Penggunaan Tanaman Jarak Pagar (J atropha curcas) Sebagai Agen
Fitoremediator Untuk Menghilangkan Polutan Logam Berat dan
Hidrokarbon Pada Lahan Bekas Tambang
Disusun oleh: Nama : Ahmad Sukron Perguruan Tinggi : Universitas Gadjah Mada Bidang : Biologi
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
Penggunaan Tanaman Jarak Pagar (J atropha curcas) Sebagai Agen Fitoremediator Untuk Menghilangkan Polutan Logam Berat dan Hidrokarbon Pada Lahan Bekas Tambang
Abstrak Pertambangan dan pengolahan mineral merupakan bidang-bidang utama dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap pendapatan negara. Namun demikian, kegiatan tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Tambang mineral dapat menyebabkan terjadinya penyebaran logam-logam berat ke lingkungan sekitar lokasi tambang. Sementara itu, tumpahan minyak dari tambang minyak dapat mencemari tanah dan air. Kedua hal tersebut menimbulkan ancaman yang serius bagi kesehatan manusia dan linkungan. Secara umum, reklamasi lahan bekas tambang dengan metode fisika dan kimia diakui memiliki banyak kekurangan. Sementara itu, fitoremediasi kini dianggap sebagai solusi alternatif untuk mereklamasi lahan bekas tambang. Salah satu agen fitoremediator yang sangat potensial untuk digunakan adalah tanaman jarak pagar atau Jatropha curcas. Tanaman ini mampu menghilangkan polutan yang berupa logam berat maupun hidrokarbon dari dalam tanah. Dengan banyaknya keunggulan yang dimiliki, tanaman tersebut menjadi alternatif pilihan yang sangat baik untuk diterapkan di areal-arel pertambangan di Indonesia.
Kata kunci: Jatropha curcas, logam berat, hidrokarbon
1. Pendahuluan Pertambangan dan pengolahan mineral merupakan bidang-bidang utama dalam kegiatan ekonomi Indonesia. Selama ini, industri pertambangan telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan negara. Meskipun demikian, kegiatan tersebut juga memberikan dampak yang negatif terhadap lingkungan. Kebanyakan kegiatan tambang menerapkan teknik penambangan di permukaan (surface mining) yang dengan sendirinya menimbulkan gangguan terhadap bentang alam setempat. Pemindahan lapisan atas tanah menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap topografi, hidrologi dan kestabilan bentang alam. Kegiatan penambangan juga merusak vegetasi dan habitat flora fauna yang ada. Apabila tidak dikelola dengan baik, dampak-dampak yang bersifat lokal (on-site) tersebut dapat menimbulkan dampak lanjutan di luar areal penambangan (off-site) yang bersumber dari erosi oleh air dan angin terhadap sisa galian yang belum terstabilkan atau bahan sisa yang berasal dari pengolahan mineral. Salah satu dampak dari aktivitas penambangan yang banyak mendapatkan perhatian adalah peningkatan kadar logam berat pada lahan bekas tambang serta pada badan air yang berada di sekitar lokasi bekas tambang. Dalam kegiatan tambang, logam-logam berat berbahaya seperti Hg, As, Cd, Cu, Fe dan Mn yang terikat pada bijih tambang akan ikut tersebar ke lingkungan sekitar tambang yang berakibat pada pencemaran lingkungan. Lepasnya logam berat ke lingkungan akan berdampak secara langsung terhadap kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut (Inswiasri et al., 2008). Pada tambang minyak bumi, lahan bekas tambang seringkali tercemar oleh tumpahan minyak bumi. Tumpahan minyak ini dapat menutup suplai oksigen ke dalam tanah dan meracuni mikroorganisme yang ada di dalamnya. Pencemaran tanah oleh minyak bumi, meskipun dalam konsentrasi hidrokarbon yang sangat rendah, sangat mempengaruhi bau dan rasa air tanah. Pencemaran air tanah oleh minyak bumi merupakan ancaman yang serius bagi kesehatan manusia (Chator & Somerville, 1978). Dengan melihat hal-hal di atas, pengelolaan yang baik atas lahan bekas tambang menjadi semakin penting. Polutan-polutan pada lahan tersebut sebisa mungkin harus dihilangkan agar fungsi lahan tersebut bisa dikembalikan seperti semula. Dengan berbagai keunggulannya, bioremediasi dianggap sebagai salah satu alternatif yang sangat baik untuk pengelolaan lahan bekas tambang tersebut. 2. Pembahasan Polusi lingkungan oleh logam berat telah menjadi masalah yang serius di dunia. Tidak seperti senyawa organik, logam berat tidak bisa didegradasi secara biologis sehingga cenderung terakumulasi di lingkungan. Logam berat diklasifikasikan menjadi logam berat esensial dan logam berat non-esensial. Logam berat esensial dibutuhkan oleh organisme dalam jumlah sedikit untuk menjalankan fungsi fisiologis dan biokimiawi yang normal. Contoh logam berat esensial antara lain adalah Fe, Mn, Cu, Zn dan Ni. Logam berat non- esensial seperti Cd, Pb, As, Hg, dan Cr tidak dibutuhkan oleh tubuh organisme. Logam berat bisa mengkontaminasi air tanah, air permukaan, dan lahan pertanian (Cempel & Nikel, 2006). Akumulasi logam berat di tanah dan air membawa risiko tersendiri terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Elemen-elemen tersebut dapat terakumulasi di dalam tubuh organisme dan konsentrasinya terus meningkat seiring dengan kenaikan tingkat trofik. Konsentrasi logam berat yang di atas ambang batas berefek buruk terhadap kesehatan karena mengganggu fungsi normal sel dan organ-organ tubuh (Khan et al., 2010). Banyak logam berat dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah. Logam berat meningkatkan terbentukknya reactive oxygen species (ROS) yang dapat menghancurkan antioksidan alami di dalam sel sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian sel. Lebih jauh lagi, logam berat juga dapat menggantikan logam esensial pada pigmen atau enzim tertentu sehingga merusak fungsi pigmen dan enzim tersebut (Das et al., 2008). Logam berat punya efek yang sangat buruk terhadap kesehatan manusia. Tabel 1 menujukkan efek berbagai logam berat terhadap kesehatan manusia (Ali et al., 2013).
Tabel 1. Efek Logam Berat Terhadap Kesehatan Manusia No. Logam Berat Efek Pada Kesehatan Manusia 1. Arsen (As) Arsen dalam bentuk arsenat merupakan senyawa analog dari fosfat sehingga dapat menganggu berbagai proses seluler penting, fosforilasi oksidatif dan sintesis ATP 2. Kadmium (Cd) Bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, menganggu fungsi endokrin, menganggu regulasi kalsium, menyebabkan kegagalan ginjal dan anemia kronis 3. Krom (Cr) Kerontokan rambut 4. Tembaga (Cu) Kerusakan otak, sirosis hati, anemia kronis, iritasi perut dan usus 5. Air raksa (Hg) Penyakit autoimun, depresi, kesulitan dalam keseimbangan, kelelalan, kerontokan rambut, insomnia, iritabilitas, kehilangan ingatan, gangguan penglihatan, tremor, serta kerusakan otak, ginjal dan paru-paru 6. Nikel (Ni) Bersifat neurotoksik, hematotoksik, imunotoksik, genotoksik, nefrotoksik, dan hepatotoksik serta menyebabkan kanker paru-paru, hidung, sinus, kerongkongan dan perut 7. Timbal (Pb) Pada anak-anak menyebabkan gangguan perkembangan, penurunan kecerdasan, kehilangan memori jangka pendek, masalah dalam koordinasi dan pembelajaran serta menyebabkan kegagalan ginjal dan meningkatkan risiko terserang penyakit kardiovaskuler 8. Zn Pusing, kelelahan
Di dalam tanah, logam berat dapat berefek toksik terhadap mikrobia tanah, yang mengakibatkan penurunan pada populasi dan aktifivtas mereka. Pada tumbuhan, dosis logam berat yang telalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya kekacauan metabolik dan penghambatan pertumbuhan pada kebanyakan spesies. Bahkan sering kali, dosis logam berat yang terlalu tinggi juga menyebabkan terjadinya kematian tumbuhan (Ali et al., 2013). Selama ini, berbagai macam pendekatan fisika, kimia dan biologi telah digunakan untuk menghilangkan kontaminasi logam berat pada tanah. Remediasi konvensional yang selama ini banyak digunakan meliputi vitrifikasi in situ, insinerasi tanah, pencucian tanah, solidifikasi, dan stabilisasi dengan sistem elektro-kinetik. Secara umum, metode fisika dan kimia memiliki banyak kekurangan antara lain membutuhkan biaya yang tinggi, membutuhkan banyak tenaga kerja, menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat-sifat tanah yang bersifat ireversibel, serta menimbulkan gangguan pada mikroflora tanah. Metode kimiawi juga dapat menyebabkan masalah polusi sekunder (Ali et al., 2013). Fitoremediasi dianggap sebagai solusi alternatif terhadap polusi logam berat. Fitoremediasi merupakan salah satu jenis bioremediasi yang menggunakan tumbuhan dan mikrobia tanah untuk menurunkan konsentrasi kontaminan maupun untuk mengurangi efek toksik dari kontaminan tersebut di dalam lingkungan. Fitoremediasi dapat digunakan untuk menghilangkan logam berat dan juga kontaminan organik (seperti pestisida dan hidrokarbon). Tumbuhan hijau diyakini mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk menyerap polutan dari lingkungan dan mendetoksifikasinya melalui berbagai mekanisme. Secara umum, tumbuhan dapat mengatasi kontaminan pada tanah tanpa merusak lapisan topsoil sehinggga kesuburan tanah tetap terjaga. Tumbuhan juga dapat memperbaiki kesuburan tanah dengan cara memberikan input berupa bahan-bahan organik ke dalam tanah. Ekresi berbagai senyawa oleh akar tumuhan dapat membantu proses degradasi senyawa toksik dan dapat pula bertindak sebagai substrat untuk mikroba tanah yang secara langsung dapat meningkatkan proses biodegradasi kontaminan organik. Penanaman vegetasi pada tanah yang terpolusi juga dapat mencegah erosi dan metal leaching, menciptakan habitat untuk berbagai flora dan fauna serta menciptakan bentang alam yang lebih estetis (Singh, 2012). Fitoremediasi merupakan strategi remediasi yang digerakkan oleh tenaga matahari. Fitoremediasi adalah cara yang efektif dipandang dari sudut biaya karena membutuhkan biaya instalasi dan pemeliharaan yang relatif lebih sedikit. Selain itu, fitoremediasi juga lebih efisien, ramah lingkungan dan aplikatif dibanding dengan metode konvensional. Secara umum, publik lebih menerima fitoremediasi dibanding metode yang lain karena dianggap sebagai strategi yang hijau dan bersih (Ali et al., 2013). Jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan sejenis tumbuhan yang berbentuk pohon kecil atau semak besar yang banyak ditemukan di daerah tropis. J. curcas aslinya berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah, tetapi kemudian tersebar ke Amerika Latin, Afrika, India dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Angka harapan hidup tumbuhan ini mencapai 50 tahun. J. curcas merupakan tanaman yang memiliki banyak kegunaan (Pandey et al., 2012). J. curcas sangat potensial untuk digunakan sebagai agen fitoremediator karena memiliki banyak kelebihan (Pandey et al., 2012). Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain: 1. Mampu mengakumulasi logam berat 2. Memiliki koefisien translokasi logam berat yang rendah sehingga logam berat tidak banyak diangkut ke daun dan biji 3. Merupakan tumbuhan yang tidak bisa dimakan, baik oleh manusia maupun oleh hewan sehingga mengurangi resiko masuknya logam berat ke dalam rantai makanan 4. Mampu menghilangkan polutan yang berupa hidrokarbon seperti minyak bumi melalui kerja samanya dengan mikroba tanah 5. Menghasilkan biji yang bisa dijadikan bahan baku untuk biodiesel sehingga merupakan sumber energi yang terbarukan 6. Dapat memperbaiki kesuburan tanah karena dapat meningkatkan karbon organik, biomassa mikroba dan aktivitas enzim di dalam tanah 7. Memiliki sistem perakaran yang menyebar luas sehingga dapat meningkatkan water holding capacity tanah 8. Secara alamiah merupakan tumbuhan tropis sehingga sesuai untuk dimanfaatkan di Indonesia 9. Mampu bertahan hidup pada lahan yang marginal sehingga budidayanya tidak berkompetisi secara langsung dengan tanaman pangan dalam hal penggunaan lahan 10. Mampu bertahan dalam kondisi kering karena memiliki efisiensi yang tinggi dalam penggunaan air 11. Dapat tumbuh dengan cepat dengan pemeliharaan yang minimal 12. Mampu menghadapi stres lingkungan dan serangan hama serta penyakit 13. Mampu hidup pada lahan berkadar garam tinggi 14. Membutuhkan sedikit nutrien 15. Mudah diperbanyak dengan masa gestasi yang pendek Penggunaan J. curcas sebagai fitoremediator tentu membawa banyak manfaat bagi masyarakat di sekitar tambang. Biji minyak jarak dikenal memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30-50%. Minyak ini tidak termasuk minyak untuk makanan (non-edible oil) sehingga penggunaannya tidak menganggu penyediaan minyak makan nasional. Minyak dari J. curcas dapat dengan mudah diubah menjadi bio-fuel yang memenuhi standar Amerika dan Eropa. Beberapa karakteristik unggul yang dimiliki oleh minyak dari J. curcas antara lain memiliki tingkat keasaman yang rendah, stabilitas oksidasi yang lebih baik dibanding dengan minyak kedelai, viskositas yang lebih rendah dibanding minyak jarak serta karakteristik pendinginan yang lebih baik dibanding minyak sawit. Selain itu, viskositas, asam lemak bebas, dan densitas minyak serta biodieselnya juga stabil selama penyimpanan (Pandey et al., 2012). Jika areal remediasi cukup luas, maka tidak mustahil apabila minyak dari biji J. curcas ini bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk membangkitkan tenaga listrik yang bisa disuplai ke desa-desa di sekitar areal remediasi. Konversi minyak biji J. curcas menjadi biodiesel terutama dianjurkan pada J. curcas yang ditanam pada lahan bekas tambang minyak bumi. Ini dikarenakan tambang minyak bumi tidak banyak menghasilkan logam berat sehingga kekhawatiran adanya logam berat pada minyak jauh lebih kecil. Perlu diingat lagi bahwa koefisien translokasi logam berat pada J. curcas cukup kecil sehingga minyak yang dihasilkan dari pohon J. curcas yang hidup pada lahan bekas tambang mineral pun kemungkinan besar tetap tidak mengandung logam berat dalam konsentrasi yang berbahaya. Proses ektraksi minyak sendiri selain menghasilkan minyak juga menghasilkan ampas. Ampas ini bisa digunakan untuk menghasilkan biogas sebelum akhirnya bisa digunakan sebagai pupuk. Pemanfaatan ampas tersebut mampu menghasilkan 60% biogas lebih banyak dibandingkan dengan kotoran ternak (Staubmann et al., 1997). J. curcas mampu memberikan pendapatan bersih selama sekitar 30-35 tahun sejak tahun ke empat dari tahun penanaman (Pandey et al, 2012). Proses pembibitan, penanaman, pemanenan biji, ektraksi minyak dan lain-lain akan memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat terpencil sehingga mengurangi arus urbanisasi. Dengan demikian, diharapkan bahwa pemanfaatan J. curcas sebagai fitoremediator ini akan memperkuat struktur ekonomi masyarakat setempat sekaligus meningkatkan kemandiriannya. Selain itu, listrik yang dihasilkan dari biodiesel untuk penerangan juga akan memperbaiki situasi domestik dan membuat anak-anak sekolah lebih mudah belajar. Apabila penanaman J. curcas ini ditujukan untuk usaha agroforestri dan untuk memproduksi minyak dalam jangka panjang, maka penanaman dengan menggunakan biji lebih dianjurkan. Hal ini dikarenakan tanaman yang dihasilkan dari perbanyakan secara vegetatif tidak menghasilkan akar utama (taproot) sehingga mudah roboh apabila terkena angin. Tanaman yang tumbuh dari biji akan menghasilkan akar utama yang menembus lapisan tanah yang lebih dalam sehingga mampu menyerap nutrien tanpa harus banyak bersaing dengan akar tanaman lain. Jarak penanaman yang dianjurkan adalah 3 m x 3 m karena memberikan hasil yang lebih tinggi, minimal pada tahun-tahun awal (Heller, 1996). Untuk menghasilkan biji yang kandungan minyaknya tinggi, biji harus dipanen saat mencapai kematangan yang ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi kuning kecokelatan. Kematangan biasanya dicapai 90 hari setelah pembungaan, tetapi tidak semua buah matang secara bersamaan. Di daerah dengan curah hujan yang cukup, panen biji bisa dilakukan setiap minggu sepanjang tahun. Potensi panen tanaman ini berkisar antara 0,1-15 ton biji kering/ha/tahun, tergantung dari kondisi tanah, curah hujan dan praktik budi dayanya (Ouwen et al., 2007). Tabel 2 menunjukkan perhitungan keuntungan dari hasil produksi minyak J. curcas selama satu tahun untuk lahan seluas seribu hektar. Angka- angka yang digunakan dalam perhitungan sebagian merupakan asumsi moderat yang diambil dari berbagai sumber. Tabel 2. Perhitungan Keuntungan dari Produksi Minyak oleh J. curcas Kuantitas Satuan Luas lahan 1.000 ha Produktivitas 10.000 kg/ha/tahun Produksi biji kering 10.000.000 kg/tahun Kandungan minyak 50 % Produksi minyak (massa) 5.000.000 kg/tahun Massa jenis minyak 0,96 kg/liter Produksi minyak (volume) 5.208.333 liter/tahun Kebutuhan untuk produksi energi listrik 0,275 liter/kwh Produksi energi listrik 18.939.394 kwh/tahun Tarif dasar listrik 605 rupiah/kwh Penghematan tagihan listrik 11.458.333.333 rupiah/tahun Jatah daya untuk satu keluarga 1.000 watt/keluarga Penggunaan daya oleh keluarga 8 jam/hari Kebutuhan energi listrik 2.880 kwh/keluarga/tahun Jumlah keluarga yang terlayani 6.576 Keluarga
Dari Tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa lahan seluas seribu ha mampu menyuplai kebutuhan listrik sebanyak 5.576 keluarga per tahunnya dengan nilai mencapai sebelas miliar lebih. Ini belum termasuk nilai biogas yang dapat diproduksi dari pemanfaatan ampas hasil ekstraksi minyaknya. Namun demikian, untuk dapat memanfaatkan minyak J. curcas sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik, tentu dibutuhkan biaya investasi untuk berbagai macam peralatan yang dibutuhkan. Untuk efisiensi penghilangan logam berat sendiri, penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa kecambah J. curcas dengan biomassa 3,36 gram mampu menghilangkan 2,35% logam berat pada substrat setelah 60 hari pemaparan. Ini masih bisa ditingkatkan lagi hingga 3,64% dengan penambahan EDTA (Jamil et al., 2009). Efek tersebut bersifat linear, yaitu semakin besar biomassa J. curcas maka semakin besar pula persentase logam berat yang bisa dihilangkan dari tanah. Substrat yang dimaksud di sini adalah tanah yang berada di sekitar akar tanaman J. curcas. Dalam waktu 180 hari, J. curcas juga mampu menghilangkan kontaminan minyak dengan konsentrasi 2,5% di dalam tanah sebanyak 56,6% (w/w). Ini masih bisa ditingkatkan lagi hingga 89,6% apabila dilakukan penambahan pupuk organik dari kulit pisang atau merang (Agamuthu et al., 2010). Tidak mustahil apabila waktu yang digunakan diperlama, maka kontaminasi minyak pada tanah akan hilang sama sekali. Efektifitas dan keuntungan penggunaan J. curcas sebagai agen fitoremediator dapat dioptimalkan dengan menjalankan praktik-praktik agronomi yang baik, seperti penyesuaian rasio tumbuhan jantan dan betina, pemberian pupuk organik, pemberian biofertilizer serta penggunaan lebah untuk memperbaiki proses polinasi. Selain itu, untuk meningkatkan efisiensi penghilangan logam berat dan hidrokarbon oleh J. curcas, perlu dilakukan pencarian varietas baru melalui persilangan diantara varietas-varietas yang telah ada maupun melalui rekayasa genetika. Varietas yang diharapkan adalah J. curcas yang mampu hidup pada lahan marginal dengan tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Selain itu, varietas tersebut juga harus memiliki koefisien tranlokasi logam berat yang rendah, sehingga logam berat tidak terangkut ke organ-organ tumbuhan yang berada di atas tanah. Pemaduan dengan agen fitoremediator yang lain juga bisa dilakukan untuk memperbaiki efektifitas fitoremediasi oleh J. curcas. Salah satu fitoremediator yang tepat untuk dipadukan dengan J. curcas antara lain yaitu rumput akar wangi (Vetiveria zizanioides). V. zizanioides adalah sejenis rumput abadi dengan kemampuan adaptasi ekologis yang kuat dan produktivitas biomassa yang besar, mudah untuk dikelola dan dapat tumbuh dalam kondisi tanah yang beragam. V. zizanioides mampu tumbuh pada lahan yang terkontaminasi logam berat seperti pada lahan bekas tambang maupun bekas minyak serta mampu mengakumulasi logam dalam konsentrasi yang tinggi. Dengan penanaman rumput ini, kontaminasi As pada tanah dapat dikurangi dari 500 mg/kg menjadi 214 mg/kg setelah 6 bulan tanam (Purwani, 2010). Berbeda dengan J. curcas yang memiliki akar yang mampu menembus lapisan tanah yang dalam, V. zizanioides memiliki akar serabut yang menyebar di lapisan tanah bagian atas sehingga mampu menahan erosi tanah oleh angin dan air. Dengan demikian, antara kedua tumbuhan tersebut tidak akan terjadi kompetisi dalam meperebutkan air serta nutrien tanah. 3. Kesimpulan Jatropha curcas merupakan tanaman yang mampu menyerap berbagai logam berat dan hidrokarbon yang ada di dalam tanah secara efektif. Dengan berbagai keunggulan yang dimilikinnya, tanaman ini juga dapat memberikan banyak manfaat terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang. Oleh karena itu, tanaman ini dapat dijadikan alternatif sebagai agen fitoremediator untuk memperbaiki kondisi lahan bekas tambang di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA
Agamuthu, P., Abioye, O. P., Azis, A. A. 2010. Phytoremediation of Soil Contaminated With Used Lubricating Oil Using Jatropha curcas. Journal of Hazardous Materials 179, 891-894. Ali, H., Khan, E., Sajad, M. A. Phytoremediation of Heavy Metals Concepts and Applications. Chemosphere 91, 869-881. Cempel, M., Nikel, G., 2006. Nickel: A Review of Its Sources And Environmental Toxicology. Pol. J. Environ. Stud. 15, 375382. Das, K., Das, S., Dhundasi, S., 2008. Nickel, Its Adverse Health Effects and Oxidative Stress. Indian J. Med. Res. 128, 412425. Heller, J., 1996. Jatropha curcas L., Promoting The Conservation And Use Of Underutilized And Neglected Crops. International Plant Genetic Resources Institute, Rome. Inswiasri, Sukar, Cahyorini. 2008. Kadar Logam Berat Di Lingkungan Wilayah Tambang, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 1, 656-664. Jamil, S., Abhilash, P. C., Singh, N., Sharma, P. N. 2009. Jatropha curcas: A Potential Crop for Phytoremediation of Coal Fly Ash. Journal Of Hazardous Materials 172, 269-275. Khan, S., Hesham, A.E.-L., Qiao, M., Rehman, S., He, J.-Z., 2010. Effects of Cd and Pb on Soil Microbial Community Structure and Activities. Environ. Sci. Pollut. Res. 17, 288296. Pandey, C. P., Singh, K., Singh, J. S., Kumar, A., Singh, B., Singh, R. P. 2012. Jatropha curcas: A Potential Biofuel Plant for Sustainable Environmental Development. Renewable And Sustainable Energy Reviews 16, 2870-2883. Purwani, J. 2010. Remediasi Tanah Dengan Menggunakan Akumulator Logam Berat Akar Wangi (Vetiveria zizanioides L.). Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian Balitbang Pertanian. Singh, S., 2012. Phytoremediation: A Sustainable Alternative for Environmental Challenges. Int. J. Gr. Herb. Chem. 1, 133139. Staubmann, R, Foidl, G., Foidl , N., Gubitz G. M., Lafferty R. M., Arbizu, V. M., et al. 1997. Biogas Production From Jatropha curcas Press Cake. Applications of Biochemistry and Biotechnology 63, 457- 467.