Você está na página 1de 3

Analisis 5W+1H pada proses pembuatan meja kayu di gelap nyawang

What
1. Apa bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan meja kayu?
2. Apa saja alat yang dibutuhkan dalam pembuatan meja kayu?
3. Apa saja proses kritis pada meja kayu?
4. Berapa banyak karyawan yang dimiliki?
5. Berapa harga satuan meja kayu yang diproduksi?
6. Berapa besar omzet yang diterima perbulan?
7. Apa saja kendala yang dihadapi?
8. Selain meja kayu, furnitur apa saja yang dibuat?
9. Apa inovasi yang dilakukan?
When
1. Sejak kapan bisnis mebel ini dirintis?
Where
1. Dimana tempat produksi meja kayu dilakukan?
Why
1. Mengapa daerah gelap nyawang dipilih sebagai tempat berjualan?
2. Mengapa kebanyakan mebel yang dijual belum dipelitur dan di cat?
3. Mengapa jenis mebel yang ditawarkan tidak terlalu banyak variasinya?
4. Mengapa tempat produksi dan tempat berjualan berada di tempat yang berbeda?
Who
1. Siapakah pangsa pasar utama yang ingin diraih?
How
1. Bagaimana cara membuat sebuah meja kayu?
2. Bagaimana prosedur penjaminan kualitas meja kayu yang diproduksi?



REFERENSI BUAT BIKIN PERTANYAAN:

Bandung - Puluhan mebel menumpuk di deretan kios yang berlokasi di Jalan Gelap
Nyawang, Kota Bandung. Seorang pria duduk di depan barang-barang yang didominasi meja
kecil. Sambil menyeruput kopi hitam, ia berusaha menghilangkan udara dingin yang
menyelimuti Bandung yang diguyur hujan.

"Masih banyak yang belum terjual," ujar Agus (28), salah satu perajin mebel di kawasan
tersebut.

Agus ingat, sembilan tahun lalu, ia memulai usaha membuat mebel di kawasan ini. Bisnis
yang digelutinya telah berubah, terutama dari sisi penjualan. Dulu, tak pernah ia melihat
mebel yang menumpuk di depan kiosnya, maupun kios-kios lain di sekitarnya.

Kini penjualan barang-barang dari kayu ini terus menurun. Hingga tumpukan mebel itu belum
ada yang beli. Sangat berbeda dengan awal tahun 2000-an, di saat barang setengah jadi
sudah dipesan oleh orang-orang yang datang ke kiosnya.

"Dulu mah enggak pernah numpuk kaya gini. Barang mentah sudah dibayar," kenangnya.

Dari pemasukan, uang bersih yang ia terima kini sekitar Rp 2 juta. Sedangkan dulu bisa
sampai tiga kali lipatnya. "Ya, sama gaji karyawan, total paling 3 juta rupiah sebulan," ujar
pria asal Garut ini.

Pengurangan jumlah uang yang masuk ke kantongnya pun diikuti oleh pengurangan jumlah
karyawan yang bekerja padanya. 4 orang karyawan yang masih terhitung kerabat, dulu
membuat mebel bersamanya. Kini, hanya tinggal 2 orang yang sanggup dia bayar
Hal yang tak jauh beda dialami Peni (42). Pada 2002, adalah tahun keemasan yang dalam
bisnis yang digelutinya. Orang-orang berbondong mendatangi kiosnya, membuat ia
kewalahan. Bahkan, beberapa konsumen terpaksa harus ia kecewakan karena barangnya
telah habis diambil orang lain.

"Sekarang mah boro-boro kayak gitu," ujar Peni.

Wajar bila Peni, Agus, dan puluhan perajn mebel lain di tempat ini ingin merasakan kembali
semaraknya pembeli di tempat mereka. Seperti bulan Juli sampai September di awal
milenium ini, saat ratusan mahasiswa yang merupakan pembeli utama, mengucurkan rupiah
ke kantong mereka.

Mereka berharap bantuan pemerintah untuk membantu berdiri kembali. Apa lagi persaingan
dengan mebel-mebel rakitan modern produksi perusahaan besar yang banyak dicari pembeli.
Memang persaingan mebel makin mencekik mereka, apa lagi dengan ancaman produk-
produk China yang harganya murah.

"Dulu pemerintah memberi bantuan modal untuk usaha kecil, tapi kita harus bikin proposal.
Nah bantuannya sedikit sehingga persaingan untuk dapet bantuannya susah banget," keluh
Agus yang sebelumnya pernah melanglang di Jakarta ini.


Bandung - Sebuah meja setengah jadi, berdiri di dalam kios Agus (28). Meja yang terbuat
dari kayu albasiah ini terlihat kasar dan memiliki banyak bagian yang mesti dirapikan. Agus
mengatakan, barang tersebut diperolehnya dari seorang perajin di Sumedang. Meja setengah
jadi itu lalu diamplas dan dicat. Setelah itu, Agus menjualnya.

"Ya ini bahannya, udah langsung beli yang setengah jadi dari Sumedang," tutur lulusan SMK
ini.

Bentuk meja setengah jadi tersebut tentu belum layak jual. Tidak nyaman digunakan dan
tidak memiliki nilai estetika. Itulah yang kemudian menjadi tugas Agus dan perajin lain yang
berjualan di Jalan Gelap Nyawang, Kota Bandung. Membuat meja yang indah dan nyaman
dipakai, terutama untuk mahasiswa yang menjadi konsumen utama mereka.

Selain meja, mereka pun memproduksi furnitur lain. Tentu saja disesuaikan dengan
kebutuhan dan isi saku mahasiswa. Misalnya, perajin menyediakan lemari pakaian ukuran
kecil. "Barang yang kita bikin sesuai dengan kebutuhan mahasiswa," ujarnya.

Untuk menyelesaikan meja yang setengah jadi, Agus tidak memerlukan waktu lama. Dalam
satu hari, ia dapat menyelesaikan beberapa meja setengah jadi tersebut. Tentu saja, produk
yang dihasilkan menawarkan estetika tersendiri.

Tapi hal tersebut berbeda dengan barang-barang mebel yang didesain oleh konsumen.
Bentuk barang yang rumit, sering memakan waktu lama untuk selesai. Namun bila konsumen
meminta waktu yang lebih cepat, mau tak mau ia harus bekerja lebih keras lagi.

"Ada yang minta dibuatkan lemari. Biasanya butuh waktu 1 minggu, tapi ia minta tiap hari
sudah jadi, akhirnya kami begadang," ceritanya
Barang yang paling sering mereka kerjakan adalah meja kecil yang biasa digunakan
mahasiswa untuk menaruh laptop. Meja dengan panjang sekitar 60 sentimeter dan lebar 40
sentimeter ini menjadi primadona. Meja dengan tinggi sekitar 30 sentimeter ini dijual dengan
harga dari Rp 60 ribu hingga Rp 75 ribu.

"Paling banyak dibeli ya meja kecil itu, apa lagi buatnya gampang," ujar pria asal Garut
tersebut.

Hal yang sama dilakukan Peni (42). Ia lebih sering membuat meja kecil daripada barang
mebel lain seperti lemari atau ranjang. Dengan memproduksi barang yang lebih laku, uang
yang ia dapat pun lebih banyak.

"Kalau bikin meja kecil itu, peluang yang beli lebih besar. Jadi enggak terlalu takut barangnya
enggak laku," tutur Peni.

Membuat barang-barang furnitur ini, mereka mengaku bisa mempelajarinya dengan melihat
'pendahulu' mereka bekerja. Mereka meniru dan mempelajari cara mengolah kayu menjadi
bentuk benda yang bernilai seni dan bernilai guna, sehingga kini mereka bisa membuka
usaha sendiri.

"Belajar dulu, saat saya ikut kerja sama orang lain. Kini saya justru bisa mempekerjakan
orang lain," kenang Agus.

Você também pode gostar