Você está na página 1de 121

ANALIS1S DAN EVALUASI HUKUM

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI


ARBITRASE
(UU NO. 30 TAHUN 1999)
Dlsuaun Oleh Tim
Dl bawah Plmplnan
Dr. Huala Adolf, S.H., LLM.
PERPUSTAKAAN HUKUM <:' I
PUSAT DOKUMENTASI .
. DAN INFORMAAASI
BAD.A.N PEMBIN . . .
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM Rl
ANALI.SIS DAN EVALUASI HUKUM
PENYELE,:SAIAN SENGKETA MELALUI
ARBITRASE
(UU N0 ... 30 TAHUN 1999)
' .
,\ :
. .: .
Editor:
Syalful Watni, S.H.
Suradji, S.H., M.H.
Sahadi
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM 1
BADAN PEMiiiNAAN HUKUM NASIONAL
PUSAT DOKUMENTASI
OAN INFORMASI HUKUM
NOMOII!t INDUK .
TGL. REGISTRASI

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
OEPARTEMEN HUKUM DAN HAM Rl
,("I
KATA PENGANTAR
Roda perekonomian dunia salah satunya dipengaruhi oleh
majunya perdagangan dunia yang dilaksanakan dengan lancar
oleh para pelaku usaha. Kondisi ini dapat membawa kemakmuran
bagi masyarakat dunia. Namun dalam pelaksanaan perjanjian
perdagangan tidak semuanya berjalan mulus, dapat menimbulkan
perselisihan bila salah satu pihak melakukan wanprestasi. .
Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui lembaga peradilan
dan dapatjuga dilakukan melalui penyelesaian di luar Pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan utamanya lembaga
arbitrase semakin diminati karena berbagai faktor, antara lain
karena prosedur yang ditempuh sederhana, waktu yang diperlukan
relatif singkat, dan pemeriksaan perkara dilakukan secara tertutup
oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh para pihak yang berperkara.
Indonesia telah memiliki undang-undang tentang Arbitrase dan
Altematif Penyelesaian Sengketa.
Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan lembaga
arbitrase di Indonesia khususnya dengan berlakunya Undang-
undang tentang Arbitrase, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM Rl pada tahun anggaran 2004
mengadakan kegiatan analisis dan evaluasi hukum tentang
"Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999)". Laporan akhir hasil anal isis dan
evaluasi hukum tersebut pada tahun 2006 diupayakan untuk
diterbitkan.
Tersedianya sarana hasil terbitan tersebut akan bermanfaat bagi .
kalangan luas utamanya para penyelenggara negara dan
pemerintahan yang bidang tugasnya mengenai perdagangan,
serta pelaku usaha.
Akhirnya kepada Saudara Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M. dan
semua pihak yang terkait dan berperan aktif dalam menghasilkan
v
karya laporan analisis dan evaluasi hukum tersebut, sehingga
dapat diterbitkan sebagai sebuah karya yang bermanfaat bagi
kalangan luas, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, Juli 2006
vi
KATA PENGANTAR
Kegiatan tim Anal isis dan Evaluasi Hukum Tertulis tentang
Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (UU No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa)
adalah salah satu kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Man usia Rl yang dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Rl No. G-36.PR.09.03 Tahun 2004 tanggal21 Januari
2004.
Dalam kegiatan ini, tim ditugaskan untuk menganalisis dan
mengevaluasi mengenai permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Tujuannya adalah untuk mengetahui efektifitas peraturan yang
ada, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memberikan
rekomendasi dalam perencanaan pembangunan hukum
nasion at.
Secara umum dalam tim telah menginventarisir beberapa
permasalahan yang timbul dalam kaitannya dengan pelak-
sanaan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Permasalahan
tersebut antara lain bunyi pasal dan penjelasan dalam undang-
undang harus lebih diperjelas, kompetensi absolut, hak ingkar,
pembatalan putusan arbitrase, imunitas arbiter dan lembaga
arbitrase, aturan tentang arbiter internasional, pendaftaran
putusan arbitrase, online arbitrase. Harapan kami semoga hasil
yang telah dicapai oleh tim ini dapat bermanfaat bagi
pembangunan hukum, khususnya dalam penyempurnaan
peraturan perundang-undangan mengenai arbitrase.
Tim menyadari hasillaporan ini masih jauh dari sempurna
dan tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Akhirnya atas nama tim kami
vii
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan dan kepercayaan kepada tim ini.
viii

Ketua
ttd
Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M.
DAFTAR lSI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................. v
DAFTAR lSI........................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. La tar Belakang .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .... .. ...... .. .. .. .. .. .. .. .. 1
B. Pokok Bahasan.. ................ ............ ...... .... .. ....... 3
C. Maksud dan Tujuan .. .. .......... .................... ...... .. 4
D. Metodologi ........................................................ 4
E. Waktu Pelaksanaan .. .. .. .... .. .. .............. .... .. .... .. .. 4
F. Keanggotaan .. .. .. .. .. .. .. .. .... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 4
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE
DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
A. Pendahuluan .. ............. ................... ........ ... ........ 7
B. Arbitrase .. .. .... ........................ ........................... 9
C. Arbiter................ ............................................... 12
D. Prosedur Arbitrase ............................................ 15
E. Putusan Arbitrase .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 18
F. Upaya Perlawanan .... .. .......... ........................... 22
G. Evaluasi ............................................................ 23
BAB Ill PERMASALAHAN YANG TIMBUL SEHUBUNGAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN
1999
A. Bunyi Pasal Dalam Undang-Undang Harus
Lebih Diperjelas ...... .. .. .. .. .... ...................... ...... . 25
B. Kompetensi Absolut .. .. .. .. .. .. .. .. .... .. ...... .. .. .. .. .. .... 25
C. Hak lngkar ... ...... ... ..... ...... . .. .. .. .. .. .... .... ......... ..... 26
ix
I
D. Pembatalan Putusan Arbitrase ......................... 26
E. lmunitas Arbiter dan Lembaga Arbitrase..... ...... 28
F. Pendaftaran Putusan Arbitrase .... .. .. .. .. .. .. .... .. .. . 28
G. Aturan Tentang Arbitrase lntemasional............. 30
H. On Line Arbitration............................................ 31
BAB IV ANALISIS
A. Konsepsi Suatu Peraturan Perundang-
undangan .. .. .. .. . . .. .. . . . . . . . .. . .. . .. . .. .. . . .. . . .. ... .. . ... . . .. .. . 33
B. Kompetensi Absolut Lembaga Arbitrase.. ......... 41
C. Hak lngkar .............................. .......................... 44
D. Pembatalan Putusan Arbitrase ......................... 46
E. lmunltas Arbiter................................................. 48
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................... 51
B. Saran ........................... ..................................... 51
DAFTAR PUSTAKA............................................................... 55
LAMP IRAN:
UU NO. 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ........................ 57
X
A Latar Belakang
BABI
PENDAHULUAN
S
eiring dengan perkembanganjaman dan kemajuan
teknologi, maka era globalisasi yang melanda seluruh dunia
telah memberikan pengaruh pada semua aspekkehidupan. Tidak
terkecuali bidang ekonomi , khususnya perdagangan/bisnis. Hal
tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai macam perjanjian
multilateral, regional dan bilateral serta pembentukan blok-blok
ekonomi dalam dunia perdagangan yang tidak mengenal batas
antar negara.
Majunya perdagangan dunia ini, disatu sisi memang
memberikan dampak positif, namun disisi lain dapat menimbulkan
perselisihan atau sengketa apabila salah satu pihak melakukan
wanprestasi terhadap kontrak dagang tersebut. Dengan
mendasarkan kenyataan bahwa efisiensi waktu, biaya, tenaga dan
kepercayaan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam dunia
perdagangan atau bisnis, maka perselisihan atau sengketa
tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan merugikan semua
pihak. Dengan kata lain segera harus diselesaikan dengan cara
yang dapat memuaskan semua pihak.
Meskipun tiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk
menyelesaikan sengketa, akan tetapi dalam dunia perdagangan
mulai dikenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen
"menguntungkann dan memberi rasa "aman" dan keadilan bagi
para pihak, yang salah satunya adalah penyelesaian sengketa
perdagangan/bisnis di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan semakin
populer di kalangan dunia perdagangan, karena disebabkan
berbagai faktor antara lain karena prosedur dan waktu yang
diperlukan sederhana dan lebih singkat dari pada berperkara di
pengadilan. Penyebabnya karena berperkara di pengadilan
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 1
mengenal adanya tingkatan pemeriksaan perkara. Pemeriksaan
tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi atau bahkan tingkat
peninjauan kern bali (Judicial Review) sering digunakan oleh pihak
yang kalah untuk mengulur-ulur pelaksanaan amar putusan hakim
yang dijatuhkan kepadanya. Selain itu hal tersebut juga
menimbulkan konsekuensi biaya yang tinggi yang harus dipikul
oleh para pihak yang bersangkutan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lazim
disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai
prosedur yang lebih sederhana dengan jangka waktu yang sing kat,
dan pemeriksaan perkara dilakukan secara tertutup. Keuntungan
dengan penyelesaian dengan cara tersebut adalah putusannya
bersifat final (tanpa kemungkinan banding) dan mengikat kedua
belah pihak. Selain itu para pihak yang berperkara dapat menunjuk
atau memilih sendiri pihak ke tiga yang dipandang memiliki keahlian
untuk menyelesaikan sengketa. Di Indonesia pengaturan mengenai
penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dengan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif
Penyelesaian Sengketa, (tanggal 12 Agustus 1999). Adapun
penyelesaian sengketa di luar pengadilan terdiri dari:
1. Negosiasi, yaitu suatu upaya penyelesaian sengketa di luar
peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas
dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif;
2. Mediasi, adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak
dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap
netral dan tidak membuat atau kesimpulan bagi para pihak
tetapi menunjang sebagai fasilitator untuk terlaksananya dia-
log antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan
tukar pendapat untuk tercapainya mufakat;
3. Konsiliasi, adalah proses penyelesaian sengketa dengan
menyerahkan kepada komisi orang-orang yang bertugas untuk
menguraikan/menjelaskan fakta, membuat usulan-usulan
untuk suatu penyelesaian namun keputusannya tidak mengikat;
2
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional .
4. Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan.
Dalam praktek kenyataannya, para pelaku bisnis/pengusaha
di Indonesia lebih banyak memilih penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase karena mereka menganggap proses
penyelesaian dalam arbitrase dinilai lebih cepat dan hem at biaya,
dengan menyerahkannya kepada wasit/arbitrase yang dianggap
memiliki keahlian mengenai persoalan yang dipersengketakan
serta keputusannya bersifat rahasia (hanya diketahui oleh para
pihak saja). Sedangkan lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan lainnya seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi masih
jarang digunakan dan kurang familiardi kalangan dunia usaha.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka
peraturan-peraturan yang mengatur mengenai arbitrase
sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai lagi
dengan perkembangan praktek di bidang arbitrase. Walaupun
demikian, dalam perkembangannya undang-undang ini masih
mempunyai banyak kelemahannya. Untuk itulah, Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melakukan kegiatan Analisis
dan Evaluasi ini untuk mengetahui permasalahan yang timbul
dalam praktek penyelenggaraan penyelesaian sengketa melal ui
arbitrase dalam rangka untuk memberikan masukan-masukan
dalam pengembangan perencanaan pembangunan hukum
nasional.
B. Pokok Bahasan
Adapun yang akan dibahas dalam kegiatan ini adalah
menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang. tim but dari
pelaksanaan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Altematif Penyelesaian Sengketa, khususnya Arbitrase yang
sudah ada dan terlembaga dalam hal ini BANI dalam rangka
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 3
menghadapi pasar bebas dengan harapan Tim ini dapat
memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan
tersebut.
C. aksud dan Tujuan
Maksud kegiatan tim Analisis dan Evaluasi ini adalah:
1. untuk menganalisis dan mengevaluasi permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan
yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999;
2. untuk memberikan masukan dalam membangun sistem
hukum nasional dan memberikan saran/rekomendasi sebagai
dasar kebijakan perencanaan pembangunan materi hukum.
D. Metodologi
Metodologi yang digunakan adalah metode yuridis normatif-
empirik yaitu dengan mengumpulkan data-data sekunder yang
relevan dengan masalah yang dibahas dengan melakukan
penelitian bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
meliputi peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa serta buku-buku, artikel koran dan majalah
yang berhubungan dengan masalah tersebut.
E. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan ini dilaksanakan selama satu tahun anggaran 2004
(12 bulan), terhitung sejak bulan Januari 2004 sampai dengan bulan
Desember 2004.
F. Keanggotaan
Ketua
Sekretaris
Dr. HualaAdolf, S.H., LL.M.
Achfadz, S.H.
4
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Anggota 1. Ora. N. Krisnawenda, M.Si.
2. Ridwan Mansyur, S.H., M.Hum.
3. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M.
4. Enny Dwi Astuti, S.H.
5. Hendry Donald, S.H., M.H.
6. Rahendro Jati, S.H.
7. Raida L. Tobing, S.H.
Asisten
1. Tuti Trihastuti, S.H.
2. Dadang Iskandar
Pengetik
1. Tatang Sudrajat
2. Sukoyo
Badan Pembinaan Hukum Nasional----------
5
6 -------------Badan Pembinaan Hukum Nasiona/
BAB II
TINJAUAN UMUM
TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA
A. Pendahuluan
U
ndang-undang ini telah lama dinanti-nantikan oleh banyak
kalangan di Indonesia. Pada bulan Agustus 1999, pemerintah
Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengket a
(selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase). Pada waktu dulu, ada
banyak suara yang mendesak pemberlakuan undang-undang ini
sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang berkembang
mengenai penyelesaian sengketa komersial yang efektif, singkat
dan terpercaya di Indonesia.
Sebelum undang-undang ini disahkan, hukum tentang
arbitrase di Indonesia diaturoleh Pasal615-651 Reglemen Hukum
Acara Perdata (Rv). Sebenarnya, Rv itu sendiri bersumber dari
Rv Belanda, dan bukan merupakan hukum dalam arti sebenarnya.
Mahkamah Agung Indonesia sendiri mempertimbangkan Rv
tersebut sebagai "pedoman". Rv tidak memiliki kekuatan hukum
yang mengikat. Dapat dimengerti kemudian jika pada waktu itu
pengadilan di Indonesia umumnya memiliki kewenangan yang
besar untuk menerapkan dan menafsirkan ketentuan hukum
tersebut terhadap praktik arbitrase di Indonesia.
Usaha-usaha untuk mengeksplorasi kemungkinan
pemberlakuan undang-undang arbitrase telah dimulai sejak tahun
1980-an. Pada masa itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), mengajukan draft RUU Perdagangan Indonesia yang
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 7
salah satu bagian di dalamnya mengandung pengaturan tentang
arbitrase.
BPHN telah berhasil membuat draf RUU Perdagangan
tersebut dan diajukan kepada Sekretariat Negara untuk dipelajari
sebelum secara resmi diajukan kepada DPR. Sayangnya, draf
RUU tersebut tidak pemah 'tersentuh' oleh Sekretariat Negara. Draf
tersebut hanya tersimpan begitu saja dalam file Sekretariat Negara.
Alasan utamanya adalah bahwa Sekretariat Negara juga telah
dipenuhi oleh draf RUU bidang ekonomi lain yang dirasakan lebih
penting.
Pergantian pemerintahan pada tahun 1997 melahirkan
tekanan baru mengenai permintaan dari kalangan masyarakat
bisnis untuk memberlakukan undang-undang arbitrase. Akhirnya
t ekanan-tekanan tersebut dapat membuat pemerintah
memutuskan untuk mengesahkan RUU tersebut.
Undang-undang tersebut tidak mengikuti the UNCITRAL
Model Law on lnternatinal Commercial Arbitration of 1985
(UNCITRAL Model Law). Kebanyakan ketentuan undang-undang
tersebut secara esensial merupakan perpanjangan dari Rv dan
aturuan-aturan yang dikembangkan sebelum arbitrase dikenal di
Indonesia.
Dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,
Indonesia untuk pertama kali memiliki undang-undang arbitrase.
Mungkin tidak biasa bagi banyak negara bahwa undang-undang
itu juga mengandung ketentuan tentang alternatif penyelesaian
sengketa (ADR), kendati undang-undang tersebut hanya memiliki
satu pasal saja mengenai ADR (yaitu pasal 6) dari keseluruhan
82 pasal.
Sebagai tambahan terhadap undang-undang ini, Indonesia
juga terikat terhadap New York Convention on the Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958 (Konvensi
New York 1958) sebagaimana telah diratifikasi dengan Keputusan
Presiden No; 34 Tahun 1981. Indonesia juga merupakan anggota
8
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Washington Convention on the Settlement of Investment Dis-
putes Between States and National of Other States of 1965
diratifikasi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1968.
Ketentuan tentang altematif penyelesaian sengketa pada
kenyataannya hanya mengatur masalah yang sangat mendasar.
Sebagaimana telah luas diketahui, altematif penyelesaian sengketa
merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Termasuk antara lain negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau cara-cara
lain yang dipilih oleh para pihak. Namun undang-undang arbitrase
tidak menyebutkan mengenai hal-hal tersebut. Undang-undang itu
hanya menyatakan bahwa para pihak dapat menyelesaikan
sengketa dengan negoisasi. Jika negoisasi gagal, undang-undang
mensyaratkan para pihak untuk memilih mediasi. Jangka waktu
untuk melakukan mediasi adalah 30 (tiga puluh) hari. Undang-
undang mensyaratkan penyelesaian sengketa melalui mediasi
harus didaftarkan kepada pengadilan negeri dimana mediasi
dilakukan.
Jika prosedur mediasi gagal, para pihak dapat memilih untuk
memasukkan sengketa mereka kepada badan arbitrase atau
arbitrase ad hoc.
B. Arbitrase
Undang-undang arbitrase mengandung sejumlah ketentuan-
ketentuan baru bila dibandingkan derigan ketentuan hukum lama
yang terdapat dalam Rv. Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) ketentuan
panting dalam undang-undang arbitrase.
Pertama, Undang-undang arbitrase menentukan batas waktu
untuk setiap tahapan dalam proses arbitrase (termasuk dalam
proses ADR); dari pemilihan arbiter, sampai dengan batas waktu
bagi arbiter mengambil putusan.
1
Kedua, Undang-undang arbitrase membedakan putusan
arbitrase nasional dan putusan arbitrase intemasional (arbitrase
1
Peul65(e)UUArblrae
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 9
asing). Tindakan untuk pemberlakuan perintah eksekusi dilakukan
oleh pengadilan.
Ketiga, Ketentuan eksekusi putusan dapat dilakukan jika
salah satu dari pihak yang bersengketa adalah negara Indonesia.
Jika terdapat kasus seperti ini undang-undang arbitrase
menentukan bahwa Mahkamah Agung harus memberikan perintah
eksekusi dalam hubungannya dengan pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia. Jika penyelesaian sengketa
melibatkan pihak-pihak bukan negara (privat), maka eksekusi dapat
dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2
1. Bentuk dan lsi
Undang-undang arbitrase mengikuti ketentuan Rv
tentang arbitrase hanya mengenai bentuk dan isi perjanjian
arbitrase. Para pihak dapat memperjanjikan untuk
menyelesaikan sengketa (submission) dalam bentuk
perjanjian (pactum de compromitendo).
Tidak ada syarat tertentu yang diminta oleh undang-
undang mengenai isi tetapi sejumlah persyaratan
lain haruslah dipenuhL Pertama, harus dalam bentuk
tertulis. Kedua, perjanjian harus ditandatangani oleh para
pihak.
3
Jika perjanjian dilakukan melalui teleks, telegram,
faksimile, email atau cara-cara lain, masing-masing pihak
diwajibkan untuk membuat salinan penerimaan sebagai bukti
bahwa perjanjian arbitrase telah disetujui. Hal ini tidak
disebutkan dalam Rv.
2. Arbitrabily
Undang-undang arbitrase menentukan bahwa tidak
semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Menu rut
undang-undang arbitrase sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanyalah sengketa dagang (Pasal 5). Lebih
2
Pasal65 (d) UU Albitrase
Pasal3:3 dan Pasal4:2 UU Arbitrase
10 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
jauh lagi, alinea 2 pasal 5 ini menentukan bahwa sengketa
yang tidak dapat diselesaikan dengan arbitrase adalah
sengketa-sengketa yang menurut hukum tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase.
Kriteria yang digunakan berdasarkan undang-undang
tersebut tidak jelas. Rv menggambarkan dengan jelas
sengketa-sengketa apa saja yang berada di bawah juri sdiksi
arbitrase, kendati didefinisi kan dengan kriteria yang terbuka.
4
Meskipun demikian, apabila para pihak mengalami
keragu-raguan, lebih baik untuk berkonsultasi dengan
pengacara Indonesia untuk memastikan apakah subjek
kesepakatan dalam arbitrase (klausula) telah sesuai
dengan istilah perdagangan dalam hukum Indonesia. Suatu
perjanjian yang mengatur subjek tertentu tidak bol eh
bertentangan dengan hukum (ketertiban umum). Pelanggaran
ketertiban umum ini akan membuat putusan tidak dapat
dilaksanakan. Dalam kasus E.D & F Man (Sugar) Ltd. v.
Haryanto, pengadilan Indonesia menyatakan bahwa
pembelian gula bertentangan dengan hukum (kepentingan
umum di Indonesia). Pengadilan berpendapat badan hukum
yang satu-satunya memiliki kewenangan untuk mengimpor
gula, adalah BULOG (Badan Urusan Logistik).
5
3. Akibat Hukum Perjanji an
Perjanjian arbi t rase mengikat para pihak yang
menandatanganinya. Undang-undang arbitrase secara j elas
menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa bila para pihak.
terikat perjanjian arbitrase.
6
Ketentuan hukum ini telah lama
Meootut Pasal616 Rv, Mngkela-sengketa yang lidak dapat diselesaikan melalul arbilrase an tara lain sengketa perceraian,
pembagian hello gono glnl, sengketa pe<Se0<811g8<1, dan sengketa lalnnya yang menurut hukum tidak dapat diselesaikan
denga1 ablwe". ct. UNCilRALModel '--rnerekomendasi< lri.Atmendellnlsi<an ....... "oonmercial' (baca: peldagargal)
dengan panafsiran yang luas .
Sudargo
HIAa.m Dagang Indonesia
(Bancblg: Cilra Aditya Baldi, 1995) hm. 482
1
Pasal3 8n 7:2 UU Albitrase
Badan Pembinaan Hukum Nasional----- ------ 11
dipraktikkan di Indonesia sebagaimana ditunjukkan dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung. Antara lain dalam
putusan kasus PT Metropolitan Timbers me/a wan PT Gaphi
Trading (19/6)1; PT Baru Mulia Utama melawan Sainrapt et
Brice-Societe Auxi/iare e'Enterprises/Societe Routiere Colas
(1985)
8
; dan AHJU Forestry Company Ltd. melawan PT
Balapan Jaya (1987)"
9
Tetapi pengadilan negeri kadang-kadang tidak mengikuti
aturan ini. Ada beberapa kasus di mana Pengadilan Negeri
menetapkan bahwa mereka memiliki kewenangan terhadap
suatu sengketa meskipun para pihak sebelumya telah
membuat perjanjian arbitrase. Sebagai contoh, tanggal 25
Januari 2000, dalam kasus Perusahaan Dagang Tempo
melawan PT Roche Indonesia, Ketua PN Jakarta Selatan
menyatakan bahwa PN memiliki kewenangan mengadili
perkara tersebut. Pasal 19 perjanjian yang ditandatangani
kedua pihak secara jelas menyatakan bahwa jika timbul
sengketa, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui
arbitrase.
10
Putusan ini dikritik oleh banyak ahli hukum. Argumen
yang dikemukakan oleh PN Jakarta Selatan ini telah melanggar
UU Abitrase. Sepertinya putusan semaccim ini tidak diikuti oleh
PN lain di masa mendatang.
C. Arbiter
1. Kualifikasi
Undang-undang arbitrase tidak menentukan siapa yang
dapat menjadi arbiter. Tetapi pasal12 undang-undang arbitrase
menentukan beberapa persyaratan untuk menjadi arbiter.
Persyaratan tersebut antara lain:
1) Memiliki kapasitas yang diakui oleh hukum Indonesia
'Putusan MahkamahAgung No225 K/Sip(1976. t.anggal8 Februari 1982.
I Puklsan Mahkamah Agung No3992 K/Sip{1985 tanggal4 Mei 1988.
I Pulusan Mahkamah Agung No2924/Sip/1981 tanggal22 Februari 1982 .
.. Kampas 27 J...ari 2000
12
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
2) minimum berumur 25 tahun
3) tidak memiliki hubungan apapun dengan para pihak,
termasuk hubungan keluarga atau keuangan, dan
4) harus memiliki kewenangan selama 15 tahun di bidangnya.
Undang-undang arbitrase menentukan bahwa hakim,
jaksa, dan pejabat pengadilan lainnya tidak berwenang untuk
bertindak sebagai arbiter. Sarna dengan itu, Rv juga mengatur
persyaratan untuk arbiter, tetapi tidak menyebutkan
persyaratan wajib memiliki pengalaman yang cukup lama
dalam bidangnya (yaitu 15 tahun pengalaman). Hal ini
merupakan ketentuan baru dan positif dalam undang-undang
tersbut guna mencapai solusi yang memuaskan.
2. Perlawanan terhadap Arbiter
Menu rut Rv, setiap pihak dapat menentang arbiter yang
dipilih "karena alasan-alasan tertentu setelah pencalonan".
11
Menurut undang-undang arbitrase, ketentuan ini tidak banyak
berubah. Namun, sebelum pertawanan diajukan, para pihak
harus memiliki cukup bukti yang dapat menimbulkan keragu-
raguan bahwa arbiter (yang ditunjuk oleh pihak lain) tidak akan
bebas atau lepas dalam membuat putusan.
12
Perlawanan
terhadap arbiter juga dapat dibuat jika terdapat bukti bahwa
arbiter yang ditunjuk memiliki hubungan keluarga, finansial atau
hubungan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
3. Jumlah Arbiter
Undang-undang arbitrase memberikan kebebasan bagi
para pihak untuk membuat mengenai jumlah arbi-
ter untuk menyelesaikan sengketa. Tetapi undang-undang
tersebut juga secara implisit menunjuk satu atau tiga arbiter.
13
"Paull21 KUHPer
........ 22 (1) UUAiblraM
"P8ul14:1 dM 15:1 UUNtllnM
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 13
Hal ini sudah merupakan praktik yang berlangsung lama di
Indonesia.
Apabila para pihak gagal untuk memilih arbitemya, maka
ketua Pengadilan Negeri di mana arbitrase dilangsungkan
dapat memilih arbiter untuk para pihak.
14
4. Penunjukan Arbiter
Jika jumlah arbiter tiga orang, arbiter yang dipilih oleh
masing-masing pihak dapat memilih arbiter ketiga sebagai
presiden atau ketua majelis atau dewan arbitrase. Jika hanya
ada satu arbiter yang dipilih oleh salah satu pihak, sedangkan
pihak lain gaga I atau tidak dapat memilih arbiter, arbitrase itu
harus diketuai oleh arbiter tunggal tersebut.
Arbiter memiliki hak untuk menerima atau menolak
penunjukannya untuk menjadi arbiter. Apabila ia menolak a tau
menerima penunjukan, maka dia wajib melaporkan secara
tertulis kepada para pihak dalam jangka waktu 14 hari sejak
tanggal penunjukan.
Jika penolakan tersebut diterima oleh para pihak,
penunjukan arbiter baru dilakukan sesuai dengan aturan yang
tersedia untuk penunjukan arbiter sebelumnya. Dalam
melaksanakan tugasnya seorang arbiter tidak diperbolehkan
mengundurkan diri kecuali dengan persetujuan para pihak.
Apabila para pihak menyetujui pengunduran diri arbiter
tersebut, maka harus dibuat dalam keputusan ketua
Pengadilan Negeri.
5. Tanggung Jawab Arbiter
Arbiter bertanggung jawab terhadap penundaan
pengeluaran putusan.
15
Ketentuan ini juga diatur dalam pasal
623 Rv. Sejauh ini, tidak ada kasus di mana para pihak
"P ... 13 UU Arbllrase
" Pasal20 UU Arbllrase
14 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
mengajukan klaim terhadap arbiter karena arbiter menunda
memberi putusannya.
D. Prosedur Arbltrase
Pada dasarnya para pihak memiliki kebebasan untuk
memutuskan hukum acara arbitrase. Jika tidak ditentukan para
pihak, badan arbitrase dapat menentukannya. Umumnya, hukum
acara yang akan diterapkan adalah hukum acara yang telah ada
dalam badan arbitrase yang bersangkutan.
1. Tempat Arbltrase
Ketentuan tentang tern pat arbitrase merupakan hal yang
baru. Rv tidak mengatur masalah ini. Menu rut pasal 37, tempat
arbitrase akan ditentukan oleh para pihak. Namun arbiter dapat
mendengar pendapat ahli di luar dari tern pat yang disepakati.
Penyelidikan keterangan saksi ahli atau ahli dilakukan sesuai
dengan Rv. Arbiter juga dapat bersidang di tempat di mana
obyek atau benda tersebut berada.
Ketentuan baru lain dalam prosedur arbitrase yang
digambarkan dalam undang-undang, yakni:
(a) prosedur arbitrase harus dilakukan secara tertutup;
16
(b) bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase adalah
Bahasa Indonesia, kecuali apabila disepakati lain oleh
para pihak;
17
(c) UU menjamin bahwa masing-masing pihak memiliki
kesempatan dan hak yang sama untuk didengarkan
dalam proses arbitrase;
18
(d) Pihak ketiga dapat ikut serta dalam arbitrase jika ia memiliki
kepentingan dalam sengketa dan diijinkan oleh arbiter.
19
10
Pasal 27 UU Albitrase
"p .... 28 uu Albilrae
10 P.ul 29 UU Albilrase
PIINI 30 UU Albilrase
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 15
Pasal 45 mensyaratkan bahwa dalam menyelesaikan
suatu sengketa, arbiter harus pertama-tama mencari
penyelesaian secara damai. Jika para pihak pada akhirnya
setuju dan menyelesaikan sengketa tersebut, arbiter harus
mencantumkan putusan yang mengikat para pihak.
Berdasarkan pasal 46, apabila penyelesaian gagal,
proses arbitrase terus berlangsung. Dalam hal ini, para pihak
diminta untuk memasukkan pembelaan secara tertulis dan
bukti-bukti dalam jangka waktu yang ditentukan arbiter.
Pada umumnya, arbiter akan membuat putusan
berdasarkan pembelaan tertulis, bukti-bukti dan dokumen-
dokumen lain. Keseluruhan proses arbitrase dan pembuatan
putusan memakan waktu selama 180 hari (6 bulan). Namun
arbiter dapat memperpanjang batas waktu tersebut. Batas
waktu 6 bulan juga terdapat dalam Rv.
2. Ahli
Tidak seperti Rv, undang-undang arbitrase mengatur
keterangan para ahli dalam ketentuan yang rinci. Ketentuan-
ketentuan tersebut antara lain:
20
1) seorang saksi a tau ahli dapat dimintakan oleh arbiter a tau
para pihak;
2) biaya ahli dibebankan kepada para pihak yang meminta
(mengajukan):
3) sebelum memberikan keterangan/kesaksiannya, ahli atau
saksi harus memberi sumpah.
Lebih lanjut, pasal 50 menentukan bahwa:
1) arbiter dapat meminta satu a tau lebih saksi ahli untuk
memberikan penjelasan tertulis terhadap suatu sengketa;
2) para pihak harus memberikan informasi yang diperlukan
oleh para ahli;
"' Pasal49 UU Albitrase
16 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
3) penjelasan tertulis harus dimasukkan kepada para pihak
untuk komentar;
4) Untuk penjelasan lebih lanjut, kesaksian ahli harus
didengarkan dengan kehadiran para pihak.
3. Tindakan Perlindungan Sementara
Pasal32 menyatakan bahwa jika diminta salah satu pihak,
majelis arbitrase dapat membuat perintah sementara (inter-
locutory) termasuk, penyitaan atau pelelangan barang.
4. Wakil (Kuasa) Hukum Para Pihak
Rv tidak mengatur masalah ini, namun hal ini sudah
menjadi praktik umum bahwa para pihak diwakili oleh kuasa
hukumnya. Undang-undang menegaskan hal ini dan
mensyaratkan bahwa kuasa hukumnya harus ditunjukkan o!eh
surat kuasa khusus.
21
5. Hukum Yang Berlaku
Rv tidak mengatur masalah hukum yang berlaku. Pasal
56 undang-undang ini menyatakan bahwa para pihak dapat
memutuskan hukum yang berlaku untuk suatu sengketa yang
sedang atau akan terjadi. Namun apabila tidak ditentukan, ar-
biter harus menentukan hukum mana yang akan diberlakukan
berdasarkan keadilan dan kepatutan.
22
Dalam hal terjadinya kekosongan pilihan hukum dalam
kontrak internasional, hakim Indonesia umumnya akan
menerapkan prinsip ex aequo et bono tanpa otoritas dari para
pihak. Kemudian, undang-undang arbitrase memberikan
peluang lebih luas kepada arbiter untuk menentukan pilihan
hukum dalam hal para pihak gagal menentukan hukum.
" Pasal29 (2) UU Attlitrase
u Prinslp ex aequo et bono (Pasal56 UU Arbittase)
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 17
E. Putusan Arbitrase
Menurut pasal 54 undang-undang arbitrase, putusan harus
memuat syarat-syarat sebagai berikut:
(a) kepala putusan
(b) nama sengketa
(c) deskripsi sengketa (pokok sengketa)
(d) argumen para pihak
(e) nama dan alamat arbiter
(f) pertimbangan arbiter dan kesimpulan
(g) pendapat arbiter
(h) amar putusan
(i) tanggal dan tempat putusan dikeluarkan.
Undang-undang menyaratkan bahwa putusan harus
ditandatangani oleh semua arbiter. Ketiadaan tanda tangan arbi-
ter, karena sakit a tau meninggal dunia tidak mempunyai pengaruh
kekuatan mengikat hukum suatu putusan. Namun alasan ketiadaan
tanda tangan harus disebutkan dalam putusan. Putusan harus
menyebutkan di mana atau batas waktu putusan harus
dilaksanakan.
1. Pelaksanaan Putusan
18
a) Arbitrase Nasional
Dalam kaitannya mengenai putusan yang dapat
dilakukan, putusan terse but harus dilaksanakan dalam
waktu 30 hari sejak putusan dikeluarkan. Putusan
arbitase yang asli harus dilampirkan dan didaftarkan
ke panitera pengadilan negeri di mana arbitrase
diselenggarakan.
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Arbiter atau kuasa para pihak harus menyertakan
juga putusan dan surat penunjukan asli dirinya sebagai
arbiter atau salinan yang dilegalisir kepada panitera
pengadilan negeri. Kesalahan dalam memenuhi
persyaratan ini akan membuat putusan tidak dapat
dilaksankaan ('null and void).
Salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan negeri untuk melaksanakan
putusan. Perintah eksekusi harus dibuat dalam waktu 30
hari sejak permohonan didaftarkan di pengadilan negeri.
Sebelum memberikan perintah, ketua pengadilan
negeri harus menguji apakah putusan tersebut tidak
bertentangan dengan moral atau ketertiban umum. Jika
bertentangan, ketua pengadilan negeri harus menolak
perintah eksekusi, dan tidak ada banding untuk putusan
tersebut.
Ketua pengadilan negeri boleh menguji alasan hukum
arbiter. Perintah ketua pengadilan negeri harus ditulis
dalam dokumen otentik (resmi) atau salinan putusan
arbitrase yang disahkan. Perintah tersebut harus
dieksekusi dengan cara sebagaimana ditentukan oleh
pengadilan negeri.
b) Arbitrase lnternasional
Menurut pasal 65, pengadilan negeri Jakarta Pusat
adalah satu-satunya pengadilan yang memili ki
kewenangan untuk menangani persoalan tentang
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
intemasional (asing).
Dalam undang-undang arbitrase, putusan arbitrase
intemasional dilaksanakan di Indonesia, jika:
(a) negara di mana putusan arbitrase dibuatjuga menjadi
anggota perjanjian bilateral atau multilateral dengan
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 19
Indonesia tentang Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing.
(b} putusan terse but haruslah mengenai bidang hukum
dagang menu rut hukum Indonesia;
(c) putusan tersebut tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
(d) putusan terse but dapat dilaksanakan hanya jika telah
mendapat perintah eksekusi dari ketua pengadilan
negeri Jakarta Pusat.
23
Jika salah satu pihak adalah negara Indonesia, maka
putusan itu harus dilaksanakan berdasarkan perintah
eksekusi dari Mahkamah Agung. Perintah eksekusi
kemudian digunakan oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat
untuk melaksanakan putusan arbitrase.
ltu juga berarti bahwa permintaan pelaksanaan
putusan arbitrase asing hanya akan dilaksanakan hanya
setelah putusan arbitrase itu didaftarkan di Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Permohonan pelaksanaan putusan harus
dilampirkan dengan:
(a) Putusan asli (otentik) atau salinan putusan yang telah
dilegalisir dan diterjemahkan resmi dalam bahasa In-
donesia;
(b) dokumen resmi atau salinan dokumen perjanjian
arbitrase dan diterjemahkan resmi dalam bahasa In-
donesia;
(c) pernyataan dari perwakilan diplomatik Indonesia di
negara di mana putusan itu dibuat bahwa permohonan
pihak yang mengajukan terikat secara bilateral atau
:a Pasal66 UUAibilrase. Ketenluan ini sesuai dengan re5eMISi Indonesia latladap Kofflensl New York 1958 dan SuatEdaran
MA No 1 tahun 1990 tenlang Pelaksnaan pulusan arbilrase asing).
20
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
multilateral terhadap pengakuan dan pelaksanaan
putusan asing di mana Indonesia juga merupakan
pihak (peserta).
24
2. Koreksi terhadap Pelaksanaan atau Putusan Tambahan
Rv tidak mengatur masalah ini. Pasal58 undang-undang
tersebut menyaratkan bahwa dalam 14 hari sejak para pihak
menerima putusan, para pihak dapat meminta koreksi admin-
istratif, tambahan atau pengurangan putusan. Rv tidak
mengatur masalah ini.
Merupakan hal yang biasa dalam praktik di Indonesia
bahwa setiap pihak dapat memohon koreksi terhadap
kesalahan cetak atau penulisan dalam putusan.
25
Tetapi kalimat terakhir Pasal 58 membolehkan para pihak
untuk menerapkan tambahan atau pengurangan putusan.
Perlu diperhatikan bagaimana ketentuan dalam pasal ini diatur
di masa yang akan datang.
Sebagai tambahan, undang-undang arbitrase tidak
mengatur penafsiran putusan. Masalah penafsiran merupakan
masalah penting dalam undang-undang ini
26
yang
menyatakan arbiter atau badan arbitrase untuk menentukan
batas waktu pelaksanaan putusan.
3. Biaya dan Ongkos Arbitrase
Pasal76 undang-undang arbitrase mensyaratkan bahwa
arbiter harus menentukan ongkos. Ongkos tersebut harus
mencakup:
"' Pemyataan tersebut sifa1nya adalah memaksa rnerurut tUcLm Indonesia, meskipun l<onllensi NewYOII< 1958 tidak meneniUcal
denj(jan,
25
Sudargo Gautama, 'Indonesia', dalarn P.Sanders (ed.), lntemational Law Handbook on Commercial Arbitration (Oeventer:
Kluwer Law and Taxation Publishers, 1992), ttn. 20.
,. Pasal54 : 4 UU Arbitrase.
Badan Pembinaan Hukum Nasionaf-----------
'
21
a) ongkos arbiter
b) ongkos ahli (yang sebelumnya dibayardahulu oleh badan
arbitrase)
c) biaya saksi
d) biaya administrasi
Menu rut pasal 77, biaya arbitrase dibayar oleh pihak yang
kalah. Jika tuntutan diberikan terpisah, maka biaya harus dibagi
sama antara para pihak.
F. Upaya Perlawanan
1. Banding terhadap Putusan Arbltrase
Aturan umum yang berlaku adalah putusan arbitrase
bersifat final dan mengikat.
27
Namun demikian undang-undang
memberi kemungkinan kepada para pihak untuk mengajukan
banding. Menurut pasal68, pemohon tidak dapat mengajukan
banding terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta
pusat. Sebaliknya, tergugat dapat mengajukan perlawanan
terhadap putusan ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat ke
Mahkamah Agung. Ketentuan ini merupakan praktik yang
sudah berlangsung selama ini berdasarkan Rv.
2. Pembatalan Putusan Arbitrase
Menurut pasal 70, suatu pihak dapat memohon
pembatalan putusan apabila:
a. dokumen yang diserahkan temyata palsu atau dinyatakan
palsu;
b. suatu dokumen disembunyikan oleh suatu pihak yang
dapat mempengaruhi putusan ditemukan;
zr Paui&O W .Miitrase.
22
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
c. putusan dibuat berdasarkan penipuan oleh para pihak
sewaktu sengketa yang bersangkutan disidangkan.
G. Evaluasi
Arbitrase adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa di
dalam perdagangan telah mendapat dasar hukum yang kuat di
Indonesia. Karena kebanyakan dari ketentuan undang-undang
arbitrase ini diperoleh dari aturan-aturan yang berkembang dalam
praktik, diharapkan bahwa penerapan pasal-pasalnya tidak
menghadapi kesulitan dalam praktik.
Meksipun adanya undang-undang ini, uraian di atas
menunjukkan bahwa ketidaksesuaian di dalam praktik ternyata juga
masih ditemukan. Perusahaan asing atau lembaga atau badan
hukum yang bermaksud menjalankan usahanya disarankan untuk
menghubungi penasihat hukum di Indonesia sebelum
menandatangani kontrak yang di dalamnya termuat klausul atau
p e ~ n j i n arbitrase.W
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 23
24
------------Badan Pembinaan Hukum Nasional
BAB Ill
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG
TIMBUL SEHUBUNGAN DENGAN UU NO. 30
TAHUN 1999
A. Bunyi Pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999
U
ndang-undang adalah merupakan suatu aturan yang menjadi
dasar bagi berlakunya atau pengaturan mengenai suatu hal.
Dengan demikian bahasa yang dipakai dalam undang-undang
tersebut harus dapat memberikan pemahaman yang jelas
mengenai sesuatu. Seharusnya undang-undang yang baik, tidak
menimbulkan berbagai macam penafsiran yang berbeda-beda
stake holder, atau dengan kata lain undang-undang tersebut harus
jelas dan rinci dalam mengatur suatu hal.
Suatu undang-undang juga harus sinkron an tara bunyi pasal
dengan penjelasan yang ada di dalamnya. Dalam undang-undang
No. 30 tahun 1999, apabila kita cermati dalam pasal 70 digunakan
kata "sebagai berikut", akan tetapi dalam penjelasan pasal ini
kata "sebagai berikut" diganti dengan kata "antara lain". Adanya
perubahan tersebut menimbulkan permasalahan dalam hal
pelaksanaannya karena ada perbedaan makna/arti yang sangat
mendalam dari kedua kata tersebut.
B. Kompetensi Absolut
Pasal 3, menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase. Dalam pad a itu pasal 11 ayat 1,
menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 25
ke Pengadilan Negeri. Sedangkan pasal 11 ayat 2, menyatakan
bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan cam pur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang ditetapkan
melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam undang-undang.
Oalam praktek, Pengadilan Negeri selalu memeriksa perkara-
perkara sengketa dimana antara para pihak terdapat perjanjian
.arbitrase, walaupun putusannya hasilnya menolak. Karena putusan
tersebut dapat dibanding dan dikasasi oleh pihak yang
bersangkutan, di samping kenyataan tersebut bertentangan dengan
undang-undang, hal tersebut membuang-buang waktu lama dan
tidak sesuai dengan asas berperkara yang harus cepat dan rendah
biaya.
C. Hak lngkar
Pasal25 ayat 1 menyatakan bahwa dalam hal tuntutan ingkar
yang dilakukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain
dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri,
pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua pihak,
dan tidak dapat diajukan perlawanan.
Dalam praktek, apabila terjadi pengingkaran atas arbiter di
Pengadilan Negeri seperti yang dimaksudkan dalam pasal25 ayat
1, hakim Pengadilan Negeri tidak melakukan verifikasi dengan ar-
biter yang diingkari tersebut, umpamanya : tentang tuduhan
adanya conflict of interest tidak di check kebenarannya kepada
arbiter yang bersangkutan.
D. Pembatalan Putusan Arbitrase
Pasal 70 memuat ketentuan tentang persyaratan secara
limitatif mengenai pembatalan putusan arbitrase, yaitu:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dilakukan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
26
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Dalam praktek, karena prosedure pengajuan permohonan
pembatalan tidak diatur dalam Undang-Undang No. 30/1999,
maka terjadi bermacam cara yang dilakukan mengenai hal
tersebut antara lain:
a. Dengan mengajukan surat gugatan perdata terhadap (para)
arbiter yang memeriksa perkara yang bersangkutan dan
menggugat pula lembaga arbitrase yang bersangkutan
(umpamanya BANI).
b. Dengan mengajukan permohonan penetapan pembatalan
putusan (seperti permohonan adopsi dan lain lain)
Dengan demikian terdapat ketidak jelasan tentang prosedure
yang harus ditempuh. Dalam kenyataannya juga sering terjadi
hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak memanggil/
mendengar semua pihak dan/atau saksi yang diperlukan kecuali
pihak pemohon pembatalan dan/atau saksi-saksi yang
diajukannya (contoh antara lain kasus Peruri-Pura di Pengadilan
Negeri Kudus).
Selain itu, Dalam mempertimbangkan perkara permohonan
pembatalan putusan arbitrase, Hakim Pengadilan Negeri tidak
benar-benar mengupayakan untuk membuktikan secara maksimal
bahwa permohonan pembatalan telah memenuhi syarat-syarat
ketentuan yang tercantum dalam pasal 70 (yaitu tentang adanya
dokumen yang disembunyikan, adanya dokumen palsu atau
adanya tipu muslihat yang sebenarnya mengandung aspek
pidana).
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 27
E. lmunitas Arbiter dan Lembaga Arbitrase
Pasal 21 menyatakan bahwa arbiter atau majelis arbitrase
tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala
tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung
untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase,
kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan
tersebut.
Pasal1 ayat (8) menyatakan bahwa lembaga arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.
Dalam praktek, pemohon pembatalan putusan arbitrase
menggugat secara perdata (para) arbiter dan lembaga arbitrase
yang bersangkutan. Gugatan terhadap arbiter diajukan sebagai
gugatan terhadap pribadi arbiter yang bersangkutan, berupa
tuntutan ganti-rugi milyaran rupiah ditambah permohonan sita
jaminan atas kekayaan/harta pribadi arbiter yang bersangkutan.
Hal ini sangat "lucu/aneh" ("belache/ijk") dan jelas bertentangan
dengan pasal 21 Undang-Undang No.30/1999 telah seperti
dikemukakan di atas. Hal demikian dapat membuat orang enggan/
takut untuk menjadi arbiter. Dalam pada itu merupakan hal yang
tidak tepat pula jika lembaga arbitrase yang jika dilihat secara
fungsional pad a hakikatnya setara dengan pengadilan ( cq peradilan
alternatif) dan merupakan penyelenggara administratif
berlangsungnya arbitrase, digugat secara perdata oleh pemohon
pembatalan putusan arbitrase.
F. Pendaftaran Putusan Arbitrase
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan harus didaftarkan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
28
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
putusan diucapkan. Lembar asli atau salinan otentik putusan
arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 59 ayat (1)).
Pengadilan Negeri yang dimaksud dalam Undang-Undang
ini adalah PN yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal
Termohon (Pasal 1 butir 4). Pendaftaran putusan arbitrase di
Pengadilan Negeri tempat domisili Termohon dapat difahami
sebagai sarana yang memudahkan eksekusi terhadap Termohon
apabila Termohon tidak secara sukarela melaksanakan putusan
arbitrase.
Dalam prakteknya, masalah yang timbul ialah:
1) Apabila ternyata berdasarkan putusan arbitrase justru
Pemohonlah yang harus dieksekusi karena temyata Pemohon
tidak dapat membuktikan keabsahan/kekuatan dalil-dalil yang
diajukan dalam permohonannya, sedangkan dalam gugatan
balik (rekonvensi), Termohon dapat meyakinkan serta
membuktikan bahwa justru Pemohon yang mempunyai
kewajiban yang harus diselesaikan. Dalam hal terjadi seperti
ini, apakah pendaftaran putusan di tempat Termohon tidak
memperpanjang proses eksekusi, karena permohonan
eksekusi tentulah harus dilakukan di PN tempat Pemohon
berdomisili sementara putusan arbitrase didaftar di tempat
Termohon berdomisili.
2) Apabila Termohon adalah pihak asing, baik badan maupun
perorangan, yang tidak memiliki perwakilan di Indonesia,
apakah pendaftaran putusan arbitrase nasional (karena
diselenggarakan di Indonesia) harus tetap di PN dan di PN
mana? atau melalui Kedutaan negara sesuai
kewarganegaraan pihak Termohon?
Di dalam UU No. 30/1999 masalah bel urn diatur sehingga ar-
biter atau majelis arbiter, baik ad-hoc maupun lembaga, tidak
memiliki pegangan hukum dan akibatnya mereka melakukan
yang sesuai dengan pertimbangannya. Hal ini tentu tidak baik
Badan Pembinaan Hukum Nasionaf---------- 29
terutama dalam era globalisasi ini berbisnis dengan lintas
negara sudah sangat biasa dilakukan.
G. Aturan Tentang Arbitrase lnternasional
Salah satu masalah yang paling krusial dalam hubungan
dengan arbitrase internasional adalah masalah eksekusi putusan
arbitrase. Keputusan arbitrase asing pada prinsipnya sudah dapat
dieksekusi di Indonesia, bahkan sudah dapat dieksekusi sejak
sebelum berlakunya undang-undang arbitrase No. 30 tahun 1999.
Pengakuan terhadap keputusan arbitrase asing di Indone-
sia, sehingga dapat dieksekusi tersebut, telah terjadi sejak
dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun 1981, yang mengesahkan
Convention on the Reconition and Enforcement of Foreign Abitral
Award, yang dikenal dengan New Convention 1 958"
Namun demikian, seperti telah disebutkan bahwa salah satu
masalah yang banyak dibahas dimana-mana adalah masalah
mengeksekusi putusan arbitrase internasional tersebut. Hal ini
disebabkan karena tidak semua putusan arbitrase internasional
dapat dieksekusi di sesuatu negara. Di sam ping itu, cara prosedur
eksekusi untuk putusan arbitrase internasional juga bervariasi dari
satu negara ke negara lainnya.
Di Indonesia, Undang-Undang Arbitrase di Indonesia, yaitu
Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 mengatur bagaimana
jika suatu putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia.
Menurut Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 tersebut,
suatu putusan arbitrase internasional harus dilaksanakan/
dieksekusi di negara dimana pihak yang dimenangkan mempunyai
kepentingan. Jika putusan tersebut harus dilaksanakan di Indone-
sia, siapakah yang berwenang dan bertanggung jawab
melaksanakan putusan tersebut. Hal ini ditemukan jawabannya
dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Disana
dikatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan
dan eksekusi dari putusan arbitrase internasional adalah
30 ----------Bad an Pembinaan Hukum Nasional
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal ini, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat akan memberikan suatu putusan Ketua Pengadilan
Negeri dalam bentuk "Perintah Pelaksanaan" yang dalam praktek
dikenal dengan sebutan "Eksekuatur"
H. On-Line Arbitration
Masalah lainnya yang juga patut dipertimbangkan adalah
perkembangan penyelesaian sengketa secara On-Line (0-line
Arbitration). Permasalahan ini lahir karena semakin banyaknya
transaksi perdagangan secara elektronik (electronic commerce
atau e-commerce).
Berkembangnya transaksi secara elektronik berpotensi
timbulnya sengketa di bidang ini pula. Praktek beberapa negara
telah cukup lama mengantisipasi perkembangan ini dengan
diperkenalkannya Online Dispute Resolution untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa yang lahir karena transaksi secara e-com-
merce ini.
Permasalahan yang kemungkinan timbul sehubungan
dengan undang-undang nomor 30 tahun 1999 adalah tidak adanya
pengaturan mengenai masalah ini. Yang diatur dalam undang-
undang terse but yang terkait dengan e-commerce adalah diakuinya
klausul-klausul arbitrase yang dibuat secara elektronik. Sedangkan
penyelesaian sengketa dengan menggunakan secara elektronik
ini tidak diatur di dalamnya.
Kemungkinan yang dapat dilakukan adalah membuat
pengaturan di mana persidangan sekaligus penyelesaiannya dapat
dilakukan melalui sarana elektronik ini. Sehingga misalnya,
mendengar kesaksian yang dimintakan oleh salah satu pihak dapat
saja dilakukan melalui e-te/econferencing berhubung saksi yang
bersangkutan berada di negara lain yang jauh dari lndonesia.m
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 31
32
------------Badan Pembinaan Hukum Nasional
BAB IV
ANALISIS
A. Konsepsi Suatu Peraturan Perundang-Undangan
P
ada prinsipnya suatu peraturan perundang-undangan secara
komprehensif harus mencakup:
1. Tanggapan Konseptual yaitu apakah secara konsepsi sudah
memenuhi persyaratan bagaimana menyusun suatu peraturan
perundang-undangan yang baik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2. Tanggapan dari segi filosofis yaitu apakah dalam konsiderans
(menimbang), batang tubuh penjelasan maupun pasal-
pasalnya sudah memuat alasan-alasan atau norma-norma
yang selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945.
3. Tanggapan dari segi konstitusional, yaitu apakah UU tersebut
tidak bertentangan dengan Konstitusi/UUD 1945.
4. Tanggapan dari politik peraturan perundang-undangan, yaitu
melihat apakah sudah sesuai politik hukum telah digariskan.
5. Tanggapan dari segi ekonomis, yaitu sehubungan dengan
beban ekonomi yang harus ditanggung sehubungan dengan
pelaksanaan UU.
6. Tanggapan dari sudut sosio-psikologis yaitu beban yang akan
. dipikul masyarakat sebagai akibat lahimya UU baik akibat positif
maupun negatifnya.
7. Tanggapan dari sudut subtansi (materi) yaitu apakah isi (materi)
yang diaturnya sudah sesuai dengan teori materi muatan
peraturan perundang-undangan, atau apakah materi yang
dimuat sudah cocok dengan jenis peraturan tersebut.
8. Tanggapan dari sudut teknis penyusunan peraturan
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 33
perundang-undangan, dalam hal ini harus memperhatikan UU
No.1 0 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Sehingga suatu peraturan perundang-undangan dapat
dikatakan baik adalah jika terpenuhinya asas-asas dari berbagai
sudut pandang tersebut, yang dapat digolongkan sebagai asas
formal dan materiel
28

Asas-asas formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas
2. Asas organ/lembaga yang tepat
3. Asas perlunya peraturan
4. Asas dapat dilaksanakan
5. Asas Consensus
Asas-asas materiel meliputi:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar
2. Asas tentang dapat dikenali
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum
4. Asas kepastian hukum
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual
1. Bagian Penjelasan dan Masalahnya
Salah satu isu yang sering diperdebatkan pelatihan le-
gal drafting adalah Bagian Penjelasan dalam struktur
peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan
dalam butir 1 Lampiran I Keppres No.44/1999 tentang Teknik
21
Bagir Manan. Oasar-Oasar di Indonesia , INO-HILL.Co, Jakarta. 1992.
34
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk
Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden, Bagian
Penjelasan merupakan bagian dari sistematika peraturan
perundang-undangan, tetapi sifatnya bukan merupakan
keharusan, melainkan dalam hal jika diperlukan.
Struktur peraturan perundang-undangan menurut
Keppres dimaksud adalah sebagai berikut:
a. pembukaan
b. batang tubuh
c. penutup
d. penjelasan Gika diperlukan)
e. lampiran Oika diperlukan).
Saat ini Keppres tersebut sudah tidak berlaku lagi dengan
keluarnya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kerangka
peraturan perundang-undangan menu rut undang-undang ini
tidak berbeda dEmgan Keppres No. 44/1999. Untuk Bagian
Penjelasan sebagaimana dapat dilihat dalam Lampiran UU
ini, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Setiap undang-undang harus diberikan penjelasan
2) Peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang dapat diberikan penjelasan jika diperlukan.
Peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang adalah sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam pasal
7 undang-undang yaitu: peraturan pemerintah, peraturan
daerah, peraturah presiden, serta peraturan daerah, dan jenis
peraturan lain yang disebutkan dalam bag ian penjelasan pasal
7 ayat4.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 35
Berdasarkan undang-undang, kedudukan dan fungsi
dari penjelasan adalah:
a. sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-
undangan atau norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu, penjelasan hanya memuat uraian atau
jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang
tubuh;
b. sebagai sarana untuk norma dalam batang
tubuh tidak boleh mengakibatkan ketidakjelasan
dari norma yang dijelaskan.
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum
untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu harus
dihindari membuat rumusan norma di dalam bagian
penjelasan, dan dihindari rumusan yang isinya memuat
perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya secara teknis, Bagian
Penjelasan dalam undang-undang atau peraturan lain (dalam
hal digunakan} terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan
pasal demi pasal.
2. Penjelasan Umum
36
Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis
mengenai latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan
penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah
tercantum secara sing kat dalam butir konsiderans,serta asas-
asas, tujuan a tau pokok-pokok yang terkandung dalam batang
tubuh peraturan perundang-undangan.
Penjelasan pasal demi pasal:
Pasal diberikan penjelasan dalam hal diperlukan dengan
.
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur
dalam batang tubuh;
_...;._ ________ Badan Pembinaan Hukum Nasional
b. tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam
batang tubuh;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang
diatur dalam batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah atau pengertian yang
telah dimuat di dalam ketentuan umum.
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004,
suatu undang-undang harus dilengkapi dengan Penjelasan,
dalam arti bersifat impei"atif/memaksa, sedangkan untuk
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
bersifat fakultatif dalam arti boleh disusun dengan bagian
penjelasan atau tidak, tergantung pada kebutuhan (objec-
tive) dan bisa juga 'selera' dari si pembentuknya (subjec-
tive).
Segi keuntungan dari peraturan yang dilengkapi
penjelasan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas
dan terang tentang maksud dan tujuan, cakupan, batasan
rumusan norma yang dikehendaki oleh peraturan tersebut
sesuai dengan konsep awal si perancang, juga dapat memuat,
atau hal-hal yang tidak dimaksud oleh pasal yang dijelaskan.
Misalnya pasal15 Undang-Undang No.1 0 Tahun 2004 tentang
prolegnas, dalam pasal penjelasannya diuraikan tentang asas,
sistem, prosedur, mekanisme penyusunan prolegnas beserta
tujuannya.
Undang-undang nasional pada umumnya menggunakan
bagian penjelasan. Terdapat pasal-pasal yang diberikan
penjelasan dari yang singkat sampai yang terperinci, dan
terdapat pasal-pasal yang dalam bagian penjelasannya
dinyatakan dengan frase "cukup jelas".
Frase "cukup jelas" dalam pelaksanaannya membawa
implikasi serius, dalam hal:
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 37
38
1. Bahwa temyata pasal yang di dalam bagian penjelasannya
dikatakan "cukup jelas" temyata untuk memahami pasal
tersebut harus menghubungkan pasal tersebut dengan
pasal-pasal lainnya, dalam hal mana pasal-pasal terkait
tersebut memiliki pasal penjelas juga. Contoh paling nyata
adalah model pengaturan UU No.5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha lidak
Sehat, pasal 11 tentang kartel temyata diatur juga secara
tersebar mulai dari pasal 4 sampai dengan pasal 16.
2. Bahwa kata "cukup jelas" sebetulnya "cukup jelas" dalam
perspektif si pembuat undang-undang, yang belum tentu
"cukup jelas" untuk orang/pihak lain. Logika berfikir
perancang UU belum tentu sama dengan logika berfikir
polisi, jaksa, hakim, advokat, akademisi, pelaku usaha,
dan masyarakat pada umumnya, lebih-lebih jika UU
tersebut lahir tanpa proses sosialisasi terlebih dahulu.
Bukan hal yang aneh suatu sengketa yang diajukan ke
pengadilan hanya diakibatkan oleh perbedaan tafsir pihak-
pihak yang bersengketa atas suatu pasal UU. Red
Dickerson (Dasar-dasarPerancangan Hukum, hal.31-33),
mengemukakan bahwa di Amerika sendiri, tidak sedikit
ahli hukum (terutama perancang undang-undang)
bertindak seolah-olah mereka sedang membuat
instrumen yang hanya jelas bagi mereka sendiri. Padahal
instrumen hukum merupakan suatu komunikasi, selain
daripada suatu kristalisasi dan pemyataan hak, hak
istimewa, kewajiban serta tata hubungan hukum. Sebagai
suatu komunikasi, sudah seharusnya instrumen hukum
tidak mengabaikan unsur-unsur dasar komunikasi yang
berdasar pada kebiasaan-kebiasaan ragam bahasa dari
masyarakat (speech community) tertentu, bukan
mengedepankan selera perancang undang-undang.
3. Frase "cukup jelas" berpotensi lahirnya penafsiran keliru
yang sama sekali di luar dari pemikiran si perancang dan/
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
atau tujuan UU tersebut, atau penafsiran sepihak untuk
kepentingan pribadi atau kelompok. Bahkan dalam kasus
bemuansa politik, tidak jarang pasal yang berkarakter
pasal karet dipolitisir menjadi alat untuk mencapai
kepentingan politik pribadi atau golongan.
Menurut Mahkamah Konstitusi (MK) dalam
putusannya atas judicial review atas Pasal30 ayat (2)-(5)
Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD di Jakarta
menyoal Pasal 30 yang memberi DPR wewenang
memeriksa dan menyandera seseorang, bisa ditafsirkan
bertentangan dengan kewenangan penyidik polisi yang
diatur dalam KUHAP. Namun karena ada bagian
penjelasan. Sehingga dalam pandangan MK maka Pasal
30 harus dipahami dalam konteks yang tidak terpisah dari
penjelasannya. Oleh karena itu bagian penjelasan tidak
mengandung norma baru, dan tidak boleh bertentangan
dengan norma yang terkandung dalam substansi
pasalnya.
Dalam hal pasal-pasal dalam peraturan diberikan
penjelasan perlu diwaspadai dalam hal syarat untuk dapat
digunakannya bagian penjelas sebagaimana diatur dalam
UU No.1 0 Tahun 2004 tidak diindahkan, maka potensi
masalah yang akan timbul, antara lain:
1. Pasal penjelasan yang telah membuat norma baru
akan menimbulkan kebingungan pemahaman;
2. Pasal penjelasan yang bertentangan dengan pasal
yang dijelaskan (pasal substantif) tidak menjamin
asas kepastian hukum;
3. Pasal penjelasan berpotensi melahirkan pergeseran
sistem pengaturan. Artinya dalam rumusan norma
pasal substantif merupakan norma yang ketat, tidak
Badan Pembinaan Hukum Naslonal---------- 39
dapat disimpangi, menjadi norma yang lunak atau
bersyarat. Misalnya dalam konteks UU Anti Monopoli,
terjadi pergeseran dari norma substantif yang bersifat
per se illegal menjadi norma yang dapat ditafsirkan
sebagai norma bersyarat (rule of reason) dalam pasal
penjelasannya, yang berakibat pada sulitnya
menerapkan pasal substantif secara ketat;
4. Pasal penjelasan membuka kemungkinan
tumpang tindih pengaturan.
Indonesia ternyata merupakan satu-satunya negara
yang sampai saat ini masih mempertahankan struktur
peraturan perundang-undangan dengan menggunakan
Bag ian Penjelasan. Negara-negara lain, seperti Amerika,
Australia, Jepang, pada umumnya struktur peraturan
perundang-undangannya, hanya terdiri dari 2 bagian yaitu
1) Bag ian umum dan lain-lain, 2) Lampiran-lampiran.
Bagian umum pada permulaan undang-undang
biasanya mencakup: judul pendek, tujuan umum, suatu
bagian pelaksanaan (kadang-kadang), pengertian umum.
Bagian atau bab lain-lain pada bag ian belakang biasanya
mencakup: perubahan akibat, klausul penghematan,
ketentuan transisi, pengertian umum, judul yang singkat,
dan ketentuan mulai berlaku. Bag ian ke-2, yaitu lampiran-
lampiran ditujukan untuk menyederhanakan susunan dari
rancangan undang-undang. Umumnya terdiri dari daftar
atau rincian tentang struktur organisasi.
Saat ini telah terbit sekitar 25 putusan Mabkamah
Konstitusi atas permohonan uji materiel terhadap undang-
undang yang dianggap in-konstitusional. Sejauh mana
bagian penjelasan menjadi salah satu hal yang
dipertentangkan memang perlu dikaji lebih mendalam,
namun berpegang pada harapan Mahkamah Konsitusi
agar di masa yang akan datang pembentuk undang-
40 - ---------Badan Pembinaan Hukum Nasional
undang, DPR dan Presiden, memperhatikan prinsip
perancangan undang-undang yang baik karena tanpa
perancangan yang baik, suatu pasal bisa menimbulkan
multitafsir di kalangan masyarakat, tentunya Bagian
Penjelasan dalam peraturan harus menjadi bahan kajian
yang lebih mendalam untuk melihat urgensinya dalam
kaitannya dengan efektifitas pelaksanaan peraturan itu
sendiri.
B. Kompetensi Absolut Lembaga Arbitrase
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa cara penyelesaian sengketa melalui lembaga
arbitrase yang diperjanjikan oleh para pihak akan menimbulkan
kewenangan mutlak bagi lembaga yang telah dipilih tersebut.
Sehingga, berdasarkan UU Arbitrase, apabila para pihak telah
memilih cara penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase,
maka lembaga arbitrase memiliki kompetensi mutlak (absolute)
untuk menyelesaikan sengketa tersebut, sementara Pengadilan
Negeri secara mutlak (absolute) pula tidak berwenang untuk
mengadili sengketa tersebut, dengan demikian merupakan .
kewajiban hukum dari Pengadilan Negeri untuk menolak dan
tidak campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa
tersebut.
Pertanyaannya, apakah kompetensi absolute yang dimiliki
lembaga arbitrase (-dalam hal suatu sengketa memenuhi pasal1
ayat (1) dan ayat (3), pasal2, pasal 3, pasal4, pasal 6, pasal11
UU Arbitrase)- betul-betul absolute, atau dalam arti tidak dapat
disimpangi?. Jika ditelusuri secara seksama, terhadap kompetensi
absolute lembaga arbitrase ini, UU ternyata menganut sistem
pengecualian (lihat tulisan Bernadette Waluyo tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Bisnis, Vol.9,
1999) sebagaimana tercermin dalam ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 41
1. Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang
dibuat mengenai pengangkatan arbiter, maka Ketua PN yang
akan menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.
2. Dalam suatu arbitrase ad-hoc, apabila tidak ada kesepakatan
dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, maka para
pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PN untuk
menunjuknya dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.
3. Jika dalam waktu paling lama 14 hari setelah termohon
menerima usul pemohon tentang pengangkatan arbiter
tunggal, akan tetapi para pihak tidak berhasil menentukannya,
maka atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua PN dapat
mengangkat arbiter tunggal.
4. Apabila kedua arbiter yang telah ditunjuk masing-masing
pihak tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu
paling lama 14 hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk,
atas permohonan salah satu pihak, Ketua PN dapat
mengangkat arbiter ketiga.
5. Gugatan hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh
Ketua PN, diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
6. Apabila gugatan hak ingkar yang diajukan oleh salah satu
pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang
bersangkutan tidak bersedia mengudurkan diri, maka pihak
yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan kepada
Ketua PN dan putusannya mengikat kedua belah pihak.
7. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase
secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah
Ketua PN atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa.
8. Masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
lnternasional, yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat
42
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
-
9. Pemberian eksekutorterhadap putusan arbitrase intemasional
agar dapat dilaksanakan, yang menjadi wewenang Ketua PN
Jakarta Pusat
10. Pemberian eksekutor terhadap putusan arbitrase
internasional yang menyangkut negara Rl sebagai salah satu
pihak dalam sengketa, yang menjadi wewenang Mahkamah
Agung Rl
11. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan
secara tertulis kepada PN melalui panitera dalam waktu pa-
ling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera Pengadilan
Negeri.
12. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, kompetensi
absolute lembaga arbitrase bukan bersifat absolute. Tentunya
menjadi pertanyaan dalam hal mana UU Arbitrase ini dibuat untuk
tujuan dapat diselenggarakannya suatu mekanisme penyelesaian
sengketa khususnya untuk perkara-perkara dalam hubungan
bidang bisnis, yang lebih cepat, lebih murah, dengan proses yang
lebih sederhana daripada proses di pengadilan (litigasi). Dengan
wewenang (keterlibatan dalam pengambilan keputusan) sistem
peradilan melalui Pengadilan Negeri sebagaimana terurai dalam
sistem pengecualian di atas, merupakan counter-productive
terhadap tujuan UU tersebut. Dilihat dari sisi kepastian hukum,
pengaturan semacam ini semakin memperkaya inkonsistensi
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam prakteknya, Pengadilan Negeri selalu memeriksa
(harus dijelaskan apakah pemeriksaan dalam ini merupakan
pemeriksaan sengketa formil belaka ataukah sudah masuk pada
pemeriksaan sengketa materiel) perkara-perkara yang diajukan
dimana para pihak yang bersumber dari p e ~ n j i n para pihak
yang jelas-jelas terdapat di dalamnya klausul arbitrase sebagai
media yang dipilih dalam hal timbul sengketa.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 43
Apapun hasil putusan PN, tentunya perkara sudah diterima
sebagai perkara di bawah komptensi PN atau sebagai perkara
litigasi. Akibatnya, perkara tersebut tunduk pad a hukum acara biasa
di Pengadilan, sehingga terhadap putusan PN sebagai putusan
tingkat pertama, keberatan dapat diajukan dengan banding, kasasi
bahkan sampai PK. Jika praktek ini diteruskan, menjadi preseden
buruk bagi eksistensi lembaga arbitrase, dan UU Arbitrase tak
ubahnya seperti hukum yang tidak bemyawa.
C. Hak lngkar
Seperti telah dikemukakan dalam Bab Ill di atas, hak ingkar
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Altematif Penyelesaian Sengketa diatur berdasarkan Pasal
22 sampai dengan Pasal 26. Dari berbagai permasalahan-
permasalahan yang telah diuraikan tampak bahwa pasal-pasal
tersebut masih mengandung kelemahan (tampak pada Bab Ill).
Kejadian yang dialami Indonesia ini sebenarnya adalah
masalah yang juga umum dihadapi di berbagai negara di dunia
29

Para pihak maupun Badan Peradilan kerap menghadapi masalah
ini di dalam praktek.
Permasalahan ini yang terkait dengan hak ingkar dari salah
(oleh salah satu pihak). Pelaksanaan hak ini juga dimungkinkan
karena hukum nasional (di negara-negara pada umumnya di dunia)
memang memberi lampu hijau untuk melaksanakan hak ini.
Namun hak ingkar tersebut dalam pelaksanaan di berbagai
negara dunia sulit berhasil. Permasalahannya adalah tidaklah
mudah meyakinkan pengadilan bahwa seseorang adalah tidak
netraP
0
UNCITRAL Arbitration Rules 1976 misalnya,
mensyaratkan harus adanya alasan yang kuat untuk mengingkari
kenetralan arbiter. Pasal 10.1 UNCITRAL Arbitration Rules ini
dengan tegas menyatakan sebagai berikut:
Alan Redlom and Martin Huller, Law and Practice ot lrUmational Conmercial Arbilralion ,london: Sweet and Maxwell, 1986,
l*n.175.
.. Alan Redfern 8lld Mal1in Hunter, Ibid.
44
----------Badan Pembinaan Hukum Nasionaf
1. Any arbitrator may be challenged if circumstances exist that
give rise to justifiable doubts as to the arbitrator's impartiality
or independence.
2. A party may challenge the arbitrator appointed by him only for
reasons of which he becomes aware after the appointment
has been made."
Ketentuan yang sama lainnya juga terdapat dalam ketentuan
Pasal12 dari Model Hukum Arbitrase 1985.
Sebenarnya kunci pemecahan dalam menyelesaikan
masalah ini terletak pada arbiter yang bersangkutan. Adalah
kewajiban bagi arbiter untuk mengungkapkan kepada para pihak
bahwa dengan pengangkatannya sebagai arbiter dapat
menimbulkan keragu-raguan mengenai kenetralannya di dalam
memutus perkara yang diberikan kepadanya.
Permasalahan lain yang dapat juga muncul adalah mana kala
temyata kemudian salah satu pihak mengajukan hak ingkar setelah
para arbiter ditunjuk. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama,
manakala kedua belah pihak menghendaki para arbiternya
mengundurkan diri karena ketidaknetralannya. Dalam hal ini maka
arbiter memang harus mengundurkan diri. Kedua, manakala
keberatan yang dialamatkan kepada salah seorang arbiter dan
arbiter yang bersangkutan menganggap bahwa keberatan tersebut
tidak beralasan, maka arbiter tersebut harus terus melanjutkan
tugasnya. Dalam hal ini dapat saja salah satu pihak kemudian
mengajukan keberatannya ke badan pengadilan. Menu rut Redfern
dan Hunter, keputusan arbiter untuk terus melanjutkan tugasnya
kemungkinan tepat dan dapat menjawab taktik suatu pihak yang
sebenamya ingin memperlambat jalannya proses persidangan
arbitrase
31

Untuk menanggulangi kelemahan tersebut, hal-hal berikut
patut mendapat catatan sebagai anal isis bag ian ini:
" Alan Redfern and Martin Hl.rUr, ibld., l*n. 176. (Sikap arbilerseperti inl sudah taang 1entu pada akhmya harus Uldukpada
putusan pangaclal yang akan memberi J)liusan mengeNi llakiS kanelralannya n g ~ oleh salah sab.l pllak).
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 45
(1) Pihak Termohon Arbitrase sesuai dengan prosedur yang
berlaku yaitu telah diberitahukan penetapan tersebut dengan
sah dan patut menanggapi pemberitahuan penetapan tersebut.
(2) Pihak yang keberatan terhadap penunjukan seorang Arbiter
seharusnya menanggapi dengan serius mengenai penunjukan
Arbiter terse but.
D. Pembatalan Putusan Arbitrase
Dalam Bab Ill tampak bahwa meskipun pasal 70 telah
memberikan persyaratan limitatif mengenai dimungkinkannya
permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase, namun
dalam prakteknya masih dimungkinkannya alasan-alasan lainnya
yang digunakan oleh salah satu pihak untuk memohon pembatalan
di luar alasan yang ditetapkan pasal 70.
Dari bunyi pasal 70 UU Nomor 30 tahun 1999 tersebut
sebenarnya UU dengan tegas membolehkan adanya pembatalan
ini. Dari uraian di atas (Bab Ill), ternyata berbagai kemungkinan
untuk menciptakan alasan untuk membatalkan suatu putusan
dapat saja dilakukan.
Masalah ini sesungguhnya adalah masalah yang terletak pada
keputusan (salah satu) pihak. Biasanya adalah pihak yang kalah
dalam persidangan arbitrase. Masalah ini sedikit banyak tidak
terlepas dari itikad baik dari salah satu pihak yang kalah tersebut.
Memang hukum nasional umumnya dan juga hukum arbitrase
komersial internasional, memuat aturan khusus untuk mengatur
masalah pembatalan terhadap putusan arbitrase.
Dalam hukum arbitrase komersial internasional, biasanya
upaya hukum yang diatur bukan secara spesifik mengenai
pembatalan. Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, misalnya, memuat aturan
ini di bawah judul Upaya Perlawanan terhadap Putusan Arbitrase
(Recourse Against Award).
46
- ---------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Upaya perlawanan dalam Konvensi 1957 terse but tercantum
upaya mengenyampingkan putusan (Setting Aside against Arbi-
tral Award). Upaya ini pun sifatnya eksklusif. Pasal34 Konvensi ini
hanya mengakui satu-satunya upaya sebagai upaya perlawanan
terhadap suatu putusan arbitrase)
32
Pasal34 ini menyebutkan:
(t) Recourse to a court against an arbital award may
be made only by an application for setting aside in
accordance with paragraphs (2) and (3) of this article."
Alasan mengapa konvensi intemasional tidak secara tegas
mengatur masalah pembatalan ini kemungkinan ada dua sebab.
Pertama, karena memang konvensi intemasional ini (umumnya)
menganut sistem hukum Anglo Saxon yang tidak mengenal upaya
hukum membatalkan suatu putusan badan peradilan (dalam hal
ini putusan badan peradilan arbitrase). Yang ada adalah memohon
peninjauan atau revisi terhadap putusan
33

Upaya peninjauan atau revisi ini dimohonkan guna mengubah
suatu putusan, misalnya, karena putusan tersebut memuat
putusan yang sebenarnya tidak dimintakan oleh para pihak.
Dengan demikian upaya ini sebenarnya masih tetap menghormati
putusan arbitrase, tetapi dalam hal-hal tertentu saja putusan
tersebut perlu diamandemen
34
Permohonan pembatalan sebenamya adalah upaya hukum
yang diakui dan terdapat di negara-negara dengan sistem Civil
Law. Dalam sistem hukum Perancis pembatalan ini disebut
dengan istilah recourse en annulation".
Apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase ini
dikabulkan, maka putusan tesebut menjadi batal. Artinya dianggap
12
Pasal34 19581ri d bawah )Jd<A: Application for Selling Aside as Exclusive Recourse Against Arbitral Award. (tb\1
miring oleh kam) ; Bandingkan Mark Huleatt.James and Nicholas Gould, lntemational Commercial Arbitration, London: UP,
1996, him. 115 etseq. (Para s.jana lri mengemukakan bebefapa upaya pellawanan lelhadap pu1usan arblrase. Termasuk di
dalarmya adalah peltawlra1 menolakpergalo.Jan pelal<sar1asl puUan arbhse, menegosiasi pelaksanaan pWsan.
rnisl*lya;mah ga'1li disepakalioleh kalah, dan l4l8Y"Iailnya adalah menerima ser1ameiaksa'lalcan

"Mark Huleatt.Jarn. and Nicholas Gould, op.cl., him. 115 .
.. Alan Redlem and Mallin Hunter, op.cit., him.
Badan Pembinaan Hukum Nasional--------- -- 47
tidak ada. Sehingga perkara tersebut akan disidangkan lagi dari
awaP
5
Praktek menunjukkan bahwa pembatalan suatu putusan
arbitrase, tidak terkecuali putusan arbitrase itu adalah arbitrase
nasional atau arbitrase internasional, acapkali mengundang
perhatian yang cukup luas baik oleh pers maupun oleh pengamat
arbitrase
36

Pemberitaan cukup luas tersebut sebenarnya secara tidak
langsung memberi kesan yang kurang kondusif baik bagi
perkembangan dan penghormatan terhadap arbitrase juga
terhadap situasi kondisif bagi kepastian hukum di dalam negeri.
E. lmunitas Arbiter
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa
Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak. Namun pada kenyataannya masih
ada putusan arbitrase yang diajukan pembatalannya ke Pengadilan
Negeri. Menurut perundang-undangan yang berlaku saat ini
permohonan pembatalan putusan arbitrase dimungkinkan sesuai
yang tercantum dalam Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999.
Masalahnya sampai saat ini, setelah lebih dari lima tahun
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut digunakan, tidak ada
petunjuk yang jelas mengenai tata cara/prosedur permohonan
pembatalan. Banyak diantara permohonan pembatalan tersebut
yang disertai gugatan, baik kepada majelis arbiter yang memeriksa
dan memutuskan perkara tersebut, maupun gugatan terhadap
lembaga arbitrase yang menyelenggarakan proses
tersebut.
Alasan yang digunakan dalam tuntutan atau gugatan terhadap
arbiter yang dikaitkan dengan permohonan pembatalan putusan
11
Alan Redfern and Martin Hunter. op.dt., ..,. 324; Mark dan Nicholas Golti, op.cil, him. 121.
UnbJk masalah pelaksanaan dan pembatalan putusan arbilrase, khususnya p utusan abilrase ini, memang Indonesia W<up
dl<enaln!pWisinyaci luarnegeri. (U\atrnisanya lnian Mark HIAaaii.Jamesdan Nicholas Gould. op.cit., him. 112. <Huleati-
James dan Golti rnengurab1 masalah ci tanah airlenlang perb1ya proseclu-LI'lU( melaksanakan sualu putusan arbitJase
asing, mesldpun Indonesia IUdah meralillkasi Konvensl New York 1958).
48
-----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
'
arbitrase beranekaragam. Alasan tersebut antara lain perbuatan
melawan hukum. Arbiter atau majelis arbiter tidak beritikad baikl
tidak jujur sampai kepada pebuatan tidak menyenangkan.
Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena sebenamya di
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sendiri telah jelas
tercantum bahwa arbiter atau majelis Arbitrase tidak dapat
dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan
yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase,
kecuali dapat dibuktikan adanya itikad baik dari tindakan tersebut
(Pasal21).
Pembuktian adanya itikad tidak baik tentu harus dibuktikan
dengan proses pemeriksaan oleh Pengadilan. Hal ini tidak pemah
dilakukan oleh Pengadilan dengan alasan bahwa Pengadilan tidak
memiliki cukup waktu untuk memeriksa apakah arbiter atau majelis
arbiter telah benar-benar beritikad tidak baik dalam melaksanakan
tugasnya. lni dikaitkan dengan keharusan hakim Pengadilan Negeri
memeriksa dan membuat putusan tentang diterima atau tidaknya
permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam tempo 30 hari
sejak permohonan pembatalan diterima Pengadilan Negeri (Pasal
72 ayat (3)).
Sampai saat ini tidak ada solusi yang tegas dari Mahkamah
Agung untuk mengatasi hal ini. Pemah dalam suatu diskusi hal ini
dikemukakan dan Mahkamah Agung memberi pengarahan (lisan)
bahwa gugatan terhadap arbiter atau majelis arbiter ataupun
lembaga arbitrase jangan ditanggapi. Tapi tentu ini bukan pilihan
yang bisa dilaksanakan dengan mudah tanpa akibat yang lebih
buruk. Karena, apabila panggilan Pengadilan Negeri atau
Kepolisian diabaikan maka tuntutan atau permohonan pembatalan
ataupun pelaporan ke Polisi akan dianggap benar sehingga Arbi-
ter atau Majelis Arbiter dan Lembaga Arbitrase menjadi pihak yang
kalah atau melawan hukum. Lebih lanjut dapat saja terjadi bahwa
gugatan itu disertai penyitaan terhadap harta benda milik tergugat
atau majelis arbiter dan lembaga penyelenggara arbitrase.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 49
Jadi, sebenarnya imunitas Arbiter atau Majelis Arbiter dan
Lembaga Arbitrase telah dijamin oleh Undang-Undang. Namun
demikian masih diperlukan ketegasan dan penjelasan lebih lanjut
(petunjuk pelaksanaannya) melalui peraturan pemerintah atau yang
sejenisnya.m
50
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
BABV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
D
ari uraian bab-bab di atas, tampak bahwa UU Nomor 30 tahun
1999 masih memuat potensi permasalahan yang dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Masih belum adanya kejelasan dan persepsi pengadilan yang
seragam mengenai masalah kompetensi absolut klausul
arbitrase;
2. Masih bel urn adanya pemahaman tentang imunitas arbiter dan
badan arbitrase yang mengadili suatu sengketa;
3. Masih belum adanya prosedur bagi Pengadilan Negeri untuk
menangani sengketa mengenai netralitas arbiter dalam
mengadili suatu sengketa;
4. Masih munculnya permasalahan dalam syarat-syarat
pembatalan putusan arbitrase;
5. Tidak jelasnya pengaturan mengenai pengaturan kapan suatu
sengketa melalui arbitrase adalah sengketa arbitrase
intemasional;
6. Belum jelasnya pengaturan mengenai pendaftaran putusan
arbitrase, khususnya apabila sengketa yang ditangani badan
arbitrase adalah termasuk ke dalam arbitrase internasional;
dan
7. Belum adanya pengaturan mengenai on-line arbitration.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas, tampak bahwa sesungguhnya
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 51
undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Altematif Penyelesaian Sengketa membutuhkan perbaikan. Berikut
adalah beberapa saran untuk menyempurnakan undang-undang
nomor 30 tahun 1999 tersebut:
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 seyogianya lebih
memberikan penjelasan yang lebih dilengkapi khususnya
dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut. Dalam
bag ian ini perlu juga diperhatikan pasal-pasal atau sub-pasal
yang kontradiktif antara muatan undang-undang dengan
penjelasannya;
2. Pengadilan seyogianya mempunyai persepsi yang sama
mengenai kompetensi absolut arbitrase yang tertuang dalam
klausul arbitrase;
3. Pengadilan Negeri, seyogianya lebih memperhatikan prosedur
penanganan tuduhan dari salah satu pihak mengenai hak ingkar
terhadap suatu arbiter;
4. Pengadilan (dan para pihak) seyogianya memperhatikan
aturan mengenai imunitas arbiter dan imunitas badan
arbitrase;
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 perlu dipertegas, atau
apabila perlu, menambahkan pasal-pasal atau bab khusus
mengenai arbitrase internasional;
6. Aturan mengenai pendaftaran arbitrase masih perlu
disempurnakan. Penyempurnaan perlu diberikan terhadap
putusan arbitrase internasional. Pendaftaran putusan ini perlu
dibandingkan dengan prinsip-prisnip Konvensi New Yor:k 1958
mengenai Pelaksanaan dan Pengakuan Putusan Arbitrase
Asing. Konvensi ini patut diperhatikan karena di samping Rl
telah meratifikasi Konvensi ini, juga karena masalah
pendaftaran akan terkait dengan pelaksanaan dan pengakuan
putusan arbitrase sehingga Konvensi ini akan terkait.
52
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 perlu memasukkan
pula pengaturan mengenai on-line arbitration, mengingat
perkembangan teknologi informasi dan kebiasaan
perdagangan yang semakin progresif dilakukan melalui sarana
elektronik semakin tidak terelakkan.W
Badan Pembinaan Hukum Nasional----------- 53
54
------------Badan Pembinaan Hukum Nasional
DAFTAR PUSTAKA
Act No 30 of 1999 State Gazette 1999 Number 138 on Arbitration
and Alternative Dispute Resolution.
Adolf, Huala, Arbitrase Komersiallntemasional (trans/: lntemational
Commercial Arbitration), Jakarta: Rajawali Pers, 1991.
Adolf, Huala, Hukum Arbitrase Komersiallntemasional (trans/: The
Law on lntemationa/ Commercial Arbitration), Jakarta: Rajawali
Pers, 1992.
Decision of the Supreme Court of the Republic Indonesia No. 225KI
Sip/1976, of 8 February 1982.
Decision of the Supreme Court of the Republic Indonesia No. 2924/
Sip/1981, of 22 February 1982.
Decision of the Supreme Court of the Republic Indonesia No.
3992K/Sip/1985, of 4 May 1988.
Gautama, Sudargo, "Indonesia", in: P. Sanders (ed.), International
Handbook on Commercial Arbitration, Deventer: Kluwer Law
and Taxation Publishers, 1992.
Gautama, Sudargo, Arbitrase Dagang lnternasional (trans/.: In-
ternational Trade Arbitration), Bandung: Alumni , 1876.
Gautama, Sudargo, Indonesian Business Law, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1995.
Kompas, 27 January 2000.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 55
56 ------------Badan Pembinaan Hukum Nasional
LAMP/RAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, penyelesaian sengketa perdata disamping dapat
diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan
diajukan melalui arbitrase dan altematif penyelesaian sengketa;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku
untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum
pada umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b, perlu membentuk Undang-undang tentang
Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa.
Mengingat:
1. Pasal5 ayat {1) Pasal20 ayat {1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 57
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA.
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal1
Dalam Undang-undang ini dimaksud dengan:
1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di Juar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menu rut hukum perdata
maupun hukum publik.
3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa kausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu
perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal termohon.
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon .dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
7. Arbiter adalah seorang atau Jebih yang dipilih oleh para pihak
yang atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri
atau oleh Jembaga arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya
melalui arbitrase.
58
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para
pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga
dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai
suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.
9. Putusan Arbitrase lnternasional adalah putusan yang
dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau
putusan suatu lembaga arbitrase a tau arbiter perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap
sebagai suatu putusan arbitrase intemasional.
10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal2
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau
beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum
tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara
tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat
yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum
tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui
altematif penyelesaian sengketa.
Pasal3
(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di
antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para
pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang
menentukan dalam putusan mengenai hak dan kewajiban
para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka.
Badan Pembinaan Hukum Nasional----------
59
(2) Persetujuan untuk menyelesaian sengketa melalui arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu
dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
(3) Dalam hal disepakati sengketa melalui arbitrase terjadi dalam
bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya,
wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para
pihak.
Pasal5
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menu rut peraturan perundang-undangan tidak
dapat di diadakan perdamaian.
BAB II
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal6
( 1) Sengketa a tau bed a pendapat perdata dapat diselesaikan oleh
para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui arternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas
60 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat
ahli maupun melalui seorang mediator.
( 4) Apabila para pihak terse but dalam waktu paling lama 14 (em pat
belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata
sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua
belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengeketa untuk menunjuk seorang mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh Lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat
dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan
memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk
dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak penandatanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak pendaftaran.
(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para
pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau
arbitrase ad-hoc.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 61
BAB Ill
SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN ARBITER, DAN
HAKINGKAR
Baglan Pertama
SyaratArbltrase
Pasal7
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang a tau yang
akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Pasal8
( 1) Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan
dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili , e-mail atau
dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat
arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
(2) Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas:
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau arbitrase yang
berlaku;
c. atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. yang diadakan oleh para pihak tentang.jumlah
arbitrasi atau apabila tidak pemah diadakan
semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Pasal 9
(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui
62 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal
tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani
tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), perjanjian
tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memuat:
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis
arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil
keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.
Pasal10
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh
keadaan tersebut di bawah ini:
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 63
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan p e ~ n j i n tersebutdialihtugaskan pada
pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
p e ~ n j i n arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Pasal11
( 1) Adanya suatu p e ~ n j i n arbitrase tertulis meniadakan hak para
pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan
Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang
ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Bagian Kedua
Syarat Pengangkatan Arbiter
Pasal12
(1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat menjadi arbiter harus
memenuhi syarat:
64
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah
satu pihak bersengketa;
~
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan
lain atas putusan arbitrase; dan
Jl
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di
bidangnya paling sedikit 15 tahun.
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak
dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
Pasal13
(1) Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang
dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan
Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.
(2) Dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap ketidakkesepakatan
dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak
dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam
rangka penyelesaian sengketa para pihak.
Pasal14
(1} Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang
timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para
pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang
pengangkatan arbiter tunggal.
(2} Pemohon dengan surat tercatat, telegram, faksimili, e-mail
atau dengan buku ekspedisi harus mengusulkan kepada pihak
termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter
tunggal.
(3} Apabila dalam waktu paling lama 14 (em pat betas} hari setelah
termohon menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2} para pihak tidak berhasil menentukan arbiter
tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua
Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal.
(4} Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter tunggal
berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak,
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 65
atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan
memperhatikan baik rekomendasi maupun keberatan yang
diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.
Pasal15
(1) Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak memberi
wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan
menunjuk arbiter yang ketiga.
(2) Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) diangkat
sebagai ketua majelis arbitrase.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
pemberitahuan diterima oleh pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal8 ayat (1), dan salah satu pihak tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis
arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan
bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat
kedua belah pihak.
(4) Dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk masing-masing
pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhasil
menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas
permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat
mengangkat arbiter ketiga.
(5) Terhadap pengangkatan arbiter yang dilakukan oleh Ketua
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
tidak dapat diajukan upaya pembatalan.
Pasal 16
(1) Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau
menolak penunjukan atau pengangkatan tersebut.
(2) Penerimaan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1 ), wajib memberitahukan secara tertulis kepada pihak
66
----------Bad an Pembina an Hukum Nasional
dalam waktu paling lama 14 (em pat belas) hari terhitung sejak
tanggal penunjukan atau pengangkatan.
Pasal17
( 1) Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh
para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut
oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis,
maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima
penunjukan suatu perdata.
(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ),
mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan
memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima
putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah
bersama.
Pasal18
( 1) Seorang calon arbiter yang diminta oleh satu pihak untuk duduk
dalam majelis arbitrase, wajib memberitahukan kepada pihak
tentang hasil yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang
akan diberikan.
(2) Seorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), harus
memberitahukan kepada para pihak mengenai penunjukannya.
Pasal19
( 1) Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan atau
pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal16, maka
yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas
persetujuan para pihak.
(2) Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) yang
telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 67
J
menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan
diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang
bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter.
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri mendapat persetujuan
para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri.
Pasal20
Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah
tidak memberikan putusari dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan
kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para
pihak.
Pasal21
Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung
jawab hukum apapun atas s e g l ~ tindakan yang diambil selama
proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya
sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan
adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.
Bagian ketiga
Hak lngkar
Pasal22
( 1) Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat
cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbi-
ter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan
berpihak dalam mengambil keputusan.
(2) Tuntutan ingkat terhadap seorang arbiter dapat pula
dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan,
68
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.
Pasal23
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter
yang bersangkutan.
(3) Hak ingkarterhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada
majelis arbitrase yang bersangkutan.
Pasal24
(1) Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan,
hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang baru diketahui
pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah
pengangkatan arbiter yang bersangkutan.
(2) Arbiter yang diangkat dengan penetapan pengadilan, hanya
dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah
adanya penerimaan penetapan pengadilan tersebut.
(3) Pihak yang keberatan terhadap penunjukan seorang arbiter
yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan tuntutan
ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat betas) hari sejak
pengangkatan.
(4) Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus
diajukan dalam waktu paling lama 14 (empat betas) hari sejak
diketahuinya hal tersebut.
(5) Tuntutan ingkar harus secara tertulis, baik kepada pihak lain
maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan
menyebutkan alasan tuntutannya.
Badan Pembinaan Hukum Nasional--- ------- 69
(6) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan harus
mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan
ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam Undang-
undangini.
Pasal25
( 1) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan
tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang putusannya mengikat kedua belah pihak, dan tidak dapat
diajukan perlawanan.
(2) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri memutuskan bahwa
tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beralasan,
seorang arbiter pengganti harus diangkat dengan cara
sebagaimana yang berlaku untuk pengangkatan arbiter yang
digantikan.
(3) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolaktuntutan ingkar,
arbiter melanjutkan tugasnya.
Pasal26
( 1) Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya
arbiter dan wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh
penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan
Undang-undang ini.
(2) Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana berpihak atau
menunjukkan sikap tercel a yang harus dibuktikan melalui jalur
hukum.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung, arbi-
ter meninggal dunia, tidak mampu, atau mengundurkan diri,
sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang
70
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
arbiter pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana
yang berlaku bagi pengangkatan arbiter yang bersangkutan.
(4) Dalam hal seorang arbitertunggal atau ketua majelis arbitrase
diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang
kembali.
(5) Dalam hal anggota majelis yang diganti , pemeriksaan
sengketa hanya diulang kern bali secara tertib antara arbiter.
BABIV
ACARA YANG BERLAKU 01 HADAPAN
MAJELIS ARBITRASE
Bagian Pertama
Acara Arbiter
Pasal27
Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup.
Pasal28
Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah
bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis
arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan
digunakan.
P a s ~ l 9
(1) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat
masing-masing.
(2) Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya
dengan surat kuasa khusus . .
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 71
Pasal30
Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan
menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan
keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa
serta disetujui oleh arbiter majelis arbitrase yang memeriksa
sengketa yang bersangkutan.
Pasal31
(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis,
bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan
dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan
mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam
pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk
sesuai dengan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua
sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter
atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut
ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Dalam hal para pihak yang telah memilih acara arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ), harus ada
kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat
diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan
tern pat arbitrase tidak ditentukan, arbiter a tau mejalis arbitrase
yang akan menentukan.
Pasal32
(1) Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis
arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan
sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan
sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan
72 -----------Badan Pembina an Hukum Nasional
penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang
yang mudah rusak.
(2) Jangka waktu pelaksanaan putusan provisionil atau putusan
sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dihitung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal48.
Pasal33
Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memper-
panjang jangka waktu tugasnya apabila:
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal
khusus tertentu;
b. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela
lainnya; atau
c. dianggap perlu oleh arbiter atau mejalis arbitrase untuk
kepentingan pemeriksaan.
Pasal34
(1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan
dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau
internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
(2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut
peraturan dan acara dari lembaga dipilih, kecuali ditetapkan
lain para pihak.
Pasal35
Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar
setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam
bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 73
Pasal36
( 1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara
tertulis.
(2) pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui
para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis
arbitrase.
Pasal37
(1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis atau
majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.
(2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan
saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada
tern pat tertentu di luar tern pat arbitrase diadakan.
(3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau
majelis arbitrase, diselenggarakan menu rut ketentuan dalam
hukum acara perdata.
( 4) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan
setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain
yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa,
dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara
sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan terse but.
Pasal38
(1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya
kepada arbiter atau majelis arbitrase.
(2) Surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya:
a. nama lengkap dan tern pat tinggal a tau tern pat kedudukan
para pihak;
b. uraian sing kat tentang sengketa disertai dengan lampiran
bukti-bukti; dan
c. isi tuntutan yang jelas.
74 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Pasal39
Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua
majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut
kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus
menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan
tuntutan tersebut oleh termohon.
Pasal40
(1) Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas
perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban
tersebut diserahkan kepada pemohon.
(2) Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase
memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka
menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling
lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya
perintah itu.
Pasal41
Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tidak menyampaikan
jawabannya, termohon akan dipanggil dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2).
Pasal42
(1) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang
pertama termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan
terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesem-
patan untuk menanggapi.
(2) Tuntutan balasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ),
diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase
bersama-sama dengan pokok sengketa.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 75
Pasal43
Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2) pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak
datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat
tuntutannya dinyatakan gugur arbiter atau majelis arbitrase
dianggap selesai.
Pasal44
(1) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu
alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon
telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase
segera melakukan pemanggilan sekali lagi.
(2) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua
diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak
datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan
diteruskan tanpa hadimya termohon dan tuntutan pemohon
dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan
atau tidak berdasarkan hukum.
Pasal45
( 1) Dalam hal para pihak datang menghadap pad a hari yang telah
ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu
mengusahakan perdamaian antara para pihak yang
bersengketa.
(2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat
suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak
dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan
perdamaian tersebut.
76 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Pasal46
(1) pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila
usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) tidak berhasil.
(2) Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan
secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan
bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan perndiriannya
dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter a tau majelis
arbitrase.
(3) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para
pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis,
dokumen a tau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal47
(1) Sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat
mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase.
(2) Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau
penambahan surat tuntutan hanya diperoleh dengan
persetujuan termohon dan sepanjang perubahan atau
penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja
dan tidak menyangkut dasar-dasar yang menjadi dasar
permohonan.
Pasal48
(1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu
paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter
atau majelis arbitrase terbentuk.
(2) Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai
Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat diperpanjang.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 77
Bagian Kedua
Saksi dan saksi Ahli
Pasal49
(1) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas
perrnintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih
atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar
keterangannya.
(2) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi ~ t u saksi ahli
dibebankan kepada pihak yang meminta.
(3) Sebelum memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli
wajib mengucapkan sumpah.
Pasal50
( 1) Arbiter a tau mejalis arbitrase dapat meminta bantu an seorang
atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan tertulis
mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan
pokok sengketa.
(2) Para pihak wajib memberikan segala keterangan yang
diperlukan oleh para saksi ahli.
(3) Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan
saksi ahli tersebut pada para pihak agar dapat ditanggapi
secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
( 4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para
pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan
dapat didengar keterangannya di muka sidang arbiter dengan
dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
Pasal51
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat
berita acara pemeriksaan oleh sekretaris.
78 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
BABV
PENDAPAT DAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal52
Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon
pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan
hukum tertentu dari suatu
Pasal53
Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum
apapun.
Pasal54
(1) Putusan arbitrase harus memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama sing kat sengketa;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis
arbitrase mengenai keseluruhan sengketa;
g. pend a pat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan
pendapat dalam majelis arbitrase;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1 ), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
(3) Semua biaya berhubungan dengan pembuatan akta
pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 79
Pasal60
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak.
Pasal61
Dalam hal para pihak ti dak melaksanakan putusan arbitrase
secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah
Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa.
Pasal62
(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri.
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimanc. dimaksud dalam ayat
(1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa
terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan
Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan
Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan
terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak
terbuka upaya hukum apapun.
(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan atbitrase.
Pasal63
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan
salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.
80 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasiona/
Pasal64
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan
Negeri, dilaksankaan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan
dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Bagian Kedua
Arbitrase lnternasional
Pasal65
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase lntemasional adalah Pengadilan
Negeri, Jakarta Pusat.
Pasal66
Putusan Arbitrase lnternasional hanya diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase lntemasional dijatuhkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indo-
nesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase lntemasional.
b. Putusan Arbitrase lntemasional sebagaimana dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indo-
nesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. PutusanArbitrase lntemasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pad a
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan Arbitrase lntemasional dapafdilaksanakan di Indo-
nesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat; dan
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 81
e. Putusan Arbitrase lnternasional sebagaimana dimaksud
dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia
sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksankaan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal67
(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase lnternasional
dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan:
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase
lnternasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi
dokumen asing, dan naskah e ~ e m h n resminya dalam
Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi
dasar Putusan Arbitrase lnternasional sesuai ketentuan
perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah e ~ e m h n
resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indone-
sia di negara tempat Putusan Arbitrase lnternasional
tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera
bahwa negara pemohon terkait pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral dengan .negara
Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase lnternasional.
Pasal68
(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal66 huruf d yang mengajui
82 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
dan melaksanakan Putusan Arbitrase lnternasional, tidak
dapat diajukan banding atau kasasi.
(2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal66 huruf d yang menolak
untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase
lnternasional, dapat diajukan kasasi.
(3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan
setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah
Agung.
( 4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya per1awanan.
Pasal69
(1) Setelah Ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan
periksa eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksa-
nakannya.
(2} Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta
barang milik termohon eksekusi.
(3} Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata
cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.
BABVII
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 83
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan
palsu:
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal71
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara
tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada
Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal72
(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut
akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan
arbitrase.
(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diterima.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir.
(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan
permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan banding tersebutditerima oleh MahkamahAgung.
84 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
BAB VIII
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER
Pasal73
Tugas arbiter berakhir karena:
a. putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase
atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau
c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbi-
ter.
Pasal74
( 1) Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang
telah diberikan kepada arbiter berakhir.
(2) Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan
arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ),
maka Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak
yang berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih arbi-
ter pengganti.
(3) Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian
sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir
yang telah diadakan.
BABIX
BIAYA ARBITRASE
Pasal76
( 1) Arbiter menentukan biaya arbitrase.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. honorarium arbiter;
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 85
b. biaya saksi dan atau saksi ahli yang dikeluarkan oleh ar-
biter;
c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam
pemeriksaan sengketa; dan
d. biaya administrasi.
Pasal77
(1} Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah.
(2} Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase
dibebankan kepada para pihak seimbang.
BABX
KETENTUAN PERLAIHAN
Pasal78
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini berlaku sudah
diperiksa kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi belum
dilakukan pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan
berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal79
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah
diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan diputus
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lama.
Pasal80
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku
sudah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang-undang
ini.
86 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
BABXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal81
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal615 sampai dengan
Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of de
Rechtsvodering, Staatsblad 1847:52} dan Pasal 377 Reglement
Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch
Reglement, Staatsblad 1941 :44} dan Pasal 705 ReglementAcara
Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227}, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal82
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 87
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999
NOMOR 138
88 ---------Badan Pembinaan Hukum Nasional
-
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA
UMUM
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada
badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan
kerangka urn urn yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta
pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing-
masing diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Di dalam penjelasan Pasal3 ayat (1) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara
di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase
tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase
di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651
Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechtsvordering,
Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglement Indonesia Yang
Diperbaharui (Het Herzeine lndonesisch Reglement, Staatsblad
1941 :44) dan pasal705 Reg Iemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa
dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227).
Badan Pembinaan Hukum Nasional----------
89
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan lembaga peradilan Kelebihan tersebut antara
lain:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menu rut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyele-
saikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak
dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak
semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses
peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu-
satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat
kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun
demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih
diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat
intemasional.
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu
lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional
serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang
terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Regelement of de
Rechtvodering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah
tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan
dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan
conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam
90
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Reglement Acara Perdata (reglement op de Rechtvodering).
Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap
Reglement Acara Perdata (Reglement op de rechtvodering) baik
secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.
Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang ini merupakan
cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa.
tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase,
melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum
dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar
kata sepakat mereka.
Disamping itu ketentuan yang melarang wan ita sebagai arbi-
ter sebagaimana dimaksud dalam Pasal617 ayat (2) Reglement
Acara Perdata (Regelement op de Rechtvodering) sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak
dapat dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang
sepenuhnya mengakui persamaan hak wanita dengan hak pria.
Oleh karenanya dalam Undang-undang ini tidak disebut lagi bahwa
wan ita tidak dapat diangkat sebagai arbiter. Semua itu diatur dalam
Bab I mengenai Ketentuan Umum.
Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian
sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution
atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa afau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konstitusi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Bab Ill memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan
yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan syarat pengangkatan ar-
biter serta mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yang
bersengketa.
Sedangkan dalam Bab IV diatur tata cara untuk beracara di
hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 91
mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya termasuk
menetapkan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau
menjual barang yang sudah rusak serta mendengarkan
keterangan saksi dan saksi ahli.
Seperti halnya dengan putusan pengadilan, maka
dalam putusan arbitrase sebagai kepala putusan harus juga
mencantumkan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Disamping itu dalam Bab V disebut pula syarat lain yang
berlaku mengenai putusan arbitrase.
Kemudian dalam Bab ini diatur pula kemungkinan e ~ d i suatu
persengketaan mengenai wewenang arbiter, pelaksanaan putusan
arbitrase nasional maupun internasional dan penolakan
permohonan perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua
Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan Ketua
Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai
penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut.
Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap
putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan
kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui
arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun
peninjauan kembali.
Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka
Undang-undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaa_n tugas
Arbitrase nasional maupun internasional.
Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan
putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini dapat
dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang
menyangkut masalah arbitrase nasional maupun intemasional dan
hal ini secara sistem hukum dibenarkan.
92 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Bab VII mengatur ten tang pembatalan putusan arbitrase. Hal
ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan
palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri
tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke
Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan
terakhir.
Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas
arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir
karena jangka waktu tug as arbiter telah lampau atau kedua belah
pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.
Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang
telah diberikan kepada arbiter berakhir.
Bab IX dari Undang-undang ini mengatur mengenai biaya
arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.
Bab X dari Undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan
peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum
diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah
diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan
berlakunya Undang-undang ini maka Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reg Iemen Acara Perdata (Regelement op de
Rechtvodering, Staattsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen
Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziere lndonesch Reglement,
Staatsblad 1941 :44) dan Pasal 705 Reg Iemen Acara Untuk Luar
Badan Pembinaan Hukum Nasional--------- - 93
Daerah Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku.
PASAL OEM I PASAL
Pasal1
Cukupjelas
Pasal2
Cukupjelas
Pasal3
Cukupjelas
Pasal4
Cukupjelas
Pasal5
Cukupjelas
Pasal6
Cukupjelas
Pasal7
Cukupjelas
Pasal8
Cukupjelas
Pasal9
Cukupjelas
Pasal 10
Hurufa
Cukupjelas
94 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
-
Huruf b
Cukupjelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "novasi" adalah pembaharuan
utang.
Hurufd
Yang dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak
mampu membayar.
Hurufe
Cukupjelas
Huruff
Cukupjelas
Hurufg
Cukupjelas
Hurufh
Cukupjelas
Pasal11
Cukupjelas
Pasal12
Ayat {1)
Cukupjelas
Ayat{2)
Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini
menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya
obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan
oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 95
- .
Pasal13
Ayat(1)
Dengan adanya ketentuan ini, maka dihidarkan bahwa
dalam praktek akan e ~ d i jalan buntu apabila para pihak
di dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara baik dan
seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam
pengangkatan arbiter.
Ayat(2)
Cukupjelas
Pasal14
Cukupjelas
Pasal15
Cukupjelas
Pasal 16
Cukupjelas
Pasal17
Cukupjelas
Pasal18
Cukupjelas
Pasal19
Cukupjelas
Pasal20
Cukupjelas
Pasal21
Cukupjelas
96 ----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Pasal22
Cukup jelas
Pasal23
Cukupjelas
Pasal24
Ayat(1)
Sebelum mengangkat arbiter; para -piha_k tent!I sudah
memperhitungkan adanya menjadi
alasan untuk mempergunakan hak1ngkar. Namun apabila
arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak, maka para
pihak dianggap telah sepakat untuk tidal< menggunakan
hak ingkar berdasarkan fakta-fakta yang mereka ketahui
ketika mengangkat arbiter terse but. . Namun ini tidak
menutup kemungkinan munculnya fakta-fakta baru yang
tidak diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak
kepada para pihak untuk mempe.rgunakan hak ingkar
berdasarkan fakta-fakta baru tersebut ---
Ayat(2)
Cukupjelas
Ayat(3)
..
Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar
dan jangka waktunya.
Jangka waktu itu dipandang perlu agar tidak sewaktu-
waktu dapat dihambat dengan adanya tuntutan ingkar.
Ayat (4)
Cukupjelas
Ayat(5)
Cukupjelas
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 97
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal25
Ayat(1)
Cukupjelas
Ayat(2)
Cukupjelas
Ayat (3)
Cukupjelas
Ayat (4)
Cukupjelas
Ayat(5)
Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti,
pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkan berita acara
dan surat yang ada, cukup oleh para arbiter yang ada.
Pasal27
Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup
adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang bertaku
di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk
umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan
penyelesaian arbitrase.
Pasal28
Cukupjelas
Pasal29
98
Ayat (1)
Cukupjelas
----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara perdata,
diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menunjuk
kuasa dengan surat kuasa yang bersifat khusus.
Pasal30
Cukupjelas
Pasal31
Ayat (1)
Cukupjelas
Ayat(2)
Cukupjelas
Ayat(3)
Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka
waktu yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak
membuat sesuatu ketentuan tentang hal ini, maka arbiter
atau majelis arbitrase yang akan menentukan.
Pasal32
Cukupjelas
Pasal33
Hurufa
yang dimaksud dengan"hal khusus tertentu" misalnya
karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di
luar pokok sengketa seperti permohonan jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Badan Pembinaan Hukum Nasional---------- 99
Pasal34
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat(2)
Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam
penyelesaian sengketa antar mereka, tanpa harus
mempergunakan peraturan dan acara dari lembaga
arbitrase yang dipilih.
Pasal35
Cukupjelas
Pasal36
Ayat (1)
Cukupjelas
Ayat (2)
Pad a prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara tertulis.
Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan dapat
dilakukan secara lisan.
Juga keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50, dapat berlangsung secara lisan apabila
dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal37
Ayat (1)
Ketentuan mengenai tern pat arbitrase ini adalah penting
terutama apabila e ~ d i unsur hukum asing dan sengketa
menjadi suatu sengketa hukum perdata internasional.
Seperti lazimnya tempat arbitrase dilakukan dapat
menentukan pula hukum yang harus menentukan sendiri
maka arbiter yang dapat menentukan tern pat arbitrase.
1 00----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Ayat(2)
Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk
mendengar saksi di tempat lain dari tempat diadakan
arbitrase, antara lain berhubung dengan tempat tinggal
saksi bersangkutan.
Ayat(3)
Cukupjelas
Ayat(4)
Cukupjelas
Pasal38
Ayat(1)
Cukupjelas
Ayat(2)
Cukupjelas
Hurufa
Cukupjelas
Hurufb
Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan
sebagai lampiran.
Hurufc
lsi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan berupa
uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti.
Pasal39
Cukupjelas
Pasal40
Cukupjelas
Badan Pembinaan Hukum Nasional----------101
Pasal41
Cukupjelas
Pasal42
Ayat(1)
Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang
diajukan oleh pihak termohon.
Ayat(2)
Cukupjelas
Pasal43
Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur
apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari
pemeriksaan pertama.
Pasal44
Cukupjelas
Pasal45
Cukupjelas
Pasal46
Cukupjelas
Pasal47
Cukupjelas
Pasal48
Ayat (1)
penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari
sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan
sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk
menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan
arbitrase.
1 02----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal49
Cukupjelas
. Pasal50
Cukupjelas
Pasal51
Cukup jelas
Pasal52
Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat
menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang
mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan
berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai
penafsiran ketentuan yang kurang jelas, penambahan atau
perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan
timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya
pendapat oleh lembaga arbitrase terse but kedua belah pihak
terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak
bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar

Pasal 53
Cukupjelas
Pasal54
Cukupjelas
Pasal55
Cukup jelas
Badan Pembinaan Hukum Nasional----------103
Pasal56
Ayat (1)
Pad a dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian
untuk menentukan bahwa arbiter dalam me mutus perkara
wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan
rasa keadilan dan kepatuhan (ex aequo et bono).
Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan
putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka
peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan.
Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa
(dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat
disimpangi oleh arbiter.
Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk
memberikan putusan berdasarkan keadilan dan
kepatuhan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan
berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana
dilakukan oleh hakim.
Ayat(2)
para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk
menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam
proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan lain,
maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat
arbitrase dilakukan
Pasal57
Cukupjelas
Pasal58
Yang dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan admin-
istratif' adalah koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan
pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat
para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah
substansi putusan.
1 04----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Yang dimaksud dengan "menambah atau mengurangi
tuntutan" adalah salah satu pihak dapat mengemukakan
keberatan terhadap putusan apabila putusan, antara lain:
a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak
lawan;
b. tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk
diputus; atau
c. mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu
sama lainnya.
Pasal59
Cukupjelas
Pasal60
Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan
demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali.
Pasal61
Cukupjelas
Pasal62
Ayat(1)
Cukupjelas
Ayat(2)
Cukupjelas
Ayat(3)
Cukupjelas
Ayat(4)
Tidak diperiks.anya alasan atau pertimbangan putusan
arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan
arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final dan mengikat.
Badan Pembinaan Hukum Nasional----------1 05
Pasal63
Cukupjelas
Pasal64
Cukupjelas
Pasal65
Cukupjelas
Pasal66
Hurufa
Cukup jelas
Hurufb
Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum
perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang:
pemiagaan;
perbankan;
keuangan;
penanaman modal;
industri;
hak kekayaan intelektual.
Hurufc
Cukupjelas
Hurufd
Suatu Putusan Arbitrase lnternasional hanya dapat
dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan
( eksekuatur).
106----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Huruf e
Cukup jelas
Pasal67
Cukupjelas
Pasal68
Cukupjelas
Pasal69
Cukupjelas
Pasal70
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap
putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan.
Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam
Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila
pengadilan menyatakan bahwa atasan-alasan tersebut terbukti
atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk
mengabulkan.atau menolak permohonan.
Pasat71
Cukupjelas
Pasal72
Ayat(1)
Cukupjelas
Ayat(2)
Keua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk
memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para
pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya
atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan.
Badan Pembinaan Hukum Nasional----------107
. , .
Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa
setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau
arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa
bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa
tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.
Ayat(3)
Cukupjelas
Ayat(4)
Yang dimaksud dengan "banding adalah hanya terhadap
pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70.
Ayat(S)
Cukupjelas
Pasal73
Cukupjelas
Pasal74
Cukupjelas
Pasal75
Cukupjelas
Pasal76
Cukupjelas
Pasaln
Cukupjelas
Pasal78
Cukupjelas
Pasal79
Cukupjelas
108----------Badan Pembinaan Hukum Nasional
Pasal80
Cukupjelas
Pasal81
Cukupjelas
Pasal82
Cukupjelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARAREPUBLIK INDONESIA
NOMOR3872
Badan Pembinaan Hukum Nasionaf----------109

Você também pode gostar