Você está na página 1de 3

Anda Sebagai Saksi Hubungan Dokter-Pasien

Oleh
Riva Ambardina Pradita


Pengalaman ini saya dapatkan ketika saya berada di stase neurologi. Dalam
stase neurologi, kami diwajibkan untuk memeriksa dan mem-follow up 4 pasien dari
bangsal. Saya kemudian memeriksa salah seorang bapak yang terkena stroke
hemoragik. Seperti kita ketahui bahwa bagi seorang pasien stroke khususnya
hemoragik, tidak diperkenankan untuk "mengejan" untuk itu ia diberikan Laxadine.
Baru sehari saya memeriksa beliau, ternyata bapak tersebut sudah direncanakan untuk
pulang hari itu. Namun saya kemudian cukup terkejut mendengar berita bahwa sore
hari nya pasien tersebut meninggal. Dan lebih terkejut lagi saya ketika mengetahui
bahwa beliau ternyata "mengejan" untuk buang air besar dan terjadi perdarahan
kembali.
Cerita lain saya dapatkan di Rumah Sakit Tangerang. Saat itu saya sedang
berada di stase kulit. Tanpa bermaksud menjelekkan salah seorang dokter, tetapi
memang cukup terkenal perilaku dokter tersebut. Hingga akhirnya saya menyaksikan
sendiri. Datang seorang pasien wanita muda ke dalam ruang periksa nya. Pasien
terebut duduk di samping nya dan saya mengamati dari hadapannya. Saat di
anamnesis, handphone pasien tersebut berdering. Pasien tersebut kemudian
mengangkat telfon nya, baru saja pasien berkata "halo", dokter tersebut kemudian
memotong dan berkata "ibu kalau mau telfon jangan diruangan saya ya, di luar saja
kalau tidak mau saya periksa!". Saya cukup terkejut, kemudian pasien tersebut
mematikan telfonnya dan meminta maaf kepada dokter. Cerita lain dari dokter
tersebut adalah ketika salah seorang pasien pengidap HIV datang memeriksakan
dirinya. Saat di ruang periksa, baru satu kalimat pasien itu lontarkan, dokter tersebut
memotong dan berkata "ibu jangan banyak bicara, nanti menular". Mungkin ini
adalah contoh ekstrim dan saya pikir hanya ada di dalam pemicu pada Modul Empati
yang lalu, ternyata mata saya dapat menyaksikan nya sendiri contoh ekstrim seperti
itu dalam kehidupan nyata.

Komunikasi Efektif
Definisi komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau
informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang
lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-pikiran atau
informasi. (Komaruddin, 1994; Schermerhorn, Hunt & Osborn, 1994; Koontz &
Weihrich, 1988)
Pada praktiknya, penerapan definisi komunikasi tersebut dalam interaksi
antara dokter dan pasien diartikan dengan tercapainya pengertian dan kesepakatan
yang dibangun dokter bersama pasien pada setiap langkah penyelesaian masalah
pasien.
Untuk sampai pada tahap tersebut, diperlukan berbagai pemahaman seperti
pemanfaatan jenis komunikasi (lisan, tulisan/verbal, non-verbal), menjadi pendengar
yang baik (active listener), adanya penghambat proses komunikasi (noise), pemilihan
alat penyampai pikiran atau informasi yang tepat (channel), dan mengenal
mengekspresikan perasaan dan emosi.
Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana
dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh
penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana, 2003).
Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk
mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih
memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi
keduanya (Kurtz, 1998).


Aplikasi Komunikasi Efektif Dokter-Pasien
Sikap Profesional Dokter
Sikap profesional seorang dokter ditunjukkan ketika dokter berhadapan
dengan tugasnya (dealing with task), yang berarti mampu menyelesaikan tugas-
tugasnya sesuai peran dan fungsinya; mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan
waktu, pembagian tugas profesi dengan tugas-tugas pribadi yang lain (dealing with
one-self); dan mampu menghadapi berbagai macam tipe pasien serta mampu bekerja
sama dengan profesi kesehatan yang lain (dealing with others). Di dalam proses
komunikasi dokter-pasien, sikap profesional ini penting untuk membangun rasa
nyaman, aman, dan percaya pada dokter, yang merupakan landasan bagi
berlangsungnya komunikasi secara efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional ini
hendaknya dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi
berlangsung, dan di akhir konsultasi.
Sesi Pengumpulan I nformasi
Di dalam komunikasi dokter-pasien, ada dua sesi yang penting, yaitu sesi
pengumpulan informasi yang di dalamnya terdapat proses anamnesis, dan sesi
penyampaian informasi. Tanpa penggalian informasi yang akurat, dokter dapat
terjerumus ke dalam sesi penyampaian informasi (termasuk nasihat, sugesti atau
motivasi dan konseling) secara prematur. Akibatnya pasien tidak melakukan sesuai
anjuran dokter. Pengumpulan informasi sendiri terdiri dari Mengenali alasan
kedatangan pasien dan Penggalian riwayat penyakit.
Sesi Penyampaian I nformasi
Setelah sesi sebelumnya dilakukan dengan akurat, maka dokter dapat sampai
kepada sesi memberikan penjelasan. Tanpa informasi yang akurat di sesi sebelumnya,
dokter dapat terjebak kedalam kecurigaan yang tidak beralasan
4 SAJ I , Langkah-langkah Komunikasi
Ada empat langkah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan
komunikasi, yaitu SAJI (Poernomo, Ieda SS, Program Family Health Nutrition,
Depkes RI, 1999).
S = Salam
A = Ajak Bicara
J = Jelaskan
I = Ingatkan

Melalui cerita pertama, saya dapat mengambil banyak pelajaran terkait
komunikasi dokter-pasien. Apabila kita sebagai dokter benar-benar menjalankan
komunikasi dengan benar yang berarti informasi yang ingin disampaikan benar
diterima dan dimengerti pasien maka seharusnya tidak perlu terjadi kejadian yang
demikian.
Pasien seharusnya bukan hanya diingatkan untuk tidak mengejan namun juga
diberikan penjelasan mengapa ia tidak diperkenankan mengejan. Langkah lain yang
dapat diambil oleh dokter adalah mencoba menyampaikan informasi kepada keluarga
pasien, sebagai media komunikasi tidak langsung lain terhadap pasien. Banyak alasan
yang mungkin dokter miliki untuk tidak menyampaikan hal-hal detail dan terkesan
sepele, mungkin salah satu nya adalah waktu.
Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien
hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila
dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya,
banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi
pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi
ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa
tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk
dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk
kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu
menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan
waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena
dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam
pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien
merupakan kondisi yang diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen
pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.
Cerita kedua menggambarkan seorang dokter yang kurang bersikap
profesional terutama dalam penerimaannya dalam menghadapi berbagai macam tipe
pasien. Pasien dengan HIV tentu tidak menular melalui udara, walaupun mungkin
yang dokter tersebut takutkan adalah kemungkinan adanya co-infeksi seperti TB yang
dapat menular melalui droplet. Namun hal tersebut akan menyakiti hati pasien dan
juga tentu akan merugikan sang dokter juga pasien karena tidak dapat mengumpulkan
informasi lebih banyak mengenai penyakit pasien. Tentunya informasi yang
kemudian diberikan kepada pasien hanya berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan
Lab.
Dahulu semasa saya berada di tingkat I, ketika saya belajar dalam modul
Empati, sempat saya berpikir apakah pelajaran seperti ini penting? Apakah tidak
sebaiknya langsung dipelajari di klinik saja tanpa perlu bermain acting-acting n?
Teryata pemikiran prematur saya tersebut adalah salah besar. Saya selalu berkata pada
teman saya I believe that the longer we pretend, the more likely we are to become
whatever we are pretending to be. Saya baru sadar bahwa kalimat yang sering kali
saya sebut-sebut tersebut ternyata memang benar, memang benar kami sering
memperagakan menjadi seorang dokter dengan tutur kata lemah lembut layaknya di
sinetron, dan memang benar ketika saya di klinik menemui pasien, secara otomatis
demikianlah kami lakukan terhadap pasien.



Daftar Pustaka

Ali MM, Sidi IS, Zahir H. 2006. Komunikasi efektif dokter-pasien. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia.

Você também pode gostar