Você está na página 1de 15

Nama : Audrey Witari

NIM : 04111001060
FK UNSRI 2011 (L2)
Skenario A

Analisis Masalah
1. Apa etiologi dan mekanisme dari demam tinggi terus menerus?
Jawab:
Etiologi dari demam tinggi terus menerus berdasarkan dari klasifikasi demam adalah:
Demam remiten atau demam tifoid yaitu demam dimana naik turun suhu rentang 1
derajat celcius, akan tetapi penurunannya tidak pernah mencapai suhu normal.
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi Salmonella sp.Selama terjadi infeksi, kuman
tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah.
Demam intermiten atau demam malaria yaitu demam dimana naik turun suhu busa
mencapai batas normal disertai dengan menggigil, anemia sekunder dan
splenomegali. Demam malaria disebabkan oleh
Demam kontinyu atau demam pneumonia yaitu demam yang terjadi terus menerus
dan disebabkan oleh infeksi bakteri.
Demam bifasik atau demam berdarah yaitu demam dengan bentuk pelana kuda.
Demam Pel-Ebstein atau penyakit Hodgkin yaitu demam lama 1 minggu diselingi
dengan periode tidak demam dengan jumlah hari yang sama, dan siklus berulang.
Demam tinggi terus menerus tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
Pada kasus ini demam terjadi terus menerus selama 4 hari. Tidak adanya menggigil
menunjukkan bahwa kasus ini bukan malaria. Ketika tubuh bereaksi adanya pirogen atau
patogen. Pirogen akan diopsonisasi (harfiah=siap dimakan) komplemen dan difagosit
leukosit darah, limfosit, makrofag (sel kupffer di hati). Proses ini melepaskan sitokin,
diantaranya pirogen endogen interleukin-1 (IL-1), IL-1, 6, 8, dan 11, interferon 2 dan
, Tumor nekrosis factor TNF (kahektin) dan TNF (limfotoksin),macrophage
inflammatory protein MIP1. Sitokin ini diduga mencapai organ sirkumventrikularotak yang
tidak memiliki sawar darah otak. Sehingga terjadi demam pada organ ini atau yang
berdekatan dengan area preoptik dan organ vaskulosa lamina terminalis (OVLT) (daerah
hipotalamus) melalui pembentukan prostaglandin PGE.
Ketika demam meningkat (karena nilai sebenarnya menyimpang dari set level yang tiba-tiba
neningkat), pengeluaran panas akan dikurangi melalui kulit sehingga kulit menjadi dingin
(perasaan dingin), produksi panas juga meningkat karena menggigil (termor). Keadaan ini
berlangsung terus sampai nilai sebenarnya mendekati set level normal (suhu normal). Bila
demam turun, aliran darah ke kulit meningkat sehingga orang tersebut akan merasa
kepanasan dan mengeluarkan keringat yang banyak.
Pada mekanisme tubuh alamiah, demam bermanfaat sebagai proses imun. Pada proses ini,
terjadi pelepasan IL-1 yang akan mengaktifkan sel T. Suhu tinggi (demam) juga berfungsi
meningkatkan keaktifan sel T dan B terhadap organisme patogen. Konsentrasi logam dasar di
plasma (seng, tembaga, besi) yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri dikurangi.
Selanjutnya, sel yang rusak karena virus, juga dimusnahkan sehinga replikasi virus dihambat.
Namun konsekuensi demam secara umum timbul segera setelah pembangkitan demam
(peningkatan suhu). Perubahan anatomis kulit dan metabolisme menimbulkan konsekuensi
berupa gangguan keseimbangan cairan tubuh, peningkatan metabolisme, juga peningkatan
kadar sisa metabolism, peningkatan frekuensi denyut jantung (8-12 menit/C) dan
metabolisme energi. Hal ini menimbulkan rasa lemah, nyeri sendi dan sakit kepala,
peningkatan gelombang tidur yang lambat (berperan dalam perbaikan fungsi otak), pada
keadaan tertentu demam menimbulkan gangguan kesadaran dan persepsi (delirium karena
demam) serta kejang.
2. Apa makna klinis dari tidak ada riwayat mimisan?
Jawab:
Hal ini menunujukkan bahwa sebelum terjadi kasus, Budi berada dalam kondisi sehat
(normal). Tidak adanya riwayat mimisan (epistaksis) dimana terjadi pecahnya pembuluh
darah kecil, menunjukkan bahwa pecahnya pembuluh darah bukan disebabkan karena
pendarahan kronik, infeksi lokal, trauma, tumor, penyakit kardiovaskuler, infeksi sistemik,
perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal maupun kelainan kongenital. Mimisan pada
kasus disebabkan oleh trombositopenia yang umum terjadi pada penderita DBD.
3. Bagaimana interpretasi dan mekanisme pemeriksaan fisik kepala: konjungtiva tidak
pucat dan nafas cuping hidung (-)?
Jawab:
Pemeriksaan Fisik Normal Interpretasi
Konjungtiva tidak pucat Tidak pucat Normal, menunjukkan bahwa
pendarahan yang terjadi pada kasus
bukan disebabkan oleh pendarahan
kronik atau anemia (bukan malaria).
Nafas cuping hidung (-) Tidak ada Normal, menunjukkan bahwa tidak
adanya respiratory distress pada
kasus.

4. Bagaimana interpretasi dan mekanisme pemeriksaan penunjang leukosit : 2800/mm
3
,
trombosit : 45000/mm
3

Jawab:

Pemeriksaan
Laboratorium
Normal Interpretasi
Leukosit : 2800/mm
3
, 5.000-10.000/ mm
3
Abnormal, menunjukkan bahwa
pendarahan yang terjadi pada kasus
bukan disebabkan oleh pendarahan
kronik atau anemia.
Trombosit : 45000/mm
3


150.000-450.000/ mm
3
Trombositopenia ( 100.000 sel/ mm
3
),
Mekanisme Abnormal :
Trombositopenia pada penderita DBD diduga terjadi akibat peningkatan destruksi
trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregrasi trombosit akibat endotel yang rusak serta
penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang. Penyebab utamanya adalah peningkatan
pemakaian dan destruksi trombosit perifer. Destruksi trombosit diperani oleh aktivasi
komplemen, seperti ikatan antara trombosit dengan fragmen C3g, dan ikata antara trombosit
dan antigen virus Dengue. Ditemukannya kompleks imun dipermukaan trombosit diduga
sebagai penyebab terjadinya agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh
sistem retikuoendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Autoantibodi antitrombosit dari
kelas/isotipe IgM terdeteksi dalam level yang tinggi dalam sera dari pasien DBD selama fase
akut. Autoantibodi tersebut masih dapat dideteksi setelah fase konvalense (1-3 minggu
setelah fase akut) dan bahkan 8 sampai 9 bulan setelah sakit. Autoantibodi semacam ini tidak
terdeteksi pada pasien pasien yang terinfeksi virus selain virus dengue. Investigasi
selanjutnya membuktikan bahwa autoantibodi dalam serum dapat memnyebabkan terjadinya
lisis dari trombosit jika terdapat komplemen.

Respon imun individu akibat teraktivasi virus Dengue dapat memberikan dampak
positif berupa penghancuran virus atau sebaliknya justru memberikan dampak negatif yang
berakhir dengan jejas dan kematian pada endotel melalui peran sitokin. Jenis sitokin yang
memegang peran penting dalam perjalanan penyakit akibat virus Dengue adalah TNF-, IL-
1B, IL-6, dan IFN-. Dalam keadaan normal, trombosit dalam sirkulasi tidak melekat pada
sel-sel endotel resting, akan tetapi jika terjadi injury vaskuler, trombosit akan melekat dan
menstimulisasi ke sel-sel endotel, dan peran tersebut berperan dalam terjadinya trombosis
dan hemostatis. Terjadinya trombositopenia disebabkan karena banyaknya trombosit yang
melekat pada sel-sel endotel yang terinfeksi oleh virus Dengue. Penurunan jumlah trombosit
selain ditemukan pada DBD dapat juga dtemukan antara lain pada ITP, myeloma multiple,
kanker (tulang, saluran gastrointestinal, otak), leukemia (limfositik, mielositik, monositik),
anemia aplastik, penyakit hati (sirosis, hepatitis aktif kronis), SLE, DIC, eklampsia, penyakit
ginjal, demam rematik akut. Pengaruh obat : antibiotik (kloromisetin, streptomisin),
sulfonamide, aspirin (salisilat), quinidin, quinine, asetazolamid (Diamox), amidopirin,
diuretik tiazid, meprobamat (Equanil), fenilbutazon (Butazolidin), tolbutamid (Orinase),
injeksi vaksin, agen kemoterapeutik, dan lain-lain.

5. Prognosis pada kasus?
Jawab:
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang
didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50%
pasien dengan syok, tetapi dengan penangan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <
1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan
intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok
berkepanjangan atau pendarahan intrakranial.
Learning Issues
Demam Berdarah Dengue
Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus degue.
Virus dengue merupakan Arbovirus B (Arthropod borne virus), genus Flavivirus, keluarga
Flaviviridae. Virus ini termasuk virus dengan single stranded RNA.

Epidemiologi
Epidemi pertama kali di wilayah Asia Tenggara terjadi pada tahun 1954 di Manila, Philipina.
Selanjutnya secara berangsur angsur menyebar ke negara yang berdekatan. Pada tahun 2005
jumlah kasus DBD di Asia Tenggara cenderung meningkat 19% dan mortalitas meningkat
sekitar 43% dibandingkan tahun 2004 dan Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus
DBD untuk wilayah Asia Tenggara. Sejak ditemukan kasus DBD pada tahun 1968 di Surabaya
dan Jakarta, angka kejadian penyakit DBD meningkat dan menyebar ke seluruh kabupaten di
wilayah Republik Indonesia termasuk kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Timor Timor.
Kasus yang pertama kali dilaporkan dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Kejadian Luar
Biasa (KLB) DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) 35,19 per
100.000 penduduk dan CFR 2%. Epidemi demam berdarah dengue dilaporkan di Provinsi
Sumatera Utara jumlah kasus DBD tahun 2008 sebanyak 4.454 kasus dengan jumlah kasus
meninggal 49 kasus (CFR 1,10%) (IR 34,49) dan jumlah kasus DBD pada tahun 2009 sebanyak
4.534 kasus dengan jumlah kasus yang meninggal 57 kasus (CFR 1,26%).

Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue yang dapat dibedakan menajadi 4 strain yaitu
DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif
terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksilat, stabil pada suhu 70C. Keempat serotipe
telah ditemukan pada pasien-pasien di Indonesia. Dengue 3 merupakan serotype yang paling
banyak beredar.

Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies
yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu
8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada
saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transsovarian transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus
dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan menularkan
virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan masa tunas 4-6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada
nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

Patogenesis

Patogenesis DBD dan sindroma syok dengue (SSD) masih merupakan masalah yang
kontroversial karena sejauh ini belum ada teori yang dapat menjelaskan secara tuntas patogenesis
DBD, namun sesuai perubahan patofisiologi utama yang terjadi yaitu peningkatan permeabilitas
vaskuler dan hemostasis yang abnormal. Permeabilitas vaskuler yang meningkat mengakibatkan
kebocoran plasma, hipovolemi dan syok. Kebocoran plasma dapat menyebabkan asites.
Gangguan homeostasis dapat menimbulkan vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati,
sehingga memunculkan menifestasi perdarahan seperti petekie, ekimosis, perdarahan gusi,
epistaksis, hematemesis dan melena.
Secara garis besar ada dua teori yang banyak dianut untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan SSD yaitu teori infeksi primer/teori virulensi dan teori infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau teori infection enhancing antibody.
Teori pertama mengatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasai virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunai
kemampuan untuk menimbulkan wabah.
Teori tersebut dibuktikan oleh para peneliti di bidang virus yang mencoba memeriksa
sekuens protein virus. Penelitian secara molekular biologi ini mendapatkan hal yang menarik.
Pada saat sebelum KLB (kejadian luar biasa), selama KLB dan setelah reda KLB ternyata
sekuens protein tersebut berbeda.
Teori kedua menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan
satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi jenis virus tersebut untuk jangka
waktu yang lama tetapi jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus
yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di
dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Hipotesis yang banyak dianut adalah infeksi sekunder virus dengue heterolog (the
secondary heterologous infection) dan setelahnya virulensi virus. Infeksi sekunder virus dengue
heterolog dimaksud diperkirakan jika terjadi dalam rentang waktu 5 atau 6 bulan hingga 5 tahun
sejak infeksi primer. Bukti bukti yang mendukung hipotesis ini antara lain, menghilangnya
virus dengue dengan cepat baik dari darah maupun jaringan tubuh, kadar IgG yang tinggi sejak
permulaan sakit, serta penurunan komplemen serum selama fase renjatan.
Pada infeksi sekunder heterolog, virus berperan sebagai super antigen setelah difagosit
oleh manosit atau makrofag, membentuk Ab non-netralising serotipe yang berperan cross-reaktif
serta kompleks Ag-Ab yang mengaktifkan sistem komplemen (terutama C3a dan C5a) dan
histamin. Reaksi sekunder setelah peningkatan replikasi virus intra sel adalah aktivasi sistem
komplemen (C3 dan C5), degranulasi sel mast dan aktivasi sistem kinin.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection
dapat dilihat di yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seseorang pasien, respons limfosit T memori akan
mengakibatkan proliferasi dan diferensiasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi
IgG antidengue. Disamping itu, replikasi dapat juga terjadi dalam plasmosit. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen yang dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah sehingga plasma keluar. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma
dibuktikan dengan adanya peningkatan hematokrit dan penurunan natrium. Akibat pindahnya
plasma ke rongga tubuh seperti pleura dan cavum abdominal dapat menimbulkan efusi pleura
dan asites. Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem
koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah, akhirnya dapat mengakibatkan
perdarahan. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endhothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan penglepasan platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulasi intravaskular
diseminata (KID), sehingga terjadi penurunanfaktor pembekuan yang ditandai dengan
peningkatan FDP (fibrin degradation product). Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan
gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak
berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman
akibatnya terjadi aktivasi faktor Hageman akibatnya terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercapat terjadinya syok. Jadi,
perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat shock yang terjadi.

Gejala Klinis
DBD dapat memperlihatkan berbagai macam gejala antara lain:
Gejala pada penyakit DBD diawali dengan demam mendadak dengan facial flushing dan
gejala-gejala konstitusional non spesifik yang lain seperti anoreksia, lemah, mual,
muntah, sakit perut, diare, sakit kepala (retroorbital pain), nyeri otot, tulang dan sendi.
Beberapa pasien mengeluh sakit tenggorokan, tapi rinitis dan batuk jarang terjadi. Suhu
biasanya tinggi (>39C) dan tetap seperti itu selama 2-7 hari. Kadang-kadang suhu dapat
mencapai 40-41C yang dapat menyebabkan kejang demam pada bayi.
Fenomena perdarahan yang paling umum adalah uji torniquet positif, petekie, ekimosis,
dan purpura. Epistaksis dan perdarahan gingiva jarang terjadi, perdarahan gastrointestinal
dapat dialami selama periode demam.
Hepatomegali (pembesaran hati). Hepar biasanya dapat dipalpasi pertama kali pada fase
demam dan ukurannya bermacam-macam yaitu 2-4 cm dibawah batas kosta. Walaupun
ukuran hepar tidak berkorelasi dengan berat penyakit, pembesaran hepar ditemukan lebih
sering pada kasus syok dari pada non syok.
Limfadenopati pada DBD bersifat generalisata. Tahap kritis dari rangkaian penyakit
didapatkan pada akhir fase demam. Setelah 2-7 hari demam, penurunan cepat suhu sering
diikuti tanda-tanda gangguan sirkulasi. Pasien tampak berkeringat, menjadi gelisah,
ekstremitasnya dingin, dan menunjukkan perubahan pada frekuensi denyut nadi dan
tekanan darah. Pada kasus yang kurang berat, perubahan ini minimal dan sementara.
Sebagian pasien sembuh spontan, atau setelah periode singkat terapi cairan dan elektrolit.
Pada kasus lebih berat, ketika kehilangan banyak melampaui batas kritis maka syok pun
terjadi dan berkembang kearah kematian bila tidak ditangani dengan cepat. Sindroma
syok dengue didiagnosa bila memenuhi semua dari empat kriteria untuk DBD ditambah
bukti kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi lemah dan cepat dan tekanan darah
menurun menjadi <20 mmHg, hipotensi, kulit lembab dan dingin, gelisah serta perubahan
status mental.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada DBD hasil pemeriksaan laboratorium umumnya memberikan hasil sebagai berikut:
a. Leukopenia dan limfositosis
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa pada pemeriksaan sumsum tulang
penderita DBD pada awal masa demam, terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan
hambatan pematangan dari semua sistem hemopoesis. Pada penderita DBD dapat terjadi
leukopenia ringan sampai leukositosis sedang. Leukopenia dapat dijumpai antara hari
pertama dan ketiga dengan hitung jenis yang masih dalam batas normal. Jumlah
granulosit menurun pada hari ketiga sampai kedelapan. Dalam sediaan apus darah tepi
penderita DBD dapat ditemukan limfosit bertransformasi atau atipik, terutama pada
infeksi sekunder.

b. Trombositopenia
Penyebab trombositopenia pada DBD antara lain diduga trombopoeisis yang
menurun dan destruksi trombosit dalam darah meningkat serta gangguan fungsi
trombosit. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai
penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh sistem
retikuloendotelial khususnya dalam limpa dan hati.

c. Hemokonsentrasi, hiponatremia, hipoalbuminemia
Hemokonsentrasi, hiponatremia, hipoalbuminea rendah adalah suatu tanda
hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma sebagai akibat permeabilitas
vaskuler yang meningkat.

d. PTT dan APTT memanjang, FDP meningkat
Kompleks virus antibodi atau mediator dari fagosit yang terinfeksi virus pada
DBD dapat mengaktifkan sistem koagulasi, dimulai oleh aktivasi faktor XII menjadi
XIIa, faktor koagulasi kemudian akan diaktifkan secara berurutan mengikuti suatu
kaskade sehingga akirnya terbentuk fibrin. Selain itu faktor XIIa uga mengaktifkan
sistem fibrinolisis yang menyebabkan perubahan plasminogen manjadi plasmin. Plasmin
mempunyai sifat proteolitik dengan sasaran fibrin. Aktivasi sistem koagulasi dan
fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi seperti
fibrinogen V, VII, VIII, IX dan X serta plasminogen. Dan sebagai kompensasinya FDP
meningkat, PTT dan APTT memanjang.

e. Aspartate transaminase dan alanine transaminase
Hepatitis atau nekrosis fokal pada hepar yang disebabkan oleh infeksi virus
dengue pada hepatosit menyebabkan peningkatan aspartate transaminase dan alanine
transaminase.

Diagnosis DBD

Pedoman yang dipakai dalam menegakkan diagnosis DBD ialah kriteria yang disusun oleh
WHO. Kriteria tersebut terdiri atas kriteria klinis dan laboratoris:
Kriteria Klinis terdiri atas:
1. Demam tinggi mendadak (38,2C-40C) dan terus menerus selama 2-7 hari tanpa sebab
yang jelas. Demam pada penderita DBD disertai batuk, faringitis, nyeri kepala, anoreksia,
nausea, vomitus, nyeri abdomen, selama 2-4 hari, juga mialgia (jarang), atralgia, nyeri
tulang dan lekopenia.
2. Manifestasi perdarahan, biasanya pada hari kedua demam, termasuk setidak-tidaknya uji
bendung (uji Rumple Leede/Tourniquette) positif dan salah satu bentuk lain perdarahan
antara lain purpura, ekimosis, hemstoma, epistaksis, perdarahan gusi dan konjuntiva.
Perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, atau hematochezia), mikroskopik
hematuria atau menorraghia.
3. Hepatomegali, mulai dapat terdeteksi pada permulaan demam.
4. Manifestasi kebocoran plasma (hemokonsetrasi), mulai dari yang ringan seperti kenaikan
hematokrit >20% dibandingkan sebelumnya, sampai yang berat yaitu syok (nadi cepat,
lemah, kaki/tangan dingin, lembab, gelisah, sianosis dan kencing berkurang)

Kriteria Laboratoris terdiri atas:
1. Trombositopenia (<100.000/mm) biasanya ditemukan pada hari ke 2 atau 3, terendah
pada hari ke 4-6, sampai hari ke 7-10 sakit.
2. Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%)

Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria klinis dan 2 kriteria laboratorium.
Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan menjadi 4 tingkatan yaitu:
a) Derajat I: demam tinggi disertai gejala tidak khas. Satu satunya tanda perdarahan
adalah tes torniquet positif atau mudah memar.
b) Derajat II: gejala derajat I ditambah dengan perdarahan spontan di kulit atau di tempat
lain.
c) Derajat III: ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi (nadi cepat, lemah, hipotensi,
kaki/tangan dingin, lembab, sianosis, gelisah)
d) Derajat IV: terjadi syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah yang tidak
dapat diperiksa.
Untuk diagnosis pasti DBD dapat ditegakkan bila ditemukannya virus dengue didalam darah.
Metode isolasi virus merupakan gold standard pemeriksaan virus dengue. Pengambilan darah
idealnya harus diambil selama periode demam dan lebih baik sebelum hari kelima sakit. Setelah
spesimen diambil selanjutnya dilakukan kultur sel dan akhirnya dapat diidentifikasi setelah 2-3
minggu. Keterbatasan metode ini adalah sulitnya peralatan dan memerlukan waktu yang lama
untuk mendapatkan hasil, sehingga isolasi virus hanya dilakukan untuk penelitian.

Diagnosis Banding

Yang dapat dijadikan pembanding dari DBD agar tidak keliru dalam mendiagnosis ialah sebagai
berikut
1. Campak
Penyakit campak disebabkan oleh virus campak. Genus morbilivirus Famili Paramyxoviridae
dengan masa inkubasi selama 8-12 hari dan penularan melalui aerosol (percikan batuk maupun
bersin penderita). Gejala prodormal ditandai dengan malaise, panas mencapai 38C berlangsung
7-10 hari, anoreksia batuk pilek dan konjungtivitis. Patognomonis penyakit campak adalah
adanya bercak koplik berupa bercak merah dengan warna putih ditengahnya di mukosa pipi
berhadapan dengan gigi molar kedua, dijumpai sekitar akhir masa prodormal, tepat sebelum
timbul ruam. Pada hari ke 3-7 hari sakit timbul ruam kemerahan pada kulit yang menyebar
keseluruh tubuh mulai dari muka, kemudian meliputi badandan akhirnya ekstremitas, akan tetapi
telapak tangan dan kaki tidak ditemukan adanya ruam tersebut. Setelah 1 minggu ruam itu pun
kemudian menghitam dan mengelupas (Shepherd, 2007).

2. Chikungunya
Chikungunya adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Penyakit ini terdapat di dearah tropis, khususnya di perkotaan wilayah Asia, India, dan Afrika
Timur. Masa inkubasi diantara 2-4 hari dan bersifat self limiting dengan gejala akut akut (demam
onset mendadak (>40C), sakit kepala, nyeri sendi (sendi-sendi dari ekstremitas menjadi
bengkak dan nyeri bila diraba), mual, muntah, nyeri abdomen, sakit tenggorokan, limfadenopati,
malaise, kadang timbul ruam, perdarahan jarang terjadi, dan berlangsung 3-10 hari. Gejala diare,
perdarahan saluran cerna, refleks abnormal, syok dan koma tidak ditemuan pada chikungunya.
Sisa arthralgia suatu masalah untuk beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah fase akut.
Kejang demam bisa terjadi pada anak-anak. Belum ada terapi spesifik yang tersedia, pengobatan
bersifat suportif untuk demam dan nyeri (analgesik dan antikonvulsan.

3. Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh
protozoa intraselular obligat Plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale, dan P. malariae yang
ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Penularan juga dapat terjadi melalui transfusi
darah, transplantasi organ dan transplasenta. Masa inkubasi 1-2 minggu, tetapi kadang-kadang
lebih dari setahun. Gejala malaria yaitu demam, menggigil, malaise, anoreksia, mual, muntah,
diare ringan, sakit kepala, pusing, mialgia, nyeri tulang. Peningkatan suhu dapat mencapai 40C,
bersifat intermitten yaitu demam dengan suhu badan yang mengalami penurunan ke tingkat
normal selama beberapa jam dalam satu hari diantara periode kenaikan demam. Periode
timbulnya demam tergantung pada jenis plasmodium yang menginfeksi. Pada malaria juga dapat
ditemui hepatomegali, splenomegali, anemia, ikterus, dan dehidrasi. Pada pemeriksaan
laboratorium umumnya ditemukan anemia, leukopenia, dan trombositopenia.

4. Demam tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.
Penularan tifoid biasanya melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi feses. Masa
inkubasi tifoid sangat berbeda, berkisar dari 3-60 hari. Gejala awal penyakit adalah demam
(peningkatan suhu hingga 40C) terutama sore atau malam hari, kedinginan, malaise, sakit
kepala, sakit enggorokan, batuk dan kadang-kadang sakit perut, konstipasi atau diare. Sebagai
perkembangan penyakit, umumnya didapatkan kelemahan, distensi abdomen,
hepatosplenomegali, anoreksia, dan kehilangan BB. Tanda penting yang ditemui antara lain agak
tuli, lidah tifoid (tremor, tengah kotor, tepi hiperemis, nyeri tekan/spontan pada perut di daerah
Mc Burney (kanan bawah). Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan leukopenia,
limfositosis relatif. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.

Penatalaksanaan
Pengobatan simptomatik dan suporif merupakan terapi efektif pada penderita DBD. Terapi
simptomatik yakni pemberian analgetik (parasetamol), kompres hangat. Terapi suportif antara
lain penggantian (replacement) cairan, pemberian oksigen dan jika diperlukan dapat dilakukan
transfusi darah. Pemantauan tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi), hematokrit, trombosit,
elektrolit, kecukupan cairan, urine output, tingkat kesadaran, dan manifestasi perdarahan berguna
untuk mengetahui perkembangan penyakit.

Pencegahan
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan
cara-cara diatas, yang disebut dengan 3M Plus yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu
juga melakukan beberapa hal seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida,
menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida,
menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain.

Komplikasi
Dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati, kegagalan fungsi hati, miokarditis, gagal ginjal
akut, sindroma uremik akut dan DIC yang menyebabkan perdarahan masif. Tetapi komplikasi-
komplikasi ini sangat jarang terjadi.

Prognosis
Dengan manajemen medis yang tepat dan cepat yaitu memonitoring trombosit dan hematokrit
serta terapi cairan yang adekuat maka mortalitasnya dapat diturunkan. DBD dapat terjadi fatal
bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih dini. Jika trombosit <100.000/ul dan hematokrit
meningkat maka harus cepat waspadai DSS.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes. RI, Ditjen P3M 1981, "Demam Berdarah Diagnosa dan Pengelolaan Penderita".
Depkes. RI. Ditjen PPM & PLP, 1996, "Diagnosa dan Pengelolaan Penderita".
Depkes, 2004 Kebijaksanaan Program P2DBD dan Situasi Terkini DBD di Indonesia.
Soegeng Soegiarto. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2.Air Langga: Surabaya
Thomas Suroso et.al,Depkes RI, 2003, "Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam
Dengue dan Demam Berdarah Dengue",

Você também pode gostar