Você está na página 1de 5

Hubungan Internasional Kawasan

Nama : Anisa Indah Pratiwi


Program Studi/NPM : Ilmu Hubungan Internasional/170210130067

Analisis Rezim:
Efektivitas Protokol Kyoto
Perubahan iklim global merupakan isu yang sangat sensitif di dunia
internasional. Sejak dulu bahkan hingga sekarang, isu ini tidak henti-hentinya
menciptakan problematika yang kompleks antar negara-negara industri.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh negara-negara industri yang umunya
merupakan negara-negara annex one, telah memberikan dampak yang signifikan
terhada dunia secara keseluruhan. Hal inilah yang merprakarsai disusunnya
Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto merupakan sebuah rezim yang dihasilkan dari konferensi
National Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Kyoto,
Jepang pada Desember 1997.
1
Rezim ini ditujukan sebagai counteract dalam
menghadapi global warming. Secara keseluruhan, Protokol Kyoto ditujukan
untuk mengurangi emisi gas yang dihasilkan oeh negara-negara annex 1 dengan
target 5% pengurangan dari emisi gas di tahun 1990.
2
Protokol Kyoto memiliki
visi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, juga menciptakan perjanjian
yang menguntungkan secara ekonomi dan ekologi.
Protokol Kyoto menunjukkan itikad baiknya sebagai perjanjian yang
fleksibel dengan memberikan toleransi untuk mengadakan carbon trading antar
negara annex 1 yang memiliki marginal cost yang lebih rendah. Hal ini
diharapkan akan membantu beban biaya tiap negara dalam mencapai target yang
ditentukan, karena dengan melakukan carbon trading, sebuah negara tidak akan
menghadapi shock culture terhadap naik secara signifikannya pengeluaran
mereka. Sayangnya, ketidakefektifan Protokol Kyoto dimulai dari poin ini.

1
Kyoto Protocol. Diakses dari https://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php pada 9 April 2014
pukul 20.29 WIB
2
David Adam. 2008. Analysis: Has The Kyoto Protocol Worked? Diakses dari
http://www.theguardian.com/environment/2008/dec/08/kyoto-poznan-environment-emissions-
carbon pada 9 April 2014 pukul 20.34 WIB
Negara-negara annex 1 yang berjumalah 39 negara memiliki rata-rata
marginal cost yang tidak jauh berbeda, sehingga peraturan yang ditetapkan
Protokol Kyoto tidak akan dapat diimplementasikan dalam konteks ini. Hal ini
membuat para negara annex 1 untuk mengeksploitasi negara-negara berkembang
dalam usahanya untuk mengurangi emisi gas di negaranya. Tetapi, hal ini justru
menciptakan comparative disadvantage bagi negara-negara berkembang yang
jumlahnya 137.
3
Dengan lingkungannya dijadikan objek eksploitasi dan projek
kapitalis oleh negara-negara annex 1, negara-negara berkembang hanya akan
menikmati keuntungan secara ekonomi dalam waktu yang pendek tetapi merugi
secara ekologi dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga dapat dianalogikan
bahwa generasi hari ini menikmati dunia dengan hanya mengusahakan hal-hal
untuk mencegah semakin parahnya global warmin, tetapi generasi di masa depan
harus memerangi segala konsekuensi hasil kelalaian generasi hari ini.
Tujuan utama dari protokol kyoto, yaitu menciptakan kesepakatan yang
mengikat secara hukum (legally binding) pada akhirnya tidak dapat tercapai.
Protokol Kyoto telah mengabaikan fakta bahwa kita tidak bisa mengurangi emisi
gas global hanya dengan komitmen 39 negara tanpa memikirkan peranan 134
negara lainnya. Hal ini lah yaang menjelaskan mengapa justifikasi protokol kyoto
dengan hanya menyertakan negara-negara maju tidak dapat diterima.
Meskipun Protokol Kyoto telah mempertimbangkan bahwa reboisasi di
negara-negara yang dieksploitasi merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
emisi gas, karena hutan berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida, namun hal
ini tetap harus diiringi dengan berbagai usaha untuk menggunakan energi
alternatif yang ramah lingkungan. Karena akan percuma jadinya jika penanaman
kembali hutan-hutan tidak diiringi dengan usaha untuk turut mengurangi emisi
gas. Hasil yang dicapai pun tidak akan siginifikan.
Jika berbicara tentang keuntungan, dapat dikatakan bahwa pihak yang
paling diuntungkan dari protokol kyoto ini adalah Eropa Timur dan Russia. Eropa
Timur dan Russia dulunya tergabung dalam Uni Sovyet. Sehingga ketika
peraturan yang tercantum dalam Protokol Kyoto adalah untuk mengurangi 5%
emisi gas dari tahun 1990, dimana Uni Sovyet belum runtuh, negara-negara
terseut yang sekarang sudah terpecah akan diuntungkan. Karena bahkan dengan
tetap melaksanakan usaha mereka saat ini, mereka sudah dapat mencapai target

3
The Kyoto Protocol on Climate Chnage: History and Highlights. Diakses dari
http://mapleleafweb.com/features/kyoto-protocol-climate-change-history-highlights pada 9 April
2014 pukul 20.39 WIB
yang ditentukan.
4
Hal inilah yang luput dari pertimbangan protokol kyoto, apakah
penetapan pengurangan kuota emis gas ini sebaiknya berdasarkan produksi di
tahun 1997, atau harus menekankan pada historical based.
Secara ekonomi dan saintifik, Protokol Kyoto pun tidak efektif. Biaya
yang diperlukan untuk menimplementasikan protokol kyoto sangatlah besar untuk
setiap negaranya. dan biaya ini bahkan tidak disesuaikan dengan jumlah GDP
suatu negara. Sebagai contoh, Amerika dengan GDP yang tinggi, dan merupakan
penyumbang emisi gas terbesar di dunia akan disamakan dengan Kanada. Hal ini
jelaslah tidak dapat dijustifikasi. Selain itu, biaya untuk melakukan usaha-usaha
pengurangan emisi gas sangatlah tinggi, mengingat ketika kita mengurangi
pemakaian fossil, koral, dan lain sebagainya, kita harus mencari energi alternatif
yang jauh lebih mahal. Seharusnya Protokol Kyoto harus dapat mengantisipasi
kerugian ini dengan menekankan pada aspek saintifik dalam inovasi teknologi.
Amerika Serikat, dengan biaya yang harus dikeluarkannya untuk Protokol
Kyoto, akan mengurangi 2-5% GDP negaranya setiap tahun sekaligus menambah
tingkat pengangguran yang bahkan diprediksi paada tahun 2050, Amerika Serikat
telah akan menyumbang sebanyak $40 milyar kepada Eropa Timur dan Russia
sebagai biaya untuk izin pengurangan emisi.
5
Perhitungan beneficial cost dan total
cost yang tidak menguntungkan membuat negara-negara yang terikat kesepakatan
ini menderita kerugian yang sangat besar. Meskipun para pendukung rezim ini
berpendapat bahwa hal ini adalah harga yang harus dibayar untuk mengatasi
dampak global warming yang telah disebabkan.
Stratosfer merupakan sebuah public goods yang berarti semua warga dunia
bertanggung jawab atas keadaannya. Hal inilah yang mendasari mengapa sejak
awal, isu global warming bukan hanya tanggung jawab negara annex one. Isu
global yang menyangkut dengan public goods harus pula melibatkan kooperasi
dari berbagai pihak. Negara tidak berhak untuk bertindak sebagai individu dalam
hal ini, karena isu ini melibatkan kepentingan bersama sehingga dapat
dianalogikan bahwa dalam konteks ini, state remains borderless. Tidak ada
batasan-batasan yang kasat mata untuk menjustifikasi mengapa sebuah negara
berhak untuk menolah bekerja sama dalam membuat perbaikan lingkungan.

4
Alexis Manning. An Economic Analysis of the Kyoto Protocol. Diakses dari
https://www.iwu.edu/economics/PPE10/alexis.pdf pada 9 April 2014 pukul 20.45 WIB
5
William D. Nordhaus. and Joseph G. Requiem for Kyoto: An Economic Analysis of the Kyoto
Protocol. Yales Cowles Foundation Discussion Paper (October 1998). Dalam Alexis Manning. An
Economic Analysis of the Kyoto Protocol. Diakses dari
https://www.iwu.edu/economics/PPE10/alexis.pdf pada 9 April 2014 pukul 20.45 WIB
Pada akhirnya, sebuah perjanjian/rezim harus dapat mengikat seluruh
partisipatornya dan membuat mereka berkontribusi dan berdedikasi terhaadap
segala isi dan konsekuensi perjanjian tersebut. Terutama menyangkut protokol
kyoto, parameter kesuksesan implementasinya adalah hasil yang diperoleh harus
dapat melebihi biaya yang dikeluarkan untuk menerapkan rezim ini. Oleh karena
itu, revisi untuk protokol yoto sangat diharapkan untuk segera disusun dan
disahkan. Karena sebenarnya ide untuk membuat global policy ini sangat cerdas,
hanya kurang memfokuskan pada aspek efisiensi yang akan diperoleh jika lebih
memperhatikan inovasi teknologi (untuk menekan budget yang dikeluarkan) dan
meminimalisir penggunaan sumber daya alam yang fundamental (ekologi).









Referensi
Jurnal:
Adam, David. 2008. Analysis: Has The Kyoto Protocol Worked? Diakses dari
http://www.theguardian.com/environment/2008/dec/08/kyoto-poznan-
environment-emissions-carbon pada 9 April 2014 pukul 20.34 WIB

Manning, Alexis. An Economic Analysis of the Kyoto Protocol. Diakses dari
https://www.iwu.edu/economics/PPE10/alexis.pdf pada 9 April 2014 pukul 20.45
WIB
Nordhaus, William D. and Joseph G. Requiem for Kyoto: An Economic
Analysis of the Kyoto Protocol. Yales Cowles Foundation Discussion Paper
(October 1998). Dalam Alexis Manning. An Economic Analysis of the Kyoto
Protocol.
The Kyoto Protocol on Climate Chnage: History and Highlights. Diakses dari
http://mapleleafweb.com/features/kyoto-protocol-climate-change-history-
highlights pada 9 April 2014 pukul 20.39 WIB


Internet:
Kyoto Protocol. Diakses dari https://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php
pada 9 April 2014 pukul 20.29 WIB

Você também pode gostar