Você está na página 1de 7

AUTOIMUN

A. Pengertian
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang
membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh
melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti
itu termasuk mikro-jasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokan
organ dan jaringan.
Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah
molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri,
virus, atau sel kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan sendiri tetapi biasanya, sistem
imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak
terhadap antigen sendiri. Sistem munitas kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan
tubuh sendiri sebagai antigen asing dan menghasilkan antibodi (disebut autoantibodi)
atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut
reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti
itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah
yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.
Sistem kekebalan pada keadaan tertentu tidak mampu bereaksi terhadap antigen
yang lazimnya berpotensi menimbulkan respon imun. Keadaan tersebut disebut toleransi
kekebalan (immunological tolerance) dan terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu :
Deleksi klonal, yaitu eliminasi klon (kelompok sel yang berasal dari satu sel) limfosit,
terutama limfosit T dan sebagian kecil lmfosit B, selama proses pematangan
Anergi klon, yaitu ketidak mampuan klon limfosit menampilkan fungsinya;
Supresi klon, yaitu pengendalian fungsi pembantu limfosit T.
Pada umumnya, sistem kekebalan dapat membedakan antar antigen diri (self antigen)
dan antigen asing atau bukan diri (non-self antigen). Dalam hal ini terjadi toleransi
imunologik terhadap antigen diri (self tolerance). Apabila sistem kekebalan gagal
membedakan antara antigen self dan non-self, maka terjadi pembentukan limfosit T dan B
yang auto reaktif dan mengembangkan reaksi terhadap antigen diri (reaksi auto imun).
Penyakit autoimun terdiri dari dua golongan, yaitu :
1. Khas organ (organ specific) dengan pembentukan antibodi yang khas organ; contoh
: Thiroiditis, dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes Mellitus, dengan auto-
antibodi terhadap pankreas; sclerosis multiple, dengan auto-antibodi terhadap
susunan saraf; penyakit radang usus, dengan auto-antibodi terhadap usus.
2. Bukan khas organ (non-organ specific), dengan pembentukan auto antibodi yang
tidak terbatas pada satu organ. Contoh : Systemic lupus erythemathosus (SLE),
arthritis rheumatika, vaskulitis sistemik dan scleroderma, dengan auto-antibodi
terhadap berbagai organ.
B. Etiologi
Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal :
1. Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu
(disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah.
Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam
aliran darah. Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata
sebagai benda asing dan menyerangnya.
2. Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau
radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem
kekebalan tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan.
Sel yang ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk
menyerangnya.
3. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan.
Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan
mirip seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit
kerongkongan mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia.
Jarang terjadi, sistem kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit
kerongkongan (reaksi ini bagian dari demam rheumatik).
4. Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah
putih) mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang
beberapa sel badan.
5. Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan
kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang
rentan, satu pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat
kekacauan berkembang. Faktor hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak
kekacauan autoimun lebih sering terjadi pada wanita.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan penyakit autoimun. Penyakit
autoimun timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri dan dipengaruhi oleh berbagai
faktor (multi faktor). Faktor-faktor yang bersifat predisposisi dan/atau bersifat
kontributif adalah:
1. Genetik, yaitu haplotipe HLA tertentu meningkatkan risiko penyakit autoimun.
Reaksi autoimun dijumpai .
2. Kelamin (gender), yaitu wanita lebih sering daripada pria.
3. Infeksi, yaitu virus Epstein-Barr, mikoplasma, streptokok, Klebsiella, malaria, dll,
berhubungan dengan beberapa penyakit autoimun;
4. Sifat autoantigen, yaitu enzim dan protein (heat shock protein) sering sebagai
antigen sasaran dan mungkin bereaksi silang dengan antigen mikroba;
5. Obat-obatan, yaitu obat tertentu dapat menginduksi penyakit autoimun;
6. Umur, yaitu sebagian besar penyakit autoimun terjadi pada usia dewasa.

C. Tanda dan gejala
Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Gejala bervariasi bergantung pada
gangguan dan bagian badan yang terkena. Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi
jenis tertentu jaringan di seluruh badan misalnya, pembuluh darah, tulang rawan atau
kulit. Gangguan autoimun lainnya mempengaruhi organ khusus. Sebenarnya organ yang
mana pun, termasuk ginjal, paru-paru, jantung dan otak bisa dipengaruhi. Hasil dari
peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa sakit, merusak bentuk sendi,
kelemahan, penyakit kuning, gatal, kesukaran pernafasan, penumpukan cairan (edema),
demam, bahkan kematian.

D. Diagnosa
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai
gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat,
karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel
darah merah (eritrosit) untuk tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah
berkurang (anemia) karena radang mengurangi produksi mereka. Tetapi radang
mempunyai banyak sebab, banyak di antaranya yang bukan autoimun. Dengan begitu,
dokter sering mendapatkan pemeriksaan darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda
yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan autoimun khusus. Contoh
antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus
sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi,
yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Antibodi ini pun kadang-kadang mungkin
terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter
biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk mengambil
keputusan apakah ada gangguan autoimun.

E. Pengobatan
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimun dengan menekan sistem kekebalan
tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimun juga mengganggu kemampuan
badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi. Obat yang menekan sistem
kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil,cyclophosphamide,
cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral
dan seringkali dalam jangka panjang. Obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun
tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk
mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Konsekwensinya, risiko infeksi tertentu dan
kanker meningkat.
Sering kortikosteroid seperti prednison diberikan secara oral. Obat ini mengurangi
radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. Kortikosteroid yang digunakan dalam
jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin kortikosteroid dipakai
untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk.
Tetapi kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas. Gangguan
autoimun tertentu (seperti multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan
obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi
gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis
(TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam
mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan
untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis.
Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu. Obat baru tertentu
secara khusus membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh
melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi
pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi rheumatoid.
Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja
dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada
radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun
lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah
dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring
dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami
sewaktu mereka mulai. Tetapi kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering
diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung
pada gangguan.
Berikut beberapa contoh penyakit karena serangan sistem imun tubuh sendiri:
Hashimoto tiroiditis (gangguan kelenjar tiroid)
Pernicious anemia (penurunan sel darah merah yang terjadi ketika tubuh tidak dapat
dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran pencernaan)
Penyakit Addison (penyakit yang terjadi ketika kelenjar adrenal tidak memproduksi
cukup hormon)
Diabetes tipe I
Rheumatoid arthritis (radang sendi)
Systemic lupus erythematosus (SLE atau gangguan autoimun kronis, yang
mempengaruhi kulit, sendi, ginjal dan organ lainnya)
Dermatomyositis (penyakit otot yang dicirikan dengan radang dan ruam kulit)
Sjorgen sindrom (kelainan autoimun dimana kelenjar yang memproduksi air mata
Multiple sclerosis (gangguan autoimun yang mempengaruhi otak dan sistem saraf
pusat tulang belakang)
Myasthenia gravis (gangguan neuromuskuler yang melibatkan otot dan saraf)
Reactive arthritis (peradangan sendi, saluran kencing dan mata)
Penyakit Grave (gangguan autoimun yang mengarah ke kelenjar tiroid hiperaktif)

FAKTOR GENETIK PADA PENYAKIT AUTOIMUN
Fenomena Autoimun cenderung dijumpai pada suatu keluarga tertentu. Misalnya, anggota
keluarga genetik pertama (saudara kandung, orang tua dan anak-anak) dari penderita penyakit
Hashimoto mengandung autoantibodi dan toriditis yang nyata maupun subklinis dengan angka
kekerapan tinggi. Presentase anggota keluarga yang mengandung autoantibodi lebih tinggi
dalam keluarga dengan lebih dari seorang anggota keluarga menderita penyakit itu. Penelitian
paralel mengungkapkan hubungan serupa dalam keluarga penderita anemia pernisiosa yang
menunjukkan bahwa antibodi terhadap sel-sel parietal sering dijumpai pada anggota keluarga
yang cenderung menderita aklorhidria dan gastritis atropik. Antibodi terhadap mitokondria
sering dijumpai dalam satu keluarga yang anggota keluarganya menderita sirosis bilier primer,
walaupun kekerapanya lebih sedikit. Kembali pada SLE, pernah melaporkan adanya gangguan
sintesis imunoglobulin dan kepekaan untuk menderita penyakit jaringan ikat, tetapi mengenai
hal ini masih ada pertentangan yang belum dapat dipecahkan. Hubungan dalam keluarga ini
dapat disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya kuman penyebabnya infeksi, tetapi ada bukti
bahwan peran satu atau lebih komponen genetik perlu dpertimbangkan secara serius. pertama-
tama, tiroidetis terjadi pada kembar, kemungkinan bahwa keduanya manderita penyakit yang
sama lebih besar pada kembar identik dbanding kembar tidak identik. kedua, autoantibo
terhadap tiroid lebih sering djumpai pada penderita dengan disgenesis ovarium yang
meunjukkan aberasi kromosom X misalnya XO khususnya kelainan iso kromosom X. Selain itu,
ada hubungan yang kuat antara beberapa penyakit autoiumun dengan spesifisitas HLA,
misalnya DR3 pada penyakit Addison dan DR4 pada artritis reumatoid. Hanya determinan
tertentu pada molekul autoantigenik yang dapat mencetuskan pembentukan antibodi (misalnya
tiroglobulin dengan berat molekul 650 kDa mempunyai valensi 4 yang efektif), dan penting
untuk diketahui apakah epitop pada sel-T menunjukkan hal yang sama karena respons imun
yang dikendalikan oleh MHC kelas II (yaitu gen Ir) baru dapat bekerja apabila antigen dan
epitop pada permukaan sel-T sesuai. Hal ini yang menunjukkan peran penting struktur MHC
kelas II dalam menentukkan respons sel-T terhadap jaringan tubuh sendiri adalah
ketidakmampuan mencit diabetik non-obese untuk membentuk autoimunitas terhadap
pankreas bila hanya satu residu asam amino. Kita telah melihat bahwa bibit hewan dengan
penyakit autoimun spontan dapat dikembangbiakan. Dengan kata lain, autoimunitas dapat
diprogramkan secara genetik. Ada bibit ayam Obese dengan penyakit tiroid autoimun dan
mencit New Zealand Black (NZB) dengan anemia hemolitik autoimun. Hibrid NZB dengan strain
New Zealand White (Hibrid BxW) dapat membentuk antibodi antinuklear termasuk anti-dsDNA
dan kompleks imun yang berbahaya yang menyebabkan glomerulonefritis. Pmbibitan saling-
silang dan silang-balik dari mencit-mencit ini membuktikan bahwa sedikitnya 3 gen
menyebabkan munculkan autoimunitas dan bahwa produksi antibodi terhadap erotrosit dan
nukleus dikendalikan oleh gen yang berbeda, ada faktor-faktor predisposisi yang berbeda untuk
menimbulkan autoimunitas agresif di satu pihak dan selksi antigen di pihak yang lain.

APA LINGKUNGAN BERPERAN DALAM TERJADINYA PENYAKIT AUTOIMUN.
Derajat kesesuaian 50% untuk menderita penyakit autoimun diabetes melitus insulin
dependen (IDDM;Diabetes type 1)pada kembar identik jelas lebih tinggi dibanding kembar
dizigot;hal ini membuktikan adanya pengaruh unsur genetik namun tetap ada 50% yang tidak
berkaitan dengan faktor genetik. Hal ini tidak selalu disebabkan oleh faktor lingkungan sebab
walaupun kembar monozigot mempunyai gen germinal imunoglobulin dan respektor sel T yang
idektik, proses doversifikasi reseptor dan interaksi internal antiipiotip adalah demikian
kompleks sehingga proses pembentukan respektor yang berulang-ulang menghasilkan reseptor
yang sangat bervariasi dan tidak mungkin identik. Ada banyak contoh dimana anggota keluarga
penderita SLE yang secara klinis tidak menderita penyakit menunjukkan autoantibodi terhadap
nukleus denga frekuensi lebih tinggi bila mereka hidup dalam satu rumah tangga dibanding bila
mereka hidup terpisah dengan keluarganya yang sakit. Namun, pasanganya lebih sedikit
kemungkinan menderita penyakit itu dibanding keluarga sedarah. Sebagai ringkasan, pada
beberapa penyakit faktor utamanya adalah genetik tetapi pada penyakit yang lain faktor
lingkungan merupakan hal yang lebih menentukan. Diet mungkin merupakan salah satu-minyak
ikan yang mengandung asam lemak tak jenuh omega 3 yang berantai panjang dianggap
menguntungkan bagi penderita artritis reumatoid; seseorang harus tahu apakah ahli
reumatologi di Green;and kekurangan pekerjaaan! Sinar matahari merupakan perangsang
timbulnya kelainan kulit pada SLE. Pemaparan pada larutan organik dapat mengawali penyakit
autoimun membran basal yang menyebabkan sindroma Good-pasture-perhatikan frekuensi
tinggi penyakit ini pada indivdu dengan HLA-GR2 yang bekerja pada perusahaandry-cleaning
atau terpapar pada minyak syphon yang bersal dari tanki monyak syphon orang lain. Keadaan
yang lebih menherankan adalah terjadinya penyakti yang sama pada tikus Brown Norway yang
disuntik dengan air raksa, tetapi hal itu memang terjadi, dan masih ada beberapa jenis penyakit
yang disebabkan oleh obat, misalnya SLE, miastenia gravis, anemia hemofilik autoimu dan lain-
lain. Faktor lingkungan favorit untuk diteliti bagi setiap adalah mikroba penyakit infeksi, dan
kita telah mempunyai contoh-contoh nyata tentang penyakit autoimun yang timbul setelah
menderita infeksi, biasanya pada individu yang mempunyai predisposisi genetik untuk itu:
misalnya demam reumatik setelah faringtis yang disebabkan stertokokus grup A pada 2-3%
penderita yang mempunyai kepekaan herediter, penyakit autoimun miositis pada strain mencit
setelah infeksi dengan virus Cosackie. Pada sebagian besar kasus penyakit autoimun kronim
pada manusia, masalahnya adalah periode laten yang panjang sehingga menyebabkan kesulitan
dalam menelusuri penyebabnya, dan yang kedua adalah bahwa organisme hidup penyebab
penyakit tidak dapat diisolasi dari jaringan yang terkena. Dengan adanya kemungkinan
mingidentifikasi mikroorganisme yang menetap pada beberapa jenis kelainan, kita harus
mempertanyakan kembali apakah hipersensitivitas disebabkan oleh mikroba atau ooleh
antigen-diri, dengan kata lain apakah kita berhadapan dengan penyakit autoimun akibat infeksi
dengan mikroorganisme ataukah fenomena autoimun yang secara sekunder diperparah oleh
hipersensitivitas terhadap mikroba? Kedu-duanya adalah mungkin. Kita tahu bahwa reaksi
silang dengan komponen mikroba dapat mengawali autoimunitas dan akhir-akhir ini pernah
dibuktikan oleh infeksi dengan cacing Nippostrongylus brasilienwsis dapat menghilangkan
toleransi terhadap superantigen stafilokokus yang tidak ada hubunganya; mungkin infeksi
seperti ini dapat merangsang pembentukan sitokin berlebihan atau mengaktifasi sel-T potensial
autoreaktif yang tadinya energik. Masalah kompleks yang lain adalah bukti-bukti bahwa
mikroba lingkungan sering melindungi hewan percobaan dari penyakit autoimun
spontan;angka kekerapan diabetes meningkat bila mencit NOD yang dibiakkandalam rumah
percobaan hewan yang berbda-beda menunjukkan pengaruh besar flora lingkungan pada
terjadinya penyakit autoimun.
PENGARUH SEKS PADA PENYAKIT AUTOIMUN
Ada kecenderungan umum bahwa penyakit autoimun lebih sering dijumpai pada wanita
di bandingkan pada pria. Alasan untuk hal ini belum diketahui. Ada kemungkinan bahwqa kadar
estrogen yang tinggi dijumpai pada penderita mencit dengan SLE. Kehamilan sering di kaitkan
dengan makin beratnya penyakit, terutama pada atritis reumatoid, dan kadang-kadang terjadi
kekambuhan setelah melahirkan, pada saat mana terjadi perubahan pada hormon yang drastis
dan hilangnya plasenta. Juga harus dicatat sering terjadi hipotiroidi postpastrum pada wanita
yang sebelumnya telah menderita penyakit autoimun.
APA AUTOREAKTIVITAS TERJADI SECARA ALAMI?
Mekanisme toleransi tidak merusak semua limfosit autoreaktif. Pemrosesan autoantigen
dapat berakibat munculnya peptida dominan tertentu yang lebih sering diekspersikan oleh sel
penyaji antigen ( APC ), sedangkan yang lain berbentuk kerdil dan hanya terdapat dalam jumlah
kecil dalam lekuk MHC sehingga tidak dapat memberikan sinyal-sinyal yang diperlukan untuk
seleksi negatif sel-T yang sesuai dalam timus.
Jadi, sel-T autoreaktif yang spesifik untuk epitop yang kerdil dapat hidup dan
memperbaharui diri. Pembaca juga akan ingat populasi sel-B dengan penanda permukaan CD5,
yang sejak awal kehidupannya telah membentuk jaringan-jaringan yang dihubungkan satu
dengan yang lain melalui idiotip sel-sel germinal. Sel-sel itu mungkin dirangsang oleh interaksi
idiotip tipe 2 yang T-independen, untuk membentuk antibodi alami, suatu istilah yang
digunakan untuk menyebut antibodi dalam serum yang diduga telah ada sebelum seseorang
terpapar pada antigen eksternal dan karena itu muncul tanpa dirangsang oleh stimulasi antigen
seperti yang biasanya terjadi. Antibod ini adalah IgM dan termasuk diantaranya sejumlah
autoantibodi dengan afinitas dan reaktivitas rendah untuk berbagai jenis spesifisifitas dan yang
bereaksi silang dengan antigen bakteri umum yang bersifat karbohidrat. Dapat dilihat bahwa
hal ini merupakan strategi untuk memastikan bahwa rangsangan pertama sel oleh autoantigen (
termasuk idiotip ) akan melindungi tubuh terhadap bakteri, khususnya karena sifat polimer
antigen karbohidrat akan mengakibatkan antibodi IgM terikat pada mikroba dengan aviditas
yang tinggi. Fungsi lain dari antibodi alami telah diusulkan oleh beberapa ahli walaupun tidak
aksklusif.
Grabar menganggap antibodi ini sebagai alat transpor yang bertanggung jawab dalam
membersihkan komponen-komponen tubuh yang rusak. Yang lain menyebutkan peran
homeostatik mencegah stimulasi sel-sel autoreaktif pada se-B CD5 dengan menutupi epitop
autoantigen atau regulasi idiotip secara umum. Hal yang terakhir didukung oleh laporan yang
menyatakan bahwa fraksi IgM serum normal dapat menhambat pengikatan fargmen F(ab)2 IgG
autolog pada berbagai autoantigen, mungkin seseorang harus hati-hati dalam menafsirkan hasil
ini karena hasil ini didasarkan atas interaksi antibodi dengan antigen fase padat di mana
pengikatan divalen akan meningkatkan aviditas dan denaturasi partial protein pada permukaan
plastik akan menampilkan bagian hidrofob internal yang dalam keadaan normal tidak turut
dalam reaksi antibodi.
Hal ini menimbulkan beberapa maslah penting. Autoantibodi IgM yang diproduksi oleh
subset sel-B CD5 + dapat diperlihatkan pada populasi umum dengan kadra rendah, dan angka
kekerapan positif terus meningkat dengan bertambahnya umur hingga umur sekitar 60-70
tahun. Antibodi ini tidak berbahaya dalam arti ia tidak menyebabkan reaksi hipersensitifitas
yang merusak jaringan, tetapi dalam keadaan abnormal apakah ia dapat menyebabkan sel
memproduksi antibodi IgG dengan afinitas tinggi.

Você também pode gostar