Você está na página 1de 13

1

AEC 2015 DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK


INDONESIA DARI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

AEC 2015 and Its Effect to Indonesias Tax Income from Value Added Tax

Nolaristi

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan, Banten 15222, Indonesia,
nolaristi61@gmail.com

Makalah diterima: 8 September 2014
Disetujui diterbitkan: September 2014


Abstrak

Sebentar lagi Indonesia akan memasuki era hubungan kerjasama di kawasan ASEAN yaitu
ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015). Kerjasama internasional ini akan
mendorong frekuensi terjadinya perdagangan internasional antar anggota ASEAN yang
melibatkan transaksi lintas batas antar negara. Fenomena ini mendorong semakin
dipertimbangkannya implikasi pajak sebagai salah satu faktor pertimbangan utama dalam
proses pengambilan keputusan usaha. Salah satu aspek perpajakan yang dimaksud adalah
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penetapan kebijakan pemungutan bersama antara
anggota AEC harus dilakukan melalui harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan
pemungutan PPN. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan adanya pihak yang
diuntungkan dan pihak yang dirugikan dari transaksi lintas negara.

Kata Kunci: AEC 2015, Pajak Pertambahan Nilai, Harmonisasi dan Sinkronisasi kebikan

Abstract
Sooner Indonesia will enter the era of cooperative relations in the ASEAN region in 2015,
namely the ASEAN Economic Community (AEC 2015). This international collaboration
will drive the frequency of occurrences international trading among ASEAN members that
involve cross-border transactions between countries. This phenomenon encourages the
consideration of the tax implications as one of the main considerations factor in the
business decision making process. One of the aspects of the tax is a Value Added Tax
(VAT). Determination of common policy among members of the AEC must be done
together through policy harmonization and synchronization of VAT collection. This is done
to avoid the possibility of the gainers and losers from transnational transactions

Keywords: Energy Subsidy, Fuel Subsidy, Electricity Subsidy, Po
verty Rate





2

1. PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk sosial
tidak bisa lepas dari interaksi dengan
manusia lainnya untuk memnuhi kebutuhan
hidupnya. Begitu pula dengan sebuah
negara, untuk memenuhi kebutuhannya
negara harus menjalin hubungan internal
dengan masyarakat, menjalin hubungan
dengan negara lain secara individu
(bilateral), maupun menjalin hubungan
dengan negara lain dalam suatu kelompok
(multilateral). Hubungan ekonomi
internasional mencakup setidaknya tiga
hubungan yaitu hubungan ekonomi terkait
pertukaran hasil output, hubungan ekonomi
terkait perukaran sarana produksi atau
faktor produksi serta hubungan hutang
piutang. Salah satu bentuk kerjasama
multilateral adalah Association of the South
East Asian Nations (ASEAN). ASEAN
telah muncul menjadi salah satu blok
perdagangan yang tumbuh pesat setelah
krisis keuangan Asia tahun 1997.
Salah satu bentuk interaksi negara
berupa kerjasama di bidang ekonomi
internasional. Hubungan ekonomi ini bisa
juga disebut sebagai perdagangan
internasional. Perdagangan internasional
akan semakin meningkat seiring dengan
adanya globalisasi yang secara bertahap
mengurangi batasan pergerakan modal yang
artinya menyiratkan elastisitas penawaran
yang lebih tinggi di setiap wilayah
perpajakan (tax jurisdiction) atas faktor
modal dan tenaga kerja. Perpajakan
merupakan salah satu instrumen kebijakan
fiskal yang dinamis. Penerapan perpajakan
tersebut harus senantiasa mengikuti
dinamika perekonomian, baik domestik dan
internasional (Rosdiana, 2006).
Maraknya kegiatan perdagangan
internasional yang melibatkan transaksi
lintas batas Negara, mendorong semakin
dipertimbangkannya implikasi pajak
sebagai salah satu faktor pertimbangan
proses pengambilan keputusan usaha.
Selain itu perdagangan internasional
sebagai salah satu indikator globalisasi
ekonomi mensyaratkan adanya harmonisasi
kebijakan antara negara satu dengan negara
3

lainnya. Salah satu kebijakan yang harus
disamakan adalah penerapan kebijakan
perpajakan. Negara-negara anggota
ASEAN telah terintegrasi dalam satu pasar
tunggal yang berarti perdagangan dan
investasi sangat sensitif terhadap tarif
pajak. Pergerakan perdagangan dan
investasi mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan sosial. Modal
dapat mendatangkan pekerjaan dan
kemakmuran sehingga kebijakan untuk
menarik dan melindungi modal harus
menjadi perhatian para pembuat kebijakan.
Penelitian ini menitikberatkan pada
pentingnya penetapan kebijakan yang
secara khusus mengatur tentang PPN atas
transaksi lintas batas negera dengan adanya
AEC di tahun 2015 serta pengaruhnya
terhadap penerimaan perpajakan khususnya
yang berasal dari PPN. Selain itu dibahas
pula mengenai harmonisasi pajak tidak
langsung terhadap konsumsi (PPN). Tujuan
dari penelitian ini adalah (1) mengetahui
pentingnya penetapan kebijakan PPN atas
transaksi lintas batas negara AEC 2015
serta pengaruhnya terhadap penerimaan
PPN di Indonesia dan (2) menganalisis
alternatif harmonisasi pajak tidak langsung
atas konsumsi di negara anggota ASEAN.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 AEC 2015
Menurut buku Menuju ASEAN
Economic Community (AEC) 2015, AEC
merupakan langkah lebih maju dan
komprehensif dari kesepakan perdagangan
bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area).
Terbentuknya AFTA menunjukkan
komitmen anggota terhadap integrasi
ekonomi, kemajuan perdagangan
internasional, dan investasi, misalnya
dengan menyusun perjanjian perlindungan
investasi. Perkembangan signifikan terjadi
ketika berhasil dirumuskan ASEAN
Economic Community (AEC) pada
Declaration of ASEAN Concord II di Bali,
Oktober 2003, dengan tujuan membentuk
kawasan ekonomi yang kompetitif berdasar
liberalisasi aliran barang, jasa, investasi,
tenaga terdidik, modal, pembangunan
4

ekonomi berimbang, dan pengurangan
kemiskinan serta ketimpangan sosial-
ekonomi pada tahun 2020 (ASEAN Vision
2020).
AEC blueprint mengemanatkan
liberalisasi perdagangan barang yang lebih
meaningfull dari Common Effective
Prefential Tariff-AFTA (CEPT-AFTA).
Komponen arus perdaganan bebas barang
tersebut meliputi penuruan dan
pengahpusan tariff secara signifikan
maupun penghapusan hambatan non-tarif
sesuai skema AFTA. Disamping itu, perlu
dilakukan peningkatan fasilitas
perdagangan yang diharapkan dapat
meperlancar arus perdagangan ASEAN
seperti prosedur kepabeanan, melalui
pembentukan dan penerapan ASEAN Single
Window (ASW), serta mengevaluasi skema
CEPT Rules of Origin (ROO), maupun
melakukan harmonisasi standard dan
kesesuaian.
2.2 Pajak Pertambahan Nilai (Value
Added Tax) dalam Perdagangan
Internasional
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dalam perdagangan internasional akan
melibatkan transaksi lintas batas negara,
sangat memungkinkan ternjadinya double
taxation atau bahkan double non-taxation.
Seperti pernyataan OECD (2013) The
OECD is developing international VAT
guidelines to address uncfertainty and risks
of double taxation and unintended non-
taxation that result from inconsistencies in
the application of VAT to international
trade.
Bert Mesdom (2011)
mengungkapkan bahwa penerapan yuridiksi
yang berbeda antar negara dapat memungut
PPN atas transaksi yang sama. Masalah
utama dalam sistem pemungutan PPN atas
transaksi lintas batas adalah mengenai
bagaimana menentukan jangkauan yuridiksi
pemajakan. PPN merupakan pajak yang
dikenakan berdasarkan prinsip teritorial,
sehingga ketika transaksi yang dilakukan
ternyata melibatkan lebih dari satu teritorial
negara, maka penentuan tempat terutangnya
PPN menjadi rumit. Dalam menentukan
5

yudiksi mana yang berhak mengenakan
PPN atas transaksi lintas batas, Keith
Kendall (2006) mengemukakan dua prinsip
yaitu:
1. Original principle : PPN akan
dikenakan di mana suatu barang
dan/atau jasa berasal/diproduksi.
Sehingga pada sistem ini tidak melihat
apakah barang dan atau jasa tersebut
akan dikonsumsi di negara tersebut
ataupun di ekspor.
2. Destination principle : prinsip ini
mengatur bahwa PPN dikenakan di
tempat konsumsi dilakukan.
Konsekuensinya, atas ekspor
barang/jasa tidak dikenakan PPN,
sedangkan untuk impor akan dikenakan
PPN.
2.3 Harmonisasi Pajak
Harmonisasi pajak merujuk pada
proses penyelarasan sistem pajak pada
suatu kawasan yurisdiksi pemajakan.
Menurut OECD, harmonisasi pajak dapat
terjadi dalam dua pendekatan apakah
eksplisit atau implisit. Disebut harmonisasi
eksplisit, apabila negara sekawasan setuju
untuk memberlakukan tarif pajak yang
sama uniform (standar) atau tarif minimum
(dan maksimum). Sementara itu, akan
disebut harmonisasi implisit (terutama
dalam sistem pajak penghasilan) ketika
suatu negara memungut pajak dari
penduduknya berdasar penghasilan global
(worldwide income) sehingga dapat
menutup celah penghindaran pajak melalui
pelarian modal ke negeri yang menerapkan
tarif pajak lebih rendah. Menurut Velayos
dkk. (2007), harmonisasi pajak dimulai dari
kerjasama (cooperation), koordinasi
(coordination), kompatibilitas
(compatibility), dan standarisasi
(standardization) sebagai bentuk tertinggi
harmonisasi.

1. Harmonisasi pajak yang pertama
dimulai dari kerjasama (cooperation).
Contoh lain yang agak berbeda dengan
harmonisasi adalah kebutuhan akan
pertukaran informasi antar yurisdiksi
pajak (Velayos dkk., 2007).
6

Konsekuensi dari kompetisi Financial
Data Interchange (FDI) adalah
keengganan suatu negara, dalam rangka
mengamankan kepentingan
nasionalnya, untuk terikat pada
pertukaran data. Akses terhadap
informasi menyebabkan kantor pajak
tidak mengalami kesulitan untuk dapat
menetapkan pajak sesuai dengan fakta
dan data sebenarnya.
2. Kecocokan (compatibility) berhubungan
dengan lebih banyak tujuan integrasi
selanjutnya untuk mengidentifikasi
distorsi peraturan pajak berdasarkan
prinsip hubungan timbal-balik secara
global (Velayos dkk., 2007). Contohnya
adalah perjanjian pajak berganda antara
Malaysia dan Singapura. Beberapa
kunci perubahan dalam peraturan
perpajakan terhadap pajak transaksi
perusahaan lintas batas yang selain
mengurangi kelemahan, namun juga
menekankan pada gerakan menuju arah
kecocokan (Hayes, 2008).
3. Standarisasi (standarization)
merupakan level ter- tinggi dari
harmonisasi yang setiap negara
mempunyai beban pajak yang sama
terhadap harga (Velayos dkk.,
2007). Menurut klasifikasi
harmonisasi Patterson dan Serrano
(2000), dalam level ini termasuk
penerapan tarif pajak minimum.
2.4 Sinkronisasi Siklus Bisnis
Sinkronisasi dari siklus bisnis
menggambarkan kekuatan korelasi antara
masing-masing siklus dari beberapa negara.
Semakin tinggi korelasi, maka sinkronisasi
dari siklus bisnis antara beberapa negara
makin tinggi. Ada dua alasan penting
mengapa sikronisasi siklus bisnis perlu
dilakukan (Garcia-Herrero dan Ruiz 2008) :
a) Semakin banyak siklus bisnis yang
disinkronisasikan, semakin kuat dan
cepat transmisi dan penyesuaian dari
Shock antar negara. Proses tranmisi
yang cepat akan membatu dalam
membuat kebijakan kordinasi
internasional.
7

b) Sinkronisasi proses bisnis merupakan
implikasi fungsi dan desain dari
common currency area dan juga
membantu untuk mengoptimalkan
currency area
Perkembangan dari kegiatan intra-
ASEAN menunjukkan hasil yang positif.
Keberlangsungan peningkatan inter dan
intra integrasi regional bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan dari negara
anggota. Sinkronisasi siklus bisnis akan
mempengaruhi kemampuan dari kordinasi
kebijakan yang berujung pada pencapaian
kesatuan moneter (monetary union) di masa
yang akan datang

III METODOLOGI
Makalah ini disusun dengan metode
kualitatif. Menurut Saryono (dalam
Luthfiyah, 2013) penelitian lualitatif
merupakan penelitian yang digunakan
untuk menyelidiki, menemukan,
menggambarkan, dan menjelaskan kualitas
atau keistimewaan dari pengaruh sosial
yang tidak dapat dijelaskan, diukur, atau
digambarkan melalui pendekatan
kuantitatif. Teori tidak menjadi titik tolak
utama pada penelitian kualitatif karena
kuncinya terletak pada data yang diperoleh
di lapangan yang akan disandingkan dengan
teori untuk membangun sebuah penafsiran
umum komprehensif.
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan kajian pustaka. Peneliti berupaya
mengumpulkan data sekunder untuk
mendukung penelitian, melalui buku,
jurnal, artikel, ketentuan perpajakan dari
masing-masing Negara, dan lainnya yang
berhubungan dengan pokok permasalahan.
Studi kepustakaan, menurut Nazir (dalam
Airha, 2012) adalah teknik pengumpulan
data dengan mengadakan studi penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur,
catatan-catatan, dan laporan-laporan yang
ada hubungannya denan masalah yang
dipecahkan.

IV. HASIL ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
4.1 Pentingnya Kebijakan Pengaturan
8

PPN atas Transaksi Lintas Batas Negara
pada AEC 2015 serta Pengaruhnya
terhadap penerimaan PPN di Indonesia

Grafik : Inside tax, edisi 17 tahun 2013
AEC 2015 akan mendorong
meningkatnya arus barang masuk maupun
arus barang keluar di kawasan ASEAN, hal
ini pasti akan mempengaruhi bagaimana
perlakuan perpajakan terhadap PPN yang
harus diterapkan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya double taxation/
double non-taxation. Bagi Indonesia sendiri
proporsi pendapatan PPN merupakan
penyumbang pajak terbesar kedua setelah
PPh. Seperti yang terlihat pada grafik di
atas, proporsi penerimaan Negara yang
berasal dari PPN dari tahun 2007 hinga
tahun 2012 terus mengalami peningkatan.
Pada landasan teori sebelumnya
telah dibahas mengenai prinsip pengenaan
PPN di beberapa Negara. Prinsip tujuan
banyak digunakan dalam menentukan
pemungutan PPN untuk transaksi lintas
batas, karena dianggap lebih netral. Namun
Karena tidak adanya kesepakan
internasional maka tidak menutup
kemungkinan masing-masing Negara
memiliki justifikasi sendiri dalam
menentukan yuridiksi pemungutan PPN.
Secara konsep double taxation / double
non-taxation seharusnya tidak terjadi,
karena PPN adalah pajak atas konsumsi
akhir sehingga jelas PPN seharusnya
dipungut hanya di Negara dilakukannya
konsumsi. Pentingnya kebijakan bersama
tentang pemungutan PPN bertujuan untuk
menghindari :
a. Untuk menangani pengenaaan pajak
berganda dikarenakan masing-masing
Negara menerapkan prinsip
pemungutan PPN yang berbeda,
misalnya Negara A menerapkan
prinsip pemungutan PPN berdasarkan
9

asal, sedangkan Negara B menerapkan
berdasarkan prinsip tujuan.
b. Untuk menghindari double non-
taxation
c. Penerapan prinsip pemungutan PPN
yang sama antara satu degara dengan
Negara lain juga dapat menyebabkan
double taxation / double non-taxation.
Hal ini dapat terjadi apabila di Negara
asal PPN dikenakan karena yang
melakukan ekspor adalah konsumen
yang belum terdaftar (unregistered
consumer), sedangkan PPN yang
dibayar untuk Negara asala tidak dapat
dibiayakan di Negara tujuan.
d. Perbedaan persepsi masing-masing
Negara mengenai tempat terjadinya
konsumsi.
Ketentuan penetapan PPN di
Indonesia seharusnya tidak berpengaruh
pada penerimaan PPN itu sendiri. Konsep
dasar PPN harusnya menganut prinsip
netralitas. Menurut OECD netralitas dalam
pemungutan PPN, adalah suatu keharusan.
Prinsip netralitas di sini maksudnya adalah
efek dari pengenaan PPN harus bersifat
netral dalam dunia perdagangan, baik
domestik maupun internasional. Artinya,
sistem pemungutan PPN tidak
mempengaruhi kompetisi dalam dunia
usaha dan tidak menciptakan distorsi
dalam kompetisi perekonomian. Pajak
dikatakan netral apabila pajak tersebut
tidak mendistorsi pilihan ekonomi.
4.2 Alternatif Harmonisasi Pajak Tidak
Langsung atas Konsumsi (PPN) di
Negara Anggota ASEAN
Negara-negara anggota ASEAN
pada umumnya belum memiliki kerangka
teknis harmonisasi pajak tidak langsung.
Pada saat ini kebijakan untuk memperlancar
arus barang dan jasa dalam kawasan baru
sebatas penetapan tarif standar atau
pembebasan bea masuk. Penyelarasan
ketentuan taxable base berdampak material
terhadap perekonomian negara
bersangkutan, yakni pengaruh terhadap
penerimaan dan kemampuan belanja
negara, serta jumlah agregat permintaan
dan penawaran atas barang/jasa sebagai
10

akibat perubahan harga karena faktor
pajak, dan aktivitas administrasi pajak dan
prosedur kepabeanan tiap negara anggota.
Oleh karena itu, diperlukan political-will
dari negara anggota ASEAN untuk
melakukan harmonisasi dimaksud.
Dengan semakin terintegrasinya
ekonomi di kawasan ASEAN, lalu lintas
barang dan jasa akan semakin intensif.
Bagi negara pengekspor barang,
peningkatan jumlah ekspor barang
mengakibatkan makin banyaknya beban
administrasi dan pengawasan, yakni
meningkatnya jumlah klaim atas restitusi
pajak berarti semakin banyak modal
pengusaha yang sementara tertahan di kas
negara dan pengawasan apakah bukan
ekspor fiktif. Sedangkan negara pengimpor,
selain kesibukan bertambah untuk
memungut pajak atas impor juga harus
meningkatkan pengawasan atas impor,
jangan sampai meningkatkan
penyelundupan, terutama bagi negara
kepulauan seperti Indonesia. Permasalahan
lebih besar dijumpai dalam international
service karena wujud ekspor jasa dan
tempat penyerahan jasa sulit diawasi
sehingga amat potensial dipakai sebagai
sarana penggangsiran uang negara.
Mengawasi ekspor barang yang jelas lalu
lintas fisik dan dokumennya saja tidak
mudah, apalagi mengawasi ekspor jasa
yang bersifat maya tanpa lalu lintas fisik
dan dokumen.
Terkait dengan masalah lalu lintas
barang dan jasa antar yuridiksi, terdapat
beberapa alternative yang dapat
dipertimbangkan untuk meningkatkan
efisiensi administrasi pajak. Ebrill dkk
(2001) memperkenalkan apa yang disebut
destination-based VAT without zero-rating.
Pada pendekatan ini, penyerahan barang
antar yuridiksi diperlakukan sebagai
penyerahan dalam negeri. PKP eksportir
Indonesia memungut pajak atas
penyerahannya pada importer Singapura
dan menyetorkan pajak atas penyerahannya
ke kantor pajak Indonesia. Sementara, PKP
importer Singapura, walaupun membayar
pajak memlalui eksportir Indonesia dapat
11

mengkreditkan pajak tersebut atas
penyerahan yang dilakukan di Singapura
dan sebaliknya. Selanjutnya pendekatan ini
dapat dilakukan dengan empat cara:
a. Clearinghouse yaitu ekspor-impor
barang diperlakukan sama seperti
penyerahan dalam negeri
b. Model Israel West Bank and Gaza
Strip yaitu untuk mekanisme
clearing pajak bulanan antar
Negara, dalam melakukan transaksi
penyerahan barang para PKP tiap
Negara akan memberikan suatu
kode misalnya INA untuk
Indonesia. Pada tiap akhir bulan
administrasi masing-masing Negara
membuat perhitungan utang-piutang
pajak antar Negara berdasarkan
jumlah faktur berkode.
c. Viable Integrated VAT (VIVAT)
adalah mengenakan pajak sebesar
tarif standar atas PKP sekawasan,
termasuk transaksi antar yuridiksi.
Penjualan kepada konsumen
termasuk non-PKP dikenakan pajak
sesuai dengan tarif di Negara
setempat.
d. Compensating VAT (CVAT) adalah
sistem yang serupa dengan clearing
house, selain memberlakukan tariff
0% atas ekpor, dalam CVAT
importer berhak mengklaim atas
compensating pajak masukan yang
telah dibayarkan kepada eksportir

V. KESIMPULAN
Harmonisasi penetapan kebijakan
pajak tidak langung atas konsumsi (PPN)
harus dilakukan pada negara-negara yang
melakukan transaksi lintas batas pada
perdagangan internasional. AEC 2015
sebagai salah satu wadah yang
memfasilitasi terjadinya perdagangan
internasional wajib mensinkronisasikan
kebijakan atas pemungutan PPN hal ini
dikarenakan untuk menhindari adanya
double taxation, double non-taxation,
perbedaan persepsi tentang tempat
terjadinya konsumsi akhir suatu barang dan
jasa, serta adanya kepentingan dari masing-
12

masing negara untuk menerapkan peraturan
yang merugikan bagi para pelaku ekonomi
internasional dalam AEC 2015. Secara
prinsip penerapan pemungutan PPN
didasarkan pada prinsip pemungutan
berdasarkan asal dan juga berdasarkan
prinsip tujuan. Sedangkan OECD mengatur
bahwa pada prinsipnya pemungutan PPN
harus menganut asas netralitas, yaitu bahwa
pemungutan pajak tidak mendistorsi pilihan
ekonomi.
Pilihan untuk melakukan
harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan
dapat diprioritaskan untuk menangani
transaksi penyerahan barang dan jasa antar
negara, sehingga sistem yang berlaku dapat
lebihefektif. Terdapat empat metode yang
dapat diterapkan, yaitu clearinghouse,
model Israel WBG, VIVAT dan CVAT.
Keempat pendekatan dapat berlaku secara
efektif untuk mengoptimalkan penerimaan
negara, efisiensi administrasi pemungutan
pajak, dan pengawasan lalu lintas barang
antar negara.




DAFTAR PUSTAKA

Mesdom, Bert. 2011. VAT and Cross-
Border Trade: Do Border
Adjusments Make VAT a Fair Tax?
Tax Analysts: 192.
Kendall, Keith. 2006. Using Destination
and Origin Principle in Developing
VAT Legislation. Tax Note
International: 988.
OECD. 2013. International VAT?GST
Guidelines.
Rosdiana, Haula, 2006. Implikasi
Perluasaan Definisi Royalti
Terhadap kondisi telematika. Jurnal
Ilmu Administrasi dan Organisasi,
Bisnis Birokrasi, Vol.14 No
3(September)
Schenk, Alan and Oliver Oldman. 2007.
Value Added Tax: A Comparative
Approach. New York. Cambridge
University Press.
Republik Indonesia, Undang-Undang
nomor 42 Tahun 2009 Tentang
Pajak Nilai Barang dan Jasa dan
Pakal Penjualan Atas barang
Mewah. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 150.
Gunadi. 2010. Harmonisasi Pajak Tidak
Langsung atas Konsumsi di Negara-
Negara Anggota ASEAN. Jurnal
Ilmu administrasi dan Organisasi:
hal 127-137.
Luthfiyah, Fitwi (2013). Metode Penelitian
Kualitatif (Sistematika Penelitian
Kualitatif). Diakses tanggal 5
September 2014 dari
http://fitwiethayalisyi.wordpress.com/te
13

knologi-pendidikan/metode-penelitian-
kualitaif-sistematika-penelitian-
kualitatif/
Departemen Perdagangan RI. 2012. Menuju
ASEAN Economic Community 2015.
Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi
RI. 2013. Kondisi dan Upaya
Peningkatan Daya Ketenagakerjaan
Indonesia dalam Menhadapi AEC
2015. Tinjauan Ekonomi dan
Keuangan: Vol. 3 no. 06.
Kurniati, Yati & Aida S. Budiman. 2011.
Embracing ASEA Economic
Integration 2015: A Quest for
ASEAN Business Cycle from
Indonesias Point of View. ISEAS
Publishing Institute of Southeast
Asian Studies.
Insite tax. 2013. Edisi 17

Você também pode gostar