Você está na página 1de 10

Analisis Model Moser

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Analisis gender adalah suatu alat untuk menyusun kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG)
dalam rangka strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. PUG dilakukan melalui
penyusunan kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan
permasalahan perempuan dan laki-Iaki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kebidupan dan pembangunan.
Dalam menerapkan strategi tersebut diperlukan suatu alat (tools) yang menjadi dasar dari setiap
proses pengarusutamaan gender baik dalam aspek kebijakan, program dan kegiatan yang akan
dikembangkan/dilaksanakan. Alat tersebut adalah analisis gender yang variatif namun kesemuanya
dimulai dengan penyediaan data dan fakta serta informasi tentang gender. Ada 4 jenis alat analisis yang
sering digunakan yakni Kerangka Harvard, Moser, Longway dan Kerangka Relasi Sosialnya Naila
Kabeer. Kerangka Moser merupakan kerangka yang menawarkan pembedaan antara kebutuhan praktis
dan strategis dalam perencanaan pemberdayaan komunitas dan berfokus pada beban kerja perempuan.
Kerangka ini tidak berfokus pada kelembagaan tertentu tetapi lebih berfokus pada rumah tangga.

B. Tujuan
Setelah menyelesaikan tugas ini diharapkan dapat menguasai teknik analisis gender kerangka
Moser yang meliputi pengertian, tujuan, kerangka analisis, contoh analisis dan penerapan dalam
menganalisa suatu kasus.

C. Manfaat Analisis Gender
1. Melalui analisis gender moser, diharapkan dapat memberikan gambaran secara garis besar atau bahkan
secara detil keadaan secara obyektif kasus yang menitikberatkan kepada pemberdayaan perempuan
sebagai suatu proses pengorganisasian perempuan dan yang secara ketat membutuhkan konsep yang
lebih tegas antara gender, kuasa dan negara, rumah tangga dan masyarakat sebagai ruang lingkup
institusional.
2. Analisis gender kerangka moser dapat menemukan akar permasalahan yang melatarbelakangi masalah
beban kerja perempuan dan sekaligus dapat menemukan solusi yang tepat sasaran sesuai dengan
tingkat permasalahannya.
3. Dapat memahami konsep dari kerangka Moser secara keseluruhan dan menerapkannya dalam suatu
kasus yang berfokus pada beban kerja perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Analisis Model Moser
Teknik analisis model Moser atau disebut juga Kerangka Moser, didasarkan pada pendapat bahwa
perencanaan gender bersifat teknis dan politis. Kerangka ini mengasumsikan adanya konflik daIam
proses perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu "debat".
Kerangka Pemikiran Perencanaan Gender dari Moser (Moser, 1993) dikembangkan oleh Caroline
Moser, seorang peneliti senior dengan pengalaman luas dalam perencanaan gender. Kerangka ini
didasarkan pada pendekatan Pembangunan dan Gender (Gender and Development/ GAD) yang
dibangun pada pendekatan Perempuan dalam Pembangunan(Women in Development/ WID) yang lebih
awal dan pada teori-teori feminisme. Kerangka ini juga kadang-kadang diacu sebagai ''Model Tiga
Peranan (Triple Roles Models), atau Kerangka Pemikiran Departemen Unit Perencanaan (Departemen
ofPlanning Unit/ DPU) karena dikembangkan oleh Moser selagi dia bekerja di Departemen Unit
Perencanaan di University College, London.

B. Tujuan dari kerangka pemikiran perencanaan gender dari Moser
1. Mengarahkan perhatian ke cara di mana pembagian pekerjaan berdasarkan gender mempengaruhi
kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam intervensi-intervensi yang telah direncanakan.
2. Membantu perencanaan untuk memahami bahwa kebutuhan-kebutuhan wanita adalah seringkali
berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan laki-Iaki.
3. Mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan melalui pemberian perhatian kepada kebutuhan-
kebutuhan praktis perempuan dan kebutuhankebutuhan gender strategis.
4. Memeriksa dinarnika akses kepada dan kontrol pada penggunaan sumbersumber daya antara
perempuan dan laki-Iaki dalam berbagai konteks ekonomi dan budaya yang berbeda-beda
5. Memadukan gender kepada semua kegiatan perencanaan dan prosedur.
6. Membantu pengklarifikasian batasan-batasan politik dan teknik dalam pelaksanaan praktek perencanaan
.

C. Tiga Konsep Utama Model Moser
1. Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja produktif dan kerja
komunitas. Ini berguna untuk pemetaan pembagian kerja gender dan alokasi kerja.
2. Berupaya untuk membedakan antara kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan
laki-laki. Kebutuhan strategis berelasi dengan kebutuhan transformasi status dan posisi perempuan (spt
subordinasi).
3. Pendekatan analisis kebijakan dari fokus pada kesejahteraan (welfare), Kesamaan (equity), anti
kemiskinan, effisiensi dan pemberdayaan atau dari WID ke GAD.

D. Kerangka Analisis Model Moser
1. Alat analisis I: Tiga Peran Gender
Alat analisis ini memetakan pembagian kerja berdasarkan gender dengan
mempertanyakan: siapa (L/P) mengerjakan apa? Moser mengidentifikasikan 3 peran perempuan
terutama perempuan yang berpenghasilan rendah dalam 3 peran, yaitu sebagaimana yang terlihat
dalam matriks:



SIAPA (L/P) MENGERJAKAN APA?
Peran Kerja
Reproduktif
Peran Kerja
Produktif
Peran Kerja Komunitas
(termasuk pelayanan
sosial)
1) Pemeliharaan rumah
tangga dan
anggotanya,
termasuk melahirkan
dan pengasuhan
anak, pemeliharaan
kesehatan keluarga
(anak, orangtua,
orang cacat, dll).
2) Pekerjaan ruma-
tangga seperti:
memasak,
menyediakan
makanan,
menyediakan air dan
bahan bakar (kayu,
minyak tanah, gas,
dll), berbelanja,
pemeliharaan
(membersihkan
rumah).
3) Disebut juga
ekonomi
pengasuhan (care
economy, Diane
Elson), tidak
dipertimbangkan
dalam analisa
ekonomi.
1) Pekerjaan di luar
rumah yang biasanya
dibayar seperti
produksi barang, jasa
dan perdagangan.
2) Lebih dihargai
dibandingkan
pekerjan reproduktif.
3) Fungsi,
tanggungjawab dan
upah laki-laki dan
perempuan
seringkali berbeda.
4) Perempuan
seringkali kurang
dilihat dan dinilai
dibandingkan laki-
laki.
1) Perayaan-petrayaan dan
upacara-upacara (agama,
budaya)
2) Kegiatan politik lokal.
3) Tidak dipertimbangkan
dalam analisa ekonomi.

Kerja komunitas terbagi
dua:
1) Kegiatan Pengelolaan
Komunitas
a) Peran perempuan adalah
perpanjangan tangan dari
pekerjaan reproduktif di
tingkat komunitas. Mis.
memasak dalam
pesta/selamatan tetangga.
b) Pekerjaan sukarela yang
tidak dibayar.
2) Kegiatan Politik
Komunitas
a) Secara umum dijalankan
oleh laki-laki, yang
berkaitan dengan
organisasi politik formal,
sering dalam kerangka
politik nasional.
b) Umumnya dibayar
c) Bermanfaat secara tidak
langsung, berkaitan
dengan peningkataan
status/ kekuasaan

2. Alat Analisis II: Penilaian Kebutuhan Gender (gender needs assessment)
Pertanyaan kunci: apa kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender yang yang
dibutuhkan oleh perempuan/laki-laki? Apakah suatu program intervensi menjawab kebutuhan
praktis dan strategis gender?
Dua tipe kebutuhan gender:
Kebutuhan praktis gender Kebutuhan strategis gender
1) Merespon kebutuhan yang bersifat
langsung , cepat dalam konteks
yang khusus dan jangka pendek
2) Tidak mempersoalkan perubahan
relasi kuasa dan posisi perempuan
yang timpang
3) Melestarikan peran kerja
reproduksi perempuan.
4) Untuk menjawab kondisi
kehidupan yang terbatas menjadi
lebih baik seperti: penyediaan air
bersih, peningkatan pendapatan
dalam rumah tangga, pemberian
makanan untuk ibu hamil,
pemberian kebutuhan khusus
perempuan di pengungsian: pakaian
dalam, pembalut, penambahan
jumlah wc khusus perempuan di
tempat umum, dll.
1) Kebutuhan yang memungkinkan
perempuan mentransformasikan
ketidakseimbangan kekuasaan
antara perempuan dan laki-laki.
2) Merespon kebutuhan yang bersifat
jangka panjang dalam upaya
perubahan pembagian kerja gender
yang lebih setara, kekuasaan dan
kontrol, termasuk masalah-masalah
yang berhubungan dengan hak-hak
hukum, kekerasan domestik,
kesetaraan upah dan kontrol
perempuan atas dirinya sendiri.
3) Bisa menyebabkan konflik,
resistensi dari mereka yang
menikmati hubungan relasi kuasa
yang ada, bisa juga terjadi proses
negosiasi dan kerjasama.

3. Alat Analisis III: Pemilahan Kontrol Atas Sumberdaya Dengan Pengambilan Keputusan
Dalam Rumah Tangga
Untuk mendapat data kita perlu mengajukan pertanyaan:
1) Siapa yang mempunyai kontrol atas sumberdaya ?
2) Apa saja sumberdaya yang dikontrol
3) Siapa yang mengambil keputusan?
4) Bagaimana cara pengambilan keputusannya?
4. Alat analisis IV: Perencanaan untuk Menyeimbangkan Tiga Peran Gender
Perlu memeriksa apakah sebuah program yang dilaksanakan akan meningkatkan beban
kerja dari salah satu peran gender dan merugikan peran gender yang lain. Tujuannya untuk
menghindari penambahan beban kerja atau untuk mengetahui bagaimana perempuan membuat
keseimbangan terhadap ketiga perannya yaitu peran reproduktif, produktif dan komunitas.
5. Alat analisis V: Memahami Perbedaan Tujuan Berbagai Intervensi: Matriks Kebijakan
WID / GAD
a. Alat untuk evaluasi atas pendekatan yang digunakan dalam suatu program atau perencanaan
sehingga dapat membantu kita untuk mengantisipasi kelemahan, hambatan dan kesulitan yang
mungkin timbul.
b. Berguna untuk mempersiapkan pendekatan yang paling sesuai untuk kerja/program mendatang.
c. Moser memberikan lima (5) tipe pendekatan kebijakan. Ke-5 tipe ini bukanlah sesuatu yang
dibaca secara kronologis, karena dalam praktiknya bisa muncuk bersamaan atau secara
berkesinambungan. Kelima tipe ini bisa dilihat alam matriks berikut:
Tipe
Pedekatan
Kebijakan
Gender

Keterangan
Kesejahteraan
(Welfare)
1) Pendekatan yang muncul pada tahun 1950-70an, namun
masih populer sampai saat ini.
2) Melihat peran reproduksi perempuan saja.
3) Memenuhi kebutuhan praktis perempuan
4) Perempuan sebagai penerima manfaat intervensi
pembangunan yang pasif.
5) Top-down dan tidak memperthitungkan pembagian kerja
seksual dan status sub-ordinasi perempuan.
Kesamaan
(Equity)
1) Pendekatan Wome in Development (WID) atau
perempuan dalam pembangunan, dikembangkan 1976-
1985.
2) Mengakui perempuan sebagai peserta aktif pembangunan
dan 3 peran gender perempuan.
3) Mempromosikan kesetaraan bagi perempuan dan
memenuhi kebutuhan strategis gender melalui intervensi
negara, dengan memberikan otonomi perempuan di sektor
politik dan ekonomi serta mengurangi ketidaksetaraan
nereka dengan laki-laki.
4) Dianggap dipengaruhi oleh cara berpikir Feminis Barat
dan dipandang mengancam laki-laki.
5) Tidak populer pada banyak pemerintahan.
Anti
kemiskinan
(Anti poverty)
1) Lebih kurang radikal dari pendekatan kesamaan WID,
muncul setelah tahun 1970an.
2) Berdasarkan argumen bahwa perempuan seringkali tidak
terwakili dalam fakta mengenai orang miskin.
3) Bertujuan agar perempuan bisa keluar dari kemiskinan
dengan meningkatkan produktivitas mereka.
4) Kemisikinan perempuan dlihat sebagai problem dari
keterbelakangan bukan karena tersubordinasi.
5) Mengakui peran produktif perempuan dan berupaya
untuk menjawab kebutuhan praktis gender misalnya
melalui program income generatin (peningkatan
pendapatan).
6) Sangat populer di kalangan LSM.
Efisiensi
(Efficiency)
1) Adaptasi dari pendekatan Kesamaan WID sejak muncul
krisis hutang pada era 80-an.
2) Membuat pembangunan lebih efektif dan efisien melalui
pengakuan kontribusi ekonomi perempuan
3) Berupaya memenuhi kebutuhan praktis dan mengakui 3
peran gender perempuan
4) Kerap berasumsi bahwa waktu kerja perempuan fleksibel
dan perempuan diharapkan untuk mengurangi waktu kerja
reproduktif dan sosialnya dan memperpanjang waktu kerja
produktif.
5) Sering salah mengasosiasikan partisipasi perempuan
dengan meningkatkan kesamaan gender dan kemampuan
perempuan mengambil keputusan.
6) Pendekatan yang masih sangat populer dipakai.
Pemberdayaan
(Empowerment)
1) Pendekatan yang terbaru, diartikulasikan oleh perempuan
dunia ke-3 (negara berkembang spt di Asia)
2) Bertujuan untuk memberdayakan perempuan dengan
mendukung inisiatif mereka sendiri sehingga
menghasilkan kemandirian.
3) Subordinasi perempuan tidak hanya dilihat sebagai akibat
penindasan laki-laki, tetapi juga sebagai akibat penindasan
kolonial dan neo-kolonial.
4) Mengakui berbagai pengalaman perempuan yang
bervariasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
kelas, ras, usia, dst dan intervensi harus memperhatikan
berbagai aspek penidnasan perempuan.
5) Mengakui ketiga peran gender perempuan dan berupaya
menjawab kebutuhan strategis gender melalui mobilisasi
perempuan misalnya mengorganisasikan kelompok
perempuan untuk membuat permintaan untuk pemenuhan
kebutuhan praktis gender.

6. Alat Analisis 6: Melibatkan perempuan, organisasi yang peduli dengan perspektif gender
dan para perencana dalam perencanaan
Kerangka analisis ini mengajak penggunanya untuk memikirkan pentingnya melibatkan
perempuan, organisasi yang sadar gender dan perencana gender dalam perencanaan. Ini penting
untuk menjamin bahwa kebutuhan paraktis dan strategis gender sudah diidentifikasikan dan
diintegrasikan ke dalam proses perencanaan. Mereka yang terlibat ini tidak hanya dilibatkan
dalam proses analisa, tetapi juga ketika menetapkan sasaran inbtervensi dan cara intervensinya.

E. Kelebihan dan Kekurangan Kerangka Analisis Moser
1. Kekuatan/Keutamaan Kerangka Moser:
a. Mampu melihat kesenjangan perempuan dan laki-laki;
b. Penekanan pada seluruh aspek kerja di mana membuat peranan ganda perempuan terlihat;
c. Menekankan dan mempertanyakan asumsi dibalik proyek-proyek intervensi;
d. Penekanan pada perbedaan antara memenuhi kebutuhan dasar-praktis dengan kebutuhan
strategis.

2. Keterbatasan/Kelemahan Kerangka Moser:
a. Fokus pada perempuan dan laki-laki dan tidak pada relasi sosial;
b. Tidak menekanakan aspek lain dari kesenjangan seperti akses atas sumber daya;
c. Pendekatan kebijakan yang berbeda-beda bercampur dalam prakteknya;
d. Kerja secara efektif lebih berfungsi sebagai alat analisis intervensi ketimbang perencanaan.

F. Contoh Analisis Kesenjangan Gender Di Bidang Pendidikan Dan Pemerintahan
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Jawa Barat Tahun 2005
No Kelompok Umur (thn) Laki-laki Perempuan Dispariatas
1. 7-12 96,48 96,26 -0,19
2. 13-15 77,52 77,97 0,45
3. 16-18 47,29 42,97 -4,32
4. 19-24 11,15 6,97 -4,18

Contoh Isu Kesenjangan Gender Bidang Pendidikan dan Analisis Faktor-faktor Penyebabnya
1. Isu Kesenjangan Gender di Bidang Pendidikan
a. Pilar Akses dan Pemerataan di Bidang Pendidikan
1) Proporsi partisipasi sekolah pada siswa laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi siswa
perempuan dengan kesenjangan yang semakin tinggi dengan semakin tingginya jenjang sekolah.
2) Proporsi keberhasilan memperoleh ijazah pada siswa laki-Iaki lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi
siswa perempuan.
3) Proporsi perempuan yang buta aksara lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi laki-Iaki.


b. Pilar Mutu dan Relevansi di Bidang Pendidikan
Proporsi laki-Iaki yang menjadi tenaga pendidik dari berbagai program non-formal (PAUD, Paket A-
B-C) dan berbagai posisi (Penilik PLS, pamong Belajar, TLD, FDI, dan TDM) lebih tinggi daripada
proporsi perempuan.
c. Pilar Tata Kelola dan Pencitraan di Bidang Pendidikan
Proporsi laki-Iaki jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi perempuan dalam menduduki
jabatan di Lingkungan dinas. Pendidikan (Kepala Sekolah. Pejabat Dinas Pendidikan, Pimpinan Lembaga
Kursus, dan Ketua Lembaga PKBM).

2. Analisis faktor yang berpengaruh terhadap permasalahan gender
a. Faktor Akses, Partisipasi dan Kontrol
Isu kesenjangan gender yang terjadi di Jawa Barat memunculkan keterpinggiran perempuan di
Bidang Pendidikan dengan berbagai bukti, seperti kesenjangan gender yang terjadi pada tiga pilar
pendidikan. Ketertinggalan perempuan dibandingkan dengan laki-laki terjadi pada Pilar Akses dan
Pemerataan Di Bidang Pendidikan dengan menyajikan gambaran kenyataan yang ada di masyarakat
Propinsi Jawa Barat. Kesenjangan gender terbukti dari adanya proporsi partisipasi sekolah dan
keberhasilan memperoleh ijazah pada laki-Iaki lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi perempuan
dengan kesenjangan yang semakin tinggi dengan semakin tingginya jenjang sekolah, dan proporsi
perempuan yang buta aksara lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi laki-laki.
Isu kesenjangan gender di Pilar Akses dan Pemerataan di Bidang Pendidikan juga konsisten dengan
isu kesenjangan gender di dua pilar lainnya, yaitu Pilar Mutu dan Relevansi di Bidang Pendidikan dan
Pilar Tata Kelola dan pencitraan di Bidang Pendidikan. Kedua pilar tersebut menggambarkan
ketertinggalan perempuan dibandingkan dengail laki-Iaki dalam menjadi tenaga pendidik dari berbagai
program baik non-formal maupun berbagai posisi menduduki jabatan di Lingkungan Dinas Pendidikan.
Dalam merespon isu-isu gender di atas, perlu dianalisis adanya perbedaan laki-laki dan perempuan
dalam hal AKSES terhadap sistem pendidikan sehingga menyebabkan perbedaan angka partisipasi
pendidikan antara laki-Iaki dan perempuan pada berbagai jenjang pendidikan. Perbedaan akses
pendidikan antara laki-Iaki dan perempuan kemungkinan lebih disebabkan oleh nilai-nilai sosial budaya
dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat dan keluarga yang berkaitan dengan perbedaan
peran gender.
Berkaitan dengan kesenjangan gender dalam hal akses di bidarlg pendidikan, sepertinya ada
konsistensi kenyataan yang ada di lapangan, yaitu adanya keadaan dimana perempuan selalu menjadi
prioritas kedua setelah Iaki-laki dan perempuan selalu tertinggal di bidang pendidikan dibandingkan
dengan Iaki-Iaki. Bukti yang mendukung konsistensi ini adalah adanya data-data Angka Partisipasi Kasar
(APK), dan Data perolehan Ijazah. dan Data Buta Aksara., yang menunjukkan adanya disparitas gender
yang selalu bertanda negatif, artinya bahwa perempuan selalu tertinggal dibandingkan dengan laki-Iaki
dalam berpartisipasi ke sekolah.
Kesenjangan gender dalam hal memperoleh ijazah tertinggi terbukti dari adanya proporsi perolehan
ijazah yang semakin tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan semakin tingginya
jenjang sekolah (disparitas gender untuk angka perolehan ijazah sampai dengan tarnat SLTP, sampai
dengan tarnat SLTA, dan sampai dengan tarnat
Rendahnya partisipasi perempuan pada berbagai jenjang pendidikan ini disebabkan oleh norma-
norma masyarakat yang masih menganggap peran utama laki-Iaki adalah sebagai pencari nafkah
utama (mainbreadwinners) sehingga lebih penting dan diutamakan untuk memperoleh pendidikan
daripada perempuan yang peran utamanya sebagai ibu rumahtangga (housewives). Peran laki-Iaki yang
diberikan oleh masyarakat di sektor publik ini dianggap sangat bermartabat dan periu dilakukan investasi
sejak usia keci!. Posisi Iaki-Iaki dalam keluarga, sesuai dengan sistem patriarkhi ditempatkan sebagai
kepala keluarga dan bertanggung jawab menopang ekonomi keluarga secara keseluruhan dan soliter.
Dengan demikian laki-Iaki yang nantinya berkewajiban mencari nafkah, maka Iaki-Iaki hams Iebih pandai
dan Iebih berpendidikan dibandingkan perempuan.
Dengan adanya keterbatasan ekonomi keluarga, maka, kedudukan Iaki-Iaki sebagai kepala keluarga
mempunyai konsekuensi Iebih diutamakan untuk disekolahkan dibandingkan dengan perempuan.
Keluarga pasti Iebih memprioritaskan Iaki-Iaki dan mengesampingkan perempuan untuk sekolah. Apalagi
dengan keadaan tempat tinggal yang jauh darti sarana pendidikan, maka secara otomatis perempuan
semakin terpinggirkan. Oleh karena itu data menjelaskan adanya kekonsistenan kesenjangan gender
dalam partisipasi sekolah pada ketertinggalan perempuan dibandingkan dengan laki-Iaki.
Perbedaan partisipasi perempuan dan laki-Iaki dalam pendidikan dasar dan menengah, serta
pendidikan tinggi sangat erat hubungannya dengan pengambilan keputusan dalam keluarga Perempuan
dinilai kurang mempunyai kontrol atas sumberdaya keluarganya sehingga kurang mempengaruhi dalam
pengambilan keputusan. Kebiasaan yang teljadi di masyarakat Jawa Barat pada umumnya adalah bahwa
wewenang kepala keluarga (seorang ayah atau laki-laki) adalah sebagai pengambil keputusan (decision
makers), sedangkan wewenang perempuan yang berperan sebagai ibu rumahtangga adalah sebagai
penerima keputusan (decision takesr).
Nilai, sikap, pandangan, dan perilaku seorang ayah sebagai kepala keluarga sangat menentukan
dalam pengambilan keputusan keluarga, khususnya kepada keputusan untuk menentukan apakah anak
sekolah atau tidak, dan memilih jurusan atau keahlian. Sedangkan peran perempuan sebagai pemegang
peran domestik, selalu diarahkan pada fungsi domestik, yaitu bertanggung jawah terhadap perawatan
rumah dan pengasuhan anak di dalam rumah.
b. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya dan Geografi
Faktor-faktor sosial budaya yang menyebabkan masyarakat masih beranggapan bahwa laki-laki
adalah pemegang peran publik dan diasumsikan sebagai penopang ekonomi keluarga, sedangkan
perempuan memiliki peran domestik dan diasumsikan sebagai penanggung jawab keadaan rumahtangga
terbukti dari data-data diatas, yaitu kesenjangan gender pada perempuan untuk berpartisipasi sekolah,
atau dalam beberapa kasus anak perempuan terlambat dalam memasuki sekolah, angka buta aksara
(penduduk umur 15-44 tahun) yang lebih tinggi dari laki-Iaki, dan banyaknya perempuan yang putus
sekolah dibandingkan dengan laki-Iaki.
Masalah kesenjangan gender yang diakibatkan oleh kendala sosial budaya tercermin dari adanya
data bahwa perempuan diminta untuk cepat menikah dan data menggambarkan bahwa hampir 60%
perempuan di Jawa Barat menikah pada umur dibawah atau sampai dengan 18 tahun yang sebetulnya
melanggar Undang-Undang perkawinan.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Analisis gender adalah suatu alat untuk menyusun kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
rangka strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender.
2. Teknik analisis model Moser atau disebut juga Kerangka Moser, didasarkan pada pendapat bahwa
perencanaan gender bersifat teknis dan politis. Kerangka ini mengasumsikan adanya konflik daIam
proses perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu "debat".

B. Saran
Diharapkan kepada para pengambil keputusan, penegak hukum dan masyarakat umumnya agar
bisa memahami tentang analisis gender agar dalam pengambilan kebijakan dapat berbasis gender.



DAFTAR PUSTAKA

Herien, P. 2009. Analisis Gender dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga. Bogor: IPB

March, C., Smyth, I., Mukhopadyay, M. 2003. A Guide to gender-Analysis Framework. Oxford: Oxfam

Nurdin, E., Aripurnami, S., Hodijah, SN. 2005. Modul Pelatihan Analisa Gender dan Anggaran Berkeadilan
Gender, Women Research Institute.

Miller C. and Razavi S (1998) Gender Analysis: Alternative Paradigms. UNDP
Website http://www.undp.org/gender

Kabeer, N. 1994. Reversed Realities: Gender Hierarchies in Development 1994



.

Você também pode gostar