Você está na página 1de 5

Agroindustri Beras

Mar.16, 2008 in Political Economy of Rice in Indonesia

DR Andi Irawan

Dimuat dalam majalah Pilar No 07/Th I/8-21 April 1998 dengan judul asli
“Beras”

Sentuhan agroindustri terhadap beras menjadi vital dalam rangka


meningkatkan nilai tambah beras. Sangat disadari, tanpa proses
kenaikan nilai tambah, relatif sukar meningkatkan pendapatan riil
petani. Arti penting penaikan nilai tambah beras melalui sentuhan
agroindustri, selain untuk meningkatkan pendapatan riil petani,
setidaknya mempunyai beberapa alasan penting lain yang merujuk
pada pentingnya agroindustri pangan secara umum.

Pertama, dengan kondisi sumberdaya alam dan masih banyaknya


tenaga kerja Indonesia yang berkecimpung di bidang pertanian
(sekitar 55%) maka industri yang tepat untuk menghadapi krisis
ekonomi sekarang (yang secara khusus ditandai dengan melemahnya
rupiah terhadap dolar) adalah agroindustri. Agroindustri bagi kita
bukanlah footloose industry. Dengan kata lain, agroindustri bagi
Negara dengan kekayaan agraris seperti Indonesia merupakan industri
yang relatif memiliki kandungan impor rendah.

Seperti yang diketahui banyak industri di Indonesia yang saat ini


tergolong sebagai footloose industry yang dalam proses produksinya
sangat bergantung pada input dari luar. Disamping membebani neraca
pembayaran nasional, dalam kondisi krisis moneter, industri seperti ini
mengakibatkan satu persatu perusahaan yang ada di dalamnya gulung
tikar karena inputnya menjadi sangat mahal. Akibat lebih lanjut
berimbas pada pemutusan hubungan kerja besar-besaran terhadap
pekerja.

Selain tidak tergolong footloose industry, agroindustri memiliki


keunggulan komparatif bagi Indonesia. Bukan saja sumberdaya
komoditas pertanian yang kaya dan beragam, tetapi juga masih
banyak tenaga kerja yang berbasis pertanian. Sehingga, untuk beralih
dari visi pertanian sebagai penghasil produk-produk primer menjadi
penghasil produk-produk sekunder dan tersier, tidak terjadi lompatan
yang terlalu jauh.
Dengan demikian, selayaknya pengembangan teknologi industri di
prioritaskan pada teknologi yang meningkatkan performans
agroindustri agar produk-produknya memiliki keunggulan kompetitif
untuk berlaga di pasar dunia.

Kedua, peran baru pertanian pangan sebagai penyedia input industri


dan penunjang ekspor mengandung perbedaan yang esensial dengan
peran lama. Perbedaannya terletak pada orientasinya, yaitu orientasi
pasar. Industri pangan dalam hal ini dikembangkan menurut konsep
agrobisnis. Perlu dicatat agrobisnis lahir dari konsep pemasaran yakni
pemasaran produk pertanian yang mudah rusak dan mengikuti Hukum
Engel.

Hukum Engel mengatakan, makin rendah tingkat pendapatan suatu


keluarga maka makin besar bagian pendapatan yang dibelanjakan
untuk makanan. Situasi yang digambarkan hukum ini tentu
berpengaruh terhadap permintaan bahan pangan.

Melalui peningkatan pendapatan masyarakat, maka bagian yang


dibelanjakan untuk pangan akan makin kecil. Pengelolaan hasil
pertanian dalam industri adalah jawaban dan perlawanan terhadap
hukum tersebut. Dengan menjadikan hasil pertanian sebagai hasil
industri, elastisitas pendapatan terhadap permintaan olahan hasil
pertanian diharapkan meningkat.

Ketiga, urbanisasi dan perpindahan pekerja dari pertanian ke non


pertanian sangat berpengaruh dan mendorong pertumbuhan industri
pangan. Sekitar 30% penduduk telah tinggal di kota-kota dan 45,3%
penduduk bekerja di sektor non pertanian. Kebutuhan pangan mereka
harus disediakan. Sementara proporsi mereka yang bekerja di bidang
pangan makin kecil. Ini menimbulkan dorongan dalam penggunaan
teknologi guna memproduksi bahan pangan lebih banyak dan
mengelolanya guna meningkatkan daya tahan bagi keperluan
distribusi.

Keempat, perkembangan kota melahirkan pola kerja yang berbeda dari


pola kerja masyarakat tradisional. Pekerjaan di kantor pemerintah atau
swasta hampir sepanjang hari menyebabkan pekerja kota tidak bisa
makan siang di rumah, malah sering sarapan dan makan malam di
luar. Mereka pun membutuhkan makanan siap olah dan santap
(instant).

Kelima, Keterbukaan dalam perdagangan dan investasi ikut memacu


keberadaan agroindustri. Adalah tantangan bagi Indonesia untuk
memberdayakan industri pangan tradisional dalam menghadapi
tantangan industri pangan asing yang makin banyak memasuki
Indonesia. Contoh yang mudah dilihat sehari-hari maraknya restoran
fast-food internasional seperti Fried chicken, Pizza hut, dan McDonald
di kota-kota besar di Indonesia.

Dalam perdagangan sebenarnya kita mengenal berbagai produk


agroindustri pangan yang berbahan baku beras seperti kue kering,
berondong beras, keripik, brem, rengginang, tape, gula-gula, puding,
dodol, jenang, produk saos, makanan bayi, kue basah, wafer, dan
biskuit. Pada tingkat industri, pabrik pengolahan pangan yang besar
telah pula memproduksi berbagai jenis makanan bayi, makanan
sapihan, maupun bahan makanan campuran yang menggunakan
bahan pokok beras.

Damardjati (1995) menginformasikan, beras ketan yang hanya


mengandung amilopektin, memiliki suhu gelatinisasi dan fiskositas
yang rendah, cocok sebagai bahan baku pembuatan tape, brem,
rengginang, berondong beras dan puffed rice.

Tepung ketan adalah bahan baku yang sesuai untuk pembuatan kue,
gula-gula, pudding, dodol, jenang, produk saus, tepung pembungkus
ayam goreng. Di Jepang, makanan mochi yang sangat terkenal dibuat
dari tepung ketan.

Lebih lanjut Damardjati mengatakan, beras juga merupakan media dan


bahan baku dalam pembuatan bahan pangan berfermentasi. Di
Indonesia ada jamu tradisional beras kencur dan brem Bali yang
terbuat dari ketan.

Jenis beras berkadar amilosa rendah (kurang dari 20%) cocok untuk
bahan baku makanan bayi, makanan sarapan dan kudapan, karena
sifat gelnya cenderung tidak mengeras selama penyimpanan. Beras
berondong dan gembung (puffed rice) juga dapat dibuat dari beras
jenis ini. Adapun beras berkadar amilosa sedang seperti rojo lele,
pandan wangi, cisadane, dan PB 64 dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku industri pangan antara lain kue basah, kripik wafer, dan biskuit.
Dapat juga digunakan sebagai bahan baku makanan kaleng seperti
nasi sop kaleng dan nasi siap santap. Sedangkan beras beramilosa
tinggi seperti PB5 dan PB 36 atau PB 24 merupakan bahan baku dalam
industri bihun.

Jelas, bahan pangan yang dibentuk melalui agroindustri beras bukan


foot loose industry. Bahan baku dan teknologinya dapat kita hasilkan
sendiri. Apalagi teknologi untuk menghasilkan bahan pangan berbasis
beras bukan teknologi tinggi yang rumit, melainkan telah cukup
dikenal masyarakat pedesaan. Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah
perbaikan quality control, sehingga produk-produk yang dihasilkan
dapat berkualitas ekspor serta menjadi produk andalan dan sumber
devisa baru.

Terakhir, yang layak ditekankan, agroindustri beras harus berbasis dan


dikembangkan di pedesaan. Ada lima argumentasi yang dapat
diajukan.

Pertama, Usaha pertanian padi bertempat di pedesaan. Berdasarkan


prinsip mendekati bahan baku atau bahan mentah, logis kalau
agroindustri dikembangkan di pedesaan.

Kedua, Berkaitan dengan surplus tenaga kerja dan


pengangguran di pedesaan. Tuna kerja di pedesaan muncul akibat
berbagai sebab seperti pertumbuhan penduduk, penyempitan lahan
pertanian (baik akibat konversi maupun fragmentasi lahan), dan
perkembangan industri di perkotaan belum sepadan dengan
kemampuannya menyerap tenaga kerja yang tak terampil dan
berpendidikan rendah yang umumnya berasal dari desa.

Ketiga, agroindustri beras berkaitan dengan gagasan menciptakan


lapangan usaha di pedesaan. Desa memang daerah yang statis dalam
arti, tidak banyak perubahan dalam dinamika perekonomiannya.
Lapangan kerja baru selama ini memang lebih banyak diciptakan di
kota.

Terjadilah urbanisasi. Agroindustri beras di pedesaan akan


menciptakan lapangan kerja baru. Penempatan agroindustri di
pedesaan juga merangsang industrialisasi dan pembentukan kelas
menengah baru pedesaan.

Keempat, agroindustri beras menciptakan nilai tambah pada padi atau


beras. Jika dikembangkan di kota, maka nilai tambah akan dipetik
penduduk kota. Padahal penduduk desa lebih membutuhkannya.
Dengan agroindustri, pendapatan baru dapat ditahan di pedesaan.
Dalam lingkup wilayah, agroindustri dapat menekan terjadinya
kebocoran wilayah (regional leakage) keluar wilayah desa.

Dan kelima, agroindustri beras berpotensi menjadi motor penggerak


perekonomain pedesaan di Indonesia karena merupakan sumber
penciptaan pendapatan baru. Ini memacu peningkatan permintaan
domestik, sehingga melalui dampak pengganda (multiplier effect) akan
merangsang kemunculan sektor-sektor ikutan, khususnya sektor
industri lain dan jasa berbasis sawah.

Você também pode gostar