Setelah menyetir terlalu lama sepulang dari kampung saya singgah sebentar
di sebuah restoran. Begitu memesan makanan, seorang anak lelaki berusia
lebih kurang 12 tahun muncul di depan saya. "Abang mau beli kue?" Katanya sambil tersenyum. Tangannya segera menyelak daun pisang yang menadi penutup bakul kue aanannya. "Tidak !ik, Abang sudah pesan makanan," a"ab saya ringkas dan akhirnya dia berlalu. #esanan tiba, saya langsung menikmatinya. Tidak sampai 2$ menit kemudian saya melihat anak tadi menghampiri calon pembeli lain. Saya lihat dia menghampiri sepasang suami istri. %ereka uga menolak ta"aran anak itu, dan dia berlalu begitu saa. "Abang sudah makan, tak mau beli kue saya?" tanyanya tenang ketika menghampiri mea saya lagi. "Abang baru selesai makan !ik, masih kenyang nih," kata saya sambil menepuk&nepuk perut. !ia pun pergi, tapi cuma di sekitar restoran. Sampai di situ dia meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap yang lalu dia tanya, "mau beli kue saya Bang, #ak... Kakak,... 'bu.." (alus budi bahasanya, pikir saya. Sambil memperhatikan., terbersit rasa kagum dan kasihan di hati saya melihat betapa gigihnya dia berusaha. Tidak nampak keluh kesah atau tanda&tanda putus asa dalam dirinya sekalipun orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya. Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke mobil. Saya buka pintu, membetulkan duduk dan menutup pintu. )amun belum sempat saya menghidupkan mesin, anak tadi sudah berdiri di samping mobil. !ia tersenyum kepada saya. Saya turunkan kaca endela dan membalas senyumannya. "Abang sudah kenyang, tapi mungkin Abang perlu ba"a kue saya buat oleh&oleh untuk adik& adik, 'bu atau Ayah abang," katanya sopan sekali, sambil tersenyum. Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan menyelak daun pisang penutupnya. Saya tatap "aahnya, bersih dan bersahaa. Terpantul perasaan kasihan di hati. *antas saya buka dompet, dan mengulurkan selembar uang +p 2$.$$$,& padanya. "Ambil ini !ik, Abang sedekah... tak usah Abang beli kue itu." Saya berkata ikhlas karena perasaan kasihan yang meningkat mendadak. Anak itu menerima uang tersebut, lantas mengucapkan terima kasih terus beralan kembali ke kaki lima restoran. Saya gembira dapat membantunya. . Setelah mesin mobil saya hidupkan. Saya memundurkan. Alangkah kagetnya saya melihat anak itu mengulurkan +p2$.$$$,& pemberian saya itu kepada seorang pengemis buta. Saya terkeut, saya hentikan mobil, dan memanggil anak itu. "Kenapa Bang, mau beli kue ya?" tanyanya. "Kenapa Adik berikan duit Abang tadi pada pengemis itu? !uit itu Abang berikan ke Adik," kata saya tanpa mena"ab pertanyaannya. "Bang, saya tak bisa ambil duit itu.. -mak marah kalau dia tahu saya mengemis. Kata emak kita mesti bekera mencari na.kah karena Allah. Kalau dia tahu saya ba"a duit sebanyak itu pulang, sedangkan ualan masih banyak -mak pasti marah. Kata -mak mengemis kera orang yang tak berupaya, saya masih kuat Bang," katanya begitu lancar. Saya heran sekaligus kagum dengan pegangan hidup anak itu. Tanpa banyak soal saya terus bertanya berapa harga semua kue dalam bakul itu. "Abang mau beli semua?" dia bertanya dan saya cuma mengangguk. *idah saya kelu mau berkata. "+p 2/.$$$,& saa Bang...." !engan gembira dia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik, saya ulurkan +p 2/.$$$,&. !ia mengucapkan terima kasih dan berlalu dari pandangan saya. 0a Tuhan,. Saya hanya bisa bertanya&tanya di dalam hati, siapakah "anita berhati mulia yang melahirkan dan mendidik anak itu?. Sesungguhnya saya kagum dengan sikapnya. !ia menyadarkan saya, siapa kita sebenarnya....... Sumber1 kiriman teman.