Você está na página 1de 27

1.

Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak
tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin (1856-
1926) menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu istilah
yang menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah
skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk
menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada
pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar
dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme dan
Ambivalensi.
[1]

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai
oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi ,
serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran
yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian.
[2]

Skizofrenia merupakan salah satu dari kelompok gangguan psikotik, yang
dikarakteristikkan dengan simptom positif atau negatif dan sering dihubungkan
dengan kemunduran penderita dalam menjalankan fungsinya sehari-hari.
Seseorang yang menderita skizofrenia akan mengalami kesulitan untuk
membedakan manakah pengalaman yang berdasarkan realita atau bukan, pikiran
yang sesuai dengan logika atau tidak, perilaku yang serasi atau tidak. Skizofrenia
akan memperburuk kemampuan seseorang untuk bekerja, sekolah, berhubungan
dengan orang lain dan merawat diri. Penderita dengan skizofrenia dapat
mengalami remisi dan kekambuhan, mereka dapat dalam waktu yang lama tidak
muncul gejala, maka skizofrenia sering disebut dengan penyakit kronik.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang akan membebani masyarakat
sepanjang hidup penderita.
[1]



Penanganan yang terbaik yang dilakukan terhadap penderita skizofrenia
meliputi penatalaksanaan yang menyeluruh dan terintegrasi serta memperhatikan
seluruh aspek dari tiap-tiap penderita sehingga tidak hanya dapat meningkatkan
kualitas hidup dan harkat penderita skizofrenia itu sendiri tetapi juga keluarganya.
[1]

2. Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizeinyang berarti
terpisahatau pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia terjadi
pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum,
simptom skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif,
simptom negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.
[1]
Eugen bleuler (1857 1939) memperkenalkan istilah Skizofrenia, karena
gangguan ini menyebabkan terjadinya perpecahan antara pikiran, emosi, dan
perilaku. Menurut Eugen Bleuler ada 4 gejala fundamental (primer) untuk
skizofrenia, yaitu: Asosiasi terganggu (terutama kelonggaran asosiasi) ; Afektif
terganggu; Autisme; Ambivalensi. Konsep ini yang dikenal dengan 4 A. Gejala
pelengkap (sekunder) untuk skizofrenia menurut Bleuler adalah waham dan
halusinasi.
[1]

Kurt Schneider (1887 1967) membagi gejala skizofrenia menjadi 2 bagian,
yaitu first rank symptom dan second rank symptom. First rank symptom penting
untuk menegakkan diagnosis skizofrenia tetapi simptom tersebut tidak
patognomonik.
[1]

First rank symptom terdiri dari :
[1, 3]

1) Audible thought (pikiran yang dapat didengar)
2) Voices arguing atau discussing (suara- suara yang berdebat atau berdiskusi atau
keduanya)
3) Voices commenting (suara-suara yang mengomentari)
4) Somatic passivity experiences (pengalaman pasivitas somatik)
5) Thought withdrawal and experiences of influenced thought (penarikan pikiran
dan pengalaman pikiran yang dipengaruhi lainnya)
6) Thought broadcasting (siar pikiran)
7) Delusional persepsi (persepsi bersifat waham)


Second rank symptom terdiri dari:
[1, 3]

1) Gangguan persepsi lain
2) Ide yang bersifat waham yang tiba-tiba
3) Kebingungan
4) Perubahan mood depresi dan euforik
5) Kemiskinan emosi

3. Epidemiologi
Skizofrenia mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-
rata 0,85%). Angka insidens skizofrenia adalah 1 per 10.000 orang per tahun.
[1]

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1%
penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia
lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban dan
pada kelompok sosial ekonomi rendah.
[2]
Prevalensi skizofrenia berdasarkan jenis kelamin, ras dan budaya adalah
sama. Wanita cenderung mengalami gejala yang lebih ringan, lebih sedikit rawat
inap dan fungsi sosial yang lebih baik di komunitas dibandingkan laki-laki. Onset
skizofrenia pada laki-laki terjadi lebih awal dibandingkan pada wanita. Onset
puncak pada laki-laki terjadi pada usia 15-25 tahun sedangkan pada wanita terjadi
pada usia 25-35 tahun. Skizofrenia jarang terjadi pada penderita berusia kurang
dari 10 tahun atau lebih dari 50 tahun. Pengobatan skizofrenia pada penderita
yang berusia antara 15-55 tahun kira-kira hanya sebanyak 90%. Individu yang
didiagnosis dengan skizofrenia 60-70% tidak pernah menikah. Penderita
skizofrrenia 25-50% berusaha untuk bunuh diri dan 10% nya berhasil melakukan
bunuh diri.
[1]

4. Etiologi
1. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model
ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan
stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.
[3]



Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (misal
kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya
dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stress
psikososial , dan trauma.
[3]
2. Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya
kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui
bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan
munculnya simptom skizofrenia.
[3]

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat
seseorang menjadi patologis, yaitu sistem limbik, korteks frontal, cerebellum dan
ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi
pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain.
Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan
neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan
stressor lingkungan dan sosial.
[3]

Hipotesa Dopamin
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, turunnya
nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamin, atau kombinasi dari faktor-
faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :
a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.
b. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik seperti amfetamin dapat
menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.
[3, 4]
3. Faktor Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara bermakna,
kompleks dan poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah
(konsanguinitas), skizofrenia adalah gangguan yang bersifat keluarga (misalnya;
terdapat dalam keluarga). Semakin dekat hubungan kekerabatan semakin tinggi
risiko. Pada penelitian anak kembar, kembar monozigot mempunyai risiko 4-6


kali lebih sering menjadi sakit bila dibandingkan dengan kembar dizigot.
Penelitian pada kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa kembar
yang diasuh oleh orang tua angkat mempunyai skizofrenia dengan kemngkinan
yang sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua
kandungnya.
Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh
lingkungan. Untuk mendukung lebih lanjut dasar genetika adalah pengamatan
bahwa semakin parah skizofrenia, semakin mungkin kembar adalah sama-sama
menderita gangguan. Satu penelitian yang mendukung model diatesis-stres
menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi yang kemudian
menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh keluarga yang tidak sesuai
secara psikologis.
[3, 4]

Populasi Prevalensi (%)
Populasi umum 1,0
Bukan saudara kembar pasien skizofrenik 8,0
Anak dengan satu orang tua skizofrenik 12,0
Kembar dizigotik pasien skizofrenik 12,0
Anak dari kedua orang tua skizofrenik 40,0
Kembar monozigotik pasien skizofrenik 47,0
4. Faktor Psikososial
4.1 Teori Tentang I ndividu Pasien
a. Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi
perkembangan, yang muncul lebih awal daripada gangguan neurosis. Menurut
Freud, kerusakan ego (ego defect) memberikan kontribusi terhadap munculnya
simptom skizofrenia. Disintegrasi ego yang terjadi pada pasien skizofrenia
merepresentasikan waktu dimana ego belum atau masih baru terbentuk.
[3]

Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta kerusakan
ego yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang buruk-turut
memperparah simptom skizofrenia.
[3]
Harry Stack Sullivan mengatakan bahwa
gangguan skizofrenia disebabkan oleh kesulitan interpersonal yang terjadi


sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan apa yang disebutnya pengasuhan
ibu yang salah, yaitu cemas berlebihan.
[3]

Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang skizofrenia,
kerusakan ego mempengaruhi interpretasi terhadap realitas dan kontrol terhadap
dorongan dari dalam, seperti seks dan agresi. Gangguan tersebut terjadi akibat
distorsi dalam hubungan timbal balik ibu dan anak.
[3]

Berbagai simptom dalam skizofrenia memiliki makna simbolis bagi masing-
masing pasien. Misalnya fantasi tentang hari kiamat mungkin mengindikasikan
persepsi individu bahwa dunia dalamnya telah hancur. Halusinasi mungkin
merupakan substitusi dari ketidakmampuan pasien untuk menghadapi realitas
yang obyektif dan mungkin juga merepresentasikan ketakutan atau harapan
terdalam yang dimilikinya.
[3]

b. Teori Psikodinamik
Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan psikodinamik
setelahnya lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus.
Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase
perkembangan selama masa kanak-kanak dan mengakibatkan stress dalam
hubungan interpersonal.
[3]

Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif diasosiasikan dengan
onset akut sebagai respon terhadap faktor pemicu/pencetus, dan erat kaitannya
dengan adanya konflik. Simptom negatif berkaitan erat dengan faktor biologis,
dan karakteristiknya adalah absennya perilaku/fungsi tertentu. Sedangkan
gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat konflik
intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang
mendasar.
[3]

Tanpa memandang model teoritisnya, semua pendekatan psikodinamik
dibangun berdasarkan pemikiran bahwa simptom-simptom psikotik memiliki
makna dalam skizofrenia. Misalnya waham kebesaran pada pasien mungkin
timbul setelah harga dirinya terluka. Selain itu, menurut pendekatan ini, hubungan
dengan manusia dianggap merupakan hal yang menakutkan bagi pengidap
skizofrenia.
[3]



c. Teori Belajar
Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa kanak-kanak
ia belajar pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan cara pikir yang tidak
rasional dengan meniru dari orangtuanya, yang sebenarnya juga memiliki masalah
emosional.
[3]
4.2 Teori Tentang Keluarga
Beberapa pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami
nonpsikiatrik berasal dari keluarga dengan disfungsi, yaitu perilaku keluarga yang
patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus
dihadapi oleh pasien skizofrenia. Antara lain:
Double Bind
Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk menjelaskan
keadaan keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari
orangtua berkaitan dengan perilaku, sikap maupun perasaannya. Akibatnya anak
menjadi bingung menentukan mana pesan yang benar, sehingga kemudian ia
menarik diri kedalam keadaan psikotik untuk melarikan diri dari rasa konfliknya
itu.
[3]

Schims and Skewed Families
Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat perpecahan
yang jelas antara orangtua, salah satu orangtua akan menjadi sangat dekat dengan
anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga Skewed,
terjadi hubungan yang tidak seimbang antara anak dengan salah satu orangtua
yang melibatkan perebutan kekuasaan antara kedua orangtua, dan menghasilkan
dominasi dari salah satu orangtua.
[3]

Pseudomutual and Pseudohostile Families
Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-suppress ekspresi
emosi dengan menggunakan komunikasi verbal
yang pseudomutual atau pseudohostile secara konsisten. Pada keluarga tersebut
terdapat pola komunikasi yang unik, yang mungkin tidak sesuai dan menimbulkan
masalah jika anak berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
[3]





Ekspresi Emosi
Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap kritis, kejam dan
sangat ingin ikut campur urusan pasien skizofrenia. Banyak penelitian
menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (dalam hal apa yang
dikatakan maupun maksud perkataan) meningkatkan tingkat relapse pada pasien
skizofrenia.
[3]

4.3 Teori Sosial
Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak
berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data pendukung,
namun penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu
timbulnya onset dan keparahan penyakit.
[3]
5. GEJALA KLINIS
Gejala yang tampak dari suatu skizofrenia dibagi dalam 5 dimensi, yaitu:
1. Simptom positif
Simptom positif menggambarkan fungsi normal yang berlebihan dan khas,
meliputi waham, halusinasi, disorganisasi pembicaraan, dan disorganisasi perilaku
seperti katatonia atau agitasi.
2. Simptom negatif
Simptom negatif terdiri dari 5 tipe gejala, yaitu:
a. Affective Flattening
Ekspresi emosi yang terbatas, dalam rentang dan intensitas.
b. Alogia
Keterbatasan pembicaraan dan pikiran, dalam kelancaran dan produktivitas.
c. Avolition
Keterbatasan perilaku dalam menentukan tujuan.
d. Anhedonia
Berkurangnya minat dan menarik diri dari seluruh aktifitas yang menyenangkan
dan biasa dilakukan oleh penderita.
e. Gangguan atensi
Suatu gejala dapat dikatakan simptom negatif apabila ditemukan adanya
penurunan fungsi normal pada skizofrenia seperti afek tumpul, penarikan emosi
(emotional withdrawal) dalam berkomunikasi, hubungan yang buruk dengan


lingkungan sekitarnya, bersikap menjadi lebih pasif, dan menarik diri dari
hubungan sosial.
Hal lain yang sering tampak dari simptom negatif adalah kesulitan dalam
berpikir abstrak, pikiran yang streotipik dan kurangnya spontanitas. Perawatan diri
dan fungsi sosial yang menurun juga dapat menjadi tanda dari simptom negatif
pada penderita skizofrenia.
3. Simptom kognitif
Simptom kognitif dapat saling tumpang tindih dengan simptom negatif, selain
gangguan pikiran dapat juga terjadi inkoheren, asosiasi longgar, atau neologisme.
Gangguan kognitif spesifik yang lain adalah gangguan atensi dan gangguan
pengolahan informasi. Gangguan kognitif yang paling berat dan paling sering
didapatkan pada penderita skizofrenia adalah:
Gangguan verbal fluency (kemampuan untuk mengsilkan pembicaraan yang
spontan)
Gangguan serial learning (urutan peristiwa)
Gangguan dalam vigilance (kewaspadaan)
Gangguan eksekutif (masalah dengan atensi, konsentrasi, prioritas dan perilaku
pada hubungan sosial)
4. Simptom agresif dan hostile
Simptom agresif dan hostilitas pada penderita skizofrenia dapat tumpang tindih
dengan simptom positif. Simptom ini menekankan pada pengendalian impuls.
Hostilitas dapat berupa penyerangan secara fisik atau verbal terhadap orang lain di
lingkungan sekitarnya, maupun dalam bentuk fisik maupun kata-kata yang kasar.
Termasuk juga perilaku yang mencelakakan diri sendiri (suicide), merusak barang
orang lain, atau seksual acting out.
5. Simptom depresi dan anxious
Seringkali didapatkan bersamaan dengan smptom lain seperti mood yang
terdepresi, mood cemas, rasa bersalah (guilt), tension, irritabilitas, atau
kecemasan.
[1]
6. DIAGNOSIS KLINIS
Kriteria diagnostik menurut PPDGJ III (F 20) :


Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) - Thought echo : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kulitasnya berbeda; atau
- Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar (withdrawal); dan
- Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
(b) - delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- delusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya: secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus);
- delusional perception: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :


(a) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
(b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan,
atau neologisme;
(c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(d) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.
[5]

Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan
kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe
tidak terinci (Undifferentiated). Kriteria diagnostik menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
atau katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
[5]

Kriteria diagnostik skizofrenia menurut DSM IV-TR:


A. Terdapat 2 atau lebih gejala di bawah ini selama satu bulan atau kurang dari
sebulan jika pengobatan berhasil.
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara disorganisasi
4. Perilaku disorganisasi atau katatonik yang jelas
5. Simptom negatif contohnya afek datar, alogia, atau avolition
Dapat hanya 1 gejala bila dijumpai waham bizarre atau halusinasi dengar berupa
mengomentari perilaku pasien (commentary) atau dua atau lebih suara yang
berbicara (voices conversing).
B. Disfungsi sosial atau pekerjaan
C. Durasi : gangguan terus menerus selama 6 bulan disingkirkan gangguan
skizoafektif dan gangguan mood
D. Disingkirkan gangguan penggunaan zat atau kondisi medis umum
E. Jika terdapat gangguan perkembangan pervasif, diagnosis tambahan
skizofrenia dibuat bila waham dan halusinasi menonjol
Menurut DSM IV-TR skizofrenia tipe tidak terinci merupakan suatu tipe
skizofrenia di mana ditemukan gejala yang memenuhi kriteria A, tetapi tidak
memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi atau katatonik.



7. DIAGNOSIS BANDING
Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika psikosis
atau katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau diakibatkan oleh
suatu zat, diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik akibat kondisi
medis umum, atau gangguan katatonia akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari
banyak kondisi medis nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam perjalanan penyakit,
seringkali sebelum perkembangan gejala lain. Dengan demikian klinisi harus
mempertimbangkan berbagai macam kondisi medis nonpsikiatrik di dalam


diagnosis banding psikosis, bahkan tanpa adanya gejala fisik yang jelas. Pada
umumnya, pasien dengan gangguan neurologis mempunyai lebih banyak tilikan
pada penyakitnya dan lebih menderita akibat gejala psikiatriknya daripada pasien
skizofrenik, suatu kenyataan yang dapat membantu klinisi untuk membedakan
kedua kelompok tersebut.
[3]

Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga pedoman
umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama, klinisi harus cukup
agresif dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan
adanya gejala yang tidak lazim atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat
kesadaran. Kedua, klinisi harus berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga
yang lemgkap, termasuk riwayat gangguan medis, neurologis, dan psikiatrik.
Ketiga, klinisi harus mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis
nonpsikiatrik, bahkan pada pasien dengan diagnosis skizofrenia sebelumnya.
Seorang pasien skizofrenia mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita
tumor otak yang menyebabkan gejala psikotik dibandingkan dengan seorang
pasien skizofrenik.
[3]

Berpura-pura dan Gangguan buatan
Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu diagnosis
yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi sebenarnya tidak
menderita skizofrenia. Orang telah menipu menderita skizofrenia dan dirawat dan
diobati di rumah sakit psikiatrik. Orang yang secara lengkap mengendalikan
produksi gejalanya mungkin memenuhi diagnosis berpura-pura (malingering);
pasien tersebut biasanya memilki alasan finansial dan hukum yang jelas untuk
dianggap gila. Pasien yang kurang mengendalikan pemalsuan gejala psikotiknya
mungkin memenuhi diagnosis suatu gangguan buatan (factitious disorder). Tetapi,
beberapa pasien dengan skizofrenia seringkali secara palsu mengeluh suatu
eksaserbasi gejala psikotik untuk mendapatkan bantuan lebih banyak atau untuk
dapat dirawat di rumah sakit.
[3]

Gangguan Psikotik Lain
Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan yang
terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan gangguan
skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia karena memiliki


lama (durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi kurang daripada enam
bulan. Gangguan psikotik berlangsung singkat adalah diagnosis yang tepat jika
gejala berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan jika
pasien tidak kembali ke tingkat fungsi pramorbidnya. Gangguan skizoafektif
adalah diagnosis yang tepat jika sindroma manik atau depresif berkembang
bersama-sama dengan gejala utama skizofrenia.
[3]

Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak aneh
(nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala
skizofrenia lainnya atau suatu gangguan mood.
[3]

Gangguan Mood
Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi penting
karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan depresi.
Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relatif singkat terhadap lama
gejala primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan status mental,
klinisi harus menunda diagnosis akhir atau harus menganggap adanya gangguan
mood, bukannya membuat diagnosis skizofrenia secara prematur.
[3]


Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu ciri skizofrenia;
gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang adalah gangguan
kepribadian dengan gejala yang paling mirip. Gangguan kepribadian, tidak seperti
skizofrenia, mempunyai gejala yang ringan, suatu riwayat ditemukannya
gangguan selama hidup pasien, dan tidak adanya onset tanggal yang dapat
diidentifikasi.
[3]

8. TERAPI
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :
1. Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang mempunyai
sifat individual, keluarga, dan sosial psikologis yang unik.
2. Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar
monozigotik adalah 50% telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk


menyarankan bahwa faktor lingkungan dan psikologis yang tidak diketahui tetapi
kemungkinan spesifik telah berperan dalam perkembangan gangguan.
3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan
terapeutik tunggal jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan
gangguan yang memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat
perbaikan klinis.
[3]

Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :
1. Untuk tujuan diagnostik.
2. Menstabilkan medikasi.
3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.
4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.
5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien dan
sistem pendukung masyarakat.
[3]

Sejak diperkenalkan diawal tahun 1950-an medikasi antipsikotik telah
menyebabkan revolusi dalam pengobatan skizofrenia. Tetapi, antipsikotik
mengobati gejala gangguan dan bukan suatu penyembuhan skizofrenia.
[3]

Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung
pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat
jalan.
[3]

Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan
hubungan sosial.
[3]

Terapi Somatik
Antipsikotik
Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua
kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonist
(DRA) atau antipsikotika generasi I (APG-I) dan serotonin-dopamine antagonist


(SDA) atau antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga
antipsikotika konvensional atau tipikal sedangkan APG-II disebut juga
antipsikotik baru atau atipikal.
[4]

a) Antipsikotik atipikal
Penemuan dari klorpromazin pada 1950 mengubah dengan cepat
pengobatan skizofrenia. Klorpromazin dan yang serupa dengan antipsikotik
menurunkan simptom positif dari skizofrenia, tetapi efek terbatas simptom negatif
(affective Flattening, alogia, avolition, anhedonia, gangguan atensi) atau
gangguan kognitif dan mood.
[6]

Keefektifan dari obat neuroleptik menjadi lebih baik pada simptom positif dari
skizofrenia. Generasi pertama dari obat-obat ini dinamakan neuroleptik karena
memberikan efek samping neurologis seperti catalepsy pada tikus percobaan dan
EPS pada manusia. Efek sekundernya mampu menurunkan aktivitas
dopaminergik yang sesuai untuk memblok dari reseptor D2. Dengan pemberian
yang berkepanjangan (7-21 hari) menginaktifasi dari mesolimbik dan
mesokortikal DA neuron (yang mana bermula dari ventral tegmentum) dan
substansia nigra DA neuron yang mungkin mengkontribusi efek anti psikotik dan
EPS secara berturut-turut. Dengan pengecualian dari pengganti benzamide, seperti
sulpiride dan amisulpiride, yang highly selective D2 receptor antagonist, obat ini
juga afinitas variabel untuk mengikat reseptor neurotransmitter lainnya. Karena
kemiripan dari mekanisme dasar.
[6]

Lebih dari 70% pasien dengan skizofrenia (dan gangguan psikotik lainnya)
perbaikan signifikan pengalaman klinis dari gejala positif dan disorganisasi ketika
diobati dengan obat ini selama 4-6 minggu dengan tepat dosis. Pilihan obat
neuroleptik tipikal untuk digunakan dasar pertimbangan variasi, termasuk
availabilitas dari persiapan long acting. Obat Low-potency (dosis yang biasa
diberikan 300mg/hari atau lebih seperti klorpromazin, thioridazin, mesoridazin)
lebih sedatif dan lebih hipotensi daripada High-potency seperti haloperidol dan
fluphenazin. Obat yang terakhir lebih menghasilkan EPS daripada Low-potency.
Low - High Potency menurunkan agitasi dan perilaku agresif.
[6]

Obat high-potency seperti haloperidol dan fluphenazin sering menjadi pengobatan
pilihan. Jika EPS terjadi obat anti kolinergik seperti benztropin, biperiden, atau


trihexyphenidyl mungkin digunakan atau diganti ke medium-potency
(trifluoperazin) atau obat yang low-potency (thioridazine). Salah satu dari atipikal
antipsikotik (clozapin, olanzapin, risperidon, serindole, ziprasidone) mungkin
pilihan pengobatan terutama jika pasien sensitif EPS.
[6]

Afinitas obat antipsikotik pada D
2,
5-HT
2A
, dan reseptor muskarinik adalah yang
menentukan kecenderungan untuk penyakit EPS. Afinitas reseptor D
2
meramalkan level kerentanan terhadap EPS. Peningkatan serum prolaktin dan
sedatif dan hipotensi efek samping histaminergik (H
1
) dan adrenergik (
2
) reseptor
antagonis. Efek samping yang lain dari atipikal neuroleptik seperti ginekomasti,
impotensi, dan amenorrhea juga dari blokade DA. Peningkatan berat badan pada
blokade reseptor 5-HT
2c
dan H
1
. Efek hematologi, jaundice, efek pada jantung,
fotosensitifitas, dan retinitis hasil dari efek toksik pada target jaringan spesifik.
[6]
b) Antipsikotik atipikal
Clozapine
Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum diketahui
secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D
2
tetapi
merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D
4
dan mempunyai aktivitas
antagonis pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek
samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks darah.
Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive
diskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai
dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.
[3]
Risperidone
Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada
reseptor serotonin tipe 2 (5-HT
2
) dan pada reseptor dopamine tipe 2 (d
2
).
Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena
kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis
reseptor dopaminergik yang tipikal.
[3]

Prinsip-Prinsip Terapetik
1. Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati
2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien
harus digunakan lagi.


3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu pada
dosis yang adekuat.
4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah
jarang diindikasikan.
5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang
diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.
[3]

Pemeriksaan Awal
Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang cukup
singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa
melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada
pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah lengkap dengan indeks sel darah
putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita yang berusia lebih dari 40
tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun.
[3]

Kontraindikasi Utama Antipsikotik:
[3]

1. Riwayat respon alergi yang serius
2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi
dengan antipsikotik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat.
3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organik atau idiopatik.
4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antipsikotik dengan
aktivitas antikolinergik yang bermakna.
Kegagalan Pengobatan
1. Ketidakpatuhan dengan antipsikotik merupakan alasan utama untuk terjadinya
relaps dan kegagalan percobaan obat.
2. Waktu percobaan yang tidak mencukupi.
Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi
antipsikotik, dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang
berbeda dari obat yang pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi
antipsikotik dengan lithium (eskalith), suatu antikonvulsan seperti carbamazepine
atau valproate (depakene), atau suatu benzodiazepine. Pemakaian terapi
antipsikotik dosis-mega jarang diindikasikan, karena hampir tidak ada data yang
mendukung praktek tersebut.
[3]

Obat Lain


Lithium
Efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada sampai 50 persen
pasien dengan skizofrenia dan merupakan obat yang beralasan untuk dicoba pada
pasien yang tidak mampu menggunakan medikasi antipsikotik.
[3]

Antikonvulsan
Carbamazepine dan valproat dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam
kombinasi dengan lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun tidak terbukti efektif
dalam menurunkan gejala psikotik pada skizofrenia, namun jika digunakan
sendiri-sendiri mungkin efektif dalam menurunkan episode kekerasan pada
beberapa pasien skizofrenia.
[3]

Benzodiazepin
Pemakaian bersama-sama alprazolam (xanax) dan antipsikotik bagi pasien yang
tidak berespo terhadap pemberian antipsikotik saja, dan pasien skizofrenia yang
berespon terhadap dosis tinggi diazepam (valium) saja. Tetapi keparahan psikosis
dapat di eksaserbasi setelah putus dari benzodiazepine.
[3]

Terapi Somatik Lainnya
Elektrokonvulsif ( ECT ) dapat diindikasikan pada pasien katatonik dan bagi
pasien yang karena suatu alasan tidak dapat menggunakan antipsikotik (kurang
efektif). Pasien yang telah sakit selama kurang dari satu tahun adalah yang paling
mungkin berespon.
[3]

Terapi Psikososial
Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial
untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri,
latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong
dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan.
Dengan demikian frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang dapat
diturunkan.
[3]

Latihan Keterampilan Perilaku (Behavioral Skills Trainning)
Sering dinamakan terapi keterampilan sosial (social skills therapy). Terapi ini
dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan
tambahan alami bagi terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan


penggunaan kaset video orang lain dan pasien permainan simulasi (role playing)
dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan.
[3]

Terapi Berorientasi Keluarga
Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi
dan menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah
memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada
pemecahan masalah secara cepat. Setelah periode pemulangan segera, topik
penting yang dibahas dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya
lama dan kecepatannya.
[3]

9. PROGNOSIS
Dahulu bila diagnosis skizofrenia dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada
harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan
menuju ke kemunduran mental (deteriorasi mental). Dan bila seorang dengan
skizofrenia kemudian menjadi sembuh, maka diagnosanya harus diragukan.
Sekarang dengan pengobatan modern ternyata, bahwa bila penderita itu datang
berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga
dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery). Sepertiga
yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat
sedikit dan mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social
recovery). Yang sisanya biasanya mempunyai prognosa yang jelek, mereka tidak
dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kemunduran mental, sehingga
mungkin menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa.
[7]
Untuk menetapkan prognosa kita harus mempertimbangkan semua faktor di
bawah ini:
[1, 3, 7, 8]

Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat Onset muda
Onset akut Onset berlahan-lahan & tidak
jelas
Faktor pencetus jelas Tidak ada faktor pencetus
Riwayat sosial, seksual,
pekerjaan, dan pramorbid yang
baik
Riwayat sosial, seksual,
pekerjaan, dan pramorbid yang
buruk


Gejala gangguan mood (terutama
gangguan depresi)
Perilaku menarik diri atau autistik
Telah menikah Tidak menikah, bercerai, atau
janda/duda
Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia
Sistem support yang baik Sistem support yang buruk
Gejala positif Gejala negatif atau tanda dan
gejala neurologis
Riwayat trauma masa perinatal
Riwayat skizofrenia sebelumya
10. KESIMPULAN
Skizofrenia mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata
0,85%). Dengan angka insidens 1 per 10.000 orang per tahun. Namun prevalensi
untuk skizofrenia tipe tak terinci belum ada literatur yang menjelaskan.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang akan membebani
masyarakat sepanjang hidup penderita, dikarakteristikkan dengan disorganisasi
pikiran, perasaan, dan perilaku.
Etiologi skizofrenia:
- Model Diatesis-stres
- Neurobiologi
- Genetika
- Faktor Psikososial
Skizofrenia tipe tidak terinci (Undifferentiated). Kriteria diagnostik menurut
PPDGJ III yaitu:
o Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
o Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
o Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
Kriteria menurut DSM-IV:


Terdapat 2 atau lebih gejala waham, halusinasi, bicara disorganisasi, perilaku
disorganisasi atau katatonik yang jelas, dan simptom negatif selama satu bulan
atau kurang dari sebulan jika pengobatan berhasil, tetapi tidak memenuhi kriteria
untuk tipe paranoid, terdisorganisasi atau katatonik
Diagnosis banding skizofrenia:
- Gangguan mood
- Gangguan kepribadian
- Gangguan psikotik lainnya
- Gangguan psikotik sekunder dan akibat obat
Penatalaksanaan skizofrenia:
- Perawatan rumah sakit
- Terapi somatik (antipsikotik)
- Terapi psikososial
Prognosis : tergantung dari berbagai faktor, antara lain : onset, faktor pencetus,
riwayat keluarga, sistem pendukung, gejala, riwayat sosial, seksual,dll



DAFTAR PUSTAKA
1. Sinaga, B.R., Skizofrenia & Diagnosis Banding. 2007, Jakarta: Balai Penerbit
FK-UI.
2. Anonymous. Skizofrenia. 4 September 2011 [cited 2011 17 September];
Available from: http://www.news-medical.net/health/Schizophrenia.aspx.
3. Harold I. Kaplan, M.D., M.D. Benjamin J. Saddock, and M.D. Jack A. Grebb,
Skizofrenia. 7 ed. Sinopsis Psikiatri, ed. D.I.M.W. S. Vol. 1. 2001, Jakarta:
Universitas Trisakti.
4. Amir, N., Buku Ajar Psikiatri. Skizofrenia, ed. S.D. Elvira and G. Hadisukanto.
2010, Jakarta: Badan Penerbit FKUI.


5. Maslim, D.R., Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
2001, Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
6. Ebert, M.H., P.T. Loosen, and B. Nurcombe, Current Diagnosis & Treatment
in Psychiatry, E.L. Ebert, Editor. 2007, The McGraw-Hill Companies: Tennessee.
7. Maramis, W.F., Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2005, Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.
8. Kupfer, D.J., et al., Oxford American Handbook of Psychiatry, D.J.H. Kupfer,
Michelle S.; Brent, David A.; Lewis, David A.; Reynolds, Charles F.; Thase,
Michael E.; Travis, Michael J.; Semple, David; Smyth, Roger; Burns, Jonathan;
Darjee, Rajan; McIntosh, Andrew, Editor. 2008, Oxford University Press: United
Kingdom.








BAGIAN PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
REFERAT & LAPORAN KASUS
SEPTEMBER 2011
REFERAT
SKIZOFRENIA TAK TERINCI (UNDIFFERENTIATED) [F 20.3]
LAPORAN KASUS
SKIZOFRENIA PARANOID [F 20.0]



OLEH :
Andi Farras Wati (110207041)

PEMBIMBING :
dr. Nur Eddy

SUPERVISOR :
dr. H. M. Faisal Idrus Sp. KJ (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2011
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini
Nama : Andi Farras Wati
Stambuk : 110207041
Telah menyelesaikan tugas referat SKIZOFRENIA TAK TERINCI
(UNDIFFERENTIATED) [F 20.3] dan laporan kasus SKIZOFRENIA
PARANOID [F 20.0] dalam rangka kepaniteraan klinik bagian psikiatri




Makassar , September 2011

Pembimbing, Supervisor,



( dr. Nur Eddy ) ( dr. H. M. Faisal Idrus, Sp. KJ (K) )









DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
1. Pendahuluan ............................................................................................. 1
2. Definisi .................................................................................................. 2
3. Epidemiologi ............................................................................................ 3
4. Etiologi .................................................................................................. 3
5. Gejala Klinis ............................................................................................... 9


6. Diagnosis Klinis ......................................................................................... 10
7. Diagnosis Banding ..................................................................................... 14
8. Terapi 16
9. Prognosis .................................................................................................. 22
10. Kesimpulan ............................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25
LAMPIRAN
















Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang
lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita
penyakit medis lainnya. Hal ini tampak jelas dialami oleh penderita skizofrenia,
mereka sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya perlakuan
kekerasan, diasingkan, diisolasi, atau dipasung. Ini mungkin disebabkan karena
ketidaktahuan atau pengertian yang salah dari keluarga atau anggota masyarakat
mengenai skizofrenia. Masyarakat pada umumnya mengesampingkan bahwa
perubahan pada seseorang yang menderita skizofrenia berhubungan dengan
kepribadiannya yang terpecah, tetapi masyarakat lebih menekankan kepada
penderita bahwa mereka adalah orang yang sangat berbahaya bagi lingkungan


sekitarnya. Skizofrenia bukan masalah psikologis semata, ini merupakan
gangguan jiwa yang harus dutangani dengan tepat dan benar. Hal ini akan
mempengaruhi perasaan, pikiran, perilaku, pergerakan, pembicaraan, inisiatif,
pekerjaan dan kehidupan sosial dari penderita. Akibat kurangnya pengetahuan
mengenai skizofrenia, menyebabkan timbulnya pengertian yang salah baik di
pihak keluarga maupun lingkungan sekitar sehingga penanganannya menjadi lebih
lama disebabkan kebingungan keluarga dalam mencari bantuan yang tepat.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan penyakit ini mungkin berhubungan dengan
penatalaksanaan yang tidak adekuat dan fasilitas perawatan yang tidak memadai.
Onset yang timbul pertama kali pada skizofrenia sering ditemukan pada usia
remaja atau dewasa muda, perjalanan penyakit yang kronik dan tidak sembuh. Hal
ini menyebabkan penderita sering dianggap menjadi beban dan kurang berguna
bagi masyarakat. Beban ekonomi dan penderitaan yang harus ditanggung oleh
penderita skizofrenia ternyata sangat besar, besarnya biaya yang harus
dikeluarkan baik secara langsung untuk membeli obat-obatan dan biaya
perawatan, maupun secara tidak langsung seperti hilangnya pendapatan pasien,
waktu yang diberikan oleh care-givers untuk penderita, serta penderitaan yang
dialami oleh pasien dan pihak keluarga.
[1]

Psikosis dapat terjadi ketika seseorang kehilangan kemampuannya untuk
membedakan apakah yang diaalaminya itu pengalaman yang berdasarkar realita
atau bukan. Suatu gangguan sudah dapat dikatakan psikosis apabila terdapat
gejala berupa waham atau halusinasi. Gangguan yang termasuk ke dalam
kelompok psikosis adalah skizofrenia, skizofreniform, skizoafektif, gangguan
waham, brief psikotik disorder, psikotik terbagi atau folie adeux, dan psikotik
karena kondisi medis umum atau zat. Sedangkan gangguan yang berhubungan
dengan gambaran psikotik adalah mania, depresi, gangguan kognitif, demensia.
dikarakteristikkan dengan disorganisasi pikiran, perasaan, dan perilaku.
Seseorang yang menderita skizofrenia akan mengalami gangguan dalam
pembicaraan yang terstruktur, proses atatu isi pikir dan gerakan serta akan
tergantung pada orang lain selama hidupnya.

Você também pode gostar