Você está na página 1de 12

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan gigi merupakan


hal yang penting untuk dipahami oleh seorang dokter gigi dalam merawat pasien. Hal ini
berkaitan dengan rencana perawatan yang akan dilakukan. Selain itu, rencana perawatan juga
sering kali dihubungkan dengan usia pasien ketika pasien tersebut memiliki keluhan pada
giginya (Indriyanti dkk, 2006) Waktu erupsi gigi tiap anak berbeda-beda, dipengaruhi oleh
nutrisi dan ras. Faktor nutrisi yang mempengaruhi antara lain kandungan gizi, pola makan, dan
jenis makanan. Kebiasaan makan dan jenis makanan pada setiap ras juga berbeda-beda. Proses
erupsi gigi di dalam mulut sangat kompleks. Masing-masing gigi pada tiap individu memiliki
waktu erupsi yang berbeda-beda. Penyimpangan waktu erupsi dapat terjadi karena adanya variasi
dari waktu erupsi normal gigi (Indriyanti dkk, 2006) Penelitian yang dilakukan oleh Clements
dan Thomas, menyebutkan bahwa anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi tinggi
memperlihatkan erupsi gigi lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari tingkal
sosial ekonomi rendah. Hal ini berhubungan dengan nutrisi yang diperoleh anak-anak dengan
tingkat sosial ekonomi tinggi lebih baik (Indriyanti dkk, 2006) Variasi kecepatan erupsi juga
dimungkinkan pada perbedaan jenis kelamin. Umumnya anak perempuan memiliki waktu
kalsifikasi lebih cepat dari pada laki-laki dan waktu erupsi gigi anak laki-laki lebih lambat dari
pada anak perempuan (Indriyanti dkk, 2006) Berdasarkan latar belakang di atas, kami tertarik
untuk mengulas lebih jauh tentang proses pertumbuhan gigi-geligi sulung dan permanen dan
faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan gigi
serta kelainan-kelainan yang mungkin muncul selama proses ini. 1.2 Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah proses pertumbuhan gigi sulung dan gigi permanen sejak masa pre-natal hingga
post-natal? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
gigi sulung dan gigi permanen sejak masa pre-natal hingga post-natal? 3. Apakah kelainan-
kelainan yang mungkin terjadi selama proses pertumbuhan dan perkembangan gigi sulung dan
gigi permanen? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Mengetahui proses pertumbuhan gigi sulung dan gigi
permanen sejak masa pre-natal hingga post-natal 2. Mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gigi sulung dan gigi permanen sejak masa pre-
natal hingga post-natal 3. Mengetahui kelainan-kelainan yang mungkin terjadi selama proses
pertumbuhan dan perkembangan gigi sulung dan gigi permanen BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Odontogenesis Pertumbuhan mandibula dan maksila dipersiapkan untuk tumbuhnya gigi
geligi. Gigi berasal dari dua jaringan embrional: ektoderm, yang membentuk enamel, dan
mesoderm yang membentuk dentin, sementum, pulpa, dan juga jaringan-jaringan penunjang
(Tamba, 2011). Perkembangan gigi geligi pada masa embrional dimulai pada minggu ke-6
intrauterin ditandai dengan proliferasi epitel oral yang berasal dari jaringan ektodermal
membentuk lembaran epitel yang disebut dengan primary epithelial band. Primary epithelial
band yang sudah terbentuk ini selanjutnya mengalami invaginasi ke dasar jaringan mesenkimal
membentuk 2 pita pada masing-masing rahang yaitu pita vestibulum yang berkembang menjadi
segmen bukal yang merupakan bakal pipi dan bibir dan pita lamina dentis yang akan berperan
dalam pembentukan benih gigi. Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi dalam 3 tahap, yaitu
perkembangan, kalsifikasi, dan erupsi (Tamba, 2011). Periode diantara pergantian gigi susu dan
gigi permanen disebut periode gigi bercampur, adalah merupakan periode dimana gigi geligi
bersama-sama dalam satu mulut. Gigi geligi tetap yang ada dibagi atas dua kelompok,
succesional teeth dan accessional teeth. Successional teeth adalah gigi permanen yang
menggantikan gigi susu. Accessional teeth adalah gigi tetap yang erupsi diposterior gigi susu
(Tamba, 2011). Pada awal perkembangan gigi tidak semua gigi berkembang dalam waktu yang
sama. Tanda-tanda pertama dari perkembangan gigi pada embrio ditemukan di daerah anterior
mandibula pada usia 5-6 minggu, sesudah tejadi tanda-tanda perkembangan gigi di daerah
anterior maksila kemudian berlanjut ke arah posterior dari kedua rahang (Wangidjaja, 1995).
Perkembangan dimulai dengan pembentukan lamina gigi. dental lamina adalah suatu pita pipih
yang terjadi karena penebalan jaringan epitel mulut (ektodermal) yang meluas sepanjang batas
oklusal dari mandibula dan maksila pada tempat mana gigi-gigi akan muncul kemudian. Dental
lamina tumbuh dari permukaan sampai dasar mesenhim (Wangidjaja, 1995). Fungsi dental
lamina adalah untuk membentuk benih semua gigi sulung selama bulan kedua intra uterine,
membentuk benih gigi permanen pada bulan ke lima intra uterine( I1) sampai bulan ke sepuluh
(P2), mengadakan perluasan ke arah distal dari dental organ gigi molar kedua sulung yang
dimulai saat panjang janin kurang lebih 140mm. Molar permanen akan langsung tumbuh dari
dental lamina (Wangidjaja, 1995). Sesuai dengan perkembangan lamina gigi, pada 10 tempat di
lengkung mandibula dan 10 tempat di lengkung maksila, beberapa sel dari lamina gigi membiak
lebih cepat daripada sel-sel sekitarnya dan 10 tonjolan kecil dan sel-sel epitel terbentuk pada
lamina gigi dari setiap rahang. Tonjolan kecil tersebut dari sel-sel epitel ini tumbuh ke dalam ke
dasar mesenkhim (Wangidjaja, 1995). Setiap struktur membentuk tonjolan adalah organ enamel
dan merupakan permulaan dari gigi susu (Wangidjaja, 1995). Organ enamel merupakan bagian
pertama dari pembentukan benih gigi, yang berkembang dari lamina gigi sebagai pertumbuhan
dari epitel mulut kedalam dasar jaringan pengikat membentuk suatu topi (cap) (Wangidjaja,
1995). Pada usia delapan minggu dalam kandungan bentuk topi ini terlihat pada organ enamel
dari benih gigi insisivus susu. Jaringan pengikat dalam bentuk topi ini mengalami perubahan dan
menjadi dental papila. Jaringan pengikat di bawah dental papila menjadi serat serat dan
melingkari papila, dan bagian dari enamelnya membentuk kantung gigi (Wangidjaja, 1995).
2.1.1 Tahap Perkembangan Gigi Tahap perkembangan adalah sebagai berikut: a. Inisiasi (bud
stage) Tahap inisisasi merupakan penebalan jaringan ekodermal, merupakan gambaran morfologi
pertama dari perkembangan gigi, akan tetapi hal ini didahului oleh suatu gejala dasar induktif.
Tanda-tanda pertumbuhan ektomesenhim berasal dari neural crest, menunjukkan induksi primer
dalam odontogenis. Jaringan odontogenik primer dapat dibedakan dan dikenali sebagai lamina
gigi pada embrio manusia sedini mengkin pada awal kehamilan 28 hari .Dental lamina terlihat
sebagai suatu penebalan jaringan epitel pada tepi lateral dari stomodeum, dan pada saat mana
membran orophary ngeal pecah. Penebalan epitel berkembang sampai batas-batas inferior lateral
dari tulang maksila dan pada batas-batas superior lateral dari lengkung mandibula, dimana kedua
hubungan tersebut membentuk tepi lateral dari stomodeum. Permulaan epitel odontogenik timbul
kira-kiri pada usia perkembangan 35 hari, pada batas inferior lateral dari tulang frontonasal,
menimbulkan 4 daerah asli yang terpisah dari jaringan odontogenik gigi geligi rahang atas. Gigi
anterior atas berasal dari lamina gigi dalam frontonasal, dan gigi posterior atas berasal dari
tulang lateral atas (Wangidjaja, 1995). Inisiasi merupakan permulaan terbetuknya benih gigi dari
epitel mulut. Sel-sel tertentu pada lapisan basal dari epitel mulut berproliferasi lebih cepat
daripada sel sekitarnya . Hasilnya adalah lapisan epitel yang menebal di regio bukal lengkung
gigi dan meluas sampai seluruh bagian rahang atas dan bawah (Tamba, 2011). b. Proliferasi (cap
stage) Proliferasi merupakan gejala dimana proyeksi dari lamina gigi meluas sampai ke dasar
mesenkhim pada tempat yang khusus dan membentuk primordia dari organ enamel. Sewaktu sel-
sel membiak organ gigi bertambah besar ukurannya. Lembaran epitel yang lain, pita alur labial
atau vestibula lamina berkembang hampir berdekatan dan bersama-sama dengan lamina gigi.
Pita ini mengikuti pola pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan lamina gigi kecuali apabila
tempatnya lebih dekat dengan permukaan wajah. Bentuk yang tidak umum dari lamina ini adalah
sesudah pembentukan dari sebuah pita epitel yang padat dan lebar, sel-sel inti pecah dan
meninggalkan suatu ruangan yang besar yang dibatasi oleh jaringan epitel. Ruangan ini
membentuk vestibula dari labial dan bukal, dan sisa-sisa jaringan epitel akan membentuk garis
labial, bukal dan gingiva. Pada perkembangan dari vestibula, lamina memisahkan bukal dan
labial dari jaringan keras stomodeum. Jaringan mesoderm mendorong jaringan epitel sehingga
akan terbentuk cap stage (Wangidjaja, 1995). Lapisan sel-sel mesenkim yang berada pada
lapisan dalam mengalami proliferasi, memadat, dan bervaskularisasi membentuk papil gigi yang
kemudian membentuk dentin dan pulpa pada tahap ini. Sel-sel mesenkim yang berada
disekeliling organ gigi dan papila gigi memadat dan fibrous, disebut kantong gigi yang akan
menjadi sementum, membran periodontal, dan tulang alveolar (Tamba, 2011). c.
Histodiferensiasi (bell stage) Setelah perkembangan lebih lanjut dari papila dan enamel organ,
gigi mengalami tahap morfodiferensiasi dan histodiferensiasi yang dikenal juga dengan tahap
bell. Pada tahap ini sel inner epitelium dapat dikarekteristikkan dari pembentukan bentuk gigi.
Sel enamel organ juga berdiferensiasi menjadi sel outer enamel epitelium yang menutupi enamel
organ yang akhirnya menjadi ameloblast yang membentuk enamel dari mahkota gigi. Antara
kedua lapisan sel ini terdapat sel retikulum stelata yang berbentuk star shape dimana
prosesusnya melekat satu sama lain (Wangidjaja, 1995). Lapisan keempat dalam enamel organ
dibentuk sel stratum intermedium. Sel ini terletak bersebelahan dengan inner epitelium. Sel-sel
inimembantu ameloblas dalam pembentukan enamel. Fungsi outer enamel epitelium adalah
untuk mengatur jaringan kapiler yang membawa nutrisi ke ameloblas. Dari outer enamel nutrisi
disalurkan melalui reticulum stelata ke ameloblas. Selama tahap bell, sel yang terletak pada
bagian luar dari dental papil menjadi odontoblas. Sel ini berdiferensiasi menjadi mesenkim.
Odontoblas memanjang dan menjadi kolumnar, mereka membentuk serat-serat matriks kologen
yang diidentifikasikan predentin Setelah 24 jam terjadi penambahan kalsifikasi matriks,
pembentuk dentin (Wangidjaja, 1995). Ketika beberapa penambahan dentin telah terbentuk,
amebloblas yang terdiferensiasi memiliki enamel matriks. Dentinogenesis selalu mendahului
amelogenesis, setelah enamel organ berdiferensiasi, dental lamina mulai berdegenerasi dan
mengalami lisis. Dental lamina menghilang di bagian anterior dari mulut walaupun yang tersisa
menjadi aktif di regio posterior selama beberapa tahun (Wangidjaja, 1995). Susunan Bell Stage
1. Inner Dental Epithelium Terdiri 1 lapis sel : amelogenesis (satu lapisan sel silindris Pada
potongan melintang berbentuk hexagonal Sel ini akan mempengaruhi sel-sel mesenkim
dibawahnya menjadi odontoblas 2. Stratum Intermedium Terdiri beberapa lapis sel pipih.
Terletak diantara inner dental epithelium dan stellate reticulum Proses ini sangat penting pada
proses pembentukan enamel 3. Stellate Reticulum Bentuk sel seperti bintang. Diantara sel
terdapat cairan antara sel (menghilang sebelum pembentukan enamel dimulai -> sel mengkerut
Perubahan terjadi mulai dari puncak ke arah servical 4. Outer Dental Epithelium Sel :
pipih/kubis rendah Sebelum dan selama pembentukan enamel, permukaan yang halus berubah
menjadi bergelombang/berlekuk Diantara lekukan yang dekat dengan mesenkim (dental sac)
terbentuk papilla berisi kapiler untuk member nuutrisi pada enamel organ yang avascular 5.
Dental Papilla Bagian dental organ yang mengalami invaginasi tertutup. Sebelum inner
dental ephitelium mulai membentuk enamel, sel meshenkim bagian perifer dari dental papilla
mengadakan differensiasi menjadi odontoblas karena pengaruh epitel. Berbentuk kubus ->
silindris Berpotensi membentuk dentin Membrane basalis yang memisahkan epithelial dental
organ dan dental papilla pada saat pembentukan dentin disebut MEMBRANA PRAE-
FORMATIVE 6. Dental Sac Sebelum mulai pembentukan jaringan gigi, dental sac akan
menyusun sabutnya secara sirkuler hingga membentuk capsula. Dengan adanya pertumbuhan
akar, sabut dari dental sac berdifferensiasi menjadi sabut periodontal yang tertanam antara
cementum dan tulang alveolar. (Wangidjaja, 1995). Pembentukan Akar Sama seperti
pembentukan crown, proliferasi sel berlanjut pada daerah servikal atau dasar dari organ enamel
dimana sel epitel enamel dalam dan luar bergabung membentuk akar. Ketika pembentukan
korona lengkap, sel pada daerah enamel ini terus bertumbuh membentuk dua lapisan sel yang
disebut epitel akar atau lapisan hertwigs (Moore, 1982). Lapisan dalam sel akar, dibentuk dari
epitel enamel bagian dalam atau amelobas di korona dan enamel. Pada akar, sel membentuk
odontoblas dari papilla dental, berdiferensiasi dan menbentuk dentin. Pembentukan akar berawal
dari berkhirnya deposit enamel. Saat akar memanjang terjadi pembentukan awal pada akar.
Panjang, kelengkungan, ketebalan,dan jumlah akar semuanya tergantung dari sel-sel di dalam
akar. Saat akar dentin dibentuk, sel-sel luar pada akar berfungsi pada deposisi sementum
intermediet, suatu lapisan tipis dari sementum aseluler yang menutupi tubulus dentin dan
permukaan akar. Kemudian sel-sel luar akan terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan
bergerak dari permukaan akar menjadi sisa-sisa epitel. Pada akhir proses proliferasi akar miring
45 derajat. Daerah ini dinamakan sekat epitel. Sekat epitel mengelilingi apeks yang terbuka pada
pulpa gigi selama pembentukan akar. Ini adalah ploriferasi sel yang menyebabkan terjadinya
pertumbuhan akar (Moore, 1982). Pada saat odontoblas berdiferensiasi sepanjang batas pulpa,
terjadi proses dentinogenesis pada akar dan akan memanjang. Pembentukan dentin berlanjut dari
korona hingga ke akar. Dentin meruncing dari crown hingga ke akar sampai ke epikal batas
epitel. Pada perbatasan pulpa dengan pusat epitel, terjadi proliferasi seluler. Hal ini dikenal
dengan zona proliferas pulpa. Daerah ini memproduksi sel-sel baru yang dibutuhkan untuk
proses pemanjangan akar. Akar semakin mengecil ke bagian apikal dan terbuka kira-kira 1-3 mm
sehingga dapat mensyarafi dan menyuplai darah ke pulpa dan jaringan periodonsium. Bersamaan
dengan memanjangnya akar, gigi mulai bergerak erupsi, yang akan menyediakan ruangan untuk
proses pemanjangan akar. Akar memanjang sesuai dengan pergerakan erupsi gigi (Moore, 1982).
Pada tahap ini terjadi diferensiasi. Sel-sel epitel enamel dalam (inner email ephithelium) menjadi
semakin panjang dan silindris, disebut sebagai ameloblas yang akan berdiferensiasi menjadi
enamel dan sel-sel bagian tepi dari papila gigi menjadi odontoblas yang akan berdiferensiasi
menjadi dentin (Moore, 1982). d. Morfodiferensiasi Sel pembentuk gigi tersusun sedemikian
rupa dan dipersiapkan untuk menghasilkan bentuk dan ukuran gigi selanjutnya. Proses ini terjadi
sebelum deposisi matriks dimulai. Morfologi gigi dapat ditentukan bila epitel enamel bagian
dalam tersusun sedemikian rupa sehingga batas antara epitel enamel dan odontoblas merupakan
gambaran dentinoenamel junction yang akan terbentuk (Tamba, 2011). Dentinoenamel junction
mempunyai sifat khusus yaitu bertindak sebagai pola pembentuk setiap macam gigi. Terdapat
deposit enamel dan matriks dentin pada daerah tempat sel-sel ameloblas dan odontoblas yang
akan menyempurnakan gigi sesuai dengan bentuk dan ukurannya (Tamba, 2011). e. Aposisi
Pembentukan matriks keras gigi baik pada enamel, dentin, dan sementum terjadi pada tahap ini.
Matriks enamel terbentuk dari sel-sel ameloblas yang bergerak ke arah tepi dan telah terjadi
proses kalsifikasi sekitar 25 %-30% (Tamba, 2011). 2.1.2. Tahap Kalsifikasi Gigi Tahap
kalsifikasi adalah suatu tahap pengendapan matriks dan garam-garam. Kalsifikasi akan dimulai
di dalam matriks yang sebelumnya telah mengalami deposisi dengan jalan presipitasi dari satu
bagian ke bagian lainnya dengan penambahan lapis demi lapis. Kalsifikasi gigi desidui dimulai
pada minggu ke-14 prenatal, diikuti dengan kalsifikasi gigi molar pertama pada minggu ke-15.
Gigi insisivus lateral mengalami kalsifikasi pada minggu ke-16, gigi kaninus pada minggu ke-17,
sedang gigi molar kedua pada minggu ke-18 (Tamba, 2011). Tahap kalsifikasi bervariasi dari
satu individu dengan individu yang lain, dipengaruhi oleh faktor keturunan. Demikian juga pola
kalsifikasi, bentuk korona, dan komposisi mineralisasi, dipengaruhi oleh faktor genetik.
Perkembangan gigi kecuali bervariasi juga menunjukkan beda pada jenis kelamin, dan bersifat
bilateral simetris. Perempuan biasanya menunjukkan perkembangan yang mendahului laki-laki,
dan pada rahang bawah lebih dahulu daripada rahang atas (Tamba, 2011). Kalsifikasi enamel dan
dentin tidak sama, tetapi mempunyai karakterisistik yang bervariasi pada periode perkembangan.
Menurut Brauner, pada usia 10 bulan sampai 2,5 tahun, pembentukan dan kalsifikasi enamel dan
dentin baik, namun relatif rentan karena apabila terjadi gangguan metabolisme pada anak yang
sedang berkembang secara klinis tidak menyebabkan terjadinya hipoplasia enamel, tetapi dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan ringan pada kalsifikasi saja. Pada usia 2,5 sampai 5 tahun,
kalsifikasi enamel dan dentin biasanya tidak homogen, akan tetapi sifatnya lebih baik
dibandingkan pada masa bayi. Gangguan pada kalsifikasi terjadi sebagai akibat respon gangguan
metabolisme anak yang sedang berkembang dan gangguan ini disebut hipoplasia kronik. Pada
usia 6 sampai 10 tahun, kalsifikasinya baik dan tahan terhadap gangguan pada pembentukan
enamel. Periode ini merupakan periode yang kritis karena pembentukan dan kalsifikasi gigi
sangat rentan terhadap gangguan pada metabolisme anak-anak yang sedang berkembang,
sehingga dapat terjadi hipoplasia enamel. Rensburg menyatakan bahwa gangguan pada tahap
kalsifikasi dapat menyebabkan kelainan pada kekerasan gigi seperti hipokalsifikasi (Tamba,
2011). Sinclair menyatakan bahwa gigi desidui mulai berkalsifikasi pada usia 4 sampai 6 bulan
dalam kandungan. Pada saat kelahiran beberapa diantaranya lebih maju dari gigi lainnya. Pada
tahap ini kalsifikasi gigi desidui belum sempurna hingga mencapai usia 3 tahun. Mahkota dari
beberapa gigi molar permanen saat itu sudah terbentuk sempurna dan sebagian akarnya sudah
mulai terbentuk. Pada usia 6 tahun, mulut telah dipenuhi oleh gigi. Gigi geligi desidui mulai
tanggal dan gigi permanen sudah terbentuk (Tamba, 2011). 2.1.3. Tahap Erupsi Gigi Banyak
pendapat mengenai pengertian erupsi gigi. Menurut Lew, gigi dinyatakan erupsi jika tonjol gigi
atau tepi insisal dari gigi muncul menembus gingival dan tidak melebihi 3 mm di atas gingival
level yang dihitung dari tepi insisal gigi (Tamba, 2011). Proses erupsi gigi adalah suatu proses
fisiologis berupa proses pergerakan gigi yang dimulai dari tempat pembentukan gigi dalam
tulang alveolar kemudian gigi menembus gingiva sampai akhirnya gigi mencapai dataran
oklusal.1 Gerakan dalam proses erupsi gigi adalah ke arah vertikal tetapi selama proses erupsi
gigi berlangsung, gigi juga mengalami pergerakan miring, rotasi dan pergerakan ke arah
mesial.6,12 Proses erupsi gigi dimulai sebelum tanda pertama mineralisasi dimana proses erupsi
gigi ini terus-menerus berlangsung tidak hanya sampai terjadi kontak dengan gigi antagonisnya,
tetapi juga sesudahnya, meskipun gigi telah difungsikan. Proses erupsi gigi berakhir bila gigi
telah tanggal (Tamba, 2011). Adanya pergerakan pada proses erupsi gigi akan menstimulasi
pertumbuhan tulang rahang dalam arah panjang dan lebar. Hal ini terbukti bila gigi tanggal pada
masa pertumbuhan dan perkembangan tulang rahang maka tulang rahang di sekitar gigi yang
tanggal tersebut mengalami ketertinggalan dalam pertumbuhannya dibandingkan dengan tulang
rahang di sekitar gigi yang tidak tanggal. Benih-benih gigi desidui dan gigi-gigi permanen mula-
mula terhadap oklusal keduanya sejajar. Dengan pertumbuhan rahang, gigi desidui akan lebih
terdorong ke arah oklusal, makin tertinggal benih gigi permanen dan akhirnya benih gigi
permanen ini menempati lingual akar atau antara akar-akar gigi desidui (Tamba, 2011). Proses
erupsi gigi dapat dibagi atas tiga tahap, yaitu tahap praerupsi, prafungsional, dan fungsional
(Tamba, 2011). a.Tahap Praerupsi Tahap praerupsi dimulai saat pembentukan benih gigi sampai
mahkota selesai dibentuk. Pada tahap praerupsi, rahang mengalami pertumbuhan pesat di bagian
posterior dan permukaan lateral yang mengakibatkan rahang mengalami peningkatan panjang
dan lebar ke arah anterior-posterior. Untuk menjaga hubungan yang konstan dengan tulang
rahang yang mengalami pertumbuhan pesat ini maka benih gigi bergerak ke arah oklusal
(Tamba, 2011). Pergerakan benih gigi ke arah oklusal pada tahap praerupsi berhubungan dengan
pertumbuhan tulang rahang pada sisi apikal dan jaringan ikat di sekitar kantung gigi.
Pertumbuhan tulang rahang pada sisi apikal pada tahap praerupsi ini berlangsung lebih cepat
daripada sisi yang lain dari tulang rahang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
pada sisi apikal tulang rahang sehingga benih gigi terdorong ke arah oklusal. Selain proliferasi
aktif dari tulang rahang, bergeraknya benih gigi ke arah oklusal pada tahap praerupsi ini juga
dipicu oleh pertumbuhan dari jaringan ikat di sekitar kantung gigi. Proliferasi jaringan ikat ini
berjalan dengan cepat sehingga menghasilkan kekuatan untuk mendorang gigi ke arah oklusal
(Tamba, 2011). b. Tahap Prafungsional Tahap prafungsional dimulai dari pembentukan akar
sampai gigi mencapai dataran oklusal. Pada tahap prafungsional gigi bergerak lebih cepat ke arah
vertikal. Selain bergerak ke arah vertikal, pada tahap prafungsional gigi juga bergerak miring dan
rotasi. Gerakan miring dan rotasi dari gigi ini bertujuan untuk memperbaiki posisi gigi berjejal di
dalam tulang rahang yang masih mengalami pertumbuhan (Tamba, 2011). Pergerakan gigi ke
arah oklusal pada tahap prafungsional berhubungan dengan pertumbuhan jaringan ikat di sekitar
kantung gigi. Proliferasi aktif dari jaringan ligamen periodontal ini menghasilkan suatu tekanan
di sekitar kantung gigi yang akan mendorong gigi ke arah oklusal. Tekanan erupsi pada tahap
prafungsional semakin bertambah seiring meningkatnya permeabilitas vaskular di sekitar
ligamen periodontal. Meningkatnya permeabilitas vaskular ini memicu keluarnya cairan secara
difus dari dinding vaskular sehingga terjadi penumpukan cairan di sekitar ligamen periodontal
yang kemudian menghasilkan tekanan erupsi. Keadaan ini sama dengan kondisi inflamasi
dimana jaringan ligamen periodontal yang membengkak akan mendorong gigi ke luar dari
soketnya, tetapi proses patologis ini tidaklah sama sepenuhnya dengan proses erupsi fisiologis.
Faktor lain yang juga berperan dalam menggerakkan gigi ke arah oklusal pada tahap
prafungsional ini adalah perpanjangan dari pulpa, dimana pulpa yang sedang berkembang pesat
ke arah apikal juga dapat menghasilkan kekuatan untuk mendorong mahkota ke arah oklusal.
Peran pertumbuhan akar dalam proses erupsi gigi pada tahap prafungsional masih belum
diketahui karena gigi yang sudah dirusak akarnya masih bisa bererupsi, bahkan ada gigi yang
masih mengadakan erupsi tanpa terbentuknya akar sama sekali. Proliferasi jaringan ikat,
peningkatan permeabilitas vaskular di sekitar ligamen periodontal dan pertumbuhan pulpa
merupakan tiga faktor yang menyebabkan bergeraknya gigi ke arah oklusal pada tahap
prafungsional (Tamba, 2011). c. Tahap Fungsional Tahap ini dimulai sejak gigi difungsikan dan
berakhir ketika gigi telah tanggal. Selama tahap fungsional gigi bergerak ke arah oklusal, mesial,
dan proksimal. Pergerakan gigi pada tahap fungsional ini bertujuan sehingga oklusi dan titik
kontak proksimal dari gigi dapat dipertahankan (Tamba, 2011). Pada tahap fungsional tulang
alveolar masih mengalami pertumbuhan terutama pada bagian soket gigi sebelah distal demikian
halnya dengan sementum pada akar gigi. Terjadinya pertumbuhan pada sementum dan tulang di
sekitar soket gigi sebelah distal pada tahap fungsional menimbulkan interpretasi bahwa
bergeraknya gigi ke arah oklusal dan proksimal pada tahap ini berhubungan dengan pertumbuhan
tulang alveolar dan pertumbuhan sementum. Interpretasi ini tidaklah benar. Pertumbuhan tulang
alveolar dan sementum bukanlah penyebab bergeraknya gigi pada tahap fungsional tetapi
pertumbuhan tulang alveolar dan pertambahan sementum yang terjadi pada tahap fungsional ini
merupakan hasil dari pergerakan gigi selama tahap prafungsional. Adapun penggerak gigi selama
tahap fungsional sama dengan tahap prafungsional yaitu proliferasi ligamen periodontal, tetapi
berjalan lebih lambat (Tamba, 2011). 2.1.3.1 Waktu Erupsi Gigi Waktu erupsi gigi diartikan
sebagai waktu munculnya tonjol gigi atau tepi insisal dari gigi menembus gingiva. Berdasarkan
penelitian terdahulu terdapat perbedaan waktu erupsi antara satu populasi dengan populasi lain
yang berbeda Ras bahkan berdasarkan penelitian Hume (1992) pada berbagai etnik di Amerika
dan Eropa Barat didapat data bahwa tidak ada dua individu yang mempunyai waktu erupsi yang
sama (Tamba, 2011). Gigi yang bererupsi pertama kalinya adalah gigi susu atau gigi desidui.
Beberapa lama gigi desidui akan berada dalam rongga mulut untuk melaksanakan aktivitas
fungsionalnya, sampai akhirnya gigi permanen erupsi untuk menggantikan gigi desidui tersebut
(Tamba, 2011). Waktu erupsi gigi permanen dimulai saat anak berusia 6 sampai 7 tahun, ditandai
dengan erupsi gigi molar pertama rahang bawah bersamaan dengan insisivus pertama rahang
bawah dan molar pertama rahang atas. Gigi insisivus sentral rahang atas erupsi umur 7 tahun
dilanjutkan dengan gigi insisivus lateral rahang bawah. Gigi insisivus lateral rahang atas erupsi
umur 8 tahun dan gigi kaninus rahang bawah umur 9 tahun. Gigi premolar pertama rahang atas
erupsi umur 10 tahun, dilanjutkan dengan erupsi gigi premolar kedua rahang atas, premolar
pertama rahang bawah, kaninus rahang atas dan premolar kedua rahang bawah. Erupsi gigi molar
kedua rahang bawah terjadi umur 11 tahun dan molar kedua rahang atas umur 12 tahun. Erupsi
gigi paling akhir adalah molar ketiga rahang atas dan rahang bawah (Tamba, 2011). 2.1.3.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Erupsi Gigi Erupsi gigi merupakan proses yang bervariasi
pada setiap anak. Variasi ini bisa terjadi dalam setiap periode dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan gigi, terutama pada periode transisi pertama dan kedua. Variasi ini masih
dianggap sebagai suatu keadaaan yang normal jika lamanya perbedaan waktu erupsi gigi masih
berkisar antara 2 tahun (Tamba, 2011). Variasi dalam erupsi gigi dapat disebabkan oleh banyak
faktor, yaitu: 1. Faktor Keturunan (Genetik) Faktor keturunan dapat mempengaruhi kecepatan
waktu erupsi gigi. Faktor genetik mempunyai pengaruh terbesar dalam menentukan waktu dan
urutan erupsi gigi, termasuk proses kalsifikasi. Pengaruh faktor genetik terhadap erupsi gigi
adalah sekitar 78 % (Tamba, 2011). 2. Faktor Ras Perbedaan Ras dapat menyebabkan perbedaan
waktu dan urutan erupsi gigi permanen.1 Waktu erupsi gigi orang Eropa dan campuran Amerika
dengan Eropa lebih lambat daripada waktu erupsi orang Amerika berkulit hitam dan Amerika
Indian. Orang Amerika, Swiss, Perancis, Inggris, dan Swedia termasuk dalam Ras yang sama
yaitu Kaukasoid dan tidak menunjukkan perbedaan waktu erupsi yang terlalu besar (Tamba,
2011). 3. Jenis Kelamin Waktu erupsi gigi permanen rahang atas dan bawah terjadi bervariasi
pada setiap individu. Pada umumnya waktu erupsi gigi anak perempuan lebih cepat
dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini berkisar antara 1 hingga 6 bulan (Tamba, 2011). 4. Faktor
Lingkungan Pertumbuhan dan perkembangan gigi dipengaruhi oleh faktor lingkungan tetapi
tidak banyak mengubah sesuatu yang telah ditentukan oleh faktor keturunan. Pengaruh faktor
lingkungan terhadap waktu erupsi gigi adalah sekitar 20 % (Tamba, 2011). Faktor-faktor yang
termasuk ke dalam faktor lingkungan antara lain: a. Sosial Ekonomi Tingkat sosial ekonomi
dapat mempengaruhi keadaan nutrisi, kesehatan seseorang dan faktor lainnya yang berhubungan.
Anak dengan tingkat ekonomi rendah cenderung menunjukkan waktu erupsi gigi lebih lambat
dibanding anak tingkat ekonomi menengah. Penelitian yang dilakukan oleh Clements dan
Thomas, menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi tinggi
memperlihatkan erupsi gigi lebih cepat dibandingkan anak-anak yang berasal dari tingkat sosial
ekonomi rendah. Hal ini berhubungan dengan nutrisi yang diperoleh anak-anak dengan tingkat
sosial ekonomi tinggi lebih baik (Tamba, 2011). b. Nutrisi Faktor pemenuhan gizi dapat
mempengaruhi waktu erupsi gigi dan perkembangan rahang. Nutrisi sebagai faktor pertumbuhan
dapat mempengaruhi erupsi, tetapi hal ini terjadi pada malnutrisi yang hebat. Kekurangan nutrisi
dapat menyebabkan keterlambatan erupsi gigi. Nutrisi sebagai faktor pertumbuhan dapat
mempengaruhi erupsi dan proses kalsifikasi. Keterlambatan waktu erupsi gigi dapat dipengaruhi
oleh faktor kekurangan nutrisi, seperti vitamin D dan gangguan kelenjar endokrin. Pengaruh
faktor nutrisi terhadap perkembangan gigi adalah sekitar 1 % (Tamba, 2011). 5. Faktor Penyakit
Gangguan pada erupsi gigi permanen dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan beberapa
sindroma, seperti Down syndrome, Cleidocranial dysostosis, Hypothyroidism, Hypopituitarism,
beberapa tipe dari Craniofacial synostosis dan Hemifacial atrophy (Tamba, 2011). 6. Faktor
Lokal Faktor-faktor lokal yang dapat mempengaruhi erupsi gigi adalah jarak gigi ke tempat
erupsi, malformasi gigi, adanya gigi berlebih, trauma dari benih gigi, mukosa gingiva yang
menebal, dan gigi desidui yang tanggal sebelum waktunya (Tamba, 2011). 2.1.3.3 Faktor Yang
Mempengaruhi Jalur Erupsi Gigi 1. Penambahan panjang akar gigi. Erupsi dimulai pada saat
akar mulai terbentuk. Pemanjangan akar menyebabkan terjadinya penambahan jarak antara
mahkota dan ujung akar yang sedang tumbuh. Bila ujung akar yang sudah tumbuh disangga oleh
tulang di bawahnya maka mahkota gigi akan terdorong ke arah rongga mulut karena
terbentuknya tulang baru hasil aposisi yang diletakkan diantara ujung akar yang sedang
berkembang dengan tulang penyangga dibawahnya. 2. Pertumbuhan pulpa gigi selama foramen
apikal masih terbuka lebar. Gigi-gigi bergerak dari soketnya seirama dengan denyutan arteri
sehingga perubahan volume secara lokal dapat menghasilkan sedikit gerakan gigi. Mekanisme
ini biasanya dipengaruhi oleh aktivitas hormonal yang mengatur baik tekanan darah maupun
cairan jaringan. 3. Deposisi sementum pada permukaan akar. 4. Kontraksi sel-sel yang tersusun
oblik pada ligamen periodontal mendorong gigi dari soketnya 5. Resorbsi tulang oleh sel-sel
osteoklast pada pintu alveolus, sehingga jalan erupsi menjadi lebih bebas. 6. Pembentukan tulang
baru secara aposisi oleh sel-sel osteoblast pada dinding alveolus. 7. Penambahan tinggi dan
pertumbuhan lapisan-lapisan gigi seperti tinggi ruang pulpa, dentin serta tulang di dasar alveolus
yang terus bertambah sejak neonatus. 8. Tekanan mastikasi dan tekanan otot yang disalurkan ke
arah gigi (Indriyanti, 2006). 2.2 Resorpsi Akar 2.2.1 Pengertian Resorpsi Akar Dalam ilmu
kedokteran gigi, resorpsi akar adalah pengrusakan atau penghancuran yang menyebabkan
kehilangan struktur gigi. Hal ini disebabkan oleh kerja sel tubuh yang menyerang bagian dari
gigi. Bila kerusakan meluas ke seluruh gigi, dinamakan resorpsi gigi. Kerusakan akar yang parah
dapat terjadi bila kerusakan sudah mencapai pulpa, sehingga sangat sulit untuk dirawat dan
biasanya memerlukan ekstraksi gigi. Resorpsi akar terjadi akibat diferensiasi makrofag menjadi
odontoklas yang akan meresorpsi sementum permukaan akar serta dentin akar. Tingkat
keparahannya bervariasi dapat dilihat dari bukti-bukti berupa lubang mikroskopis yang dapat
menyebabkan kehancuran pada permukaan akar (Harahap, 2010). Resorpsi akar dapat
disebabkan oleh tekanan pada permukaan akar gigi. Tekanan tersebut dapat berasal dari trauma,
erupsi gigi ektopik yang mengenai akar gigi tetangga, infeksi, beban oklusal yang berlebihan ,
pertumbuhan tumor yang agresif, maupun yang tidak dapat diketahui penyebabnya atau
idiopatik. Menurut Weiland, penyebab yang paling umum adalah kekuatan ortodonti (Harahap,
2010). Akar gigi dilindungi oleh sementum. Sementum merupakan struktur yang menyerupai
tulang. Namun sementum lebih resisten terhadap resorpsi daripada tulang. Ada sejumlah teori
yang menjelaskan mengapa ini terjadi. Hipotesis yang paling umum adalah bahwa sementum
lebih keras dan lebih termineralisasi dibandingkan dengan tulang. Sementum juga bersifat
antiangiogenik, sehingga dapat mencegah akses osteoklas. Walaupun demikian, bila kekuatan
besar diberikan pada apeks gigi, sementum juga dapat mengalami resorpsi (Harahap, 2010).
2.2.2 Klasifikasi Resorpsi Akar Resorpsi akar dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu resorpsi
akar internal yang dimulai dari pulpa, dan resorpsi akar eksternal yang dimulai dari luar gigi
(Harahap, 2010). 1. Resorpsi Internal Resorpsi internal diduga terjadi akibat pulpitis kronis.
Tronstad (1988) berpendapat adanya jaringan nekrotik menyebabkan resorpsi internal menjadi
progresif. Pada kebanyakan kasus, kondisi ini tidak menimbulkan rasa sakit sehingga cenderung
hanya dapat didiagnosa sewaktu pemeriksaan radiografi rutin. Pulpitis kronis dapat terjadi akibat
trauma , karies atau prosedur iatrogenik seperti preparasi gigi yang salah, ataupun idiopatik.
Resorpsi internal jarang terjadi, namun dapat muncul pada setiap gigi, baik gigi yang telah
direstorasi ataupun gigi yang bebas karies. Defeknya bisa terdapat di mana saja di dalam saluran
akar. Bila hal tersebut terjadi pada ruang pulpa, dinamakan pink spot karena pulpa yang
membesar terlihat melalui mahkota. Resorpi internal biasanya berjalan lambat. Namun bila tidak
dirawat, maka lesi akan menjadi progresif dan menyebabkan perforasi dinding saluran akar
sehingga pulpa menjadi mati. Penghancuran dentin yang parah dapat menyebabkan gigi fraktur.
Perawatan untuk resorpsi internal tanpa perforasi adalah dengan perawatan saluran akar. Kasus
ini memiliki prognosis yang baik dan resorpsi tidak akan terjadi lagi (Harahap, 2010). 2.
Resorpsi Eksternal Resorpsi akar dapat disebabkan oleh beberapa hal, baik umum maupun lokal.
Adanya perubahan keseimbangan antara osteoblas dan osteoklas pada ligamen periodontal dapat
menghasilkan sementum tambahan pada permukaan akar (hipersementosis) atau menyebabkan
hilangnya sementum bersama dengan dentin, yang dinamakan resorpsi eksternal. Resorpsi dapat
didahului oleh peningkatan suplai darah ke suatu daerah yang berdekatan dengan permukaan
akar. Proses inflamasi mungkin disebabkan oleh infeksi, kerusakan jaringan pada ligamen
periodontal, atau gingivitis hiperplastik pasca trauma dan epulis. Osteoklas diduga berasal dari
derivat monosit darah. Inflamasi meningkatkan permeabilitas dari pembuluh darah, sehingga
memungkinkan pelepasan monosit yang akan bergerak ke tulang atau permukaan akar yang
cedera. Penyebab lain dari resorpsi meliputi tekanan, bahan kimia, penyakit sistemik dan
gangguan endokrin. Menurut Tronstad, resorpsi akar eksternal dapat dibagi menjadi enam jenis
(Harahap, 2010). 1. Resorpsi Permukaan Resorpsi permukaan merupakan temuan patologis yang
umum terjadi pada permukaan akar. Aktivitas osteoklas merupakan respon terhadap injuri pada
ligamen periodontal atau sementum. Resorpsi permukaan biasanya dapat dilihat melalui
Scanning Electron Microscopy (SEM). Permukaan akar menunjukkan resorption lacunae
superficial. Kondisi ini dapat mengalami perbaikan spontan berupa pembentukan sementum baru
(Harahap, 2010). 2. Resorpsi Akibat Inflamasi Resorpsi akibat inflamasi diduga terjadi karena
infeksi jaringan pulpa. Daerah yang terinfeksi biasanya berada di sekitar foramen apikal dan
canalis lateralis. Sementum, dentin, dan jaringan periodontal yang berdekatan juga dapat terlibat.
Pada pemeriksaan radiografi terlihat adanya radiolusen pada daerah tersebut. Saluran akar dan
tubulus dentin terinfeksi dan nekrosis, serta respon inflamatori dengan aktivitas osteoklas terjadi
di dentin dan tulang. Pertambahan aktivitas osteoklas yang berada di dentin pada sebelah kanan
menunjukkan pengaruh bakteri yang berada di tubulus dentin (Harahap, 2010). 3. Resorpsi
Penggantian Resorpsi penggantian biasanya terjadi pada trauma yang berat. Resorpsi
penggantian sering terjadi setelah replantasi, terutama bila replantasi terlambat dilakukan. Cedera
pada permukaan akar biasanya berat, sehingga penyembuhan dengan sementum tidak dapat
terjadi, yang menyebabkan kontak langsung antara tulang alveolar dan permukaan akar. Proses
ini dapat bersifat reversibel apabila permukaan akar yang terlibat kurang dari 20%. Karena
osteoklas berkontak langsung dengan dentin, maka resorpsi dapat terus berlangsung tanpa
stimulasi hingga tulang alveolar mengggantikan dentin. Istilah ankylosis dapat digunakan pada
kasus ini karena tulang alveolar melekat langsung ke dentin.Secara radiografis, ruang ligamen
periodontal tidak akan terlihat karena penggabungan tulang dengan dentin. Pada kasus ini,
saluran akar harus diobturasi untuk mencegah resorpsi akar akibat infeksi pulpa (Harahap, 2010).
4. Resorpsi Akibat Tekanan Tekanan pada akar gigi dapat menyebabkan resorpsi yang merusak
jaringan ikat diantara dua permukaan. Tekanan dapat disebabkan oleh gigi yang erupsi atau
impaksi, pergerakan ortodonti, trauma karena oklusi, atau jaringan patologis seperti kista atau
neoplasma. Resorpsi akibat tekanan, misalnya akibat perawatan ortodonti dapat terjadi pada
apeks gigi , dengan cedera berasal dari tekanan pada sepertiga apeks sewaktu menggerakkan
gigi. Akibatnya dapat terjadi pemendekkan akar gigi. Rangsangan terhadap aktivitas osteoklas di
apeks akibat tekanan berlebihan selama perawatan ortodonti dapat menyebabkan terjadinya
resorpsi akar. Osteoklas dapat meluas sampai ke dentin dan mengenai tubulus dentin tanpa
adanya bakteri. Menurut Newman, gigi yang paling sering mengalami resorpsi akibat tekanan
adalah gigi insisivus karena gigi insisivus lebih sering digerakkan. Tekanan yang diberikan dapat
membangkitkan pelepasan sel-sel monosit dan pembentukan osteoklas sehingga terjadi resorpsi.
Apabila penyebab tekanan dihilangkan, maka resorpsi dapat dihentikan (Harahap, 2010). 5.
Resorpsi Sistemik Resorpsi sistemik adalah resorpsi yang diakibatkan adanya gangguan
sistemik. Jenis ini dapat terjadi pada sejumlah penyakit dan gangguan seperti : Pagets disease,
calcinosis, Gauchers disease dan Turners syndrome. Selain itu, resorpsi ini dapat terjadi pada
pasien yang menjalani terapi radiasi (Harahap, 2010). 6. Resorpsi Idiopatik Etiologi resorpsi akar
idiopatik sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas. Pada beberapa kasus dapat terjadi
resorpsi akar yang penyebabnya bukan karena faktor sistemik maupun lokal . Resorpsi ini dapat
terjadi pada satu gigi maupun beberapa gigi. Laju resorpsi bervariasi dari lambat (bertahun-
tahun), sampai cepat dan agresif (beberapa bulan) yang melibatkan sejumlah besar kerusakan
jaringan. Letak dan bentuk defek resorpsi juga bervariasi. Resorpsi idiopatik dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu resorpsi apikal dan resorpsi servikal. Resorpsi apikal biasanya lambat
dan dapat berhenti secara spontan, yang mungkin akan mempengaruhi satu atau beberapa gigi,
dengan pemendekan akar secara bertahap, dan apeks gigi tetap bulat. Sedangkan resorpsi
servikal terdapat pada bagian servikal gigi. Defek dapat melebar dan berbentuk lekukan dangkal.
Tipe ini dapat juga disebut sebagai resorpsi perifer , resorpsi tersembunyi, pseudo pink spot, atau
ekstrakanal invasif. Defek dapat juga dijumpai pada permukaan eksternal gigi yang kemudian
berlanjut ke dentin berupa ramifikasi. Hal ini tidak mempengaruhi dentin dan predentin pada
sekitar pulpa. Resorpsi tipe ini sering dianggap keliru sebagai resorpsi internal. Resorpsi servikal
dapat disebabkan oleh inflamasi kronis ligamen periodontal atau trauma. Resorpsi servikal paling
baik ditangani dengan pembedahan dan pembuangan jaringan granulasi. Defek tersebut lalu
dibentuk untuk direstorasi. Usia rata-rata pasien yang mengalami resorpsi idiopatik pada wanita
adalah berusia 32 tahun, sedangkan laki-laki berusia 44 tahun. Resorpsi idiopatik lebih sering
terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Resorpsi akar idiopatik yang terdapat pada beberapa
gigi biasanya asimptomatik. Resorpsi ini biasanya dapat diketahui dari foto radiografi. Beberapa
pasien mengeluhkan tambalan longgar, restorasi lepas, goyangnya gigi, dan juga nyeri yang
berhubungan dengan gigi dan jaringan sekitarnya, namun nyeri terhadap perkusi dan palpasi
bukan merupakan gejala awal. Penyebab resorpsi ini tidak tunggal, melainkan berkaitan dengan
kondisi lain seperti adanya inflamasi periapikal, tumor atau kista, kekuatan mekanis yang
berlebihan atau reimplantasi gigi (Harahap, 2010). 2.3 Peranan Neuromuskular Pada Kontrol
Erupsi Dan Oklusi Rongga mulut merupakan salah satu organ tubuh penting yang
perkembangannya telah sempurna sejak lahir. Hal tersebut berguna untuk mendapatkan makanan
dan berkontak dengan lingkungan sekitarnya. Aktivitas rongga mulut adalah penelanan,
mastikasi, bicara dan pernafasan. Aktivitas rongga mulut akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan struktur dentofasial pada anak. Maturasi fungsi oral terlihat dari perubahan pola
infantil menjadi dewasa. Otot yang bekerja pada pola penelanan infantil adalah lidah, mandibula
dan otot fasial(Primarti, 2007). Aktivitas pola penelanan dewasa dikontrol oleh otot
pengunyahan, yaitu otot temporalis, masseter, pterigoid lateral dan medial, digastrikus serta
geniohyoid (Primarti, 2007). Penelanan merupakan aktivitas yang dilakukan terus-menerus
selama 24 jam. Tiga otot yang berperan adalah otot lidah, masseter, buccinator dan orbicularis
oris. Ketiga otot tersebut harus dalam keadaan seimbang saat fungsi. Adanya kebiasaan mulut
yang buruk, kelainan anatomi lidah, pola penelanan yang salah, oklusi yang buruk dapat
merubah keseimbangan ketiga otot tersebut. Hal tersebut sering diakibatkan oleh penempatan
posisi lidah yang salah. Penempatan posisi lidah yang salah atau adanya kebiasaan mulut yang
buruk menyebabkan posisi lidah berada di bawah dan di depan. Tekanan lateral akan
menyebabkan palatum menjadi sempit. Palatum yang sempit mempengaruhi bentuk lengkung
rahang sehingga akan mengganggu erupsi gigi geligi serta perubahan pola fungsi otot sehingga
terjadi maloklusi (Primarti, 2007). Deteksi dini adanya ketidakseimbangan otot terutama sebelum
anak mencapai usia 4-5 tahun atau sebelum erupsi gigi permanennya akan terjadi koreksi
alamiah palatum. Hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan dentofasial
kembali normal (Primarti, 2007). Dokter gigi mempunyai peluang untuk mendeteksi adanya
ketidakseimbangan otot orofasial pada anak. Oleh karena itu, dokter gigi dapat memberikan
kontribusi untuk melakukan tindakan preventif terjadinya maloklusi pada anak (Primarti, 2007).
BAB III KONSEPTUAL MAPPING BAB IV PEMBAHASAN Erupsi gigi merupakan suatu
perubahan posisi gigi yang diawali dengan pertumbuhan dalam tulang rahang melalui beberapa
tahap berturut-turut hingga mencapai posisi fungsional di dalam rongga mulut (Indriyanti dkk,
2006). Benih gigi mulai dibentuk sejak janin berusia 7 minggu dan berasal dari lapisan
ektodermal serta mesodermal. Lapisan ektodermal berfungsi membentuk email dan odontoblast,
sedangkan mesodermal membentuk dentin, pulpa, semen, membran periodontal, dan tulang
alveolar. Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi dalam tiga tahap, yaitu perkembangan,
kalsifikasi, dan erupsi (Indriyanti dkk, 2006). Erupsi gigi dipengaruhi oleh faktor intrinsik, yaitu
ras, genetik, dan jenis kelamin dan ekstrinsik, serta faktor ekstrinsik yang meliputi nutrisi dan
tingkat ekonomi (Indriyanti dkk, 2006). Erupsi gigi dimulai setelah pembentukan mahkota
dilanjutkan dengan pembentukan akar selama usia kehidupan dari gigi dan terus berlangsung
walaupun gigi telah mencapai oklusi dengan gigi antagonisnya (Indriyanti dkk, 2006). Waktu
erupsi gigi tiap anak berbeda-beda, dipengaruhi oleh nutrisi dan ras. Faktor nutrisi yang
mempengaruhi antara lain kandungan gizi, pola makan, dan jenis makanan. Kebiasaan makan
dan jenis makanan pada setiap ras juga berbeda-beda (Indriyanti dkk, 2006). Waktu erupsi gigi
permanent dimulai saat anak berusia 6 sampai 7 tahun, ditandai dengan erupsi gigi molar
pertama rahang bawah bersamaan dengan insisif pertama rahang bawah dan molar pertama
rahang atas. Gigi insisif sentral rahan atas erupsi umur 7 tahun dilanjutkan dengan gigi insisif
lateral rahang bawah. Gigi insisif lateral rahang atas erupsi umur 8 tahun dan gigi kaninus rahang
bawah umur 9 tahun. Gigi premolar pertama rahang atas erupsi umur 10 tahun, dilanjutkan
dengan erupsi gigi premolar kedua rahang atas, premolar pertama rahang bawah, kaninus rahang
atas dan premolar kedua rahang bawah. Erupsi gigi molar kedua rahang bawah terjadi umur 11
tahun dan molar kedua rahang atas umur 12 tahun. Erupsi gigi paling akhir adalah molah ketiga
rahang atas dan rahang bawah (Indriyanti dkk, 2006). Faktor genetik memiliki pengaruh cukup
besar bagi waktu erupsi gigi. Studi klinik telah membuktikan bahwa terdapat perbedaan pada
pertumbuhan dan waktu erupsi berdasarkan ras. Selain itu, nutrisi dan keadaan sosial ekonomi
juga memiliki pengaruh pada erupsi gigi. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan keterlambatan
erupsi gigi(Indriyanti dkk, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Clements dan Thomas,
menyebutkan bahwa anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi tinggi memperlihatkan
erupsi gigi lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari tingkal sosial ekonomi
rendah. Hal ini berhubungan dengan nutrisi yang diperoleh anak-anak dengan tingkat sosial
ekonomi tinggi lebih baik (Indriyanti dkk, 2006). Jenis kelamin mempengaruhi waktu erupsi dan
kalsifikasi gigi. Umumnya anak perempuan memiliki waktu kalsifikasi lebih cepat dari pada
laki-laki dan waktu erupsi gigi anak laki-laki lebih lambat dari pada anak perempuan (Indriyanti
dkk, 2006). Pada anak yang waktu erupsi giginya lebih lambat diketahui bahwa mereka jarang
mengkonsumsi makanan yang mengandung protein seperti susu, telur, ikan dan daging.
Kekurangan protein pada masa pertumbuhan dapat mengakibatkan gigi terhambat
pertumbuhannya. Faktor lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gigi
menurut UAB Health System (2004) ialah asupan kalsium, fosfor, vitamin C dan D. Kekurangan
zat-zat diatas dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan gigi serta memperlambat
waktu erupsi gigi (Indriyanti dkk, 2006). Aktivitas rongga mulut akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan struktur dentofasial pada anak. Maturasi fungsi oral terlihat dari
perubahan pola infantil menjadi dewasa. Otot yang bekerja pada pola penelanan infantil adalah
lidah, mandibula dan otot fasial (Primarti, 2007). BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi dalam 3 tahap, yaitu perkembangan, kalsifikasi, dan
erupsi. 2. Erupsi gigi dipengaruhi oleh faktor intrinsik, yaitu ras, genetik, dan jenis kelamin dan
ekstrinsik, serta faktor ekstrinsik yang meliputi nutrisi dan tingkat ekonomi. 3. Aktivitas rongga
mulut (penelanan, mastikasi, bicara dan pernafasan) akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan struktur dentofasial pada anak. 5.2 Saran Dokter gigi mempunyai peluang untuk
mendeteksi adanya ketidakseimbangan otot orofasial pada anak. Oleh karena itu, dokter gigi
dapat memberikan kontribusi untuk melakukan tindakan preventif terjadinya maloklusi pada
anak. DAFTAR PUSTAKA Indriyanti R DKK. 2006. POLA ERUPSI GIGI PERMANEN
DITINJAU DARI USIA KRONOLOGIS. Diunduh dari http://resources.unpad.ac.id/unpad-
content/uploads/publikasi_dosen/POLA%20ERUPSI%20GIGI%20PERMANEN%20DITINJAU
%20DARI%20USIA%20KRONOLOGIS.PDF pada tanggal 5 Mei 2011 Primarti, Risti S. 2007.
Deteksi Dini Ketidakseimbangan Otot Orofasial Pada Anak. Jurnal PDGI, Edisi Khusus PIN
IKGA. Jakarta : PDGI Tamba S. 2010. Waktu Erupsi Gigi Permanen. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19134/4/Chapter%20II.pdf pada tanggal 6 Mei
2011. Harahap N. 2010. Resorpsi Akar. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17805/3/Chapter%20II.pdf pada tanggal 6 Mei
2011. Moore KL. The developing human, clinically oriented embryology. Third edition. 1982.
Philadelphia: WB Saunders Company Wangidjaja, Itjhiningsih H. Anatomi Gigi. 1995. EGC:
Jakarta.
http://arif-healthy.blogspot.com/

Você também pode gostar