ARBITRASE (UU NO. 30 TAHUN 1999) Dlsuaun Oleh Tim Dl bawah Plmplnan Dr. Huala Adolf, S.H., LLM. PERPUSTAKAAN HUKUM <:' I PUSAT DOKUMENTASI . . DAN INFORMAAASI BAD.A.N PEMBIN . . . BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM Rl ANALI.SIS DAN EVALUASI HUKUM PENYELE,:SAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE (UU N0 ... 30 TAHUN 1999) ' . ,\ : . .: . Editor: Syalful Watni, S.H. Suradji, S.H., M.H. Sahadi DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM 1 BADAN PEMiiiNAAN HUKUM NASIONAL PUSAT DOKUMENTASI OAN INFORMASI HUKUM NOMOII!t INDUK . TGL. REGISTRASI
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL OEPARTEMEN HUKUM DAN HAM Rl ,("I KATA PENGANTAR Roda perekonomian dunia salah satunya dipengaruhi oleh majunya perdagangan dunia yang dilaksanakan dengan lancar oleh para pelaku usaha. Kondisi ini dapat membawa kemakmuran bagi masyarakat dunia. Namun dalam pelaksanaan perjanjian perdagangan tidak semuanya berjalan mulus, dapat menimbulkan perselisihan bila salah satu pihak melakukan wanprestasi. . Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui lembaga peradilan dan dapatjuga dilakukan melalui penyelesaian di luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan utamanya lembaga arbitrase semakin diminati karena berbagai faktor, antara lain karena prosedur yang ditempuh sederhana, waktu yang diperlukan relatif singkat, dan pemeriksaan perkara dilakukan secara tertutup oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh para pihak yang berperkara. Indonesia telah memiliki undang-undang tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan lembaga arbitrase di Indonesia khususnya dengan berlakunya Undang- undang tentang Arbitrase, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Rl pada tahun anggaran 2004 mengadakan kegiatan analisis dan evaluasi hukum tentang "Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999)". Laporan akhir hasil anal isis dan evaluasi hukum tersebut pada tahun 2006 diupayakan untuk diterbitkan. Tersedianya sarana hasil terbitan tersebut akan bermanfaat bagi . kalangan luas utamanya para penyelenggara negara dan pemerintahan yang bidang tugasnya mengenai perdagangan, serta pelaku usaha. Akhirnya kepada Saudara Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M. dan semua pihak yang terkait dan berperan aktif dalam menghasilkan v karya laporan analisis dan evaluasi hukum tersebut, sehingga dapat diterbitkan sebagai sebuah karya yang bermanfaat bagi kalangan luas, kami ucapkan terima kasih. Jakarta, Juli 2006 vi KATA PENGANTAR Kegiatan tim Anal isis dan Evaluasi Hukum Tertulis tentang Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) adalah salah satu kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Man usia Rl yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Rl No. G-36.PR.09.03 Tahun 2004 tanggal21 Januari 2004. Dalam kegiatan ini, tim ditugaskan untuk menganalisis dan mengevaluasi mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Tujuannya adalah untuk mengetahui efektifitas peraturan yang ada, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi dalam perencanaan pembangunan hukum nasion at. Secara umum dalam tim telah menginventarisir beberapa permasalahan yang timbul dalam kaitannya dengan pelak- sanaan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Permasalahan tersebut antara lain bunyi pasal dan penjelasan dalam undang- undang harus lebih diperjelas, kompetensi absolut, hak ingkar, pembatalan putusan arbitrase, imunitas arbiter dan lembaga arbitrase, aturan tentang arbiter internasional, pendaftaran putusan arbitrase, online arbitrase. Harapan kami semoga hasil yang telah dicapai oleh tim ini dapat bermanfaat bagi pembangunan hukum, khususnya dalam penyempurnaan peraturan perundang-undangan mengenai arbitrase. Tim menyadari hasillaporan ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhirnya atas nama tim kami vii mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan kepercayaan kepada tim ini. viii
Ketua ttd Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M. DAFTAR lSI Halaman KATA PENGANTAR .............................................................. v DAFTAR lSI........................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN A. La tar Belakang .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .... .. ...... .. .. .. .. .. .. .. .. 1 B. Pokok Bahasan.. ................ ............ ...... .... .. ....... 3 C. Maksud dan Tujuan .. .. .......... .................... ...... .. 4 D. Metodologi ........................................................ 4 E. Waktu Pelaksanaan .. .. .. .... .. .. .............. .... .. .... .. .. 4 F. Keanggotaan .. .. .. .. .. .. .. .. .... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 4 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA A. Pendahuluan .. ............. ................... ........ ... ........ 7 B. Arbitrase .. .. .... ........................ ........................... 9 C. Arbiter................ ............................................... 12 D. Prosedur Arbitrase ............................................ 15 E. Putusan Arbitrase .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 18 F. Upaya Perlawanan .... .. .......... ........................... 22 G. Evaluasi ............................................................ 23 BAB Ill PERMASALAHAN YANG TIMBUL SEHUBUNGAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 A. Bunyi Pasal Dalam Undang-Undang Harus Lebih Diperjelas ...... .. .. .. .. .... ...................... ...... . 25 B. Kompetensi Absolut .. .. .. .. .. .. .. .. .... .. ...... .. .. .. .. .. .... 25 C. Hak lngkar ... ...... ... ..... ...... . .. .. .. .. .. .... .... ......... ..... 26 ix I D. Pembatalan Putusan Arbitrase ......................... 26 E. lmunitas Arbiter dan Lembaga Arbitrase..... ...... 28 F. Pendaftaran Putusan Arbitrase .... .. .. .. .. .. .. .... .. .. . 28 G. Aturan Tentang Arbitrase lntemasional............. 30 H. On Line Arbitration............................................ 31 BAB IV ANALISIS A. Konsepsi Suatu Peraturan Perundang- undangan .. .. .. .. . . .. .. . . . . . . . .. . .. . .. . .. .. . . .. . . .. ... .. . ... . . .. .. . 33 B. Kompetensi Absolut Lembaga Arbitrase.. ......... 41 C. Hak lngkar .............................. .......................... 44 D. Pembatalan Putusan Arbitrase ......................... 46 E. lmunltas Arbiter................................................. 48 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ....................................................... 51 B. Saran ........................... ..................................... 51 DAFTAR PUSTAKA............................................................... 55 LAMP IRAN: UU NO. 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ........................ 57 X A Latar Belakang BABI PENDAHULUAN S eiring dengan perkembanganjaman dan kemajuan teknologi, maka era globalisasi yang melanda seluruh dunia telah memberikan pengaruh pada semua aspekkehidupan. Tidak terkecuali bidang ekonomi , khususnya perdagangan/bisnis. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai macam perjanjian multilateral, regional dan bilateral serta pembentukan blok-blok ekonomi dalam dunia perdagangan yang tidak mengenal batas antar negara. Majunya perdagangan dunia ini, disatu sisi memang memberikan dampak positif, namun disisi lain dapat menimbulkan perselisihan atau sengketa apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap kontrak dagang tersebut. Dengan mendasarkan kenyataan bahwa efisiensi waktu, biaya, tenaga dan kepercayaan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam dunia perdagangan atau bisnis, maka perselisihan atau sengketa tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan merugikan semua pihak. Dengan kata lain segera harus diselesaikan dengan cara yang dapat memuaskan semua pihak. Meskipun tiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan sengketa, akan tetapi dalam dunia perdagangan mulai dikenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen "menguntungkann dan memberi rasa "aman" dan keadilan bagi para pihak, yang salah satunya adalah penyelesaian sengketa perdagangan/bisnis di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan semakin populer di kalangan dunia perdagangan, karena disebabkan berbagai faktor antara lain karena prosedur dan waktu yang diperlukan sederhana dan lebih singkat dari pada berperkara di pengadilan. Penyebabnya karena berperkara di pengadilan Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 1 mengenal adanya tingkatan pemeriksaan perkara. Pemeriksaan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi atau bahkan tingkat peninjauan kern bali (Judicial Review) sering digunakan oleh pihak yang kalah untuk mengulur-ulur pelaksanaan amar putusan hakim yang dijatuhkan kepadanya. Selain itu hal tersebut juga menimbulkan konsekuensi biaya yang tinggi yang harus dipikul oleh para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lazim disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai prosedur yang lebih sederhana dengan jangka waktu yang sing kat, dan pemeriksaan perkara dilakukan secara tertutup. Keuntungan dengan penyelesaian dengan cara tersebut adalah putusannya bersifat final (tanpa kemungkinan banding) dan mengikat kedua belah pihak. Selain itu para pihak yang berperkara dapat menunjuk atau memilih sendiri pihak ke tiga yang dipandang memiliki keahlian untuk menyelesaikan sengketa. Di Indonesia pengaturan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dengan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, (tanggal 12 Agustus 1999). Adapun penyelesaian sengketa di luar pengadilan terdiri dari: 1. Negosiasi, yaitu suatu upaya penyelesaian sengketa di luar peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif; 2. Mediasi, adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak membuat atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang sebagai fasilitator untuk terlaksananya dia- log antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat; 3. Konsiliasi, adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan fakta, membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian namun keputusannya tidak mengikat; 2 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional . 4. Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan. Dalam praktek kenyataannya, para pelaku bisnis/pengusaha di Indonesia lebih banyak memilih penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase karena mereka menganggap proses penyelesaian dalam arbitrase dinilai lebih cepat dan hem at biaya, dengan menyerahkannya kepada wasit/arbitrase yang dianggap memiliki keahlian mengenai persoalan yang dipersengketakan serta keputusannya bersifat rahasia (hanya diketahui oleh para pihak saja). Sedangkan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi masih jarang digunakan dan kurang familiardi kalangan dunia usaha. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka peraturan-peraturan yang mengatur mengenai arbitrase sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan praktek di bidang arbitrase. Walaupun demikian, dalam perkembangannya undang-undang ini masih mempunyai banyak kelemahannya. Untuk itulah, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melakukan kegiatan Analisis dan Evaluasi ini untuk mengetahui permasalahan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan penyelesaian sengketa melal ui arbitrase dalam rangka untuk memberikan masukan-masukan dalam pengembangan perencanaan pembangunan hukum nasional. B. Pokok Bahasan Adapun yang akan dibahas dalam kegiatan ini adalah menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang. tim but dari pelaksanaan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, khususnya Arbitrase yang sudah ada dan terlembaga dalam hal ini BANI dalam rangka Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 3 menghadapi pasar bebas dengan harapan Tim ini dapat memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut. C. aksud dan Tujuan Maksud kegiatan tim Analisis dan Evaluasi ini adalah: 1. untuk menganalisis dan mengevaluasi permasalahan- permasalahan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999; 2. untuk memberikan masukan dalam membangun sistem hukum nasional dan memberikan saran/rekomendasi sebagai dasar kebijakan perencanaan pembangunan materi hukum. D. Metodologi Metodologi yang digunakan adalah metode yuridis normatif- empirik yaitu dengan mengumpulkan data-data sekunder yang relevan dengan masalah yang dibahas dengan melakukan penelitian bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, antara lain Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta buku-buku, artikel koran dan majalah yang berhubungan dengan masalah tersebut. E. Waktu Pelaksanaan Kegiatan ini dilaksanakan selama satu tahun anggaran 2004 (12 bulan), terhitung sejak bulan Januari 2004 sampai dengan bulan Desember 2004. F. Keanggotaan Ketua Sekretaris Dr. HualaAdolf, S.H., LL.M. Achfadz, S.H. 4 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Anggota 1. Ora. N. Krisnawenda, M.Si. 2. Ridwan Mansyur, S.H., M.Hum. 3. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. 4. Enny Dwi Astuti, S.H. 5. Hendry Donald, S.H., M.H. 6. Rahendro Jati, S.H. 7. Raida L. Tobing, S.H. Asisten 1. Tuti Trihastuti, S.H. 2. Dadang Iskandar Pengetik 1. Tatang Sudrajat 2. Sukoyo Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 5 6 -------------Badan Pembinaan Hukum Nasiona/ BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA A. Pendahuluan U ndang-undang ini telah lama dinanti-nantikan oleh banyak kalangan di Indonesia. Pada bulan Agustus 1999, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengket a (selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase). Pada waktu dulu, ada banyak suara yang mendesak pemberlakuan undang-undang ini sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang berkembang mengenai penyelesaian sengketa komersial yang efektif, singkat dan terpercaya di Indonesia. Sebelum undang-undang ini disahkan, hukum tentang arbitrase di Indonesia diaturoleh Pasal615-651 Reglemen Hukum Acara Perdata (Rv). Sebenarnya, Rv itu sendiri bersumber dari Rv Belanda, dan bukan merupakan hukum dalam arti sebenarnya. Mahkamah Agung Indonesia sendiri mempertimbangkan Rv tersebut sebagai "pedoman". Rv tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dapat dimengerti kemudian jika pada waktu itu pengadilan di Indonesia umumnya memiliki kewenangan yang besar untuk menerapkan dan menafsirkan ketentuan hukum tersebut terhadap praktik arbitrase di Indonesia. Usaha-usaha untuk mengeksplorasi kemungkinan pemberlakuan undang-undang arbitrase telah dimulai sejak tahun 1980-an. Pada masa itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), mengajukan draft RUU Perdagangan Indonesia yang Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 7 salah satu bagian di dalamnya mengandung pengaturan tentang arbitrase. BPHN telah berhasil membuat draf RUU Perdagangan tersebut dan diajukan kepada Sekretariat Negara untuk dipelajari sebelum secara resmi diajukan kepada DPR. Sayangnya, draf RUU tersebut tidak pemah 'tersentuh' oleh Sekretariat Negara. Draf tersebut hanya tersimpan begitu saja dalam file Sekretariat Negara. Alasan utamanya adalah bahwa Sekretariat Negara juga telah dipenuhi oleh draf RUU bidang ekonomi lain yang dirasakan lebih penting. Pergantian pemerintahan pada tahun 1997 melahirkan tekanan baru mengenai permintaan dari kalangan masyarakat bisnis untuk memberlakukan undang-undang arbitrase. Akhirnya t ekanan-tekanan tersebut dapat membuat pemerintah memutuskan untuk mengesahkan RUU tersebut. Undang-undang tersebut tidak mengikuti the UNCITRAL Model Law on lnternatinal Commercial Arbitration of 1985 (UNCITRAL Model Law). Kebanyakan ketentuan undang-undang tersebut secara esensial merupakan perpanjangan dari Rv dan aturuan-aturan yang dikembangkan sebelum arbitrase dikenal di Indonesia. Dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Indonesia untuk pertama kali memiliki undang-undang arbitrase. Mungkin tidak biasa bagi banyak negara bahwa undang-undang itu juga mengandung ketentuan tentang alternatif penyelesaian sengketa (ADR), kendati undang-undang tersebut hanya memiliki satu pasal saja mengenai ADR (yaitu pasal 6) dari keseluruhan 82 pasal. Sebagai tambahan terhadap undang-undang ini, Indonesia juga terikat terhadap New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958 (Konvensi New York 1958) sebagaimana telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No; 34 Tahun 1981. Indonesia juga merupakan anggota 8 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Washington Convention on the Settlement of Investment Dis- putes Between States and National of Other States of 1965 diratifikasi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1968. Ketentuan tentang altematif penyelesaian sengketa pada kenyataannya hanya mengatur masalah yang sangat mendasar. Sebagaimana telah luas diketahui, altematif penyelesaian sengketa merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Termasuk antara lain negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau cara-cara lain yang dipilih oleh para pihak. Namun undang-undang arbitrase tidak menyebutkan mengenai hal-hal tersebut. Undang-undang itu hanya menyatakan bahwa para pihak dapat menyelesaikan sengketa dengan negoisasi. Jika negoisasi gagal, undang-undang mensyaratkan para pihak untuk memilih mediasi. Jangka waktu untuk melakukan mediasi adalah 30 (tiga puluh) hari. Undang- undang mensyaratkan penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didaftarkan kepada pengadilan negeri dimana mediasi dilakukan. Jika prosedur mediasi gagal, para pihak dapat memilih untuk memasukkan sengketa mereka kepada badan arbitrase atau arbitrase ad hoc. B. Arbitrase Undang-undang arbitrase mengandung sejumlah ketentuan- ketentuan baru bila dibandingkan derigan ketentuan hukum lama yang terdapat dalam Rv. Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) ketentuan panting dalam undang-undang arbitrase. Pertama, Undang-undang arbitrase menentukan batas waktu untuk setiap tahapan dalam proses arbitrase (termasuk dalam proses ADR); dari pemilihan arbiter, sampai dengan batas waktu bagi arbiter mengambil putusan. 1 Kedua, Undang-undang arbitrase membedakan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase intemasional (arbitrase 1 Peul65(e)UUArblrae Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 9 asing). Tindakan untuk pemberlakuan perintah eksekusi dilakukan oleh pengadilan. Ketiga, Ketentuan eksekusi putusan dapat dilakukan jika salah satu dari pihak yang bersengketa adalah negara Indonesia. Jika terdapat kasus seperti ini undang-undang arbitrase menentukan bahwa Mahkamah Agung harus memberikan perintah eksekusi dalam hubungannya dengan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Jika penyelesaian sengketa melibatkan pihak-pihak bukan negara (privat), maka eksekusi dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 2 1. Bentuk dan lsi Undang-undang arbitrase mengikuti ketentuan Rv tentang arbitrase hanya mengenai bentuk dan isi perjanjian arbitrase. Para pihak dapat memperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa (submission) dalam bentuk perjanjian (pactum de compromitendo). Tidak ada syarat tertentu yang diminta oleh undang- undang mengenai isi tetapi sejumlah persyaratan lain haruslah dipenuhL Pertama, harus dalam bentuk tertulis. Kedua, perjanjian harus ditandatangani oleh para pihak. 3 Jika perjanjian dilakukan melalui teleks, telegram, faksimile, email atau cara-cara lain, masing-masing pihak diwajibkan untuk membuat salinan penerimaan sebagai bukti bahwa perjanjian arbitrase telah disetujui. Hal ini tidak disebutkan dalam Rv. 2. Arbitrabily Undang-undang arbitrase menentukan bahwa tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Menu rut undang-undang arbitrase sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa dagang (Pasal 5). Lebih 2 Pasal65 (d) UU Albitrase Pasal3:3 dan Pasal4:2 UU Arbitrase 10 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional jauh lagi, alinea 2 pasal 5 ini menentukan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan arbitrase adalah sengketa-sengketa yang menurut hukum tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase. Kriteria yang digunakan berdasarkan undang-undang tersebut tidak jelas. Rv menggambarkan dengan jelas sengketa-sengketa apa saja yang berada di bawah juri sdiksi arbitrase, kendati didefinisi kan dengan kriteria yang terbuka. 4 Meskipun demikian, apabila para pihak mengalami keragu-raguan, lebih baik untuk berkonsultasi dengan pengacara Indonesia untuk memastikan apakah subjek kesepakatan dalam arbitrase (klausula) telah sesuai dengan istilah perdagangan dalam hukum Indonesia. Suatu perjanjian yang mengatur subjek tertentu tidak bol eh bertentangan dengan hukum (ketertiban umum). Pelanggaran ketertiban umum ini akan membuat putusan tidak dapat dilaksanakan. Dalam kasus E.D & F Man (Sugar) Ltd. v. Haryanto, pengadilan Indonesia menyatakan bahwa pembelian gula bertentangan dengan hukum (kepentingan umum di Indonesia). Pengadilan berpendapat badan hukum yang satu-satunya memiliki kewenangan untuk mengimpor gula, adalah BULOG (Badan Urusan Logistik). 5 3. Akibat Hukum Perjanji an Perjanjian arbi t rase mengikat para pihak yang menandatanganinya. Undang-undang arbitrase secara j elas menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa bila para pihak. terikat perjanjian arbitrase. 6 Ketentuan hukum ini telah lama Meootut Pasal616 Rv, Mngkela-sengketa yang lidak dapat diselesaikan melalul arbilrase an tara lain sengketa perceraian, pembagian hello gono glnl, sengketa pe<Se0<811g8<1, dan sengketa lalnnya yang menurut hukum tidak dapat diselesaikan denga1 ablwe". ct. UNCilRALModel '--rnerekomendasi< lri.Atmendellnlsi<an ....... "oonmercial' (baca: peldagargal) dengan panafsiran yang luas . Sudargo HIAa.m Dagang Indonesia (Bancblg: Cilra Aditya Baldi, 1995) hm. 482 1 Pasal3 8n 7:2 UU Albitrase Badan Pembinaan Hukum Nasional----- ------ 11 dipraktikkan di Indonesia sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa putusan Mahkamah Agung. Antara lain dalam putusan kasus PT Metropolitan Timbers me/a wan PT Gaphi Trading (19/6)1; PT Baru Mulia Utama melawan Sainrapt et Brice-Societe Auxi/iare e'Enterprises/Societe Routiere Colas (1985) 8 ; dan AHJU Forestry Company Ltd. melawan PT Balapan Jaya (1987)" 9 Tetapi pengadilan negeri kadang-kadang tidak mengikuti aturan ini. Ada beberapa kasus di mana Pengadilan Negeri menetapkan bahwa mereka memiliki kewenangan terhadap suatu sengketa meskipun para pihak sebelumya telah membuat perjanjian arbitrase. Sebagai contoh, tanggal 25 Januari 2000, dalam kasus Perusahaan Dagang Tempo melawan PT Roche Indonesia, Ketua PN Jakarta Selatan menyatakan bahwa PN memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut. Pasal 19 perjanjian yang ditandatangani kedua pihak secara jelas menyatakan bahwa jika timbul sengketa, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase. 10 Putusan ini dikritik oleh banyak ahli hukum. Argumen yang dikemukakan oleh PN Jakarta Selatan ini telah melanggar UU Abitrase. Sepertinya putusan semaccim ini tidak diikuti oleh PN lain di masa mendatang. C. Arbiter 1. Kualifikasi Undang-undang arbitrase tidak menentukan siapa yang dapat menjadi arbiter. Tetapi pasal12 undang-undang arbitrase menentukan beberapa persyaratan untuk menjadi arbiter. Persyaratan tersebut antara lain: 1) Memiliki kapasitas yang diakui oleh hukum Indonesia 'Putusan MahkamahAgung No225 K/Sip(1976. t.anggal8 Februari 1982. I Puklsan Mahkamah Agung No3992 K/Sip{1985 tanggal4 Mei 1988. I Pulusan Mahkamah Agung No2924/Sip/1981 tanggal22 Februari 1982 . .. Kampas 27 J...ari 2000 12 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional 2) minimum berumur 25 tahun 3) tidak memiliki hubungan apapun dengan para pihak, termasuk hubungan keluarga atau keuangan, dan 4) harus memiliki kewenangan selama 15 tahun di bidangnya. Undang-undang arbitrase menentukan bahwa hakim, jaksa, dan pejabat pengadilan lainnya tidak berwenang untuk bertindak sebagai arbiter. Sarna dengan itu, Rv juga mengatur persyaratan untuk arbiter, tetapi tidak menyebutkan persyaratan wajib memiliki pengalaman yang cukup lama dalam bidangnya (yaitu 15 tahun pengalaman). Hal ini merupakan ketentuan baru dan positif dalam undang-undang tersbut guna mencapai solusi yang memuaskan. 2. Perlawanan terhadap Arbiter Menu rut Rv, setiap pihak dapat menentang arbiter yang dipilih "karena alasan-alasan tertentu setelah pencalonan". 11 Menurut undang-undang arbitrase, ketentuan ini tidak banyak berubah. Namun, sebelum pertawanan diajukan, para pihak harus memiliki cukup bukti yang dapat menimbulkan keragu- raguan bahwa arbiter (yang ditunjuk oleh pihak lain) tidak akan bebas atau lepas dalam membuat putusan. 12 Perlawanan terhadap arbiter juga dapat dibuat jika terdapat bukti bahwa arbiter yang ditunjuk memiliki hubungan keluarga, finansial atau hubungan dengan salah satu pihak atau kuasanya. 3. Jumlah Arbiter Undang-undang arbitrase memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat mengenai jumlah arbi- ter untuk menyelesaikan sengketa. Tetapi undang-undang tersebut juga secara implisit menunjuk satu atau tiga arbiter. 13 "Paull21 KUHPer ........ 22 (1) UUAiblraM "P8ul14:1 dM 15:1 UUNtllnM Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 13 Hal ini sudah merupakan praktik yang berlangsung lama di Indonesia. Apabila para pihak gagal untuk memilih arbitemya, maka ketua Pengadilan Negeri di mana arbitrase dilangsungkan dapat memilih arbiter untuk para pihak. 14 4. Penunjukan Arbiter Jika jumlah arbiter tiga orang, arbiter yang dipilih oleh masing-masing pihak dapat memilih arbiter ketiga sebagai presiden atau ketua majelis atau dewan arbitrase. Jika hanya ada satu arbiter yang dipilih oleh salah satu pihak, sedangkan pihak lain gaga I atau tidak dapat memilih arbiter, arbitrase itu harus diketuai oleh arbiter tunggal tersebut. Arbiter memiliki hak untuk menerima atau menolak penunjukannya untuk menjadi arbiter. Apabila ia menolak a tau menerima penunjukan, maka dia wajib melaporkan secara tertulis kepada para pihak dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal penunjukan. Jika penolakan tersebut diterima oleh para pihak, penunjukan arbiter baru dilakukan sesuai dengan aturan yang tersedia untuk penunjukan arbiter sebelumnya. Dalam melaksanakan tugasnya seorang arbiter tidak diperbolehkan mengundurkan diri kecuali dengan persetujuan para pihak. Apabila para pihak menyetujui pengunduran diri arbiter tersebut, maka harus dibuat dalam keputusan ketua Pengadilan Negeri. 5. Tanggung Jawab Arbiter Arbiter bertanggung jawab terhadap penundaan pengeluaran putusan. 15 Ketentuan ini juga diatur dalam pasal 623 Rv. Sejauh ini, tidak ada kasus di mana para pihak "P ... 13 UU Arbllrase " Pasal20 UU Arbllrase 14 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional mengajukan klaim terhadap arbiter karena arbiter menunda memberi putusannya. D. Prosedur Arbltrase Pada dasarnya para pihak memiliki kebebasan untuk memutuskan hukum acara arbitrase. Jika tidak ditentukan para pihak, badan arbitrase dapat menentukannya. Umumnya, hukum acara yang akan diterapkan adalah hukum acara yang telah ada dalam badan arbitrase yang bersangkutan. 1. Tempat Arbltrase Ketentuan tentang tern pat arbitrase merupakan hal yang baru. Rv tidak mengatur masalah ini. Menu rut pasal 37, tempat arbitrase akan ditentukan oleh para pihak. Namun arbiter dapat mendengar pendapat ahli di luar dari tern pat yang disepakati. Penyelidikan keterangan saksi ahli atau ahli dilakukan sesuai dengan Rv. Arbiter juga dapat bersidang di tempat di mana obyek atau benda tersebut berada. Ketentuan baru lain dalam prosedur arbitrase yang digambarkan dalam undang-undang, yakni: (a) prosedur arbitrase harus dilakukan secara tertutup; 16 (b) bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia, kecuali apabila disepakati lain oleh para pihak; 17 (c) UU menjamin bahwa masing-masing pihak memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk didengarkan dalam proses arbitrase; 18 (d) Pihak ketiga dapat ikut serta dalam arbitrase jika ia memiliki kepentingan dalam sengketa dan diijinkan oleh arbiter. 19 10 Pasal 27 UU Albitrase "p .... 28 uu Albilrae 10 P.ul 29 UU Albilrase PIINI 30 UU Albilrase Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 15 Pasal 45 mensyaratkan bahwa dalam menyelesaikan suatu sengketa, arbiter harus pertama-tama mencari penyelesaian secara damai. Jika para pihak pada akhirnya setuju dan menyelesaikan sengketa tersebut, arbiter harus mencantumkan putusan yang mengikat para pihak. Berdasarkan pasal 46, apabila penyelesaian gagal, proses arbitrase terus berlangsung. Dalam hal ini, para pihak diminta untuk memasukkan pembelaan secara tertulis dan bukti-bukti dalam jangka waktu yang ditentukan arbiter. Pada umumnya, arbiter akan membuat putusan berdasarkan pembelaan tertulis, bukti-bukti dan dokumen- dokumen lain. Keseluruhan proses arbitrase dan pembuatan putusan memakan waktu selama 180 hari (6 bulan). Namun arbiter dapat memperpanjang batas waktu tersebut. Batas waktu 6 bulan juga terdapat dalam Rv. 2. Ahli Tidak seperti Rv, undang-undang arbitrase mengatur keterangan para ahli dalam ketentuan yang rinci. Ketentuan- ketentuan tersebut antara lain: 20 1) seorang saksi a tau ahli dapat dimintakan oleh arbiter a tau para pihak; 2) biaya ahli dibebankan kepada para pihak yang meminta (mengajukan): 3) sebelum memberikan keterangan/kesaksiannya, ahli atau saksi harus memberi sumpah. Lebih lanjut, pasal 50 menentukan bahwa: 1) arbiter dapat meminta satu a tau lebih saksi ahli untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap suatu sengketa; 2) para pihak harus memberikan informasi yang diperlukan oleh para ahli; "' Pasal49 UU Albitrase 16 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional 3) penjelasan tertulis harus dimasukkan kepada para pihak untuk komentar; 4) Untuk penjelasan lebih lanjut, kesaksian ahli harus didengarkan dengan kehadiran para pihak. 3. Tindakan Perlindungan Sementara Pasal32 menyatakan bahwa jika diminta salah satu pihak, majelis arbitrase dapat membuat perintah sementara (inter- locutory) termasuk, penyitaan atau pelelangan barang. 4. Wakil (Kuasa) Hukum Para Pihak Rv tidak mengatur masalah ini, namun hal ini sudah menjadi praktik umum bahwa para pihak diwakili oleh kuasa hukumnya. Undang-undang menegaskan hal ini dan mensyaratkan bahwa kuasa hukumnya harus ditunjukkan o!eh surat kuasa khusus. 21 5. Hukum Yang Berlaku Rv tidak mengatur masalah hukum yang berlaku. Pasal 56 undang-undang ini menyatakan bahwa para pihak dapat memutuskan hukum yang berlaku untuk suatu sengketa yang sedang atau akan terjadi. Namun apabila tidak ditentukan, ar- biter harus menentukan hukum mana yang akan diberlakukan berdasarkan keadilan dan kepatutan. 22 Dalam hal terjadinya kekosongan pilihan hukum dalam kontrak internasional, hakim Indonesia umumnya akan menerapkan prinsip ex aequo et bono tanpa otoritas dari para pihak. Kemudian, undang-undang arbitrase memberikan peluang lebih luas kepada arbiter untuk menentukan pilihan hukum dalam hal para pihak gagal menentukan hukum. " Pasal29 (2) UU Attlitrase u Prinslp ex aequo et bono (Pasal56 UU Arbittase) Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 17 E. Putusan Arbitrase Menurut pasal 54 undang-undang arbitrase, putusan harus memuat syarat-syarat sebagai berikut: (a) kepala putusan (b) nama sengketa (c) deskripsi sengketa (pokok sengketa) (d) argumen para pihak (e) nama dan alamat arbiter (f) pertimbangan arbiter dan kesimpulan (g) pendapat arbiter (h) amar putusan (i) tanggal dan tempat putusan dikeluarkan. Undang-undang menyaratkan bahwa putusan harus ditandatangani oleh semua arbiter. Ketiadaan tanda tangan arbi- ter, karena sakit a tau meninggal dunia tidak mempunyai pengaruh kekuatan mengikat hukum suatu putusan. Namun alasan ketiadaan tanda tangan harus disebutkan dalam putusan. Putusan harus menyebutkan di mana atau batas waktu putusan harus dilaksanakan. 1. Pelaksanaan Putusan 18 a) Arbitrase Nasional Dalam kaitannya mengenai putusan yang dapat dilakukan, putusan terse but harus dilaksanakan dalam waktu 30 hari sejak putusan dikeluarkan. Putusan arbitase yang asli harus dilampirkan dan didaftarkan ke panitera pengadilan negeri di mana arbitrase diselenggarakan. ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Arbiter atau kuasa para pihak harus menyertakan juga putusan dan surat penunjukan asli dirinya sebagai arbiter atau salinan yang dilegalisir kepada panitera pengadilan negeri. Kesalahan dalam memenuhi persyaratan ini akan membuat putusan tidak dapat dilaksankaan ('null and void). Salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk melaksanakan putusan. Perintah eksekusi harus dibuat dalam waktu 30 hari sejak permohonan didaftarkan di pengadilan negeri. Sebelum memberikan perintah, ketua pengadilan negeri harus menguji apakah putusan tersebut tidak bertentangan dengan moral atau ketertiban umum. Jika bertentangan, ketua pengadilan negeri harus menolak perintah eksekusi, dan tidak ada banding untuk putusan tersebut. Ketua pengadilan negeri boleh menguji alasan hukum arbiter. Perintah ketua pengadilan negeri harus ditulis dalam dokumen otentik (resmi) atau salinan putusan arbitrase yang disahkan. Perintah tersebut harus dieksekusi dengan cara sebagaimana ditentukan oleh pengadilan negeri. b) Arbitrase lnternasional Menurut pasal 65, pengadilan negeri Jakarta Pusat adalah satu-satunya pengadilan yang memili ki kewenangan untuk menangani persoalan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase intemasional (asing). Dalam undang-undang arbitrase, putusan arbitrase intemasional dilaksanakan di Indonesia, jika: (a) negara di mana putusan arbitrase dibuatjuga menjadi anggota perjanjian bilateral atau multilateral dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 19 Indonesia tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. (b} putusan terse but haruslah mengenai bidang hukum dagang menu rut hukum Indonesia; (c) putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum; (d) putusan terse but dapat dilaksanakan hanya jika telah mendapat perintah eksekusi dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat. 23 Jika salah satu pihak adalah negara Indonesia, maka putusan itu harus dilaksanakan berdasarkan perintah eksekusi dari Mahkamah Agung. Perintah eksekusi kemudian digunakan oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat untuk melaksanakan putusan arbitrase. ltu juga berarti bahwa permintaan pelaksanaan putusan arbitrase asing hanya akan dilaksanakan hanya setelah putusan arbitrase itu didaftarkan di Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan pelaksanaan putusan harus dilampirkan dengan: (a) Putusan asli (otentik) atau salinan putusan yang telah dilegalisir dan diterjemahkan resmi dalam bahasa In- donesia; (b) dokumen resmi atau salinan dokumen perjanjian arbitrase dan diterjemahkan resmi dalam bahasa In- donesia; (c) pernyataan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara di mana putusan itu dibuat bahwa permohonan pihak yang mengajukan terikat secara bilateral atau :a Pasal66 UUAibilrase. Ketenluan ini sesuai dengan re5eMISi Indonesia latladap Kofflensl New York 1958 dan SuatEdaran MA No 1 tahun 1990 tenlang Pelaksnaan pulusan arbilrase asing). 20 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional multilateral terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan asing di mana Indonesia juga merupakan pihak (peserta). 24 2. Koreksi terhadap Pelaksanaan atau Putusan Tambahan Rv tidak mengatur masalah ini. Pasal58 undang-undang tersebut menyaratkan bahwa dalam 14 hari sejak para pihak menerima putusan, para pihak dapat meminta koreksi admin- istratif, tambahan atau pengurangan putusan. Rv tidak mengatur masalah ini. Merupakan hal yang biasa dalam praktik di Indonesia bahwa setiap pihak dapat memohon koreksi terhadap kesalahan cetak atau penulisan dalam putusan. 25 Tetapi kalimat terakhir Pasal 58 membolehkan para pihak untuk menerapkan tambahan atau pengurangan putusan. Perlu diperhatikan bagaimana ketentuan dalam pasal ini diatur di masa yang akan datang. Sebagai tambahan, undang-undang arbitrase tidak mengatur penafsiran putusan. Masalah penafsiran merupakan masalah penting dalam undang-undang ini 26 yang menyatakan arbiter atau badan arbitrase untuk menentukan batas waktu pelaksanaan putusan. 3. Biaya dan Ongkos Arbitrase Pasal76 undang-undang arbitrase mensyaratkan bahwa arbiter harus menentukan ongkos. Ongkos tersebut harus mencakup: "' Pemyataan tersebut sifa1nya adalah memaksa rnerurut tUcLm Indonesia, meskipun l<onllensi NewYOII< 1958 tidak meneniUcal denj(jan, 25 Sudargo Gautama, 'Indonesia', dalarn P.Sanders (ed.), lntemational Law Handbook on Commercial Arbitration (Oeventer: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1992), ttn. 20. ,. Pasal54 : 4 UU Arbitrase. Badan Pembinaan Hukum Nasionaf----------- ' 21 a) ongkos arbiter b) ongkos ahli (yang sebelumnya dibayardahulu oleh badan arbitrase) c) biaya saksi d) biaya administrasi Menu rut pasal 77, biaya arbitrase dibayar oleh pihak yang kalah. Jika tuntutan diberikan terpisah, maka biaya harus dibagi sama antara para pihak. F. Upaya Perlawanan 1. Banding terhadap Putusan Arbltrase Aturan umum yang berlaku adalah putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. 27 Namun demikian undang-undang memberi kemungkinan kepada para pihak untuk mengajukan banding. Menurut pasal68, pemohon tidak dapat mengajukan banding terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta pusat. Sebaliknya, tergugat dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat ke Mahkamah Agung. Ketentuan ini merupakan praktik yang sudah berlangsung selama ini berdasarkan Rv. 2. Pembatalan Putusan Arbitrase Menurut pasal 70, suatu pihak dapat memohon pembatalan putusan apabila: a. dokumen yang diserahkan temyata palsu atau dinyatakan palsu; b. suatu dokumen disembunyikan oleh suatu pihak yang dapat mempengaruhi putusan ditemukan; zr Paui&O W .Miitrase. 22 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional c. putusan dibuat berdasarkan penipuan oleh para pihak sewaktu sengketa yang bersangkutan disidangkan. G. Evaluasi Arbitrase adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa di dalam perdagangan telah mendapat dasar hukum yang kuat di Indonesia. Karena kebanyakan dari ketentuan undang-undang arbitrase ini diperoleh dari aturan-aturan yang berkembang dalam praktik, diharapkan bahwa penerapan pasal-pasalnya tidak menghadapi kesulitan dalam praktik. Meksipun adanya undang-undang ini, uraian di atas menunjukkan bahwa ketidaksesuaian di dalam praktik ternyata juga masih ditemukan. Perusahaan asing atau lembaga atau badan hukum yang bermaksud menjalankan usahanya disarankan untuk menghubungi penasihat hukum di Indonesia sebelum menandatangani kontrak yang di dalamnya termuat klausul atau p e ~ n j i n arbitrase.W Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 23 24 ------------Badan Pembinaan Hukum Nasional BAB Ill PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG TIMBUL SEHUBUNGAN DENGAN UU NO. 30 TAHUN 1999 A. Bunyi Pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 U ndang-undang adalah merupakan suatu aturan yang menjadi dasar bagi berlakunya atau pengaturan mengenai suatu hal. Dengan demikian bahasa yang dipakai dalam undang-undang tersebut harus dapat memberikan pemahaman yang jelas mengenai sesuatu. Seharusnya undang-undang yang baik, tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran yang berbeda-beda stake holder, atau dengan kata lain undang-undang tersebut harus jelas dan rinci dalam mengatur suatu hal. Suatu undang-undang juga harus sinkron an tara bunyi pasal dengan penjelasan yang ada di dalamnya. Dalam undang-undang No. 30 tahun 1999, apabila kita cermati dalam pasal 70 digunakan kata "sebagai berikut", akan tetapi dalam penjelasan pasal ini kata "sebagai berikut" diganti dengan kata "antara lain". Adanya perubahan tersebut menimbulkan permasalahan dalam hal pelaksanaannya karena ada perbedaan makna/arti yang sangat mendalam dari kedua kata tersebut. B. Kompetensi Absolut Pasal 3, menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Dalam pad a itu pasal 11 ayat 1, menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 25 ke Pengadilan Negeri. Sedangkan pasal 11 ayat 2, menyatakan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan cam pur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang. Oalam praktek, Pengadilan Negeri selalu memeriksa perkara- perkara sengketa dimana antara para pihak terdapat perjanjian .arbitrase, walaupun putusannya hasilnya menolak. Karena putusan tersebut dapat dibanding dan dikasasi oleh pihak yang bersangkutan, di samping kenyataan tersebut bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut membuang-buang waktu lama dan tidak sesuai dengan asas berperkara yang harus cepat dan rendah biaya. C. Hak lngkar Pasal25 ayat 1 menyatakan bahwa dalam hal tuntutan ingkar yang dilakukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan. Dalam praktek, apabila terjadi pengingkaran atas arbiter di Pengadilan Negeri seperti yang dimaksudkan dalam pasal25 ayat 1, hakim Pengadilan Negeri tidak melakukan verifikasi dengan ar- biter yang diingkari tersebut, umpamanya : tentang tuduhan adanya conflict of interest tidak di check kebenarannya kepada arbiter yang bersangkutan. D. Pembatalan Putusan Arbitrase Pasal 70 memuat ketentuan tentang persyaratan secara limitatif mengenai pembatalan putusan arbitrase, yaitu: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dilakukan, diakui palsu atau dinyatakan palsu 26 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Dalam praktek, karena prosedure pengajuan permohonan pembatalan tidak diatur dalam Undang-Undang No. 30/1999, maka terjadi bermacam cara yang dilakukan mengenai hal tersebut antara lain: a. Dengan mengajukan surat gugatan perdata terhadap (para) arbiter yang memeriksa perkara yang bersangkutan dan menggugat pula lembaga arbitrase yang bersangkutan (umpamanya BANI). b. Dengan mengajukan permohonan penetapan pembatalan putusan (seperti permohonan adopsi dan lain lain) Dengan demikian terdapat ketidak jelasan tentang prosedure yang harus ditempuh. Dalam kenyataannya juga sering terjadi hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak memanggil/ mendengar semua pihak dan/atau saksi yang diperlukan kecuali pihak pemohon pembatalan dan/atau saksi-saksi yang diajukannya (contoh antara lain kasus Peruri-Pura di Pengadilan Negeri Kudus). Selain itu, Dalam mempertimbangkan perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase, Hakim Pengadilan Negeri tidak benar-benar mengupayakan untuk membuktikan secara maksimal bahwa permohonan pembatalan telah memenuhi syarat-syarat ketentuan yang tercantum dalam pasal 70 (yaitu tentang adanya dokumen yang disembunyikan, adanya dokumen palsu atau adanya tipu muslihat yang sebenarnya mengandung aspek pidana). Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 27 E. lmunitas Arbiter dan Lembaga Arbitrase Pasal 21 menyatakan bahwa arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut. Pasal1 ayat (8) menyatakan bahwa lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Dalam praktek, pemohon pembatalan putusan arbitrase menggugat secara perdata (para) arbiter dan lembaga arbitrase yang bersangkutan. Gugatan terhadap arbiter diajukan sebagai gugatan terhadap pribadi arbiter yang bersangkutan, berupa tuntutan ganti-rugi milyaran rupiah ditambah permohonan sita jaminan atas kekayaan/harta pribadi arbiter yang bersangkutan. Hal ini sangat "lucu/aneh" ("belache/ijk") dan jelas bertentangan dengan pasal 21 Undang-Undang No.30/1999 telah seperti dikemukakan di atas. Hal demikian dapat membuat orang enggan/ takut untuk menjadi arbiter. Dalam pada itu merupakan hal yang tidak tepat pula jika lembaga arbitrase yang jika dilihat secara fungsional pad a hakikatnya setara dengan pengadilan ( cq peradilan alternatif) dan merupakan penyelenggara administratif berlangsungnya arbitrase, digugat secara perdata oleh pemohon pembatalan putusan arbitrase. F. Pendaftaran Putusan Arbitrase Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan harus didaftarkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal 28 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional putusan diucapkan. Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 59 ayat (1)). Pengadilan Negeri yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah PN yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon (Pasal 1 butir 4). Pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri tempat domisili Termohon dapat difahami sebagai sarana yang memudahkan eksekusi terhadap Termohon apabila Termohon tidak secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase. Dalam prakteknya, masalah yang timbul ialah: 1) Apabila ternyata berdasarkan putusan arbitrase justru Pemohonlah yang harus dieksekusi karena temyata Pemohon tidak dapat membuktikan keabsahan/kekuatan dalil-dalil yang diajukan dalam permohonannya, sedangkan dalam gugatan balik (rekonvensi), Termohon dapat meyakinkan serta membuktikan bahwa justru Pemohon yang mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan. Dalam hal terjadi seperti ini, apakah pendaftaran putusan di tempat Termohon tidak memperpanjang proses eksekusi, karena permohonan eksekusi tentulah harus dilakukan di PN tempat Pemohon berdomisili sementara putusan arbitrase didaftar di tempat Termohon berdomisili. 2) Apabila Termohon adalah pihak asing, baik badan maupun perorangan, yang tidak memiliki perwakilan di Indonesia, apakah pendaftaran putusan arbitrase nasional (karena diselenggarakan di Indonesia) harus tetap di PN dan di PN mana? atau melalui Kedutaan negara sesuai kewarganegaraan pihak Termohon? Di dalam UU No. 30/1999 masalah bel urn diatur sehingga ar- biter atau majelis arbiter, baik ad-hoc maupun lembaga, tidak memiliki pegangan hukum dan akibatnya mereka melakukan yang sesuai dengan pertimbangannya. Hal ini tentu tidak baik Badan Pembinaan Hukum Nasionaf---------- 29 terutama dalam era globalisasi ini berbisnis dengan lintas negara sudah sangat biasa dilakukan. G. Aturan Tentang Arbitrase lnternasional Salah satu masalah yang paling krusial dalam hubungan dengan arbitrase internasional adalah masalah eksekusi putusan arbitrase. Keputusan arbitrase asing pada prinsipnya sudah dapat dieksekusi di Indonesia, bahkan sudah dapat dieksekusi sejak sebelum berlakunya undang-undang arbitrase No. 30 tahun 1999. Pengakuan terhadap keputusan arbitrase asing di Indone- sia, sehingga dapat dieksekusi tersebut, telah terjadi sejak dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun 1981, yang mengesahkan Convention on the Reconition and Enforcement of Foreign Abitral Award, yang dikenal dengan New Convention 1 958" Namun demikian, seperti telah disebutkan bahwa salah satu masalah yang banyak dibahas dimana-mana adalah masalah mengeksekusi putusan arbitrase internasional tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak semua putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di sesuatu negara. Di sam ping itu, cara prosedur eksekusi untuk putusan arbitrase internasional juga bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Di Indonesia, Undang-Undang Arbitrase di Indonesia, yaitu Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 mengatur bagaimana jika suatu putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia. Menurut Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 tersebut, suatu putusan arbitrase internasional harus dilaksanakan/ dieksekusi di negara dimana pihak yang dimenangkan mempunyai kepentingan. Jika putusan tersebut harus dilaksanakan di Indone- sia, siapakah yang berwenang dan bertanggung jawab melaksanakan putusan tersebut. Hal ini ditemukan jawabannya dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Disana dikatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan eksekusi dari putusan arbitrase internasional adalah 30 ----------Bad an Pembinaan Hukum Nasional Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memberikan suatu putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam bentuk "Perintah Pelaksanaan" yang dalam praktek dikenal dengan sebutan "Eksekuatur" H. On-Line Arbitration Masalah lainnya yang juga patut dipertimbangkan adalah perkembangan penyelesaian sengketa secara On-Line (0-line Arbitration). Permasalahan ini lahir karena semakin banyaknya transaksi perdagangan secara elektronik (electronic commerce atau e-commerce). Berkembangnya transaksi secara elektronik berpotensi timbulnya sengketa di bidang ini pula. Praktek beberapa negara telah cukup lama mengantisipasi perkembangan ini dengan diperkenalkannya Online Dispute Resolution untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang lahir karena transaksi secara e-com- merce ini. Permasalahan yang kemungkinan timbul sehubungan dengan undang-undang nomor 30 tahun 1999 adalah tidak adanya pengaturan mengenai masalah ini. Yang diatur dalam undang- undang terse but yang terkait dengan e-commerce adalah diakuinya klausul-klausul arbitrase yang dibuat secara elektronik. Sedangkan penyelesaian sengketa dengan menggunakan secara elektronik ini tidak diatur di dalamnya. Kemungkinan yang dapat dilakukan adalah membuat pengaturan di mana persidangan sekaligus penyelesaiannya dapat dilakukan melalui sarana elektronik ini. Sehingga misalnya, mendengar kesaksian yang dimintakan oleh salah satu pihak dapat saja dilakukan melalui e-te/econferencing berhubung saksi yang bersangkutan berada di negara lain yang jauh dari lndonesia.m Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 31 32 ------------Badan Pembinaan Hukum Nasional BAB IV ANALISIS A. Konsepsi Suatu Peraturan Perundang-Undangan P ada prinsipnya suatu peraturan perundang-undangan secara komprehensif harus mencakup: 1. Tanggapan Konseptual yaitu apakah secara konsepsi sudah memenuhi persyaratan bagaimana menyusun suatu peraturan perundang-undangan yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Tanggapan dari segi filosofis yaitu apakah dalam konsiderans (menimbang), batang tubuh penjelasan maupun pasal- pasalnya sudah memuat alasan-alasan atau norma-norma yang selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. 3. Tanggapan dari segi konstitusional, yaitu apakah UU tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi/UUD 1945. 4. Tanggapan dari politik peraturan perundang-undangan, yaitu melihat apakah sudah sesuai politik hukum telah digariskan. 5. Tanggapan dari segi ekonomis, yaitu sehubungan dengan beban ekonomi yang harus ditanggung sehubungan dengan pelaksanaan UU. 6. Tanggapan dari sudut sosio-psikologis yaitu beban yang akan . dipikul masyarakat sebagai akibat lahimya UU baik akibat positif maupun negatifnya. 7. Tanggapan dari sudut subtansi (materi) yaitu apakah isi (materi) yang diaturnya sudah sesuai dengan teori materi muatan peraturan perundang-undangan, atau apakah materi yang dimuat sudah cocok dengan jenis peraturan tersebut. 8. Tanggapan dari sudut teknis penyusunan peraturan Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 33 perundang-undangan, dalam hal ini harus memperhatikan UU No.1 0 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga suatu peraturan perundang-undangan dapat dikatakan baik adalah jika terpenuhinya asas-asas dari berbagai sudut pandang tersebut, yang dapat digolongkan sebagai asas formal dan materiel 28
Asas-asas formal meliputi: 1. Asas tujuan yang jelas 2. Asas organ/lembaga yang tepat 3. Asas perlunya peraturan 4. Asas dapat dilaksanakan 5. Asas Consensus Asas-asas materiel meliputi: 1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar 2. Asas tentang dapat dikenali 3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum 4. Asas kepastian hukum 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual 1. Bagian Penjelasan dan Masalahnya Salah satu isu yang sering diperdebatkan pelatihan le- gal drafting adalah Bagian Penjelasan dalam struktur peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan dalam butir 1 Lampiran I Keppres No.44/1999 tentang Teknik 21 Bagir Manan. Oasar-Oasar di Indonesia , INO-HILL.Co, Jakarta. 1992. 34 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden, Bagian Penjelasan merupakan bagian dari sistematika peraturan perundang-undangan, tetapi sifatnya bukan merupakan keharusan, melainkan dalam hal jika diperlukan. Struktur peraturan perundang-undangan menurut Keppres dimaksud adalah sebagai berikut: a. pembukaan b. batang tubuh c. penutup d. penjelasan Gika diperlukan) e. lampiran Oika diperlukan). Saat ini Keppres tersebut sudah tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kerangka peraturan perundang-undangan menu rut undang-undang ini tidak berbeda dEmgan Keppres No. 44/1999. Untuk Bagian Penjelasan sebagaimana dapat dilihat dalam Lampiran UU ini, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Setiap undang-undang harus diberikan penjelasan 2) Peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang dapat diberikan penjelasan jika diperlukan. Peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang adalah sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 undang-undang yaitu: peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturah presiden, serta peraturan daerah, dan jenis peraturan lain yang disebutkan dalam bag ian penjelasan pasal 7 ayat4. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 35 Berdasarkan undang-undang, kedudukan dan fungsi dari penjelasan adalah: a. sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang- undangan atau norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh; b. sebagai sarana untuk norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu harus dihindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan, dan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya secara teknis, Bagian Penjelasan dalam undang-undang atau peraturan lain (dalam hal digunakan} terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. 2. Penjelasan Umum 36 Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah tercantum secara sing kat dalam butir konsiderans,serta asas- asas, tujuan a tau pokok-pokok yang terkandung dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan. Penjelasan pasal demi pasal: Pasal diberikan penjelasan dalam hal diperlukan dengan . a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; _...;._ ________ Badan Pembinaan Hukum Nasional b. tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh; c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; d. tidak mengulangi uraian kata, istilah atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, suatu undang-undang harus dilengkapi dengan Penjelasan, dalam arti bersifat impei"atif/memaksa, sedangkan untuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bersifat fakultatif dalam arti boleh disusun dengan bagian penjelasan atau tidak, tergantung pada kebutuhan (objec- tive) dan bisa juga 'selera' dari si pembentuknya (subjec- tive). Segi keuntungan dari peraturan yang dilengkapi penjelasan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas dan terang tentang maksud dan tujuan, cakupan, batasan rumusan norma yang dikehendaki oleh peraturan tersebut sesuai dengan konsep awal si perancang, juga dapat memuat, atau hal-hal yang tidak dimaksud oleh pasal yang dijelaskan. Misalnya pasal15 Undang-Undang No.1 0 Tahun 2004 tentang prolegnas, dalam pasal penjelasannya diuraikan tentang asas, sistem, prosedur, mekanisme penyusunan prolegnas beserta tujuannya. Undang-undang nasional pada umumnya menggunakan bagian penjelasan. Terdapat pasal-pasal yang diberikan penjelasan dari yang singkat sampai yang terperinci, dan terdapat pasal-pasal yang dalam bagian penjelasannya dinyatakan dengan frase "cukup jelas". Frase "cukup jelas" dalam pelaksanaannya membawa implikasi serius, dalam hal: Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 37 38 1. Bahwa temyata pasal yang di dalam bagian penjelasannya dikatakan "cukup jelas" temyata untuk memahami pasal tersebut harus menghubungkan pasal tersebut dengan pasal-pasal lainnya, dalam hal mana pasal-pasal terkait tersebut memiliki pasal penjelas juga. Contoh paling nyata adalah model pengaturan UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha lidak Sehat, pasal 11 tentang kartel temyata diatur juga secara tersebar mulai dari pasal 4 sampai dengan pasal 16. 2. Bahwa kata "cukup jelas" sebetulnya "cukup jelas" dalam perspektif si pembuat undang-undang, yang belum tentu "cukup jelas" untuk orang/pihak lain. Logika berfikir perancang UU belum tentu sama dengan logika berfikir polisi, jaksa, hakim, advokat, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat pada umumnya, lebih-lebih jika UU tersebut lahir tanpa proses sosialisasi terlebih dahulu. Bukan hal yang aneh suatu sengketa yang diajukan ke pengadilan hanya diakibatkan oleh perbedaan tafsir pihak- pihak yang bersengketa atas suatu pasal UU. Red Dickerson (Dasar-dasarPerancangan Hukum, hal.31-33), mengemukakan bahwa di Amerika sendiri, tidak sedikit ahli hukum (terutama perancang undang-undang) bertindak seolah-olah mereka sedang membuat instrumen yang hanya jelas bagi mereka sendiri. Padahal instrumen hukum merupakan suatu komunikasi, selain daripada suatu kristalisasi dan pemyataan hak, hak istimewa, kewajiban serta tata hubungan hukum. Sebagai suatu komunikasi, sudah seharusnya instrumen hukum tidak mengabaikan unsur-unsur dasar komunikasi yang berdasar pada kebiasaan-kebiasaan ragam bahasa dari masyarakat (speech community) tertentu, bukan mengedepankan selera perancang undang-undang. 3. Frase "cukup jelas" berpotensi lahirnya penafsiran keliru yang sama sekali di luar dari pemikiran si perancang dan/ ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional atau tujuan UU tersebut, atau penafsiran sepihak untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Bahkan dalam kasus bemuansa politik, tidak jarang pasal yang berkarakter pasal karet dipolitisir menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik pribadi atau golongan. Menurut Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya atas judicial review atas Pasal30 ayat (2)-(5) Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD di Jakarta menyoal Pasal 30 yang memberi DPR wewenang memeriksa dan menyandera seseorang, bisa ditafsirkan bertentangan dengan kewenangan penyidik polisi yang diatur dalam KUHAP. Namun karena ada bagian penjelasan. Sehingga dalam pandangan MK maka Pasal 30 harus dipahami dalam konteks yang tidak terpisah dari penjelasannya. Oleh karena itu bagian penjelasan tidak mengandung norma baru, dan tidak boleh bertentangan dengan norma yang terkandung dalam substansi pasalnya. Dalam hal pasal-pasal dalam peraturan diberikan penjelasan perlu diwaspadai dalam hal syarat untuk dapat digunakannya bagian penjelas sebagaimana diatur dalam UU No.1 0 Tahun 2004 tidak diindahkan, maka potensi masalah yang akan timbul, antara lain: 1. Pasal penjelasan yang telah membuat norma baru akan menimbulkan kebingungan pemahaman; 2. Pasal penjelasan yang bertentangan dengan pasal yang dijelaskan (pasal substantif) tidak menjamin asas kepastian hukum; 3. Pasal penjelasan berpotensi melahirkan pergeseran sistem pengaturan. Artinya dalam rumusan norma pasal substantif merupakan norma yang ketat, tidak Badan Pembinaan Hukum Naslonal---------- 39 dapat disimpangi, menjadi norma yang lunak atau bersyarat. Misalnya dalam konteks UU Anti Monopoli, terjadi pergeseran dari norma substantif yang bersifat per se illegal menjadi norma yang dapat ditafsirkan sebagai norma bersyarat (rule of reason) dalam pasal penjelasannya, yang berakibat pada sulitnya menerapkan pasal substantif secara ketat; 4. Pasal penjelasan membuka kemungkinan tumpang tindih pengaturan. Indonesia ternyata merupakan satu-satunya negara yang sampai saat ini masih mempertahankan struktur peraturan perundang-undangan dengan menggunakan Bag ian Penjelasan. Negara-negara lain, seperti Amerika, Australia, Jepang, pada umumnya struktur peraturan perundang-undangannya, hanya terdiri dari 2 bagian yaitu 1) Bag ian umum dan lain-lain, 2) Lampiran-lampiran. Bagian umum pada permulaan undang-undang biasanya mencakup: judul pendek, tujuan umum, suatu bagian pelaksanaan (kadang-kadang), pengertian umum. Bagian atau bab lain-lain pada bag ian belakang biasanya mencakup: perubahan akibat, klausul penghematan, ketentuan transisi, pengertian umum, judul yang singkat, dan ketentuan mulai berlaku. Bag ian ke-2, yaitu lampiran- lampiran ditujukan untuk menyederhanakan susunan dari rancangan undang-undang. Umumnya terdiri dari daftar atau rincian tentang struktur organisasi. Saat ini telah terbit sekitar 25 putusan Mabkamah Konstitusi atas permohonan uji materiel terhadap undang- undang yang dianggap in-konstitusional. Sejauh mana bagian penjelasan menjadi salah satu hal yang dipertentangkan memang perlu dikaji lebih mendalam, namun berpegang pada harapan Mahkamah Konsitusi agar di masa yang akan datang pembentuk undang- 40 - ---------Badan Pembinaan Hukum Nasional undang, DPR dan Presiden, memperhatikan prinsip perancangan undang-undang yang baik karena tanpa perancangan yang baik, suatu pasal bisa menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat, tentunya Bagian Penjelasan dalam peraturan harus menjadi bahan kajian yang lebih mendalam untuk melihat urgensinya dalam kaitannya dengan efektifitas pelaksanaan peraturan itu sendiri. B. Kompetensi Absolut Lembaga Arbitrase Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa cara penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase yang diperjanjikan oleh para pihak akan menimbulkan kewenangan mutlak bagi lembaga yang telah dipilih tersebut. Sehingga, berdasarkan UU Arbitrase, apabila para pihak telah memilih cara penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, maka lembaga arbitrase memiliki kompetensi mutlak (absolute) untuk menyelesaikan sengketa tersebut, sementara Pengadilan Negeri secara mutlak (absolute) pula tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut, dengan demikian merupakan . kewajiban hukum dari Pengadilan Negeri untuk menolak dan tidak campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa tersebut. Pertanyaannya, apakah kompetensi absolute yang dimiliki lembaga arbitrase (-dalam hal suatu sengketa memenuhi pasal1 ayat (1) dan ayat (3), pasal2, pasal 3, pasal4, pasal 6, pasal11 UU Arbitrase)- betul-betul absolute, atau dalam arti tidak dapat disimpangi?. Jika ditelusuri secara seksama, terhadap kompetensi absolute lembaga arbitrase ini, UU ternyata menganut sistem pengecualian (lihat tulisan Bernadette Waluyo tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Bisnis, Vol.9, 1999) sebagaimana tercermin dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 41 1. Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, maka Ketua PN yang akan menunjuk arbiter atau majelis arbitrase. 2. Dalam suatu arbitrase ad-hoc, apabila tidak ada kesepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, maka para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PN untuk menunjuknya dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. 3. Jika dalam waktu paling lama 14 hari setelah termohon menerima usul pemohon tentang pengangkatan arbiter tunggal, akan tetapi para pihak tidak berhasil menentukannya, maka atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua PN dapat mengangkat arbiter tunggal. 4. Apabila kedua arbiter yang telah ditunjuk masing-masing pihak tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua PN dapat mengangkat arbiter ketiga. 5. Gugatan hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua PN, diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 6. Apabila gugatan hak ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengudurkan diri, maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan kepada Ketua PN dan putusannya mengikat kedua belah pihak. 7. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua PN atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. 8. Masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase lnternasional, yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 42 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional - 9. Pemberian eksekutorterhadap putusan arbitrase intemasional agar dapat dilaksanakan, yang menjadi wewenang Ketua PN Jakarta Pusat 10. Pemberian eksekutor terhadap putusan arbitrase internasional yang menyangkut negara Rl sebagai salah satu pihak dalam sengketa, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung Rl 11. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis kepada PN melalui panitera dalam waktu pa- ling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera Pengadilan Negeri. 12. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, kompetensi absolute lembaga arbitrase bukan bersifat absolute. Tentunya menjadi pertanyaan dalam hal mana UU Arbitrase ini dibuat untuk tujuan dapat diselenggarakannya suatu mekanisme penyelesaian sengketa khususnya untuk perkara-perkara dalam hubungan bidang bisnis, yang lebih cepat, lebih murah, dengan proses yang lebih sederhana daripada proses di pengadilan (litigasi). Dengan wewenang (keterlibatan dalam pengambilan keputusan) sistem peradilan melalui Pengadilan Negeri sebagaimana terurai dalam sistem pengecualian di atas, merupakan counter-productive terhadap tujuan UU tersebut. Dilihat dari sisi kepastian hukum, pengaturan semacam ini semakin memperkaya inkonsistensi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam prakteknya, Pengadilan Negeri selalu memeriksa (harus dijelaskan apakah pemeriksaan dalam ini merupakan pemeriksaan sengketa formil belaka ataukah sudah masuk pada pemeriksaan sengketa materiel) perkara-perkara yang diajukan dimana para pihak yang bersumber dari p e ~ n j i n para pihak yang jelas-jelas terdapat di dalamnya klausul arbitrase sebagai media yang dipilih dalam hal timbul sengketa. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 43 Apapun hasil putusan PN, tentunya perkara sudah diterima sebagai perkara di bawah komptensi PN atau sebagai perkara litigasi. Akibatnya, perkara tersebut tunduk pad a hukum acara biasa di Pengadilan, sehingga terhadap putusan PN sebagai putusan tingkat pertama, keberatan dapat diajukan dengan banding, kasasi bahkan sampai PK. Jika praktek ini diteruskan, menjadi preseden buruk bagi eksistensi lembaga arbitrase, dan UU Arbitrase tak ubahnya seperti hukum yang tidak bemyawa. C. Hak lngkar Seperti telah dikemukakan dalam Bab Ill di atas, hak ingkar dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa diatur berdasarkan Pasal 22 sampai dengan Pasal 26. Dari berbagai permasalahan- permasalahan yang telah diuraikan tampak bahwa pasal-pasal tersebut masih mengandung kelemahan (tampak pada Bab Ill). Kejadian yang dialami Indonesia ini sebenarnya adalah masalah yang juga umum dihadapi di berbagai negara di dunia 29
Para pihak maupun Badan Peradilan kerap menghadapi masalah ini di dalam praktek. Permasalahan ini yang terkait dengan hak ingkar dari salah (oleh salah satu pihak). Pelaksanaan hak ini juga dimungkinkan karena hukum nasional (di negara-negara pada umumnya di dunia) memang memberi lampu hijau untuk melaksanakan hak ini. Namun hak ingkar tersebut dalam pelaksanaan di berbagai negara dunia sulit berhasil. Permasalahannya adalah tidaklah mudah meyakinkan pengadilan bahwa seseorang adalah tidak netraP 0 UNCITRAL Arbitration Rules 1976 misalnya, mensyaratkan harus adanya alasan yang kuat untuk mengingkari kenetralan arbiter. Pasal 10.1 UNCITRAL Arbitration Rules ini dengan tegas menyatakan sebagai berikut: Alan Redlom and Martin Huller, Law and Practice ot lrUmational Conmercial Arbilralion ,london: Sweet and Maxwell, 1986, l*n.175. .. Alan Redfern 8lld Mal1in Hunter, Ibid. 44 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasionaf 1. Any arbitrator may be challenged if circumstances exist that give rise to justifiable doubts as to the arbitrator's impartiality or independence. 2. A party may challenge the arbitrator appointed by him only for reasons of which he becomes aware after the appointment has been made." Ketentuan yang sama lainnya juga terdapat dalam ketentuan Pasal12 dari Model Hukum Arbitrase 1985. Sebenarnya kunci pemecahan dalam menyelesaikan masalah ini terletak pada arbiter yang bersangkutan. Adalah kewajiban bagi arbiter untuk mengungkapkan kepada para pihak bahwa dengan pengangkatannya sebagai arbiter dapat menimbulkan keragu-raguan mengenai kenetralannya di dalam memutus perkara yang diberikan kepadanya. Permasalahan lain yang dapat juga muncul adalah mana kala temyata kemudian salah satu pihak mengajukan hak ingkar setelah para arbiter ditunjuk. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, manakala kedua belah pihak menghendaki para arbiternya mengundurkan diri karena ketidaknetralannya. Dalam hal ini maka arbiter memang harus mengundurkan diri. Kedua, manakala keberatan yang dialamatkan kepada salah seorang arbiter dan arbiter yang bersangkutan menganggap bahwa keberatan tersebut tidak beralasan, maka arbiter tersebut harus terus melanjutkan tugasnya. Dalam hal ini dapat saja salah satu pihak kemudian mengajukan keberatannya ke badan pengadilan. Menu rut Redfern dan Hunter, keputusan arbiter untuk terus melanjutkan tugasnya kemungkinan tepat dan dapat menjawab taktik suatu pihak yang sebenamya ingin memperlambat jalannya proses persidangan arbitrase 31
Untuk menanggulangi kelemahan tersebut, hal-hal berikut patut mendapat catatan sebagai anal isis bag ian ini: " Alan Redfern and Martin Hl.rUr, ibld., l*n. 176. (Sikap arbilerseperti inl sudah taang 1entu pada akhmya harus Uldukpada putusan pangaclal yang akan memberi J)liusan mengeNi llakiS kanelralannya n g ~ oleh salah sab.l pllak). Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 45 (1) Pihak Termohon Arbitrase sesuai dengan prosedur yang berlaku yaitu telah diberitahukan penetapan tersebut dengan sah dan patut menanggapi pemberitahuan penetapan tersebut. (2) Pihak yang keberatan terhadap penunjukan seorang Arbiter seharusnya menanggapi dengan serius mengenai penunjukan Arbiter terse but. D. Pembatalan Putusan Arbitrase Dalam Bab Ill tampak bahwa meskipun pasal 70 telah memberikan persyaratan limitatif mengenai dimungkinkannya permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase, namun dalam prakteknya masih dimungkinkannya alasan-alasan lainnya yang digunakan oleh salah satu pihak untuk memohon pembatalan di luar alasan yang ditetapkan pasal 70. Dari bunyi pasal 70 UU Nomor 30 tahun 1999 tersebut sebenarnya UU dengan tegas membolehkan adanya pembatalan ini. Dari uraian di atas (Bab Ill), ternyata berbagai kemungkinan untuk menciptakan alasan untuk membatalkan suatu putusan dapat saja dilakukan. Masalah ini sesungguhnya adalah masalah yang terletak pada keputusan (salah satu) pihak. Biasanya adalah pihak yang kalah dalam persidangan arbitrase. Masalah ini sedikit banyak tidak terlepas dari itikad baik dari salah satu pihak yang kalah tersebut. Memang hukum nasional umumnya dan juga hukum arbitrase komersial internasional, memuat aturan khusus untuk mengatur masalah pembatalan terhadap putusan arbitrase. Dalam hukum arbitrase komersial internasional, biasanya upaya hukum yang diatur bukan secara spesifik mengenai pembatalan. Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, misalnya, memuat aturan ini di bawah judul Upaya Perlawanan terhadap Putusan Arbitrase (Recourse Against Award). 46 - ---------Badan Pembinaan Hukum Nasional Upaya perlawanan dalam Konvensi 1957 terse but tercantum upaya mengenyampingkan putusan (Setting Aside against Arbi- tral Award). Upaya ini pun sifatnya eksklusif. Pasal34 Konvensi ini hanya mengakui satu-satunya upaya sebagai upaya perlawanan terhadap suatu putusan arbitrase) 32 Pasal34 ini menyebutkan: (t) Recourse to a court against an arbital award may be made only by an application for setting aside in accordance with paragraphs (2) and (3) of this article." Alasan mengapa konvensi intemasional tidak secara tegas mengatur masalah pembatalan ini kemungkinan ada dua sebab. Pertama, karena memang konvensi intemasional ini (umumnya) menganut sistem hukum Anglo Saxon yang tidak mengenal upaya hukum membatalkan suatu putusan badan peradilan (dalam hal ini putusan badan peradilan arbitrase). Yang ada adalah memohon peninjauan atau revisi terhadap putusan 33
Upaya peninjauan atau revisi ini dimohonkan guna mengubah suatu putusan, misalnya, karena putusan tersebut memuat putusan yang sebenarnya tidak dimintakan oleh para pihak. Dengan demikian upaya ini sebenarnya masih tetap menghormati putusan arbitrase, tetapi dalam hal-hal tertentu saja putusan tersebut perlu diamandemen 34 Permohonan pembatalan sebenamya adalah upaya hukum yang diakui dan terdapat di negara-negara dengan sistem Civil Law. Dalam sistem hukum Perancis pembatalan ini disebut dengan istilah recourse en annulation". Apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase ini dikabulkan, maka putusan tesebut menjadi batal. Artinya dianggap 12 Pasal34 19581ri d bawah )Jd<A: Application for Selling Aside as Exclusive Recourse Against Arbitral Award. (tb\1 miring oleh kam) ; Bandingkan Mark Huleatt.James and Nicholas Gould, lntemational Commercial Arbitration, London: UP, 1996, him. 115 etseq. (Para s.jana lri mengemukakan bebefapa upaya pellawanan lelhadap pu1usan arblrase. Termasuk di dalarmya adalah peltawlra1 menolakpergalo.Jan pelal<sar1asl puUan arbhse, menegosiasi pelaksanaan pWsan. rnisl*lya;mah ga'1li disepakalioleh kalah, dan l4l8Y"Iailnya adalah menerima ser1ameiaksa'lalcan
"Mark Huleatt.Jarn. and Nicholas Gould, op.cl., him. 115 . .. Alan Redlem and Mallin Hunter, op.cit., him. Badan Pembinaan Hukum Nasional--------- -- 47 tidak ada. Sehingga perkara tersebut akan disidangkan lagi dari awaP 5 Praktek menunjukkan bahwa pembatalan suatu putusan arbitrase, tidak terkecuali putusan arbitrase itu adalah arbitrase nasional atau arbitrase internasional, acapkali mengundang perhatian yang cukup luas baik oleh pers maupun oleh pengamat arbitrase 36
Pemberitaan cukup luas tersebut sebenarnya secara tidak langsung memberi kesan yang kurang kondusif baik bagi perkembangan dan penghormatan terhadap arbitrase juga terhadap situasi kondisif bagi kepastian hukum di dalam negeri. E. lmunitas Arbiter Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Namun pada kenyataannya masih ada putusan arbitrase yang diajukan pembatalannya ke Pengadilan Negeri. Menurut perundang-undangan yang berlaku saat ini permohonan pembatalan putusan arbitrase dimungkinkan sesuai yang tercantum dalam Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 Undang- Undang No. 30 Tahun 1999. Masalahnya sampai saat ini, setelah lebih dari lima tahun Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut digunakan, tidak ada petunjuk yang jelas mengenai tata cara/prosedur permohonan pembatalan. Banyak diantara permohonan pembatalan tersebut yang disertai gugatan, baik kepada majelis arbiter yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut, maupun gugatan terhadap lembaga arbitrase yang menyelenggarakan proses tersebut. Alasan yang digunakan dalam tuntutan atau gugatan terhadap arbiter yang dikaitkan dengan permohonan pembatalan putusan 11 Alan Redfern and Martin Hunter. op.dt., ..,. 324; Mark dan Nicholas Golti, op.cil, him. 121. UnbJk masalah pelaksanaan dan pembatalan putusan arbilrase, khususnya p utusan abilrase ini, memang Indonesia W<up dl<enaln!pWisinyaci luarnegeri. (U\atrnisanya lnian Mark HIAaaii.Jamesdan Nicholas Gould. op.cit., him. 112. <Huleati- James dan Golti rnengurab1 masalah ci tanah airlenlang perb1ya proseclu-LI'lU( melaksanakan sualu putusan arbitJase asing, mesldpun Indonesia IUdah meralillkasi Konvensl New York 1958). 48 -----------Badan Pembinaan Hukum Nasional ' arbitrase beranekaragam. Alasan tersebut antara lain perbuatan melawan hukum. Arbiter atau majelis arbiter tidak beritikad baikl tidak jujur sampai kepada pebuatan tidak menyenangkan. Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena sebenamya di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sendiri telah jelas tercantum bahwa arbiter atau majelis Arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad baik dari tindakan tersebut (Pasal21). Pembuktian adanya itikad tidak baik tentu harus dibuktikan dengan proses pemeriksaan oleh Pengadilan. Hal ini tidak pemah dilakukan oleh Pengadilan dengan alasan bahwa Pengadilan tidak memiliki cukup waktu untuk memeriksa apakah arbiter atau majelis arbiter telah benar-benar beritikad tidak baik dalam melaksanakan tugasnya. lni dikaitkan dengan keharusan hakim Pengadilan Negeri memeriksa dan membuat putusan tentang diterima atau tidaknya permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam tempo 30 hari sejak permohonan pembatalan diterima Pengadilan Negeri (Pasal 72 ayat (3)). Sampai saat ini tidak ada solusi yang tegas dari Mahkamah Agung untuk mengatasi hal ini. Pemah dalam suatu diskusi hal ini dikemukakan dan Mahkamah Agung memberi pengarahan (lisan) bahwa gugatan terhadap arbiter atau majelis arbiter ataupun lembaga arbitrase jangan ditanggapi. Tapi tentu ini bukan pilihan yang bisa dilaksanakan dengan mudah tanpa akibat yang lebih buruk. Karena, apabila panggilan Pengadilan Negeri atau Kepolisian diabaikan maka tuntutan atau permohonan pembatalan ataupun pelaporan ke Polisi akan dianggap benar sehingga Arbi- ter atau Majelis Arbiter dan Lembaga Arbitrase menjadi pihak yang kalah atau melawan hukum. Lebih lanjut dapat saja terjadi bahwa gugatan itu disertai penyitaan terhadap harta benda milik tergugat atau majelis arbiter dan lembaga penyelenggara arbitrase. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 49 Jadi, sebenarnya imunitas Arbiter atau Majelis Arbiter dan Lembaga Arbitrase telah dijamin oleh Undang-Undang. Namun demikian masih diperlukan ketegasan dan penjelasan lebih lanjut (petunjuk pelaksanaannya) melalui peraturan pemerintah atau yang sejenisnya.m 50 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional BABV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan D ari uraian bab-bab di atas, tampak bahwa UU Nomor 30 tahun 1999 masih memuat potensi permasalahan yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Masih belum adanya kejelasan dan persepsi pengadilan yang seragam mengenai masalah kompetensi absolut klausul arbitrase; 2. Masih bel urn adanya pemahaman tentang imunitas arbiter dan badan arbitrase yang mengadili suatu sengketa; 3. Masih belum adanya prosedur bagi Pengadilan Negeri untuk menangani sengketa mengenai netralitas arbiter dalam mengadili suatu sengketa; 4. Masih munculnya permasalahan dalam syarat-syarat pembatalan putusan arbitrase; 5. Tidak jelasnya pengaturan mengenai pengaturan kapan suatu sengketa melalui arbitrase adalah sengketa arbitrase intemasional; 6. Belum jelasnya pengaturan mengenai pendaftaran putusan arbitrase, khususnya apabila sengketa yang ditangani badan arbitrase adalah termasuk ke dalam arbitrase internasional; dan 7. Belum adanya pengaturan mengenai on-line arbitration. B. Saran Dari kesimpulan di atas, tampak bahwa sesungguhnya Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 51 undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa membutuhkan perbaikan. Berikut adalah beberapa saran untuk menyempurnakan undang-undang nomor 30 tahun 1999 tersebut: 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 seyogianya lebih memberikan penjelasan yang lebih dilengkapi khususnya dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut. Dalam bag ian ini perlu juga diperhatikan pasal-pasal atau sub-pasal yang kontradiktif antara muatan undang-undang dengan penjelasannya; 2. Pengadilan seyogianya mempunyai persepsi yang sama mengenai kompetensi absolut arbitrase yang tertuang dalam klausul arbitrase; 3. Pengadilan Negeri, seyogianya lebih memperhatikan prosedur penanganan tuduhan dari salah satu pihak mengenai hak ingkar terhadap suatu arbiter; 4. Pengadilan (dan para pihak) seyogianya memperhatikan aturan mengenai imunitas arbiter dan imunitas badan arbitrase; 5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 perlu dipertegas, atau apabila perlu, menambahkan pasal-pasal atau bab khusus mengenai arbitrase internasional; 6. Aturan mengenai pendaftaran arbitrase masih perlu disempurnakan. Penyempurnaan perlu diberikan terhadap putusan arbitrase internasional. Pendaftaran putusan ini perlu dibandingkan dengan prinsip-prisnip Konvensi New Yor:k 1958 mengenai Pelaksanaan dan Pengakuan Putusan Arbitrase Asing. Konvensi ini patut diperhatikan karena di samping Rl telah meratifikasi Konvensi ini, juga karena masalah pendaftaran akan terkait dengan pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase sehingga Konvensi ini akan terkait. 52 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional 7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 perlu memasukkan pula pengaturan mengenai on-line arbitration, mengingat perkembangan teknologi informasi dan kebiasaan perdagangan yang semakin progresif dilakukan melalui sarana elektronik semakin tidak terelakkan.W Badan Pembinaan Hukum Nasional----------- 53 54 ------------Badan Pembinaan Hukum Nasional DAFTAR PUSTAKA Act No 30 of 1999 State Gazette 1999 Number 138 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. Adolf, Huala, Arbitrase Komersiallntemasional (trans/: lntemational Commercial Arbitration), Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Adolf, Huala, Hukum Arbitrase Komersiallntemasional (trans/: The Law on lntemationa/ Commercial Arbitration), Jakarta: Rajawali Pers, 1992. Decision of the Supreme Court of the Republic Indonesia No. 225KI Sip/1976, of 8 February 1982. Decision of the Supreme Court of the Republic Indonesia No. 2924/ Sip/1981, of 22 February 1982. Decision of the Supreme Court of the Republic Indonesia No. 3992K/Sip/1985, of 4 May 1988. Gautama, Sudargo, "Indonesia", in: P. Sanders (ed.), International Handbook on Commercial Arbitration, Deventer: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1992. Gautama, Sudargo, Arbitrase Dagang lnternasional (trans/.: In- ternational Trade Arbitration), Bandung: Alumni , 1876. Gautama, Sudargo, Indonesian Business Law, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Kompas, 27 January 2000. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 55 56 ------------Badan Pembinaan Hukum Nasional LAMP/RAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata disamping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan altematif penyelesaian sengketa; b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk Undang-undang tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa. Mengingat: 1. Pasal5 ayat {1) Pasal20 ayat {1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 57 MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA. BABI KETENTUAN UMUM Pasal1 Dalam Undang-undang ini dimaksud dengan: 1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di Juar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menu rut hukum perdata maupun hukum publik. 3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa kausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. 4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. 5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon .dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 7. Arbiter adalah seorang atau Jebih yang dipilih oleh para pihak yang atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh Jembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. 58 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional 8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. 9. Putusan Arbitrase lnternasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase a tau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase intemasional. 10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Pasal2 Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui altematif penyelesaian sengketa. Pasal3 (1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusan mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 59 (2) Persetujuan untuk menyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. (3) Dalam hal disepakati sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Pasal5 (1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menu rut peraturan perundang-undangan tidak dapat di diadakan perdamaian. BAB II ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Pasal6 ( 1) Sengketa a tau bed a pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. (2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui arternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. (3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas 60 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. ( 4) Apabila para pihak terse but dalam waktu paling lama 14 (em pat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengeketa untuk menunjuk seorang mediator. (5) Setelah penunjukan mediator oleh Lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. (6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. (7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. (8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. (9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 61 BAB Ill SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN ARBITER, DAN HAKINGKAR Baglan Pertama SyaratArbltrase Pasal7 Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang a tau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Pasal8 ( 1) Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili , e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku. (2) Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas: a. nama dan alamat para pihak; b. penunjukan kepada klausula atau arbitrase yang berlaku; c. atau masalah yang menjadi sengketa; d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada; e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan f. yang diadakan oleh para pihak tentang.jumlah arbitrasi atau apabila tidak pemah diadakan semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil. Pasal 9 (1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui 62 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. (3) tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat: a. masalah yang dipersengketakan; b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase; d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. nama lengkap sekretaris; f. jangka waktu penyelesaian sengketa; g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum. Pasal10 Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini: a. meninggalnya salah satu pihak; b. bangkrutnya salah satu pihak; c. novasi; Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 63 d. insolvensi salah satu pihak; e. pewarisan; f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok; g. bilamana pelaksanaan p e ~ n j i n tersebutdialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan p e ~ n j i n arbitrase tersebut; atau h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Pasal11 ( 1) Adanya suatu p e ~ n j i n arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri. (2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Bagian Kedua Syarat Pengangkatan Arbiter Pasal12 (1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat: 64 a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 tahun; c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; ~ d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan Jl ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. (2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Pasal13 (1) Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase. (2) Dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap ketidakkesepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Pasal14 (1} Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal. (2} Pemohon dengan surat tercatat, telegram, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi harus mengusulkan kepada pihak termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal. (3} Apabila dalam waktu paling lama 14 (em pat betas} hari setelah termohon menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2} para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal. (4} Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 65 atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan memperhatikan baik rekomendasi maupun keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan. Pasal15 (1) Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga. (2) Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) diangkat sebagai ketua majelis arbitrase. (3) Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal8 ayat (1), dan salah satu pihak tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak. (4) Dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga. (5) Terhadap pengangkatan arbiter yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat diajukan upaya pembatalan. Pasal 16 (1) Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan tersebut. (2) Penerimaan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), wajib memberitahukan secara tertulis kepada pihak 66 ----------Bad an Pembina an Hukum Nasional dalam waktu paling lama 14 (em pat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan. Pasal17 ( 1) Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan suatu perdata. (2) Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah bersama. Pasal18 ( 1) Seorang calon arbiter yang diminta oleh satu pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib memberitahukan kepada pihak tentang hasil yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan. (2) Seorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penunjukannya. Pasal19 ( 1) Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan atau pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal16, maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak. (2) Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) yang telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 67 J menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak. (3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter. (4) Dalam hal permohonan penarikan diri mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pasal20 Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusari dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para pihak. Pasal21 Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas s e g l ~ tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut. Bagian ketiga Hak lngkar Pasal22 ( 1) Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbi- ter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan. (2) Tuntutan ingkat terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, 68 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Pasal23 (1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. (2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang bersangkutan. (3) Hak ingkarterhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan. Pasal24 (1) Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan arbiter yang bersangkutan. (2) Arbiter yang diangkat dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya penerimaan penetapan pengadilan tersebut. (3) Pihak yang keberatan terhadap penunjukan seorang arbiter yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat betas) hari sejak pengangkatan. (4) Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus diajukan dalam waktu paling lama 14 (empat betas) hari sejak diketahuinya hal tersebut. (5) Tuntutan ingkar harus secara tertulis, baik kepada pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan tuntutannya. Badan Pembinaan Hukum Nasional--- ------- 69 (6) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam Undang- undangini. Pasal25 ( 1) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua belah pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan. (2) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri memutuskan bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beralasan, seorang arbiter pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku untuk pengangkatan arbiter yang digantikan. (3) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolaktuntutan ingkar, arbiter melanjutkan tugasnya. Pasal26 ( 1) Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya arbiter dan wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan Undang-undang ini. (2) Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana berpihak atau menunjukkan sikap tercel a yang harus dibuktikan melalui jalur hukum. (3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung, arbi- ter meninggal dunia, tidak mampu, atau mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang 70 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional arbiter pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan arbiter yang bersangkutan. (4) Dalam hal seorang arbitertunggal atau ketua majelis arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang kembali. (5) Dalam hal anggota majelis yang diganti , pemeriksaan sengketa hanya diulang kern bali secara tertib antara arbiter. BABIV ACARA YANG BERLAKU 01 HADAPAN MAJELIS ARBITRASE Bagian Pertama Acara Arbiter Pasal27 Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Pasal28 Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. P a s ~ l 9 (1) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing. (2) Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus . . Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 71 Pasal30 Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Pasal31 (1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. (2) Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk sesuai dengan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam Undang-undang ini. (3) Dalam hal para pihak yang telah memilih acara arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tern pat arbitrase tidak ditentukan, arbiter a tau mejalis arbitrase yang akan menentukan. Pasal32 (1) Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan 72 -----------Badan Pembina an Hukum Nasional penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak. (2) Jangka waktu pelaksanaan putusan provisionil atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal48. Pasal33 Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memper- panjang jangka waktu tugasnya apabila: a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu; b. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atau c. dianggap perlu oleh arbiter atau mejalis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan. Pasal34 (1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. (2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga dipilih, kecuali ditetapkan lain para pihak. Pasal35 Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 73 Pasal36 ( 1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis. (2) pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal37 (1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak. (2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tern pat tertentu di luar tern pat arbitrase diadakan. (3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menu rut ketentuan dalam hukum acara perdata. ( 4) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan terse but. Pasal38 (1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. (2) Surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya: a. nama lengkap dan tern pat tinggal a tau tern pat kedudukan para pihak; b. uraian sing kat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti; dan c. isi tuntutan yang jelas. 74 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Pasal39 Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon. Pasal40 (1) Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon. (2) Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu. Pasal41 Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tidak menyampaikan jawabannya, termohon akan dipanggil dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2). Pasal42 (1) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesem- patan untuk menanggapi. (2) Tuntutan balasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan pokok sengketa. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 75 Pasal43 Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. Pasal44 (1) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi. (2) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadimya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. Pasal45 ( 1) Dalam hal para pihak datang menghadap pad a hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. (2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. 76 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Pasal46 (1) pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) tidak berhasil. (2) Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan perndiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter a tau majelis arbitrase. (3) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen a tau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal47 (1) Sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. (2) Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya diperoleh dengan persetujuan termohon dan sepanjang perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar yang menjadi dasar permohonan. Pasal48 (1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. (2) Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 77 Bagian Kedua Saksi dan saksi Ahli Pasal49 (1) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas perrnintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya. (2) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi ~ t u saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. (3) Sebelum memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah. Pasal50 ( 1) Arbiter a tau mejalis arbitrase dapat meminta bantu an seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa. (2) Para pihak wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan oleh para saksi ahli. (3) Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan saksi ahli tersebut pada para pihak agar dapat ditanggapi secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. ( 4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang arbiter dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya. Pasal51 Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh sekretaris. 78 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional BABV PENDAPAT DAN PUTUSAN ARBITRASE Pasal52 Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu Pasal53 Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun. Pasal54 (1) Putusan arbitrase harus memuat: a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama sing kat sengketa; c. uraian singkat sengketa; d. pendirian para pihak; e. nama lengkap dan alamat arbiter; f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; g. pend a pat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; (2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. (3) Semua biaya berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 79 Pasal60 Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Pasal61 Dalam hal para pihak ti dak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Pasal62 (1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. (2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimanc. dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. (3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. (4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan atbitrase. Pasal63 Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan. 80 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasiona/ Pasal64 Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksankaan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Bagian Kedua Arbitrase lnternasional Pasal65 Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase lntemasional adalah Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat. Pasal66 Putusan Arbitrase lnternasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase lntemasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indo- nesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase lntemasional. b. Putusan Arbitrase lntemasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indo- nesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. c. PutusanArbitrase lntemasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pad a putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. d. Putusan Arbitrase lntemasional dapafdilaksanakan di Indo- nesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 81 e. Putusan Arbitrase lnternasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksankaan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal67 (1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase lnternasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase lnternasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah e ~ e m h n resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase lnternasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah e ~ e m h n resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indone- sia di negara tempat Putusan Arbitrase lnternasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan .negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase lnternasional. Pasal68 (1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal66 huruf d yang mengajui 82 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional dan melaksanakan Putusan Arbitrase lnternasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi. (2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase lnternasional, dapat diajukan kasasi. (3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. ( 4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya per1awanan. Pasal69 (1) Setelah Ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan periksa eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksa- nakannya. (2} Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. (3} Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata. BABVII PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE Pasal70 Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 83 a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu: b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Pasal71 Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Pasal72 (1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. (2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. (3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima. (4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. (5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebutditerima oleh MahkamahAgung. 84 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional BAB VIII BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER Pasal73 Tugas arbiter berakhir karena: a. putusan mengenai sengketa telah diambil; b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbi- ter. Pasal74 ( 1) Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir. (2) Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), maka Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih arbi- ter pengganti. (3) Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah diadakan. BABIX BIAYA ARBITRASE Pasal76 ( 1) Arbiter menentukan biaya arbitrase. (2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. honorarium arbiter; Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 85 b. biaya saksi dan atau saksi ahli yang dikeluarkan oleh ar- biter; c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan d. biaya administrasi. Pasal77 (1} Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah. (2} Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak seimbang. BABX KETENTUAN PERLAIHAN Pasal78 Sengketa yang pada saat Undang-undang ini berlaku sudah diperiksa kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi belum dilakukan pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undang-undang ini. Pasal79 Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama. Pasal80 Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang-undang ini. 86 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional BABXI KETENTUAN PENUTUP Pasal81 Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechtsvodering, Staatsblad 1847:52} dan Pasal 377 Reglement Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941 :44} dan Pasal 705 ReglementAcara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227}, dinyatakan tidak berlaku. Pasal82 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 87 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd MULADI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 138 88 ---------Badan Pembinaan Hukum Nasional - PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UMUM Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka urn urn yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing- masing diatur dalam Undang-undang tersendiri. Di dalam penjelasan Pasal3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglement Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herzeine lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941 :44) dan pasal705 Reg Iemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227). Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 89 Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan Kelebihan tersebut antara lain: a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; c. para pihak dapat memilih arbiter yang menu rut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyele- saikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu- satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat intemasional. Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Regelement of de Rechtvodering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam 90 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Reglement Acara Perdata (reglement op de Rechtvodering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglement Acara Perdata (Reglement op de rechtvodering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan. Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Disamping itu ketentuan yang melarang wan ita sebagai arbi- ter sebagaimana dimaksud dalam Pasal617 ayat (2) Reglement Acara Perdata (Regelement op de Rechtvodering) sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak dapat dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya mengakui persamaan hak wanita dengan hak pria. Oleh karenanya dalam Undang-undang ini tidak disebut lagi bahwa wan ita tidak dapat diangkat sebagai arbiter. Semua itu diatur dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum. Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa afau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konstitusi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Bab Ill memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan syarat pengangkatan ar- biter serta mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam Bab IV diatur tata cara untuk beracara di hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 91 mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli. Seperti halnya dengan putusan pengadilan, maka dalam putusan arbitrase sebagai kepala putusan harus juga mencantumkan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Disamping itu dalam Bab V disebut pula syarat lain yang berlaku mengenai putusan arbitrase. Kemudian dalam Bab ini diatur pula kemungkinan e ~ d i suatu persengketaan mengenai wewenang arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional dan penolakan permohonan perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang-undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaa_n tugas Arbitrase nasional maupun internasional. Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun intemasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan. 92 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Bab VII mengatur ten tang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tug as arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir. Bab IX dari Undang-undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter. Bab X dari Undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reg Iemen Acara Perdata (Regelement op de Rechtvodering, Staattsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziere lndonesch Reglement, Staatsblad 1941 :44) dan Pasal 705 Reg Iemen Acara Untuk Luar Badan Pembinaan Hukum Nasional--------- - 93 Daerah Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku. PASAL OEM I PASAL Pasal1 Cukupjelas Pasal2 Cukupjelas Pasal3 Cukupjelas Pasal4 Cukupjelas Pasal5 Cukupjelas Pasal6 Cukupjelas Pasal7 Cukupjelas Pasal8 Cukupjelas Pasal9 Cukupjelas Pasal 10 Hurufa Cukupjelas 94 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional - Huruf b Cukupjelas Huruf c Yang dimaksud dengan "novasi" adalah pembaharuan utang. Hurufd Yang dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak mampu membayar. Hurufe Cukupjelas Huruff Cukupjelas Hurufg Cukupjelas Hurufh Cukupjelas Pasal11 Cukupjelas Pasal12 Ayat {1) Cukupjelas Ayat{2) Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 95 - . Pasal13 Ayat(1) Dengan adanya ketentuan ini, maka dihidarkan bahwa dalam praktek akan e ~ d i jalan buntu apabila para pihak di dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter. Ayat(2) Cukupjelas Pasal14 Cukupjelas Pasal15 Cukupjelas Pasal 16 Cukupjelas Pasal17 Cukupjelas Pasal18 Cukupjelas Pasal19 Cukupjelas Pasal20 Cukupjelas Pasal21 Cukupjelas 96 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Pasal22 Cukup jelas Pasal23 Cukupjelas Pasal24 Ayat(1) Sebelum mengangkat arbiter; para -piha_k tent!I sudah memperhitungkan adanya menjadi alasan untuk mempergunakan hak1ngkar. Namun apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak, maka para pihak dianggap telah sepakat untuk tidal< menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta yang mereka ketahui ketika mengangkat arbiter terse but. . Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya fakta-fakta baru yang tidak diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk mempe.rgunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta baru tersebut --- Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) .. Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar dan jangka waktunya. Jangka waktu itu dipandang perlu agar tidak sewaktu- waktu dapat dihambat dengan adanya tuntutan ingkar. Ayat (4) Cukupjelas Ayat(5) Cukupjelas Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 97 Ayat (6) Cukup jelas Pasal25 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat (3) Cukupjelas Ayat (4) Cukupjelas Ayat(5) Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti, pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkan berita acara dan surat yang ada, cukup oleh para arbiter yang ada. Pasal27 Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang bertaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase. Pasal28 Cukupjelas Pasal29 98 Ayat (1) Cukupjelas ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara perdata, diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menunjuk kuasa dengan surat kuasa yang bersifat khusus. Pasal30 Cukupjelas Pasal31 Ayat (1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka waktu yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak membuat sesuatu ketentuan tentang hal ini, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan. Pasal32 Cukupjelas Pasal33 Hurufa yang dimaksud dengan"hal khusus tertentu" misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 99 Pasal34 Ayat(1) Cukup jelas Ayat(2) Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa antar mereka, tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih. Pasal35 Cukupjelas Pasal36 Ayat (1) Cukupjelas Ayat (2) Pad a prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara tertulis. Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Juga keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dapat berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal37 Ayat (1) Ketentuan mengenai tern pat arbitrase ini adalah penting terutama apabila e ~ d i unsur hukum asing dan sengketa menjadi suatu sengketa hukum perdata internasional. Seperti lazimnya tempat arbitrase dilakukan dapat menentukan pula hukum yang harus menentukan sendiri maka arbiter yang dapat menentukan tern pat arbitrase. 1 00----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Ayat(2) Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk mendengar saksi di tempat lain dari tempat diadakan arbitrase, antara lain berhubung dengan tempat tinggal saksi bersangkutan. Ayat(3) Cukupjelas Ayat(4) Cukupjelas Pasal38 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Hurufa Cukupjelas Hurufb Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran. Hurufc lsi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti. Pasal39 Cukupjelas Pasal40 Cukupjelas Badan Pembinaan Hukum Nasional----------101 Pasal41 Cukupjelas Pasal42 Ayat(1) Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang diajukan oleh pihak termohon. Ayat(2) Cukupjelas Pasal43 Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari pemeriksaan pertama. Pasal44 Cukupjelas Pasal45 Cukupjelas Pasal46 Cukupjelas Pasal47 Cukupjelas Pasal48 Ayat (1) penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan arbitrase. 1 02----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Ayat (2) Cukup jelas Pasal49 Cukupjelas . Pasal50 Cukupjelas Pasal51 Cukup jelas Pasal52 Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase terse but kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar
Pasal 53 Cukupjelas Pasal54 Cukupjelas Pasal55 Cukup jelas Badan Pembinaan Hukum Nasional----------103 Pasal56 Ayat (1) Pad a dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam me mutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatuhan (ex aequo et bono). Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim. Ayat(2) para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat arbitrase dilakukan Pasal57 Cukupjelas Pasal58 Yang dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan admin- istratif' adalah koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah substansi putusan. 1 04----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Yang dimaksud dengan "menambah atau mengurangi tuntutan" adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap putusan apabila putusan, antara lain: a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak lawan; b. tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk diputus; atau c. mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu sama lainnya. Pasal59 Cukupjelas Pasal60 Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Pasal61 Cukupjelas Pasal62 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Cukupjelas Ayat(4) Tidak diperiks.anya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final dan mengikat. Badan Pembinaan Hukum Nasional----------1 05 Pasal63 Cukupjelas Pasal64 Cukupjelas Pasal65 Cukupjelas Pasal66 Hurufa Cukup jelas Hurufb Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang: pemiagaan; perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; hak kekayaan intelektual. Hurufc Cukupjelas Hurufd Suatu Putusan Arbitrase lnternasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan ( eksekuatur). 106----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Huruf e Cukup jelas Pasal67 Cukupjelas Pasal68 Cukupjelas Pasal69 Cukupjelas Pasal70 Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa atasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan.atau menolak permohonan. Pasat71 Cukupjelas Pasal72 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Keua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. Badan Pembinaan Hukum Nasional----------107 . , . Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Ayat(3) Cukupjelas Ayat(4) Yang dimaksud dengan "banding adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70. Ayat(S) Cukupjelas Pasal73 Cukupjelas Pasal74 Cukupjelas Pasal75 Cukupjelas Pasal76 Cukupjelas Pasaln Cukupjelas Pasal78 Cukupjelas Pasal79 Cukupjelas 108----------Badan Pembinaan Hukum Nasional Pasal80 Cukupjelas Pasal81 Cukupjelas Pasal82 Cukupjelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARAREPUBLIK INDONESIA NOMOR3872 Badan Pembinaan Hukum Nasionaf----------109