Você está na página 1de 16

BAB I

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU SUI GENERIS



Ilmu hukum sebagai ilmu sui generis artinya hukum merupakan ilmu
jenis sendiri karena ilmu hukum sulit dikelompokkan kedalam salah satu
cabang pohon ilmu. Ilmu hukum sebagai ilmu sui generis digambarkan oleh 4
hal, yaitu :
1. Karakter Normatif Ilmu Hukum
Ilmu hukum memiliki karakteristik yang khas. Karakteristik tersendiri
itu dapat dilihat dari ciri khas ilmu hukum yang bersifat normatif. Namun
demikian banyak kalangan hukum yang mengembangkan ilmu hukum
menggunakan metode sosial (secara empiris) untuk melakukan kajian
hukum normatif, sehingga pengembangan dengan cara mengempiriskan
hukum tersebut hanya menghasilkan pandangan bahwa hukum sebagai
fenomena sosial.menetapkan metode penelitian seharusnya beranjak dari
hakikat keilmuan hukum. Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan
untuk menjelaskan hakikat keilmuan hukum yang berkaitan dengan
konsekuensi pada metode kajiannya, yaitu :
a. Pendekatan dari sudut falsafah ilmu.
Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandang, yaitu
pandangan positivistik yang melahirkan ilmu normatif, pada satu sisi
ilmu hukum dengan karakter aslinya sebagai ilmu normatif dari pada
sisi lain ilmu hukum memiliki sendi-sendi empiris yang dengan
demikian dari sudut pandang ini ilmu hukum normatif metode
kajiannya khas, sedangkan ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui
penelitian kuantatif dan kualitatif tergantung dari sifat datanya.
b. Pendekatan dari sudut pandang teori hukum.
Dari sudut pandang teori hukum. ilmu hukum dibagi atas tiga
bagian lapisan utama yaitu dokmatik hukum, teori hukum (dalam arti
sempit) dan filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut akhirnya memberi
dukungan pada praktik hukum yang masing-masing mempunyai
karakter khas dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas.


2. Terminologi Ilmu Hukum
Ilmu hukum memiliki berbagai istilah dalam berbagai bahasa, yaitu
sebagai berikut :
Rechtswetenschap (Belanda)
Istilah Rechtswetenschap berarti dogmatik hukum yang
tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum positif
dan saat tertentu juga eksplanasi (arti sempit). Sedangkan dalam arti
luas meliputi dogmatic hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.

Rechtstheorie (Belanda)
Rechtstheorie dalam arti sempit berarti lapisan ilmu hukum di
antara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Sedangkan dalam arti luas
sama dengan Rechtswetenschap (dalam arti luas).

Jurisprudence, legal science, dan legal philosophy
Istilah Jurisprudence, legal Sciene dan legal philosophy dalam
bahsa inggris mempunyai makna yang berbeda dengan istilah istilah
Belanda di atas. HPH Visser Thooft dari sudut pandang filsafat ilmu,
menggunakan istilah Rechtswetenscappen (Ilmu-Ilmu Hukum) dan
merumuskan sebagai disiplin yang objeknya hukum adalah ilmu
hukum. Atas dasar itu dikatakan Recht is mede wetwnschap.

3. Jenis Ilmu Hukum
Ilmu hukum dibedakan menjadi dua dari segi obyeknya, yaitu ilmu
hukum normatif dan ilmu hukum empiris.beberapa perbedaan mendasar antara
ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris adalah pertama dari hubungan
dasar sikap ilmuwan dan teori kebenaran. Di dalam ilmu empiris sikap
ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala obyeknya
yang dapat ditangkap. Dan di dalam ilmu hukum normatif, yuris secara aktif
menganalisis norma sehingga peranan obyek sangat menonjol.
Jika dari segi kebenaran ilmiah, kebenaran hukum empiris adalah
kebenaran korespondensi (sesuatu itu benar karena didukung oleh fakta).
Dalam ilmu hukum normatif dengan dasar kebenaran pragmatic yang dasarnya
merupakan consensus sejawat sekeahlian.

4. Lapisan Ilmu Hukum
Perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat dan disusul oleh
dogmatic hukum (ilmu hukum positif). Dalam hubungan ini dibutuhkan
disiplin tengah yang menjembatani filsafat hukum dan ilmu hukum positif
yang mulanya berbentuk ajaran hukum yang kemudian berkembang
menjadi teori hukum. Dogmatic, teori hukum, filsafat hukum pada akhirnya
harus diarahkan kepada praktik hukum. Dimana praktik hukum
menyangkut dua aspek, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.
BAB II
LOGIKA DAN ARGUMENTASI HUKUM

1. KESALAHPAHAMAN TERHADAP PERAN LOGIKA
Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan
suatu argumentasi secara cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria
yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. Ada
perbedaan pendapat tentang peran logika formal dalam argumentasi hukum,
seperti MacCormick, logika hanya mempunyai peran terbatas, bahkan
Perelman dan Toulmin berpendapat bahwa logika tidak penting.
Kesalahpahaman pertama terhadap peran logika yang berkaitan
dengan keberatan terhadap penggunaan logika silogistik. Ini terjadi
karena pendekatan tradisional dalam argumentasi hukum yang
mengandalkan model sillogisme.
Kesalahpahaman yang kedua mengenai peran logika dalam proses
pengambilan keputusan oleh hakim dan pertimbangan-pertimbangan
yang melandasi keputusan.
Kesalahpahaman yang ketiga berkaitan denganalur logika formal
dalam menarik suatu kesimpulan.
Kesalahpahaman yang keempat, logika tidak berkaitan dengan aspek
substansi dalam argumentasi hukum.
Kesalahpahaman yang kelima, menyangkut tidak adanya kriteria
formal yang jelas tentang hakekat rasionalitas nilai di dalam hukum.

2. KESESATAN (FALLACY)
Kesesatan (fallacy) dalam suatu penalaran dapat terjadi karena yang
sesat itu, karena sesuatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Jika orang
mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan tidak melihat kesesatannya
maka penalaran tersebut disebut paralogis. Dan jika penalaran yang sesat itu
dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain, maka disebut
sofisme. Penalaran bias saja sesat karena bentuknya tidak valid, hal itu terjadi
karena pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika. Selain itu jika penalaran
sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis dan konklusi disebut
kesesatan relevansi.

Berikut lima model kesesatan hukum, yaitu :
a. Argumentum ad ignorantiam
Kesesatan hukum ini terjadi apabila orang yang
mengargumentasikan suatu proposisi sebagai benar karena tidak
terbukti bersalah atau terbukti benar jika proposisi salah. Argumentum
ad ignorantiam dapat dilakukan apabila dimungkinkan oleh hukum
acara dalam bidang hukum tersebut.
b. Argumentum ad verecundiam
Menolak atau menerima suatu argumentasi karena orang yang
mengemukakannyan adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli, dan
dapat dipercaya bukan karena nilai penalarannya. Argumentum ad
verecundiam tidak sesat jika suatu yuirisprudensi menjadi
yurisprudensi tetap.
c. Argumentum ad hominem
Menolak atau menerima suatu argumentasi bukan karena
penalaran tetapi keadaan orangnya. Argumentasi seperti ini tidak sesat
jika digunakan untuk mendiskreditkan seorang saksi yang tidak
mengetahui secara pasti kejadian yang sebenarnya.
d. Argumentum ad misericordiam
Argumentasi yang bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan.
Argumentasi ini tidak sesat jika digunakan untuk memperoleh
keringanan hukuman dan jika untuk pembuktian tidak bersalah
merupakan suatu kesesatan hukum.
e. Argumentum ad baculum
Menerima atau menolak suatu argumentasi karena suatu
ancaman. Argumentasi ini tidak sesat jika digunakan untuk
mengingatkan seseorang tentang suatu ketentuan hukum.

3. KEKHUSUSAN LOGIKA HUKUM
Suatu argumentasi memiliki makna jika dibangun dengan logika.
Dengan kata lain agar suatu keputusan dapat diterima adalah apabila
didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan system logika formal yang
merupakan syarat mutlak dalam beragumentasi. Ada 2 hal yang menjadi dasar
kekhususan argumentasi hukum :
i. Tidak ada hakim ataupun pengacara, yang mulai berargumentasi dari
suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum
positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup
ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang
berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan
menentukan norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan
hukum positif dari asas-asas yang terdapat dalam hukum positif untuk
mengambil keputusan-keputusan baru.
ii. Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran
hukum berkaitan dengan kerangka prosedural, yang di dalamnya
berlangsung argumentasi rasional diskusi rasional.
Dalam kaitan ituada tiga lapisan hukum yang rasional (Drive niveaous
van rationale jurisdische argumentatie), yang meliputi :
a. Lapisan logika
Lapisan ini merupakan bagian dari logika tradisional dan untuk
struktur intern dari suatu argumentasi. Isi yang muncul disini berkaitan
dengan premies yang digunakan menarik suatu kesimpulan yang logis.
b. Lapisan dialetik
Di lapisan ini ada dua pihak yang beragumentasi yang bias saja
pada akhirnya tidak menemukan jawaban. Lapisan ini membandingkan
argumentasi pro maupun kontra.
c. Lapisan procedural
Suatu dialog atau argumentasi harus berdasarkan pada aturan
main yang sudah ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang
rasional dan syarat penyelesaian sengketa yang jelas.
Legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan
sempit. Dalam arti luas legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi
yang dilakukan oleh hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang
dihadapi. Sedangkan dalam arti sempit berkaitan dengan jenis-jenis
argumentasi, hubungan antara reason ( pertimbangan dan alasan), dan
keputusan, serta ketepatan alas an atau pertimbangan yang mendukung
keputusan.










BAB III
DASAR-DASAR DALAM ARGUMENTASI HUKUM

1. DARI LOGIKA INTERNASIONAL
Teori argumentasi ditelusuri kezaman Aristoteles dengan studinya
yang sistematis tentang logika yang intinya dalah konsistensi. Dari logika
berkembang sampai kedialektika sampai pula pada retorika. Teori-teori ini
berkaitan dengan cara meyakinkan terhdap argumen.
2. BATAS JUSTIFIKASI DEDUKSI
Neil MacCormik tentang batas justifikasi deduksi menjelaskan bahwa
tidak semua aturan hukum dirumuskan secara untuk menjawab persoalan
hukum praktis. Karena hamper sebagian hukum membigungkan dan tidak
jelas bahkan kabur. Sengketa praktis dapat diselesaikan secara deduksi setelah
meninterprestasikan aturan hukum. Dalam mengahadapi keadaan seperti ini
maka diperlukan suatu rechtsvinding.
Ada 3 tipe rechtsvinding yang dikemukakan oleh Montesquieu yang
pertama adalah hakim merupakan corong undang-undang disini hakim sebagai
penterjemah dari undang-undang dan sebgai orang-orang yang baik menilai
dari sudut keadilan,lalu yang kedua adalah dinegara monarki undang-undang
merupakan pedoman bagi para hakim,jika pedoman itu tidak ada maka
undang-undang menjadi jiwa atau spirit untuk mencarinya, yang ketiga adalah
interprestasi menurut jiwa jadi hakim tidak hanya menjadi corong undang-
undang tapi juga menggali jiwa daripada undang-undang tersebut.
Setelah kodifikasi perancis UU tidaklah dianggap sempurna karena
para pembentuknya tidak dapat melihatnya secar utuh atau keseluruhan. Ada
perbedaan antara pembuat undang-undang yang hanya membuat undang-
undang saja dengan hakim yang harus menerapkan undang-undang secra
factual dengan asas-asa yang ada. Maka perlu diingat adanya system
terbukanya hukum dimana hakim selalu menemukan sesuatu yang baru yang
bersifat mandiri.
Model penalaran dan kontruksi hukum terdiri atasnalar analogi dan
gandengannya dan ditambah lagi dengan penghalusan hukum serta
penyempitan hukum. Berkaitan dengan inteprestasi sendiri Bruggink
mengelompokkannya dalam 4 model yakni interprestasi bahasa,historis
undang-undang,sitematis dan kemasyarakatan.
3. PENALARAN (KOSTRUKSI HUKUM)
Kontruksi hukum sangat dibutuhkan dalam mengisi kekosongan
hukum,terdapat tiga model kontruksi hukum yakni analogi,rechtvervinding
dan argument a contarario.
Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari
rasio ledis (genus) dari suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya
kepada hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu.
Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis
sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga
ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara
lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya
merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak
analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan,
maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku
suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif).
Argumentum a Contrario dalam keadaan ini, hakim akan
memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada
kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu.
4. KONFLIK NORMA
Ada tipe yang berkaitan dengan asas preferensi hukum (yang meliputi
asas lex superior, asas lex spesialis dan asas lex posterior), yaitu:
1. Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok dengan
mempertahankan bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu
terjadi berkenaan dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis
atau dalam konflik logika diinterprestasi sebagai pragmatis..
2. Reinterpretasi

Dalam penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan
yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas
preferensi, menginterpretasikan kembali norma yang utama dengan
cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua dengan menginterpretasikan
norma preferensi, dan menerapkan norma tersebut dengan
menyampingkan norma yang lain.


3. Pembatalan (invalidation)
Ada dua macam pembatalan yaitu abstrak formal dan
praktikal.Pembatalan abstrak dan formal dilaksanakan oleh lembaga
khusus, kalau di Indonesia pembatalan peraturan pemerintah ke bawah
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Pembatalan Praktikal, yaitu
tidak menerapkan norma tersebut didalam kasus konkrit.
4. Pemulihan (Remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu
ketentuan. Misalnya dalam hal satu norma yang unggul dalam arti
Overruled Norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti
membatalkan norma yang kalah dengan cara memberikan kompensasi.
5. PENALARAN INDUKSI
Penalaran Induksi dalam Hukum
Penanganan perkara di Pengadilan selalu berawal dari langkah induksi.
Langkah pertama adalah merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat,
mereka-reka probabilitas. Dengan langkah itu, hakim pengadilan pada tingkat
pertama adalah judex facti. Langkah induksi ini dibatasi oleh asas hukum
pembuktian.
Hubungan Kausal
Hubungan kausal memainkan peranan penting dalam penanganan
perkara. Hubungan kausal dalam hukum sangat tergantung dari jenis hukum
atau macam-macam hukum.
Hubungan Kausal dalam Hukum Pidana Hubungan kausal diperlukan dalam
delik materiil dan delik yang dikwalifisir oleh akibatnya. Apakah suatu
perbuatan tertentu menimbulkan matinya seseorang dapat dijelaskan dengan
menggunakan teori hubungan kausal. Teori hubungan kausal dalam pidana,
yaitu:
Teori conditio sinequa non (teori ekuivalensi)
Teori aquadet
Teori yang menggeneralisir
Teori Obyektif
Teori relevansi.
Dari berbagai teori tersebut, yurisprudensi kita berpegang pada: akibat
langsung dan teori aquadet (secara wajar dapat diduga menimbulkan akibat)
Hubungan kausal dalam Hukum Perdata.
Dalam hukum perdata dikenal teori hubungan kausal, yaitu:
Teori conditio sinequa non
Teori cause proxima
Teori aquadet (secara wajar diduga menimbulkan akibat)
Hubungan Kausal dalam hukum Adminstrasi Negara (sengketa TUN)
Teori yang digunakan dalam hukum administrasi adalah hubungan
langsung. Probabilitas merupakan konsep sentral dalam penalaran induktif.
Probabilitas dalam hukum tergantung dari standar pembuktian. Standar
pembuktian didukung oleh alat bukti dan beban pembuktian.

6. DIALEKTIK DAN RETORIKA
Selanjutnya adalah Terdapat beberapa tahapan argumentasi dialektik
dan retorik. Langkah dialektik diawali dengan paparan argumentasi yang
berbeda. Dalam perkara perdata atau tata usaha Negara, hal itu dilakukan
dengan membuat matriks dalil-dalil penggugat dan dalil-dalil tergugat. Di
dalam perkara pidana disusun matriks dalil penuntut umum dan dalil terdakwa
atau penasehat hukum.
Langkah selanjutnya adalah menyusun argumentasi untuk mematahkan
dalil-dalil lawan. Berdasarkan argumentasi terebut disusunlah legal opinion.
Langkah retorika diawali dengan usaha menarik simpati. Kemudian langkah
langkah argumentasi yang sampai kepada legal opinion.
7. LEGAL REASONING DALAM COMMON LAW SYSTEM
Dalam kepustakaan hukum Anglosaxon, terdapat dua tipe legal
reasoning, yaitu:
1. Reasoning based on precedent
Ada tiga langkah, antara lain:
a. Identifikasi landasan yang tepat atau preseden
b. Identifikasi kesamaan dan perbedaan yang didasarkan kepada
preseden dengan kasus yang dihadapi atau dengan menganalisis
fakta dibandingkan atau dipertentangkan dengan preseden.
c. Tentukan apakah dari kesamaan-kesamaan ataupun perbedaan
factual lalu memutuskan apakah mengikuti preseden atau tidak.
2. Reasoning based on rules
Pola ini pada dasarnya adalah deduksi. Perbedaan dengan pola
pertama:
a. Pengundangan suatu aturan lazimnya mendahului kasus. Titik
tolaknya adalah rules bukan case.
b. Asas supremasi legislatif, sehingga hakim memainkan peran
yang sub-ordinasi, hakim tidak boleh merubah bahasa aturan.

















BAB IV
LANGKAH PEMECAHAN MASALAH HUKUM
DAN LEGAL OPINION

1. STRUKTUR ARGUMENTASI HUKUM
Struktur argumentasi merupakan titik tolak dalam langkah pemecahan
masalah hukum. Ada tiga lapisan argumentasi hukum yang rasional (drie
nieveaus van rationale juridische argumentatie), yaitu :
a. Lapisan Logika

Isu utama dalam lapisan ini adalah apakah alur premis sampai
pada konklusi dari suatu argumentasi itu logis. Langkah penalaran
deduksi, analogi, abduksi dan induksi menjadi focus. Jika dengan
langkah deduksi, pendekatan Undang-Undang dengan pendekatan
preseden berbeda. Sedangkan dalam civil law system, pendekatan
undang-undang merupakan yang pertama.
Menghadapi suatu fakta hukum dengan pendekatan undang-
undang maka ditelusuri ketentuan hukum yang relevan dimana
ketentuan tersebut berada di dalam pasal yang berisi norma. Untuk
menjelaskan norma harus diawali dengan pendekatan konseptual
dikarenakan norma sebagai bentuk proposisi tersusun atas rangkaian
konsep.

b. Lapisan dialektik

Dalam dialektik, suatu argumentasi diuji terutama dengan
argumentasi pro dan kontra sehingga suatu argumentasi tidak berjalan
dengan monoton. Proses dialektik dalam adu argumentasi menguji
kekuatan nalar suatu argumentasi yang terletak dalam kekuatan logika.

c. Lapisan Prosedur
Dalam proses argumentasi di dalam penanganan perkara di
Pengadilan, hukum acara merupakan suatu aturan main. Dengan
demikian prosedur dialektik di Pengadilan diatur oleh hukum acara.




2. Langkah-Langkah Analisis Hukum (Pencegahan Masalah
Hukum)

1. Pengumpulan Fakta
Fakta hukum biasa berupa perbuatan, peristiwa, maupun
keadaan. Pengumpulan fakta hukum di dasarkan kepada ketentuan
tentang alat bukti. Jika pertama kali berhadapan dengan klien, lawyer
harus mendengarkan paparan klien menyangkut fakta hukum. Lawyer
mengajukan pertanyaan untuk menguji sekaligus menggali fakta
hukum secara lengkapyang dalam pengajuan pertanyaan harus
berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dan asas-asas hukum yang
relevan.

2. Klasifikasi Hakekat Permasalahan Hukum
Klasifikasi hakekat permasalahan hukum berkaitan dengan
pembagian hukum positif.hukum positif diklasifikasikan atas hukum
public dan hukum privat yang masing-masing terdiri atas berbagai
disiplin. Hakekat permasalahan hukum dalam system peradilan
berkaitan dengan lingkungan peradilan yang dalam penanganan
perkara berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan.

3. Identifikasi dan Pemilihan Isu Hukum yang Relevan
Isu hukum berisi pertanyaan tentang fakta dan pertanyaan
tentang hukum. Pertanyaan tentang fakta akhirnya menyimpulkan fakta
hukum yang sebenarnya didukung oleh alat bukti. Isu tentang hukum
dalam civil law system, diawali dengan statue approach yang diikuti
dengan konseptual approach.

4. Penemuan Hukum yang Berkaitan dengan Isu Hukum
Berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 1 angka 2, yaitu
peraturan perundang-undangan adalah produk hukum tertulis yang
dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang yang isinya
mengikat umum. Langkah ini merupakan langkah pertama (statue
approach), langkah berikutnya adalah mengidentifikasi norma.
Rumusan norma merupakan suatu proposisi. Kemudian langkah ketiga
adalah rechsvinding yang dilakukan melalui 2 teknik, yaituinterpretasi
dan konstruksi hukum.

5. Penerapan Hukum
Langkah selanjutnya setelah menemukan norma konkrit adalah
penerapan pada fakta hukum. Seperti contoh pada tindak pidana
korupsi oleh pejabat. Dimana unsur pertama adalah penyalahgunaan
wewenang. Tanpa kejelasan konsep penyalahgunaan wewenang sulit
untuk dijadikan parameter untuk mengukur suatu perbuatan dikatakan
penyalahgunaan wewenang atau tidak.dimana jika salah konsep dapat
mengakibatkan kesalahan penarikan kesimpulan.

3. MENULIS LEGAL OPINION
Bentuk susunan da nisi :
1. Summary
Ditempatkan pada awad (max. 1 halaman)
harus memuat rumusan singkat fakta hukum, daftar isu hukum,
dan summary legal opinion.
2. Rumusan Fakta
Fakta harus dirumuskan dengan lengkap dan padat yang intinya
dijadikan landasan merumuskan isu hukum.
3. Isu Hukum
Isu hukum harus dirumuskan secara lengkap dan diberi nomor.
Setiap isu hukum diikuti pertanyaan hukum.
4. Analisis Ilmu Hukum
Mulai dengan isu pertama, dst
Tiap isu telusuri ketentuan hukum, yurisprudensi, pendapat
akademis yang diberikan dengan isu tersebut.
Tulis ketentuan hukum dan yurisprudensi yang ditemukan.
Identifikasi problematic hukum yang relevan dengan kasus
yang dianalisis.
Memberikan pendapat dan bagaimana ketentuan hukum
tersebut diterapkan dalam kasus itu sendiri.
5. Kesimpulan
Rumuskan pendapat hukum yang berkaitan dengan fakta
hukum tersebut.












BAB V
CONTOH-CONTOH LEGAL OPINION

Untuk lebih jelas dalam pengimplementasikan hal-hal yang diuraikan
pada bab sebelumnya. Dibawah ini akan dipaparkan contoh legal opinion :
CONTOH KASUS 1
Pendapat hukum tentang status pegawai PDAM (BUMD) dalam rangka
UU Advokat
Kasus Posisi
Seorang advokat melakukan her-registrasi ketentuan UU no 18 Th
2003 tentang advokat. Permohonan her-registrasi yang bersangkutan ditolak
dengan alas an yang bersangkutan berstatus sebagai pegawai PDAM.
Permohonan didasarkan atas ketentuan Pasal 3 ayat (!) huruf c UU Advokat
yang menentukan syarat bagi seorang advokat ialah : tidak berstatus sebagai
pegawai negeri atau pejabat Negara.
Isu hukum dalam kasus ini adalah apakah pegawai PDAM termasuk
pengertian Pegawai Negeri menurut UU advokat.
Berdasarkan isu hukum tersebut disusun pendapat hukum / legal
opinion sebagai berikut :
I. Ketentuan UU Advokat (UU No. 18 Th. 2003)
Pasal 3 ayat (1) huruf c : tidak berstatus pegawai negeri atau
pejabat Negara.
II. Pertanyaan Hukum
Apakah berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat 1 huruf c UU
Advokat, pegawai PDAM (BUMD) termasuk pengertian pegawai
negeri?
III. Analisis
a. Dasar hukum
1. UU No. 18 Th. 2003 tentang Advokat
2. UU No. 8 Th. 1974 tentang Kepegawaian
3. Peraturan Kepegawaian PDAM
Keputusan MENDAGRI No. 34 Th 2000
PERDA KMS No. 15 Th 1986
b. Pengertian Pegawai menurut UU No. 8 Th. 1974
Pasal 1 huruf a : pegawai negeri adalah mereka yangdiangkat oleh
Pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
negeri
Pasal 1 huruf c : jabatan negeri adalah jabatan dalam bidang
eksekutif
Berdasarkan ketentuan tersebut, pertanyaan muncul adalah : Apakah
pegawai PDAM menjalankan jabatan negeri dalam arti jabatan dalam
bidang eksekutif?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut perlu dijelaskan :
1. Apa arti jabatan dalam bidang eksekutif?
2. Apakah pegawai PDAM menjalankan jabatan dalam bidang
eksekutif?
Bidang eksekutif adalah bidang kekuasaan Negara diluar
kekuasaan legislatif dan yudikatif. Karakter hukum kekuasaan adalah
hukum publik. Dengan demikian hubungan hukum pegawai negeri
adalah hubungan hukum publik. Menjawab pertanyaan apakah
pegawai PDAM menjalankan jabatan dalam bidang eksekutif,
ketentuan hukum yang dapat dijadikan pijakan :
Pasal 1 huruf h. PERDA KMS No. 15 Th. 1986 : pegawai adalah
pegawai perusahaan daerah.
Pasal 3 ayat (1). KEP.MENDAGRI No. 34 Th.2000 : untuk dapat
diangkat menjadi pegawai harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Huruf I : Tidak boleh merangkap menjadi pegawai negeri.
Berdasarkan ketentuan tersebut jelas pegawai PDAM tidak
menjalankan jabatan dalam bidang eksekutif. Menurut pasal 3 ayat (1)
huruf I KEPMENDAGRI No. 34 Th 2000, jelas pegawai PDAM bukan
pegawai negeri. Di sisi lain, berdasarkan UU No. 21 Th. 2000 tentang
Serikat Pekerja/ Buruh, pengertian perusahaan termasuk perusahaan
milik Negara (vide pasal 1 angka 9). Jadi jelas pegawai PDAM bukan
hubungan hukum public tetapi hubungan hukum perdata.
c. Apakah pegawai PDAM dapat disamakan dengan pegawai Negeri
menurut UU advokat?
Dalam hal tertentu dapat disamakan sebagai pegawai negeri.
Contoh : Pasal 1 PP 10 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian
bagi PNS. Namun demikian prinsip hukum yang harus diperhatikan,
antara lain :
1. Pegawai BUMN/BUMD bukan pegawai negeri.
2. Ada ketentuan bagi pegawai negeri yang juga diberlakukan bagi
pegawai BUMN/BUMD namun tidak berarti pegawai
BUMN/BUMD adalah pegawai negeri.
Prinsip hukum yang harus diperhatikan dalam hal ini :
Pemberlakuan ketentuan yang berlaku bagi pegawai negeri
terhadap pegawai BUMN/BUMD harus jelas dasar hukumnya dan
bukan sekedar interpretasi ekstensif yang memperluas daya berlakunya
suatu ketentuan hukum. Setiap ketentuan bagi pegawai negeri tidak
otomatis berlaku bagi pegawai BUMN/BUMD.
A-Contrario, sepanjang tidak ada ketentuan khusus secara
tegas, ketentuan yang berlaku bagi pegawai negeri tidak bias dengan
sendirinya berlaku juga bagi pegawai BUMN/BUMD dalam hal ini
pegawai PDAM.
Dengan demikian sepanjang tidak ada ketentuan khusus yang
menyatakan bahwa ketentuan larangan PNS menjadi advokat menurut
UU Advokat berlaku bagi pegawai BUMN/BUMD atau pengertian
pegawai menurut UU Advokat termasuk pegawai BUMN/BUMD,
TIDAK ADA LARANGAN bagi PEGAWAI PDAM menjadi
ADVOKAT.
IV. Kesimpulan
1. Tidak ada ketentuan dalam UU Advokat bahwa termasuk
pengertian pegawai negeri adalah pegawai BUMN/BUMD.
2. Pegawai PDAM (BUMD) bukanlah pegawai negeri dalam makna
pegawai negeri menurut UU Advokat.




Legal Opinion
Disusun Tanggal 10 November 2003

Você também pode gostar