superficial reflek /skin reflek
4. Abnormal reflek / patologis
ada juga yang menambahkan reflek-reflek primitif.
Ada 5 gradasi dari kekuatan reflek :
0 : absent
1 : minimal tetapi ada
2 : normal
3 : hiperativity
4 : hiperactivity with clonus
Ada beberapa prinsip umum mengenai reflek :
1. Lesi UMN cenderung akan mengakibatkan peningkatan reflek, kecuali :
a. stadium akut
b. reflek abdominal / dinding perut dan reflek kremaster akan menurun baik lesi UMN atau LMN
2. Reflek tidak akan dipengaruhi pada lesi CNS yang mengenai sistem sensorik, cerebelar, atau ganglia
basalis
3. Setelah stadium akut umumnya lesi cereblar lebih cepat menimbulkan reflek yang meningkat dari
pada lesi sppinal.
4. Sdanya asimetri reflek bila disertai tanda-tanda lain berupa defisit mototrik dan sensorik pada satu
sisi, maka pada satu sisi yang mengalami defisit motorik atau sensorik tersebut adalah abnormal
/patologi
5. Reflek kornea tidak dipengaruhi oleh lesi UMN
Pembagian reflek
1. reflek braistem / reflek saraf otak
- reflek pupil
- refelk konsensual pupil
- cornela reflek
- jaw reflek
- gag reflek, dll
2. deep reflek / tendon
- biceps
- triceps
- patela
- ankle jerk
- dll
3. reflek superficial
- dinding perut
- cremaster
- anal
- dll
4. reflek primitif
- snouting
- palmo mental
- glabela
- dll
5. reflek abnormal/ patologi /
babinsky
hoffmann
gordon
dll
Berikut akan disampaikan reflek yang terkait dengan reflek patologik dan reflek primitif.
1. Reflek hoffmann tromer
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemusian ujung jari tangan pemeriksa yang lain
disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita, yaitu fleksi
jari-jari yang lain, aduksi dari ibu jari.
Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal, sedangkan unilateral hoffmann
indikasi untuk suatu lesi UMN .
2. Grasping reflek
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari dan telunjuk penderita. Maka
timbul genggaman dari jari pendeirta, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderuta
tidak dapat membebaskan jari pemeriksa.
Normal masih terdapat pada anak kecil. jika positif ada pada dewasa, maka kemungkinan terdapat
lesi di area premotorik cortex.
3. Reflek palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral. Reflek
patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII kontralateral.
4. Reflek snouting / menyusu
o Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularis oris, maka akan menimbulkan reflek
menyusu.
o Menggaruk bi bir dengan tingue spatel maka akn timbul reflek menyusu.
Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan lesi UMN bilateral.
5. Reflek Glabella
Ketukkan tangan pemeriksa ke daerah glabella pasien. Hasil positif jika pasien berkedip beberapa
kali.
6. Reflek Babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral menuju medial
(arah ibu jari kaki), orang noramla akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki, abduksi jempol kaki
dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol kaki akan dorsofleksi,
sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka.
Normal pada bayi masih ada.
7. Reflek Oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tuilang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua jari
telunjuk dan tengah., jika posistidf maka akan timbul reflek seperti babinski
8. Reflek gordon
Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius . jika posistif maka akan timbul reflek seperti
babinski
9. Reflek schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski
10. Reflek chaddock
Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke depan.
Jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
11. Reflek Rossolimo
Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi jari-jari
kaki.
12. Reflek Mendel-Bacctrerew
Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki
Siapkan alat
Jelaskan tujuan
Melakukan pemeriksaan
hoffmann tromner
Melakukan pemeriksaan
reflek
Melakukan pemeriksaan
palmomental
Melakukan pemeriksaan
snouting / menyusu
Melakukan pemeriksaan
glabella
Reflek
Grasping
Reflek
Reflek
Reflek
Skor
0 1
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan sensorik, posisi, keseimbangan dan koordinasi
TINJAUAN PUSTAKA
Adanya gangguan pada otak, medulla spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan gangguan sensorik.
Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi otot. Gangguan
sensorik dapat menimbulkan perasaan kesemutan atau baal (parestesi), kebas atau mati rasa, kurang
sensitif (hipestesi) dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi). Pemeriksaan sensorik adalah
pemeriksaan yang paling sulit di antara pemeriksaan neurologik yang lain karena sangat subjektif.
Sehubungan dengan pemeriksan fungsi sensorik maka beberapa hal berikut ini harus dipahami dulu:
1. Kesadaran penderita harus penuh dan tajam. Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah, kelelahan
akan mengakibatkan gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi.
2. Prosedur pemeriksan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karena pemeriksaan fungsi
sensorik benar-benar memerlukan
kerja sama yang sebaik-baiknya antara pemeriksa dan
penderita. Dengan demikian cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita
dengan istilah yang mudah dimengerti olehnya.
3. Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan pemeriksaan anggota gerak
atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya penderita menyeringai, mata berkedip-kedip serta
perubahan sikap tubuh.
4. Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi perbedaan-perbedaan
sensasi yang ringan, dengan demikian harus dicatat gradasi atau tingkat perbedaannya.
5. Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu, pada tiap bagian
tubuh, pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang berlainan. Dengan demikian dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan ulangan pada hari berikutnya.
6. Azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu dibandingkan dengan bagian kanan. Hal ini
untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.
7. Pemeriksaan ini harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa), menggunakan alat yang
sesuai dengan kebutuhan/ tujuan, tanpa menyakiti penderita, dan penderita tidak boleh dalam
keadaan tegang.
PRINSIP-PRINSIP UMUM
Mencari defisit sensibilitas (daerah-daerah dengan sensibilitas yang abnormal, bisa hipestesi,
hiperestesi, hipalgesia atau hiperalgesia)
Mencari gejala-gejala lain di tempat gangguan sensibilitas tersebut, misalnya atrofi, kelemahan
otot, refleks menurun/negative, menurut distribusi dermatom.
Keluhan-keluhan sensorik memiliki kualitas yang sama, baik mengenai thalamus, spinal, radix
spinalis atau saraf perifer. Jadi untuk membedakannya harus dengan distribusi gejala/keluhan
dan penemuan lain.
Lesi saraf perifer sering disertai berkurang atau hilangnya keringat, kulit kering, perubahan pada
kuku dan hilangnya sebagian jaringan di bawah kulit.
6.
untuk
pemeriksaan
modalitas sensorik normal tetapi tidak bias mengenal benda pada perabaan
tangan (astereognosis)
lain-lain keluhan
b. Kapan timbulnya keluhan.
c. Lokasi keluhan.
Keluhan positif semacam parestesi, disestesi dan nyeri biasanya dapat dilokalisir, tetapi gejalagejala negative seperti hipestesi dan anogsia sulit dilokalisir.
d. Sifat keluhan.
Penderita diminta menggambarkan sifat keluhan. Pada keluhan nyeri perlu juga diketahui
derajat rasa nyeri yang timbul.
e. Kejadian-kejadian tertentu yang berkaitan.
Apakah ada kejadian-kejadian yang memicu terjadinya keluhan. Misalnya pada HNP, penderita
merasakan ischialgia pada waktu mengangkat benda berat, dan nyeri meningkat pada keadaankeadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, misalnya batuk, mengejan,
bersin), dan lain-lain.
f. Kelainan neurologis yang menyertai.
Dapat berupa kelemahan/gangguan motorik, gangguan bahasa, kejang, gangguan defekasi dan
miksi, dan gangguan saraf otonom.
B. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan modalitas
modalitas primer dari sensasi somatik (seperti rasa nyeri, raba, posisi, getar dan suhu) diperiksa
lebih dulu sebelum memeriksa fungsi sensorik diskriminatif/kortikal.
e.
Gambar 1
Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi
Tujuannya adalah memperoleh kesan penderita terhadap gerakan dan pengenalan terhadap
arah gerakan, kekuatan, lebar atau luas gerakan (range of movement) sudut minimal yang
penderita sudah mengenali adanya gerakan pasif, dan kemampuan penderita untuk
menentukan posisi jari dalam ruangan. Tidak diperlukan alat khusus.
Cara pemeriksaan:
a. Mata penderita ditutup.
b. Penderita diminta mengangkat kedua lengan di depan penderita menghadap ke atas.
c. Penderita diminta mempertahankan posisi tersebut. Pada kelemahan otot satu sisi atau
gangguan proprioseptik maka lengan akan turun dan menuju ke arah dalam.
Modifikasi dari tes ini adalah dengan menaik turunkan kedua tangan dan penderita diminta
menanyakan tangan mana yang posisinya lebih tinggi.
Kedua tes di atas dapat dikombinasi dengan modifikasi tes Romberg. Caranya: penderita
diminta berdiri dengan tumit kanan dan jari-jari kaki kiri berada pada satu garis lurus dan
kedua lengan ekstensi ke depan. Kemudian penderita diminta menutup matanya. Bila ada
gangguan proprioseptik pada kaki maka penderita akan jatuh pada satu sisi.
Untuk tes posisi dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Penderita dapat duduk atau berbaring, mata penderita ditutup.
b. Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan relaksasi dan terpisah satu sama
lain sehingga tidak bersentuhan.
c. Jari penderita digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan sentuhan seringan
mungkin sehingga tekanan terhadap jari-jari tersebut dapat dihindari, sementara itu jari
yang diperiksa tidak boleh melakukan gerakan aktif seringan apapun.
d. Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari atau adakah
gerakan pada jarinya.
Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu penderita pada posisi tertentu
dan meminta penderita diminta menirukan posisi tersebut pada jari yang lain.
2.
Syarat pemeriksaan ini adalah fungsi sensorik primer (raba, posisi) harus baik dan tidak ada
gangguan tingkat kesadaran, kadang-kadang ditambah dengan syarat harus mampu memanipulasi
objek atau tidak ada kelemahan otot-otot tangan (pada tes barognosis)
Macam-macam gangguan fungsi sensorik kortikal:
a. gangguan two point tactile discrimination
Gangguan ini diperiksa dengan dua rangsangan tumpul pada dua titik di anggota gerak
secara serempak, bisa memakai jangka atau calibrated two point esthesiometer. Pada
anggota gerak atas biasanya diperiksa pada ujung jari. Orang normal bisa membedakan
dua rangsangan pada ujung jari bila jarak kedua rangsangan tersebut lebih besar dari 3
mm. Ketajaman menentukan dua rangsangan tersebut sangat bergantung pada bagian
tubuh yang diperiksa, yang penting adalah membandingkan kedua sisi tubuh. (Gambar
2)
b.
Gambar 2
gangguan graphesthesia
Pemeriksaan graphesthesia dilakukan dengan cara menulis beberapa angka pada
bagian tubuh yang berbeda-beda dari kulit penderita. Pasien diminta mengenal angka
yang digoreskan pada bagian tubuh tersebut sementara mata penderita ditutup. Besar
tulisan tergantung luas daerah yang diperiksa. Alat yang digunakan adalah pensil atau
jarum tumpul. Bandingkan kanan dengan kiri. (Gambar 3)
Gambar 3
c.
d.
e.
f.
g.
Gambar 4
gangguan stereognosis = astereognosis
Diperiksa pada tangan. Pasien menutup mata kemudian diminta mengenal sebuah benda
berbentuk yang ditempatkan pada masing-masing tangan dan merasakan dengan jarijarinya. Ketidakmampuan mengenal benda dengan rabaan disebut sebagai tactile anogsia
atau astereognosis. Syarat pemeriksaan, sensasi proprioseptik harus baik. (Gambar 4)
gangguan topografi/topesthesia = topognosia
Kemampuan pasien untuk melokalisasi rangsangan raba pada bagian tubuh tertentu. Syarat
pemeriksaan, rasa raba harus baik.
gangguan barognosis = abarognosis
Membedakan berat antara dua benda, sebaiknya diusahakan bentuk dan besar bendanya
kurang lebih sama tetapi beratnta berbeda. Syarat pemeriksaan, rasa gerak dan posisi sendi
harus baik.
sindroma Anton-Babinsky = anosognosia
Anosognosia adalah penolakan atau tidak adanya keasadaran terhadap bagian tubuh yang
lumpuh atau hemiplegia. Bila berat, pasien akan menolak adanya kelumpuhan tersebut dan
percaya bahwa dia dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh yang lupuh tersebut.
sensory inattention = extinction phenomenon
Alat yang digunakan adalah kapas, kepala jarum atau ujung jari. Cara pemeriksaan adalah
dengan merangsang secara serentak pada kedua titik di anggota gerak kanan dan kiri yang
letaknya setangkup, sementara itu mata ditutup. Mula-mula diraba punggung tangan pasien
dan pasien diminta menggenal tempat yang diraba. Kemudian rabalah pada tititk yang
satangkup pada sisi tubuh yang berlawanan dan ulangi perintah yang sama. Setelah itu
dilakukan perabaan pada kedua tempat tersebut dengan tekanan yang sama secara
serentak. Bila ada extinction phenomen maka pasien hanya akan merasakan rangsangan
pada sisi tubuh yang sehat saja.
3.
Gangguan non equilibratory coordination (pergerakan yang disengaja dari anggota gerak,
terutama gerakan halus), diperiksa dengan:
a. Finger-to-nose test.
Bisa dilakukan dengan posisi pasien berbaring, duduk atau berdiri. Dengan posisi abduksi dan
ektensi secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri
dengan ujung jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan kemudian dengan
gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup.
b. Nose-finger-nose-test
Serupa dengan finger to nose test, tetapi setelah menyentuh hidungnya, pasien diminta
menyentuh ujung jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidungnya. Jari pemeriksa
dapat diubah-ubah baik dalam jarak maupun bidang gerakan. (Gambar 6)
c. Finger-to-finger test
Penderita diminta mengabduksikan lengan pada bidang horizontal dan diminta untuk
menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-tengah bidang
horizontal tersebut. Pertama dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat,
dengan mata ditutup dan dibuka.
d. Diadokokinesis
Penderita diminta untuk menggerakan kedua tangannya bergantian pronasi dan supinasi
dengan posisi siku diam, mintalah gerakan tersebut secepat mungkin dengan mata terbuka
atau mata tertutup. Diadokokinesis pada lidh dapat dikerjakan dengan meminta penderita
menjulurkan dan menarik lidah atau menggerakkan ke sisi kanan dan kiri secepat mungkin.
(Gambar 7)
Tapping test merupakan variasi test diadokokinesis, dilakukan dengan menepuk pinggiran
meja/paha dengan telapak tangan secara berselingan bagian volar dan dorsal tangan dengan
cepat atau dengan tepukan cepat jari-jari tangan ke jempol.
e.
Heel-to-knee-to-toe test
Penderita diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke lutut kontralateral, kemudian
diteruskan dengan mendorong tumit tersebut lurus ke jari-jari kakinya. (Gambar 9) Variasi dari
test ini adalah toe-finger test, yaitu penderita diminta untuk menunjuk jari penderita dengan
jari-jari kakinya atau dengan cara membuat lingkaran di udara dengan kakinya.
f. Rebound test
Penderita diminta adduksi pada bahu, fleksi pada siku dan supinasi lengan bawah, siku
difiksasi/diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian pemeriksa menarik lengan bawah
tersebut dan penderita diminta menahannya, kemudian dengan mendadak pemeriksa
melepaskan tarikan tersebut tetapi sebelumnya lengan lain harus menjaga muka dan badan
pemeriksa supaya tidak terpukul oleh lengan penderita sendiri bila ada lesi cerebellum.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Duss P, Diagnosis Topik Neurologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kepokteran EGC; 1996.
Juwono T, Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC;
1987.
Laboratorium Ketrampilan Medik FK UGM. Skills Lab Semester 2 Tahun kademik 1998-1999.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM. 1999
Sidharta P. Pemeriksaan Neurologis Dasar. PT. Dian Rakyat . 1999
Weiner H dan Levitt L. Buku Saku Neurologi. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001
Penilaian Keterampilan Fungsi Sensorik, Posisi, Keseimbangan dan Koordinasi
B.
Nilai
0 1
Nilai
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
C.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
D. Pemeriksaan Posisi
Nilai
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nilai
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
PEMERIKSAAAN MENGINGEAL SIGN & PEMERIKSAAN TANDA IRITASI RADIX PADA DAERAH
VERTEBRALIS
TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu :
1. Melakukan pemeriksaan meningeal sign dan pemeriksaan tanda iritasi radix pada daerah
vertebralis
2. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan meningeal sign dan pemeriksaan neurologis pada kasus low
back pain
TINJAUAN PUSTAKA
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput
otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis
yang superfisial. Saluran nafas merupakan port dentree utama pada penularan penyakit ini. Bakteribakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi
tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan
memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.
Tanda-tanda perangsangan selaput otak:
1. Kaku kuduk
Pastikan bahwa penderita tidak ada cedera servikal kemudian letakkan tangan kiri dibawah kepala
pasien. Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke kiri. Memfleksikan maksimal kepala ke
anterior, sampai dagu menyentuh dada. Hasil positif apabila dagu tidak dapat menyentuh dada.
2. Brudzinskis sign
a. Neck sign
Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu menyentuh sternum. Hasil positif bila gerakan
fleksi pasif tersebut disusul dengan gerakan fleksi reflektoris di sendi lutut dan panggul kedua
tungkai.
b. Leg sign
Penderita terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada salah satu panggul (salah satu tungkainya
dapat diangkat pada sikap lurus di sendi lutut dan ditekukkan di sendi panggul. Hasil positif jika
tungkai kontralateral timbul fleksi reflektoris di sendi lutut dan sendi panggul
c. Cheek sign
Penekanan pada pipi kedua sisi tepat dibawah os zigomatikum akan disusul gerakan fleksi
reflektoris keatas sejenak dari kedua lengan
d. Symphisis sign
Penekanan pada simfisis pubis akan disusul dengan timbulnya gerakan fleksi reflektoris pada
kedua tungkai di sendi lutut dan panggul. Syarat dilakukan tes ini adalah kandung kemih kosong
dan tidak ada fraktur pada os.coxae
3. Kernig sign
Penderita terlentang, pemeriksa menekuk tungkai atas penderita sehingga paha penderita tegak
lurus terhadap tubuh kemudian tungkai bawah penderita diluruskan di sendi lutut. Gerakan ini akan
mendapat tahanan dan sekaligus membangkitkan nyeri pada otot biseps femoris. Hasil positif
apabila ekstensi lutut tidak mencapai 135 oleh karena nyeri dan spasme otot paha sedangkan
tungkai sisi kontralateral fleksi di lutut dan panggul secara reflektoris.
Cervical syndrome adalah sindrome atau keadaan yang ditimbulkan oleh adanya iritasi atau kompresi
pada radiks saraf servikal ditandai dengan adanya rasa nyeri pada leher yang dijalarkan ke bahu dan
lengan sesuai dengan radiks yang terganggu. Rasa nyeri yang dijalarkan tersebut disebut nyeri
radikuler artinya bahwa rasa nyeri tersebut berpangkal pada tempat perangsangan dan menjalar ke
daerah persarafan radiks yang terkena. Daerah ini sesuai dengan kawasan suatu dermatom. Untuk
mengetahui adanya nyeri di tengkuk yang mungkin bersifat radikuler dapat dikerjakan tes-tes sebagai
berikut:
4. Tes Kompresi Lhermitte
Pada pasien yang duduk dilakukan kompresi pada kepalanya dalam berbagai posisi : miring kanan,
miring kiri, tengadah dan menunduk. Hasil tes dinyatakan positif bila pada penekanan tersebut
dirasakan adanya nyeri yang dijalarkan
5. Tes Valsava
Pada pasien yang duduk, penderita disuruh mengejan dengan epiglottis menutup (penderita disuruh
menahan napas). Hasil tes positif bila timbul rasa nyeri yang ditimbulkan
6. Tes Naffziger
Kedua vena jugularis ditekan dan penderita diuruh mengejan. Dengan ini tekanan intrakranial
ditingkatkan yang akan diteruskan ke sepanjang rongga arakhnoidal medula spinalis. Jika terdapat
proses desak ruang di kanalis vertebralis maka radiks yang terbentang atau teregang mendapat
perangsangan pada saat tes dikerjakan. Oleh karena itu akan timbul rasa nyeri yang dijalarkan
melintasi kawasan dermatomnya.
Low back pain (LBP) / nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang cukup sering muncul di
pelayanan kesehatan. Low back pain disebabkan oleh berbagai hal. Sebab terbanyak kasus low back
pain meliputi trauma muskuloskeletal, penyakit degeneratif, hernia nukleus pulposus (HNP), dan
stenosis spinalis. Penyebab lain yang dapat mengakibatkan low back pain yaitu keganasan, infeksi
tulang belakang, spondilitis dan nyeri alih dari organ-organ viseral. Penegakan diagnosis pada kasus LBP
memerlukan pemeriksaan yang sistematis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan langkah awal
yang sangat menentukan ketepatan penegakan diagnosis pada pasien LBP.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis LBP antara
lain :
1. inspeksi tulang belakang : mengamati ada/tidaknya ketidaknormalan kurvatura vertebrae.
2. observasi cara berjalan pasien : diamati pada saat berjalan
3. Observasi posisi duduk pasien
4. palpasi / perkusi vertebra
5. range of motion
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan fisik diatas, dapat dilakukan beberapa tes yang dapat
membantu mengarahkan diagnosis nyeri punggung bawah
1. Tes Patrick
Penderita posisi terlentang, tumit atau maleolus externus tungkai yang sakit diletakkan diatas lutut
tungkai yang lain ( fleksi, abduki, eksorotasi) kemudian dilakukan penekanan pada lutut yang
difleksikan tersebut. Hasil positif apabila nyeri pada sendi panggul yang terkena penyakit
2. Tes Kontra Patrick
Penderita terlentang, tungkai yang sakit dilipat, endorotasi dan adduksi kemudian dilakukan
penekanan pada lutut tungkai tersebut sejenak. Hasil positif apabila nyeri pada sendi sacroiliaka
3. Tes Laseque
Angkat tungkai pasien dalam keadaan lurus. Untuk menjamin lurusnya tungkai maka tangan si
pemeriksa yang satu mengangkat tungkai dengan memegang pada tumit pasien, sedangkan tangan
lain pemeriksa memegang serta menekan pada lutut pasien. Fleksi pasif tungkai dalam keadaan
lurus di sendi panggul menimbulkan peregangan nervus ischiadikus. Apabila salah satu radiks yang
menyususn nervus ischiadikus mengalami penekanan, pembentangan dan sebagainya karena HNP
atau tumor kanalis vertebralis maka tes laseque membangkitkan nyeri yang berpangkal pada radiks
yang terkena dan menjalar sepanjang perjalanan perifer ischiadikus
DAFTAR PUSTAKA
1.
Lumbantobing, S.M. dr. DR. Prof. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. FK UI. 2008
2.
PROSEDUR TINDAKAN
PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGN & PEMERIKSAAN TANDA IRITASI RADIX PADA DAERAH VERTEBRALIS
Pemeriksaan Meningeal sign
Nilai
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
A.
TUJUAN PEMBELAJARAN
B.
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Visual
Cahaya masuk melalui media refrakta (berurutan dari kornea, COA, lensa dan corpus vitreum).
Alat penangkap rangsang cahaya ialah sel batang dan kerucut yang terletak di retina. Impuls kemudian
dihantarkan melalui serabut saraf yang membentuk nervus optikus. Sebagian dari serabut ini, yaitu
serabut yang menghantarkan rangsang yang datang dari bagian medial retina menyimpang ke sisi
lainnya di khiasma optic. Dari khiasma, serabut melanjutkan diri dengan membentuk traktus optic ke
korpus genikulatum lateral, dan setelah bersinaps disini, rangsang diteruskan melalui traktus
genikulokalkarina ke korteks optic. Daerah berakhirnya serabut ini di korteks disebut korteks striatum
(area 17) yang merupakan pusat persepsi cahaya.
Disekitar area 17, terdapat daerah yang berfungsi untuk asosiasi rangsang visual, yaitu area 18
dan 19.
Area 18 yang disebut juga area parastriatum atau parareseptif, menerima dan
menginterpretasi impuls dari area 17. Area 19 yaitu korteks peristriatum atau perireseptif, mempunyai
hubungan dengan area 17 dan 18 dan dengan bagian-bagian lain dari korteks. Ia berfungsi untuk
pengenalan dan persepsi visual kompleks, asosiasi visual, revisualisasi, diskriminasi ukuran dan bentuk,
orientasi ruangan serta peenglihatan warna.
Serabut yang mengurus refleks optic pupil setelah melalui khiasma optic dan traktus optic
menyimpang di anterior korpus genikulatum lateral, dan menuju serta bersinaps di nucleus pretektalis di
batang otak (setinggi kolikuli superior). Disini ia bersinaps dengan neuron berikutnya yang mengirim
serabut ke nucleus Edinger Westphal sisi yang sama dan sisi kontralateral. Dari sini rangsang kemudian
diteruskan melalui nervus okulomotorius (N.III) ke sfingter pupil.
Serabut yang mengurusi refleks somatovisual, yaitu refleks pergerakan bola mata dan kepala
sebagai jawaban terhadap rangsang visual, menuju kolikulus superior dan kemudian melalui fasikulus
medial longitudinal menuju nucleus nervus okulomotorius dan melalui traktus tektospinalis untuk
kemudian menginervasi otot-otot skelet. Selain itu kita juga mengenal traktus kortikotektal internus
yang datang dari area 18 dan 19 di korteks oksipital melalui radiasi optic dan menuju ke kolikulus
superior. Traktus ini juga ikut mengatur refleks dengan jalan berhubungan dengan otot-otot penggerak
bola mata dan struktur lainnya.
Keluhan yang berhubungan dengan sistem visual berupa ketajaman penglihatan berkurang,
lapang pandang berkurang, ada bercak di dalam lapang pandang yang tidak dapat dilihat (skotoma).
Selain itu, fotofobi, yaitu mata mudah silau, takut akan cahaya, yang dapat dijumpai pada penderita
meningitis.
Sistem non visual
Sistem non visual terdiri dari kelopak mata, sistem lakrimal, konjungtiva dan otot-otot
penggerak bola mata. Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra merupakan
alat penutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata dari trauma sinar dan pengeringan bola
mata. Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata yang dapat
menyebabkan keratitis et lagoftalmus.
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian yaitu, sistem produksi atau glandula lakrimal yang terletak
di temporoanterosuperior rongga orbita dan sistem ekskresi yang terdiri atas pungtum lakrimal,
kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus nasolakrimal. Film air mata sangat berguna untuk
kesehatan mata. Untuk melihat adanya sumbatan pada duktus nasolakrimal, maka sebaiknya dilakukan
penekanan pada sakus lakrimal. Bila terdapat penyumbatan yang disertai dakriosistitis, maka cairan
berlendir kental akan keluar melalui pungtum lakrimal.
Konjungtiva merupakan membrane yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian belakang.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi
bola mata terutama kornea.
Gerak bola mata yang normal ialah gerak terkonjugasi, yaitu gerak bola mata kiri dan kanan
selau bersama-sama, dengan sumbu mata yang sejajar.
Disamping itu mata juga melakukan
konvergensi yaitu sumbu mata saling berdekatan dan menyilang pada objek fiksasi.
Otot-otot
penggerak bola mata melakukan fungsi ganda tergantung letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi
otot.
Terdapat enam otot penggerak bola mata, yaitu :
1. m. Oblikus inferior
Dipersarafi N.III, bekerja menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi
2. m. Oblikus superior
Dipersarafi N.IV, berfungsi menggerakkan bola mata untuk depresi terutama bila mata melihat ke
nasal, abduksi dan insiklorotasi.
3. m. Rektus inferior
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi menggerakkan bola mata depresi, eksiklorotasi dan aduksi.
4. m. Rektus lateral
Dipersarafi oleh N.VI, dengan fungsi abduksi bola mata.
5. m. Rektus medius
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi untuk aduksi bola mata
6. m. Rektus superior
Dipersarafi oleh N.III, berfungsi pada elevasi, aduksi dan insiklorotasi bola mata.
C.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
D.
I.
Fluorescein
Ishihara book
Papan placido
Senter
Kasa dan kapas
PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN
Inspeksi
Pemeriksa duduk berhadapan dengan pasien.
Perhatikan :
II.
Adakah exopthalmos (Dengan penggaris, dibandingkan kanan dan kiri. normal sampai 16 mm
dan pasti patologis apabila > 20 mm.)
Apabila media refrakta jernih, maka dari jauh saja pemeriksa dapat melihat refleksi fundus yang
berwarna merah jingga cemerlang.
V. Pemeriksaan funduscopi :
1. Penderita duduk dalam kamar gelap.
2. Pemeriksa dengan Oftalmoskop berdiri disamping penderita
3. Bila kita akan memeriksa fundus secara ideal maka sebaiknya pupil dilebarkan dulu.
4. Bila mata kanan yang penderita akan diperiksa, maka pemeriksa memegang opthalmoscope
dengan tangan kanan dan melihat fundus mata dengan mata kanan pula.
5. Pemeriksa memperhatikan :
macula lutea
4.
Penderita diminta untuk bersin atau sisi. Bila sistem lakrimalis lancar, maka akan terlihat
kapas menjadi berwarna hijau.
B. Menggunakan larutan garam fisiologis
1. Penderita dipersiapkan dulu dengan obat anestesi lokal (Pantocain 0,5%), ditunggu 1-2
menit.
2. Kita ambil larutan garam fisiologis kedalam spuit, lalu dengan jarum tumpul kita masukkan
larutan garam tadi kedalam canalis lacrimalis.
3. Bila lancar, berarti tak ada sumbatan pada sistema lacrimalis.
X. Pemeriksaan dengan Fluorescein untuk Cornea
1.
Mata yang diperiksa ditetesi dengan larutan Fluorescein 3%
2.
Penderita diminta untuk berkedip-kedip sebentar.
3.
Kemudian mata tersebut dicuci dengan boorwater sampai bersih.
4.
Dengan Oblique Illumination dilihat apakah ada warna hijau yang
tertinggal pada kornea.
5.
Bila ada defek epitel kornea, maka akan terlihat warna hijau menempel
pada kornea.
XI. Pemeriksaan sensibilitas kornea ( N.V )
Di bagian mata biasanya tes ini dilakukan bila kita curiga adanya Keratitis Herpetika, dimana
sensibilitas korneanya menurun.
1.
Penderita dan pemeriksa saling berhadapan
2.
Penderita diminta untuk melihat jauh
3.
Pemeriksa memegang kapas yang dipilih ujungnya dan menyentuh
kornea (yang jernih).
4.
Perhatikan apakah penderita mengedipkan mata atau mengeluarkan air
mata.
5.
Bila demikian berarti sensibilitas kornea baik.
XII.
E.
1.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA
DeGowin RL, Donald D Brown.2000.Diagnostic Examination. McGraw-Hill.USA.
Ilyas S.1999.Ilmu Penyakit Mata.Balai Penerbit FKUI.Jakarta
Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
:
:
No
1.
2.
3.
Nilai
1 2
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
TUJUAN PEMBELAJARAN
B.
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu kelainan atau penyakit THT, diperlukan kemampuan dan
keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ tersebut.
Telinga
Keluhan utama yang sering ditemui pada penderita dengan gangguan telinga berupa :
1.Gangguan pendengaran/tuli
2.Suara berdenging (tinnitus)
3.Rasa pusing yang berputar (vertigo)
4.Rasa nyeri didalam telinga (otalgia)
5.Keluar cairan dari telinga (otore)
Gangguan pada telinga dapat terjadi pada satu ataupun kedua telinga, timbul tiba-tiba ataupun
bertambah secara bertahap. Gangguan pendengaran dapat terjadi akibat trauma kepala, trauma
akustik, infeksi (parotitis, influenza berat dan meningitis) atau sebagai efek samping dari pemakaian
obat-obatan yang bersifat ototoksik. Gangguan pendengaran dapat diderita sejak bayi sehingga
biasanya disertai juga dengan gangguan bicara dan komunikasi. Gangguan pendengaran biasanya
disertai dengan tinnitus pada awalnya, walaupun pada beberapa kasus ketulian dapat terjadi total dan
mendadak.
Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan
telinga dalam menyebabkan tuli saraf, mungkin tuli koklea atau tuli retrokoklea. Pada tuli konduktif
terdapat gangguan hantaran suara, sedangkan pada tuli saraf terdapat kelainan perseptif dan
sensorineural. Tuli campur merupakan kombinasi tuli konduktif dan tuli saraf, dapta merupakan satu
penyakit ataupun karena dua penyakit yang berbeda.
Vertigo merupakan keluhan gangguan keseimbangan dan rasa ingin jatuh. Perubahan posisi biasanya
mempengaruhi kualitas dan kuantitas vertigo. Vertigo biasanya juga disertai dengan keluhan mual,
muntah, rasa penuh di telinga dan telinga berdenging yang kemungkinan kelainannya terdapat di labirin
atau disertai keluhan neurologis seperti disartri dan gangguan penglihatan sentral. Kadang-kadang
keluhan vertigo akan timbul bila ada kekakuan pergerakan otot-otot leher. Penyakit diabetes mellitus,
hipertensi, arteriosclerosis, penyakit jantung, anemia, kanker, sifilis dapat menimbulkan keluhan vertigo
dan tinnitus.
Otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari rasa nyeri pada gigi molar, sendi rahang, dasar mulut, tonsil
atau tulang servikal. Sedangkan otore dapat berasal dari infeksi telinga luar, namun bila secret banyak
dan bersifat mukoid umumnya berasal dari infeksi telinga tengah. Bila secret bercampur darah harus
dicurigai adanya infeksi akut berat atau keganasan, dan harus diwaspadai adanya LCS bila cairan keluar
seperti air jernih.
Hidung
Hidung memiliki fungsi yang penting sebagai jalan nafas, pengatur kondisi udara, penyaring
udara, indra penghidu, resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal. Keluhan utama
penyakit atau kelainan hidung dapat berupa sumbatan hidung, secret hidung dan tenggorok, bersin,
rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan hidung dan gangguan penghidu. Gangguan
penghidu dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang (hiposmia), disebabkan karena
adanya kerusakan pada saraf penghidu ataupun karena sumbatan pada hidung.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, sering dijumpai dengan tanda dan gejala nyeri
di daerah dahi, pangkal hidung, pipi dan tengah kepala. Rasa nyeri dapat bertambah bila menundukkan
kepala dan dapat berlangsung sampai beberapa hari. Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah
sinusitis maksilaris, kemudian sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis dan sinusitis sfenoidalis.
Tenggorok
Tenggorok dibagi menjadi faring dan laring. Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:
1. Nasofaring
2. Orofaring
Dinding posterior faring
Fossa tonsil
Tonsil
3. Laringofaring (Hipofaring)
Sedangkan fungsi faring terutama untuk respirasi, proses menelan, resonansi suara dan artikulasi.
Keluhan di daerah faring umumnya berupa nyeri tenggorok (odinofagi), rasa penuh dahak di tenggorok,
rasa ada sumbatan dan sulit menelan (disfagi). Kelainan yang sering dijumpai pada faring yaitu
tonsillitis, faringitis, tonsilofaringitis dan karsinoma nasofaring.
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas
segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Laring berfungsi untuk
proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi. Fungsi laring untuk proteksi ialah
mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea dengan jalan menutup aditus laring dan
rima glottis secara bersamaan. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam
trakea dapat dibatukkan keluar.
Suara parau merupakan gejala penyakit yang khas untuk kelainan tenggorok khususnya laring
terkait dengan fungsi fonasi dari laring. Sedangkan lainnya dapat berupa batuk, disfagi, dan rasa ada
sesuatu di tenggorok. Kelainan yang sering dijumpai pada laring yaitu laryngitis, paralisa otot laring dan
tumor laring.
C.
D.
1.
2.
3.
4.
5.
Lampu Kepala
Spatel lidah
Spekulum hidung
Corong telinga
Garpu Tala
Kaca laring
PROSEDUR TINDAKAN/PELAKSANAAN
Memakai lampu kepala
Lampu kepala ditengah-tengah antara kedua mata kanan-kiri 20 25 cm (sekilan tangan) di depan
objek. Fokus jatuh tepat pada organ/bagian yang ingin diperiksa.
Duduk berhadapan dengan penderita
Kedua kaki penderita rapat, demikian juga kaki pemeriksa : kaki-kaki pemeriksa sejajar dengan kakikaki penderita. Jangan menjepit kaki penderita diantara kaki pemeriksa
Inspeksi muka
Lihat muka penderita dari depan, kalau dipandang perlu juga dari samping kanan dan kiri.
Perhatikan bentuk muka, hidung, bentuk kedudukan dan letak kedua telinga kanan-kiri.
Kelainan kongenital seperti agenesis hidung, hidung bifida, atresia nares anterior.
Tumor
Rinoskopi Anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai spekulum
hidung. Tangan kiri memegang speculum dengan ibu jari (di atas/depan) dan jari telunjuk
(dibawah/belakang) pada engsel speculum. Jari tengah diletakan dekat hidung, sebelah kanan untuk
fiksasi. Jari manis dan kelingking membuka dan menutup spekulum. Speculum dimasukkan tertutup
ke dalam vestibulum nasi setelah masuk baru dibuka. Tangan kanan bebas : dapat membantu
memegang alat-alat pinset dan kait dsb, menahan kepala dari belakang/tengkuk atau mengatur
6.
7.
sikap kepala. Melebarkan nares anterior dengan meregangkan ala nasi. Melihat jelas dengan
menyisihkan rambut hidung.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada rinoskopi anterior :
Mukosa. Dalam keadaaan normal berwarna merah muda, pada radang berwarna merah, pada
alergi pucat atau kebiruan (livid)
Septum. Normalnya terletak ditengah dan lurus, perhatikan apakah terdapat deviasi, krista,
spina, perforasi, hematoma, abses, dll.
Konka. Perhatikan apakah konka normal (eutrofi), hipertrofi, hipotrofi atau atrofi
Massa.
Pemeriksaan telinga
Duduk berhadapan dengan penderita.
Inspeksi dan palpasi. Amati telinga luar apakah terdapat kelainan/abnormalitas. Palpasi dengan
penekanan pada tragus, aurikula, dan os. Mastoideus di posterior aurikula. Perhatikan adanya nyeri
tekan, kemungkinan otitis eksterna dan mastoiditis.
Otoskopi. Tangan kiri, jari tengah dan jari kelingking memegang bagian atas daun telinga dan
menariknya ke superoposterior. Tangan kanan memasukkan corong telinga ke dalam kanalis
auditorius eksterna. Corong kemudian dipegang dengan tangan kiri, ibu jari dan jari telunjuk
mengamati telinga luar dan sekitarnya. Memeriksa kanalis auditorius eksterna dan membrana
timpani.
Pemeriksaan pendengaran dengan garpu tala
a.Rinne
Garpu tala (frekuensi 256/512) digetarkan. Tangkai garpu tala diletakkan di processus mastoid
penderita. Bila penderita tidak mendengar suara lagi, kaki garpu tala didekatkan di depan liang
telinga penderita kira-kira 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne (+), bila tidak terdengar
disebut Rinne (-).
b.Weber
Garpu tala digetarkan kemudian tangkainya diletakkan di tengah garis kepala (vertex, dahi, pangkal
hidung, tengah-tengah gigi seri, atau di dagu) penderita. Apabila bunyi garputala terdengar lebih
keras pada salah satu telinga disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat
dibedakan ke arah mana bunyi terdengar lebih keras dikatakan weber tidak ada lateralisasi.
c. Schwabach
Garpu tala digetarkan, kemudian tangkai garpu tala diletakkan pada processus mastoid pemeriksa,
bila telah tidak terdengar diletakkan pada penderita atau sebaliknya. (dianggap pemeriksa normal).
Apabila penderita masih mendengar meskipun pemeriksa sudah tidak mendengar berarti
Schwabach memanjang. Apabila pemeriksa masih mendengar meskipun tidak lagi terdengar oleh
penderita berarti Schawach memendek.
Tes
Rinne
Posittif
Negatif
Tes Weber
Lateralisasi (-)
Sama dengan
pemeriksa
Memanjang
Diagnosis
Normal
Tuli
konduktif
Positif
Memendek
Tuli
sensorineu
ral
Catatan : Pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif
8.
E.
1.
2.
3.
Lateralisasi ke
telinga yang sakit
Lateralisasi ke
telinga yang sehat
Tes Schwabach
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Ed.3.1998. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
DeGowin RL, Donald D Brown.2000.Diagnostic Examination. McGraw-Hill.USA.
Lumbantobing SM.2000.Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
b.
Meletakkan
tangkai
garputala
pada
vertex/glabella/tengah incisivus pasien
c.
Meminta pasien untuk membandingkan suara
SKOR
1
15
b.
16
17